Sekapur Sirih………………………………………………………………………… ii
Bab I PENDAHULUAN
I. KONSEP DASAR
A. Definisi …………………………………………………………………. 1
B. Etiologi …………………………………………………………………... 1
C. Patofisiologi ……………………………………………………………… 1
D. Jenis – jenis ……………………………………………………………… 2
E. Tanda dan Gejala ……………………………………………………….. 2
F. Penatalaksanaa Medis ………………………………………………….. 3
G. Komplikasi ………………………………………………………………. 3
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………. 12
B. Saran ………………………………………………………………………….. 12
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, buku Standar Asuhan Keperawatan Hemodialisa yang merupakan pedoman dalam
memberikan Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit Pekanbaru Medical Centet dapat kami persembahkan sebagai salah satu wujud
komitmen keperawatan Rumah Sakit PMC dalam memnbrikan pelayanana yang bermutu.
Seiring dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangatn pesat, maka tingkat pengetahuan dan social ekonomi
masyarakat akan mengalami perkembangan dan peningkatkan. Dengan demikian, kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan
kesehatan yang berkwalitas, terkini dan unggul akan mengalami peningkatan pula.
Atas dasar tersebut, maka Komite Keperawatan menyusun Standar Asuha Keperawatan Hemodialisayang dirangkum dari
berbagai literature dan narasumber. Buku ini digunakan sebagai pedoman dalam memberikan asuhan keperawatan sehingga pelayanan
kesehatan yabg diberikan sesuai dengan standar profresi yang berlaku.
Buku ini masih perlu peyempurnaan disesuaikan dengan perekembangan ilmu pengetahuan pengetahuan dan tehnologi serta
pelayanan di Rumah Sakit PMC. Oleh karena itu, diharapkan adanya masukan, kritik, dan saran yang membangun guna penyempurnaan
pada penerbitan berikutnya, sehingga dapat berkualitas pelayanan keperawatan di Rumah Sakit PMC.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak pada tahun 1960 hemodialisa diterapkan sebagai suatu terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut dan gagal
ginjal terminal.Hemodialisa merupakan terapi pengganti yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial kidney atau
dialyzer).Biasanya di Indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu.Setiap kali hemodialisa dibutuhkan waktu selama kurang
lebih 5 jam. Di beberapa pusat dialysis lainnya ada yang dilakukan hemodialisa 3 kali seminggu dengan lama dialysis 4 jam.
Hemodialisa merupakan salah satu terapi faal ginjal dengan tujuan untuk mengeluarkan zat – zat metabolisme protein dan koreksi
gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan diasilat melalui
membrane semipermeabel yang bersifat sebagai pengganti ginjal.Hemodialisis sering disebut pada orang awan sebagai terapi
cuci darah. Hemodialisa terbukti dapat bermanfaat dalam memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup penderita gagal
ginjal terminal. Dalam suatu proses hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin kedalam kompartemen darah pada
dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat atau fiber sintetis yang berlubang kecil ditengahnya.Darah mengalir di dalam lubang
serat sedangkan cairan dialisis yaitu dialisat mengalir diluar serat. Dinding serat bertindak sebagai membran semipermeabel
tempat terjadinya proses ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik melintasi membran
dialyzer dengan cara menerapkan tekanan negatif ke dalam kompartemen dialisat yang menyebabkan air dan zat-zat terlarut
berpindah dari darah ke dalam cairan dialisat. Hal ini dapat bermanfaat untuk menyedot kelebihan cairan tubuh dan sampah-
sampah sisa hasil metabolik.Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang ini telah dilaksanakan pada
banyak rumah sakit rujukan.Umumnya dipergunakan ginjal yang kompartemen darahnya adalah kapiler selaput semipermeabel
(hollow fibre kidney).Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur tertinggi sampai sekarang adalah 14 tahun
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Memberi pedoman tertulis bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan professional sesuai standar
2. Tujuan khusus
a. Menambah pengetahuan perawat tentang asuhan keperawatan pada pasien yang menjalani hemodialisa, yang merupakan
model konsep yang akan dipakai untuk keperawatan.
b. Menambah pengetahuan perawat tentang proses keperawatan, yang merupakan konsep yang harus dipakai dalam
memberikan asuhan keperawatan.
c. Menambah keterampilan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan professional, sesuai dengan standar asuhan
keperawatan dan prinsip – prinsip proses keperawatan.
Bab II
TINJAUAN TEORITIS
B. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2005), tujuan dari hemodialisis antara lain : :
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum,
2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urine saat ginjal
sehat.
C. Indikasi
Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih dari 300.000 orang di Amerika Serikat.Standarisasi terapi
ini dimulai pada tahun 1973 oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner.Terapi ini juga mempertimbangkan
segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan pasien.Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi berdasarkan
kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.Pengobatan biasanya dimulai apabila
penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya.
Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak
dilakukan lagi.(1)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus (mL/menit/1,73m2)
Risiko Normal > 90, terdapat faktor risiko
meningkat
Stadium 1 Normal atau meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal, proteinuria
menetap, kelainan sedimen urin, kelainan kimia
darah dan urin, kelainan pada pemeriksaan
radiologi.
Stadium 2 Penurunan ringan 60-89
Stadium 3 Penurununan sedang 30-59
Stadium 4 Penurunan berat 15-29
Stadium 5 Gagal Ginjal <15
Tabel 1.Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi
Glomerolus (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi dan LFG
kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya
indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan
nefropatik diabetik.(4,5,14)
Thiser dan Wilcox menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10
mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara
mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa.(17)
Elektif Hemodialisa CITO Hemodialisa
Sindrom uremia Hiperkalemia
HT sulit dikontrol Edema paru
Overload cairan / CHF Asidosis metabolik berat
Persiapan preoperasi Overdosis obat
Oligouria – anuria 3-5 hari Perikarditis / efusi perikard
Profilaksis dini : Koma
Kreatinin > 8-12 mg%
BUN 100 – 123 ng%
E. Proses hemodialisa
Mesin hemodialisis yang digunakan untuk tindakan hemodialisis berfungsi mempersiapkan cairan dialisat, mengalirkan dialisat
dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah
korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk
memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat
dialisis, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997). Dalam proses
hemodialisis diperlukan suatu mesin hemodialisis dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan
untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh.
Untuk melaksanakan hemodialisis diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin
hemodialisis (NKF, 2006). Akses vaskular sangat penting pada prosedur hemodialisis dengan tujuan untuk menghubungkan
sirkuit darah pasien dengan membran dializer. Adapun jenis dari akses vaskuler tersebut adalah :
1. Akses vaskular sementara
Metoda ini melalui pembuluh darah vena yaitu femoral dan vena jugularis interna. Kerugian metoda ini pasien kurang
nyaman, 3 kali tusukan vena femoral per minggu, tidak boleh bergerak selama 5 jam sesi dialisis, mungkin perdarahan bila
salah sasaran tusukan (arteri femoralis). Kendala teknik akses vena femoral terutama pasien dengan edema anasarka dan
keadaan darurat medik.Akses vaskular melalui vena jugularis interna dengan menggunakan silastic twin catheter atau
double lumen catheter merupakan metoda cukup memuaskan dan nyaman untuk pasien.Metoda ini dapat digunakan untuk
beberapa minggu sampai fistula AV standar siap untuk dipakai prosedur hemodialisis.
b) Metode alternatif
Pada pasien usia lanjut terutama disertai diabetes kegagalan fistula AV sering dijumpai setelah bertahun-tahun
menjalani hemodialisis reguler. Kegagalan fistula ini mungkin disebabkan proses aterosklerosis. Maka diperlukan
teknik lain, yaitu autogenous atau allogenous vein grafts dan prosthetic.
Suatu ginjal buatan atau dializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan
bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan
arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus
yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini dan cairan dialisat membasahi bagian
luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price
satu lagi untuk cairan dialisis. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow
fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisis membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan
sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur sehingga
terbentuk dialisat atau bak cairan dialisis. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar
serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran
semipermeabel dari dializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat
perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan
tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan
menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik
di antara membran dialisis juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisis dilengkapi dengan
larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk
mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk
membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin
secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan
darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien.
Untuk menjamin keamanan pasien, maka dializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk
berbagai parameter (Price & Wilson, 1995). Menurut Pernefri (2003) waktu atau lamanya hemodialisis disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap hemodialisis dilakukan 4–5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisis idealnya dilakukan
10–15 jam/minggu dengan QB 200–300 ml/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisis memerlukan waktu 3 – 5
jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2–3 hari di antara hemodialisis, keseimbangan garam, air, dan pH sudah
tidak normal lagi. Hemodialisis ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses
hemodialisis. Price dan Wilson menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu
yang terlalu tinggi menyebabkan hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal. Robekan pada
membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat.
Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung
dari jenis sistem dialisat yang digunakan dan keadaan pasien.(15). Adapun komposisi dari Cairan dialysis adalah cairan yang
digunakan pada proses hemodialisa, terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir sama dengan
serum normal dan mempunyai tekanan osmotic yang sama dengan darah. Fungsi cairan dialysis adalah mengeluarkan dan
menampung cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa.
Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal.Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat
berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat. Kerugian cairan asetat
adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi.
Vasodilatasi akibat cairan asetat akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang akan diperlukan tubuh
untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat
memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien gagal ginjal terminal
Cairan dialysis mengandung macam-macam garam, elektrolit dan atau zat antara lain
6. Bikarbonat
Bikarbonat merupakan zat pengganti yang penting dalam cairan dialisis, karena lebih fisiologis untuk koreksi asidosis
metabolik dibandingkan dengan dialisat asetat.Berbeda dengan dialisat asetat, konsentrasi bikarbonat darah dan pH
meningkat gradual selama prosedur hemodialisa dan kenaikan pasca hemodialisis dapat dihindari sehingga pasien bebas
dari gejala.Rekomendasi konsentrasi bikarbonat dalam cairan dialisis 26-36 mmol/L.
7. Klorida
Konsentrasi anion klorida sama dengan konsentrasi total kation (terutama natrium) minum konsentrasi asetat atau anion
bikarbonat untuk mempertahankan electrochemical neutrality dari cairan dialisis. Rekomendasi konsentrasi klorida dalam
dialisat bervariasi antara 105 dan 120 mEq/L.
8. Glukosa
Hemodialisis menggunakan dialisat bebas glukosa (glucose free dialysate). Sejumlah glukosa akan bergeser dari darah
ke kompartemen dialisat diperkirakan 25-30 g setiap kali prosedur hemodialisa. Kehilangan glukosa selama prosedur
hemodialisis mungkin menyebabkan dialysis associated symptoms seperti sakit kepala, mual,dan muntah pasca
hemodialisa. Bila prosedur hemodialisis menggunakan dialisat tanpa glukosa tubuh akan kehilangan aminoacid cukup
tinggi yaitu 10 gram per sesi hemodialisis. Kehilangan aminoacid dibatasi hanya sekitat 1-3 gram per sesi hemodialisis
bila menggunakan cairan dialisis mengandung glukosa.Aminoacid wasting bersama dengan peningkatan katabolisme
protein dapat merangsang kehilangan glukosa ke kompartemen dialisat, dan mungkin diikuti keseimbangan negatif
protein. Rekomendasi konsentrasi glukosa dalam cairan dialisis antara 1-2 gram/L untuk pasien nefropati diabetik dan
usia lanjut. Dialysat bikarbonat dan/atau dialisat mengandung glukosa diduga merupakan media subur untuk
pertumbuhan bakteri dan pembentukan endotoksin, merupakan resiko tinggi dialysate contamination.Teknik disinfeksi
ketat disertai pemeliharaan mesin hemodialisis dan sirkuit water treatment sangat penting.Glukosa dalam konsentrasi
yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat menyebabkan
kehilangan kalori dan hipoglikemia.Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena
pembuangan cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.
G. Komplikasi hemodialisis
1. Komplikasi intradialitik
a. First use syndrome
Reaksi anafilaktik terhadap dialisat dari cuprophane karena adanya akivasi sistem komplemen alternatif
dan terpajan oleh elyline oxide. Reaksi anafilaktik terhadap membran dialisis polyacrylonitrile pada pasien
yang mendapat pengobatan ACE inhibitor.
b. Komplikasi tehnik
Resiko Teknik Presentasi Klinik
Udara masuk sirkuit darah Emboli udara
Dialisat hipotonik Hemolisis masif
Dialisat hipertonik Hipernatremia, haus, sakit kepala,
bendungan paru dan kejang
Dialisat overheated Hemolisis dan pembekuan darah
Pertukaran bikarbonat dengan konsentrasi Alkalosis hebat
acid
Diskoneksi tabung darah Perdarahan, kolapse
c. Komplikasi terkait hemodialisis
a) Hipotensi terkait hemodialisis
Etiologi paling sering berhubungan dengan penurunan volume plasma, kegagalan efek vasokontriksi,
dan faktor jantung terutama pada pasien nefropati diabetik dan usia lanjut. Manajemen hipotensi
disertai kram otot : ultrafiltration rate dan blood flow rate dikurangi, pasien posisi trendelenberg,
berikan infus garam fisiologis 100-500 ml, atau garam hipertonis sebanyak 10-20 ml dalam waktu 3-
5 menit.
b) Kram otot
Kram otot (betis) disebabkan penurunan volume CES akibat peningkatan ultrafiltation rate atau
konsentrasi Na dalam konsentrat tidak adekuat.Pemberian garam fisiologis atau hipertonis merupakan
terapi pilihan pertama.
c) Mual, muntah dan sakit kepala
Tidak jarang merupakan salah satu presentasi klinik disequilibrium syndrome.
d) Sakit dada
Harus dicurigai sebagai kegawat daruratan yang berhubungan dengan angina, infark miokard, atau
perikarditis, atau berhubungan dengan hemolisis akut atau reaksi anafilaktoid.
e) Gatal
Etiologi deposit kristal kalsium-fosfor (hiperparatiroidisme), kulit kering, alergi terhadap obat
(heparin), dan pelepasan histamin. Terapi kausal dan simptomatis (diphenhydramine, ketotifen).
f) Febris
Berhubungan dengan reaksi pirogen atau infeksi mikroorganisme.
2. Komplikasi interdialitik
Komplikasi selama periode antar hemodialisis lebih sering berhubungan dengan gangguan keseimbangan air dan
elektrolit (natrium dan kalium). Presentasi klinik dengan bendungan paru akut, asidosis, dan hiperkalemia, merupakan
keadaan darurat medik memerlukan terapi hemodialisis akut.(15)
3. Komplikasi pada arteriovenosa
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain : stenosis, clotting, infeksi (lokal maupun sistemik), aliran darah
berlebihan (resiko high-output failure), iskemia distal, aneurisma venosa dilatasi, perdarahan akibat ruptur aneurisma,
edema lengan atau tungkai akibat stenosis vena sentralis, dan hematoma local
H. Pemantauan evaluasi jangka panjang
Setiap pasien baru dilakukan penilaian yang meliputi pemeriksaan fisik lengkap dan penunjang sebagai berikut :(14)
Darah perifer lengkap
Elektrolit darah (Na, K, Cl, Ca, P)
HBsAg
Anti HCV, HIV
Foto dada
EKG/Ekokardiografi
Bila tidak ada indikasi khusus, maka dilakukan pemeriksaan sesuai jadwal berikut ini
Na, K, Ca, P, Ureum (tiap 3 bulan)
SI, TIBC, Ferritin
HBsAg, Anti HCV, analisa gas darah, EKG (tiap 6 bulan)
Ekokardiografi (tiap 3 tahun)
Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan adalah :
Mg (khusus untuk aritmia) dan PTH tiap tahun
Radiologik, densitometer tulang dan HIV pada keadaan khusus
II. PASIEN GAGAL GINJAL DENGAN HEMODIALISA
A. DEFINISI
Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan
asupan makanan normal. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat ( biasanya
berlangsung secara beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut akan terjadi dalam beberapa hari atau minggu. (
Price&Wilson,2006). Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan. Diagnosis penyakit ginjal
kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel berikut:
Batasan penyakit ginjal kronik
Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
(Price, S.A. & Wilson, 2003)
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang
lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Untuk mendapatkan GFR kita harus mengukur
konsentrasinya dalam sampel plasma (Px), konsentrasinya dalam sampel urine(Ux), dan volume urin dalam periode tertentu (V)
berdasarkan angka tersebut, persamaan untuk GFR (dalam ml per menit), dapat diuraikan seperti dalam persamaan:
GFR (ml/mnit) =UX (mg/ml)V(ml/mnt)
Px (mg/ml)
Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi
ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan
penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal
ginjal (Price, S.A. & Wilson, 2003).
Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73 m²)
0 Risiko meningkat ≥ 90 dengan faktor risiko
1 Kerusakan ginjal disertai LFG ≥ 90
normal atau meninggi
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Pada GGK terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk akhir metabolisme protein tidak dapat diekskresikan
ke dalam urine sehingga tertimbun didalam darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh.
Dan semakin banyak timbunan produk sampah uremia maka gejala yang ditimbulkan semakin berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens kreatinin akan menurun sehingga kreatinin akan
meningkat. Kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya juga meningkat. Ginjal juga tidak mampu mengkonsentrasikan atau
mengencerkan urine secara normal dan sering terjadi retensi natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema,
gagal jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi sistem rennin angiotensin aldosteron.
Penurunan GFR juga mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum sehingga terjadi penurunan kadar kalsium serum.
Penurunan kadar kalsium menyebabkan sekresi kadar pharathormon, terjadi respon abnormal sehingga kalsium dalam
tulang menurun menyebabkan penyakit tulang dan kalsifikasi metastasik. Disamping itu penyakit tulang juga disebabkan
penurunan produksi metabolit aktif vitamin D (1,25 dehidrokolekalsiferol). Patogenesis gagal ginjal kronik yaitu semakin
buruk dan rusaknya nefron – nefron yang disertai berkurangnya fungsi ginjal, ketika kerusakan ginjal berlanjut dan jumlah
nefron berkurang, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi nefron demikian tinggi hingga keseimbangan glomerolus
tubulus (keseimbangan antar peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat dipertahankan lagi.
Fleksibilitas baik pada proses konversi(perubahan) solute dan air menjadi kurang. Reabsorbsi kalium yang merupakan salah
satu fungsi ginjal juga mengalami gangguan dimana seharusnya 50% kalium direabsorbsi di tubulus paroksimal, 40% di
pars asendens tebal dan sisanya di bagian akhir nefron duktus pengumpul di medulla. Karena kerusakan ginjal pada pasien
GGK hal ini menjadi indikasi untuk dilakukannya hemodialisa pada pasien GGK.
Kerusakan ginjal bisa disebabkan oleh diabetes melitus yaitu pada diabetes melitus terjadi peningkatan konsentrasi gula
darah sehingga ginjal tidak dapat menyerap semua dan jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan berkurangnya fungsi
nefron dan terjadi kerusakan pada nefron tersebut. Sehingga glukosa muncul di urin dan menyebabkan glukosuria serta
dapat meningkatkan pengeluaran cairan dan elektrolit. Ini mengakibatkan pada pasien akan terjadi poliuri (banyak kencing),
Selain itu kerusakan ginjal juga dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis (peradangan pada glomerulus) yaitu antibodi
(IgG) dapat dideteksi pada kapiler glomerular dan terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga terbentuk agregat molekul,
agregat molekul tersebut diedarkan ke seluruh tubuh dan ada beberapa yang terperangkap di glomerulus menyebabkan
respon inflamasi, jika kejadian ini berulang akan mengakibatkan ukuran ginjal berkurang seperlima dari ukuran normal,
respon inflamasi juga menyebabkan korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1mm-2mm. Ini mengakibatkan berkas
jaringan parut merusak sisa korteks dan permukaan ginjal menjadi kasar dan ireguler sehingga glomeruli dan tubulus
menjadi jaringan parut serta terjadi kerusakan glomerulus yang parah sehingga respon ginjal yang sesuai terhadap masukan
cairan dan elektrolit tidak terjadi serta terjadi retensi cairan dan natrium yang akan menyebabkan oedem. Kerusakan
menyebabkan kerusakan nefron sehingga dapat juga menyebabkan kerusakan glomerulus yang parah. Penyebab kerusakan
ginjal yang lain yaitu nefropati obstruktif (batu saluran kemih), infeksi saluran kemih dan gangguan pada jaringan
penyambung.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada GFR dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Soeparman, 2001).
D. Manifestasi klinik
A. PENGKAJIAN
a. Sindrom uremia
b. Mual, muntah, perdarahan gastrointestinal.
f. Hipertensi
Manifestasi klinik :
a. Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus atau gatal-gatal
i. Hematologi : perdarahan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan cairan di paru (overload)
b) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asupan makanan tinggi natrium (retensi natrium).
c) Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi :penyakit dan kebutuhan untuk diálisis.
d) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan GI (uremia), pembatasan diet, hilangya
e) Risiko tinggi untuk cedera: yang berhubungan dengan akses vaskular dan komplikasi sekunder terhadap penusukan dan
f) Risiko tinggi kekurangan volume cairan: yang berhubungan dengan kehilangan darah atau heparinisasi yang tidak tepat
selama dialysis
g) Risko tinggi transmisi infeksi yang berhubungan dengan kontak sering dengan darah dan individu dengan risiko tinggi
hepatitis B.
i) PK: Uremia
C. RENCANA/INTERVENSI