Anda di halaman 1dari 14

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA DEMENSIA

PADA USIA LANJUT

Rentha Monica
Novira Widajanti

PENDAHULUAN
Demensia merupakan sindroma klinis yang meliputi gangguan memori, bahasa,
dan sikap yang menyebabkan gangguan aktivitas hidup sehari-hari (Robinson, Tang and
Taylor, 2015). Alzheimer’s Disease (AD) adalah subtipe demensia yang paling sering
dijumpai, diikuti oleh demensia vaskular, demensia campuran, dan demensia Lewy
Bodies (Rohmah and Harimuntoro, 2014). Semakin banyaknya penyakit degeneratif dan
semakin meningkatnya usia harapan hidup menyebabkan demensia menjadi masalah
serius di seluruh dunia. Pada tahun 2050 diperkirakan terdapat 113 juta orang akan
terkena demensia, dimana sebagian besar merupakan AD (Robinson et al., 2015).
Dari studi metaanalisis, disimpulkan bahwa insidens demensia meningkat dua
kali lipat setiap pertambahan umur 5,9 tahun, dari 3,1/1000 orang setiap tahunnya pada
usia 60-64 tahun, menjadi 175,0/1000 orang setiap tahunnya pada usia di atas 95 tahun.
Biaya global untuk perawatan demensia pada tahun 2010 sebesar 604 juta dolar USA
dan akan meningkat sampai 1 triliun dolar USA pada tahun 2030. Dari seluruh penyakit
kronis, demensia merupakan kontributor utama penyebab ketergantungan dan disabilitas
pada manusia (Logiudice and Watson, 2014).
Diagnosis demensia dapat sulit ditegakkan karena awitannya yang tidak jelas
dan perjalanan penyakit yang progresif namun perlahan (Rohmah and Harimuntoro,
2014). Deteksi dini terhadap munculnya demensia sangatlah penting, karena berbagai
penelitian membuktikan bahwa fungsi kognitif pada orang dengan demensia dapat
ditingkatkan atau setidaknya dicegah untuk tidak semakin memburuk (Pink et al.,
2018).
Tinjauan kepustakaan ini akan membahas tentang diagnosa dan penatalaksanaan
demensia pada usia lanjut yang merupakan bagian dari sindroma geriatri dan diharapkan
dapat menjadi sumber pengetahuan bagi kita sebagai klinisi dalam merawat pasien usia
lanjut dengan demensia.

DEFINISI
Demensia adalah gangguan kognitif, tingkah laku, dan gejala psikologis yang
meliputi gangguan memori, gangguan dalam komunikasi, dan perubahan kepribadian
yang menyebabkan kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari
menjadi terganggu (Pink et al., 2018). Terdapat banyak kriteria yang menggambarkan

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, 2 April 2019
1
tentang demensia, namun hal yang perlu ditekankan adalah bahwa gangguan tersebut
merupakan penurunan dari fungsi sebelumnya (Logiudice and Watson, 2014).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM V) mendefinisikan
demensia sebagai umbrella term untuk beberapa kondisi neurologis, dimana gejala
mayor berupa penurunan fungsi otak yang disebabkan karena perubahan fisik dari otak
(Logiudice and Watson, 2014). DSM V memasukkan gangguan kognitif dan demensia
pada kelainan neurokognitif, dimana kognitif yang dimaksud adalah pemikiran dan
proses berpikir sedangkan istilah neurokognitif untuk menekankan bahwa penyakit otak
dan kerusakan fungsi otak dapat menyebabkan gejala demensia. Dalam DSM V juga
ditekankan bagian yang menjadi esensi adalah eksklusi depresi atau delirium yang dapat
menyerupai gejala demensia (Janitra, 2013).

EPIDEMIOLOGI
WHO melaporkan pada tahun 2015 terdapat 47,47 juta orang hidup dengan
demensia di seluruh dunia dan diperkirakan meningkat menjadi 135,46 juta pada tahun
2050. Asia Tenggara merupakan daerah terbanyak penduduk hidup dengan demensia,
yaitu 9,8 juta orang diikuti dengan Eropa Barat sebanyak 7,5 juta orang, Asia selatan
5,1 juta orang, dan Amerika Utara 4,8 juta (Prince, Guerchet, and Prina, 2015).
Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia naik dari 70,1
tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Jumlah
penduduk berusia 65 tahun ke atas akan meningkat dari 5% menjadi 10,8% pada tahun
2035. Belum ada data penelitian nasional mengenai prevalensi demensia di Indonesia.
Angka demensia vaskular diperkirakan cukup tinggi di Indonesia dilihat dari data
Indonesia Stroke Registry, dimana dilaporkan 60,59% pasien stroke mengalami
gangguan kognisi saat keluar dari rumah sakit (Janitra, 2013). Hal ini sesuai dengan
data WHO yang menyatakan bahwa demensia vaskular banyak terjadi di negara negara
berkembang, seperti Indonesia ( Prince, Guerchet and Prina, 2015).

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS


Alzheimer Disease (AD) merupakan penyebab utama demensia, yang
merupakan kondisi neurodegeneratif yang perlahan-lahan dan progresif. Terdapat
beberapa hipotesis yang menjelaskan terjadinya AD, seperti hipotesis kolinergik,
hipotesis Aβ, hipotesis tau, dan hipotesis inflamasi. Hipotesis Aβ menjelaskan bahwa
pada kondisi normal, Amyloid Precursor Protein (APP) dipecah oleh α sekretase,
namun pada kondisi yang tidak normal APP dapat dipecah oleh β dan γ sekretase, yang
dapat menyebabkan ketidakseimbangan produksi dan eksresi dari Aβ peptide. Sebagai
konsekuensi, Aβ peptide secara spontan beragregrasi menjadi oligomer yang solubel dan
membentuk lapisan beta yang tersimpan pada plak senilis. Oligomer Aβ menginduksi

2
kerusakan oksidatif, merangsang hiperfosforilasi tau yang menghasilkan neurofibrillary
tangles (NFTs) dan menyebabkan efek toksik pada sinaps dan mitokondria (Yamasaki,
et al.,2012). Pada hipotesis kolinergik, AD diduga terjadi karena disfungsi dari neuron
yang mengandung asetilkolin di otak sehingga menyebabkan penurunan fungsi kognitif.
Studi postmortem dan antemortem pada penderita AD menunjukkan adanya
peningkatan pada pengangkutan asetilkolin, pelepasan asetilkolin, dan perubahan
ekspresi dari reseptor nikotinik dan muskarinik. Reseptor M1 asetilkolinesterase
menyebabkan peningkatan APP melalui aktivasi protein kinase C dan peningkatan
fosforilasi tau pada in vivo dan in vitro sehingga berujung pada neurotoksisitas.
Reseptor nikotinik memiliki efek neuroprotektif melalui peningkatan sintesis faktor
neurotropik dan reseptor neuron, sehingga pada pengobatan AD juga ada beberapa obat
yang memodulasi kerja reseptor nikotinik (Farlow, 2010). Oligomer Aβ dapat
menyebabkan peningkatan aktivitas reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) yang
berperan dalam pengeluaran glutamat dan pengaturan ion kalsium. Pada AD terjadi
pengeluaran glutamat berlebihan dan masuknya ion kalsium berlebih ke dalam sel yang
menyebabkan neurotoksisitas dan memperparah kerusakan otak. Adanya plak senilis
merupakan gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis penyakit AD,
selain itu terdapat NFTs yang merupakan struktur intraneurin yang mengandung tau
yang terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix (Kumar, Singh, and Ekavali,
2015).
Demensia vaskular terjadi karena efek global atau fokal dari kelainan vaskular,
baik itu lesi hipoksia, iskemik, ataupun perdarahan di otak. Pada pasien yang didiagnosa
demensia vaskular secara klinis, pada studi autopsi dijumpai lesi iskemik, edematous,
dan hemorhagik yang disebabkan karena perubahan patologis sirkulasi atau perfusi otak
(Seely, et al., 2015). Arteriosklerosis merupakan hal yang umum dan merupakan
kelainan awal pada demensia vaskular, yang diikuti oleh celah perivaskular yang
disertai mikroinfark lakunar dan regional (Moorhouse and Rockwood, 2010).
Progresivitas perubahan vaskular paling banyak terjadi pada regio frontalis, diikuti
lobus temporal, dan basal ganglia. Pada demensia vaskular akibat penyakit pembuluh
darah kecil terjadi nekrosis fibroid, hyalinisasi pembuluh darah, dan ekspansi celah
perivaskular (Kalaria, 2018). Patologi yang dominan pada demensia vaskular adalah
adanya infark multipel dan abnormalitas substansia alba. Pada pasien stroke, infark
jaringan otak dapat menyebabkan demensia yang bergantung pada volume total korteks
yang rusak dan bagian (hemisfer) mana yang terkena (Rohmah and Harimuntoro, 2014).

3
FAKTOR RISIKO

Faktor risiko demensia dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, etnis, genetik, riwayat
penyakit keluarga, disabilitas intelektual, dan sindroma Down (Janitra, 2013)..
AD banyak terjadi pada wanita dibanding pria, namun pada demensia selain
Alzheimer tidak ada perbedaan risiko antara wanita dan pria. Peranan genetika pada
terjadinya demensia sampai saat ini masih kontroversi. Terdapat lebih dari 20 gen yang
ditemukan secara tidak langsung menyebabkan demensia, contohnya saja gen
apolipoprotein E (ApoE). Individu yang memiliki gen ApoE memiliki faktor risiko
lebih besar untuk terkena AD. Selain itu riwayat keluarga yang terkena AD juga
merupakan faktor risiko bagi individu untuk terkena AD (Janitra, 2013).
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah merokok, inaktivitas fisik, diet
yang tidak sehat, penggunaan alkohol berlebihan, dan trauma kepala. Inaktivitas fisik
secara langsung dapat memiliki efek pada struktur dan fungsi otak sedangkan merokok
dapat meningkatkan risiko AD dengan faktor risiko yang sama ketika menyebabkan
penyakit Diabetes Mellitus, stroke, dan penyakit jantung. Pola diet yang tidak sehat
yang banyak mengandung lemak bersaturasi dapat meningkatkan risiko penyakit
vaskular (Pink et al., 2018).

DIAGNOSIS
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis yang sesuai
dengan Pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV)
yang merupakan gold standard untuk diagnosis klinis demensia (tabel 1). Untuk
diagnosis demensia vaskular menggunakan kriteria diagnosis yang dikeluarkan NINDS-
AIREN, sementara untuk subtipe demensia Alzheimer diagnosis klinis menggunakan
kriteria yang dikeluarkan oleh National Aging Institute (NIA) ( Farlow, 2010; Dubois et
al., 2007; McKhann et al., 2011).
a. Anamnesis
Pada saat asesmen awal, riwayat dahulu (kognitif, tingkah laku, gejala
psikologis, dan gejala tertentu pada kehidupan sehari-hari mereka) penting
ditanyakan kepada pasien yang dicurigai demensia dan seseorang yang mengenal
dekat pasien (anggota keluarga). Anamnesis meliputi onset gejala, perjalanan
penyakit, pola gangguan kognisi, serta keberadaan dan pola gejala non kognisi
(Pink et al., 2018). Hampir 75% AD dimulai dengan gejala memori, namun dapat
juga dimulai dengan gangguan komunikasi, kesulitan menemukan kata, ganggguan
visuokonstruksi, disorientasi spasial, dan adanya dispraxia (Rohmah and

4
Harimuntoro, 2014). Gejala lain yang dapat ditemukan juga pada AD adalah tidak
mampunya menyelesaikan tugas sehari-hari yag sebelumnya dapat dilakukan,
seperti berbelanja, menyetir, atau tiba-tiba tersesat pada lingkungan rumah. Pada
pasien geriatri dengan komorbid penyakit demensia vaskular atau demensia lewy
bodies, gejala tipikal AD ini bisa saja menjadi samar (Seely et al., 2015). Pada
demensia vaskular gejala kehilangan memori mungkin bukan menjadi gejala yang
awal ditemui. Gejala yang tampak biasanya adalah perubahan perhatian, kecepatan
melakukan sesuatu, kemunduran dalam psikomotor dan motorik, serta gangguan
gait (Logiudice and Watson, 2014).
Tabel 1.Kriteria Demensia Berdasarkan DSM IV ( dikutip dari Janitra R, 2013.
Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia)
Domain Kognitif Pertanyaan
Amnesia Apakah sering lupa? Perlahan-lahan atau mendadak
gejalanya? Apakah semakin bertambah berat? Jika ya,
apakah gejala dirasa hilang timbul/stepwise/menurun
perlahan-lahan? Jangaka waktu pendek/panjang?
Dan salah satu dibawah ini
Afasia Apakah sulit menemukan kata-kata atau kesulitan dalam
berkomunikasi?
Apraksia Adakah kesulitan dalam mengancingkan/memkai baju?
Adakah kesulitan dalam menggunakan peralatan makan
saat makan?
Agnosia Adakah kesulitan mengenali keluarga?
Disfungsi eksekutif Apakah ada keluhan mengenai peraturan uang? Sering
kehlangan uang? Adakah perubahan dalam kemampuan
mengambil keputusan? Adakah pekerjaan menjadi tidak
terorganisasi?
Kecacatan yang signifikan Apakah pasien menjadi kurang mandiri dalam:
pada fungsi sosial dan - Komunitas?
pekerjaan - Merawat rumah?
- Perawatan diri?

Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia, maka anamnesis


diarahkan kepada berbagai faktor risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi
susunan saraf pusat akibit sipilis (neurosipilis), konsumsi alkohol berlebihan,
intoksikasi bahan kimia, serta penggunaan obat-obat sedatif dan transquilizer
jangka panjang. Riwayat adanya stroke dan juga riwayat keluarga juga penting,
mengingat AD juga memiliki kecenderungan familial (Rohmah and Harimuntoro,
2014).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat apakah terdapat tanda-tanda
kelainan fokal neurologis dan mengeksklusi gangguan penglihatan dan
pendengaran yang dapat menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien
yang sering disalahartikan sebagai demensia (Janitra, 2013; Pink et al., 2018).

5
c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikologi
Tes kognitif yang direkomendasikan di Indonesia berdasarkan Panduan
Praktek dan Klinik Demensia adalah:
1. Mini Mental State Examination (MMSE)
MMSE merupakan pemeriksaan berupa 30 poin tes terhadap fungsi
kognitif dan berisikan pula uji orientasi, memori kerja dan memori episodik,
komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata. MMSE selain
dapat digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif,
dapat digunakan juga untuk skrining demensia dan memantau perjalanan
penyakit. Tingkat keparahan pada pasien AD dapat dinilai dari skor MMSE,
dikatakan ringan bila skor MMSE 21-26, sedang bila skor MMSE 15-20,
dikatakan sedang berat bila skor MMSE 10-14, dan berat bila skor MMSE
kurang dari 10. Hasil yang normal pada tes kognitif tidak bisa mengeklusi
adanya demensia, sehingga tetap diperlukan pertimbangan menyeluruh untuk
diagnosa demensia (Pink et al., 2018).
2. Clock Drawing Test
Tes ini dilakukan dengan mengikuti perintah atau meniru gambar yang
sudah ada. Tes ini memiliki akurasi yang cukup baik dalam membedakan
demensia frontotemporal dengan AD, yaitu dapat mengidentifikasi 88,9%
kasus demensia fronto temporal dan 76% kasus AD dengan prediksi akurasi
83,6%.
3. Montreal Cognitive Assesment (MoCA)
Tes ini secara luas digunakan untuk melihat gangguan kognitif.
Terdapat 30 poin tes yang dilakukan selama 10 menit. Tes ini dapat melihat
gangguan memori jangka pendek, gangguan visuospasial, gangguan gungsi
eksekutif, gangguan perhatian, gangguan bahasa, dan gangguan orientasi
tempat dan waktu. MoCA merupakan instrumen yang dapat mendeteksi Mild
Cognitive Impairment (MCI) dan Early Alzheimer.
Tes neuropsikologi penting untuk menentukan subtipe demensia dan pada
kasus-kasus gangguan kognisi yang meragukan. Pada pasien yang disangkakan AD
maka direkomendasikan untuk dilakukan tes verbal memori episodik. Pada AD,
defisit kemampuan verbal dan memori episodik sering merupakan abnormalitas
neuropsikologis awal (Janitra, 2013).
d. Pemeriksaaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, urine,
elektrolit, fungsi tiroid, kadar vitamin B12, VDRL direkomendasikan untuk

6
diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang dapat dipertimbangkan adalah
fungsi hati, fungsi ginjal, pungsi lumbal, pemeriksaan toksin di urine dan darah,
dan Apolipoprotein E (Rohmah and Harimuntoro, 2014). Pemeriksaan pungsi
lumbal pada AD untuk melihat total tau atau total tau dan phosphorylated-tau 181
dan melihat amyloid beta 1-42 atau amyloid beta 1-42 dan amyloid beta 1-40
(Kasper et al., 2015). Pemeriksaan Apolipoprotein E merupakan pemeriksaan
genetik untuk pasien dicurigai AD. Meningkatnya apolipoprotein E diantara
penyandang AD menjadikan Apolipoprotein E sebagai penanda untuk AD, namun
NICE menekankan bahwa pemeriksaan ini tidak dapat sebagai baku emas diagnosis
AD (Pink et al., 2018).
2. Pemeriksaan Pencitraan Otak
Pemeriksaan CT scan kepala dan MRI merupakan bagian dari pemeriksaan
rutin pada pasien dengan demensia. CT scan kepala lebih banyak digunakan
dibanding MRI. CT scan kepala dapat melihat atrofi global, infark, dan atrofi pada
struktur temporomedial, namun memiliki kelemahan pada sedikitnya kontras yang
dapat diserap oleh jaringan. CT scan kepala umumnya digunakan untuk eksklusi
kasus-kasus jarang penyebab gangguan memori, misalnya massa pada otak
(Logiudice & Watson, 2014).
Pada kasus yang diduga AD dapat dilakukan pemeriksaan FDG-PET
(fluorodeoxyglucose-positron emmision tomography-CT) atau perfusion SPECT (
single-photon emission CT) bila FDG-PET tidak tersedia. Pada FDG- PET dapat
terlihat perubahan fungsional seperti amyloidosis (amyloid imaging) dan terdapat
penurunan pengambilan glukosa pada temporoparietal, singulata posterior, dan
regio precuneal yang memiliki pola yang sama bila menggunakan SPECT. Amyloid
imaging merupakan gambaran utama sebagai biomarker untuk memprediksi
konversi menjadi AD pada pasien-pasien dengan MCI. Amyloid imaging juga
sangat penting untuk membedakan AD dengan sub tipe demensia yang lain, meski
pada beberapa kasus amyloid imaging juga dapat ditemukan pada demensia lewy
body (Kumar et al., 2015).
Pada demensia vaskular pencitraan ditujukan untuk melihat apakah terdapat
penyakit vaskular. MRI lebih disukai pada pasien yang dicurigai demensia
vaskular, karena lebih terlihatnya kontras pada jaringan dan visualisasi dari
pembulah darah kecil pada otak (Moorhouse, 2010). Gangguan pembuluh darah
kecil meliputi infark subkortikal, hiperintensitas white matter, lakuna, celah
perivaskular yang menonjol, pendarahan mikroserebral, dan atrofi otak. Gangguan
pembuluh darah lain seperti stroke (baik iskemik atau pendarahan) dan hematoma

7
subdural juga dapat berkontribusi pada gangguan kognitif dan demensia (Kalaria,
2018).

DIAGNOSIS BANDING
Depresi dan delirium merupakan diagnosis banding dari demensia,dimana
perbedaannya dapat dilihat pada tabel 2 (Janitra, 2013).

Tabel 2. Perbedaan Demensia, Delirium, dan Depresi ( dikutip dari Janitra R, 2013.
Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia)
Gejala Demensia Delirium Depresi
Awitan Perlahan Akut Bertahap
Durasi Bulan/tahun Jam/hari/minggu Minggu/beberapa bulan
Perjalanan Bertahap progresif Fluktuasi, memburuk pada Memburuk pada pagi hari,
malam hari, periode lucid membaik pada malam hari
Alertness Normal Fluktuasi Tidak tertarik, sering
menjawab tidak tahu
Orientasi Biasanya disorientasi waktu Selalu terganggu Biasanya normal
dan tempat
Memori Terganggu memori baru Gangguan memori baru Memori baru mungkin
dan terkadang memori terganggu, memori lama
jangka panjang utuh
Pikiran Lambat dan perseveratif Sering beda dengan Lambat, preokupasi , sedih,
kenyataan dan pitis asa
Persepsi Sering normal, halusinasi Halusinasi visual dan 20% dengan mood
visual 30-40% auditori sering congruent
Emosi Apatetik, labil, dan iritabel Iritabel, agresif, atau Mendatar, sedih, tidak
ketakutan responsif. Mungkin iritabel
Tidur Terganggu, wandering, atau Konfusi malam Terbangun pagi dini hari
konfusi malam
Lainnya Penyakit fisik lain jelas Gangguan mood
sebelumnya atau riwayat
keluarga

PENATALAKSANAAN
Tatalaksana demensia bertujuan untuk memperlambat onset penyakit, mengobati
gejala yang timbul, memperlambat perjalanan penyakit, mengembalikan fungsi kognitif
dan mencegah perburukan dari gejala demensia (Pink et al., 2018).
1. Tatalaksana farmakologi untuk AD
a. Acetylcholinesterase (AChE) inhibitor
AChE inhibitor dilaporkan memiliki efek menghambat metabolism APP dalam
menghasilkan oligomer Aβ yang menyebabkan neurotoksisitas. Hal ini dilakukan
dengan cara menghambat reseptor M1 asetilkolinesterase yang secara tidak
langsung dapat berperan dalam fosforilasi tau (NICE, 2018).
Terdapat tiga AChE inhibitor yang telah disetujui Food Drug Administration
( FDA) United States untuk pengobatan Alzheimer disease, yaitu donepezil,
rivastigmine, dan galantamine yang direkomendasikan sebagai pengobatan

8
monoterapi untuk AD ringan sampai sedang. Donepezil (Aricept, Eisai/Pfizer)
bekerja dengan meningkatkan kadar asetilkolin pada lokasi neurotransmisi. Obat ini
diberikan 5 mg sekali sehari pada waktu akan tidur malam. Setelah satu bulan,
pengobatan dapat dikaji, dan dapat ditingkatkan dosisnya menjadi 10 mg sekali
sehari bila dibutuhkan. Galantamine bekerja meningkatkan konsentrasi asetilkolin
pada lokasi neurotransmisi dan memodulasi aktivitas reseptor nicotinic.
Galantamine diberikan dengan dosis 8 mg sekali sehari dalam 4 minggu dan
ditingkatkan 16 mg sekali sehari selama setidaknya 4 minggu, dengan dosis
pemeliharaan 16-24 mg sekali sehari tergantung pada keuntungan klinis dan
toleransi pasien. Efek samping yang dapat timbul yaitu mual dan muntah.
Rivastigmine bekerja dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin pada lokasi
neurotransmisi. Dosis awal rivastigmine adalh 1,5 mg diberikan dua kali sehari dan
dapat ditingkatkan sampai dosis maksimum 6 mg dua kali sehari. Efek samping
yang biasa terjadi adalah mual dan muntah (NICE, 2018) .
b. Memantine
Memantine (Ebixa, Lunbeck) adalah suatu antagonis uncompetitive reseptor
NMDA, yang dapat mencegah kerusakan neuron kolinergik dan menghambat
produksi β amyloid. Memantine diindikasikan untuk pasien AD sedang yang
memiliki intolerans atau kontraiindikasi terhadap AChE inhibitor dan merupakan
satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk AD berat. Dosis awal dimulai dengan
5 mg sekali sehari dan dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 20 mg sekali
sehari. Efek samping yang umumnya terjadi adalah pusing, konstipasi, hipertensi,
dan somnolen (NICE, 2018).
2. Tatalaksana farmakologi untuk demensia vaskular
NICE merekomendasikan untuk mempertimbangkan pemberian AChE
inhibitor pada demensia vaskular hanya pada pasien yang dicurigai memiliki
komorbid AD. Panduan Praktik Klinis Demensia merekomendasikan pemberian
AChE inhibitor pada demensia vaskular dapat diberikan dengan pengawasan
(Janitra, 2013).
Pada pasien demensia vaskular hal yang tak kalah penting adalah mengontrol
faktor risiko vaskular, meskipun sampai sejauh ini belum terbukti obat-obat seperti
antihipertensi, statin, aspirin, dan antidiabetik memiliki efek positif terhadap gejala
kognitif. Mengontrol kondisi komorbid diasumsikan akan menurunkan resiko untuk
mengalami kerusakan otak lebih lanjut, namun hal ini pun belum dapat dibuktikan
secara langsung (Jeong et al., 2014).

9
3. Tatalaksana untuk gejala non kognitif
Antipsikotik hanya diberikan pada pasien demensia yang memiliki risiko
membahayakan dirinya dan orang lain serta mengalami halusinasi dan delusi.
Pemberian antipsikotik harus didahului dengan diskusi mengenai keuntungan dan
kerugian pemberian obat dengan pasien dan keluarganya. National Institute for
Health and Care Excellence (NICE) menganjurkan terapi musik, olahraga, atau
aromaterapi untuk menenangkan pasien sebelum memutuskan pemberian
antipsikotik. Jika telah diputuskan untuk memberikan antipsikotik, maka dimulai
dengan dosis yang rendah dan diberikan pada waktu sesingkat mungkin. Obat
antipsikotik yang direkomendasikan oleh NICE adalah risperidone dan haloperidol
(Pink et al., 2018).
Pada pasien demensia ringan dan sedang yang mengalami depresi dan
ansietas dianjurkan unruk pengobatan psikologis. Antidepressan tidak dianjurkan
untuk diberikan secara rutin, kecuali terdapat gangguan mental sebelumnya (Pink et
al., 2018).
Masalah tidur umum terjadi pada pasien demensia. NICE melarang
pemberian melatonin untuk tatalaksana insomnia pada pasien demensia, melainkan
menyarankan tatalaksana multikomponen seperti edukasi tidur, terapi cahaya,
olahraga, dan aktivitas personal (Janitra, 2013; Pink et al., 2018).
4. Tatalaksana Non Farmakologi
Caregiver memiliki peran dan tanggung jawab jangka panjang pada terapi
demensia. Caregiver bisa saja adalah anak, saudara, istri atau keluarga jauh.
Edukasi kepada caregiver tentang apa itu demensia dan bagaimana demensia
mempengaruhi penderita sangatlah penting. Selain itu caregiver juga sebaiknya
diperlengkapi oleh beberapa keahlian, khususnya pada pasien demensia yang
bedridden, misalnya saja bagaimana cara mencegah dekubitus (Pink et al., 2018).
Pasien dengan demensia disarankan untuk melakukan aktivitas yang bersifat
individual dan disesuaikan untuk memaksimalkan kemampuan yang tersisa pada
pasien dengan pelatihan aktivitas hidup sehari-hari. Kombinasi intervensi yang
meningkatkan komunikasi, mobilitas, dan kognisi direkomendasikan untuk
memfasilitasi kemandirian pasien demensia (Pink et al., 2018). Stimulasi kognitif
dapat berupa aktivitas dan diskusi dengan tujuan untuk meningkatkan fungsi
kognitif dan sosial, selain itu terdapat rehabilitasi kognitif dan terapi pelatihan
kognitif, dimana orang dengan demensia diberikan latihan khusus dengan tingkat
kesulitan yang berbeda-beda untuk meningkatkan kemampuan pasien (Janitra,
2013).

10
DEMENSIA DENGAN SINDROMA GERIATRI LAIN
Fall (jatuh) merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada usia
lanjut dengan demensia, dimana risikonya meningkat sampai 5 kali lipat dibanding usia
lanjut tanpa demensia. Pencegahan fall sangatlah penting, seeperti penanganan terhadap
risiko penyebab jatuh, seperti masalah keseimbangan, cara berjalan, gangguan
penglihatan. Penggunaan obat-obatan seperti antipsikotik dan antidepresan yang dapat
menyebabkan kantuk, sakit kepala, dan hipotensi postural juga harus diberikan dengan
pertimbangan yang matang. Lingkungan yang ramah demensia juga dapat mencegah
fall, seperti lingkungan yang terang, pemberian tanda utnuk arah jalan, atau penggunaan
perabotan dengan warna yang kontras dan berbeda warna (Pink et al., 2018).
Nyeri merupakan keluhan pada 50% pasien demensia yang sering sekali
membuat gejala demensia semakin berat. Hal ini dapat menyebabkan penggunaan
antipsikotik yang tidak tepat (Achterberg et al., 2013). Penggunaan analgetik pada
pasien demensia harus mempertimbangkan efek samping obat, seperti risiko falls,
hipotensi postural, sedasi, atau gangguan ginjal (Pink et al., 2018). Pemberian dosis
sesuai prinsip “start low and go slow” karena umumnya pasien demensia lebih sensitif
terhadap efek samping obat. Pemberian obat juga diupayakan melalui jalur yang non-
invasif dan pada pasien dengan gangguan menelan dipilih obat transdermal atau topikal.
Hampir sebagian besar pasien demensia dengan nyeri dapat diatasi dengan analgetik
STEP 1 pada WHO pain ladder, dan sangat sedikir yang membutuhkan analgetik STEP
2 (opioid lemah) dan STEP 3 ( opioid kuat) (Achterberg et al., 2013) .
Panduan NICE merekomendasikan penggunaan mirabegron untuk terapi
inkontinesia yang memiliki gejala overactive bladder. Mirabegron merupakan beta-3-
adrenoceptor agonis, yang mengaktifkan beta-3-adrenoceptor sehingga kandung kemih
akan relaksasi untuk dapat menyimpan volume urine sampai penuh. Pada pasien
demensia dengan konstipasi, terapi dan analisis untuk tingkat laku harus dilakukan,
untuk memperbaiki tingkah laku yang dapat menyebabkan konstipasi. Pemberian
laxative secara rektal lebih direkomendasikan dibandingkan pemberian laxative secara
oral, karena dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman di abdomen.

PROGNOSIS
Demensia merupakan penyakit yang kronis dan progresif. Rata-rata usia
kelangsungan hidup setelah terdiagnosa pada demensia secara umum adalah 5,2 tahun.
Larson et al melakukan studi survival pada pasien-pasien yang terdiagnosa AD dimana
hasilnya prognosis dari AD bergantung pada usia, jenis kelamin, penyakit komorbid,
dan level disabilitas. Rata-rata usia kelangsungan hidup pada perempuan adalah 5,7
tahun, sedangkan pada laki-laki 4,2 tahun. Level disabilitas yang diteliti adalah tingkat

11
keparahan gangguan kognitif, riwayat jatuh, gait yang abnormal, dan ditemukannya
gangguan extrapiramidal. Rata-rata usia kelangsungan hidup pada pasien dengan
komorbid diabetes mellitus setelah diagnosa adalah 3,8 tahun, hipertensi 5,0 tahun, dan
penyakit jantung kongestif 3,0 tahun (Larson et al., 2004).
Pada orang dengan demensia vaskular, prognosis sangat bergantung dari tampilan
serebrovaskular. Pada pasien dengan demensia yang disebabkan karena stroke rata-rata
usia kelangsungan hidup 3,0 tahun. Pada pasien demensia yang tidak terdapat lesi
vaskular pada regio temporal usia rata-rata kelangsungan hidupnya 3,9 tahun,
sedangkan bila terdapat keterlibatan regio temporal menjadi 3,7 tahun (Knopman,
2017).

RINGKASAN
Demensia adalah umbrella term untuk beberapa kondisi neurologis, dimana
terdapat gejala mayor berupa penurunan fungsi otak yang disebabkan karena perubahan
fisik dari otak. Pada saat menegakkan demensia, sangat penting untuk mengetahui
subtipe demensia karena tatalaksana dan prognosis yang berbeda (Logiudice and
Watson, 2014). Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan kognitif dan neurokognisi, pemeriksaan laboratorium, dan pencitraan otak
(Pink et al., 2018).
Tatalaksana demensia bersifat holistik yang melibatkan keluarga pasien dan
caregiver. Tatalaksana bersifat individual dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Tatalaksana demensia saat ini adalah tatalaksana farmakologis untuk
gejala kognitif dan non kognitif dan tatalaksana non farmakologis. Dengan data
epidemiologi yang menunjukkan bahwa di masa mendatang populasi demensia semakin
bertambah, maka studi terhadap pengobatan terhadap demensia di masa mendatang juga
semakin meningkat sehingga diharapkan tatalaksana demensia akan semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA

Achterberg, W., Piper, M., Kunz, W. 2013. Pain management in patient with dementia.
Clinical Intervension in Aging; 15(8): 1471-1482.
Dubois, B., Feldman, H., Jacova, C., 2007. Research criteria for the diagnosis of
Alzheimer’s disease: revising the NINCDS–ADRDA criteria. The Lancet Neurology;
6(8): 734–746.
Farlow, M. 2010. Alzheimer Disease. In: Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine
and Gerontology , 7th edition. Editor: Fillit HM, Rockwood K, Young J. Elsevier Ink.
Philadelphia: 411-420
Janitra R, 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia; 40(9): 661–673.

12
Jeong, JH & Won Seo, S. 2014. Vascular dementia. Pet and Spect in Neurology;
386(10004): 417–435.
Kalaria, N. 2018. The pathology and pathophysiology of vascular dementia.
Neuropharmacology: 134, 226–239.
Knopman, D. 2017. Survival Study of Vascular Dementia. Neurology Research
International: 60-64.
Kumar, A., Singh, A., & Ekavali. 2015. A review on Alzheimer’s disease pathophysiology
and its management: An update. Pharmacological Reports; 67(2): 195–203.
Larson, EB., Shadlen, M., Wang, L. 2004. Survival after initial diagnosis of Alzheimer's
Disease. Annals of Internal Medicine Article: 501–511.
Logiudice, D. & Watson, R. 2014. Dementia in older people: An update. Internal Medicine
Journal; 44(11): 1066–1073.
McKhann, GM., Knopman, D., Chertkow, H., Hyman, B. 2011. The diagnosis of dementia
due to Alzheimer’s disease: Recommendations from the National Institute on Aging-
Alzheimer’s Association workgroups on diagnostic guidelines for Alzheimer’s
disease. Alzheimer’s & Dementia; 7(3): 263–269.
Moorhouse, P. & Rockwood, K. 2010. Vascular Cognitif Impairment. In: Brocklehurst’s
Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology , 7th edition. Editor: Fillit HM,
Rockwood K, Young J. Elsevier Ink. Philadelphia: 421-427
NICE, 2018. Donepezil, Galantamine, Rivastigmine, and Memantine for the treatment of
Alzheimer Disease.
Pink, J., O’Brien, J., Robinson, L. & Longson, D. 2018. Dementia: Assessment,
management and support: Summary of updated NICE guidance. BMJ (Online);
361(6): 1–6.
Prince, M., Guerchet, M. & Prina, M. 2015. The Epidemiology and Impact of Dementia:
Current State and future trends. First WHO Ministerial Conference on Global Action
Against Dementia: 1–4.
Robinson, L., Tang, E., & Taylor, J. 2015. Dementia: timely diagnosis and early
intervention. BMJ (Online)240(4):1-7.
Rohmah, W. & Harimuntoro, K. 2014. Demensia. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 6th
edition. Editor: Siti S, Idrus A, Aru W. InternaPublishing. Jakarta: 3801-3810
Seely, W., Miller, BL. 2015. Alzheimer's disease and other dementias. In: Harrison’s
Principle of Internal Medicine , 19th edition. Editor: Kasper DL, Hauser S, Jameson.
McGraw-Hill Education. New York: 2598-2608
Yamasaki, T., Muranaka, H., Kaseda, Y. & Tobimatsu, S. 2012. Understanding the
Pathophysiology of Alzheimer’s Disease and Mild Cognitive Impairment: A Mini
Review on fMRI and ERP Studies. Neurology Research International; 6(2): 112-119.

13
14

Anda mungkin juga menyukai