ANTIDIABETES
Dosen Pembimbing: Marvel, M. Farm., Apt.
Kelompok 1D
Khaerunnisa 11171020000090
MEI/2019
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada praktikum kali ini digunakan hewan coba tikus untuk uji antidiabetes.
Praktikum ini dilakukan dengan tujuan supaya mahasiswa farmasi lebih tahu
tentang obat antidiabetes yang ideal dan tidak memiliki efek samping yang
merugikan pengguna obat tersebut. Parameter utama dari antidiabetes adalah
jadar glukosa darah.
TEORI
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai
dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi
insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap
insulin (Depkes, 2008).
Menurut International Diabetes Federation-7 tahun 2015, dalam metabolisme tubuh hormon
insulin bertanggung jawab dalam mengatur kadar glukosa darah. Hormon ini diproduksi dalam
pankreas kemudian dikeluarkan untuk digunakan sebagai sumber energi. Apabila di dalam tubuh
kekurangan hormone insulin maka dapat menyebabkan hiperglikemi (IDF, 2015).
2
Insulin dikode oleh lengan pendek kromosom 117 dan disintesa oleh sel β
dari islet pancreas Langerhans sebagai proinsulin. Proinsulin disintesa di ribosom-
Retikulum Endoplasma kasar dari mRNA sebagai pre-proinsulin. Pre-proinsulin
dibentuk melalui sintesa signal peptide. Pelepasan signa peptida akan membentuk
proinsulin di Retikulum Endoplasma. Vesikel sekretori akan mengirim proinsulin
dari reticulum endoplasma ke badan golgi. Di badan golgi, proinsulin akan
diberikan tambahan zink dan kalsium yang akan menyebabkan bentukan heksamer
proinsulin yang tidak larut air. Enzim di luar badan golgi akan merubah proinsulin
menjadi insulin dan C-peptide (Wilcox, 2005). Sekresi insulin dapat dipengaruhi
oleh perubahan pada transkripsi gen, translasi, modifikasi post-translasi di badan
Golgi, dan factor-faktor lain yang mempengaruhi pelepasan insulin oleh granula
sekretorik. Modifikasi jangka panjang dapat terjadi melalui perubahan pada jumlah
sel β dan differensiasinya. Glukosa mempengaruhi biosintesis dan sekresi insulin
dengan beberapa cara. Asam amino, asam lemak, asetilkolin, pituitary adenylate
cyclase-activating polypeptide (PACAP), glucose-dependent insulinotropic
polypeptide (GIP), glucagon-like peptide-1 (GLP-1)dan agonis yang lain juga
berpengaruh pada proses biosintesis dan pelepasan insulin (Wilcox, 2005).
Peningkatan kadar glukosa menginduksi “fase pertama” dalam glucose-
mediated insulin secretion yakni dengan pelepasan insulin yang baru saja disintesa
dan penyimpanan dalam granula sekretoriksel β. Masuknya glukosa ke dalam sel β
dideteksi oleh glukokinase, sehingga glukosa tadi difosforilasi menjadi glukosa-6-
fosfat (G6P). Proses ini membutuhkan ATP. Penutupan kanal K+-ATP-dependent
mengakibatkan depolarisasi membrane plasma dan aktivasi kanal kalsium yang
voltage-dependent yang menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium
intraseluler. Peningkatan kadar kalsium inilah yang menyebabkan sekresi insulin.
Mediator lain yang berperan dalam pelepasan insulin adalah aktivasi fosfolipase
dan protein kinase C (sebagai contoh oleh asetilkolin) serta rangsangan dari
aktivitas adenil-siklase dan protein kinase-A sel β. Mekanisme induksi sekresi
insulin juga melibatkan aktivitas hormone, seperti vasoactive intestinal peptide
(VIP), PACAP, GLP-1, dan GIP. Factor-faktor ini memegang peranan penting
dalam “fase kedua” sekresi insulin, yakni pelepasan insulin baik yang baru saja
disintesa maupun yang disimpan dalam granula sekretorik (Wilcox, 2005).
3
Sintesis dan sekresi insulin diatur oleh sekretagog nutrien and non-nutrien.
Sekretagog nutrien seperti glukosa memicu sekresi insulin dari sel β dengan
meningkatkan ATP intraseluler dan penutupan K +-ATP kanal sebagaimana
diuraikan di atas. Produksic-AMP dan mediator energi sel lain juga ditambah, yang
akhirnya akan meningkatkan pelepasan insulin. Glukosa tidak memerlukan insulin
untuk masuk ke dalam sel β (juga fruktosa, manosa atau galaktosa). Sekretagog
non-nutrien mungkin bekerja melalui rangsangan saraf seperti jalur kolinergik dan
adrenergik, atau melalui hormon peptida dan asam amino kationik (Wilcox, 2005).
Insulin dalam memberikan efeknya harus berikatan dengan reseptor insulin.
Reseptor insulin memiliki struktur heterotetramer yang terdiri dari subunit
glikoprotein 2 α dan2 β, yang dihubungkan dengan ikatan disulfide dan berlokasi
di membrane sel. Gen yang mengkode reseptor insulin terletak pada lengan pendek
dari kromosom 19. Insulin berikatan dengan subunit α ekstraseluler, yang
mengakibatkan perubahan bentuk sehingga mengakibatkan ikatan ATP pada
komponen intraseluler dari subunit β. Ikatan ATP akan memicu fosforilasi dari
subunit β melalui enzim tyrosine kinase. Fosforilasi tyrosine pada substrat
intraseluler ini disebut sebagai (IRS). IRS dapat mengikat molekul-molekul sinyal
yang lain, yang dapat mengaktivasi insulin (Wilcox, 2005).
Terdapat 4 jenis protein IRS. IRS 1 merupakan IRS terbesar di otot rangka.
IRS 2 merupakan IRS penting di liver, yang berfungsi dalam aktivitas perifer dari
insulin dan pertumbuhan dari sel β pancreas. IRS 3 ditemukan hanya pada jaringan
adipose, sel β, dan liver. Sedangkan IRS 4 ditemukan di timus, otak dan ginjal. IRS
yang telah terfosforilasi akan mengikat src-homology-2 domain protein (SH2) yang
spesifik, yang meliputi enzim penting seperti phosphatidylinositol-3-kinase (PI 3-
kinase) dan phosphotyrosine phosphatase SHPTP2 (atau Syp), dan protein lain yang
bukan enzim tapi dapat menghubungkan IRS-1 dengan system sinyal intraseluler
yang lain (Grb2 yang menghubungkan dengan jalur RAS (rat sarcoma protein))
(Wilcox, 2005).
4
seperti Akt/protein kinase B (PKB), protein kinase C (PKC) dan PI dependent
protein kinases1& 2 (PIPD 1&2)(Wilcox, 2005).
5
GLUT-4 adalah transporter glukosa utama dan terletak terutama pada sel
otot dan sel lemak. Konsentrasi glukosa fisiologis adalah 36-179 mg per desiliter
(2 sampai 10 mmol per liter). Pentingnya GLUT-4 dalam homeostasis glukosa
ditunjukkan melalui penelitian pada tikus di mana satu alel dari GLUT-4 gen
diganggu. Tikus-tikus ini mengalami pengurangan 50 persen konsentrasi GLUT-4
pada otot rangka, jantung, dan sel lemak, dan mereka mengalami resistensi insulin
berat; diabetes berkembang pada setidaknyasetengah tikus jantan (Sheperd et al,
1999).
Pada sel otot dan sel lemak normal, GLUT-4 didaur ulang antara membran
plasma dan vesikel penyimpanan intraseluler. GLUT-4 berbeda dari transporter
glukosa lain, yaitu sekitar 90 persen terletak di intrasel saat kondisi tidak ada
rangsang insulin atau rangsangan lain seperti olahraga (Sheperd et al, 1999) Dengan
adanya insulin atau stimulus lain, keseimbangan dari proses daur ulang ini diubah
untuk mendukung translokasi GLUT-4 dari vesikel penyimpanan intraseluler ke
arah membran plasma, dan juga ke tubulus transversa pada sel otot,. Efek bersihnya
adalah peningkatan kecepatan maksimal transpor glukosa ke dalam sel. (Sheperd et
al, 1999; Shulman, 2000).
Gerakan intraselular GLUT-4 dimulai dengan pengikatan insulin pada
bagian ekstraseluler dari reseptor insulin transmembran. Ikatan ini mengaktifkan
fosforilasi tirosin kinase pada bagian intraseluler dari reseptor. Substrat utama
untuk tirosin kinase ini termasuk insulin reseptor-substrat molekul (IRS-1, IRS-2,
IRS-3, dan IRS-4), Gab-1 (Grb2 [faktor pertumbuhan reseptor yang terikat protein
2] terkait pengikat 1), dan SHC (Src dan kolagen-homolog protein). Dalam sel
lemak dan otot rangka, aktivasi selanjutnya dari phosphoinositol-3 kinase
diperlukan untuk stimulasi transpor glukosa oleh insulindan sudah cukup untuk
menimbulkan setidaknya translokasi sebagian GLUT-4 ke membran plasma
(Sheperd et al, 1999). Aktivasi protein kinase serin-treonin juga terlibat.
Phosphoinositol-3 kinase juga mengaktifkan kinase lain dengan menghasilkan
produk lipid phosphatidylinositol dalam bilayer lipid membran sel. Lipid ini, pada
gilirannya, akan mengaktifkan molekul signaling kunci. Dengan cara ini, serin-
treonin kinase yang, disebut protein kinase B (atau Akt), dan phosphoinositide-
dependent kinase 1 dibawa bersama-sama, hingga memungkinkan molekul kedua
6
untuk memfosforilasi dan mengaktifkan protein kinase B. Beberapa isoform protein
kinase C juga diaktifkan oleh insulin ,dan phosphoinositide-dependent protein
kinase 1 dapat menyebabkan aktivasi protein kinase C karena molekul ini
memfosforilasi loopaktivasi protein kinase C (Sheperd et al, 1999; Shulman,
2000).Translokasi intraselular GLUT-4 ke membran plasma dirangsang oleh
ekspresi bentuk aktif protein kinase B atau isoform atipikal protein kinase C pada
percobaan kultur sel. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu atau kedua kinase
tersebut adalah mediator kimia dalam proses insulin merangsang translokasi
GLUT-4 in vivo. Isoform atipikal protein kinase C adalah kandidat yang baik: telah
dibuktikan bahwa menghalangi kerja mereka akan melemahkan pergerakan GLUT-
4,sedangkan penelitian di mana aktivasi protein kinase B diblok memilikihasil yang
bertentangan.Selanjutnya, pada sel otot dari subyek diabetes, pada konsentrasi
insulin fisiologis, stimulasi transpor glukosa terbukti terganggu, sedangkan aktivasi
protein kinase B normal (Sheperd et al, 1999; Shulman, 2000).
7
American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes
melitus berdasarkan patogenesis sindrom diabetes melitus dan gangguan toleransi
glukosa. Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 yaitu diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, diabetes gestational dan diabetes melitus tipe khusus (Price
& Wilson, 2005).
1. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes melitus atau IDDM) merupakan
diabetes yang disebabkan oleh proses autoimun sel- T (autoimmune T- Cell
attack) yang menghancurkan sel- sel beta pankreas yang dalam keadaan normal
menghasilkan hormon insulin, sehingga insulin tidak terbentuk dan
mengakibatkan penumpukan glukosa dalam darah. Pasien dengan diabetes tipe
1 membutuhkan penyuntikan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa
darah. (Smeltzer & Bare, 2001).
2. Diabetes Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes melitus yang tidak tergantung dengan
insulin. Diabetes melitus ini terjadi karena pankreas tidak dapat menghasilkan
insulin yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif
sehingga terjadi kelebihan gula dalam darah. Diabetes melitus tipe 2 dapat
8
terjadi pada usia pertengahan dan kebanyakan penderita memiliki kelebihan
berat badan (Smeltzer & Bare, 2001).
3. Diabetes Gestastional (diabetes kehamilan )
Diabetes gestastional adalah diabetes yang terjadi pada masa kehamilan dan
mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Diabetes gestastional disebabkan
karena peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik
terhadap toleransi glukosa. Diabetes gastastional dapat hilang setelah proses
persalinan selesai. (Price & Wilson, 2005).
4. Diabetes melitus tipe khusus
Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena adanya
kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi gen serta
mengganggu sel beta pankreas sehingga mengakibatkan kegagalan dalam
menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom
hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu
sindrom chusing, akromegali dan sindrom genetik (Arisman, 2011).
Menurut Wicak (2009) gejala umum yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes
melitus dianataranya :
9
Glukosa yang tidak dapat terurai akan dikeluarkan oleh tubuh melalui keringat
sehingga pada pasien diabetes melitus akan mudah berkeringat banyak.
5. Lesu
Pasien diabetes melitus akan mudah merasakan lesu. Hal ini disebabkan karena
pada gukosa dalam tubuh sudah banyak dibuang oleh tubuh melalui keringat atau
urin, sehinggu tubuh merasa lesu dan mudah lelah.
6. Penyusutan berat badan
Penyusutan berat badan pada pasien diabetes melitus disebabkan karena tubuh
terpaksa mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi.
Menurut Erik Tapan (2005), ada 7 faktor risiko Diabetes Mellitus yaitu:
1. Faktor Usia
Usia bisa menjadi faktor risiko karena seiring bertambahnya umur terjadi
penurunan fungsi-fungsi organ tubuh, termasuk reseptor yang membantu
pengangkutan glukosa ke jaringan. Reseptor ini semakin lama akan semakin tidak
peka terhadap adanya glukosa dalam darah. Sehingga, yang terjadi adalah
peningkatan kadar glukosa dalam darah.
2. Jenis Kelamin
Pada usia kurang dari 40 tahun, pria dan wanita memiliki risiko yang sama
mengalami diabetes. Sedangkan pada usia lebih dari 40 tahun, wanita lebih berisiko
mengalami diabetes. Pada wanita yang telah mengalami menopause, gula darah
lebih tidak terkontrol karena terjadi penurunan produksi hormon esterogen dan
progesteron. Hormon esterogen dan progesteron ini mempengaruhi bagaimana sel-
sel tubuh merespon insulin.
3. Pola Makan
Kebiasaan makan yang banyak meningkatkan risiko diabetes. Makan yang
sekaligus banyak memicu insulin dan reseptor untuk bekerja lebih keras, sehingga
reseptor glukosa lebih cepat mengalami kerusakan.
4. Keturunan
Kepekaan reseptor terhadap glukosa dapat diturunkan ke generasi
berikutnya. Sehingga, bila orang tua mengalami diabetes, kemungkinan anaknya
juga dapat mengalami diabetes.
5. Aktifitas Fisik
10
Masyarakat yang suka hidup dengan santai tanpa melakukan apapun
ternyata memiliki risiko lebih besar mengalami diabetes. Orang-orang yang sering
bersantai adalah orang yang membiasakan otot-otot luriknya tidak bekerja,
sehingga otot lurik tidak aktif. Bila otot lurik tidak aktif, maka reseptor yang
menerima glukosa tidak aktif. Akibatnya, glukosa akan tinggi kadarya dalam darah.
6. Kehamilan Besar atau Kembar
Kehamilan yang besar atau kembar ternyata dapat meningkatkan produksi
hormon pertumbuhan lebih banyak. Hormon pertumbuhan ini melawan kerja
insulin. Akibat dari kerja insulin yang dihambat yaitu kadar glukosa dalam darah
tinggi.
7. Obesitas atau Kegemukan
Orang yang mengalami obesitas memiliki simpanan lemak yang lebih
banyak dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan ideal. Banyaknya
lemak dalam tubuh, meningkatkan jaringan adiposa. Padahal reseptorglukosa daat
ditemukan pada jaringan non-adiposa. Jaringan adiposa yang banyak mendesak
jaringan non-adiposa. Akibatnya, jumlah reseptor glukosa juga semakin sedikit.
Sehingga yang terjadi adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah.
11
BAB III
METODE KERJA
b. Bahan
1) Aquades
2) Na CMC
3) Glibenclamide
4) Metformin
12
d. Na CMC dimasukkan ke dalam lumpang kemudian tambahkan air 120 ml
yang telah dipanaskan sedikit demi sedikit dituang ke dalam lumpang, lalu
diaduk secara searah hingga Na CMC mengembang.
Cara Kerja
13
BAB IV
4.1 Hasil
1. Obat Glabinclamide
a. Kelompok 1D
- Berat tikus = 85 g = 0,085 kg
- Dosis glabinclamide = 5 mg/60 kg
- Konsentrasi obat = 5 mg/100 ml
- Dosis glukosa = 1 g/kg
- Konsentrasi glukosa = 50% = 50 g/ 100 ml
- DH obat = 0,5 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
5 𝑚𝑔
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥 0.162
60 𝑘𝑔
𝑚𝑔
0.083 = 𝐷𝐻 𝑥 0.162
𝑘𝑔
𝐷𝐻 = 0,5 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO obat = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 0,5
𝑘𝑔
= 5 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 0,5
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
0,05
𝑚𝑙
= 0,85 ml
- DH glukosa = 6,167 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
1𝑔 6
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥
𝑘𝑔 37
𝑚𝑔 6
1000 = 𝐷𝐻 𝑥
ℎ𝑔 37
14
𝑚𝑔 37
1000 = ∶ 𝐷𝐻
𝑘𝑔 6
37000 𝑚𝑔
= 6,167
6 𝑘𝑔
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO glukosa = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 6,167
𝑘𝑔
= 50 𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 6,167
𝑘𝑔
= 5000 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
= 1,05 ml
15
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 6,167
𝑘𝑔
= 5000 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
= 1,43 ml
c. Kelompok 3D
- Berat tikus = 71 g = 0,071 kg
- Dosis glabinclamide = 10 mg/60 kg
- Konsentrasi obat = 5 mg/100 ml
- Dosis glukosa = 1 g/kg
- Konsentrasi glukosa = 50% = 50 g/ 100 ml
- DH obat = 1,04 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
10 𝑚𝑔
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥 0.162
60 𝑘𝑔
𝑚𝑔
0.167 = 𝐷𝐻 𝑥 0.162
𝑘𝑔
𝐷𝐻 = 1,04 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO obat = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,071 𝑘𝑔 𝑥 1,04
𝑘𝑔
= 5 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,071 𝑘𝑔 𝑥 1,04
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
0,05
𝑚𝑙
= 1,5 ml
- DH glukosa = 6,167 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
1𝑔 6
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥
𝑘𝑔 37
𝑚𝑔 6
1000 = 𝐷𝐻 𝑥
ℎ𝑔 37
𝑚𝑔 37
1000 = ∶ 𝐷𝐻
𝑘𝑔 6
37000 𝑚𝑔
= 6,167
6 𝑘𝑔
16
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO glukosa = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,071 𝑘𝑔 𝑥 6,167
𝑘𝑔
= 50 𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,071 𝑘𝑔 𝑥 6,167
𝑘𝑔
= 5000 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
= 0,87 ml
d. Kelompok 4D
- Berat tikus = 85 g = 0,085 kg
- Dosis glabinclamide = 15 mg/60 kg
- Konsentrasi obat = 5 mg/100 ml
- Dosis glukosa = 1 g/kg
- Konsentrasi glukosa = 50% = 50 g/ 100 ml
- DH obat = 1,54 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
15 𝑚𝑔
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥 0.162
60 𝑘𝑔
𝑚𝑔
0.25 = 𝐷𝐻 𝑥 0.162
𝑘𝑔
𝐷𝐻 = 1,54 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO obat = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 1,54
𝑘𝑔
= 5 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 1,54
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
0,05
𝑚𝑙
= 2,61 ml
- DH glukosa = 6,167 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
1𝑔 6
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥
𝑘𝑔 37
𝑚𝑔 6
1000 = 𝐷𝐻 𝑥
ℎ𝑔 37
17
𝑚𝑔 37
1000 = ∶ 𝐷𝐻
𝑘𝑔 6
37000 𝑚𝑔
= 6,167
6 𝑘𝑔
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO glukosa = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 6,167
𝑘𝑔
= 50 𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,085 𝑘𝑔 𝑥 6,167
𝑘𝑔
= 5000 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
= 1,05 ml
2. Obat Metformin
1. Kelompok 1B
- Berat tikus = 104 g = 0,104 kg
- Dosis metformin = 500 mg/60 kg
- Konsentrasi obat = 500 mg/100 ml
- Dosis glukosa = 1 g/kg
- Konsentrasi glukosa = 50% = 50 g/ 100 ml
- DH obat = 51,4 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
500 𝑚𝑔
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥 0.162
60 𝑘𝑔
𝑚𝑔
8,33 = 𝐷𝐻 𝑥 0.162
𝑘𝑔
𝐷𝐻 = 51,4 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO obat = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,104 𝑘𝑔 𝑥 51,4
𝑘𝑔
= 500 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,104 𝑘𝑔 𝑥 51,4
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
5
𝑚𝑙
= 1 ml
18
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO glukosa = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑔
0,104𝑘𝑔 𝑥 1
𝑘𝑔
= 50 𝑔
100 𝑚𝑙
𝑔
0,104𝑘𝑔 𝑥 1
𝑘𝑔
= 5000 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
= 0,208 ml
2. Kelompok 2B
- Berat tikus = 106 g = 0,106 kg
- Dosis metformin = 1500 mg/60 kg
- Konsentrasi obat = 500 mg/100 ml
- Dosis glukosa = 1 g/kg
- Konsentrasi glukosa = 50% = 50 g/ 100 ml
- DH obat = 154,16 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
1500 𝑚𝑔
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥 0.162
60 𝑘𝑔
𝑚𝑔
25 = 𝐷𝐻 𝑥 0.162
𝑘𝑔
𝐷𝐻 = 154,16 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO obat = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,106 𝑘𝑔 𝑥 154,16
𝑘𝑔
= 500 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,106 𝑘𝑔 𝑥154,16
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
5
𝑚𝑙
= 3,268 ml
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO glukosa = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑔
0,106𝑘𝑔 𝑥 1
𝑘𝑔
= 50 𝑔
100 𝑚𝑙
𝑔
0,106 𝑘𝑔 𝑥 1
𝑘𝑔
= 5000 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
19
= 0,212 ml
3. Kelompok 3B (kontrol negatif)
- Berat tikus = 76 g = 0,076 kg
- Na CMC = 0,5%
- Volume suspensi = 2 ml
- Dosis glukosa = 1 g/kg
- Konsentrasi glukosa = 50% = 50 g/ 100 ml
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO glukosa = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,076 𝑘𝑔 𝑥 1
𝑘𝑔
= 50 𝑔
100 𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,076 𝑘𝑔 𝑥 1
𝑘𝑔
= 5000 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
= 0,152 ml
4. Kelompok 4B
- Berat tikus = 103 g = 0,103 kg
- Dosis metformin = 1000 mg/60 kg
- Konsentrasi obat = 500 mg/100 ml
- Dosis glukosa = 1 g/kg
- Konsentrasi glukosa = 50% = 50 g/ 100 ml
- DH obat = 102,88 mg/kg
HED = Dosis hewan x (6 : 37)
1000 𝑚𝑔
= 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑥 0.162
60 𝑘𝑔
𝑚𝑔
16,67 = 𝐷𝐻 𝑥 0.162
𝑘𝑔
𝐷𝐻 = 102,88 𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO obat = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑚𝑔
0,103 𝑘𝑔 𝑥 102,88
𝑘𝑔
= 500 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
20
𝑚𝑔
0,103 𝑘𝑔 𝑥102,88
𝑘𝑔
= 𝑚𝑔
5
𝑚𝑙
= 2,12 ml
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝐻𝑒𝑤𝑎𝑛 ( )
𝑘𝑔
- VAO glukosa = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 ( )
𝑚𝑙
𝑔
0,103𝑘𝑔 𝑥 1
𝑘𝑔
= 50 𝑔
100 𝑚𝑙
𝑔
0,103 𝑘𝑔 𝑥 1
𝑘𝑔
= 5000 𝑚𝑔
100 𝑚𝑙
= 0,103 ml
21
4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan pengujian efek obat antidiabetes pada
empat tikus yang mempunyai bobot badan yang berbeda pada masing-masing
kelas B dan D. Obat yang digunakan adalah obat metformin untuk kelas B dan
obat glibenklamid untuk kelas D dengan memakai seri dosis yang berbeda.
Tikus kelompok 3B dan 2B dijadikan kontrol dengan hanya diberi glukosa dan
Na CMC. Tikus pada kelompok 1B, 2B, dan 4B diberi metformin dengan dosis
manusia berturut-turut 500 mg/60 kgBB, 1500 mg/60 kgBB, dan 1000 mg/60
kgBB. Sedangkan tikus pada kelompok 1B, 3B, dan 4B diberi obat
glibenklamid dengan dosis 5 mg/60 kgBB, 10 mg/60 kgBB dan 15 mg/60
kgBB. Sebelum diberikan dengan obat, masing – masing tikus diberikan
larutan glukosa 50%.
22
volume glukosa yang diinduksikan adalah 1,05 ml. Perbedaan yang cukup
signifikan ini dapat menimbulkan perbedaan kenaikan gula darah pada tikus
setelah diinduksikan dengan glukosa. Setelah dilakukan studi literatur,
diperoleh dosis glukosa untuk manusia adalah 75g/70 kgBB. Dengan demikian
glukosa dengan dosis 1g/kgBB yang digunakan pada saat praktikum
seharusnya dikonversikan terlebih dahulu ke dosis tikus ketika akan
diinduksikan.
Kemudian setelah tikus diinduksikan dengan larutan glukosa 50%, tikus
diinduksikan dengan obat metformin untuk kelas B dan dengan obat
glibenklamid untuk kelas D, dimana digunakan seri dosis yang berbeda untuk
masing-masing tikus seperti yang sudah dijelaskan di atas. Setelah
diinduksikan dengan obat, dilakukan pengecekan kadar glukosa tikus setelah
30 menit. Semua tikus diambil darahnya. Pengambilan darah dilakukan dengan
memotong bagian ujung ekor mencit dan mengeluarkan sedikit darahnya. Pemilihan
bagian ekor untuk mengambil darah mencit dikarenakan pada bagian ini terdapat
banyak pembuluh darah yaitu pembuluh darah vena. Selain itu metode ini adalah
metode termudah untuk mengambil darah mencit. Dalam pengecekan gula darah
ini digunakan suatu alat yaitu seperangkat alat ukur yang terdiri dari
glukometer dan strip pembaca glukosa darah yang terpasang pada bagian atas
glukometer. Dalam strip terdapat enzim glukooksigenase yang mana jika
sampel darah mengenai strip, maka akan langsung terbaca oleh glukometer.
Digunakan alat glukometer sebagai alat yang otometik memudahkan dalam
memperoleh hasil glokosa darah dikarenakan periksaan dengan menggunakan
alat ini memerlukan waktu yang reltif singkat, akurat, waktu tesnya minimal
30 detik.
Setelah 30 menit, diperoleh data tikus yang diinduksikan dengan glukosa
dan Na CMC sebagai control pada kelas B gula darahnya sebesar 106 mg/dL
dan 77 mg/dL pada menit ke-40. Sedang pada kelas D kelompok control, gula
darah tikus setelah diinduksikan glukosa pada menit ke-30 sebesar 222 mg/dL.
Menurut Kuswati (2004), kadar gula darah normal pada tikus yaitu berkisar
antara 50-135 mg/dL. Tikus kelompok 3B yang diberikan glukosa 0,152 ml
dan Na CMC tidak mengalami kenaikan gula darah yang signifikan dan
langsung mengalami penurunan tekanan darah 10 menit selanjutnya
23
dikarenakan kesalahan dalam pemberian volume glukosa. Dengan hanya
diberikan 0,152 ml tidak memberikan efek yang bermakna bagi tikus. Sedang
pada tikus kelompok 3D mengalami kenaikan tekanan darah sampai melebihi
kadar gula darah normal setelah diberikan glukosa dan Na CMC. Selain sebagai
control negative ynag tidak memiliki efek antidiabetik, Na CMC juga
merupakan selulosa yang tergolong polisakarida sehingga dapat semakin
meningkatkan kadar gula dalam darah. Namun dikarenakan pengecekan kadar
gula darah hanya dilakukan satu kali maka tidak dapat diamati waktu
penurunan kadar gula darah tikus tersebut.
Pada tikus kelas B yang diberikan obat metformin dengan seri dosis yang
berbeda, diperoleh gula darah pada tikus yang diinduksikan obat dengan dosis
500 mg/ 60kgBB, 1000 mg/60 kgBB, dan 1500 mg/ 60 kgBB setelah 30 menit
berturut-turut adalah 117 mg/dL, 79 mg/dL (setelah 40 menit), dan 79 mg/dL.
Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa tikus yang diberikan metformirn
dengan dosis 500 mg/60 kgBB memiliki kadar gula yang lebih tinggi daripada
control. Secara teoritis, tikus yang diberikan obat antidiabetes seharusnya
mempunyai dula darah yang lebih rendah daripada tikus yang tidak diberikan
obat. Hal tersebut dapat disebabkan karena kesalahan praktikan, salah satunya
dapat disebabkan karena kesalahan dalam menyonde yakni obat tidak masuk
sempurna ke tikus tersebut atau bahkan memang tidak benar-benar masuk
sehingga gula darahnya bisa lebih tinggi daripada gula darah tikus control. Pada
tikus yang diinduksikan metformin dengan dosis 1000 mg/60 kgBB dan 1500
mg/60 kgBB mempunyai nilai kadar gula yang sama yaitu 79 mg/dL. Secara
teoritis, semakin besar dosis obat maka efek dalam menurunkan gula darah
seharusnya semakin kuat. Nilai kadar gula yang sama pada pemberian dosis
yang berbeda ini disebabkan karena perbedaan waktu dalam pengecekan gula
darah tikus. Pada tikus yang diinduksikan metformin dengan dosis 1000 mg/60
kgBB dicek gula darahnya pada menit ke-40, sedang pada tikus yang
diinduksikan metformin dengan dosis 1500 mg/60 kgBB dicek pada menit ke-
30. Perbedaan waktu itu menyebabkan perbedaan absorbs obat pada tikus.
Semakin lama maka obat yang diabsorbsi semakin tinggi, maka dari itu
didapati nilai kadar gula yang sama meskipun obat yang diinduksikan dosisnya
24
berbeda. Karena faktor kurang telitinya praktikan inilah yang melatarbelakangi
hal tersebut terjadi.
Dalam hal ini, metformin merupakan obat antihiperglikemik golongan
biguanide, digunakan untuk terapi penyakit diabetes tipe II. Metformin
merupakan obat pilihan pertama dalam penatalaksanaan diabetes tipe II.
Metformin dianggap sebagai obat antihiperglikemik dikarenakan dapat
menurunkan konsentrasi glukosa darah pada diabetes tipe II tanpa
menyebabkan hipoglikemia. Metformin umumnya digambarkan sebagai
sensitizer insulin yang mengarah pada penurunan resistensi insulin dan
penurunan kadar insulin puasa plasma yang signifikan secara klinis. Manfaat
lain yang diketahui dari obat ini adalah penurunan berat badan yang sedang.
Metformin merupakan obat pilihan untuk pasien diabetes tipe II yang obesitas.
Mekanisme aksi metformin dalam menurunkan kadar glukosa darah yaitu
dengan mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), mengurangi
penyerapan glukosa usus, dan meningkatkan sensitivitas insulin dengan
meningkatkan pengambilan glukosa perifer. Metformin dapat menghambat
aktivitas kompleks I mitokondria. Proses di atas menyebabkan penurunan
glukosa darah, mengelola diabetes tipe II dan memberikan efek positif pada
kontrol glikemik.
Setelah obat metformin dikonsumsi, transporter kation organik-1 (OCT1)
bertanggung jawab untuk penyerapan metformin menjadi hepatosit (sel hati).
Karena obat ini bermuatan positif, metformin berakumulasi dalam sel dan
dalam mitokondria karena potensi membran melintasi membran plasma serta
membran dalam mitokondria. Metformin menghambat kompleks mitokondria
I, mencegah produksi ATP mitokondria yang mengarah ke peningkatan ADP
sitoplasma: ATP dan AMP: ATP rasio. Perubahan ini mengaktifkan protein
kinase teraktivasi-AMP (AMPK), sebuah enzim yang memainkan peran
penting dalam regulasi glukosa metabolisme. Selain mekanisme ini, AMPK
dapat diaktifkan oleh mekanisme lisosom yang melibatkan aktivator lain.
Setelah proses ini, peningkatan AMP: rasio ATP juga menghambat enzim
fruktosa-1,6-bifosfatase, menghasilkan penghambatan glukoneogenesis,
sementara juga menghambat adenilat siklase dan mengurangi produksi siklik
25
adenosin monofosfat (cAMP), turunan dari ATP digunakan untuk pensinyalan
sel. AMPK teraktivasi memfosforilasi dua isoform dari enzim asetil-KoA
karboksilase, dengan demikian menghambat sintesis lemak dan mengarah pada
oksidasi lemak, mengurangi simpanan lemak hati, dan meningkatkan
sensitivitas hati terhadap insulin.
Di dalam usus, metformin meningkatkan metabolisme glukosa anaerob di
dalam enterosit (sel-sel usus), yang menyebabkan berkurangnya penyerapan
glukosa bersih dan peningkatan pengiriman laktat ke hati. Beberapa cara
metformin dapat berperan dalam usus adalah dengan meningkatkan
metabolisme glukosa dengan meningkatkan peptida I seperti glukagon (GLP-
1) serta meningkatkan pemanfaatan glukosa oleh usus.
Pada tikus kelas D diberikan obat glibenklamid dengan seri dosis yang
berbeda, diperoleh gula darah pada tikus yang diinduksikan obat dengan dosis
5 mg/ 60kgBB, 10 mg/60 kgBB, dan 15 mg/ 60 kgBB setelah 30 menit berturut-
turut adalah 192 mg/dL, 133 mg/dL (setelah 40 menit), dan 71 mg/dL.
Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa tikus yang diberikan
glibenklamid memiliki kadar gula yang lebih rendah daripada control. Hal
tersebut sesuai dengan teori yang ada dimana glibenklamid yang merupakan
obat antidiabetes dapat menurunkan kadar gula darah. Berdasarkan hasil
tersebut maka dengan semakin besarnya dosis obat yang diberikan kepada tikus
gula darah tikus akan semakin turun. Hal tersebut sesuai dengan teoritis yang
ada bahwa semakin besar dosis obat maka efek obat akan semakin kuat.
Glibenklamid merupakan obat antihiperglikemik oral yang digunakan
untuk pengobatan diabetes mellitus (NIDDM) yang tidak tergantung insulin.
Glibenklamid merupakan obat golongan sulfonilurea dari secretagogues
insulin, yang bertindak dengan merangsang sel β pankreas untuk melepaskan
insulin. Sulfonilurea meningkatkan sekresi insulin basal dan pelepasan insulin
yang terstimulasi makan. Sulfonilurea juga meningkatkan pemanfaatan
glukosa perifer, menurunkan glukoneogenesis hati dan dapat meningkatkan
jumlah dan sensitivitas reseptor insulin. Sulfonilurea berhubungan dengan
pertambahan berat badan, meskipun lebih sedikit daripada insulin. Karena
mekanisme kerjanya, sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia dan
26
membutuhkan asupan makanan yang teratur untuk mengurangi risiko ini.
Risiko hipoglikemia meningkat pada orang tua, orang yang lemah dan kurang
gizi. Glibenklamid telah terbukti mengurangi kadar glukosa plasma puasa,
glukosa darah postprandial dan kadar hemoglobin glikosolat (HbA1c).
Glibenklamid sepenuhnya dimetabolisme, kemungkinan di hati. Meskipun
metabolitnya memberikan efek hipoglikemik yang kecil, nsmun efek
hipoglikemik glibenklamid dianggap tidak penting secara klinis. Metabolit
glibenklamid diekskresikan dalam urin dan feses dalam proporsi yang kurang
lebih sama.
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, tidak dapat dibandingkan mana obat
yang lebih efektif digunakan untuk pengobatan antidiabetes dikarenakan dosis
glukosa yang diberikan ke tikus berbeda. Secara teoritis, obat metformin lebih
efektif daripada obat glibenklamid, dikarenakan metformin tidak menimbulkan
efek samping hipoglikemik dan peningkatan berat badan, sedangkan
glibenklamid dapat menimbulkan hipoglikemik dan peningkatan berat badan.
Selain itu, metformin mempunyai waktu paruh obat lebih lama daripada
glibenklamid yaitu 6,2 jam untuk metformin dan 1,4-1,8 jam untuk
glibenklamid. Semakin lama waktu paruh obat maka semakin lama obat itu
bekerja dalam tubuh.
Efek samping hipoglikemik pada glibenklamid dapat diamati dengan
adanya penurunan glukosa yang cukup besar setelah 30 menit, yaitu pada dosis
15 mg/60 kgBb mencapai 71 mg/dL. Sedangkan onset obat glibenklamid
sendiri yaitu 1 jam setelah penginduksian obat.
Dengan demikian maka obat metformin lebih efektif daripada
glibenklamid dilihat dari faktor efek samping dan farmakokinetik dari masing-
masing obat.
27
BAB V
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2011. Diabetes Mellitus. Dalam: Arisman, ed. Buku Ajar Ilmu Gizi
Obesitas, Diabetes Mellitus dan Dislipidemia. Jakarta: EGC, 44-54.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Depkes
RI Jakarta .
Erik Tapan, 2005. Penyakit Degeneratif. Kelompok Gramedia. Jakarta. Elek Media
Komputindo.
IDF. IDF Diabetes Atlas Seventh Edition: International Diabetes Federation; 2015.
Nugrahani, Septhi Santuka. 2012. Ekstrak Akar, Batang, Dan Daun Herba Meniran
Dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah. Jurnal Kesehatan Masyarakat
halaman 51-59.
Price, A. S., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit (Vol. 2). Jakarta: EGC. Hal. 259-70.
29