Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

a) Latar belakang
Sarana pelayanan kesehatan merupakan tempat yang dikategorikan tidak
aman, sekitar 10 % pasien yang dirawat di sarana kesehatan di negara maju dan
lebih dari 10 % di negara berkembang mengalami kejadian tidak diharapkan.
Cedera mungkin saja dialami oleh pasien atau pengunjung sarana
pelayanan kesehatan baik akibat kondisi sarana, prasarana, dan peralatan yang
ada, maupun akibat pelayanan yang diberikan.Cedera atau kejadian yang tidak
diharapkan terjadi bukan karena kesengajaan, tetapi karena rumitnya pelayanan
kesehatan.Banyak faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya cedera atau
kejadian tidak diharapkan, seperti tidak tersedianya sumber daya manusia yang
kompeten, kondisi fasilitas, maupun ketersediaan obat dan peralatan kesehatan
yang tidak memenuhi standar. Yang dimaksud dengan “keselamatan pasien”
pada pedoman ini adalah upaya yang dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat
primer agar asuhan pasien lebih aman, tertibnya pelaporan dan analisis insiden,
implementasi solusi untuk meminimalisir timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cidera, tidak hanya terkait dengan pelayanan klinis tapi juga terkait
dengan upaya kesehatan masyarakat. Upaya keselamatan pasien dilakukan
dengan memperbaiki tata kelola risiko terkait dengan pencapaian kinerja dan
menganalisis risiko-risiko yang mungkin terjadi pada saat proses pelayanan, baik
pelayanan Administrasi dan Manajemen, UKM maupun UKP.
Pasien, pengunjung, dan masyarakat dapat mengalami cedera atau
kejadian tidak diharapkan terkait dengan infeksi, kesalahan pemberian obat,
pembedahan yang tidak aman, alih pasien yang tidak dilakukan dengan tepat,
kesalahan identifikasi, kondisi fasilitas pelayanan yang tidak aman, maupun
akibat penyelenggaraan kegiatan pada upaya kesehatan masyarakat yang tidak
memperhatikan aspek keselamatan.
Risiko-risiko yang mungkin terjadi dalam pelayanan kesehatan perlu
diidentifikasi dan dikelola dengan baik untuk mengupayakan keselamatan
pasien, pengunjung, dan masyarakat yang dilayani. Standar akreditasi Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama, baik untuk puskesmas, klinik pratama, maupun
tempat praktik dokter/dokter gigi mensyaratkan diterapkan manajemen risiko
sebagai upaya untuk meminimalkan risiko bagi pasien, sasaran kegiatan upaya
kesehatan masyarakat, dan lingkungan, yang terkait dengan pelayanan yang
disediakan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama dan menjamin keselamatan
pasien.
Terkait dengan hal tersebut maka Kementerian Kesehatan telah
menerbitkan Permenkes tentang Keselamatan Pasien yang dituangkan dalam
Permenkes nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien, dan untuk
mengimplementasikan Permenkes tersebut maka perlu disusun Pedoman
Pelaksanaan Keselamatan Pasien di puskesmas sidamulya. Pedoman ini
disusun dengan tujuan menyediakan pedoman bagi puskesmas sidamulya
dalam mengupayakan keselamatan pasien, pengunjung dan masyarakat melalui
penerapan manajemen risiko dalam seluruh aspek pelayanan yang disediakan
oleh fasilitas kesehatan tersebut.

b) Tujuan pedoman
Menjadi acuan dalam upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien melalui
penerapan manajemen risiko dalam seluruh aspek pelayanan yang disediakan
oleh puskesmas
c) Sasaran pedoman
Sasaran dari pedoman ini adalah semua petugas kesehatan yang ada dalam
instansi puskesmas sidamulya yaitu Petugas pendaftaran, Petugas sanitasi,
petugas farmasi, petugas labolatorium.petugas keamanan, petugas kebersihan
d) Ruang lingkup pedoman

1) Keselamatan pasien adalah upaya yang dirancang untuk mencegah


terjadinya outcome yang tidak diharapkan sebagai akibat tindkan yang
tidak aman atau kondisi laten di sarana pelayanan kesehatan.

2) Manajemen risiko adalah metode penangan sisetematis formal dimana


dikonsetrasikan pada mengindentifikasikan dan pengontrolan peristiwa
atau kejadian yang memiliki kemungkinan perubahan yang tidak
diinginkan.
3) Risiko adalah hal yang tidak akan pernah dapat dihindari pada suatu
kegiatan/aktifitas yang dilakukan oleh manusia ( probalitas insiden ).

4) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) adalah cedera yang diakibatkan oleh


tatakelola klinis bukan karena latar belakang kondisi pasien.

5) Kejadian Tidak Cedear (KTC) adalah terjadi penanganan klinis yang tidak
sesuai pada pasien, tetapi tidak terjadi cedera.

6) Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah kejadian atau situasi yang


sebenarnya dapat menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi karena
secara kebetulan diketahui atau upaya pencegahan segera dilakukan.

7) Kondisi berpotensi cedera (KPC) suatu keadaan yang mempunyai


potensi menimbulkan
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

a) Kualifikasi sumber daya manusia


Kualifikasi sumber daya manajemen resiko adalah :
Ketua : Rega Nurdiansyah S.Farm,.Apt
Anggota : 1. Yayah juriyah A.md Keb
2. uci sanusi S.Kep.,Ners
3. wiwid widiyaningsih A.md Keb
4. Muhammad Ibrahim A.md Kep
5. nunung nurasih A.md KG

b) Distribusi ketenagaan

Unit pelayanan Jumlah


Pendaftaran 3 ORANG
Rekam medic 3 ORANG
Ruang BP 3 ORANG
Ruang KIA DAN KB 3 ORANG
Ruang MTBS 2 ORANG
LABORATORIUM 1 ORANG
RUANG TINDAKAN 1 ORANG
RUANG GIGI 1 ORANG
KUSTA DAN TBC 2 ORANG
Ruang farmasi 3 ORANG

c) Jadwal kegiatan

Unit pelayanan Jumlah JADWAL KEGIATAN


Pendaftaran 3 ORANG Setiap hari kerja
Rekam medic 3 ORANG Setiap hari kerja
RUANG BP 3 ORANG Setiap hari kerja
RUANG KIA DAN KB 3 ORANG Setiap hari kerja
RUANG MTBS 2 ORANG Setiap hari kerja
LABORATORIUM 1 ORANG Setiap hari kerja
RUANG TINDAKAN 1 ORANG Setiap hari kerja
RUANG GIGI 1 ORANG Setiap hari kerja
KUSTA DAN TBC 2 ORANG Setiap hari kerja
RUANG FARMASI 3 ORANG Setiap hari kerja
BAB III

STANDAR FASILITAS

a) Denah Ruang
b) Standar fasilitas
Standar keselamatan pasien meliputi:
1. Hak pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya
insiden
Kriterianya:
a). Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b). Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana
pelayanan
c). Dokter penanggung jawab pelayanan wajjib memeberikan penjelasan
secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana
dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk
kemungkinan terjadinya insiden.
2. Pendidikan bagi pasien dan keluarga
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mendidik pasien dan keluarganya
tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien
Kriteria:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan
keterlibatan pasien yang merupakan patner dalam proses pelayanan. Karena
itu, di fasilitas pelayanan kesehatan harus ada sistem dan mekanisme
mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab
pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien
dan keluarga dapat:
a). Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur
b). Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga
c). Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti
d). Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
e). mematuhi intruksi dan menghormati peraturan fasilitas pelayanan
kesehatan
f). Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
g). Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati

3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan


Fasilitas pelayanan kesehatan menjamin keselamatan pasien dalam
kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar
unit pelayanan.
Kriteria:
a). Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat
pasien masuk, pemeriksaan, diagnosa, perencanaan pelayanan,
tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari fasilitas
pelayanan kesehatan
b). Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan
sehungga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan
dapat berjalan baik dan lancar
c). Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan
komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan
keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan
kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya
d). Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman
dan efektif
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
peningkatan keselamatan pasien
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mendesain proses baru atau
memeperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja
melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan
melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien
Kriteria :
a). Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan proses
perancangan (desain) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan
fasilitas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang
sehat, dan faktor-faaktor lain yaang berpotensi risiko bagi pasien sesuai
tujuh langkah menuju keselamatan pasien
b). Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan pengumpulan
data kinerja yang antara lain terkait dengan: pelaporan insiden,
akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
c). Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan evaluasi intensif
terkait dengan semua insiden, dan secara proaktif melakukan evaluasi
satu proses kasus risiko tinggi
d). Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus mengguanakan semua
data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem
yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keseamatan pasien
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien“.
2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi
risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar
unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien.
4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji, dan meningkatkan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan serta
meningkatkan keselamatan pasien.
5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan dan keselamatan
pasien.
Kriteria:
 Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan
pasien.
 Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden. Insiden meliputi Kondisi Potensial
Cedera (KPC), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera
(KTC), Kejadian Tidak Diharapkan (KTD). Selain Insiden diatas,
terdapat KTD yang mengakibatkan kematian, cedera permanen, atau
cedera berat yang temporer dan membutuhkan intervensi untuk
mempetahankan kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak
kejadian sentinel.Contoh Kejadian sentinel antara lain Tindakan
invasif/pembedahan pada pasien yang salah, Tindakan invasif/
pembedahan pada bagian tubuh yang keliru, Ketinggalan
instrumen/alat/ benda-benda lain di dalam tubuh pasien sesudah
tindakan pembedahan, Bunuh diri pada pasien rawat inap, Embolisme
gas intravaskuler yang mengakibatkan kematian/kerusakan neurologis,
Reaksi Haemolitis transfusi darah akibat inkompatibilitas ABO,
Kematian ibu melahirkan, Kematian bayi “Full-Term” yang tidak di
antipasi, Penculikan bayi, Bayi tertukar, Perkosaan /tindakan
kekerasan terhadap pasien, staf, maupun pengunjung. Selain contoh
kejadian sentinel diatas terdapat kejadian sentinel yang berdampak
luas/nasional diantaranya berupa Kejadian yang sudah terlanjur di “
blow up” oleh media, Kejadian yang menyangkut pejabat, selebriti dan
publik figure lainnya, Kejadian yang melibatkan berbagai institusi
maupun fasilitas pelayanan kesehatan lain, Kejadian yang sama yang
timbul di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan dalam kurun waktu
yang relatif bersamaan, Kejadian yang menyangkut moral, misalnya :
perkosaan atau tindakan kekerasaan
 Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen
dari fasilitas pelayanan kesehatan terintegrasi dan berpartisipasi dalam
program keselamatan pasien
 Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang
lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan
analisis
 Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan
dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas
tentang Analisis Akar Masalah “Kejadian Nyaris Cedera” (KNC/Near
miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien
mulai dilaksanakan
 Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden,
misalnya menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau
kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk
mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”
 Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit
dan antar pengelola pelayanan di dalam fasilitas pelayanan kesehatan
dengan pendekatan antar disiplin.
 Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam
kegiatan perbaikan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan dan
perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap
kecukupan sumber daya tersebut
 Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan
kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja
fasilitas pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien, termasuk
rencana tindak lanjut dan implementasinya
6. Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien
1. Fasilitas pelayanan kesehatan terutama rumah sakit memiliki proses
pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup
keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas
2. Fasilitas pelayanan kesehatan terutama rumah sakit menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan
memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisipliner
dalam pelayanan pasien.
Kriteria:
 Setiap fasilitas pelayanan kesehatan terutama rumah sakit harus
memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru
yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya
masing-masing.
 Setiap fasilitas pelayanan kesehatan terutama rumah sakit harus
mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan
inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan
insiden.
 Setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus menyelenggarakan
pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung
pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam rangka melayani
pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
1. Fasilitas pelayanan kesehatan merencanakan dan mendesain proses
manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan
informasi internal dan eksternal.
2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria:
 Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain
proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang
halhal terkait dengan keselamatan pasien
 Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi
untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
BAB IV

TATA LAKSANA PELAYANAN

1. Lingkup kegiatan
a. Upaya Keselamatan Pasien di puskesmas sidamulya
upaya upaya keselamatan pasien yang perlu dilakukan antara lain adalah
mengupayakan tercapainya sasaran keselamatan pasien, penanganan dan
tindak lanjut jika terjadi insiden keselamatan pasiem, penerapan manajemen
risiko kinis dalam pelayanan pasien, meningkatkan mutu dan keselamatan
pasien dalam pelayanan obat, pelayanan laboratorium dan pelayanan
penunjang yang lain, serta pengendalian infeksi dalam pelayanan
klinis.Sasaran keselamatan pasien Terdapat enam sasaran keselamatan
pasien yang perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan keselamatan
pasien, yaitu :
a. Tidak terjadinya salah identifkasi pasien.
b. Komunikasi efektif dalam pelayanan
c. Tidak terjadinya kesalahan pemberian obat.
d. Tidak terjadinya kesalahan prosedur tindakan.
e. Pengurangan terjadinya risiko infeksi dalam pelayanan klinis.
f. Tidak terjadinya pasien jatuh.
b. Manajemen Risiko
Manajemen resiko adalah upaya menanggulangi semua resiko yang
mungkin terjadi di sebuah instansi, diperlukan sebuah proses yang
dinamakan sebagai manajemen resiko. Manajemen resiko merupakan
metode penanganan sistematis formal dimana dikonsentrasikan pada
mengidentifikasikan dan pengontrolan peristiwa atau kejadian yang memiliki
kemungkinan perubahan yang tidak diinginkan. Resiko adalah hal yang tidak
akan pernah dapat dihindari pada suatu kegiatan/aktifitas yang dilakukan
manusia. Di puskesmas Tekarang terdapat tiga kegiatan manajemen resiko
yang menjadi acuan sebagai dasar pencegahan terhadap resiko yang
mungkin terjadi, yaitu :
1) Manajemen resiko lingkungan
Manajemen risiko lingkungan di Puskesmas adalah penerapan
manajemen risiko untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh
aktifitas atau kegiatan di Puskesmas pada kesehatan pasien, petugas
maupun pada lingkungan.
2) Manajemen resiko klinis
Manajemen risiko layanan klinis adalah suatu pendekatan untuk
mengenal keadaan yang menempatkan pasien pada suatu risiko dan
tindakan untuk mencegah terjadinya risiko tersebut.Manajemen risiko
layanan klinis di Puskesmas dilaksanakan untuk meminimalkan risiko
akibat adanya layanan klinis oleh tenaga kesehatan di Puskesmas
yang dapat berdampak pada pasien maupun petugas.Tujuan utama
penerapan manajemen risiko layanan klinis di Puskesmas adalah
untuk keselamatan pasien dan petugas.Penyusunan panduan
manajemen risiko layanan klinis bertujuan untuk memberikan panduan
bagi petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan
yang paling aman untuk pelanggan Puskesmas.
3) Manajemen resiko pelaksanaan program
Manajemen risiko pada pelaksanaan program Puskesmas
merupakan upaya untuk mengidentifikasi, menganalisa dan
meminimalkan dampak atau risiko atas pelaksanaan program
Puskesmas.
2. Metode
- Identifikasi resiko
- Analisis risiko (Risk Assessment) dengan metode FMEA(Failure Mode and
Effect Analysis)
- Evaluasi risiko dengan metode Analisis Akar Masalah (RCA/Root Cause
Analysis)

3. Langkah kegiatan
1. Manajemen resiko lingkungan
Manajemen risiko lingkungan di Puskesmas Sidamulya diterapkan pada
seluruh kegiatan yang menimbulkan dampak risiko terhadap lingkungan yaitu:
1. Kegiatan pelayanan klinis di Puskesmas
2. Kegiatan pelayanan kesehatan di Pusling dan Posyandu
3. Kegiatan pasien/pengujung Puskesmas
4. Kegiatan karyawan/ staf Puskesmas
Kegiatan penerapan manajemen risiko lingkungan:
a. Penilaian persyaratan bangunan, sarana dan prasarana Puskesmas
- Bangunan Puskesmas terdiri dari bangunan dengan konstruksi
kuat, atap tidak bocor, lantai tidak licin, permukaan dinding kuat
dan rata serta menggunakan bahan bangunan yang tidak
membahayakan
- Lingkungan Puskesmas tidak panas, ventilasi cukup,
pencahayaan cukup, seluruh ruangan tidak lembab dan tidak
berdebu.
- Terdapat fasilitas pemadam kebakaran dan petunjuk jalur
evakuasi dan pintu darurat jika terjadi kecelakaan
- Rasio kecukupan toilet karyawan mengikuti indeks perbandingan
jumlah karyawan dengan toilet yaitu 1:20 artinya setiap
penambahan 20 karyawan harus ditambah I toilet dan 1 kamar
mandi.
- Tata ruang
1. Zona ruang dengan
a) Risiko rendah : meliputi ruang administrasi TU, Ruang
Kepala Puskesmas, Ruang pertemuan, ruang
penyimpanan rekam medis bersatu dengan loket (unit
pendaftaran), ruang penyimpanan obat, ruang
Akreditasi dan Musholla
b) Risiko sedang: meliputi ruang rawat jalan (selain ruang
P2)
c) Risiko tinggi: meliputi Ruang P2, Laboratorium, UGD
dan tempat penampungan limbah/sampah medis o
Penataan ruangan memperhatikan zona risiko
penularan

b. Identifikasi risiko kondisi lingkungan

Setiap unit kerja melakukan identifikasi risiko kondisi lingkungan


antara lain:

1. Sarana
a) Kerusakan bangunan atau sarana prasarana
b) Fasilitas sanitasi seperti wastafel buntu, air tidak lancar,
sampah medis tidak tersedia, toilet rusak, dll
2. Kondisi pencahayaan, penghawaan, kelembaban, kebisingan
peralatan, dsb
3. Kebersihan ruangan dan fasilitas
4. Limbah, misalnya sarana pembuangan limbah yang penuh,
paparan limbah pada lingkungan dll.
c. Tatalaksana penerapan manajemen risiko lingkungan
1. Toilet dan Kamar Mandi,
 Tersedia dalam keadaan bersih
 Lantai kedap air dan mudah dibersihkan
 Tidak terdapat perindukan nyamuk
2. Pembuangan sampah,
 Tersedia fasilitas tempat sampah organik dan non organik
di setiap ruangan
 Tempat sampah tertutup
 Sampah/ limbah non medis padat ditampung dalam
kantong warna hitam. Sampah medis ditampung dalam
kantong warna kuning.
 Sampah setiap hari dibuang di tempat penampungan
sampah sementara
3. Penyediaan air minum dan air bersih,
 Tersedia air bersih
 Tersedia air minum untuk karyawan sesuai kebutuhan
4. Hygiene dan sanitasi makanan
 Kebersihan peralatan makan di Puskesmas
5. Pengolahan limbah
 Limbah cair ditampung dalam SPAL Puskesmas
6. Pengolahan limbah medis
 Limbah medis tajam ditampung dalam safety box
 Limbah medis padat ditampung dalam tempat sampah
medis dengan kantong warna kuning
 Limbah medis padat selanjutnya ditampung pada
penampungan sementara untuk dikirim ke tepat
pemusnahan
7. Pengelolaan linen
 Dilakukan pemisahan linen yang infeksius dan non
infeksius
 Linen / kain yang terkontaminasi dilakukan proses
desinfeksi
 Linen / kain secara berkala dikumpulkan dan dikirim ke
tempat pencucian
8. Pengendalian serangga dan binatang pengganggu
 Dilakukan pengamatan terhadap serangga nyamuk,
kecoa dan tikus
 Kebersihan ruangan dijaga untuk mencegah binatang
pengganggu
 Dilakukan pemberantasan jika terdapat binatang
pengganggu

9. Dekontaminasi dan sterilisasi


 Seluruh peralatan yang terkontaminasi dilakukan proses
dekontaminasi dan sterilisasi
 Proses dekontaminasi dilaksanakan segera setelah
proses pelayanan, sterilisasi dilakukan di ruang sterilisasi
10. Promosi hygiene dan sanitasi
 Tersedia promosi untuk menjaga kebersihan ruangan,
membuang sampah, kebersihan kamar mandi dan cara
mencuci tangan, etika batuk.
c. Pemantauan penerapan manajemen risiko lingkungan
Pemantauan penerapan manajemen risiko lingkungan dilaksanakan oleh
petugas sanitasi

2 .MANAJEMEN RESIKO PELAYANAN KLINIS

Proses penerapan manajemen risiko layanan klinis meliputi kegiatan:

1. Identifikasi risiko
Masing-masing unit pelayanan dan jaringan Puskesmas menyusun
daftar risiko yang berpotensi membahayakan pasien dan petugas yang
bisa didapatkan dari:
o Hasil temuan pada audit internal Keluhan pasien/pelanggan
Puskesmas
o Adanya insiden atau kejadian berbahaya yang pernah terjadi di
unit pelayanan tersebut
daftar risiko pada layanan klinis di Puskesmas:
Unit Layanan Risiko
Loket Pendaftaran dan Rekam - Kesalahan pemberian identitas
Medis rekam medis
- Kesalahan pengambilan rekam
medis
Ruang umum, Ruang KIA dan kb, -Kesalahan diagnosis
- Kesalahan identifikasi
Ruang MTBS dan UGD
pasien/salah orang
- Kesalahan pemberian terapi
- Kesalahan pemberian resep
- Kesalahan tindakan yang
menimbulkan perlukaan
- Monitoring pengobatan atau
tindakan yang kurang baik
- Insiden tertusuk jarum bekas
pakai
- Limbah medis berceceran
- Paparan dengan luka terbuka
atau cairan tubuh pasien
- Tidak menggunakan Alat
Pelindung Diri
- Menggunakan peralatan tidak
steril
Laboratorium -Kegagalan pengambilan sampel
sehingga menimbulkan perlukaan
- Kesalahan pengambilan sampel
- Kesalahan pemberian label
sampel laboratorium
- Kesalahan penulisan hasil
pemeriksaan laboratorium
- Hasil pemeriksaan hilang
- Sampel rusak atau hilang
Farmasi -Kesalahan membaca resep
- Kesalahan pemberian obat
- Kesalahan dosis/formula obat
- Kesalahan edukasi cara
minum/pemakaian obat
- Kesalahan identifikasi pasien
- Pemberian obat kadaluwarsa
- Kesalahan penulisan label
-Pemberian obat rusak
- Kesalahan pengambilan obat

Daftar risiko yang telah teridentifikasi, dicatat dalam formulir identifikasi


manajemen risiko Puskesmas dan dilaporkan kepada Tim Mutu Puskesmas.

2. Analisis risiko (Risk Assessment)


Daftar risiko yang telah diidentifikasi kemudian dilakukan analisis
oleh Tim Mutu. Analisis risiko dilakukan dengan cara menilai tingkat
kegawatan dari risiko (severity assessment) dan dengan metode FMEA
(Failure Mode and Effect Analysis) seperti dalam Formulir terlampir
3. Evaluasi risiko Evaluasi
risiko dilakukan pada kasus yang terpilih berdasarkan kegawatan
risiko.Evaluasi dilakukan dengan mencari penyebab masalah
menggunakan Analisis Akar Masalah (RCA/Root Cause Analysis)
kemudian ditentukan apakah memerlukan tindakan perbaikan
(treatment) ataukah tidak.
4. Tindakan atau perbaikan
Jika diperlukan tindakan perbaikan maka Tim Mutu
merekomendasikan rencana tindakan perbaikan dan monitoring terhadap
tindakan perbaikan.Setiap tindakan perbaikan dikonsultasikan kepada
Kepala Puskesmas dan dikomunikasikan kepada petugas Puskesmas
lainnya.

BAB V LOGISTIK

Yang termasuk dalam kebutuhan logistic pedoman ini adalah:

- Masker
- Alat pelindung diri (APD)
- Hand rill
-
BAB VI

KESELAMATAN SASARAN KEGIATAN/PROGRAM

Tujuan Sasaran Keselamatan Pasien adalah untuk menggiatkan perbaikan-


perbaikan tertentu dalam soal keselamatan pasien. Sasaran sasaran dalam Sasaran
Keselamatan Pasien menyoroti bidang-bidang yang bermasalah dalam perawatan
kesehatan, memberikan bukti dan solusi hasil konsensus yang berdasarkan nasihat
para pakar. Dengan mempertimbangkan bahwa untuk menyediakan perawatan
kesehatan yang aman dan berkualitas tinggi diperlukan desain sistem yang baik,
sasaran biasanya sedapat mungkin berfokus pada solusi yang berlaku untuk
keseluruhan sistem.

untuk seluruh Fasilitas pelayanan Kesehatan,diberlakukan Sasaran Keselamatan


Pasien yang terdiri dari :

1 Mengidentifikasi Pasien Dengan Benar

Fasilitas pelayanan Kesehatan menyusun pendekatan untuk


memperbaiki ketepatan identifikasi pasien. Kesalahan karena keliru-pasien
sebenarnya terjadi di semua aspek diagnosis dan pengobatan. Keadaan yang
dapat mengarahkan terjadinya error/kesalahan dalam mengidentifikasi pasien,
adalah pasien yang dalam keadaan terbius / tersedasi, mengalami
disorientasi, atau tidak sadar sepenuhnya; mungkin bertukar tempat tidur,
kamar, lokasi di dalamfasilitas pelayanan kesehatan; mungkin mengalami
disabilitas sensori; atau akibat situasi lain.Tujuan ganda dari sasaran ini
adalah : pertama, untuk dengan cara yang dapat dipercaya/reliable
mengidentifikasi pasien sebagai individu yang dimaksudkan untuk
mendapatkan pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk mencocokkan
pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau
prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses
identifikasi, khususnya proses yang digunakan untuk mengidentifikasi pasien
ketika pemberian obat, darah atau produk darah; pengambilan darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau memberikan pengobatan atau
tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara
untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, dengan dua
nama pasien, nomor identifikasi menggunakan nomor rekam medis, tanggal
lahir, gelang (-identitas pasien) dengan bar-code, atau cara lain. Nomor kamar
atau lokasi pasien tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau
prosedur juga menjelaskan penggunaan dua pengidentifikasi/penanda yang
berbeda pada lokasi yang berbeda di fasilitas pelayanan kesehatan, seperti di
pelayanan ambulatori atau pelayanan rawat jalan yang lain, unit gawat
darurat, atau kamar operasi. Identifikasi terhadap pasien koma yang tanpa
identitas, juga termasuk. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur untuk memastikan telah
mengatur semua situasi yang memungkinkan untuk diidentifikasi.

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN:

a) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh


menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.
b) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk
darah.
c) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain
untuk pemeriksaan klinis Pasien diidentifikasi sebelum pemberian
pengobatan dan tindakan / prosedur.
d) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi

2. Meningkatkan Komunikasi Yang Efektif

Fasilitas pelayanan kesehatan menyusun pendekatan agar komunikasi di


antara para petugas pemberi perawatan semakin efektif. Komunikasi efektif,
yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh
resipien/penerima, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan
peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan,
atau tertulis. Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah
perintah diberikan secara lisan dan yang diberikan melalui telpon, bila
diperbolehkan peraturan perundangan. Komunikasi lain yang mudah terjadi
kesalahan adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti
laboratorium klinis menelpon unit pelayanan pasien untuk melaporkan hasil
pemeriksaan segera /cito. Fasilitas pelayanan kesehatan secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan
melalui telepon termasuk: menuliskan (atau memasukkan ke komputer)
perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima informasi;
penerima membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan;
dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibacakan ulang
dengan akurat.untuk obat-obat yang termasuk obat NORUM/LASA dilakukan
eja ulang. Kebijakan dan/atau prosedur mengidentifikasi alternatif yang
diperbolehkan bila proses pembacaan kembali (read back) tidak
memungkinkan seperti di kamar operasi dan dalam situasi gawat
darurat/emergensi di IGD atau ICU.

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN:

a. Perintah lisan dan yang melalui telepon ataupun hasil pemeriksaan


dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah atau hasil
pemeriksaan tersebut
b. Perintah lisan dan melalui telpon atau hasil pemeriksaan secara
lengkap dibacakan kembali oleh penerima perintah atau hasil
pemeriksaan tersebut
c. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh individu yang
memberi perintah atau hasil pemeriksaan tersebut
d. Kebijakan dan prosedur mendukung praktek yang konsisten dalam
melakukan verifikasi terhadap akurasi dari komunikasi lisan melalui
telepon.

3 Meningkatkan Keamanan Obat-obatan Yang Harus Diwaspadai

Fasilitas pelayanan kesehatan mengembangkan pendekatan untuk


memperbaiki keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai.

Bila obat-obatan adalah bagian dari rencana pengobatan pasien, maka


penerapan manajemen yang benar penting/krusial untuk memastikan keselamatan
pasien. Obat-obtan yang perlu diwaspadai (high alert medications) adalah obat yang
prsesntasinya tinggi dalam menyebabkan terjadinya kesalahan/eror dan/atau kejadian
sentinel (sentinel event) obat yang beresiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak
diinginkan (adverse outcome) demikian pula obat-obat yang tampak mirip/ucapan mirip
(Nama obat, rupa dan ucapan mirip/NORUM, look-Alike sound-Alike/ LASA). Daftar
obat-obatan yang sangat perlu diwaspadai tersedia d WHO. Yang sering disebut-sebut
dalam isu keamanan obat adalah pemberian elektrolit konsetrat yang secara tidak
sengaja (misal kalium/postasium klorida(sama dengan 2 mEq/ml atau yang lebih
pekat)), kalium/postasium fosfat((sama dengan atau lebih besar dari mol 3 mmol/ml)),
natrium/sodium klorida (( lebih pekat dari 0.9%)), dan magnesium sulfat ( sama dengan
50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila staff tidak mendapatkan orientasi
dengan baik di unit asuhan pasien, bila perawat kontak tidak diorientasikan
sebagaimana mestinya terhadap unit asuhan pasien, atau pada kaeadan gawat
darurat/emergensi. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi
kejadian tersebut adalah dengan mengembangkan proses pengelolaan obat-obatan
yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit kosentrat dari unit pelayanan
pasien ke farmasi. Fasilitas pelayanan kesehatan secara kolaboratif menegmbangkan
suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk menyusun daftar obat-obat yang perlu
diwaspadai berdasarkan datanya sendiri. Kebijakan dan/atau prosedur juga
mengindentifikasi area mana yang membutuhkan elektrolit konsentrat secara klinis
sebagaimana penyimpanannya di area tersebut sedemikian rupa, sehingga membatasi
akses untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati.

Kegiatan yang dilaksanakan:

1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat


prosese identifikasi,lokasi, pemberian label, dan penyimpanan
obat-obat yang perlu diwaspadai.
2. Kebijakan dan prosedur diimplementasikan.
3. Elektrolit konsetrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali
jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk
mencegah pemberian yang tidak sengaja diarea tersebut, bila
diperkenankan kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan diunit pelayanan pasien harus
diberi label yang jelas, dan dsimpan pada area yang dibatasi
ketat (restricted)

4 Memastikan Lokasi Pembedahan Yang Benar, Prosedur Yang Benar,


Pembedahan Pada PasienYang Benar

Fasilitas pelayanan kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk


memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi.

Salah lokasi, salah prosedur, salah pasien operasi adalah kejadian yang
mengkhawatirkan dan biasa terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan.
Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak
adekuat antara tim anggota bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam
penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk memverifikasi
lokasi operasi. Di samping itu juga asesmen pasien yang tidak adekuat,
penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak
mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang
berhubungan dengan resep yang tidak bisa dibaca (illegible handwriting) dan
pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering
terjadi. Fasilitas pelayanan kesehatan perlu untuk secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan atau/dan prosedur yang menginvestigasi
dan/atau mengobati penyakit dan kelainan / disorder pada tubuh manusia
dengan cara menyayat, membuang, mengubah, atau menyisipkan
kesempatan diagnostik/terapeutik. Kebijakan berlaku atas setiap lokasi di
fasilitas pelayanan kesehatan dimana prosedur ini dijalankan. Praktek
berbasis bukti, seperti yang diuraikan dalam Surgical Safety Checklist dari
WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal
Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi melibatkan pasien dan dilakukan dengan tanda
yang segera dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan; dan harus dibuat oleh orang yang akan
melakukan tindakan; harus dibuat saat pasien terjaga dan sadar; jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai pasien disiapkan dan diselimuti.
Lokasi operasi ditandai pada semua kasus termasuk sisi (laterality), struktur
multipel (jari tangan, jari kaki, lesi), atau multiple level (tulang belakang).
Maksud dari proses verifikasi praoperatif adalah untuk :

 memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;


 memastikan bahwa semua dokumen, foto (images), dan hasil pemeriksaan
yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang;
 Memverifikasi keberadaan peralatan khusus dan/atau implant-implant yang
dibutuhkan. Tahap “Sebelum insisi”/Time out memungkinkan setiap
pertanyaan yang belum terjawab atau kesimpang-siuran dibereskan. Time
out dilakukan di tempat tindakan akan dilakukan, tepat sebelum dilakukan
tindakan.

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN:

Fasilitas pelayanan kesehatan menggunakan suatu tanda yang jelas dan


dapat dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di
dalam proses penandaan/pemberi tanda.

a) Fasilitas pelayanan kesehatan menggunakan suatu checklist atau proses


lain untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan
tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan
tersedia, tepat, dan fungsional.
b) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum
insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan
pembedahan.
c) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung keseragaman
proses untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien,
termasuk prosedur medis dan tindakan pengobatan gigi/dental yang
dilaksanakan di luar kamar operasi

5 Mengurangi Risiko Infeksi Akibat Perawatan Kesehatan


Fasilitas pelayanan Kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Pencegahan dan
pengendalian infeksi merupakan tantangan praktisi dalam kebanyakan tatanan
pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar
bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi umumnya
dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran
kemih-terkait kateter, infeksi aliran darah (blood stream infections) dan
pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pokok dari
eliminasi infeksi ini maupun infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene)
yang tepat. Pedoman hand hygiene yang berlaku secara internasional bisa
diperoleh dari WHO, fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai proses
kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang
menyesuaikan atau mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara
umum untuk implementasi pedoman itu di Fasilitas pelayanan Kesehatan.

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN:

a) Fasilitas pelayanan Kesehatan mengadopsi atau mengadaptasi pedoman


hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum
(al.dari WHO Patient Safety)
b) Fasilitas pelayanan Kesehatan menerapkan program hand hygiene yang
efektif.
c) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan risiko infeksi yang terkait pelayanan
kesehatan

6 Mengurangi Risiko Cedera Pasien Akibat Terjatuh

Fasilitas pelayanan kesehatan mengembangkan suatu pendekatan untuk


mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh. Jumlah kasus jatuh
menjadi bagian yang bermakna penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam
konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan
fasilitasnya, fasilitas pelayanan kesehatan perlu mengevaluasi risiko pasien
jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai
jatuh. Evaluasi bisa meliputi riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap obat dan
konsumsi alkohol, penelitian terhadap gaya/cara jalan dan keseimbangan,
serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program ini memonitor
baik konsekuensi yang dimaksudkan atau yang tidak sengaja terhadap
langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi jatuh. Misalnya
penggunaan yang tidak benar dari alat penghalang atau pembatasan asupan
cairan bisa menyebabkan cedera, sirkulasi yang terganggu, atau integrasi kulit
yang menurun. Program tersebut harus diterapkan di fasilitas pelayanan
kesehatan.

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN :

a). Fasilitas pelayanan kesehatan menerapkan proses asesmen awal risiko


pasien jatuh dan melakukan asesmen ulang terhadap pasien bila
diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan.

b). Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka


yang pada hasil asesmen dianggap berisiko

BAB VII

KESELAMATAN KERJA

Untuk melindungi keselamatan dan kesehatan SDM di Fasyankes, pasien,


pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan Fasyankes,
Fasyankes wajib membentuk dan mengembangkan SMK3 di Fasyankes dan
menerapkan Standar K3 di Fasyankes.

A. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan

1. Penetapan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Dalam pelaksanaan K3 di Fasyankes harus ada komitmen dari
pimpinan tertinggi Fasyankes yang dituangkan dalam kebijakan tertulis dan
ditandatangani oleh pimpinan tersebut. Kebijakan tersebut dapat terintegrasi
dalam kebijakan Fasyankes keseluruhan. Komitmen dan kebijakan tertulis
tentang K3 di Fasyankes harus diketahui oleh semua SDM Fasyankes dan
terbaca oleh pengunjung serta diletakan di tempat strategis yang bisa dilihat
semua orang.

Komitmen Fasyankes dalam melaksanakan K3 di Fasyankes diwujudkan


dalam bentuk:

a. Penetapan Kebijakan dan Tujuan Program K3 di Fasyankes Secara Tertulis


Kebijakan dan tujuan Program K3 di Fasyankes ditetapkan oleh pimpinan
tertinggi Fasyankes dan dituangkan secara resmi dan tertulis. Kebijakan
tersebut harus mudah dan mengerti serta diketahui oleh seluruh manajemen
Fasyankes (pimpinan dan SDM Fasyankes), pasien, pendamping pasien,
pengunjung, masyarakat di sekitar lingkungan Fasyankes, serta pihak lain
sesuai dengan tata cara yang tepat. Selain itu semua pihak di Fasyankes
bertanggung jawab mendukung dan menerapkan kebijakan pelaksanaan K3 di
Fasyankes tersebut, serta prosedur-prosedur yang berlaku di Fasyankes
selama berada di lingkungan Fasyankes. Kebijakan K3 di Fasyankes harus
disosialisasikan dengan berbagai upaya baik pada saat rapat pimpinan, rapat
koordinasi, dan rapat lainnya, maupun melalui spanduk, banner, poster,
audiovisual, dan lain-lain. Bagi Fasyankes berupa praktik mandiri tenaga
kesehatan, sosialisasi kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dapat
dilakukan dengan media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) seperti
banner, poster ataupun leaflet.
b. Pengorganisasian Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Untuk terselenggaranya K3 di Fasyankes secara optimal, efektif,
efisien, dan berkesinambungan, Fasyankes dapat membentuk Tim K3 di
Fasyankes atau menunjuk satu orang sebagai pengelola K3 di Fasyankes
tersebut. Dalam hal Fasyankes berupa praktik mandiri tenaga kesehatan yang
hanya terdapat 1 (satu) sumber daya manusia, maka yang bersangkutan
adalah pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan K3 di
Fasyankes. Tim K3 di Fasyankes ditetapkan dengan Surat Keputusan Pimpinan
Fasyankes yang memuat susunan organisasi, uraian tugas, dan tanggung
jawab. Tugas tim K3 di Fasyankes antara lain sebagai berikut:
1) Mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data terkait K3 di
Fasyankes.
2) Menyusun dan memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan
kepada Pimpinan yang berkaitan dengan K3 di Fasyankes
3) Menyusun rencana program K3 di Fasyankes.
4) Merumuskan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, dan standar
prosedur operasional.
5) Melaksanakan program K3 di Fasyankes.
6) Mengadakan pertemuan secara teratur dan hasilnya disampaikan
kepada seluruh SDM Fasyankes
7) Membantu pimpinan Fasyankes dalam menyelenggarakan SMK3 di
Fasyankes, promosi, penelitian sederhana, dan pelatihan terkait K3 di
Fasyankes.
8) Melakukan investigasi dalam setiap kejadian penyakit akibat kerja dan
kecelakaan akibat kerja.
9) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan baru dan
pembangunan gedung, serta pemeliharaannya.
10)Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan K3 di Fasyankes
11) Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan
kegiatan K3 di Fasyankes.

Untuk penanggung jawab K3 di Fasyankes yang bukan dalam


bentuk tim, antara lain memiliki tugas sebagai berikut: 1) Menyusun
rencana program K3 di Fasyankes. 2) Melaksanakan program K3 di
Fasyankes. 3) Mengumpulkan, mengolah, menganalisis data terkait K3 di
Fasyankes, dan menginformasikan kepada seluruh SDM Fasyankes. 4)
Menyusun dan memberikan rekomendasi untuk bahan pertimbangan
kepada pimpinan Fasyankes yang berkaitan dengan K3 di Fasyankes. 5)
Melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan kegiatan
K3 di Fasyankes.
2. Perencanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan

Fasyankes harus membuat perencanaan K3 di Fasyankes yang efektif


agar tercapai keberhasilan penyelenggaraan K3 di Fasyankes dengan sasaran
yang jelas dan terukur. Penyusunan perencanaan K3 di Fasyankes harus
memperhatikan peraturan perundang-undangan, kondisi yang ada, dan
berdasarkan hasil identifikasi risiko yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Perencanaan K3 di Fasyankes ditetapkan oleh pimpinan
Fasyankes dengan mengacu pada kebijakan pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja. Selanjutnya perencanaan K3 di Fasyankes tersebut diterapkan
dalam rangka mengendalikan potensi bahaya dan risiko K3 di Fasyankes.

3. Pelaksanaan Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan

Pelaksanaan rencana K3 di Fasyankes dilaksanakan berdasarkan


rencana yang telah ditetapkan dan merupakan bagian pengendalian risiko K3.
Pelaksanaan K3 di Fasyankes sesuai dengan standar K3 di Fasyankes yang
meliputi:

a. Pengenalan potensi bahaya dan pengendalian risiko K3 di Fasyankes;

b. Penerapan kewaspadaan standar;

c. Penerapan prinsip ergonomi;

d. Pemeriksaan kesehatan berkala;

e. Pemberian imunisasi bagi SDM Fasyankes yang berisiko;

f. Pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat di tempat kerja;

g. Pengelolaan sarana dan prasarana dari aspek keselamatan dan


kesehatan kerja;
h. Pengelolaan peralatan medis dari aspek keselamatan dan kesehatan
kerja;

i. Kesiapsiagaan menghadapi kondisi darurat atau bencana, termasuk


kebakaran (emergency response plan);

j. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun dan limbah bahan


berbahaya dan beracun; dan

k. Pengelolaan limbah domestik.

4. Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan

Kemajuan program K3 di Fasyankes dipantau secara periodik guna dapat


ditingkatkan secara berkesinambungan sesuai dengan risiko yang telah
teridentifikasi dan mengacu kepada rekaman sebelumnya serta pencapaian
sasaran K3 di Fasyankes yang lalu. Pemantauan K3 di Fasyankes antara lain
dapat dilakukan melalui:

a. Inspeksi (melihat, mengenali potensi risiko) tempat kerja secara teratur.

b. Inspeksi yang dilaksanakan oleh Tim K3/pengelola K3 di Fasyankes.

c. Masukan dari petugas yang melakukan tugas di tempat yang diperiksa.

5. Peninjauan dan Peningkatan Kinerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja di


Fasilitas Pelayanan Kesehatan Peninjauan dilakukan setiap tahun terhadap
kinerja K3 di Fasyankes. Peninjauan dilakukan untuk menjamin kesesuaian dan
efektifitas penyelenggaraan K3 di Fasyankes. Peninjauan dilakukan terhadap
kebijakan, perencanaan, pelaksanaan rencana, dan pemantauan dan evaluasi.
Berdasarkan hasil peninjauan, dilakukan perbaikan dan peningkatan kinerja K3
di Fasyankes. Kinerja K3 di Fasyankes dituangkan dalam indikator kinerja yang
akan dicapai dalam setiap tahun. Indikator kinerja K3 di Fasyankes dapat
ditentukan sesuai dengan permasalahan yang ada di Fasyankes tersebut.
Indikator yang dapat dipakai antara lain:
a. Adanya komitmen dan kebijakan pimpinan Fasyankes yang dituangkan dalam
lembar komitmen.

b. Adanya Surat Keputusan Tim K3 di Fasyankes atau Penunjukan pengelola K3


di Fasyankes.

c. Adanya rencana kerja terkait K3 di Fasyankes.

d. Adanya dukungan sumber daya terlatih, alokasi dana, sarana dan prasarana
peralatan penunjang K3 di Fasyankes.

e. Adanya standar prosedur operasional yang memenuhi prinsip keselamatan


dan kesehatan kerja dalam pelaksanaan kegiatan.

f. Adanya standar K3 di Fasyankes yang telah dilaksanakan oleh Fasyankes.

g. Adanya peningkatan kapasitas dan pelatihan keselamatan dan kesehatan


kerja bagi SDM Fasyankes.

h. Dilaksanakannya pencatatan dan pelaporan terkait K3 di Fasyankes. Hasil


peninjauan dan perbaikan kinerja K3 di Fasyankes tersebut dapat dibandingkan
setiap tahun untuk melihat kemajuan program K3 di Fasyankes.

B. Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

1. Pengenalan Potensi Bahaya dan Pengendalian Risiko Keselamatan dan


Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

a. Pengenalan Potensi Bahaya Pengenalan potensi bahaya adalah suatu upaya


mengenali atau mengidentifikasi potensi bahaya yang dapat berdampak pada
SDM Fasyankes, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun
masyarakat di sekitar lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan. Pengenalan
potensi bahaya bertujuan agar SDM Fasyankes dapat melakukan pengendalian
risiko dengan benar sehingga terhindar dari berbagai masalah kesehatan yang
diakibatkan pekerjaannya yakni penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat
kerja.

Identifikasi potensi bahaya dapat dilakukan oleh pengelola keselamatan


dan kesehatan kerja. Untuk itu perlu adanya peningkatan kompetensi mengenai
keselamatan dan kesehatan kerja bagi pengelola

b. Penilaian Risiko

Risiko harus dilakukan analisis dan evaluasi risiko untuk mengetahui


mana yang risiko tinggi, sedang dan rendah. Hasil penilaian dilakukan
intervensi atau pengendalian. Intervensi terhadap risiko mempertimbangkan
pada kategori risiko yang tinggi. Untuk mengetahui kategori risiko tinggi,
sedang, atau rendah secara teori dilakukan dengan rumus:

Risiko = efek x probabilitas

Analisa risiko dapat dilakukan dengan metode kualitatif dengan melihat


efek bahaya potensial (efek) dan kemungkinan terjadinya (probabilitas). Efek
paparan dapat dikategorikan menjadi ringan, sedang, berat (Tabel 4).
Probabilitas dapat dibedakan menjadi hampir tidak mungkin, mungkin, dan
sangat mungkin (Tabel 5). Untuk mengetahui kategori risiko sesuai rumus di
atas dapat dilihat pada Tabel 6. Secara sederhana risiko tinggi dapat dilihat dan
diketahui dari seberapa sering (frekuensi) paparan tersebut kepada SDM
Fasyankes dan durasi (lama) paparan pada SDM Fasyankes.

Contoh yang termasuk kategori risiko tinggi di Fasyankes adalah tertusuk


jarum suntik dan bahaya faktor biologi seperti bakteri, virus, jamur. Ruang risiko
tinggi pada Fasyankes terjadi pada karyawan di ruang ruang umum, UGD, dan
ruang gigi.
Setelah dilakukan penilaian risiko, perlu dilakukan pengendalian risiko
berdasarkan skala prioritas tingkat risiko sebagaimana tertera pada tabel berikut.
BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

Pengendalian risiko keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu upaya


pengendalian potensi bahaya yang ditemukan di tempat kerja. Pengendalian risiko
perlu dilakukan sesudah menentukan prioritas risiko. Metode pengendalian dapat
diterapkan berdasarkan hierarki dan lokasi pengendalian. Hierarki pengendalian
merupakan upaya pengendalian mulai dari efektivitas yang paling tinggi hingga rendah,
sebagai berikut:
Berikut penjelasan dari hierarki pengendalian:

1) Eliminasi Eliminasi merupakan langkah pengendalian yang menjadi pilihan pertama


untuk mengendalikan pajanan karena menghilangkan bahaya dari tempat kerja.
Namun, beberapa bahaya sulit untuk benar-benar dihilangkan dari tempat kerja.

2) Substitusi Subtitusi merupakan upaya penggantian bahan, alat atau cara kerja
dengan alternatif lain dengan tingkat bahaya yang lebih rendah sehingga dapat
menekan kemungkinan terjadinya dampak yang serius. Contohnya:

a) Mengganti tensi air raksa dengan tensi digital

b) Mengganti kompresor tingkat kebisingan tinggi dengan tipe yang kebisingan


rendah (tipe silent kompresor)

3) Pengendalian Teknik

Pengendalian teknik merupakan pengendalian rekayasa desain alat dan/atau


tempat kerja. Pengendalian risiko ini memberikan perlindungan terhadap pekerja
termasuk tempat kerjanya. Untuk mengurangi risiko penularan penyakit infeksi harus
dilakukan penyekatan menggunakan kaca antara petugas loket dengan
pengunjung/pasien. Contoh pengendalian teknik yaitu: untuk meredam suara pada
ruang dengan tingkat bising yang tinggi seperti:
a) Pada ruang gigi khususnya menggunakan unit dental dan kompresor

b) Pada ruang genset

4) Pengendalian Administrasi Pengendalian administrasi berfungsi untuk membatasi


pajanan pada pekerja. Pengendalian administrasi diimplementasikan bersamaan
dengan pengendalian yang lain sebagai pendukung. Contoh pengendalian
administrasi diantaranya:

a) Pelatihan/sosialisasi/penyuluhan pada SDM Fasyankes

b) Penyusunan prosedur kerja bagi SDM Fasyankes

c) Pengaturan terkait pemeliharaan alat

5) Alat Pelindung Diri

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam mengendalikan risiko keselamatan


dan kesehatan kerja merupakan hal yang sangat penting, khususnya terkait bahaya
biologi dengan risiko yang paling tinggi terjadi, sehingga penggunaan alat Pelindung
diri menjadi satu prosedur utama di dalam proses asuhan pelayanan kesehatan. Alat
pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh sumber daya
manusia dari potensi bahaya di Fasyankes. Alat pelindung diri tidak mengurangi
pajanan dari sumbernya, hanya saja mengurangi jumlah pajanan yang masuk ke
tubuh. APD bersifat eksklusif (hanya melindungi individu) dan spesifik (setiap alat
memiliki spesifikasi bahaya yang dapat dikendalikan). Implementasi alat pelindung
diri seharusnya menjadi komplementer dari upaya pengendalian di atasnya dan/atau
apabila pengendalian di atasnya belum cukup efektif. Jenis-jenis alat pelindung diri
yang dapat tersedia di Fasyankes sesuai dengan kebutuhan sebagai berikut:

a) Penutup kepala (shower cap)

b) Kacamata Khusus (safety goggle)

c) Pelindung wajah (face shield)

d) Masker

e) Sarung Tangan (hand schoon/sarung tangan karet)

f) Jas Lab dan Apron (apron/jas lab)

g) Pelindung kaki (safety shoes dan sepatu boots)

h) Coverall
BAB IX

PENUTUP

Pedoman manajemen resiko dipuskesmas ditetapkan sebagai acuan


pelaksanaan manajemen resiko dipuskesmas. Untuk keberhasilan pelaksanaan standar
manajemen resiko dipuskesmas ini diperlukan komitmen dan kerja sama semua pihak
yang terkait, sehingga hal tersebut akan menjadikan manajemen resiko dipuskesmas
dapat optimal dan dapat memberikan kepuasan kepada pasien atau masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai