Anda di halaman 1dari 110

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan barang dan

jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang dan/atau jasa produksi

perusahaan lain yang sejenis, atau digunakan untuk memberikan tanda dari

produk yang dihasilkan, untuk itu perlu adanya pendaftaran merek dalam norma

hukum, hal tersebut dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada pemilik merek.

Selain itu, adanya pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain, sanksi pidana

terhadap pelanggaran merek tersebut diperberat khususnya yang mengancam kesehatan

manusia, lingkungan hidup, dan dapat mengakibatkan kematian. Mengingat masalah

merek terkait erat dengan faktor ekonomi, dalam UU inisanksi pidana diperberat.

Dengan pengaturan yuridis yang tegas dalam peraturan perundang-undangan

tentang merek tersebut, para pemilik merek yang sadar hukum danpeduli akan

pentingnya pengembangan ekuitas merek akan berupaya mendaftarkan mereknya agar

mendapatkan proteksi hukum. Di sisi lain, pihak-pihak tertentu yang beriktikad tidak baik

menempuh jalan pintas dengan melakukan peniruan atas merek yang telah terdaftar.1

Pelanggaran hak atas merek akan merugikan konsumen karena konsumen akan

memperoleh barang-barang atau jasa yang biasanya mutunya lebih rendah dibandingkan

dengan merek asli yang sudah terkenal tersebut.2 Masalah pemalsuan terhadap merek

1
Casavera, 15 Kasus Sengketa Merek di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hlm. 5-6
2
H. Ok. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 359

1
2

bukanlah hal yang baru. Di mana di dalam KUHP mengenai merek ada diatur di dalam di

atur dalam Pasal 253- Pasal 262 KUHP. Namun, karena pemerintah Indonesia merasa

bahwa Pasal-Pasal yang ada dalam KUHP itu kurang kuat mengikat para pelakunya maka

kemudian pemerintah mengupayakan larangan terhadap pemalsuan di bidang merek yang

telah dituangkan dalam suatu peraturan tentang merek yaitu Undang-Undang Merek No.

21 Tahun 1961 yang telah mengalami beberapa perubahan yaitu Undang-Undang No. 19

Tahun 1992 ,Undang-Undang No. 14 Tahun 1997, dan Undang-Undang No. 15 Tahun

2001.

Dengan memiliki suatu merek berarti telah dapat diterapkan salah satu

strategi pemasaran, yaitu strategi pengembangan produk kepada masyarakat

pemakai atau kepada masyarakat konsumen, dimana kedudukan suatu merek

dipengaruhi oleh baik atau tidaknya mutu suatu barang yang bersangkutan. Jadi

merek akan selalu dicari apabila produk atau jasa yang menggunakan merek

mempunyai mutu dan karakter yang baik yang dapat digunakan untuk

mempengaruhi pasar. 3

Merek merupakan bagian dari HAKI yang menembus segala

batas.Dimana-mana ada usaha untuk memberikan perlindungan secara lebih

besar. Terutama bagi negara-negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat

yang menghendaki adanya perlindungan terhadap HKI warga negaranya dari

negara-negara lain, supaya arus teknologi penemuan hak cipta serta merek-merek

mereka yang sudah terkenal di bidang perdagangan, yang telah mendapatkan

3
https://prasetyohp.wordpress.com/problematika-perlindungan-merek-di-indonesia/, diakses pada 1
November 2018
3

“goodwill” secara seksama dengan pengorbanan banyak biaya dan tenaga dapat

dilindungi secara wajar oleh negara-negara lain.

Persetujuan TRIPs, khususnya Pasal 15 ayat (1) mengatur tentang definisi

merek sebagai berikut :“Any sign or any combination of signs, capable of

distinguishing the goods or services of one undertaking from those trademark.

Such signs, in particular words including personal names, letter, numeral,

figurative elements and combinations colors as well as any combination of such

signs, shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not

inherently capable of distinguishing the relevant goods or services. Member may

make registrability depend on distinctiveness acquired through use. Members

may require, as a condition of registration, that signs be visually percetible”.4

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) ini, setiap tanda atau gabungan

dari tanda-tanda yang dapat membedakan barang dan jasa suatu perusahaan

dengan perusahaan lainnya dapat dianggap sebagai merek dagang. Tanda

semacam itu, khususnya, kata-kata yang termasuk nama pribadi, huruf, angka,

dan gabungan warna, serta setiap gabungan dari tanda semacam itu, dapat

didaftarkan sebagai merek dagang.

Hal terpenting dalam mendefinisikan merek yang dikemukakan dalam

Pasal 15 ayat (1) Persetujuan TRIPs adalah penekanan mengenai “unsur

pembeda”.Menurut Persetujuan TRIPs, pembedaan (seringkali disebut dengan

4
Bharat Dube, “Assesing Trademark Law on well-known marks Counterfeiting”. Paper. Presented at
Advanced Seminar: Prospect and Implementation of Indonesian Copyrights, Patent and Trademark
Laws, Borobudur Hotel, 31 Juli – 1 Agustus. IIPS, Jakarta,2000, hlm. 2
4

“daya pembeda“) adalah satu-satunya kondisi substantif bagi perlindungan merek.

Penolakan terhadap pendaftaran suatu merek menurut Pasal 15 Ayat (1)

Persetujuan TRIPs tersebut adalah berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya

pembeda itu tadi.Dalam hal penolakan perlindungan atas merek diperbolehkan

pula sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi

Paris.5

Dalam Konvensi Paris, penolakan suatu perlindungan diperbolehkan

apabila registrasi atau pendaftaran di negara yang bersangkutan melanggar hak-

hak pihak ketiga terdahulu apabila merek yang bersangkutan tidak memiliki

karakter pembeda, atau secara eksklusif mengandung syarat-syarat deskriptif, atau

apabila merek tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip moralitas atau

ketertiban umum yang diterima masyarakat. Sementara daya pembeda adalah

kunci utama bagi perlindungan menurut Persetujuan TRIPs.

Berkaitan dengan perlindungan merek, perdagangan tidak akan

berkembang baik jika suatu merek tidak memperoleh perlindungan hukum yang

memadai di suatu negara. Adanya pembajakan, jelas akan merugikan tidak hanya

bagi para pengusaha yang memiliki atau memegang hak atas merek tersebut,

tetapi juga bagi para konsumen.

Merek-merek terkenal tertentu, telah mengembangkan kemampuan untuk

menciptakan nilai yang tinggi terhadap barang atau produknya, prestise karena

upaya promosi yang gencar dan investasi yang besar yang dilakukan oleh pemilik
5
H. Ok. Saidin, Op. Cit, hlm. 3
5

merek sehingga merek-merek tersebut menjadi terkenal di seluruh dunia serta

didukung oleh manajemen yang baik.

Daya tarik merek-merek dunia ini menyebabkan banyaknya permintaan

terhadap produk-produk yang menggunakan merek-merek ini-namun sayangnya

permintaan ini sering dipenuhi oleh pemalsu yang memproduksi dan

mendistribusikan produk-produk yang tidak sah. Pemalsu memasarkan produknya

ke seluruh dunia, dari Hong Kong hingga New York dimana kota- kota tersebut

dibanjiri dengan produk-produk palsu. Dari segi ekonomi maupun segi-segi

lainnya, pemilik merek menderita kerugian akibat penjualan produk-produk palsu

ini. Produk palsu biasanya murah dan berkualitas lebih rendah dibandingkan

dengan produk aslinya.

Tindakan pemalsuan merek, tentu akan mengurangi kepercayaan pihak

asing terhadap jaminan perlindungan atas merek yang mereka miliki. Akibatnya

muncul ketidakpercayaan dunia internasional terhadap perlindungan hak atas

merek yang diberikan oleh pemerintah Indonesia ataupun untuk melakukan

hubungan dagang dengan pihak Indonesia.6

Dalam banyak kasus, peniruan merek secara tidak bertanggung jawab

untuk barang yang sejenis selain merugikan pemilik merek yang sah, juga akan

merugikan masyarakat umum, khususnya para konsumen, karena merupakan

suatu perbuatan curang yang menciptakan kekacauan mengenai asal-usul barang

6
Aryani Esti, “Pemalsuan Merek dan Penegakan Hukumnya (ditinjau dari aspek hukum pidana)”,
Jurnal Hukum, No. l, Vol. VIII (April, 2009), hlm. 53
6

atau usaha industri dan dagang, mendiskreditkan usaha pengusaha atau barang

industrial dan komersial pemilik merek yang sesungguhnya dengan adanya

pelanggaran terhadap merek, serta mengelabui khalayak ramai berkenaan dengan

kualitas suatu barang.7

Bahwa ia Terdakwa Ridha Wahyuni pada hari Senin tanggal 4 Februari

2013 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2013 bertempat di

lantai I Pusat Pasar Sentral Medan Kota Medan atau setidaktidaknya pada suatu

tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan,

“dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya

dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang

diproduksi dan/atau diperdagangkan”, perbuatan tersebut dilakukan Terdakwa

dengan cara sebagai berikut: Bahwa pada bulan Juni 2012 sampai dengan

Desember 2012 bertempat di rumah Terdakwa di Jalan Jermal XI Kelurahan

Denai Kecamatan Medan Denai Kota Medan Terdakwa telah memproduksi

celana dalam merek Newgrand dengan logo buah manggis. Selanjutnya celana

dalam tersebut Terdakwa perdagangkan di toko milik Terdakwa (Toko Ayu) yang

bertempat di lantai I Pusat Pasar Sentral Medan, hingga kemudian pada hari Senin

tanggal 4 Februari 2013 datanglah saksi Lidya Puspitawaty dan saksi Roslita Br.

7
Pembaharuan Undang-Undang Merek dan Dampaknya Bagi Dunia Bisnis, Yayasan
Perkembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2001, hlm. 34
7

Simamora ke Toko Ayu dan kemudian membeli 1 (satu) lusin celana dalam

merek Newgrand bergambar buah manggis berwarna hijau dasar putih.8

Berdasarkan uraian tersebut maka dalam penulisan skripsi ini penulis

memilih judul penelitian “PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA TANPA HAK MENGGUNAKAN MEREK

YANG SAMA DENGAN MEREK TERDAFTAR PIHAK LAIN UNTUK DI

PRODUKSI DAN DI PERDAGANGKAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NO 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK (Studi Kasus Putusan No

339/PID/2013/PT.MDN)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka perlu penguraian demi penyelesaian

permasalahan untuk mengetahui lebih lanjut kasus diatas sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana tentang merek menurut Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dikaitkan dengan

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Desain Industri?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana dengan tanpa

hak menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar pihak lain untuk

diproduksi dan diperdagangkan menurut Undang-Undang No 15 tahun 2001

Tentang Merek?

8
Putusan No 339/PID/2013/PTMDN
4 Slamet Yuswanto, Perlindungan Hukum Hak Atas Merek Terhadap Tindakan Passing Off,
Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 23
8

C. Tujuan Penulisan

Adapun Tujuan Penulisan makalah 9ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana tentang merek menurut Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dikaitkan

dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Desain

Industri.

2. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana dengan

tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar pihak lain

untuk di produksi dan di perdagangkan menurut Undang-Undang No 15 tahun

2001 Tentang Merek.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Penulis berharap agar penelitian ini dapat berguna untuk mengembangkan

ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum pidana dalam bidang merek.

2. Kegunaan Praktis

Pada akhirnya bertujuan sebagai syarat guna mencapai gelar sarjana strata

satu Fakultas Hukum Universitas Jayabaya.

9
http://www.hukumonline.com/
9

E. Kerangka Konseptual

Agar tidak menimbulkan multi tafsir dalam memahami skripsi ini, penulis

memberikan konsep-konsep pengertian istilah sebagai berikut :

1. Penerapan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerapan berasal dari kata terap yang

berarti proses, cara. Penerapan bermakna perbuatan atau tindakan melaksanakan

sesuatu atau perihal untuk mempraktikkan suatu hal.10

2. Sanksi Pidana

a. Pengertian sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang

mentaati norma-norma yang berlaku.11

b. Sanksi pidana dalam perundang-undangan kita adalah sebagaimana

diatur dalam Pasal 10 KUHP yang menyebutkan bahwa pidana pokok

yang terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan

pidana denda serta pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu,

perampasan barang dan pengumuman keputusan Hakim.12

c. R.Soeroso menggunakan istilah ”hukuman” untuk menyebut ”pidana”

dan merumuskan bahwa hukuman adalah suatu perasaan tidak

10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia PusatPengembangan
dan Pembinaan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. Hlm. 745.
11
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia
Grafika, Jakarta, 2002, Hlm. 29.
12
Moeljatno, (Penerjemah) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Tanpa Penerbit, Yogyakarta,
1976, hlm. 15
10

enak/sengsara yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang

yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. 13

3. Tindak Pidana

a. Menurut Bambang Poernomo, tindak pidana adalah perbuatan yang

melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang

dapat dipertanggung jawabkan. 14

b. Menurut Andi Hamzah tindak pidana merupakan suatu istilah yang

mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana sebagai

istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu

pada peristiwa hukum pidana. 15

c. Menurut Moeljanto, menyebutkan tindak pidana dengan istilah perbuatan

pidana yang artinya sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.16

4. Merek

Merek menurut Moelengraaf: yaitu dengan mana dipribadikan sebuah

barang tertentu, untuk menunjuk asal barang, dan jaminan kualitasnya

13
R. Soesilo. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia, Bogor,
1996, Hlm. 35.
14
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 90.
15
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineks Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 88
16
Adami Chazawi, pelajaran hukum pidana bagian 3 percobaan dan penyertaan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm 71-75.
11

sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat, dan

diperdagangkan oleh orang, atau perusahaan lain. 17

F. Metode Penelitian

Menurut Soerjono soekanto penelitian hukum suau kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika tertentu yang bertujuan untuk memperlajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali

itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum

tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-

permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan18. Metode

penelitian ini disistematika dalam suatu format sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode jenis penelitian yuridis

normatif yang berdasarkan pada bahan hukum utama dengan cara menelaah

teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum, serta peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal

pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku,

peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan

penelitian ini.

17
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Kekayaan Intelektual (HAKI): Peraturan
Baru Desain Industri, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 222-224
18
Soerjano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan pertama, UI-Press, Jakarta, 2010, hlm.
43.
12

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah

pendekatan terhadap Undang-Undang, pendekatan terhadap kasus, pendekatan

terhadap historis, pendekatan komparatif, dan pendekatan konseptual.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan terhadap Undang-

Undang dan pendekatan terhadap kasus. Pendekatan perundang-undangan

mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sedangkan

pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara membedah

suatu kasus yang telah menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

tetap, dalam penelitian ini yaitu Putusan Pengadilan Tinggi Mendan Nomor:

339/PID/2013/PT.MDN.

3. Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis penelitian diatas, maka data yang dikumpulkan berasal dari

data sekunder karena penelitian diperoleh melalui media perantara atau secara

tidak langsung lewat buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip baik yang

dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum. Dengan kata

lain penulis membutuhkan pengumpulan data dengan cara berkunjung ke

perpustakaan, pusat kajian, pusat arsip, atau membaca buku yang

berhubungan dengan penelitiannya. Data sekunder yang dimaksud antara lain:

a. Bahan hukum primer, yang diperoleh bedasarkan dari Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No 15 tahun 2001 Tentang

Merek, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Desain


13

Industri dan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:

339/PID/2013/PT.MDN yang bertujuan untuk melengkapi dan

mendukung data-data ini agar penelitian sempurna.

b. Bahan hukum sekunder, yang didapat dengan melakukan penelitian

kepustakaan yang diperoleh dari berbagai literatur yang terdiri dari

dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil penelitian yang

mempunyai hubungan erat terhadap permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yang dipergunaan penulis untuk memberi penjelasan

bagi bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan

kamus hukum.

4. Teknik Pengelolahan Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif

adalah metode analisis data yang mengelompokan dan menyeleksi data yang

diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang

menjadi objek penelitian dan kemudian dapat di analisis secara interpretative

menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan dan secara

induktif dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

5. Metode Penulisan

Dalam penyelesaian penelitian ini, penulis menggunakan metode penulisan

sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada buku pedoman penulisan

skripsi Falkultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta Tahun 2019.


14

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan mengikuti pembahasan dalam skripsi ini penulis

menggunakan sistematika sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode

penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Dan Pemidanaan. Dalam

bab ini diuraikan mengenai tindak pidana, pengertian dan unsur-unsur tindak

pidana, jenis tindak pidana, pemidanaan, pengertian dan tujuan pemidanaan serta

Teori pemidanaan.

Bab III Penerapan Sanksi Pidana Dengan Sengaja Dan Tanpa Hak

Menggunakan Merek Yang Sama Dengan Merek Terdaftar Pihak Lain Untuk Di

Produksi Dan Di Perdagangkan Menurut Undang-Undang No 15 Tahun 2001

Tentang Merek. Dalam bab ini diuraikan mengenai Sejarah, Ruang Lingkup dan

Jenis-Jenis Merek, Sejarah Pengaturan Merek di Indonesia, Pengertian dan Ruang

Lingkup Merek, Jenis-Jenis Merek, Perlindungan Hukum Terhadap Merek,

Pendaftaran Merek di Indonesia, Syarat Pendaftaran Merek, Tata Cara

Permohonan Pendaftaran Merek, Tindak pidana tanpa hak menggunakan merek

yang sama dengan merek terdaftar pihak lain untuk di produksi dan

diperdagangkan, Tindak pidana terhadap merek, Macam macam tindak pidana

terhadap merek, Penerapan sanksi pidana dengan sengaja dan tanpa hak

menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar pihak lain untuk di
15

produksi dan di perdagangkan menurut Undang-Undang No 15 tahun 2001

tentang merek.

Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan, dalam bab ini diuraikan

mengenai Analisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan merek,

Analisis putusan nomor 339/PID/2013/PTMDN, Kasus posisi, Dakwaan dan

tuntutan jaksa penuntut umum, Pertimbangan dan putusan hakim serta Analisis.

Bab V Kesimpulan Dan Saran, di dalam bab terakhir ini dimuat kesimpulan

dari penelitian yang telah penulis lakukan dan saran-saran yang berkaitan dengan

kesimpulan.
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA DAN PEMIDANAAN

A. Tindak Pidana

1. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana

Menurut Moeljatno Tindak Pidana (strafbaar feit).adalah perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan

tersebut.Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :1

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan

diancam pidana.

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian

yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana

ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena

antarakejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan

erat pula. “Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan

orang, dan orang tidakdapat diancam pidana jika tidak karena kejadian

yang ditimbulkan olehnya”

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya

perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang
1
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 26

16
17

(strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian

perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal

responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering

dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.

Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya

dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-

perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut

ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari

larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang

tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja,

yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.2

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :3

a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan).

b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

c. Melawan hokum (onrechtmatig)

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

2
https://www.academia.edu/7933833/PENGERTIAN_TINDAK_PIDANA diakses pada tanggal 1
Oktober 2018 pada pukul 12.00 WIB
3
Simon D. Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Leerboek Van Het Nederlanches Straftrecht),
diterjemahkan oleh P.A.F. Lamintang, Pionir Jaya, Bandung, 1992. hlm. 88
18

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif

dari tindak pidana (strafbaar feit).4

Unsur Obyektif :

a. Perbuatan orang

b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam

Pasal 281 KUHP sifat“openbaar” atau “dimuka umum”.

Unsur Subyektif :

a. Orang yang mampu bertanggung jawab

b. Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan

kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan

atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :5

a. Perbuatan (manusia)

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)

c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :6

a. Kelakuan dan akibat

b. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi

menjadi :

4
Ibid, hlm. 112
5
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana Cetakan Keempat. Bina Aksara, Jakarta, 1987. Hlm. 115
6
Ibid, hlm. 117
19

1) Unsur subyektif atau pribadi Yaitu mengenai diri orang yang

melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan

dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi.

Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau

Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang

pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah

bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka Pasal tersebut. 7

2) Unsur obyektif atau non pribadi Yaitu mengenai keadaan di luar si

pembuat, misalnya Pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka

umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan

terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di

muka umum maka tidak mungkin diterapkan Pasal ini Unsur keadaan

ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau

memperberat pidana yang dijatuhkan.8

Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak

pidana. Sekalipun permasalahantentang “pengertian” unsur-unsur tindak

pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan

menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana.9 Pengertian unsur-

unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari

yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang

7
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Wali Pers, Jakarta, 2011, hlm.126.
8
Teguh Prasetyo.Hukum Pidana. Raja Grafndo Persada, Jakarta, 2010, hlm.58
9
Moeljatno, Kitab Undang-Udang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985. hlm 161.
20

yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan

jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan

aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.10

2. Jenis Tindak Pidana

Tindak Pidana/Delik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

a. Kejahatan dan Pelanggaran (Menurut Sistem KUHP)

Dalam KUHP dikenal dengan adanya Kejahatan (Buku Kedua) dan

Pelanggaran (Buku Ketiga). Kejahatan merupakanrechts delictataudelik

hukum adalah Pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa

keadilan misalnya perbuatan seperti Pembunuhan, melukai orang lain,

meniduri dan sebagainya. Sedangkan Pelanggaran merupakanwetsdelict

atau delik Undang undang adalah perbuatan melanggar apa yang

ditentukan oleh Undang undang, misalnya keharusan memiliki SIM bagi

pengendara kendaraan bermotor di jalan umum.

b. Delik Formil dan Delik Materil (Menurut Cara Merumuskannya)

Delik formil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada

perbuatanan yang dilarang dan diancam dengan pidana olehUndang

undangperumusan delik formil tidak memperhatikan dan atautidak

memerlukan timbulnya suatu aklibat tertentu dari perbuatan sebagaisyarat

10
Merto Kusumo Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 12
21

penyelesaian tindak pidana, melainkan semata mata pada perbuatannya

misalnya pada pencurian (Pasal 362 KUHP)

Delik materil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat

yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang.11Untuk

selesainya tindak pidana materil tidak bergantung pada sejauh mana wujud

perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya digantungkan pada syarat

timbulnya akibat terlarang tersebut, misalnya Pembunuhan (Pasal 338

KUHP)12

c. Delik Dolus dan Delik Culpa (Berdasarkan Bentuk Kesalahannya)

Delik Dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan.rumusan

kesengajaan itu mungkin dengan kata kata yang tegas.13 Delik Culpa

adalah delik yang didalam rumusannya memuatunsur kealpaan. Dalam

rumusan nya menggunakan kata Karena kealpaannya misalnya pada Pasal

369, 360, 195. Didalam beberapaterjemahan kadang kadang dipakai istilah

karena kesalahannya.14

d. Delik aktif (delicta Commissionis) dan Delik Pasif (delicta omissionis).

(Berdasarkan macam Perbuatannya)

Delik aktif (delicta Commissionis) adalah Delik yang terjadi karena

seseorang dengan berbuat aktif melakukan pelanggaran terhadaplarangan

11
C.S.T.Kansil, Engelin R Palandang, Altje Agustin Musa,Tindak pidana dalam undang undang
nasional, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm. 4
12
Ibid. hlm.4
13
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. Raja Grafndo Persada, Jakarta, 2010, hlm.58
14
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Wali Pers, Jakarta, 2011, hlm.126.
22

yang telah diatur dalam undang undang. Contohnya Pasal 362, 368

KUHP. Delik Pasif (delicta omissionis) adalah Delik yang terjadi karena

seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat). Contohnya Pasal 164, 165

KUHP. Selain itu terdapat juga Delik campuran (Delicta commisionis per

ommissionem commisceo) adalah delik yang berupa pelanggaran suatu

perbuatan yang dilarang. Akan tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak

berbuat. Contohnya Pasal 306 KUHP (membiarkan seseorang yang wajib

di peliharanya yang mengakibatkan matinya orang itu)

e. Tindak Pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam

waktulama/berlangsung terus (berdasarkan saat dan jangka waktu

terjadinya).

Tindak Pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

terwujudnya atau terjadinya dalam, aktu seketika atau, singkat saja. Disebut

juga Aflopende Delicten Contohnya Pasal 362 KUHP (Pencurian).

Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupasehingga

terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan

dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, disebut dengan

Voortdurende delicten.

f. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus (Berdasarkan

Sumbernya)

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam

KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan III).


23

Sementara itu, tindak pidana khusua adalah semua tindak pidana yang

terdapat diluar kodifikasi tersebut. Misalnya UU No. 31 tahun 1999

(Tindak Pidana Korupsi)15

g. Tindak Pidana communia dan Tindak Pidana Propria (Berdasarkan Sudut

Subjek hukumnya)

Tindak Pidana communia (delicta communia) adalah tindak pidana yang

dapat dilakukan oleh semua orang. Tindak Pidana Propria (delicta

propria) adalah tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang

yang berkualitas tertentu. Misalnya Nakhoda pada kejahatan pelayaran.

h. Tindak Pidana Biasa dan Tindak Pidana aduan (Berdasarkan Perlutidak

nya pengaduan dalam hal penuntutan)

Tindak Pidana biasa (Gewone Delicten) adalah tindak pidana yang untuk

dilakukannya penuntutan pidana terhadap perbuatannya tidak disyaratkan

adanya pengaduan dari yang berhak.

Tindak Pidana aduan (klacht delicten) adalah tindak pidana yanguntuk

dapat dilakukannya penuntutan pidana disyaratkan terlebih dahulu adanya

pengaduan dari orang yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban

atau, wakilnya atau orang yang diberi surat kuasa khusus. Tindak pidana

aduan dibagi menjadi 2 yaitu Tindak Pidana aduan absolut/mutlak,

contohnya Pasal 310 KUHP (pencemaran). Dan Tindak Pidana aduan

15
Teguh Prasetyo. Op. CIt, hlm.58
24

relative, contohnya Pasal 376 jo 367 (Penggelapan dalamkalangan

keluarga).16

i. Tindak Pidana dalam bentuk Pokok, yang diperberat dan yang diperingan

(berdasarkan berat atau ringannya pidana yangdiancamkan)

Tindak pidana pokok/bentuk sederhana (eenvoudige delicten) contoh

tindak pidana pada Pasal 362 KUHP (Pencurian). Tindak Pidana

dikualifisir/diperberat adalah tindak pidana yang karena situasi dan

kondisi khusus, yang berkaitan dengan pelaksanaan tindakan yang

bersangkutan, diancam dengan sanksi pidana yang lebih berat jika

dibandingkan dengan sanksi yang diancamkan pada delik pokoknya.

Contoh Pasal 363 terhadap Pasal 362 KUHP (Pencurian)17

Tindak pidana diprivilisir/diperingan yaitu tindak pidana yangdikhusukan,

yaitu bentuk tindak pidana yang menyimpang dari bentuk dasar, sehingga

sanksi yang lebih ringan dianggap pantas dijatuhkan.Contoh Pasal 341

terhadap Pasal 338 (seorang ibu yang meninggalkananaknya).

j. Delik berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi misalnya dalam

buku II, untuk melindungi kepentingan hukumterhadap keamanan Negara.

Dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan negara (Bab I), untuk

melindungi kepentingan hukumterhadap hak kebendaan pribadi, dibentuk

tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII).

16
Ibid, hlm. 59
17
Adami Chazawi, Op. Cit, hlm.126.
25

k. Tindak Pidana tunggal dan tindak Pidana Serangkai (Berdasarkan sudut

berapakai perbuatan menjadi suatu larangan)

Tindak Pidana Tunggal (Eenkel Voudige delicten) adalah tindak pidana

yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya

tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali

perbuatan saja.

Tindak Pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian

rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidanya pelaku,

disyaratkan dilakukan secara berulang. Contoh Pasal 296 KUHP

l. Without victim and with victim.

Without victim adalah delik yang dilakukan dengan tidak ada korban.

Withoutvictim adalah delik yang dilakukan dengan ada korbannya

beberapa atau seseorang tertentu.18

m. Delik berdiri sendiri dan delik berlanjut (berdasarkan ada atau tidaknya

kelanjutannya)

Delik berdiri sendiri (zelfstandige delicten) adalah delik yang berdiri sendiri

atas suatu perbuatan tertentu. Delik Berlanjut (Voortgezettedelicten) adalah

delik yang terdiriatas beberapa perbuatan berlanjut. Pengertian delik ini

erat hubungannya dengan perumusan Pasal 64 KUHP (tentang Perbuatan

berlanjut)

18
Ibid, hlm. 127
26

n. Delik Politik

Merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan negara sebagai

keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepala negara dan sebagainya.

B. Pemidanaan

1. Pengertian dan Tujuan Pemidaan

Menurut Loebby Loqman Masalah pemidanaan, terutama di Indonesia

adalah sangat jarang ditemui pembahasannya dalam kepustakaan berbahasa

Indonesia. Masalah pemidanaan ini seolah-olah dianggap suatu yang berjalan

dengan sendirinya yakni suatu tugas hakim dalam menjalankan sebagian demi

tugas keseluruhannya, yang dalam hal ini adalah diberikan pula suatu

wewenang khusus.19

Sebagai bagian penting dari hukum pidana yang masih kurang

mendapat perhatian adalah bagian mengenai pemidanaan yang seperti

diketahui bahwa pengaturan mengenai hukum pidana itu pada akhirnya akan

berpuncak pada pemidanaan yang dapat merenggut kemerdekaan seseorang,

harta bendanya, dan bahkan jiwanya.

Menurut teori absolut pidana yang dijatuhkan semata-mata karena

seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana

merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada

orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak

19
Loebby Loqman, Pemidanaan Yang Bagaimana” Hukum dan Pembangunan, Pustaka Utama,
Jakarta, 1984, hlm. 576
27

pada adanya kejahatan itu. Menurut J. Andenaes tokoh utama dari teori ini

menyatakan bahwa, tujuan utama dan pidana ialah untuk memuaskan tuntutan

keadilan. Tuntutan keadilan ini juga terlihat jelas dalam pendapat Immanuel

Kant yang menyatakan bahwa: "Pidana itu tidak dilaksanakan semata-mata

sebagai saran, untuk mempromosikan tujuan dan kebaikan lain, baik bagi si

pelaku maupun bagi masyarakat, namun dalam semua hal, harus dikenakan,

hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan.20

Jadi menurut Kant (dalam buku Muladi), bahwa pidana itu merupakan

suatu tuntutan kesusilaan serta pidana tersebut dipandang sebagai kategori

imperative, yakni seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia telah

melakukan kejahatan. Salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolut

yang terkenal ialah Hegel yang berpendapat bahwa : "Pidana merupakan

keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan, karena kejahatan

adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan

perwujudan dari citra susila, maka pidana merupakan pengingkaran terhadap

pengingkaran.21

Menentukan batas pemidanaan dan bobot pemidanaan adalah masalah

yang penting dalam pemidanaan karena akan menentukan pencapaian atas

keadilan, baik kepada pelaku atau kepada korban kejahatan. Pemidanaan

harus menghindarkan rasa injustice dengan mencapai apa yang dikenal

20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1984, hlm. 11
21
Ibid, hlm. 12.
28

dengan konsistensi dalam pendekatan terhadap pemidanaan (consistency of

approach to sentencing). Dari kondisi ini pemidanaan harus menegaskan

tentang menentukan batas pemidanaan (the limit of sentencing) dan bobot

pemidanaan (the level of sentencing).

Ketentuan mengenai pemidanaan dalam KUHP ini mengatur tentang

bagaimana pengadilan akan menentukan atau menjatuhkan pidana kepada

pelaku yang didasarkan pada pertimbangan berbagai faktor untuk mencapai

pemidanaan yang dianggap patut (proper). Faktor-faktor dalam pemidanaan

sebagaimana diatur dalam Bagian Kesatu adalah berkaitan dengan tujuan

pemidanaan, pedoman pemidanaan dan ketentuan lain mengenai bagaimana

pemidanaan akan diberlakukan kepada pelaku.

Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut orang

dewasa ini, sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru,

melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dari pemikiran para

pemikir atau para penulis beberapa abad yang lalu. Mereka mengeluarkan

pendapat tentang dasar pembenaran atau tentang rechtvaardigingngsgrond

dari suatu pemidanaan, baik yang telah melihat pemidanaan semata-mata

sebagai pemidanaan saja, maupun yang telah mengaitkan pemidanaan dengan

tujuan yang ingin dicapai terhadap pemidanaan itu sendiri.

Mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan suatu penidanaan ternyata

tidak terdapat suatu kesamaan pendapat antara para pemikir atau di antara

para penulis.
29

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang

ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: 22

a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,

b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan

c. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan

kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah

tidak dapat diperbaiki lagi.

Tujuan pemidanaan adalah hanya untuk menghindari supaya

masyarakat tidak sampai mengulangi perbuatannya, disamping itu juga untuk

menakut-nakuti orang lain, supaya tidak melakukan kejahatan seperti itu

lagi.23

Penjara atau lembaga pemasyarakatan, dilukiskan sebagai tempat

pendidikan moral, yaitu tempat untuk mendidik secara moral dan spiritual.

Para terpidana perlu diberikan pengajaran moral dan agama agar keyakinan

dan pandangannya dapat terpenuhi atau diperbaiki, pikiran-pikiran jahatnya

dapat dikendalikan. Bahwa setiap bentuk kejahatan melawan hukum

merupakan ekspresi ketidakpedulian sosial pada orang lain. Pidana penjara

sangat mempengaruhi oleh bagaimana sebuah perkara pidana terselesaikan.

Pengaruh dari hukum pidana yang statis dan dinamis menentukan sanksi

penjara sebagai sanksi pidana. Sifat statis ditunjukan dengan pidana hilangnya

22
Loebby Loqman, Op. Cit, hlm. 576
23
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 3
30

kemerdekaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak, menimbulkan kesan yang

negatif, dengan akibat hilangnya beberapa kebebasan yang lain. Sedangkan

perkembangan dari tujuan pemidanaan adalah sifat yang dinamis, artinya

perkembangan tujuan pemidanaan selalu mengikuti perkembangan

masyarakat, untuk mau merubah diri sendiri kearah yang lebih baik.

Dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Andi

Hamzah mengemukakan teori tujuan ini mencari dasar hukum pidana dalam

menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana yakni

untuk prevensi terjadinya kejahatan, baik prevensi umum (general deterrence)

maupun preversi khusus (special deterrence). Wujud pidana itu berbeda-beda,

menakutkan, memperbaiki atau membinasakan.24

Teori-teori ini berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana

semat-mata pada suatu tujuan seperti dimaksudkan di atas, selanjutnya masih

dapat dibagi menjadi dua macam teori yaitu :

a. Teori-teori pencegahan umum (algemene preventie theorieen), yang ingin

dicapai tujuan dari pidana yaitu terhadap masyarakat pada umumnya.

Artinya pencegahan kejahatan dengan mempengaruhi masyarakat agar

tidak melakukan tindak pidana.

b. Teori-teori pecegahan khusus atau (bijzonder preventive theorieen), yang

ingin mencapai tujuan dari pidana yaitu sematamata dengan membuat jera,

24
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 23
31

dengan memperbaiki dan dengan membuat penjahatnya itu sendiri tidak

mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lagi.25

Kelompok yang termasuk dalam teori tujuan ini dikenal dengan

sebutan teori deterrence, yakni teori yang menekankan pada tujuan untuk

mempengaruhi atau mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan.

Selain prevensi spesial dan prevensi general menurut Van Bemmelen,

termasuk dalam teori tujuan ini yakni apa yang disebut “daya untuk

mengamankan” (de beveligend werking). Dalam hal ini dijelaskan bahwa

merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan lebih

mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahatan tersebut

berada di dalam penjara daripada kalau dia tidak dalam penjara. 26

Pada dasarnya pidana itu bertujuan untuk menegakkan hukum dan

mencegah adanya kejahatan. Selengkapnya pendapat Van Hamel seperti

dikutip Lamintang menyatakan bahwa pidana itu dapat dibenarkan apabila

pidana tersebut.27

a. Tujuannya adalah untuk menegakkan tertib hukum;

b. Diputuskan dalam batas-bata kebutuhan;

c. Dapat mencegah kemungkinan dilakukan kejahatan lain oleh pelakunya;

25
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 11
26
Ibid, hlm. 24
27
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 78
32

d. Dijatuhkan berdasarkan suatu penelitian yang tuntas menurut criminele

aetiologi dan dengan menghormati kepentingankepentingan yang bersifat

hakiki dari terpidana

2. Teori Pemidanaan

Dalam hal pemberian pidana kepada para pelaku tindak pidana, para

penegak hukum berpedoman kepada teori-teori sebagai berikut :

a. Teori absolut dan teori pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang

telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan

akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang

yang melakukan kejahatan. Dikemukakan oleh Andi Hamzah menurut

teori pembalasan pidana tidak bertujuan untuk yang praktis, seperti yang

memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur –

unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena

dilakukan suatu kejahatan, sehingga tidak perlu memikirkan manfaat

penjatuhan pidana. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhnya pidana

kepada pelaku. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu

yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan dari hakekat suatu pidana

adalah pembalasan.

Menurut Johannes Andenaes, sebagaimana dikutip Muladi dan

Barda Nawawi Arief, tujuan utama dari pidana menurut teori absolut ialah
33

“untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice),

sedangkan pengaruh- pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.

Sedangkan Immanuel Kant memandang pidana sebagai “Kategorische

Imperatief” yakni seseorang harus dipidana oleh karena telah melakukan

kejahatan. 28 Tokoh lain yakni Frederich Hegel, berpendapat bahwa pidana

merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan

yang telah dilakukan.

Menurut Nigel Walker para Penganut teori retributive ini dapat

pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu :29

1) Penganut teori retributive yang murni (The pure retributivist) yang

berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan

si pembuat. Golongan inilah yang mengemukakan alasan-alasan atau

dasar pembenaran untuk pengenaan pidana, sehingga golongan ini

disebut “Punisher” (Penganut aliran/teori pemidanaan).

2) Penganut teori retributive tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat

dibagi dalam :

a) Penganut teori retributive yang terbatas (the limiting retributivist)

yang berpendapat : pidana tidak harus cocok/sepadan dengan

kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang

cocok/sepepadan dengan kesalahan terdakwa.

28
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1992, hlm. 11
29
Ibid, hlm. 12
34

b) Penganut teori retibutif yang distributive (retributive in

distribution), disingkat dengan sebutan teori “distributive” yang

berpendapat : pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak

bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi

oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” dihormati,

tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal

“strict liability”. Golongan ini tidak mengajukan alasanalasan

untuk pengenaan pidana, tetap mengajukan prinsip-prinsip untuk

pembatasan pidana.

Pemberian pidana kepada seseorang yang telah melakukan

kejahatan merupakan dasar utama dari teori retributive, mereka yang telah

melakukan perbuatan yang dilarang oleh negara, sudah sepantasnya

negara memberikan balasan. Selanjutnya dalam kaitannya dengan dasar

pembenaran pidana, Herbert L. Packert menyatakan :

1) Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang

maupun simasa yang akan datang tanpa pidana;

2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang

kita miliki untuk menghadapi bahayabahaya besar dan segera serta

untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;

3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau

terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancaman yang utama” dari

kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara


35

hematcermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila

digunakan secara sembarangan dan secara paksa. 30

Dalam bukunya John Kaplan sebagaimana dikutip Muladi dan

Barda Nawai Arief, teori retribution ini dibedakan lagi menjadi dua teori

yakni :31

1) Teori pembalasan (The revenge theory) dan

2) Teori penebusan dosa (The expiation theory)

Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat “ telah

dibayar kembali “sedangkan penebusan,mengandung arti bahwa penjahat

“ membayar kembali hutangnya “.

Menurut Soedarto, sebagaimana dikutip Muladi dan Barda

Nawawi Arief, sebenarnya sudah tidak ada lagi penganut ajaran

pembelaan klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan

demi keadilan belaka. Penganut teori pembalasan yang sekarang ini

dikatakan Penganut pembalasan yang modern. Pembalasan disini

bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai pembatasan dalam arti

harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana.

b. Teori Tujuan (Utilitarian Theory)

Menurut teori ini, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan

pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu

30
Ibid, hlm. 13
31
Ibid, hlm. 14
36

tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh

karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (Utilitarian

Theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah

terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est”

(karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccetur” (supaya

orang jangan melakukan kejahatan”.

Dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Andi

Hamzah mengemukakan teori tujuan ini mencari dasar hukum pidana

dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan

pidana yakni untuk prevensi terjadinya kejahatan, baik prevensi umum

(general deterrence) maupun preversi khusus (special deterrence). Wujud

pidana itu berbeda-beda, menakutkan, memperbaiki atau membinasakan.32

Teori-teori ini berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu

pidana semat-mata pada suatu tujuan seperti dimaksudkan di atas,

selanjutnya masih dapat dibagi menjadi dua macam teori yaitu :

1) Teori-teori pencegahan umum (algemene preventie theorieen), yang

ingin dicapai tujuan dari pidana yaitu terhadap masyarakat pada

umumnya. Artinya pencegahan kejahatan dengan mempengaruhi

masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana.

2) Teori-teori pecegahan khusus atau (bijzonder preventive theorieen),

yang ingin mencapai tujuan dari pidana yaitu sematamata dengan


32
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 23
37

membuat jera, dengan memperbaiki dan dengan membuat penjahatnya

itu sendiri tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lagi.

Kelompok yang termasuk dalam teori tujuan ini dikenal dengan

sebutan teori deterrence, yakni teori yang menekankan pada tujuan untuk

mempengaruhi atau mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan.

Selain prevensi spesial dan prevensi general menurut Van Bemmelen,

termasuk dalam teori tujuan ini yakni apa yang disebut “daya untuk

mengamankan” (de beveligend werking). Dalam hal ini dijelaskan bahwa

merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan lebih

mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahatan tersebut

berada di dalam penjara daripada kalau dia tidak dalam penjara. 33

Menurut teori dari Von Lizst yang disebutnya sebagai suatu

kumpulan dariberbagai teori tujuan yang berbeda atau sebagai suatu

“vereneging van verschillende andere doeltheorieen”, bahwa hukum itu

gunanya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan hidup

manusia yang oleh hukum telah diakui dengan kepentingan-kepentingan

hukum dan mempunyai tugas untuk menentukan dan menetapkan batas-

batas dari kepentingankepentingan hukum yang dimiliki oleh orang yang

satu dengan orang yang lain. Untuk dapat melaksanakan fungsinya seperti

itu, hukum telah menentapkan norma-norma yang harus ditegakkan oleh

33
Ibid, hlm. 24
38

negara dan negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah

melanggar norma-norma tersebut diatas.

Pendapat yang hampir sama juga disampaikan oleh Van Hamel,

yang menekankan bahwa pidana itu pada dasarnya bertujuan untuk

menegakkan hukum dan mencegah adanya kejahatan. Selengkapnya

pendapat Van Hamel seperti dikutip Lamintang menyatakan bahwa pidana

itu dapat dibenarkan apabila pidana tersebut.34

1) Tujuannya adalah untuk menegakkan tertib hukum;

2) Diputuskan dalam batas-bata kebutuhan;

3) Dapat mencegah kemungkinan dilakukan kejahatan lain oleh

pelakunya;

4) Dijatuhkan berdasarkan suatu penelitian yang tuntas menurut

criminele aetiologi dan dengan menghormati kepentingankepentingan

yang bersifat hakiki dari terpidana

c. Teori Gabungan (verenegings theorieen)

Andi Hamzah dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan,

sebagaimana dikutip Barda Nawawi, mengemukakan bahwa teori

gabungan antara pembalasan dan prevensi bervariasi, ada yang

menitikberatkan pembalasan, namun ada pula yang ingin agar unsur

pembalasan dan prevensi seimbang, Pompe dalam hal ini lebih

34
PAF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm.
341
39

menitikberatkan unsur pembaaan dengan mengemukakan bahwa “orang

yang tidak boleh menutup mata pada pembalasan“, Pidana dapat

dibedakan dengan sanksi-sanksi lainnya tetapi tetap pada cirinya. Pidana

sebagai sanksi akan terikat pada tujuan sanksi –sanksi itu. Pidana hanya

akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan

berguna bagi kepentingan umum.35

Demikian pula dengan Van Bemmelen yang mengatakan bahwa

pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat.

Tindakan dimaksudkan untuk mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi

pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk

mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat. Selain Pompe

dan Van Bemmelen, teori gabungan juga dianut oleh Grotius, Rossi,

Zevenbergen maupun Vos. Mengenai teori gabungan ini, Mayer

menyebutkan dengan teori yang dinamakan vardelingstheorie atau

distributive theorie distributive theorie yang artinya pembagian.Menurut

Mayer, pidana itu sebenarnya merupakan suatu akibat hukum dari

dilakukannya delik, yang menyebutkan pembalasan itu menjadi perlu

untuk dilaksanakan.

Selanjutnya Mayer mengatakan adalah tidak mungkin orang untuk

dapat menunjukkan dasar-dasar yang bersifat normatif bagi perlunya suatu

35
Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 12
40

pembalasan, akan tetapi dasar-dasar tersebut harus dicari pada azas

keadilan dan kebutuhan.36

Sementara itu berkenaan dengan tujuan dan dasar pemikiran

mengenai pidana menurut George F, Fletcher terdapat kecenderungan

adanya kebangkitan kembali teori retributive. George F, Fletcher membagi

dua kelompok tujuan atau dasar pemikiran pidana. Kelompok teori

retributive mendasarkan pikirannya mengenai pidana semata-mata sebagai

reaksi atau respon sosial yang pantas terhadap kejahatan. Adanya

kebangkitan kembali teori retributive ini menurut Fletcher disebabkan

oleh adanya kekecewaan orang terhadap kelompok teori kedua yang

disebut teori perlindungan masyarakat atau lengkapnya teori konsekuensi

perlindungan masyarakat. Teori perlindungan masyarakat ini lebih

menitikberatkan perhatian pada kebaikan (spekulatif) atau akibat yang

mengikuti pidana untuk perlindungan masyarakat dan mengabaikan

pengamalan kepada pelanggar. Berkenaan dengan akibat atau tujuan

pidana yang spekulatif, yaitu (1) pencegahan umum (general deterrence),

(2) pencegahan khusus (special deterrence), (3) perbaikan (rehabilitation

of reform), sedangkan akibat yang pasti dari pidana yaitu (4) untuk

mengasingkan atau mengisolir dari pergaulan masyarakat agar tidak

mengancam orang lain.37

36
Ibid, hlm. 13
37
Ibid, hlm. 14
41

Menurut teori retributive, sebagaimana dikemukakan George F.

Fletcher, dengan hanya melihat kebaikan yang akan terjadi dari pidana,

menyebabkan tidak jelaskan persyaratan yang diperlukan untuk suatu

tindak pidana dan lamanya penjara menjadi tidak pasti. Ketidakpastian ini

timbul karena penentuan lamanya pidana penjara yang dianggap patut

lebih bergantung kepada kebutuhan untuk melakukan pembinaan

(treatment) daripada beratnya pelanggaran yang dilakukan. Dengan

demikian menurut George F. Fletcher tujuan perlindungan masyarakat

cenderung untuk menghapuskan dua prinsip keadilan yang penting, yaitu

prinsip (1) bahwa hanya orang yang bersalah sajalah yang seharusnya

dipidana, dan (2) bahwa luasnya pemidanaan harus sesuai atau harus

proposional dengan kejahatan yang dilakukan.38

38
Ibid, hlm. 15
BAB III

PENERAPAN SANKSI PIDANA DENGAN SENGAJA DAN TANPA HAK


MENGGUNAKAN MEREK YANG SAMA DENGAN MEREK TERDAFTAR
PIHAK LAIN UNTUK DI PRODUKSI DAN DI PERDAGANGKAN
MENURUT UNDANG-UNDANG NO 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK

A. Sejarah, Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Merek

1. Sejarah Pengaturan Merek di Indonesia

Berkembangnya perdagangan nasional mengakibatkan adanya

kebutuhan untuk perlindungan Merek secara nasional. Perlindungan Merek di

Indonesia semula diatur dalam Reglement Eigendom Kolonien tahun 1912

(Stb. 1912 No.545) atau Reglementtentang Hak Milik Perindustrian 1912.

Peraturan ini umumnya mengikuti peraturan tentang Merek dan hak milik

industri berdasarkan prinsip corcondatie. Setelah Indonesia merdeka,

kemudian peraturan ini diganti dengan Undang-undang No. 21 Tahun 1961

tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1961 No. 290, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia No. 2341) yang diundangkan pada tanggal 11 oktober

1961 (selanjutnya disebut UUM 1961).1

Masa berlakunya Merek menurut UUM 1961 yaitu 10 tahun. Selain itu

penggolongan barang-barang dibagi ke dalam 35 kelas. UUM 1961

bermaksud melindungi pemakai pertama dari suatu Merek Indonesia. Adapun

1
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan dan Dimensi Hukumnya
di Indonesia), PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm.306.

42
43

pertimbangan lahirnya UUM 1961 ini adalah untuk melindungi khalayak

ramai dari tiruan barang-barang yang memakai suatu Merek yang sudah

dikenal sebagai Merek yang berkualitas baik. Pengaturan hukum Merek yang

terdapat dalam UUM 1961 pada tahun 1992 diganti dengan Undang-Undang

Merek No. 19 Tahun 1992 (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3490)

yang diundangkan pada tanggal 28 Agustus 1992 dan mulai berlaku sejak 1

April 1993 (selanjutnya disebut UUM 1992). Dengan berlakunya UUM 1992,

UUM 1961 sudah tidak berlaku lagi.2

Dalam prinsipnya UUM 1992 telah disempurnakan terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan Merek karena mengikuti dan disesuaikan dengan Paris

Convention 1967. UUM 1992 mengalami banyak perubahan antara lain dalam

hal lingkup peraturan Merek, perubahan system pendaftaran Merek,

pengalihan Merek dengan lisensi, ketentuan sanksi dan pidana.

UUM 1992 tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 14

Tahun 1997 Tentang Merek, pada tahun 2001 Undang-Undang Merek diganti

lagi dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Lembaran

Negara Republik Indonesia No. 4131) yang mulai berlaku sejak tanggal 1

Agustus 2001 (selanjutnya disebut UUM 2001). Sebagai penjabaran yang

lebih lanjut dari pokok-pokok persoalan yang terdapat dalam Pasal-Pasal

UUM 2001 yang jumlahnya 101 Pasal, baik pengaturannya secara inci,

maupun hanya memuat prinsip pokok dalam garis besarnya saja, maka
2
Ibid, hlm. 307
44

sebagai pelaksananya ditindak lanjuti dan diatur dalam peraturan pelaksanaan

antara lain dalam Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.

Perubahan yang menyeluruh ini, selain dimaksudkan untuk

mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang telah

menjadi kegiatan disektor perdagangan yang semakin meningkat secara pesat

dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama serta

mempertahankan iklim persaingan usaha yang sehat, juga dimaksudkan untuk

menampung beberapa aspek atau ketentuan dalam persetujuan TRIPs yang

belum ditampung dalam UUM 1997.

Terdapat perbedaan yang menonjol dalam UUM 2001 dengan UUM

1997, antara lain terdapat pada; proses penyelesaian permohonan, hak

prioritas, penolakan permohonan, perlindungan indikasi geografis, dan

penyelesaian sengketa.3

Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi

Geografis merupakan pengaturan terbaru tentang merek yang berlaku saat ini.

Dimana keluarnya pengaturan baru ini dikarenakan pertimbangan yuridis

yang termuat dalam UU No. 20 tahun 2016 bagian konsideran huruf c yang

menyebutkan bahwa dalam UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek masih

terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan

masyarakat di bidang merek dan indikasi geografis, serta belum cukup

3
Ibid, hlm. 162.
45

menjamin perlindungan potensi ekonomi lokal dan nasional sehingga perlu

diganti.

Beberapa penyempurnaan terhadap UU Merek sebagaimana termuat

dalam penjelasan umum UU No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi

Geografis dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pemohon

merek adalah dalam bentuk penyederhanaan proses dan prosedur

pendaftaran Merek dengan adanya pengaturan tentang persyaratan minimum

permohonan. Perubahan terhadap alur proses pendaftaran merek dalam UU

ini dimaksudkan untuk lebih mempercepat penyelesaian proses pendaftaran

merek. Selain itu, untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap

pemilik merek terdaftar dari adanya pelanggaran merek yang dilakukan oleh

pihak lain, sanksi pidana terhadap pelanggaran merek tersebut diperberat

khususnya yang mengancam kesehatan manusia, lingkungan hidup, dan

dapat mengakibatkan kematian. Mengingat masalah merek terkait erat

dengan faktor ekonomi, dalam UU ini sanksi pidana diperberat. 4

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Merek

Di Indonesia pengertian tentang Merek dapat ditemukan dalam Pasal

ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi

Geografis yang menyatakan bahwa : “Merek adalah tanda yang dapat

ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,

4
Ibid, hlm. 314.
46

susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi,

suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk

membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan

hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa”.

Dari pengertian di atas maka agar suatu tanda dapat dikatakan

sebagai Merek, maka tanda tersebut harus memiliki unsur pembeda. Yang

dimaksud unsur pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan

sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dengan

perusahaan lainnya yang sejenis.

Merek adalah tanda pengenal asal barang/jasa yang bersangkutan

dengan produsennya, sehingga menggambarkan jaminan kepribadian dan

reputasi barang dan jasa hasil usahanya tersebut sewaktu diperdagangkan.

Terdapat padangan lain mengenai Merek yang dikemukakan oleh

Prof. Moelengraaf: "Merek yaitu dengan mana dipribadikan sebuah barang

tertentu, untuk menunjuk asal barang, dan jaminan kualitasnya sehingga bisa

dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat, dan

diperdagangkan oleh orang, atau perusahaan lain."5

Sebuah Merek dapat disebut Merek jika memenuhi syarat mutlak

berupa adanya pembeda yang cukup (capable of distinguishing). Maksudnya

tanda yang dipakai tersebut mempunyai kekuatan untuk membedakan barang

atau jasa yang diproduksi sesuatu perusahaan dari perusahaan lainnya.


5
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.Cit, hlm. 222-224
47

Untuk mempunyai daya pembeda ini, maka Merek itu harus dapat

memberikan penentuan atau "individualisering" pada barang atau jasa yang

bersangkutan. Sesuatu Merek agar memenuhi tujuannya serta untuk

mendapatkan perlindungan hukum maka Merek tersebut perlu didaftarkan. 6

Dari ketentuan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa yang diartikan

dengan merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang

atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau

kelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang atau jasa yang

sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda

maupun sebagai jaminan atas mutunya dan dugunakan dalam kegiatan

perdagangan barang atau jasa. 7

Selain pengertian yang diberikan oleh undang-undang, ada juga

pengertian-pengertian lain mengenai Merek yang dikemukakan oleh

beberapa para ahli, antara lain :

a. Prof. Molengraaf, mengatakan bahwa :

Merek yaitu dengan nama dipribadikanlah sebuah barang tertentu, untuk

menunjukkan asal barang dan jaminan kualitasnya sehingga bisa

dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat dan

diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain. 8

6
Ibid, hlm. 226
7
OK. Sadikin, Op. Cit, hlm. 457
8
R. Sukardono, Hukum Dagang di Indonesia, PT. Djambatan, Jakarta, 1999, hlm.84
48

b. RM. Suryodiningrat, mengatakan bahwa :

Merek adalah barang yang dihasilkan oleh pabriknya yang dibungkus

dan pada bungkusnya itu dibubuhi tanda tulisan dan/atau perkataan

untuk membedakannya dari barang-barang yang sejenis hasil pabrik

pengusaha lain. Tanda itu disebut Merek.

Dari pendapat kedua ahli tersebut, maka sesuatu dapat dikategorikan

dan diakui sebagai Merek, apabila mengandung unsur-unsur sebagai

berikut:9

a. Mempunyai fungsi pembeda (distinctive, distinguish) yang cukup

dengan Merek lain yang sejenis, yaitu memiliki kemampuan untuk

digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil produksi

perusahaan yang satu dengan perusahaan lain.

b. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa yang sejenis

yaitu dengan menentukan apakah yang dihadapi itu barang-barang yang

sejenis, dan juga perlu diperhatikan apakah terdapat persamaan sifat atau

susunannya, persamaan tempat dan cara pembuatannya, serta system

penjualannya.

c. Merupakan tanda pada barang dagang atau jasa (unsur-unsur : gambar,

nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi

dari unsur-unsur tersebut). Sesuai dengan sifat Merek sebagai suatu

tanda untuk membedakan barang-barang atau suatu badan hukum dengan

9
Ibid, hlm.85.
49

barang-barang orang lain, maka tanda yang tidak mempunyai daya

pembeda tidak dapat dipakai sebagai suatu Merek, misalnya lukisan

botol atau kotak barangnya sendiri.

3. Jenis-Jenis Merek

Jenis-jenis Merek dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang

Merek dan Indikasi Geografis, tercantum pada Pasal 1 yaitu Merek dagang

dan jasa. Mengenai pengertian dari jenis Merek tersebut dirumuskan sebagai

berikut :10

a. Merek Dagang

Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama

atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.

(Pasal 1 ayat 2) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan

Indikasi Geografis.

b. Merek Jasa

Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan

oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan

hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. (Pasal 1 ayat 3)

Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi

Geografis.

10
Rahmadi Usman, Op. Cit. hlm. 323-324
50

c. Merek Kolektif

Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa

dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu

barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh

beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk

membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. (Pasal 1 ayat

(4)) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi

Geografis. Pada prinsipnya, Merek kolektif ini juga adalah Merek dagang

atau Merek jasa yang digunakan secara bersama-sama (kolektif) oleh

beberapa orang atau badan hukum dalam perdagangan.

Merek kolektif ini merupakan Merek dari perkumpulan atau asosiasi.

Umumnya asosiasi ini dari para produsen, atau dari para pedagang dalam

barang-barang yang dihasilkan dalam suatu Negara tertentu atau dari barang

dan jasa yang mempunyai ciri-ciri tertentu.11

Menurut Sudargo Gautama, bahwa tanda-tanda yang diperkenalkan

dengan istilah Merek kolektif bukan berfungsi untuk membedakan barang-

barang atau jasa-jasa dari suatu perusahaan terhadap perusahaan lain. Akan

tetapi, Merek kolektif ini dipakai untuk membedakan asal usul geografis atau

karakteristik yang berbeda pada barang-barang atau jasa dari perusahaan yang

berbeda, tetapi memakai Merek secara kolektif dibawah pengawasan yang

11
Ibid, hlm. 325.
51

berhak. Dengan perkataan lain, benda atau jasa tersebut diberikan jaminan

tertentu tentang kualitasnya.12

Jadi dengan adanya klasifikasi Merek kolektif itu bukan berarti ada

tiga jenis Merek, jenis Merek hanya tetap dua, yaitu Merek dagang dan Merek

jasa. Untuk Merek kolektif pun boleh dipakai oleh beberapa orang atau boleh

juga oleh badan hukum. Berbeda dengan UUM 2001, Konvensi Paris 1976

memberikan batasan tentang Merek (dagang) kolekif, yaitu Merek dagang

yang digunakan untuk barang-barang hasil produk suatu usaha, tetapi berlaku

sebagai Merek dagang jaminan atas barang-barang hasil produksi atau yang

disalurkan oleh kelompok atau jenis usaha tertentu atas barang yang memiliki

mutu khusus.

Pembedaan Merek seperti ini mengikuti Paris Convention yang juga

mengadakan pembedaan Merek, antar lain ; Merek dagang (trade mark),

Merek jasa (service mark), Merek gabungan atau koletif (collective mark),

dan nama dagang (trade mark).

4. Perlindungan Hukum Terhadap Merek

Berdasarkan Pasal 1 UU No.14 tahun 1997 jo UU No.15 tahun 2001,

Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf angka-angka,

susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya

pembeda dan digunakan dalam dunia perdagangan barang atau jasa. Merek

12
Sudargo Gautama, Hukum Merek di Indonesia, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 141-
142
52

yang memperoleh perlindungan adalah merek yang terdaftar di Dirjen HAKI,

Depkumham.13 Merek yang terdaftar adalah merek yang sah dan diakui oleh

undang-undang dan mempunyai nomor register, sehingga memperoleh

perlindungan dari Negara melalui Kantor Pengadilan. Sedang merek yang

belum atu tidak terdaftar tdak memperoleh perlindungan hukum dari Negara.

Karena pelanggaran merek adalah delik aduan maka apabila ada pihak yang

secara sah memiliki merek mengadukan maka Kantor pengadilan akan

memprosesnya.14

Proses peradilan ini merupakan bentuk perlindungan yang diberikan

Negara kepada pemilik merek yang sah atau yang terdaftar di Dirjen HAKI.

Apabila secara sah dan meyakinkan terdapat atau ada pelanggaran merek

maka hakim akan memberikan perlindungan melalui putusan yang adil. Bagi

Pelanggar akan dikenakan sanksi (baik pidana maupun denda) sesuai

ketentuan pidana merek yang diatur dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 95

UU No.15 Tahun 2001. Dan apabila terbukti secara secara sah ada pihak yang

telah melakukan pelanggaran merek maka pihak yang melakukan pelanggaran

akan dikenakan sanksi (baik pidana atau denda) sesuai dengan pelangaran

13
Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khusunya Hukum Paten dan Merek, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1990, hlm.44
14
Insan Budi Maulana, Ridwan Khairandy, Nurjihad, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual,
Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta, 2000, hlm.89
53

yang dilakukan. Jadi perlindungan hukum akan diberikan oleh Negara hanya

kepada merek yang terdaftar saja.15

Pihak yang melanggar akan dikenakan sanksi karena jelas memenuhi

unsur perbuatan melawan hukum, karena perbuatan yang melawan hukum

yaitu secara sengaja menggunakan merek pihak lain tanpa hak. Selain itu

menimbulkan kerugian. Pihak pemilik merek dirugikan (secara materiil dan

non materiil) dengan adanya pelanggaran merek tersebut. Karena pelanggaran

merek merupakan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan suatu kesalahan

maka apabila ada pihak yang melakukan pelanggaran merek sudah

sepantasnya dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.16

B. Pendaftaran Merek di Indonesia

Ada dua sistem yang dianut dalam pendaftaran merek yaitu sistem

Deklaratif dan sistem Konstitutif (atributif). Sistem deklaratif mengandung

pengertian bahwa perlindungan hukum terhadap hak atas merek yang diberikan

kepada pemakai merek pertama. Sedangkan sistem Konstitutif lebih menjamin

kepastian hukum karena perlindungan hukum hak atas merek diberikan kepada

pendaftar pertama. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 dalam sistem

pendaftarannya menggunakan sistem konstitutif. Dengan sistem Konstitutif, yaitu,

15
Ibid, hlm.90
16
Harsono Adisumarto, Op. Cit, hlm. 44
54

baru akan menimbulkan hak apabila telah didaftarkan oleh si pemegang. Oleh

karena itu dalam sistem ini pendaftaran adalah merupakan suatu keharusan.17

1. Syarat Pendaftaran Merek

Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang

Merek dan Indikasi Geografis diatur mengenai tata cara permohonan

pendaftaran merek, yaitu :

a. Permohonan pendaftaran Merek diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya

kepada Menteri secara elektronik atau non-elektronik dalam bahasa

Indonesia.

b. Dalam Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

mencantumkan:

1) Tanggal, bulan, dan tahun Permohonan;

2) Nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon;

3) Nama lengkap dan alamat Kuasa apabila Permohonan diajuan melalui

Kuasa;

4) Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya

menggunakan unur-unsur warna;

5) Nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam

hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.

6) Kelas barang dan/ atau kelas jasa uraian jenis barang dan/ jenis jasa.

17
OK. Sadikin, Op.Cit, hlm. 474.
55

Sedangkan dalam Pasal 2 PP Nomor 23 Tahun 1993 diatur mengenai

setiap permintaan pendaftaran merek wajib dilengkapi dengan :

1) Surat pernyataan pendaftaran bahwa merek yang dimintakan

pendaftaran adalah miliknya

2) Dua puluh helai etiket merek yang bersangkutan

3) Tambahan Berita Negara yang memuat akta pendirian badan hukum

atau salinan yang sah akta pendirian badan hukum indonesia

4) Surat Kuasa Khusus apabila permintaan pendaftaran merek diajukan

melalui kuasa

5) Pembayaran biaya dalam rangka permintaan pendaftaran merek yang

jenis dan besarnya ditetapkan menteri

6) Bukti penerimaan permintaan pendaftaran yang pertama kali yang

menimbulkan hak prioritas, dengan disertai terjemahannya dalam

bahasa indonesia, apabila permintaan pendaftaran merek diajukan

dengan menggunakan hak prioritas

7) Salinan peraturan penggunaan merek kolektif, apabila permintaan

pendaftaran merek dagang atau jasa akan digunakan sebagai merek

kolektif.

c. Permohonan ditandangani Pemohon atau Kuasanya.

d. Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan label

Merek dan bukti pembayaran biaya.


56

e. Biaya Permohonan pendaftaran Merek ditentukan per kelas barang dan/

atau jasa.

f. Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa bentuk 3

(tiga) dimensi, label merek yang dilampirkan dalam bentuk karakteristik

dari Merek tersebut.

g. Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa suara, label

Merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara.

h. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan

surat pernyataan kepemilikan Merek yang dimohonkan pendaftarannya.

i. Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya Permohonan sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Dijelaskan lebih lanjut di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2016 mengenai Permohonan Pendaftaran Merek dengan Hak Prioritas,

yaitu :

Pemohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu


paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan
pendaftaran Merek yang pertama kali diterima di Negara lain, yang
merupakan anggota Paris Convention for the Protection of Industrial
Property atau anggota Agreement Establising the World Trade
Organization.18

18
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kepentingan negara yang hanya menjadi salah satu
anggota dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 (sebagaimana telah
beberapa kali diubah) atau Agreement Establishing the World Trade Organixation.
57

2. Perpanjangan Pendaftaran Merek

Menurut Undang-Undang Merek Nomor 20 tahun 2016 Pemohonan

perpanjangan Merek disetujui jika Pemohon melampirkan surat pertanyataan

dan sedangkan pendaftaran merek berlalu untuk jangka waktu 10 (sepuluh)

tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat

diperpanjang, sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang

Merek Tahun 2016.

Permintaan perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar

diajukan secara tertulis oleh pemilik atau luasnya dalam jangka waktu tidak

lebih dari dua belas bulan dan sekurang-kurangnya enam bulan sebelum

berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek terdaftar tersebut.

Permintaan untuk itu dapat diajukan kepada Ditjen Hak Kekayaan Intelektual

dan untuk itu akan dikenakan biaya yang besarnya akan ditetapkan dengan

keputusan Menteri.

Selanjutnya Undang-Udang Merek juga akan menentukan persyaratan

untuk persetujuan permintaan perpanjangan jangka waktu perlindungan merek

terdaftar. Persyaratan itu meliputi :

a. Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa

sebagaimana dicantumkan dalam sertifikat Merek tersebut; dan

b. Barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a masih diproduksi

dan/ atau diperdagangkan (Pasal 36 Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2016)
58

Bukti bahwa merek masih digunakan pada barang atau jasa yang

diproduksi dan diperdagangkan disertakan pada surat permintaan

perpanjangan pendaftaran. Bukti tersebut dapat berupa surat keterangan yang

diberikan oleh instansi yang membina bidang kegiatan usaha atau produksi

barang atau jasa yang bersangkutan. Untuk kepastian hukum maka

perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar dicatat dalam Daftar

Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek dan akan

diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya.19

C. Tindak pidana tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek

terdaftar pihak lain untuk di produksi dan diperdagangkan

Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-

angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki

daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Hal

ini sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 Tentang Merek (UU Merek).

1. Tindak Pidana Terhadap Merek

Pelanggaran terhadap hak merek motivasinya adalah untuk

mendapatkan keuntungan secara mudah, dengan mencoba, meniru, atau

memalsu merek-merek yang sudah terkenal di masyarakat.Dari tindakan

tersebut maka masyarakat dirugikan, baik itu produsen maupun konsumennya,

19
Ibid, hlm. 486
59

selain itu negarapun juga dirugikan. Menurut M. Djumhana dan Djubaedillah,

dari setiap UU yang mengatur merek ditetapkan ketentuan yang mengatur

mengenai sanksi-sanksi untuk pelanggar hak merek orang lain.20

Pada dasar nya tindak pidana terhadap merek yakni perbuatan-

perbuatan yang memiliki unsur-unsur tertentu kepada merek terdaftar yang

sebagai mana diatur seperti dalam Pasal 5 Undang-Undang Merek

menegaskan bahwa apabila merek yang hendak didaftarkan mengandung

unsur-unsur tertentu tidak dapat didaftarkan oleh kantor merek. Misalnya

merek Dagang A yang sudah dikenal masyarakat secara umum bertahun-

tahun, ditiru demikian rupa sehingga memiliki persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya dengan merek Dagang A tersebut. Ini berarti sudah terjadi

iktikad dari peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur

kesengajaannya dalam meniru merek Dagang yang sudah dikenal masyarakat

tersebut.21

Alasan ini dapat dipahami karena perlindungan merek melalui sistem

pendaftaran merek mempunyai tujuan tertentu, antara lain perlindungan

pengusaha pemilik merek, perlindungan konsumen, perlindungan masyarakat

melalui pencegahan dan penanggulangan segala bentuk persaingan curang,

keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum. Apabila pendaftaran merek

20
Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah,Teori dan Prakteknya
di Indonesia), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 11
21
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Edisi. Revisi, Rineka Cipta, Jakarta,
2007, hlm. 73
60

berlawanan dengan tujuan tersebut tentunya perlu dicegah.Undang-Undang

Merek memperkenalkan 3 (tiga) jenis merek, yaitu merek dagang (trade

mark), merek jasa (service mark), dan merek kombinasi.

Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama

atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh

seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk

membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Sedangkan merek kombinasi

adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik

yang sama, yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang atau

badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang

dan/atau jasa sejenis lainnya.22

2. Macam macam tindak pidana terhadap merek

Suatu merek mendapat perlindungan hukum apabila didaftar (pada

direktorat jenderal). UUP tidak menetapkan syarat merek yang dapat didaftar,

akan tetapi menentukan merek yang tidak dapat didaftar, yaitu apa bila merek

tersebut mengandung unsur :

a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

22
Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah, Op. CIt, hlm. 19
61

b. Tidak memiliki daya pembeda

c. Telah menjadi milik umum

d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang

dimohonkan pendaftarannya (Pasal 5 UUM)

Apabila merek telah terdaftar maka pendapat perlindungan hukum, baik

secara perdata maupun pidana. Tindak pidana yang dirumuskan dalam UUM

pada dasarnya adalah suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum

sesuai jenis jenis dan dapat dibedakan atau di kategorikan mengenai kepemilikan

dan penggunaan merek oleh pemiliknya atau pemegang hak merek.:

1. Tindak pidana menggunakan merek yang sama keseluruhannya dengan

merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis (Pasal

90)

“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunkan merek yang
sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Unsur-unsur tindak pidana :

Unsur subjektif.

a. Kesalahan : dengan sengaja

Suatu kehendak si pembuat untuk mewujudkan kompleksitas unsure-

unsur tindak pidana .Si pembuat dalam hal mewujudkan perbuatan

menggunakan merek tersebut menginsyafi atau mengetahui bahwa

merek untuk barang dan/atau jasa telah terdaftar milik pihak lain
62

.Tentu terdakwa menyadari bahwa perbuatannya itu tercela atau

bersifat melawan hukum. Uraian ini yang seharusnya dilakukan Jaksa

dalam surat tuntutanya dalam hal memberikan adanya kesengajaan si

pembuat.23

Unsur-unsur objektif

b. Melawan Hukum : tanpa hak

Membuktikan sifat melawan hukum ialah membuktikan bahwa

si pembuat tidak mendapat izin dari pemegang merek yang terdaftar.

Hal seperti ini tidak sulit dibuktikan.

Selama tidak ada perjanjian-perjanjian khusus antara terdakwa

dengan si pemegang merk terdaftar yang menandakan adanya hak

terdakwa dalam menggunakan merk tersebut, maka unsur melawan

hukum menggunakan merk sudah terbukti.Jaksa tidak wajib

membuktikan adanya perjanjian khusus semacam itu, hak ini karena

sifatnya, maka berlaku pembuktian terbalik (omkering van

bewijslast).24 Beban pembuktian ada pada terdakwa. Selama terdakwa

tidak dapat membuktikan adanya perjanjian khusus semacam itu,

maka unsur tanpa hak telah terbukti.

Unsur melawan hukum disini adalah melawan hukum objektif.

Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa ada kesadaran pada diri

23
Ridwan A. Halim, Hukum Pidana dan Tanya Jawab. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 31.
24
Ibid, hlm. 34
63

terdakwa bahwa menggunakan hak merek milik orang lain tersebut

merupakan perbuatan yang dilarang atau tercela, kesadaran seperti itu

juga perlu dibuktikan.

Karena dimuatnya unsur sengaja yang ditempatkan sebelum

frasa melawan hukum dalam rumusan tindak pidana maka Karena

dirumuskan dengan sengaja tanpa hak, maka wajib dibuktikan.

c. Perbuatan : menggunakan

Menggunakan suatu pebuatan yang abstrak dan harus

dibuktikan dengan wujud konkrit. Wujud konkrit menggunakan,

misalnya : mencetak dengan mencantumkan suatu merek dagang yang

sama keseluruhannya dengan merek dagang terdaftar milik pihak lain

di atas suatu barang atau bungkus barang yang sama jenisnya, baik

yang diperdagangkan atau diproduksi.

d. Objek : merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar

milik pihak lain untuk barang dan jasa sejenis yang diproduksi

dan/atau diperdagangkan.25

Merek terdaftar adalah merek yang diumumkan dalam berita

resmi merek, yang diterbitkan secara berkala setelah pemohon

mengajukan permohonan untuk didaftar, diperiksa, dan diteliti

kemudian didaftar di Direktorat Jenderal HaKI, Departemen Hukum

25
https://parismanalush.blogspot.com/2014/08/tindak-pidana-menggunakan-merek-yang.html
64

dan HAM untuk kemudian mendapat sertifikat merk yang berlaku

selama 10 tahun dan dapat diperpanjang.

Unsur “Milik pihak lain untuk barang dan jasa sejenis yang

diproduksi dan/atau diperdagangkan”. Disebut sebagai unsur keadaan

yang menyertai sekaligus melekat pada unsur objek merk yang sama

pada pokoknya dengan merk yang terdaftar. Unsur tersebut harus

dibuktikan.26

Caranya : dengan membuktikan bahwa ada merk lain yang

sama pada pokoknya dengan merk yang terdaftar sebagai milik pihak

lain untuk barang dan jasa yang sejenis. Jelasnya merk tersebut

dibuktikan telah terdaftar pada Ditjen HaKI dan memilik setifikat

merek27.Dibuktikan juga mengenai keberadaan jenis barang dan atau

jasa yang sama di muka persidangan melalui barang bukti yang disita.

MA memberi petunjuk bahwa walaupun barang bukti tidak

sama dengan alat bukti tetapi barang bukti dapat dimasukan dalam alat

bukti petunjuk yang diperoleh dari keterangan saksi atau dari

keterangan terdakwa.28

26
Mangasa Sidabutar, Keterangan Terdakwa, Salemba Empat, Jakarta, 2001, hlm. 69
27
Barang Bukti yang disita, Pasal 90 UUM
28
Mangasa Sidabutar, Op. CIt, hlm. 69
65

2. Tindak pidana menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan

merek terdaftar milik pihak lain (Pasal 91)

“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang
sama pada pokoknya dan tanpa hak menggunakan merek yang sama untuk
barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagngkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus ribu rupiah)”.

Unsur-unsur tindak pidana

Unsur Subjektif :

a. Unsur-unsur objektif

b. Kesalahan : dengan sengaja

c. Melawan hukum : tanpa hak

d. Perbuatan : menggunakan

e. Objek : merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik

pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan.

Yang dimaksud dengan merek yang sama pada pokoknya dengan

merek yang terdaftar milik pihak lain, ialah merek yang digunakan dengan

merek yang terdaftar sebagai milik orang lain tersebut ada kemiripan

kerena adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang digunakan

dengan merek yang terdaftar sebagai milik pihak lain, Keadaan ini dapat

menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara


66

penempatan, cara penulisan, atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun

persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam dua kedua merek tersebut. 29

Rumusan tindak pidana Pasal 90 sama dengan tindak pidana Pasal

91, hanya berbeda objeknya, maka tidak diuraikan lebih lanjut.

3. Tindak pidana menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan

indikasi-geografis milik pihak lain (Pasal 92 Ayat (1))

“Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang


sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk
barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Unsur-Unsur tindak pidana :

Unsur Subjektif :

Kesalahan : dengan sengaja

Pembuat menghendaki melakukan perbuatan menggunakan.

Diketahuinya bahwa yang digunakan itu adalah tanda yang diketahuinya

sama secara keseluruhannya dengan indikasi-geografis milik pihak lain

untuk barang yang sejenis dengan barang yang terdaftar.30

Pembuat juga mengetahui bahwa tanda yang digunakannya

tersebut telah terdaftar. Untuk membuktikan sikap batin sebelum

seseorang berbuat melalui keadaan objektif yang ada pada diri si pembuat

29
Undang-Undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek, pasal 6 UUM
30
Lamintang, Dasar - dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 172
67

maupun sekitar perbuatan dan objek perbuatan yang tidak sama pada

setiap kasus.

Unsur-unsur Objektif

Melawan Hukum : tanpa hak

Tanpa hak, harus dibuktikan. Sifat melawan hukum perbuatan

terletak pada tanda yang sama secara keseluruhan dengan indikasi-

geografis yang digunakan pembuat adalah milik orang lain.

Perbuatan : menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan

dengan indikasi geografis milik pihak lain. Melakukan suatu perbuatan

mengenai suatu benda dalam wujud dan cara apapun terhadap benda lain

sehingga berpengaruh terhadap benda lain, benda tersebut ialah tanda yang

sama pada keseluruhan (objek tindak pidana) dengan indikasi-geografis

milik pihak lain.

Tanda tersebut dapat berupa etiket, atau label perbuatan yang dapat

dilakukan dengan menggunakan label atau etiket adalah menempelkannya

pada suatu barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar.

Objek : untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang

terdaftar.31

Mengenai objek ini yang harus dibuktikan :

a. Adanya suatu tanda yang digunakan si pembuat

31
Ibid, hlm. 173
68

b. anda tersebut terbukti sama secara keseluruhannya dengan indikasi-

geografis milik pihak lain

c. Tanda tersebut digunakan si pembuat untuk barang yang sama atau

sejenis dengan barang yang telah terdaftar.

4. Tindak pidana menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan

indikasi geografis milik pihak lain (Pasal 92 Ayat (2)

“(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang
sama pada pokoknya dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk
barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahaun dan/atau denda
paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”

Unsur-unsur tindak pidana mirip dengan tindak pidana Pasal 92

ayat (1), yang berbeda ada pada objek tindak pidana yaitu : Tanda yang

sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain. Artinya

tanda yang digunakan dengan tanda yang terdaftar milik orang lain

tersebut ada kemiripan kerena adanya unsur-unsur yang menonjol antara

tanda yang digunakan dengan tanda terdaftar milik lain.32

5. Pencantuman asal sebenarnya pada barang hasil pelanggaran atau

pencantuman kata yang menujukkan barang merupakan tiruan dari barang

terdaftar (Pasal 92 Ayat (3))

“Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan


hasil pelanggaran atau pencantuman kata yang menujukkan bahwa barang
tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi

32
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 34
69

berdasarkan indikasi-geografis diberlakukan ketentuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) “

Perbuatan ini merupakan tindak pidana yang dibebani tanggung

jawab yang sama dengan ketentuan ayat (1) dan ayat (2).

6. Tindak pidana menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi

pada barang dan jasa (Pasal 93)

“Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang
dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat
memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang asal jasa
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah)”

Unsur-unsur tindak pidana

Unsur Subjektif :

a. Kesalahan : dengan sengaja

Unsur- unsur tindak pidana Pasal 93 harus diartikan :

a) Si Pembuat menghendaki melakukan perbuatan menggunakan

(tanda)

b) Si Pembuat mengetahui bahwa yang digunakannya tersebut adalah

tanda

c) Ia mengetahui bahwa tanda yang digunakannya dilindungi

berdasarkan indikasi-asal

d) Disadrinya pula bahwa perbuatab tersebut dapat menyesatkan atau

memperdaya masyarakat mengenai asal barang atau jasa yang

sebenarnya.
70

e) Disadarinya pula bahwa perbuatan yang dilakukan melawan

hokum atau dicela oleh hukum.33

Hal-hal ini yang harus diulas Jaksa dengan sebaik-baiknya dalam surat

tuntutannya, yaitu mengenai unsur sengaja dalam Pasal 93.

Unsur-unsur Objektif :

b. Melawan hukum : Tanpa hak

Untuk membuktikan sifat melawan hukum perbuatan menggunakan

dengan cara berikut :

Bahwa tanda asal yang digunakan oleh pembuat atas suatu barang

seolah-olah berasal dari suatu daerah tertentu yang menujukkan/

memberikan cirri dan kualitas tertentu pada barang tersebut, pada

sesungguhnya tidak demikian.34

Diperlukan adanya kesadaran pembuat bahwa melakukan perbuatan

menggunkan tanda tersebut bertentangan dengan hukum, artinya sadar

bahwa ia tidak berhak menggunakan tanda tersebut karena tanda asal

yang digunakan tersebut dilekatkan pada barang yang sesungguhnya

bukan barang yang sesuai dengan asal yang sebenarnya. Kesadaran ini

harus sesuai dengan keadaan objektif atau yang sebenarnya. Inilah

cara terbaik yang dilakukan oleh Jaksa dalam membuktikan sifat

melawan hokum perbuatan Pasal 93 UUM.

33
Ibid, hlm. 35
34
Lamintang, Op. Cit, hlm. 178
71

c. Perbuatan : Menggunakan tanda

Menggunakan adalah memasang suatu tanda, menempelkan, dan

sebagainya. Menempelkan tanda yang dimaksud pada barang dan jasa

sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai

asal barang atau jasa.

d. Objek : tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang

atau jasa

Pada objek tanda melekat suatu unsur yang disebut keadaan yang

menyertai dan terdapat pada kalimat “yang dilindungi berdasarkan

indikasi-asal pada barang atau jasa” sehingga dapat memperdaya atau

menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal barang

tersebut.

Menujukan adanya akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan

menggunakan tanda indikasi asal tersebut. Cukup membuktikan bahwa

tanda indikasi asal pada barang yang sama tersebut karena sifat dan

keadaan yang sedemikian rupa dapat menyesatkan orang lain.35

7. Tindak pidana memperdagangkan barang dan/atau jasa hasil pelanggaran

Pasal 90, 91, 92 atau Pasal 93 (Pasal 94 jo Pasal 90 jo 91 jo Pasal 92,

Pasal 93). Apabila dilihat dari sudut objeknya maka tindak pidana pada

huruf g ini terdiri atas empat macam.

35
Ibid, hlm. 179
72

Rumusan Pasal 94 Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek

dan Indikasi Geografis :

(1) Barang siapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui


atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan
hasil pelanggaran Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelanggaran.

Unsur-unsur tindak pidana

Unsur-unsur Objektif :

a. Perbuatan : memperdagangkan

Adalah perbuatan menjualbelikan barang, jang mana disatu pihak

penjual, menjual barang dan/atau jasa pada pihak lain yang disebut

pembeli dengan membayar sejumlah uang sebagai harga tersebut pada

si penjual. Dalam hal ini terdapat perbuatan hukum jual beli.36

b. Objek : a). barang; atau b). jasa

c. merupakan hasil pelanggaran Pasal 90, 91,92 dan 93

Unsur objek tindak pidana ada dua yaitu barang dan jasa, melekat

keadaan yang menyertai, yakni hasil pelanggaran. Objek tersebut

merupakan benda hasil pelanggaran Pasal 90, 91, 92, 93.

36
Perhatikan Pasal 1457 BW
73

Unsur sifat barang hasil pelanggaran Pasal 90, 91, 92, atau 93,

merupakan unsur objektif sekaligus dituju oleh unsur kesalahan sehingga

harus dibuktikan kesalahannya.

Orang yang menjualbelikan barang berdasarkan Pasal 94 UUM

tidak mungkin dipidana apabila tidak dapat dibuktikan bahwa terjadi

tindak pidana Pasal 90, 91, 92, dan 93. Bisa terjadi orang yang melanggar

Pasal Pasal tersebut, tidak sama dengan orang yang menjualbelikan

barangnya (Pasal 94).

Untuk ini perlu dibuat dalam berkas secara terpisah, karena sejak

semula si pelanggar tidak dapat diperiksa dan perkaranya tidak diberkas

karena tidak diketahui keberadaannya.37

Meskipun salah satu diantara empat Pasal ini tidak didakwakan

pada terdakwa agar si pembuat dapat dipidanakan berdasarkan Pasal 94,

maka tetap wajib dibuktikan bahwa telah terjadi tindak pidana Pasal 90,

91, 92, atau 93.

Unsur Subjektif. Kesalahan :

a. yang diketahui atau

b. patut diketahui barang dan /atau jasa tersebut merupakan hasil

pelanggaran Pasal 90, 91, 92, dan 93.

37
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 37.
74

Unsur kesalahan disini ada dua yaitu kesengajaan dan kealpaan.

Kesengajaan dirumuskan dengan kata “diketahui”, sedangkan kealpaan

dirumuskan dengan “patut diketahui”.

Diketahui atau patut diketahui ditujukan terhadap keadaan bahwa

benda objek merupakan hasil pelanggaran Pasal 90, 91, 92, atau 93. Oleh

karena pengetahuan atau patut diketahui tersebut dapat dibuktikan, apabila

secara objektif memang terbukti terjadi tindak pidana Pasal 90, 91, 92,

atau 93.

Perbuatan mendagangkan, bersifat aktif, maka tidak mungkin

pembuat perbuatan itu tidak dikehendaki. Kehendak (sengaja dalam arti

sempit) untuk melakukan perbuatan mendagangkan secara terselubung

terdapat pada perbuatan mendagangkan, dengan terbuktinya perbuatan

mendagangkan, maka dianggap terbukti pula unsur kesengajaan sebagai

kehendak melakukan perbuatan tersebut.38

D. Penerapan sanksi pidana dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan

merek yang sama dengan merek terdaftar pihak lain untuk di produksi dan

di perdagangkan menurut Undang-Undang No 15 tahun 2001 tentang merek

Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 91 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001.

38
Ibid, hlm. 39
75

1. Menyatakan Terdakwa Ridha Wahyuni alias Ayu dijatuhi pidana dengan pidana

penjara selama 1 (satu) tahun;

2. Menyatakan barang bukti berupa :

a. 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Newgrand dengan Logo buah

manggis warna hijau dasar putih size XL beserta 1 (satu) lembar bon/faktur

pembelian dari Toko Ayu tanggal 4 Februari 2013 beralamat Lantai II

Nomor 203, 204 Pusat Pasar Medan; Dirampas untuk dimusnahkan;

b. 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Arrow Apple warna hijau dasar

putih yang terdiri dari size S, M dan L (sebagai pembanding);

Dikembalikan kepada saksi Alina Mona

c. 1 (satu) lembar FC legalisir sertifikat merek dengan nomor pendaftaran

setelah diperpanjang pada tanggal 20 Agustus 2009 adalah : 448573-14

Agustus 2000 untuk kelas barang 25;

d. 1 (satu) lembar surat kuasa dari Hendrik Ryo Leong tanggal 1 Februari

2013, Tetap terlampir dalam berkas perkara;

3. Menyatakan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp1.000,00 (seribu rupiah);

Membaca putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor

2302/Pid.B/2013/PN.Mdn. tanggal 18 Maret 2014 yang amar lengkapnya

sebagai berikut: 39

39
Putusan No 339/PID/2013/PTMDN
76

a. Menyatakan Terdakwa Ridha Wahyuni alias Ayu sebagaimana identitas di

atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “dibidang Merk”;

b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa selama 1 (satu) tahun;

c. Menetapkan bahwa pidana yang dijatuhkan tidak perlu dijalani kecuali

kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim oleh karena

Terdakwa melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum dalam masa

percobaan selama 2 (dua) tahun;

4. Menetapkan barang bukti berupa :

a. 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Newgrand dengan logo buah

manggis warna hijau dasar putih size XL beserta 1 (satu) lembar bon/faktur

pembelian dari Toko Ayu tanggal 4 Februari 2013 beralamat Lantai II

Nomor 203, 204 Pusat Pasar Medan, dirampas untuk dimusnahkan;

b. 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Arrow Apple warna hijau dasar

putih yang terdiri dari size S, M, L (sebagai pembanding), dikembalikan

kepada saksi Alian Mona;

c. 1 (satu) lembar FC legalisir sertifikat merek dengan nomor pendaftaran

setelah diperpanjang pada tanggal 20 Agustus 2009 adalah : 448573-14

Agustus 2000 untuk kelas barang 25;


77

d. 1 (satu) lembar surat kuasa dari Hendrik Ryo Leong tanggal 1 Februari

2013, tetap terlampir dalam berkas perkara;40

5. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp1.000,00 (seribu

rupiah);

Membaca putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor : 339/PID/2014/PTMDN

tanggal 11 Juli 2014 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

a. Menerima permintaan banding dari Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan

Negeri Medan tersebut;

b. Merubah putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :

2302/Pid.B/2013/PN.Mdn, tanggal 18 Maret 2014 sekedar mengenai

lamanya pidana yang dijatuhkan sehingga amar selengkapnya berbunyi

sebagai berikut :

1) Menyatakan Terdakwa Ridha Wahyuni alias Ayu telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dibidang

Merek”;

2) Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa selama 8 (delapan)

bulan;

3) Menetapkan barang bukti berupa :

c. 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Newgrand dengan logo buah

manggis warna hijau dasar putih size XL beserta 1 (satu) lembar bon/faktur

40
Ibid
78

pembelian dari Toko Ayu tanggal 4 Februari 2013 beralamat Lantai II

Nomor 203, 204 Pusat Pasar Medan, dirampas untuk dimusnahkan;

d. 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Arrow Apple warna hijau dasar

putih yang terdiri dari size S, M, L (sebagai pembanding), dikembalikan

kepada saksi Alian Mona;

e. 1 (satu) lembar FC legalisir sertifikat merek dengan nomor pendaftaran

setelah diperpanjang pada tanggal 20 Agustus 2009 adalah : 448573-14

Agustus 2000 untuk kelas barang 25;41

41
Ibid
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Pengaturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Tindak

Pidana Bidang Merek

Dalam Perkara No 339/PID/2013/PT.MDN, Hakim Pengadilan Tinggi

menjatuhkan sanksi kepada pelaku dengan mengacu pada ketentuan Pasal 91

Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Untuk itu pada bagian ini

penulis menguraikan mengenai pengaturan sanksi pidana yang diatur dalam

Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek

dan Desain Industri yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 90 yang menyatakan

bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunkan merek yang

sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang

dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Adapun unsur-unsur dari pasal tersebut

yaitu sebagai berikut :

1. Kesalahan : dengan sengaja

2. Melawan Hukum : tanpa hak

3. Perbuatan : menggunakan

79
80

4. Objek : merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik

pihak lain untuk barang dan jasa sejenis yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan.

Landasan filosofis mencakup hal-hal yang merupakan pertimbangan

bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran,

dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945.

Landasan filosofis diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun

2001 ditujukan agar Undang-Undang ini memiliki makna dan bermanfaat bagi

kepentingan nasional meski Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan

Dunia, dan meratifikasi beberapa konvensi internasional dibidang HKI, serta

berkewajiban melindungi kepentingan pemilik merek yang sebenarnya, dan

beritikad baik dapat melindungi khalayak ramai terhadap tiruan atau pemalsuan

barang-barang dan jasa yang membonceng suatu barang atau jasa yang sudah

terkenal sebagai barang dan jasa yang bermutu baik dan unggul. Keseimbangan

dan berkeadilan dalam mengimplementasi sistem merek dengan tetap

memperhatikan kepastian hukum dalam penegakan hukumnya, tetapi juga tetap

memperhatikan kepentingan ekonomi nasional secara umum merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dalam landasan yuridis, dan sosial yang termasuk dalam

Undang-Undang tentang merk ini. Oleh karena itu, meski pemilik merek terdaftar

memiliki hak eksklusif atas pendaftaran mereknya, namun pendaftaran merek itu
81

dapat dihapuskan apabila tidak digunakan setelah jangka waktu tertentu selain itu,

jangka waktu perlindungan merek pun dibatasi selama 10 tahun, dan akan bisa

digunakan dan didaftarkan oleh pihak lain apabila pemilik merek awal itu tidak

mengajukan permohonan perpanjangan atas merek terdaftarnya.

Adapun Asas-Asas yang membangun Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 diantaranya adalah :

a. Asas Kepastian Hukum

Yang dimaksud dengan asas kepastian hukum adalah bahwa setiap

materi muatan peraturan perundang-udangan harus menimbulkan ketertiban

dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Hukum positif

atau hukum yang berlaku di Indonesia merupakan dasar landasan dalam

pemerintahan. Hukum positif ditegakkan atau dipertahankan oleh atau melalui

pemerintah atau pengadilan.Kepastian hukum harus dilindungi oleh

pemerintah dalam pelaksanaanya.

Artinya dalam upaya melindungi hak kekayaan intelektual atas merek

harus didasarkan pada aturan-aturan yang mencakup Jaminan atas

perlindungan hukum yang akan diberikan pada pemegang merek termasuk

upaya-upaya apa saja yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan

sehingga dapat menimbulkan suatu kepastian hukum bagi pemegang merek

dan pemerintah serta seluruh pihak terkait.


82

b. Manfaat

Yang dimaksud dengan asas manfaat adalah segala usaha dan/atau

kegiatan pembangunan dan/atau pelaksanaan dari pengaturan dalam peraturan

perundang-undangan yang akan dibentuk haruslah berdaya guna bagi semua

sektor yang berkaitan dengan bidang pengaturan.

Arti manfaat disini adalah dengan dibentuknya Undang-Undang ini

dapat memberi manfaat sosial dan material bagi kepentingan perlindungan

Hak kekayaan Intelektualitas khususnya pada perlindungan merek.

c. Asas Keadilan

Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa setiap materi

muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Kaitannya dengan

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 adalah bahwa di dalam era

perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang

telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama

dalam menjaga persaingan usaha yang sehat dan bahwa untuk hal tersebut di

atas diperlukan pengaturan yang memadai tentang merek guna memberikan

peningkatan layanan bagi masyarakat.

Teori-Teori Yang Melandasi dibentuknya Undang-undang Nomor 15

tahun 2001 tentang Merek yaitu sebagai berikut :


83

a. Teori Hukum Alam (John Locke)

Merek yang merupakan bagian dari hukum kekayaan intelektual

(HKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik.

Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia

terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda

dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda

yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud

yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia. Merek merupakan salah

satu dari benda tak berwujud yang keberadaaannya diatur oleh John Locke

mengajukan konsep “kerja” (labor) sebagai pembeda dari pengambilalihan

sesuatu dari alam semesta ini. Konsep kerja ini dilengkapi dengan konsep

pencampuran sesuatu yang diambil dari alam dengan suatu bentuk kerja

tertentu (konsep mixing metaphors) Dapat dikatakan hal tentang memberikan

nilai lebih inilah yang menjadi pembeda dan sumber legitimasi manusia untuk

bisa mengatakan bahwa sesuatu itu menjadi miliknya.

b. Reward, Recovery, Incentive Theory

Teori reward antara lain menyatakan sebenarnya bahwa pencipta atau

penemu harus diberi penghargaan atas jerih payahnya menghasilkan

penemuan. Sehingga pemilik merk yang menghasilkan suatu merk yang

merupakan salah satu bidang HKI harus diberi penghargaan atas jerih

payahnya, mereka tidak boleh dilanggar atau digunakan orang lain dalam

perdagangan barang dan atau jasa tanpa izin dari pemilik merek. Adapun teori
84

recovery antara lain menyatakan bahwa penemu atau pencipta setelah

mengeluarkan jerih payah dan waktu serta biaya, harus memperoleh

kesempatan untuk meraih kembali sesuatu dari apa yang telah dikeluarkannya.

Berdasarkan teori recovery, pemilik merek memiliki hak ekonomi untuk dapat

memperoleh kembali biaya-biaya yang telah dikeluarkannya sehubungan

dengan merek yang dihasilkan yang digunakan sebagai tanda pada barang-

barang yang diproduksi, dijual atau dipasarkan, dan juga pada jasa-jasa yang

menggunakan merek tersebut. Misalnya biaya promosi, iklan, biaya

pendaftaran merek di banyak negara dan keterlibatan pemilik merek pada

peristiwa- peristiwa tertentu untuk memperkenalkan mereknya kepada public.

Yang terakhir, teori incentive yang dikemukakan oleh Sherwood antara lain

menyatakan bahwa dalam rangka menarik upaya dan dana bagi pelaksanaan

dan pengembangan kreatifitas penemuan, serta menghasilkan sesuatu yang

baru, diperlukan adanya suatu insentif yang dapat memacu agar kegiatan-

kegiatan penelitian yang dimaksudkan dapat terjadi. Dalam konteks merek,

adanya perlindungan hukum atas merek terdaftar bagi pemilik merek selama

10 tahun yang diatur dalam Pasal 28 UU No 15tahun 2001tentang merek,

bahwa merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu

sepuluh tahun sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu

dapat diperpanjang merupakan bentuk insentif yang diberikan oleh

Pemerintah. Pemilik merek memiliki hak untuk memberikan lisensi atau izin

kepada pihak lain untuk menggunakan) mereknya dengan ketentuan dan


85

syarat-syarat tertentu sebagaimana yang diperhantikan dalam perjanjian

lisensi, sehingga pemilik merek dapat menikmati manfaat ekonomi berupa

royalti. Sampai saat ini Peraturan Pemerintah mengenai tata cara Permohonan

Pencatatan Perjanjian Lisensi belum diterbitkan.

B. Analisis Putusan Nomor 339/Pid/2013/PT.Mdn

1. Kasus Posisi

Terdakwa Ridha Wahyuni pada hari Senin tanggal 4 Februari 2013 atau

setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2013 bertempat di lantai I

Pusat Pasar Sentral Medan Kota Medan atau setidaktidaknya pada suatu tempat

lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan,

“dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya

dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang

diproduksi dan/atau diperdagangkan”.

Pada bulan Juni 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di

rumah Terdakwa di Jalan Jermal XI Kelurahan Denai Kecamatan Medan Denai

Kota Medan Terdakwa telah memproduksi celana dalam merek Newgrand

dengan logo buah manggis. Selanjutnya celana dalam tersebut Terdakwa

perdagangkan di toko milik Terdakwa (Toko Ayu) yang bertempat di lantai I

Pusat Pasar Sentral Medan, hingga kemudian pada hari Senin tanggal 4

Februari 2013 datanglah saksi Lidya Puspitawaty dan saksi Roslita Br.

Simamora ke Toko Ayu dan kemudian membeli 1 (satu) lusin celana dalam
86

merek Newgrand bergambar buah manggis berwarna hijau dasar putih

denganharga Rp38.000,00 (tiga puluh delapan ribu rupiah) yang ternyata

setelah diperhatikan celana dalam merek Newgrand logo buah manggis tersebut

bukanlah hasil produksi Arrow & Apple atau Arrow Apple, akan tetapi merek

yang terdapat pada celana dalam tersebut memiliki persamaan dengan merek

Arrow & Apple atau Arrow Apple yang terdapat pada celana dalam yang

diproduksi oleh saksi Alina Mona dan Shally Ryo sebagai pemilik merek

Arrow & Apple dan Arrow Apple berdasarkan Perjanjian Lisensi dengan

Hendrik Ryo Leong sesuai dengan Akta Perjanjian Lisensi Nomor 22 tanggal

11 Juni 2010 yang diterbitkan oleh Notaris Nathalia Alvina Jinata, SH.

Etiket dari merek Arrow & Apple atau Arrow Apple adalah sebagai

berikut :

a. Bergambar buah apel bertuliskan Arrow Apple dan bertanda panah dengan

arti bahasa/huruf/angka asing dalam merek Arrow : Panah, Apple : Apel

dengan warna warni etiket : hijau di atas dasar putih dengan nomor

pendaftaran setelah diperpanjang pada tanggal 20 Agustus 2009 adalah :

448573-14 Agustus 2000 untuk kelas barang 25;

b. Bergambar buah apel bertuliskan Arrow Apple dan bertanda panah dengan

arti bahasa/huruf/angka asing dalam merek Arrow : Panah, Apple : Apel

dengan warna warni etiket : Hitam-Putih dengan nomor pendaftaran setelah

diperpanjang pada tanggal 24 Agustus 2009 adalah : 448572-24 Agustus

2000;
87

Selain itu harga jual dari celana dalam merek Newgrand milik

Terdakwa jauh lebih murah dibandingkan dengan harga celana dalam merek

Arrow Apple yaitu sebesar Rp60.000,00/lusin;

Berdasarkan keterangan saksi ahli Ahmad Rifadi, SH., M.Si. celana

dalam wanita merek Newgrand logo buah manggis yang diproduksi oleh

Terdakwa tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Arrow

& Apple daftar Nomor IDM IDM000238446 dan merek Arrow Apple Nomor

daftar Nomor IDM 000238448, adapun letak persamaannya adalah pada

penggunaan lukisan buah apel, penggunaan merek kata APPLE dan

penggunaan unsur desain warna hijau pada lukisan buah apel.

Terdakwa tidak memiliki sertifikat merek atau izin lisensi dalam

memproduksi celana dalam wanita menggunakan merek Newgrand logo buah

manggis tersebut.

2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Akibat perbuatan Terdakwa pihak saksi Alina Mona selaku pemegang

hak merek celana dalam merek Arrow & Apple dan Arrow Apple merasa

dirugikan dikarenakan turunnya hasil penjualan setiap bulan; Perbuatan

Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 91 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Atau
88

Kedua :

Bahwa ia Terdakwa Ridha Wahyuni pada hari Senin tanggal 4 Februari

2013 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2013 bertempat

di lantai I Pusat Pasar Sentral Medan Kota Medan atau setidaktidaknya pada

suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri

Medan, “memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut

diketahui bahwa barang dan/atau jasa yang diketahui bahwa barang dan/atau

jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal

90, Pasal 91, Pasal 92 dan Pasal 93”.

Pada bulan Juni 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di

rumah Terdakwa di Jalan Jermal XI Kelurahan Denai Kecamatan Medan Denai

Kota Medan Terdakwa telah memproduksi celana dalam merek Newgrand

dengan logo buah manggis. Selanjutnya celana dalam tersebut Terdakwa

perdagangkan di toko milik Terdakwa (Toko Ayu) yang bertempat di lantai I

Pusat Pasar Sentral Medan, hingga kemudian pada hari Senin tanggal 4

Februari 2013 datanglah saksi Lidya Puspitawaty dan saksi Roslita Br.

Simamora ke Toko Ayu dan kemudian membeli 1 (satu) lusin celana dalam

merek Newgrand bergambar buah manggis berwarna hijau dasar putih dengan

harga Rp38.000,00 (tiga puluh delapan ribu rupiah) yang ternyata setelah

diperhatikan celana dalam merek Newgrand logo buah manggis tersebut

bukanlah hasil produksi Arrow & Apple atau Arrow Apple, akan tetapi merek

yang terdapat pada celana dalam tersebut memiliki persamaan dengan merek
89

Arrow & Apple atau Arrow Apple yang terdapat pada celana dalam yang

diproduksi oleh saksi Alina Mona dan Shally Ryo sebagai pemilik merek

Arrow & Apple dan Arrow Apple berdasarkan Perjanjian Lisensi dengan

Hendrik Ryo Leong sesuai dengan Akta Perjanjian Lisensi Nomor 22 tanggal

11 Juni 2010 yang diterbitkan oleh Notaris Nathalia Alvina Jinata, SH.

Etiket dari merek Arrow & Apple atau Arrow Apple adalah sebagai

berikut :

a. Bergambar buah apel bertuliskan Arrow Apple dan bertanda panah dengan

arti bahasa/huruf/angka asing dalam merek Arrow : Panah, Apple : Apel

dengan warna warni etiket : hijau di atas dasar putih dengan nomor

pendaftaran setelah diperpanjang pada tanggal 20 Agustus 2009 adalah :

448573-14 Agustus 2000 untuk kelas barang 25;

b. Bergambar buah apel bertuliskan Arrow Apple dan bertanda panah dengan

arti bahasa/huruf/angka asing dalam merek Arrow : Panah, Apple: Apel

dengan warna warni etiket : Hitam-Putih dengan nomor pendaftaran setelah

diperpanjang pada tanggal 24 Agustus 2009 adalah : 448572-24 Agustus

2000;

Selain itu harga jual dari celana dalam merek Newgrand milik

Terdakwa jauh lebih murah dibandingkan dengan harga celana dalam merek

Arrow Apple yaitu sebesar Rp60.000,00/lusin;

Berdasarkan keterangan saksi ahli Ahmad Rifadi, SH., M.Si.bahwa

celana dalam wanita merek Newgrand logo buah manggis yang diproduksi oleh
90

Terdakwa tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Arrow

& Apple daftar Nomor IDM IDM000238446 dan merek Arrow Apple Nomor

daftar Nomor IDM 000238448, adapun letak persamaannya adalah pada

penggunaan lukisan buah apel, penggunaan merek kata apple dan penggunaan

unsur desain warna hijau pada lukisan buah apel; Bahwa Terdakwa tidak

memiliki sertifikat merek atau izin lisensi dalam memproduksi celana dalam

wanita menggunakan merek Newgrand logo buah manggis tersebut.

Akibat perbuatan Terdakwa pihak saksi Alina Mona selaku pemegang

hak merek celana dalam merek Arrow & Apple dan Arrow Apple merasa

dirugikan dikarenakan turunnya hasil penjualan setiap bulan; Perbuatan

Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 94 Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Mahkamah Agung tersebut; Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut

Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tanggal 4 Februari 2014 menyatakan

Terdakwa Ridha Wahyuni alias Ayu telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “dibidang merek” sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 91 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15

Tahun 2001.

Menyatakan Terdakwa Ridha Wahyuni alias Ayu dijatuhi pidana

dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Menyatakan barang bukti berupa :

1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Newgrand dengan Logo buah

manggis warna hijau dasar putih size XL beserta 1 (satu) lembar bon/faktur
91

pembelian dari Toko Ayu tanggal 4 Februari 2013 beralamat Lantai II Nomor

203, 204 Pusat Pasar Medan.

Dirampas untuk dimusnahkan; 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek

Arrow Apple warna hijau dasar putih yang terdiri dari size S, M dan L (sebagai

pembanding). Dikembalikan kepada saksi Alina Mona, 1 (satu) lembar FC

legalisir sertifikat merek dengan nomor pendaftaran setelah diperpanjang pada

tanggal 20 Agustus 2009 adalah : 448573-14 Agustus 2000 untuk kelas barang

25; 1 (satu) lembar surat kuasa dari Hendrik Ryo Leong tanggal 1 Februari

2013, Tetap terlampir dalam berkas perkara. Menyatakan agar Terdakwa

dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah).

Membaca putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2302/Pid.B/2013/

PN.Mdn. tanggal 18 Maret 2014 yang amar lengkapnya sebagai berikut:

a. Menyatakan Terdakwa Ridha Wahyuni alias Ayu sebagaimana identitas di

atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “dibidang Merk”.

b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa selama 1 (satu) tahun.

c. Menetapkan bahwa pidana yang dijatuhkan tidak perlu dijalani kecuali

kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim oleh karena

Terdakwa melakukan perbuatan pidana yang dapat dihukum dalam masa

percobaan selama 2 (dua) tahun.

d. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek

Newgrand dengan logo buah manggis warna hijau dasar putih size XL
92

beserta 1 (satu) lembar bon/faktur pembelian dari Toko Ayu tanggal 4

Februari 2013 beralamat Lantai II Nomor 203, 204 Pusat Pasar Medan,

dirampas untuk dimusnahkan, 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek

Arrow Apple warna hijau dasar putih yang terdiri dari size S, M, L (sebagai

pembanding), dikembalikan kepada saksi Alian Mona, 1 (satu) lembar FC

legalisir sertifikat merek dengan nomor pendaftaran setelah diperpanjang

pada tanggal 20 Agustus 2009 adalah : 448573-14 Agustus 2000 untuk

kelas barang 25, 1 (satu) lembar surat kuasa dari Hendrik Ryo Leong

tanggal 1 Februari 2013, tetap terlampir dalam berkas perkara.

e. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp1.000,00 (seribu

rupiah).

Membaca putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor :

339/PID/2014/PT.Mdn tanggal 11 Juli 2014 yang amar lengkapnya sebagai

berikut: Menerima permintaan banding dari Jaksa/Penuntut Umum pada

Kejaksaan Negeri Medan tersebut; Merubah putusan Pengadilan Negeri Medan

Nomor : 2302/Pid.B/2013/PNMdn, tanggal 18 Maret 2014 sekedar mengenai

lamanya pidana yang dijatuhkan sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai

berikut :

a. Menyatakan Terdakwa Ridha Wahyuni alias Ayu telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dibidang Merek”.

b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa selama 8 (delapan) bulan.


93

c. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek

Newgrand dengan logo buah manggis warna hijau dasar putih size XL

beserta 1 (satu) lembar bon/faktur pembelian dari Toko Ayu tanggal 4

Februari 2013 beralamat Lantai II Nomor 203, 204 Pusat Pasar Medan,

dirampas untuk dimusnahkan; 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek

Arrow Apple warna hijau dasar putih yang terdiri dari size S, M, L (sebagai

pembanding), dikembalikan kepada saksi Alian Mona.

3. Pertimbangan dan Putusan Hakim

Setelah Jaksa Penuntut Umum telah menjatuhkan dakwaan sebagai

mana dengan undang undang yang berlaku, terdakwa mengajukan usaha

dengan cara perpanjang hingga permohonan banding dan pengajuan kasasi

diterima di Kepaniteraan Pengadilan sebagaimana berikut : 1 (satu) lembar FC

legalisir sertifikat merek dengan nomor pendaftaran setelah diperpanjang pada

tanggal 20 Agustus 2009 adalah : 448573-14 Agustus 2000 untuk kelas barang

25;1 (satu) lembar surat kuasa dari Hendrik Ryo Leong tanggal 1 Februari

2013, tetap terlampir dalam berkas perkara.

Membebankan biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan kepada

Terdakwa, yang dalam tingkat banding sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus

rupiah).

Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor

54/Akta.Pid/2014/PN.Mdn yang dibuat oleh Wakil Panitera pada Pengadilan


94

Negeri Medan yang menerangkan, bahwa pada tanggal 25 Agustus 2014 Jaksa/

Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan mengajukan permohonan

kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut; Mengingat pula

akan akta tentang permohonan kasasi Nomor 53/Akta.Pid/2014/PN.Mdn yang

dibuat oleh Wakil Panitera pada Pengadilan Negeri Medan yang menerangkan,

bahwa pada tanggal 22 Agustus 2014 Terdakwa mengajukan permohonan

kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut.

Memperhatikan memori kasasi tanggal 4 September 2014 dari Jaksa/

Penuntut Umum sebagai Pemohon Kasasi I yang diterima di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 4 September 2014. Memperhatikan

pula memori kasasi tanggal 3 September 2014 dari Terdakwa sebagai Pemohon

Kasasi II, yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal

4 September 2014. Membaca surat-surat yang bersangkutan; Menimbang,

bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut telah diberitahukan kepada

Jaksa/Penuntut Umum pada tanggal 14 Agustus 2014 dan Jaksa/Penuntut

Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 25 Agustus 2014 serta

memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan

pada tanggal 4 September 2014 dengan demikian permohonan kasasi beserta

dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara

menurut undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal

dapat diterima.
95

Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut telah

diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 11 Agustus 2014 dan Terdakwa

mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 22 Agustus 2014 serta memori

kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada

tanggal 4 September 2014 dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan

alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengancara menurut

undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat

diterima.

Menimbang, bahwa alasan permohonan kasasi yang diajukan oleh

Pemohon Kasasi I/ Jaksa/Penuntut Umum dan Pemohon Kasasi II/Terdakwa

pada pokoknya sebagai berikut : Alasan permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi I/Jaksa/Penuntut Umum: Bahwa alasan Pemohon Kasasi dalam

mengajukan Permohonan Kasasi adalah disebabkan Pemohon Kasasi sangat

keberatan atas putusan Judex Facti pada tingkat banding Pengadilan Tinggi

Sumatera Utara tersebut sepanjang mengenai pemidanaannya.

Bahwa meskipun alasan kasasi tentang pemidanaan tidak termasuk

ruang lingkup pengajuan kasasi yang telah diatur secara limitatif dalam Pasal

253 KUHAP, akan tetapi berdasarkan Pasal 244 KUHAP ditegaskan bahwa

“terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh

Pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung Terdakwa atau Penuntut

Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah

Agung kecuali terhadap putusan bebas” jadi terhadap putusan pidana pada
96

tingkat terakhir selain daripada Putusan Mahkamah Agung sendiri, dapat

diajukan permintaan pemeriksaan kasasi baik oleh Terdakwa atau Penuntut

Umum. Tanpa kecuali dan tanpa didasarkan pada syarat serta keadaan tertentu,

terhadap semua putusan perkara pidana yang diambil oleh Pengadilan pada

tingkat terakhir, dapat diajukan permintaan pemeriksaan kasasi, ini berarti

sangat beralasan hukum kiranya Permohonan Kasasi ini dinyatakan dapat

diterima.

Pengadilan Tinggi Sumatera Utara yang telah menjatuhkan putusan

pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan

masa percobaan selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan atas kesalahan

melakukan tindak pidana penggelapan. Penjatuhan hukuman yang dilakukan

Pengadilan Tinggi Sumatera Utara tersebut tanpa mengemukakan dasar alasan

pertimbangan ditinjau dari segi kejahatan Terdakwa yang sangat-sangat

merugikan saksi korban dan putusan tersebut tidak memadai ditinjau dari segi

edukatif, korektif maupun represif. Dengan demikian Hakim Majelis

Pengadilan Tinggi Sumatera Utara telah salah dalam menempatkan

kewenangannya karena kewenangannya itu tidak dibarengi dengan

pertimbangan yang integral ditinjau dari segi berat ringannya kejahatan yang

dilakukan sekaligus dikaitkan dengan tindak pidana yang didakwakan oleh

Pemohon Kasasi.

Alasan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa: Bahwa

Judex Facti salah menerapkan hukum karena keliru menafsirkan unsur “dengan
97

sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan

merek terdaftar milik pihak lain untuk barang sejenis yang diproduksi dan

diperdagangkan”; Bahwa yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya

menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Huruf a Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek adalah kemiripan yang

disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu

dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan

baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara

unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-

merek tersebut”; Bahwa adalah merupakan fakta persidangan, berdasarkan

keterangan saksi Alina Mona, saksi Lidya Puspitawaty, dan saksi Roslita Br.

Simamora yang dihubungkan dengan barang bukti berupa 1 (satu) lusin celana

dalam wanita merek Arrow Apple (sebagai pembanding), bahwa merek Arrow

Apple pada celana dalam wanita yang diproduksi saksi Alina Mona tersebut,

ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

a. Bergambar/logo buah apel

b. Terdapat tanda panah mengarah ke buah apel

c. Bertuliskan kata-kata Arrow Apple

d. Berwarna hijau dasar putih.

Bahwa adalah merupakan fakta persidangan, berdasarkan keterangan

saksi Alina Mona, Lidya Puspitawaty, Roslita Br. Simamora dan barang bukti

berupa 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Newgrand yang diproduksi
98

dan diperdagangkan oleh Pemohon Kasasi, ciri-ciri dari merek Newgrand yang

tidak terdaftar tersebut adalah sebagai berikut:

a. Bergambar/logo buah manggis

b. Bertuliskan kata-kata Newgrand

c. Berwarna hijau dasar putih.

Saksi ahli Ahmad Rifaldi, SH., M.Si. menerangkan bahwa setelah saksi

meneliti ada perbedaan antara celana dalam wanitadengan logo buah manggis,

sedangkan pada bahagian lainnya menerangkan bahwa setelah saksi ahli teliti

dan melihat dengan diduga mempunyai persamaan pada pokoknya dengan

merek Arrow & Apple daftar Nomor IDM000238446 dan merek Arrow Apple

daftar Nomor IDM000238448, adapun letak persamaannya adalah pada

penggunaan lukisan buah apel, penggunaan merek kata apple dan penggunaan

unsur desain warna hijau pada lukisan buah apel”.

Bahwa apalagi keterangan saksi ahli Ahmad Rifaldi, SH., M.Si. yang

menerangkan bahwa “setelah saksi ahli teliti dan melihat dengan diduga

mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Arrow & Apple daftar

Nomor IDM000238446 dan merek Arrow Apple daftar Nomor

IDM000238448, adapun letak persamaannya adalah pada penggunaan lukisan

buah apel, penggunaan merek kata apple dan penggunaan unsur desain warna

hijau pada lukisan buah apel” tidak sesuai dengan fakta persidangan dari barang

bukti berupa 1 (satu) lusin celana dalam wanita merek Newgrand yang
99

mempunyai ciri-ciri: Bergambar/logo buah manggis; Bertuliskan kata-kata

Newgrand; Berwarna hijau dasar putih.

Bahwa oleh karena itu, Judex Facti dalam menilai Pemohon Kasasi

telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“dibidang Merek” berdasar alat bukti yang tidak cukup lengkap dan keterangan

seorang saksi ahli Ahmad Rifaldi, SH., M.Si. yang saling bertentangan dan

tidak sesuai dengan fakta persidangan yang terungkap dari berupa 1 (satu) lusin

celana dalam wanita merek Newgrand yang mempunyai ciri-ciri:

a. Bergambar/logo buah manggis

b. Bertuliskan kata-kata Newgrand

c. Berwarna hijau dasar putih.

Bahwa oleh karena itu, Judex Facti telah salah menerapkan atau

melanggar hukum, sehingga putusannya harus dibatalkan; Bahwa dengan

demikian, nyata Judex Facti telah salah menerapkan atau melanggar hukum

atau mengadili tidak menurut cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang,

sehingga putusan Judex Facti yang menyatakan Pemohon Kasasi telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakpidana “di bidang

merek” tidak dapat dipertahankan lagi dan terdapat cukup alasan untuk

membatalkannya.

Menimbang, bahwa terhadap alasan permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi I/Jaksa/Penuntut Umum dan Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut

Mahkamah Agung berpendapat : Mengenai alasan permohonan kasasi dari


100

Pemohon Kasasi I/Jaksa/Penuntut Umum: Bahwa alasan permohonan kasasi

Pemohon Kasasi I/Jaksa/Penuntut Umum bahwa putusan Judex Facti kurang

lengkap pertimbangan hukumnya mengenai hal yang memberatkan sehingga

pidana yang dijatuhkan tidak memenuhi perasaan keadilan tidak dapat

dibenarkan sebab dalam putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi telah

dipertimbangkan dengan tepat dan benar serta lengkap baik dasar-dasar

pemidanaan maupun hal-hal yang memberatkan dan meringankan sehingga

pidana yang dijatuhkan sudah sesuai dengan perbuatan Terdakwa yang telah

secara tanpa hak menggunakan merek Newgrand dengan logo buah manggis.

Berdasar fakta dalam persidangan Terdakwa telah menggunakan merek

yang sama pada pokoknya dengan merek Terdaftar milik orang lain untuk

barang yang diperdagangkan tanpa ijin. Terdakwa memproduksi pakaian celana

dalam wanita dengan merek Newgrand yang tidak terdaftar dengan ciri-ciri :

bergambar/logo buah manggis, bertuliskan kata Newgrand, berwarna dasar

putih gambar berwarna hijau, yang mempunyai kemiripan jenis produksi

barang yang sama dengan merek terdaftar milik saksi Alina Mona dan Hendrik

Ryo Leong dengan ciri-ciri : Bergambar/logo buah apel; Terdapat tanda panah

mengarah ke apel; Bertuliskan kata Arrow Apple; Berwarna hijau dasar putih;

Bahwa barang-barang tersebut diperdagangkan di pasar sehingga merugikan

pemegang merek.

Mengenai alasan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa:

Bahwa alasan permohonan kasasi Pemohon Kasasi II/Terdakwa putusan Judex


101

Facti salah menerapkan hukum, tidak dapat dibenarkan sebab dalam putusan

Judex Facti telah dipertimbangkan dengan tepat dan benar bahwa Terdakwa

bersalah melakukan tindak pidana “di bidang merek”. Lagi pula alasan-alasan

tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan

tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan

dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan pada tingkat kasasi

hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan

hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili

tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang, dan apakah Pengadilan

telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal

253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981).

Namun demikian putusan Judex Facti perlu diperbaiki sepanjang

mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, karena masih ada

keadaan-keadaan yang meringankan atas diri dan perbuatan Terdakwa yang

belum dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Medan yaitu: Korban dan

Terdakwa telah ada perdamaian dan korban pemegang merek telah memaafkan

perbuatan Terdakwa, korban hanya memohon agar Terdakwa tidak mengulangi

perbuatannya. Perbuatan Terdakwa benar memang sebagai perbuatan pidana,

akan tetapi sifat kriminalistiknya lebih bersifat kecurangan dalam perdagangan,

oleh karenanya lebih tepat kepada Terdakwa dijatuhi pidana denda yang

besarnya sebagaimana akan disebut dalam amar putusan ini.


102

Menimbang, bahwa dengan demikian putusan Pengadilan Tinggi

Medan Nomor: 339/PID/2014/ PT-MDN tanggal 11 Juli 2014 yang merubah

putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2302/Pid.B/2013/PN.Mdn. tanggal

18 Maret 2014 harus diperbaiki sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata,

putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum

dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak

dengan memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi tersebut.

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi II/Terdakwa tetap

dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka kepada Pemohon Kasasi II/

Terdakwa harus dibebani untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi;

Memperhatikan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981,

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan

ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan

keduadengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan

perundangundangan lain yang bersangkutan.

MENGADILI

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : Jaksa/Penuntut

Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tersebut; Menolak permohonan kasasi

dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa : Ridha Wahyuni alias Ayu tersebut;


103

a. Memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 339/PID/2014/

PT-MDN tanggal 11 Juli 2014 yang merubah putusan Pengadilan Negeri

Medan Nomor 2302/Pid.B/2013/PN.Mdn. tanggal 18 Maret 2014 sekedar

mengenai pidana yang dijatuhkan sehingga berbunyi sebagai berikut: 1.

Menyatakan Terdakwa Ridha Wahyuni alias Ayu telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”dengan sengaja dan

tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar pihak

lain untuk diproduksi dan diperdagangkan”;

b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar maka kepada Terdakwa dikenakan

pidana pengganti berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

c. Menetapkan barang bukti berupa :

1) 1 (satu) lusin celana dalam wanita merk Newgrand dengan logo buah

manggis warna hijau dasar putih size XL beserta 1 (satu) lembar

bon/faktur pembelian dari Toko Ayu tanggal 4 Februari 2013 beralamat

Lantai II Nomor 203, 204 Pusat Pasar Medan; Dirampas untuk

dimusnahkan;

2) 1 (satu) lusin celana dalam wanita merk Arrow Apple warna hijau dasar

putih yang terdiri dari size S, M, L (sebagai pembanding);

Dikembalikan kepada saksi Alian Mona;


104

3) 1 (satu) lembar FC legalisir sertifikat merek dengan nomor pendaftaran

setelah diperpanjang pada tanggal 20 Agustus 2009 adalah : 448573-14

Agustus 2000 untuk kelas barang 25;

4) 1 (satu) lembar surat kuasa dari Hendrik Ryo Leong tanggal 1 Februari

2013;

Membebankan kepada Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut untuk

membayar biaya perkara pada tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu

lima ratus rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan

Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 12 Mei 2016 oleh Dr. H.M.

Syarifuddin, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah

Agung sebagai Ketua Majelis, Sumardijatmo, S.H., M.H. dan Desnayeti M.,

S.H., M.H., Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam

sidang terbuka untuk umum pada hari dan tanggal itu juga oleh Ketua Majelis

beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh Judika Martine

Hutagalung, S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon

Kasasi I/Jaksa/Penuntut Umum dan Pemohon Kasasi II/Terdakwa.pirkan dalam

berkas perkara;

C. Analisis

Oleh karena kasus di atas terjadi sebelum dikeluarkannnya Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang merek dan indikasi geografis, maka dalam

menganalisis kasus di atas, penulis akan mengkaitkan dengan Undang-undang


105

Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Dimana Hakim Pengadilan Tinggi

menjatuhkan sanksi kepada pelaku dengan mengacu pada ketentuan Pasal 91

Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Untuk itu pada bagian ini

penulis menguraikan mengenai pengaturan sanksi pidana yang diatur dalam

Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek.

Adapun yang menjadi permaslaahan dalam penelitian ini adalah tindak

pidana tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar pihak

lain untuk diproduksi dan di perdagangkan. Tindak pidana tersebut sebagaimana

diatur dalam Pasal 91 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yang

menyatakan bahwa barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan

Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk

barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Sebagaimana diuraikan di atas bahawa pelaku tindak pidana pada bulan

Juni 2012 sampai dengan Desember 2012 bertempat di rumah Terdakwa di Jalan

Jermal XI Kelurahan Denai Kecamatan Medan Denai Kota Medan Terdakwa telah

memproduksi celana dalam merek Newgrand dengan logo buah manggis.

Selanjutnya celana dalam tersebut Terdakwa perdagangkan di toko milik Terdakwa

(Toko Ayu) yang bertempat di lantai I Pusat Pasar Sentral Medan, hingga kemudian

pada hari Senin tanggal 4 Februari 2013 datanglah saksi Lidya Puspitawaty dan

saksi Roslita Br. Simamora ke Toko Ayu dan kemudian membeli 1 (satu) lusin
106

celana dalam merek Newgrand bergambar buah manggis berwarna hijau dasar

putih dengan harga Rp38.000,00 (tiga puluh delapan ribu rupiah) yang ternyata

setelah diperhatikan celana dalam merek Newgrand logo buah manggis tersebut

bukanlah hasil produksi Arrow & Apple atau Arrow Apple, akan tetapi merek yang

terdapat pada celana dalam tersebut memiliki persamaan dengan merek Arrow &

Apple atau Arrow Apple yang terdapat pada celana dalam yang diproduksi oleh

saksi Alina Mona dan Shally Ryo sebagai pemilik merek Arrow & Apple dan

Arrow Apple berdasarkan Perjanjian Lisensi dengan Hendrik Ryo Leong sesuai

dengan Akta Perjanjian Lisensi Nomor 22 tanggal 11 Juni 2010 yang diterbitkan

oleh Notaris Nathalia Alvina Jinata, SH.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sifat dari perbuatan Terdakwa

sangat merugikan korban karena berpengaruh pada Omzet Produksi Perusahaan

karena berkurangnya penawaran terhadap Produksi Perusahaan korban akibat

Pemalsuan Merek yang dilakukan oleh Terdakwa dan berkurang pula keuntungan

yang diterima oleh Korban. Selain itu Konsumen juga dirugikan karena membeli

barang tidak sesuai dengan Kualitas Produk yang Asli dan Konsumen tidak tahu

terhadap pemalsuan merek yang di lakukan oleh Terdakwa.

Perbuatan Terdakwa benar memang sebagai perbuatan pidana, akan tetapi

sifat kriminalistiknya lebih bersifat kecurangan dalam perdagangan, oleh karenanya

lebih tepat kepada Terdakwa dijatuhi pidana denda yang besarnya sebagaimana

akan disebut dalam amar putusan ini.


107

Karena adanya keadaan-keadaan yang meringankan atas perbuatan

Terdakwa Memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:

339/PID/2014/PT-MDN tanggal 11 Juli 2014 yang merubah putusan Pengadilan

Negeri Medan Nomor 2302/Pid.B/2013/PN.Mdn. tanggal 18 Maret 2014 sekedar

mengenai pidana yang dijatuhkan, dengan berbunyi menyatakan Terdakwa Ridha

Wahyuni alias Ayu telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana ”dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama

dengan merek terdaftar pihak lain untuk diproduksi dan diperdagangkan”.

Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila

denda tersebut tidak dibayar maka kepada Terdakwa dikenakan pidana pengganti

berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan; putusan yang dijatuhkan terlah di

pertimbangkan dan di perbaiki, di sesuaikan dari perbuatan terdakwa yaitu

perbuatan pidana terdakwa akan tetapi sifat kriminalistiknya lebih bersifat

kecurangan dalam perdagangan maka dari itu putusan yang di jatuhkan sebagai

mana diatas Karena sebagaimana kewenangan yang di miliki hakim mempunyai

kuasa mempertimbangkan keputusan diluar dari UUD yang berlaku, di lihat dari

segi perbuatan yang terdakwa perbuat/lakukan.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Mengacu pada uraian dan bahasan bab sebelumnya, maka penulis

memberikan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan tindak pidana tentang merek menurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yaitu sebagaimana diatur

dalam Pasal 91 yang menyatakan barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak

menggunakan merek yang sama pada pokoknya dan tanpa hak menggunakan

merek yang sama untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/

atau diperdagngkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus ribu

rupiah). Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang

Merek dan Desain Industri yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 90 yang

menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunkan

merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak

lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Hal

tersebut sebagaimana dalam kasus yang penulis kaji dimana Ridha Wahyuni

alias Ayu telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

108
109

pidana dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama dengan

merek terdaftar pihak lain untuk diproduksi dan diperdagangkan.

2. Penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana dengan tanpa hak

menggunakan merek yang sama dengan merek terdaftar pihak lain untuk di

produksi dan di perdagangkan menurut Undang-Undang No 15 tahun 2001

Tentang Merek yaitu sebagaimana putusan hakim yang menjatuhkan pidana

kepada Ridha Wahyuni alias Ayu dengan pidana denda sebesar

Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda

tersebut tidak dibayar maka kepada Terdakwa dikenakan pidana pengganti

berupa pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Adapun alasan hakim

menjatuhkan pidana kepada Ridha Wahyuni alias Ayu karena perbuatan

terdakwa merupakan perbuatan pidana, akan tetapi sifat kriminalistiknya lebih

bersifat kecurangan dalam perdagangan maka dari itu putusan yang dijatuhkan

sebagai mana diatas. Hal tersebut sebagaimana kewenangan yang di miliki

hakim mempunyai kuasa mempertimbangkan keputusan diluar dari UUD yang

berlaku, di lihat dari segi perbuatan yang terdakwa perbuat/lakukan.

B. Saran

Untuk perbaikan terhadap pengaturan dan fenomena penegakan hukum

merek di Indonesia, maka disarankan:

1. Agar delik aduan yang diatur dalam Pasal 90 sampai dengan Pasal 95

Undang-Undang Merek diubah menjadi delik biasa seperti yang telah


110

diterapkan pada Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek jo

Undang-Undang No.14 Tahun 1997 tentang Merek (UU Lama). Diubah

kembali tindak pidana pelanggaran menjadi tindak pidana kejahatan seperti

pada masa berlakunya Undang-Undang Lama.

2. Diharapkan agar tindak pidana merek dimasukkan sebagai tindak pidana

kejahatan merek dalam dalam Undang-Undang Merek, sebab lebih

melindungi kepentingan masyarakat luas dari dampak merek palsu daripada

hanya sekedar melindungi kepentingan pelaku usaha, atau setidak-tidaknya

kesebandingan atau keseimbangan perlindungan mesti diatur dan ditegakkan

dalam Undang-Undang Merek. Dengan diaturnya kejahatan merek maka

sanksi pidana penjara dimungkinkan antara 10 (sepuluh) tahun sampai dengan

20 (dua puluh) tahun.

Anda mungkin juga menyukai