Anda di halaman 1dari 14

LEPRA

Dibimbing oleh:

Bapak cahya tri bagus

Disusun oleh:

PRODI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayahnya kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Komunitas 1 dengan judul “keperawatan komunitas dengan
lepra”.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun,
kami menyadari kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan,
dorongan, dan bimbingan berbagai pihak, sehingga hambatan yang kami hadapi dapat teratasi
dengan baik.

Makalah ini disusun agar kami maupun pembaca dapat mengetahui mengenai wabah
kolera. Makalah ini disusun oleh kami dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari
kami sendiri maupun dari luar. Namun, dengan penuh kesabaran dan pertolongan dari Allah
SWT, makalah ini dapat terselesaikan.

Kami mengetahui “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”. Oleh karena itu, kami
menerima kritik dan saran yang positif yang bersifat membangun, sehingga makalah ini
menjadi sempurna dan bermanfaat pada masa mendatang. Akhirnya kami mengucapkan
terima kasih.

Jember, 01 Juni 2017

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi
dan dapat pula menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta
adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi
meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
nasional. (Depkes RI, 2007 dalam Nurmalasari & Diah 2011). Penyakit kusta
sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian
petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan
kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkan oleh
kusta (Nurmalasari & Diah 2011)
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
a. Mengidentifikasi keperawatan komunitas dengan penderita lepra
2. Tujuan khusus
a. Menjelaskan definisi lepra
b. Menjelaskan etiologi lepra
c. Menjelaskan klasifikasi lepra
d. Menjelaskan manifestasi klinis lepra
e. Menjelaskan patofisiologi lepra
f.
C. Manfaat penulisan
1. Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai situasi dan kondisi mengenai
komunitas dengan penderita lepra sehingga perlu dilakukan solusi dan
penyelesaian masalah di dalam komunitas.
2. Bagi institusi pendidikan
Memberikan informasi kepada institusi tentang asuhan keperawatan komunitas,
mengenai kondisi masyarakat dengan lepra yang terjadi di dalam suatu komunitas.
Sehingga perlu penyelesaian masalah yang dikaitkan dengan penerapan asuhan
keperawatan komunitas di masyarakat.
3. Bagi mahasiswa
Menambah ilmu pengetahuan sehingga dapat mengetahui bagaimana kondisi
serta situasi yang dialami oleh komunitas dengan lepra dan mengerti akan
penerapan asuhan keperawatan komunitas terkait dengan penderita lepra.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
B. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium Leprae.
Dimana mycrobacterium ini adalah kuman aerob , tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
mycrobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam
(BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil “tahan asam”. Mycobacterium Leprae belum dapat dikultur pada
laboratorium. Kuman ini menular pada manusia melalui kontak langsung dengan
penderita (keduanya harus ada lesi baik mycroscopis maupun macroscopis, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui pernafasan bakteri kusta
ini mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri
ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari diluar tubuh manusia kemudian
kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2 hingga 5
tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun. Setelah 5 tahun, tanda-
tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami
bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat menyebabkan kusta
menjadi progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, syaraf, anggota
gerak, dan mata (Depkes, 2015).
C. Klasifikasi Lepra

D. Manifestasi klinis
Tanda tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami
bercak putih seperti panu, pada awalnya hanya sedikit tetapi lama kelamaan
semakin lebar dan banyak, adnya bintil bintil kemerahan yang tersebar pada kulit,
ada bagian tubuh yang berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian
raut muka, muka berbenjol benjol dan tegang yang di sebut facies leomina(Muka
singa), dan mati rasa karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu
tampak. Justru sebaliknya waspada jika ada anggota keluarga yang menderita
lukatak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama, juga bila luka di tekan dengan jari
tidak terasa sakit (Depkes, 2015).
Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling di takuti karena deformitas atau
cacat tubuh, namun pada tahap awal kusta, gejala yang timbul dapat hanya berupa
kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang di jumpai dapat berupa perubahan warna
seperti Hipopigmentasi (warna kulit menjadi lebih terang), hiperpigmentasi
(kemerahan pada kulit). Gejala gejala pada kusta /lepra , reaksi panas dari derajad
yang rendah sampai dengan menggil, noreksia, nausea, kadang kadang di sertai
vomitus cephalgia, kadang kadang disertai iritasi, orchitis, dan pleuritis, kadang
kadang di sertai dengan neprhosia, nepritis, dan hepatospleenogali, neuritis.
Kelompok yang beresiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik
dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak
bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang
dapat menekan sistem imun (Depkes, 2015).
E. Cara penularan kusta
F. Patofisiologi
Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah
karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai penyebab
imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35 tahun.
Onsetlepra adalah membahayakan yang dapat mempengaruhi saraf, kulit dan
mata. Hal ini juga dapat mempengaruhi mukosa (mulut, hidung dan faring), testis,
ginjal, otot-otot halus, sistem retikulo-endotel dan endotelium pembuluh darah. Basil
masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki patogenisitas
rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda
penyakit.
Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil
bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat
ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotelpembuluh darah. Setelah
memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada perlawanan
dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14
hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel
hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan
beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan
histiosit (makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis
mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan
atau skin patch.
Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan
ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien. Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan
perlindungan terhadap penderita lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol
infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra
dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali
dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun
tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi
lepra (tipe 1 dan 2) (Darmawati, 2011)

M. leprae

Masuk melalui saluran pernapasan

Sel Schwann di daerah yang dingin (nervus cutaneus


dan batang saraf perifer anggota tubuh dan wajah)
basil berkembang di sel Schwann

Respon SIS baik Respon SIS lemah


G. Penatalaksanaan dan Pengobatan
1. Penatalaksanaan
Pengobatan pada penderita kusta adalah salah satu cara pemutusan mata rantai
penularan. Kuman kusta di luar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada
yang berpendapat hingga 7-9 hari, tergantung dari suhu dan cuaca di luar tubuh
manusai tersebut. Makin pansa cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jado
dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk kedalam rumah dan hindarkan
terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada bebrapa obat yang dapat
menyembuhkan penyakit kusta, tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-
kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuhan kusta dan
mereka datang ke Puseksma untuk di obati. Hingga saat ini tidak ada vaksinasi
untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian di buktikan bahwa kuman kusta yang
masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan di
bandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting
dimana kusta dapat di hancurkan, sehingga penularan dapat di cegah. Disini letak
salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan
kepada penderita untuk berobat secara teratur. Dengan demikian penting sekali
agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang (Depkes,
2015)
Materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan
pengajaran bahwa:
a. Ada obat yang menyembuhkan kusta :
1) Multi drugs treatment ( MDT ): DDS ( diamino difenil sulfon) klofazimin
lamprene ) rifampisin
a) pemberian MDT :
(1) mencegah dan mengobati resistensi
(2) memperpendek masa pengobatan
(3) mempercepat pemutusan mata rantai penularan
2) obat alternatif
a) ofloksasin
b) minosiklin
c) klaritromisin
3) MDT multibasiler (MB)
a) BB, BL dan LL
b) Atau semua tipe BTA (+)
c) Rifampisin 600 mg/bulan
d) DDS 100 mg/hari
e) Klofazimin 300 mg / bulan di teruskan 50 mg / hari
f) Diberikan 2-3 tahun bakterbakterioskopik
g) Pemeriksaan klinis setiap bulan
h) Pemeriksaan bakterioskopik setiap 3 bulan
i) Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah di obati kira-kira 6 bulan
secara teratur
j) Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik

2. Pengobatan

K. Rehabilitatif
L. Masalah-Masalah dalam Masyarakat Akibat Penyakit Lepra
M. Peran Perawat Komunitas dalam Menangani Penderita Lepra
Pengontrolan yang kurang efektif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian kusta akan mengakibatkan permasalahan yang lebih luas bagi klien kusta di
komunitas. Permasalahan klien kusta tersebut berkaitan dengan masalah fisik dan
psikososial. Permasalahan fisik klien kusta timbul akibat adanya kondisi lesi pada
kulit klien yang memburuk hingga terjadi kecacatan fisik. Masalah psikososial pada
klien kusta terjadi sebagai akibat dari penyakitnya (Zulkifli, 2003 dalam Susanto
2010). Permasalahan psikososial ini muncul sebagai akibat pandangan masyarakat
terkait dengan labeling dan stigma pada populasi penderita kusta di masyarakat. Watts
(2001) dampak sosial terhadap penykit kusta mengakibatkan masalah pada penderita,
keluarag, dan masyarakat. Penerimaaan penyakit kusta di masyarakat masih sulit, hal
ini dikarenakan masih menganggap kusta sebagai penyakit menular yang tidak dapat
diobati. Masyarakat juga menganggap kusta sebagai penyakit keturunan yang
diakibatkan oleh kutukan Tuhan dan akan berdampak pada kecacatan pada klien kusta
sebagai suatau hukuman karena dosa (Zulkifli, 2003 dalam Susanto 2010).
Perawat komunitas sebagai salah satu petugas kesehatan di masyarakat
sebaiknya mampu memahami penanganan klien kusta di masyarakat melalui
pendekatan asuhan keerawatan komunitas pada population at risk (Swanson,1997
dalam Susanto 2010). Asuhan keperawatan komunitas tersebut dapat diaplikasikan
dalam suatu program khusus untuk menangani permasalahan kusta. Salah satu cara
yang dapat perawat komunitas lakukan untuk menjamin keberlanjutan suatu program
atau pelayanan kesehatan dalam menerapkan program promosi, proteksi, dan prevensi
adalah dengan membentuk kemitraan untuk menangani population at risk di
komunitas (Helvie, 1997 dalam Susanto 2010).
Berdasarkan pendekatan epidemiologi, penyakit kusta merupakan masalah
yang cukup serius karena jumlah populasi berisiko (population at risk) dan terpapar
oleh penyakit kusta sangat besar (Nurjanti,2002 dalam Susanto 2010). Perawat
komunitas dapat berperan menangani population at risk melalui pencegahan terhadap
penyakit menular. Pencegahan tersebut dilakukan melelui pelayanan kesehatan yang
mengutamakan pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Swanson, 1997 dalam
Susanto 2010).
Pelayanan kesehatan yang mengutamakan pencegahan primer antara lain
peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat klien kusta, pengontrolan lingkungan
yang sehat, dan penyebarluasan informasi tentang penyakit kusta di masyarakat.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan melalui perawatan secara fisik dan psikologis
serta sosial klien kusta. Pelayanan dapat diberikan melalui perawatan langsung pada
lesi kulit klien, peningkatan harga diri klien kusta, dan peningkatan kesadaran
masyarakat tentang keadaan penyakit kusta sehingga tidak menimbulkan stigma,
labeling dan deskriminasi sosial pada klien kusta di masyarakat. Tindakan utama
perawat komunitas lebih banyak berperan pada pencegahan tersier. Tindakan
pencegahan tersebut dilakukan untuk mengurangi kondisi lesi dan derajat gangguan
fungsi atau kecacatan khususnya pada tangan, kaki, dan mata yang umumnya
merupakan suatau masalah utama pada klien kusta.
1. Peran perawat komunitas dalam menangani penderita lepra yang terjadi di dalam
masyarakat diantaranya adalah (Nurmalasari & Diah, 2011):
a. Care Giver Peran perawat sebagai care giver dilakukan dengan memberikan
pelayanan kepada penderita kusta dan keluarga dalam bentuk promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Salah satu bentuk kegiatannya adalah
dengan mencegah terjadinya kecacatan akibat penyakit kusta dan mengadakan
penyuluhan-penyuluhan untuk menekan endemis penyakit kusta.
b. Advokat Peran perawat sebagai advokat adalah dengan memberikan
perlindungan kepada penderita kusta dan keluarga. Contoh pelaksanaan peran
advokat adalah memastikan bahwa penderita kusta mendapatkan obat sesuai
dengan jadwal dan jenis pengobatannya.
c. Edukator Perawat memainkan peran sebagai pemberi health education dalam
bentuk penyuluhan yang berisi tentang pemahaman instruksi pengobatan pada
penderita kusta. Karena selama ini fenomena yang ditemukan di masyarakat
adalah banyaknya penderita kusta yang putus pengobatan atau drop out
dengan alasan bahwa obat- obatan yang dikonsumsi terlalu banyak dan
lamanya pengobatan. Para penderita kusta harus mengkonsumsi 6 dosis obat
untuk penderita tipe Pausi Basiller (PB) dan12 dosis multi basiller (MB),
dalam kurun waktu untuk PB 6-9 bulan dan untuk MB 12- 18 bulan (Dit Jen
PPM & PL, 2002). Kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah, selain itu
kualitas interaksi dengan perawat juga belum terjalin dengan baik, mereka
cenderung takut untuk bertanya. Dari kurangnya pengetahuan, kualitas
interaksi yang belum terjalin dengan baik maka motivasi penderita kusta untuk
melakukan pengobatan kurang bahkan memilih untuk drop out dari
pengobatan. Sehingga diharapkan peran perawat lebih dimaksimalkan, salah
satunya adalah dengan memotivasi penderita untuk terus melakukan
pengobatan sampai tuntas serta mengarahkan keluarga pasien untuk selalu
memantau dalam hal peraturan mengkonsumsi obat.
2. Implikasi untuk Pelayanan Keperawatan Komunitas mengenai lepra di
masyarakat:
a. Perhatian khusus oleh perawat komunitas dalam pemberian informasi terkait
dengan respon negatif klien terdiagnosis kusta. Perawat komunitas perlu
melakukann pendekatan diri lebih intensif pada klien kusta melalui pemberian
informasi tentang kusta. Dukungan yang terus menerus dapat perawat berikan
melalui program pendampingan klien kusta. Perawat dapat melibatkan orang
terdekat klien dalam melakukan pendampingan sehingga klien akan berespon
secara positif terhadap kondisi sakitnta. Perawat komunitas dapat memberikan
koneling pada klien dan keluarga terkait dengan permasalahan kusta.
b. Perawat komunitas dapat memberikan suatau penyuluhan kesehatan yang
menekankan aspek sosial budaya setempat terkait koteks pengetahuan dan
sikap yang dimiliki masyarakat. Dengan demikian klien dan masyarakat akan
dapat mempersepsikan keadaan penyakit kusta dan diri klien kusta kusta
secara baik melalui ketersediaan sumber informasi ataupun suatu panduan
yang efektif di masyarakat sehingga upaya tanggap dini terhadap kusta dapat
dilakukan oleh masyarakat.
c. Perawat komunitas dapat memberikan informasi yang menyeluruh terkait
dengan pemberian paket MDT pada klien kusta. Informasi yang diberikan
berpedoman pada lima benar dalam pemberian obat kusta sehingga
pengobatan yang diberikan akan berdampak positif terhadap kondisi klien dan
tidak terjadi putus obat.
d. Perawat komunitas dapat memberikan tindakan pencegahan dalam upaya
meningkatkan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makan, pekerjaan, istirahat tidur, dan lingkungan yang mendukung kesehatan
klien. Perawat komunitas juga dapat melakukan tindakan pencegahan yang
menekankan pada peningkatan kemampuan klien dalam melakukan perawatan
secara mandiri yang berhubungan dengan kebersihan diri dan berpakaian
berpakaian klien. Kedua kemampuan tersebut apabila dipenuhi oleh klien
maka diharapkan akan meningkatkan status imunitas dan kesehatan klien
kusta dan population at risk kusta sehingga tidak terjadi penularan ataupun
menghilangkan kejadian kusta di komunitas.
e. Perawat komunitas dapat menerapkan suatu pelayanan keperawatan lintas
budaya untuk memfasilitasi pelayanan yang diberikan kepada klien di
komunitas. Keperawatan lintas budaya (transcultural nursing) yang diberikan
ditekankan pada pelayanan budaya, pelayanan praktek kesehatan, dan praktek
keperawatan. Perawat komunitas dapat menekankan tindakan keparawatan
pada klien kusta untuk mempertahankan nilai caring yang berhubungan
sehingga sehat, bernegosiasi untuk manfaat dan sehat yang memuaskan
bersama tim kesehatan dan membantu budaya tertentu untuk berubah,
memodifikasi gaya hidup mereka untuk kesehatan yang memuaskan daripada
sebelumnya.
f. Perawat komunitas dapat melakukan pembinaan secara berkelanjutan pada
keluarga dengan salah satu anggota yang menderita kusta sehingga keluarga
akan dapat melaksanakan lima tugas kesehatan secara mandiri. Kemandirian
keluarga ditekankan pada perawatan klien kusta untuk mencegah kelainan
fungsi dan mengurangi derajat kecacatan yang ditimbulkan.
g. Perawat komunitas dapat membentuk suatu peer group kusta ataupun social
support group kusta. Peer group kusta diperuntukkan bagi klien kusta untuk
membentuk suatu kelompok sehingga masing-masing anggota kelompok akan
saling berbagi pengalaman kehidupannya dalam menjalani perawatan dan
pengobatan kusta kedalam suatu wadah Kelompok Perawatan Diri (KPD)
kusta. Social support group kusta dibentuk oleh keluarga ataupun masyarakat
di lingkungan klien kusta dalam memberikan dukungan sosial bagi klien
kusta. Hal ini akan berdampak positif terhadap penghapusan stigma dan
diskriminasi sosial klien kusta di komunitas. Kedua kelompok tersebut
dibentuk, dilaksanakan, dan dievaluasi secara bertahap dan berlanjut melalui
pembinaan supervisi puskesmas.
h. Klien kusta atau populasi kusta dimasyarakat dapat diberdayakan untuk
meningkatkan kemandirian khususnya pada Penyandang Cacat Kusta (PCK)
di komunitas. Perawat komunitas dapat menyusun suatu program
pemberdayaan yang disesuaikan dengan kondisi klien kusta. Program
pemberdayaan yang dapat disusun misalnya melalui pelatihan pembuatan
kerajinan tangan (handycraft) untuk membuat suatu asesoris. Kegiatan
pemberdayaan handycraft ini disamping dapat memberikan suatu
keterampilan pada klien kusta sehingga dapat mandiri, juga akan dapat
menstimulasi saraf perifer klien kusta yang mengalami permasalahan secara
motorik, sensoris, ataupun autonom dengan memperhatikan prinsip patient
safety.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai