Anda di halaman 1dari 32

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Usia : 73 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Paren 4/2, Mayong
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status : Menikah
Masuk Rumah Sakit : 25 Maret 2018
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 Maret 2018,
pukul 13.10 WIB di Ruang Rawat Inap RS PKU Muhammadiyah Mayong,
Jepara.
Keluhan Utama
Batuk
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang mengeluh batuk sudah 2 bulan dan bertambah sering 5 hari
sebelum masuk RS. Batuk berdahak dengan dahak berwarna putih. Pasien
menyangkal keluar darah saat batuk. Batuk dirasakan hilang-timbul. Timbul
terutama saat aktivitas seperti berjalan atau mengangkat beban dan saat
menghirup asap atau debu. Batuk kadang mereda saat duduk dengan dua tangan
menyangga badan. Pasien juga sering mengeluh sesak napas. Batuk dan sesak
napas tidak berhubungan dengan cuaca atau suhu. Pasien hanya berobat dengan
obat batuk warung namun tidak membaik. Pasien menyangkal adanya demam,
penurunan berat badan, mual-muntah, dan nyeri dada. BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Namun nafsu makan sedikit menurun.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keluhan serupa : disangkal
- Riwayat diabetes miletus : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal

1
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
- Riwayat asthma : disangkal
- Riwayat pengobatan lama/TB : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat keluhan serupa : disangkal
- Riwayat diabetes miletus : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat asthma : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien tidak bekerja, sehari-hari tinggal di rumah dengan ventilasi yang
cukup dan mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan.
Pasien dulunya seorang petani dan perokok berat. Sehari bisa sampai 20
batang rokok. Merokok lebih dari 30 tahun. Sudah berhenti 10 tahun yang lalu.
Di sekitar rumah pasien tidak ada yang menderita keluhan serupa.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 26 Maret 2018 jam 13.30 WIB:
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital sign :
a. TD : 120/80 mmHg
b. Nadi : 84 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
c. RR : 24 x/menit
d. Suhu : 36,7 0C axiller
e. BB : 50 kg
f. TB : 165 cm
g. IMT : 18,4 kg/m2
h. Kesan : Kurang
 Status internus :
1. Kepala : Kesan mesosefal
- Mata : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
reflex cahaya (+/+), pupil bulat isokor (3 mm / 3 mm).
- Telinga : discharge (-/-), massa (-/-)

2
- Hidung : Simetris, napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah
(-/-).
- Mulut : Sianosis (-), bibir pucat (-), pursed lip breathing (-)
- Leher : Pembesaran kelenjar thyroid (-), kelenjar getah bening
membesar (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
2. Thoraks :
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : normal, tidak ada suara tambahan
PULMO DEXTRA SINISTRA
Depan
1. Inspeksi
Bentuk dada Barrel chest
Hemitorak Simetris statis dinamis Simetris statis dinamis
Warna Sama dengan kulit sekitar Sama dengan kulit sekitar
ICS Melebar
2. Palpasi
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
ICS Melebar
3. Perkusi Hipersonor
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler melemah Vesikuler melemah
Suara tambahan
Wheezing Tidak ada Tidak ada
Ronki kasar Tidak ada Tidak ada
Ronkhi basah halus +++ +++
Stridor Tidak ada Tidak ada
Belakang
1. Inspeksi
Warna Sama dengan kulit sekitar Sama dengan kulit sekitar

3
2. Palpasi
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Stem Fremitus Tidak ada pengerasan dan Tidak ada pengerasan dan
pelemahan pelemahan
3. Perkusi
Lapang paru sonor seluruh lapang paru sonor seluruh lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar Vesikuler melemah Vesikuler melemah
Suara tambahan
1. Wheezing Tidak ada Tidak ada
2. Ronki kasar Tidak ada Tidak ada
3. Ronkhi basah halus +++ +++
4. Stridor Tidak ada Tidak ada

Tampak anterior paru Tampak posterior paru

SDV melemah
SDV melemah

3. Abdomen
Inspeksi : warna kulit sama dengan sekitar
Auskultasi : peristaltik dalam batas normal
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen

4. Ekstremitas
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-

4
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
o Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
DARAH RUTIN LENGKAP
Hemoglobin 15,0 14,0 – 16,0 g/dl
Leukosit 17.800 4.500-11.000 /ul
HITUNG JENIS Segmen 72 50-70 %
Limfosit 19 20-40 %
Monosit 9 2-10 %
Trombosit 231.000 150.000-450.000 /mmM
Erithrosit 5,08 4,5 – 5,9 jt/ul
Hematokrit 43,0 40 – 48% vol%
MCV 84,7 82-95 fl
MCH 29,5 27-31 pg
MCHC 34,8 32-37 g/dl
KIMIA KLINIK
Glukosa sewaktu 99 70-150 md/dl
Ureum 44,3 10,00-50,00 md/dl
Kreatinin 0,8 0,60 – 1,30 mg/dl

o X-foto thoraks :

- Kualitas foto cukup baik


- Simetris
- Trakea di tengah
- Tulang-tulang baik
- Sela iga melebar
- Diafragma tenting (-)
- CTR >50%
- Sudut costophrenicus tajam
- Parenkim paru: corakan
bronkovesikuler meningkat,
hiperaerasi
Kesan :
Cardiomegali, PPOK.

5
o EKG :

Interpretasi :
- Irama : Sinus, reguler
- Frekuensi : 300/3,3 = 90 x/ permenit
- Axis : lead I (+), aVF (-), kesan LAD
- Zona transisi : V3-V4 normo transisi zone
- Gel P : lebar 2 kotak kecil, tinggi 2 kotak kecil  normal
- Interval PR : 0,16 detik (4 kotak kecil)  normal
- Komplek QRS : 0,08 detik (2 kotak kecil)  normal
- ST segmen : ST isoelektrik  Normal
- Gel T : tinggi < gel R, lebar 4 kotak kecil (0,16 s)  normal
Kesan EKG : Irama sinus regular dan LAD
E. RESUME
Pasien batuk 2 bulan dan bertambah sering 5 hari terakhir. Batuk berdahak
berwarna putih, timbul terutama saat aktivitas dan menghirup asap atau debu.
Mereda saat duduk dengan dua tangan menyangga badan. Pasien juga sering
mengeluh sesak napas. Nafsu makan sedikit menurun. Pasien merupakan
mantan perokok aktif (20 batang sehari) selama 30 tahun.

6
Dari pemeriksaan fisik didapatkan IMT kurang. Pemeriksaan thoraks
menunjukkan bentuk dada barrel chest, ICS melebar, hipersonor pada perkusi,
suara dasar vesikuler melemah, dan adanya ronkhi basah halus pada kedua
lapang paru.
Pada pemeriksaan darah rutin ditemukan leukositosis (17.800/ul). Foto thoraks
kesan cardiomegali dan PPOK. EKG kesan LAD.
F. DAFTAR MASALAH
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan
Penunjang
a. Batuk kronik d. IMT kurang j. Leukositosis
b. Dipsneau e. Barrel chest k. X-foto thorax:
c. Nafsu makan turun f. Perkusi thorax l. LAD
hipersonor
g. ICS melebar
h. SDV melemah
i. Ronkhi basah halus

G. DIAGNOSIS
PPOK
H. INITIAL PLAN
Ip Dx : PPOK
Ip Tx :
1. Infus RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
3. Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
4. Inj. Ranitidin 2x1 amp
5. Nebulizer ventolin + pulmicot/8 jam
6. Ambroxol tab 3x1
7. NAC 2x1
8. Salbutamol 2 mg 3x1
Ip Mx : Keadaan umum dan tanda vital
Ip Ex :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang keadaan pasien.
 Menjelaskan tindak lanjut yang akan dilakukan mengenai keadaan pasien.

7
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
 FOLLOW UP
27 Maret 2018
S Batuk berdahak & sesak belum berkurang. Nafsu makan
membaik
O KU : tampak sesak
Kesadaran : CM
TD : 120/80 mmHg
HR : 88 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 37,1 oC
Status internus:
SDV (+/+) melemah
Ronkhi ++/++
Wheezing (-/-)
A PPOK
P 1. Infus RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
3. Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
4. Inj. Ranitidin 2x1 amp
5. Nebulizer ventolin + pulmicot/8 jam
6. Ambroxol tab 3x1
7. NAC 2x1
8. Salbutamol 2 mg 3x1
28 Maret 2018
S Batuk berdahak masih. Sesak berkurang.
O KU : tampak baik
Kesadaran : CM
TD : 110/80 mmHg
HR : 88 x/menit
RR : 22 x/menit
T : 36,8 oC
Status internus :
SDV (+/+) melemah
Ronkhi +/+
Wheezing (-/-)
A PPOK
P 1. Infus RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
3. Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
4. Inj. Ranitidin 2x1 amp

8
5. Nebulizer ventolin + pulmicot/8 jam
6. Ambroxol tab 3x1
7. NAC 2x1
8. Salbutamol 2 mg 3x1
29 Maret 2018
S Batuk berdahak membaik. Sesak (-). Nafsu makan
membaik
O KU : tampak baik
Kesadaran : CM
TD : 120/70 mmHg
HR : 84 x/menit
RR : 22 x/menit
T : 36,5 oC
Status internus:
SDV (+/+) melemah
Ronkhi +/+ perbaikan
Wheezing (-/-)
A Post Curretase hari 0
P 1. Infus RL 20 tpm
2. Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
3. Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
4. Inj. Ranitidin 2x1 amp
5. Nebulizer ventolin + pulmicot/8 jam
6. Ambroxol tab 3x1
7. NAC 2x1
8. Salbutamol 2 mg 3x1
Jika KU baik BLPL

9
BAB II
Penyakit Paru Obstruktif Kronik

A. Definisi
Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial., bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh
proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat
memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat
diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan
partikel gas berbahaya.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga
memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria
PPOK.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
- Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
- Pertambahan penduduk
- Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an
- Industrialisasi
- Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan
(PDPI, 2010)
B. Faktor Resiko
- Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
1. Riwayat merokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
c. Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun :

10
a. Ringan : 0-200
b. Sedang : 200-600
c. Berat : >600
- Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
- Hipereaktiviti bronkus
- Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
- Defisiensi antitripsin alfa-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
C. Patogenesis

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini
adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-
perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini


mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi
sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan.
Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan.(Antonio et all, 2007)

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena
perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas seperti pada
gambar 1.

Gambar 1. PPOK Terkait Partikel Inhalasi

11
(Sumber :Antonio et all, 2007)
Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK, yakni :
peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen saluran
nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas
dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi
pada penderita asma.(Corwin EJ, 2001)

Tabel 1. Patogenesis PPOK (Sumber: PDPI, 2010)

D. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat :(Antonio et all, 2007)
1. Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).
Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80%
Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari
bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: PPOK sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP <
70%; 50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam
bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan
oleh karena sesak nafas yang dialaminya.
3. Derajat III: PPOK berat
Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang
semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50% prediksi).
Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas
latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas
hidup pasien.

12
4. Derajat IV: PPOK sangat berat
Keterbatasan/hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP <
70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan
adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab
itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa
diprediksi dengan VEP1
E. Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
- Gambaran klinis
- Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
- Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater
- Palpasi: pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

13
- Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
- Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung
terdengar jauh
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
a. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP (
%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP)
< 75 %
b. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
c. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
2. Uji bronkodilator (dilakukan pada PPOK stabil)
a. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
b. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
3. Darah rutin (Hb, Ht, leukosit)
4. Radiologi
a. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran :
1) Hiperinflasi
2) Hiperlusen
3) Ruang retrosternal melebar
4) Diafragma mendatar
5) Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop
appearance)

14
b. Pada bronkitis kronik :
1) Normal
2) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
5. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2
minggu, yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250
ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid
6. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
a. Gagal napas kronik stabil
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
7. Elektrokardiografi
a. Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
b. Ekokardiografi
c. Menilai funfsi jantung kanan
8. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab
utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
9. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
G. Diagnosis Banding
Diagnosis Banding PPOK Adalah
1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
3. Pneumotoraks
4. Gagal jantung kronik
5. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,
destroyed lung.

15
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan
karena terapi dan prognosisnya berbeda. Adapun karakteristik dari Asma,
PPOK, dan SOPT pada tabel 2.

H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan :
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari
edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau
tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
- Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
- Melaksanakan pengobatan yang maksimal
- Mencapai aktiviti optimal
- Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun
bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan
di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi
diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan
semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktiviti

16
dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat
berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi
ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
a. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan
b. Pengunaan obat – obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
c. Penggunaan oksigen
d. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
e. Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.
Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi
yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan

17
hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit:
Ringan
1) Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
2) Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara
lain berhenti merokok
3) Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
1) Menggunakan obat dengan tepat
2) Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
3) Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
1) Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
2) Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit (
lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat
berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
 Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari).
 Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang

18
berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
berat.
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
 Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk
suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >20% dan min. 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
 Lini I : amoksisilin
makrolid
 Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru

19
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati
Tabel 3. Penatalaksanaan PPOK

20
(Sumber : PDPI, 2010)
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
a. Manfaat oksigen :
 Mengurangi sesak
 Memperbaiki aktiviti
 Mengurangi hipertensi pulmonal
 Mengurangi vasokonstriksi
 Mengurangi hematokrit
 Memperbaiki fungsi neuropsikiatri

21
 Meningkatkan kualiti hidup
b. Indikasi
 Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
 Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen :
 Pemberian oksigen jangka panjang
 Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
 Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
 Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.
Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat
dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada
PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat ataupun ICU.
Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy =
LTOT)
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan
stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap
hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada
waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita
tidur. Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak
napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan
analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai
saturasi oksigen di atas 90%.
c. Alat bantu pemberian oksigen :
- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing

22
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi
oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.
4. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu
tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan
psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.
a. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan untuk meningkatkan kemapuan otot pernapasan
b. Latihan untuk meningkatkan otot pernapasan
c. Endurance exercise

23
Tabel 4. Algoritma PPOK

(Sumber : PDPI, 2010)

2. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
 Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Infeksi berulang
 Kor pulmonal
Gagal napas kronik :
 Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :

24
o Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
o Bronkodilator adekuat
o Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
o Antioksidan
Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing Gagal napas akut pada gagal
napas kronik, ditandai oleh :
1. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
2. Sputum bertambah dan purulen
3. Demam
4. Kesadaran menurun
5. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah.
Kor pulmonal:
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan
3. Pencegahan
- Mencegah terjadinya PPOK
- Hindari asap rokok
- Hindari polusi udara
- Hindari infeksi saluran napas berulang
- Mencegah perburukan PPOK
- Berhenti merokok
- Gunakan obat-obatan adekuat
- Mencegah eksaserbasi berulang

25
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien usia 73 tahun datang dengan keluhan utama batuk berdahak 2 bulan
terakhir disertasi sesak napas. Pasien batuk 2 bulan dan bertambah sering 5 hari
terakhir. Batuk berdahak berwarna putih, timbul terutama saat aktivitas dan
menghirup asap atau debu. Mereda saat duduk dengan dua tangan menyangga badan.
Pasien juga sering mengeluh sesak napas. Nafsu makan sedikit menurun. Pasien
merupakan mantan perokok aktif (20 batang sehari) selama 30 tahun.
Dengan kondisi tersebut maka beberapa diagnosis banding yang paling sering
muncul diantaranya adalah PPOK, asthma, dan SOPT. Sebelum membedakan
beberapa diagnosis banding tersebut, penting untuk tahu kenapa seseorang bisa
mengalami batuk dan sesak napas.
Batuk merupakan refleks fisiologis kompleks yang melindungi paru dari trauma
mekanik, kimia dan suhu. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan paru yang
alamiah untuk menjaga agar jalan nafas tetap bersih dan terbuka dengan jalan:
 Mencegah masuknya benda asing ke saluran nafas.
 Mengeluarkan benda asing atau sekret yang abnormal dari dalam saluran
nafas.
Batuk menjadi tidak fisiologis bila dirasakan sebagai gangguan. Batuk semacam
itu sering kali merupakan tanda suatu penyakit di dalam atau diluar paru dan kadang-
kadang merupakan gejala dini suatu penyakit. Batuk mungkin sangat berarti pada
penularan penyakit melalui udara (air borne infection).

Bagan 3.1. Mekanisme batuk

26
Sesak napas atau dipsneau sendiri merupakan suatu persepsi ketidaknyamanan
dalam bernapas yang berbeda intensitasnya. Secara fisiologik dibagi menjadi
beberapa macam penyebab dari dipsneau, diantaranya adalah gangguan mekanik
terhadap proses ventilasi, kelemahan pompa napas, peningkatan respiratory drive,
wasted ventilation, dan disfungsi psikologik.
Setelah sedikit mengulas mengenai batuk dan sesak napas, berikutya adalah
membandingkan beberapa diagnosis banding yang paling mungkin.
Tabel. Perbedaan Asma, PPOK, dan SOPT

(Sumber : PDPI, 2010)


Dari tabel di atas, maka bisa disimpulkan bahwa diagnosis paling mendekati
adalah PPOK. Data-data lain perlu mendukung terhadap diagnosis ini. Kemudian dari
pemeriksaan fisik ditemukan bentuk dada barrel chest, ICS melebar, hipersonor pada
perkusi, suara dasar vesikuler melemah, dan adanya ronkhi basah halus pada kedua
lapang paru. Sehingga bisa lebih menguatkan diagnosis PPOK.
Setelah didiagnosis PPOK, pasien diberi terapi yaitu Infus RL 20 tpm, inj.
ceftriaxon, inj. metilprednisolon 2x62,5 mg, inj. ranitidin, nebulizer ventolin +
pulmicot/8 jam, tablet ambroxol, NAC dan salbutamol. Jika merujuk pada teorinya,
maka pemberian dari terapi tersebut sudah sesuai.

27
DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2008. Konsensus PPOK. Tersedia di:


http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/konsensus-ppok
Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA, p. 16-19
Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
BMJ. ABC of COPD.2006. [Cited] 17 Maret 2011. Didapat dari:
http://www.bmj.com/content/332/7552/1261.full
Corwin EJ 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, p. 437-8.
Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et all 2011. Inhaled Corticosteroids in
Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of
American Medical Association, p. 2408-2416.
Rani AA 2006. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
IPD FKUI, p. 105-8
Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p.
984-5.
Roberto RR et all 2007. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and
Prevention. USA. Tersedia di http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp
Sin DD, McAlister FA, Paul SF, et all 2003. Management of chronic obstructive
pulmonary disease (COPD). Journal of American Medical Association, p
2302-2312.
Slamet H 2006. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta:. p. 1-18.
Wedzicha JA, 2011. Beonchodilator therapy for COPD. New England Journal
Medicine. Diakses tgl 6 Agustus 2011.

28
STUDI KOMPARASI KOMBINASI SALBUTAMOL INHALASI DAN
IPRATROPIUM BROMIDE DENGAN SALBUTAMOL PADA PPOK

ABSTRAK:
Pendahuluan:
PPOK adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. PPOK,
penyakit umum yang dapat dicegah dan diobati, dicirikan oleh keterbatasan aliran
udara yang terus-menerus yang biasanya dikaitkan dengan atau ditingkatkan oleh
respon inflamasi kronis di saluran udara dan paru-paru ke partikel atau gas berbahaya.
Salbutamol dan Ipratropium bromide adalah terapi utama. Penelitian ini dirancang
untuk membandingkan efek bronkodilator dari efek salbutamol inhalasi salbutamol
dibandingkan dengan kombinasi ipratropium bromide dan salbutamol.

Tujuan dan sasaran:


1) Untuk mempelajari kelainan tes fungsi paru pada pasien yang menderita PPOK.
2) Untuk menilai reversibilitas penyempitan broncho setelah inhalasi salbutamol dan
gabungan ipratropium
bromide dengan salbutamol pada pasien-pasien ini.
3) Untuk mempelajari respon komparatif dari konstriksi reversibilitas bronkus dengan
salbutamol dan gabungan
ipratropium bromide dengan salbutamol pada pasien-pasien ini.

Bahan dan metode:


Total 100 pasien PPOK dievaluasi untuk penelitian ini. Pada pasien tertentu,
spirometri awal dilakukan dengan spirometer terkomputerisasi. Pada 50 pasien,
diberikan salbutamol dalam dosis 2,5mg dengan 2ml saline normal. Pada 50 pasien
lainnya, ipratropium bromide dalam dosis 125mcg dengan 2ml normal saline dan
dikombinasikan dengan salbutamol dalam dosis 2,5mg dengan 2ml saline normal
diberikan untuk nebulasi. PFT dilakukan setelah 60 menit.

Hasil:
Efek bronkodilator gabungan, yaitu ipratropium yang dihirup dengan salbutamol,
bermanfaat pada pasien PPOK.

Diskusi:
Gabungan salbutamol inhalasi dan ipratropium bekerja melalui jalur biokimia yang
tidak terkait dan menghasilkan bronkodilatasi aditif. Efek dari ipratropium bromide
terjadi setelah 60 menit pemberian dan telah terbukti menghasilkan durasi
bronkodilatasi yang lebih lama daripada obat saja.

Kesimpulan:
Ipratropium yang dihirup dikombinasikan dengan salbutamol inhalasi lebih
bermanfaat daripada hanya dihirup salbutamol, pada pasien PPOK.

29
Kata kunci: - Salbutamol, Ipratropium bromide, spirometri

I. PENDAHULUAN
PPOK merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia1.
Insiden PPOK telah meningkat secara dramatis selama 25 tahun terakhir di negara-
negara industri, sebagai akibat paparan dari meningkatnya polusi udara 2. PPOK,
penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang umum, dicirikan oleh keterbatasan
aliran udara yang terus-menerus yang biasanya progresif dan terkait dengan respons
peradangan kronis yang ditingkatkan dalam cara-cara udara dan paru-paru hingga
partikel atau gas yang berbahaya1. Gejala PPOK termasuk dispnea, batuk kronis dan
produksi sputum kronis. Salbutamol dan Ipratropium bromide adalah terapi utama.

Simpatomimetik inhalasi Beta-2 agonis adalah obat yang efektif untuk PPOK3.
Ipratropium bromide adalah bronchodilator antikolinergik yang tidak secepat
bertindak sebagai Beta-2 agonists atau ampuh tetapi memiliki durasi aksi yang lebih
lama dan mungkin lebih meyakinkan dalam profil keamanan. Ipratropium lebih
berguna dalam kasus garis perbatasan asma dan bronkitis kronis4, 5. Baik salbutamol
dan ipratropium adalah bronkodilator yang efektif pada pasien PPOK. Namun
masalah status relatif mereka tetap tidak terpecahkan. Penelitian ini dirancang untuk
membandingkan efek bronkodilator dari efek salbutamol inhalasi salbutamol
dibandingkan dengan kombinasi ipratropium bromide dan salbutamol.

II. TUJUAN DAN SASARAN


1) Untuk mempelajari kelainan tes fungsi paru pada pasien yang menderita PPOK.
2) Untuk menilai reversibilitas penyempitan bronchus setelah inhalasi salbutamol dan
gabungan ipratropium bromide dengan salbutamol pada pasien-pasien tersebut.
3) Untuk mempelajari respon komparatif dari konstriksi reversibilitas bronkus dengan
salbutamol dan gabungan ipratropium bromide dengan salbutamol pada pasien-pasien
tersebut.

III. BAHAN DAN METODE


Total 100 pasien PPOK dievaluasi untuk penelitian ini. Diagnosis setiap pasien
dilakukan setelah mendapatkan riwayat yang tepat dan sesuai dengan kriteria klinis,
radiologi dan PFT. Pada pasien tertentu, spirometri awal dilakukan dengan spirometer
Medgraphic terkomputerisasi. Spirometer ini memenuhi kriteria American Thoracic
Society dan volume dikalibrasi setiap hari. Akurasi pengukuran spirometri adalah ±
2%. Pada 50 pasien, salbutamol dalam dosis 2,5mg dengan 2ml saline normal
diberikan. Dalam 50 pasien lainnya, ipratropium bromide dalam dosis 125mcg
dengan 2ml normal saline dan dikombinasikan dengan salbutamol dalam dosis 2,5mg
dengan 2ml saline normal diberikan untuk nebulasi. PFT dilakukan setelah 60 menit.

30
IV. HASIL

Di atas menunjukkan nilai spirometri setelah bronkodilatasi di salbutamol dan


ipratropium+salbutamol.

V. DISKUSI
Hasil dari penelitian ini dianalisis dan didiskusikan. 100 pasien PPOK dipelajari.
Jumlah maksimum pasien dalam penelitian kami berada di antara kelompok usia 40-
70 tahun.
KNV Palmer dan ML Diament melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa cacat
fungsional untuk semua pasien PPOK adalah obstruksi dan pembatasan saluran
udara6,7,8. Dari kelainan utama ini mekanisme patofisiologi lainnya adalah sebagai
berikut:
- gangguan dalam kerja pernapasan
- mekanisme paru
- volume paru
- distribusi ventilasi dan ketidakcocokan perfusi
Alternatif-alternatif ini pada gilirannya dapat menyebabkan hipoksemia arteri dan
pada episode parah retensi CO2 dan hipertensi pulmonal sementara9.
Dengan penurunan kapasitas vital dengan hiperinflasi paru-paru.

Sebuah studi dari Husain AS, Baruna UK, Roy GC, Sutradhar SR dan Rahman I,
menyimpulkan bronkodilatasi yang lebih baik dalam kombinasi salbutamol dan
ipratropium daripada salbutamol sendiri pada penyakit obstruksi.12 Nilai PFT (60,01 ±
35,01%) lebih banyak dalam kombinasi daripada salbutamol (44,47) ± 25,03%).

Salbutamol inhalasi beta-2 agonist bronchodilation plus inhalasi ipratropium


anticholinergic bronchodilation bertindak melalui jalur biokimia yang tidak terkait
dan ada alasan teoritis untuk mengharapkan interaksi aditif atau sinergis
menguntungkan di antara mereka. Sementara ada bukti in vitro interaksi sinergis
menghasilkan bronkodilatasi yang lebih besar, penelitian in vivo menunjukkan bahwa
interaksi bersifat aditif daripada sinergis13, 14.

Owen dan George pada tahun 1991 telah menunjukkan bahwa efek dari ipratropium
bromide terjadi setelah 60 menit pemberian, dan telah menyarankan bahwa kombinasi
menghasilkan durasi bronkodilatasi yang lebih lama daripada obat tunggal saja15.

31
VI. KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, rasio laki-laki: perempuan adalah 3:1. Insiden PPOK ditemukan
paling umum setelah 40 tahun. Sebagian besar pasien (sekitar 80%) telah memberikan
riwayat mengunyah tembakau dan merokok. PPOK pasti mempengaruhi fungsi
normal paru-paru menyebabkan grafik tes pulmonal yang abnormal menunjukkan
obstruksi dan pembatasan. Baik salbutamol dan ipratropium memiliki peran yang
pasti dalam reversibilitas penyempitan bronkus. Interpretasi efek obat bronkodilator
difokuskan pada perubahan parameter spirometri. Kolese dokter dada Amerika
merekomendasikan peningkatan hingga 15-25% dalam (FVC, FEV1 dan FEF25-75)
setidaknya dalam dua atau tiga nilai spirometri yang signifikan secara klinis11, yang
sebanding dengan penelitian kami. Terapi kombinasi yang sesuai sangat bermanfaat
dibanding salbutamol saja.

32

Anda mungkin juga menyukai