TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepatuhan
2.1.1 Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata dasar “patuh” yang berarti disiplin dan taat.
Kepatuhan adalah suatu tingkat dimana perilaku individu (misalnya dalam kaitan dengan
mengikuti pengobatan, mengikuti instruksi diet, atau membuat perubahan gaya hidup)
sesuai atau tepat dengan anjuran dokter. Kepatuhan juga di definisikan sebagai
tingkatan dimana individu mengikuti instruksi yang diberikan untuk mendukung
pengobatan terhadap penyakitnya. Kepatuhan merupakan sikap atau ketaatan individu
mematuhi anjuran petugas kesehatan untuk melakukan tindakan medis (Niven, 2002).
Ada beberapa macam terminologi yang biasa digunakan dalam literatur untuk
mendeskripsikan kepatuhan pasien di antaranya adalah complience, adherence dan
persistence. Complience adalah secara pasif mengikuti saran dan perintah dokter untuk
melakukan terapi tanpa banyak pertanyaan dan sering kali pasien tidak terlalu mengerti
terapi yang sedang dilakukan. Adherence adalah sejauh mana pengambilan obat yang
diresepkan oleh penyedia layanan kesehatan. Tingkat kepatuhan (adherence) untuk
pasien biasanya dilaporkan sebagai persentase dari dosis resep obat yang benar-benar
diambil oleh pasien selama periode yang ditentukan. Persistence diartikan sebagai
kepatuhan yang dilakukan untuk melanjutkan terapi ke tahap berikutnya. (Osterberg &
Blaschke, 2005).
Sumber: WHO,
Keterangan :
a. Mg/dL merupakan ukuran gula darah.
b. SM merupakan singkatan dari sebelum makan, menunjukan nilai gula darah
sebelum makan.
c. MT merupaka singkatan dari menjelang tidur, menunjukan nilai gula darah
menjelang tidur.
1) Golongan Sulfonilurea
a) Mekanisme Kerja
Mengikat reseptor pada beta pankreas, membentuk membran
depolaeisasi dengan stimulasi sekresi insulin. Generasi pertama yaitu
seperti tolbutamide, chlopropamide. Generasi kedua sulfonilurea seperti
gliburid, glimepirid, glibenklamid.
Glikuidon 15mh/hari 60
Glibenklamid 2,5-5mg/hari 15
b) Efek Merugikan
1. Umum : Hipoglikemia, penambahan berat badan
2. Jarang : Ruam kulot, sakit kepala, nausea, vomiting, fotosensitivitas.
c) Kontraindikasi
1. Hipersensitivitas dengan sulfonilurea
2. Pasien dengan tidak sadar menderita hipoglikemi
3. Fungsi ginjal tidak berfungsi dengan baik (glipizid merupakan
pilihan yang lebih baik daripada gliburid atau glimepirid pada pasien
yang geriatri atau memiliki kelemahan pada ginjal karena obat atau
metabolit aktif tidak dapat dieliminasi di dalam ginjal)
d) Interaksi Obat
Banyak obat yang dapat berinteraksi dengan obat-obat sulfonilurea,
sehingga risiko terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau
senyawa- senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu
pemberian obat- obat hipoglikemia sulfonilurea antara lain : alkohol,
fenformin, sulfonamida, salisilat, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezide, dikumarol kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin,
steroida anabolitik, fenfluramin, dan klofibrat.
b) Dosis
1) Repaglinid
(a) Dosis lazim 0,5-1mg 15 menit sebelum makan
(b) Dosis maksimum per hari:16 mg
2) Nateglinid
(a) 120 mg sebelum makan
(b) 60 mg jika Alc mendekati tujuan yang diinginkan
c) Efek Merugikan
Hipoglikemia (lebih kecil dibandingkan dengan sulfonilurea),
berat badan berkurang. infeksi pernapasan meningkat.
d) Kontraindikasi
1. Hipersensitivitas
3) Golongan Biguanid
1. Mekanisme Kerja
Mereduksi glukoneogenesis hati, juga menimbulkan efek yang
menguntungkan sehingga meningkatkan sensitivitas insulin.
2. Dosis
(a) Dosis lazim 500 mg 1 atau 2x sehari
(b) Dosis maksimal per hari 250 mg
3. Efek Merugikan
(a) Umum Nausea, vomiting, diare
(b) Jarang terjadi Menurunkan konsentrasi vitamin B12. asidosis laktat
(c) Gejala asidosis laktat termasuk nausea, vomiting. meningkatkan
laju respirasi, sakit perut, syok, takikardia.
4. Kontraindikasi
(a) Kelemahan pada ginjal
(b) Usia 80 tahun atau lebih
(c) Resiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskular
(d) Kelemahan hati
5. Interaksi Obat
Mengganggu absorpsi vit B12, berinteraksi dengan
simetidin dengan Proliferator peroksisom mengaktifkan reseptor
gamma antagonis.
4) Golongan Tiazolidindion
1. Mekanisme Kerja
Meningkatkan sensitivitas insulin dan produksi metabolisme
glukosa
3. Dosis.
(a) Pioglitazon(a) Lazim: 15 mg 1x sehari (b) Maksimal per hari 45 mg
(b) Rosiglitazon(a) Lazim 1-2 mg 1x sehari (b) Maksimal per hari 8 mg
4. Efek Merugikan
(a) Kehilangan berat badan
(b) Retensi cairna
(c) Fraktur tulang
(d) Meningkatkan resiko gagal jantung
(e) Meningkatkan infark miokardia
5. Kontraindikasi
(a) Kelemahan ginjal
(b) Gagal jantung
3. Dosis
(a) Lazim : 25 mg 3x sehari, bersamaan dengan makanan
(b) Maksimal per hari : 300 mg
4. Efek Merugikan
(a) Diare, sakit perut
(b) Meningkatkan enzim di hati dengan meningkatnya dosis akarbosa
Tabel 2.7 Obat Antidiabetes Oral Golongan Inhibitor Enzim Alfa Glikosidase
Obat Antidiabetes Oral Keretangan
7) Produk Kombinasi
1. Metformin dengan Gliburid glipizid sitagliptin, repaglinid,
pioglitazon, rosiglitazon
2. Glimepirid dengan Pioglitazon atau rosiglitazon
BAB III
METODE PENELITIAN
3.3.2 Sampel
Pada penelitian ini yang digunakan sebagai sampel adalah pasien yang datang ke
Posbindu PTM, Prolanis dan Posyandu Lansia wilayah kerja Puskesmas Sekupang pada
April 2019, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
a. Kriteria inklusi
b. Kriteria Eksklusi
b. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2009). Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum obat antidiabetes oral
pada pasien yang terdiagnosa diabetes melitus.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan Microsoft
Office Excel 2010 untuk mengetahui hasilnya. Penyajian data dalam penelitian ini
menggunakan tabel untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan oleh pasien diabetes
melitus di Posbindu PTM Wilayah Kerja Puskesmas Sekupang Kota Batam.
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berasal
dari populasi yang berdistribusi normal. Normalitas data diuji dengan menggunakan uji
KolmogorovSmirnov. Nilai p>0,05 maka asumsi normalitas terpenuhi. Nilai probabilitas
lebih kecil dari taraf signifikan 5% (p<0,05), hal ini berarti bahwa data memiliki sebaran
atau distribusi yang tidak normal.
3.9 Analisa Data
Pada penelitian ini menggunakan analisis Bivariat. Analisis bivariat adalah tehnik
analisa untuk melihat hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Analisis yang dipilih dalam penelitian kali ini digunakan analisis statistik non-
parametrik dengan uji korelasi Spearman Rho karena memiliki sebaran atau distribusi
tidak normal. Analisa ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kepatuhan pasien Diabetes Melitus.
Tabel 3.2 Cara Penilaian Kuesioner tingkat kepatuhan Morisky scale 8-item
A. Distribusi Usia
Tabel 4.2 Distribusi Usia
Usia Jumlah Persentase
36-45 th 13 14.0 %
46-55 th 39 41.9 %
56-65 th 28 30.1%
> 65 th 13 14.0 %
Total 93 100.0%
Dari tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa persentase penderita Diabetes Melitus
Tipe 2 paling banyak terdapat pada responden yang berusia 45-55 tahun berjumlah 39
orang (41.9%). Menyusul 56-65 th berjumlah 28 orang ( 30.1 %), > 65 th berjumlah 13
orang (14.0%) dan 36-45 th berjumlah 13 orang (14.0%). Proses menua yang
berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan
biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya
pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang
dapat mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang menghasilkan hormon insulin,
sel-sel jaringan target yang mengasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa (Goldberg dan Coon dalam Rochman,2006).
Dari tabel 4.3 Menunjukan bahwa penyakit Diabetes Melitus dapat diderita laki-
laki maupun perempuan. Data yang diperoleh dari penelitian ini, bahwa pasien
perempuan 58 orang (62.4%) lebih banyak yang menderita Diabetes dari pada laki-laki
yang berjumlah 35 orang (37.6%), Hal ini dapat disebabkan karena pada perempuan
memiliki LDL (Low Density Lipoprotein) atau kolesterol jahat tingkat trigliserida yang
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, dan juga terdapat perbedaan dalam
melakukan semua aktivitas dan gaya hidup sehari-hari yang sangat mempengaruhi
kejadian suatu penyakit, dan hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
penyakit diabetes melitus. Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar antara
15-20 % dari berat badan total, dan pada perempuan sekitar 20-25 %. Jadi peningkatan
kadar lipid (lemak darah) pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki,
sehingga faktor risiko terjadinya diabetes melitus pada perempuan 3-7 kali lebih tinggi
dibandingkan pada lak-laki yaitu 2-3 kali, (Soeharto, 2003 dalam Jelantik dan Haryati,
2014).
Analisis data Riskesdas (2007) yang dilakukan oleh Irwan mendapatkan bahwa
wanita lebih berisiko mengidap diabetes melitus karena secara fisik wanita memiliki
peningkat indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindrom siklus bulanan (Premenstrual
Syndrome) dan pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah
terakumulasi. Selain itu, pada wanita yang sedang hamil terjadi ketidakseimbangan
hormonal. Hormone progesterone menjadi tinggi sehingga meningkatkan system kerja
tubuh untuk merangsang sel-sel berkembang. Selanjutnya tubuh akan memberikan sinyal
lapar dan pada puncaknya menyebabkan system metabolise tubuh tidak bisa menerima
langsung asupan kalori sehingga menggunakannya secara total sehingga terjadi
peningkatan kadar gula darah saat kehamilan (Damayati dalam Irawan, 2010).
C. Distribusi Pendidikan
Tabel 4.4 Distribbusi Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase
SD 12 12.9 %
SMP 20 21.5 %
SMA 38 40.9 %
Sarjana 23 24.7 %
Total 93 100.0 %
Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa persentase penderita Diabetes Melitus paling
tinggi diderita pada pasien dengan kategori tingkat pendidika SMA yaitu 38 responden
dengan persentase 40.9%, Sarjana 23 orang (24.7 %), SMP 20 orang (21.5 %) dan SD 12
orang (12.9%). Pendidikan dapat memberikan penilaian akan pentingnya tingkat
kepatuhan, pengetahuan dan jadwal kontrol pasien Diabetes Melitus. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah pula mereka untuk menerima
informasi, sehingga semakin tinggi tingkat pengetahuan yang dimiliki pasien maka
semakin tinggi tingkat kepatuhannya (Prayogo, 2013).
D. Distribusi Lama Menderita Diabetes Melitus
Tabel 4.5 Distribusi Lama Menderita Diabetes Melitus
Lama Menderita Jumlah Persentase
<2 tahun 22 23.7 %
2-5 th 57 61.3 %
>5 th 14 15.1 %
Total 93 100.0 %
Dari tabel 4.5 menunjukkan lama menderita diabetes melitus yang terbanyak
dengan katagori 2-5 tahun yang berjumlah 57 orang (61,3%), untuk lama menderita
diabetes melitus <2 th berjumlah 22 orang (23.7 %) dan yang telah menderita diabetes
melitus selama > 5 th berjumlah 14 orang (15.1%). Lamanya durasi dan kualitas hidup
yang baik dimungkinkan akan mencegah atau menunda komplikasi jangka panjang
(Zimmet, 2009).
Dari tabel 4.6 didapatkan responden banyak mengkonsumsi 1 macam obat yang
berjumlah 48 orang (51.6%). Kemudian diikuti dengan 2 macam obat berjumlah 22
orang (23.7%), lupa obat antidiabetes yang dikonsumsi berjumlah 14 orang (15.1%),
tidak tahu nama obat antidiabetes yang dikonsumsi berjumlah 6 orang (6.5%) dan 3
macam obat berjumlah 3 orang (3.2%).
4.3 Uji Normalitas
Tabel 4.7 Uji normalitas
Uji Kolmogorov-Smirnov
Asymp. Sig. (2-tailed) .036
Dari tabel 4.4 Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa nilai p signifikan = 0,000
artinya kedua variabel anatara pengetahuan dengan kepatuhan memiliki nilai yang
bermakna dengan arah korelasi positif. P value lebih kecil dibandingkan dengan 0,05 dan
nilai korelasi Spearman’s rho sebesar 0,582 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara pengetahuan terhadap tingkat kepatuhan minum obat antidiabetes oral
pada pasien Diabetes Melitus di Puskesmas Sekupang, Kota Batam dengan arah korelasi
yang kuat.