Anda di halaman 1dari 9

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama beberapa ribu tahun yang lalu, berbagai macam penyakit diobati dengan

menggunakan bahan alam seperti tumbuh – tumbuhan atau dibuat dalam bentuk

ramuannya yang sampai saat ini masih digunakan. Seiring perkembangan zaman dan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan terutama dalam

penyediaan obat baru, maka dilakukan berbagai upaya untuk mengidentifikasi senyawa

aktif dalam tumbuh – tumbuhan yang akan diperoleh struktur aktifnya dan dapat

dijadikan sebagai senyawa penuntun dalam pengembangan struktur molekul obat lebih

lanjut untuk mencari dan menemukan calon obat baru yang memiliki aktivitas

farmakologis yang lebih poten (Siswandono, 2016).

Sebagian besar upaya pengembagan obat ini dilakukan secara coba-coba (trial and

error) tanpa adanya desain atau alasan penelitian yang jelas sehingga hasil yang

diperoleh kurang maksimal , memerlukan waktu yang lama dan dengan biaya yang

sangat besar (Siswandono, 2016). Waktu yang dibutuhkan untuk riset penemuan

senyawa penuntun mulai dari proses sintesis atau ekstraksi, penapsisan farmakologi,

uji pre-klinis sampai evaluasi klinis, pendaftaran dan izin edar, memerlukan waktu

sekitar 10-14 tahun dengan biaya riset kurang lebih Rp 12 triliun (Siswandono, 2016).

Agar riset untuk penemuan suatu obat baru bisa dilakukan dengan waktu yang

lebih singkat dan biaya yang lebih murah, maka diperlukan rancangan obat yang
2

rasional. Rancangan obat rasional bertujuan untuk mendapatkan obat baru dengan

aktivitas yang lebih baik dan mempunyai toksisitas yang lebih rendah. Rancangan obat

rasional dapat dikembangkan melalui penggunaan komputasi, dengan melalui

modifikasi struktur. Modifikasi struktur dilakukan dengan melakukan identifikasi

struktur, mensitesis sejumlah turunan senyawa induk, dan melakukan uji aktivitas

biologisnya, untuk dapat menemukan konformasi ikatan ligan dengan target

makromolekul struktur yang sesuai (Siswandono, 2016). Komputasi merupakan alat

untuk menguji dan melakukan urutan peringkat geometri calon obat berdasarkan

modifikasi senyawa penuntun atau melakukan skrining database molekul yang tersedia

untuk mencari senyawa penuntun baru. Dengan pengembangan rancangan obat secara

komputasi dapat mengurangi biaya pengembangan obat hingga 50% (Tan, et al., 2010).

Sebelum melakukan sintesis pada modifikasi struktur, diperlukan suatu upaya

untuk memprediksi sifat fisikokimia, aktivitas biologis dan toksisitas senyawa yang

akan ssssdisintesis. Metode yang sekarang sedang dikembangkan adalah pemodelan

molekul (drug design) seri in silico (Schlick, 2010).

Pemodelan molekul seri in silico mempunyai peran yang sangat penting dalam

bidang kimia medisinal dalam rangka merancang, menemukan dan optimasi senyawa

bioaktif pada proses pengembangan obat (Hinchliffe, 2008; Siswandono, 2016).

Cara melakukan uji in silico adalah dengan metode molecular docking secara

komputasi. Molecular docking adalah suatu upaya untuk menyelaraskan antara ligan

yang merupakan molekul kecil ke dalam sel target yang merupakan molekul protein

yang besar untuk memprediksi ikatan O-R dan mengetahui bagaimana senyawa
3

berinteraksi dengan reseptor kemudian dapat menimbulkan efek terapi yang diinginkan

(Jensen,2007).

Uji in silico menghasilkan nilai energi ikatan atau Rerank Score (RS). Energi

ikatan menunjukkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk membentuk ikatan antara

ligan dengan reseptor. Semakin kecil energi ikatan berarti semakin stabil ikatan

tersebut. Semakin stabil ikatan ligan dengan reseptor maka dapat diprediksikan bahwa

aktivitasnya juga semakin besar. (Hardjono, 2012). Uji in silico dengan metode

molecular docking secara komputasi sudah banyak dilakukan salah satunya dalam

penemuan obat baru untuk anti kanker, Ruswanto dkk., pada tahun 2017 telah

melakukan penelitian turunan 1-benzoil-3-metiltiourea sebagai calon obat antikanker

dengan melakukan docking molekul terhadap enzim ribonukleotida reduktase, dan

memprediksi absorpsi, distribusi, toksisitas dan aktivitasnya.

Menurut National Cancer Institute (2018), kanker adalah suatu istilah untuk

penyakit di mana sel-sel mengalami pembelahan secara abnormal dan tidak terkendali

dan dapat menyerang jaringan di sekitarnya. Penyakit kanker merupakan penyakit

terbesar ke 3 di dunia yang dapat menyebabkan kematian. Kanker dapat dialami oleh

siapa saja tanpa mempertimbangan usia, gender, dan ras. Prevalensi statistik kanker

menurut World Health Organization (WHO) mencatat angka kematian yang

disebabkan oleh kanker adalah 8.202 juta, serta diperkirakan bahwa insidensi kanker

akan meningkat 14 juta kasus baru terhitung dari tahun 2012 hingga tahun 2022 (World

Health Organization, 2012). Kasus karsinoma sel ginjal mencakup 2-3% kasus kanker

di seluruh dunia dan kasus tersebut merupakan penyakit keganasan urologi peringkat
4

ketiga setelah prostat dan buli. Karsinoma sel ginjal (KSG) adalah jenis kanker yang

dimulai ketika sel-sel ginjal di dalam tubuh mulai berkembang di luar kendali. Sel di

hampir semua bagian tubuh juga dapat berkembang menjadi sel kanker jika mengalami

pertumbuhan diluar kendali, dan dapat menyebar ke area lain. Dari berbagai jenis

kanker ginjal, karsinoma sel ginjal (KSG) merupakan jnis terbanyak (85%) dan yang

paling sering terjadi . Di Indonesia sekitar 2,4 per 100.000 merupakan insiden kanker

ginjal (Globocan, 2018). Karsinoma sel ginjal (KSG), sejauh ini merupakan jenis

kanker ginjal yang paling umum. Sekitar 9 dari 10 kanker ginjal adalah karsinoma sel

ginjal (American Cancer Society, 2012). Sepertiga dari pasien dengan KSG telah

mengalami metastasis pada saat pertama kali didiagnosis dan 40-50% akan mengalami

metastasis jauh setelah diagnosis awal

Karsinoma sel ginjal dikenal sangat resistan terhadap pengobatan. Selama

beberapa dekade, terapi kanker tersebut hanya berkisar pada nefrektomi dan

penggunaan terbatas kemoterapi serta imunoterapi yang toksik dan seringkali tidak

efektif. Namun demikian, selama beberapa tahun terakhir pengobatan kanker ini

menunjukkan kemajuan yang sangat spektakuler oleh karena meningkatnya

pemahaman peran biologi molekuler tumor dan implikasi klinis, khususnya mengenai

vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai target terapi potensial pada KSG

metastatik.

Vascular endothelial growth factor receptor (VEGFR) tyrosine kinases adalah

target obat yang telah divalidasi secara klinis untuk terapi kanker. VEGF/VEGFR2
5

dianggap sebagai jalur proangiogenik paling penting untuk meningkatkan semua tahap

angiogenesis termasuk permeabilitas vaskular, kelangsungan hidup sel endotelial,

proliferasi, migrasi atau invasi ke jaringan sekitar, dan pembentukan tabung kapiler.

Perkembangan kanker sering dikaitkan dengan ekspresi VEGF, dan jalur sinyal

VEGF/VEGFR2 pada umumnya dianggap sebagai mediator utama tumor

angiogenesis, sehingga VEGF/VEGFR2 merupakan sistem target untuk intervensi

terapeutik pada kanker (Hoi et al., 2014).

Terapi lini pertama yang digunakan untuk kanker karsinoma sel ginjal (renal cell

carcinoma) adalah obat sunitinib dengan target reseptor VEGFR2 yang dapat

menghambat angiogenesis (Panduan Penanganan Kanker Ginjal, 2012). Sunitinib

(SU011248) adalah inhibitor tirosin kinase molekul kecil oral yang menunjukkan

aktivitas antiangiogenik dan antitumor yang kuat. Inhibitor tirosin kinase seperti

SU6668 (orantinib)dan SU5416 (semaxanib) menunjukkan sifat farmakologis yang

buruk dan efektivitas terbatas, oleh karena itu, sunitinib dipilih secara rasional karena

bioavailabilitasnya dan potensinya yang tinggi sebagai obat pembanding terhadap

reseptor tirosin kinase antiangiogenik (RTK) - reseptor faktor pertumbuhan endotel

vaskular (VEGFR) (Laura Q.M. Chow S. Gail Eckhardt, 2007)

Penelitian ini menggunakan pendekatan model modifikasi Topliss dimana peneliti

ingin menambah substituen pada senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea seperti : H; 4-Cl;

3,4-Cl2; 4-Cl, 3-CF3; 4-NO2, 3-CF3; 4CF3; 4-Br; 4-I; 2,4-Cl2; 4-NO2; 4-CH3; 3-Cl; 3-

N(CH3)2); 3-CH3; 2-Cl; 2-CH3; 2-OCH3; 4-F; 4-C(CH3)3; 3-CF3; 3,5-Cl2; 4-OCH3; 4-

N(CH3)2; 4-NH2; 4-OH; 4-OCH(CH3)2; 3-CH3, 4-N(CH3)2, dengan tujuan


6

meningkatkan lipofilisitas, elektronik dan sterik sehingga efektivitas dari senyawa/obat

lebih optimal dan meminimalkan efek samping. Kode pdb yang digunakan adalah

4AGD karena mengandung ligan Sunitinib, yang bekerja pada reseptor VEGFR2 (

Ting-Hsuan dkk, 2017). Ligan tersebut mengandung gugus NH-C=O yang berfungsi

sebagai farmakofor pada proses interaksi ligan-reseptor, dan senyawa turunan N-

benzoil-N’-feniltiourea yang mengandung gugus yang mirip yaitu -NH-C=S yang

diharapkan juga dapat berfungsi sebagai farmakofor (Dai et al., 2008; Curtin et al.,

2012, Okamoto et al., 2015)

Hubungan struktur kimia dengan aktivitas biologis suatu turunan senyawa dapat

dinyatakan secara kuantitatif melalui prediksi parameter-parameter sifat fisikokimia

yaitu parameter lipofilik, elektronik, dan sterik. Pada proses distribusi obat,

penembusan membran biologis sangat dipengaruhi oleh sifat kelarutan obat dalam

lemak/air, suasana pH dan derajat ionisasi (pKa) sehingga dalam HKSA, parameter

sifat kimia fisika yang sering dilibatkan adalah parameter lipofilik dan elektronik. Pada

proses distribusi obat pengaruh sifat lipofilik pada umumnya lebih besar dibanding sifat

elektronik.

Proses interaksi obat-reseptor sangat dipengaruhi oleh ikatan kimia, kerapatan

elektron, ukuran molekul, dan efek stereokimia. Dalam HKSA, ketiga parameter sifat

fisikokimia tersebut ikut dilibatkan, terutama parameter elektronik dan sterik.

Parameter fisikokimia ini digunakan melalui pendekatan gugus dan molekul.

Parameter yang sering digunakan dalam studi HKSA adalah parameter lipofilik, yaitu

nilai Calculated log P (ClogP) dan nilai phi(π) Hansch; parameter elektronik, yaitu σ
7

Hammet dan Etot; dan parameter sterik yang digunakan yaitu Calculated Molar

Refracticity (CMR) dan ES. (Siswandono, 2016).

Selain prediksi bioavailabilitas dan aktivitas, pada penelitian ini juga dilakukan

prediksi toksisitas. Toksisitas dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea dan turunannya

dilihat dari parameter LD50. LD50 merupakan uji yang paling sering digunakan untuk

mengetahui toksisitas jangka pendek. Semakin kecil nilai dari LD50 maka semakin

toksik senyawa yang diuji (Paramveer et al, 2010).

1.2 Rumusan Masalah

I.2.1 Bagaimana hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat lipofilik,

elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea terhadap prediksi

aktivitas secara in silico sebagai antikanker ginjal ?

I.2.2 Bagaimana hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat lipofilik,

elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea terhadap prediksi

bioavailabilitas (F) secara in silico sebagai antikanker ginjal ?

I.2.3 Bagaimana hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat lipofilik,

elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea terhadap prediksi

toksisitas secara in silico sebagai antikanker ginjal?


8

1.3 Hipotesis

I.3.1 Ada hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat lipofilik,

elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea yang bermakna

terhadap prediksi aktivitas secara in silico.

I.3.2 Ada hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat lipofilik,

elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea yang bermakna

terhadap prediksi bioavailabilitas (F) secara in silico.

I.3.3 Ada hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat lipofilik,

elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea yang bermakna

terhadap prediksi toksisitas secara in silico.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Mengetahui hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat

lipofilik, elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea

terhadap prediksi aktivitas secara in silico.

1.4.2 Mengetahui hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat

lipofilik, elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea

terhadap prediksi bioavailabilitas (F) secara in silico.

1.4.3 Mengetahui hubungan kuantitatif struktur, sifat kimia fisika (sifat

lipofilik, elektronik dan sterik) dari senyawa N-benzoil-N’-feniltiourea

terhadap prediksi toksisitas secara in silico


9

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Menambah pengetahuan mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas

Farmasi Universitas Surabaya yang ingin melakukan penelitian di bidang kimia

medisinal terkait dengan studi hubungan struktur aktivitas, uji in silico dan

molecular docking.

1.5.2 Menambah informasi tentang calon obat kanker ginjal berdasarkan

prediksi aktivitas antikanker, prediksi bioavailabilitas, dan prediksi toksisitas.

Anda mungkin juga menyukai