Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi ketika

pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau

dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon

kerja insulin secara efektif. Insulin adalah hormon yang berfungsi untuk

meregulasi kadar gula darah. Peningkatan kadar gula dalam darah atau

hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada diabetes dan seringkali

mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup serius pada tubuh, terutama pada

sel saraf dan pembuluh darah (WHO, 2008).

1.1 Jenis-jenis DM

a. Diabetes Melitus Tipe I

DM tipe I merupakan penyakit yang disebabkan oleh proses autoimun

yang menyebabkan kerusakan pada sel-sel beta pankreas. Keadaan ini akan

mengakibatkan pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang dibutuhkan tubuh

untuk meregulasi kadar gula darah (Brunner & Suddarth, 2001). Defisiensi insulin

yang terjadi akan mengakibatkan peningkatan kadar gula dalam darah atau

hiperglikemia. Hiperglikemia yang terjadi ditandai dengan terdapatnya sejumlah

glukosa dalam urin (glukosuria). Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal

untuk menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar (Steele, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini

akan disertai pengeluaran sejumlah cairan dan elektrolit (diuresis osmotik).

Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien DM tipe I akan

mengalami peningkatan frekuensi berkemih (poliuria) dan timbul rasa haus yang

cukup sering (polidipsia). Defisiensi insulin juga akan mengganggu metabolisme

protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Penurunan berat

badan ini akan mengakibatkan berkurangnya jumlah simpanan kalori sehingga

akan menambah selera makan (polifagia) (Brunner & Suddarth, 2001).

b. Diabetes Tipe II

DM tipe II dapat terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon

kerja insulin secara efektif (WHO, 2008). Dua masalah utama yang terkait dengan

hal ini yaitu, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Untuk mengatasi

resistensi dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat

peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada pasien DM, keadaan ini

terjadi karena sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa dalam darah akan

dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika

sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka

kadar glukosa akan meningkat (Brunner & Suddarth, 2001).

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin, yang merupakan ciri khas DM

tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk

mencegah pemecahan lemak dan badan keton. Karena itu, ketoasidosis metabolik

tidak terjadi pada DM tipe II (Brunner & Suddarth, 2001).

Universitas Sumatera Utara


c. Diabetes Gestasional

DM tipe ini terjadi ketika ibu hamil gagal mempertahankan euglikemia.

Faktor resiko DM gestasional adalah riwayat keluarga, obesitas dan glikosuria.

DM tipe ini dijumpai pada 2 – 5 % populasi ibu hamil. Biasanya gula darah akan

kembali normal setelah melahirkan, namun resiko ibu untuk mendapatkan DM

tipe II di kemudian hari cukup besar (Nabyl, 2009).

d. Diabetes Melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya

DM tipe ini sering juga disebut dengan istilah diabetes sekunder, di mana

keadaan ini timbul sebagai akibat adanya penyakit lain yang mengganggu

produksi insulin dan mempengaruhi kerja insulin. Penyebab diabetes semacam ini

antara lain : radang pada pankreas, gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis,

penggunaan hormon kortikosteroid, pemakaian beberapa obat antihipertensi atau

antikolesterol, malnutrisi, dan infeksi (Tandra, 2007).

1.2 Gejala-gejala DM

a. Gejala Akut DM

Gejala penyakit DM pada setiap pasien tidak selalu sama. Gejala-gejala di

bawah ini adalah gejala yang timbul dengan tidak mengurangi kemungkinan

adanya variasi gejala lain, antara lain :

- Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan yaitu polifagia, polidipsia, poliuria dan

peningkatan berat badan.

- Bila keadaan tersebut tidak segera ditangani, akan timbul gejala yang disebabkan

oleh kurangnya jumlah insulin yaitu polidipsia dan poliuria dengan beberapa

Universitas Sumatera Utara


keluhan lainnya seperti nafsu makan berkurang, banyak minum, banyak berkemih,

penurunan berat badan yang signifikan, mudah lelah, timbul rasa mual dan jika

tidak segera diatasi akan mengakibatkan koma yang disebut dengan istilah koma

diabetes. Koma diabetes adalah koma pada pasien DM akibat kadar gula darah

yang melebihi 600 mg/dl (Tjokroprawiro, 2006).

b. Gejala Kronik DM

Kadang-kadang pasien DM tidak menunjukkan gejala akut, tetapi baru

akan menunjukkan gejala setelah beberapa bulan atau tahun menderita DM.

Gejala kronik yang sering timbul yaitu kesemutan, kulit terasa panas, kram, lelah,

mudah mengantuk, mata mengabur, gigi mudah patah, kemampuan seksual

menurun, dan lain-lain (Tjokroprawiro, 2006).

1.3 Komplikasi Diabetes Melitus

Diabetaes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang akan diderita

seumur hidup, sehingga progesifitas penyakit ini akan terus berjalan dan pada

suatu saat akan menimbulkan komplikasi. Penyakit DM biasanya berjalan lambat

dengan gejala-gejala yang ringan sampai berat, bahkan dapat menyebabkan

kematian akibat baik komplikasi akut maupun kronis.

a. Komplikasi Akut DM

Ada tiga komplikasi akut DM yang penting dan berhubungan dengan

gangguan keseimbangan kadar gula darah jangka pendek.

- Hipoglikemia

Universitas Sumatera Utara


Hipoglikemia terjadi jika kadar gula darah turun hingga 60 mg/dl. Keluhan

dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung sejauh mana glukosa darah

turun. Keluhan pada hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori,

yaitu keluhan akibat otak tidak mendapat kalori yang cukup sehingga

mengganggu fungsi intelektual dan keluhan akibat efek samping hormon lain

yang berusaha meningkatkan kadar glukosa dalam darah (Tandra, 2007).

- Ketoasidosis Diabetes

Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu

tinggi dan kadar insulin yang rendah, maka tubuh tidak dapat menggunakan

glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak

sebagai sumber energi alternatif. Pemecahan lemak tersebut kemudian

menghasilkan badan-badan keton dalam darah atau disebut dengan ketosis.

Ketosis inilah yang menyebakan derajat keasaman darah menurun atau disebut

dengan istilah asidosis. Kedua hal ini lantas disebut dengan istilah ketoasidosis.

Adapun gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien ketoasidosis

diabetes adalah kadar gula darah > 240 mg/dl, terdapat keton pada urin, dehidrasi

karena terlalu sering berkemih, mual, muntah, sakit perut, sesak napas, napas

berbau aseton, dan kesadaran menurun hingga koma (Nabyl, 2009).

- Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Nonketotik (HHNK)

Sindrom HHNK merupakan keadaan yang didominasi oleh

hiperosmolaritas dan hiperglikemia serta diikuti oleh perubahan tingkat kesadaran.

Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif.

Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi

Universitas Sumatera Utara


kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik,

cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke ruang ekstrasel. Dengan adanya

glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaaan hipernatremia dan peningkatan

osmolaritas. Salah satu perbedaan utama antar HHNK dan ketoasidosis diabetes

adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada HHNK. Perbedaan jumlah

insulin yang terdapat pada masing-masing keadaan ini dianggap penyebab parsial

perbedaan di atas.

Gambaran klinis sindrom HHNK terdiri atas gejala hipotensi, dehidrasi berat,

takikardi, dan tanda-tanda neurologis yang bervariasi (Brunner & Suddarth,

2001).

b. Komplikasi Kronis DM

- Komplikasi Makrovaskular

Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada pasien

DM adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit

pembuluh darah perifer. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada pasien DM tipe II

yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, dan atau kegemukan (Nabyl,

2009). Komplikasi ini timbul akibat aterosklerosis dan tersumbatnya pembuluh-

pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.

Komplikasi makrovaskular atau makroangiopati tidak spesifik pada diabetes,

namun pada DM timbul lebih cepat, lebih sering, dan lebih serius. Berbagai studi

epidemiologi menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular

dan diabetes meningkat 4 -5 kali dibandingkan pada orang normal. Komplikasi

makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula

Universitas Sumatera Utara


darah yang baik. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa angka kematian

akibat hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular,

di mana peninggian kadar insulin menyebabkan resiko kardiovaskular semakin

tinggi pula. Kadar insulin puasa > 15 mU/ml akan meningkatkan resiko mortalitas

kardiovaskular sebanyak 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor

aterogenik dan diduga berperan penting dalam menyebabkan timbulnya

komplikasi makrovaskular (UNPAD, 200 ).

- Komplikasi Neuropati

Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Dalam

jangka waktu yang cukup lama, kadar glukosa dalam darah akan merusak dinding

pembuluh darah kapiler yang berhubungan langsung ke saraf. Akibatnya, saraf

tidak dapat mengirimkan pesan secara efektif. Keluhan yang timbul bervariasi,

yaitu nyeri pada kaki dan tangan, gangguan pencernaan, gangguan dalam

mengkontrol BAB dan BAK, dan lain-lain (Tandra, 2007). Manifestasi klinisnya

dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses terjadinya

komplikasi neuropati biasanya progresif, di mana terjadi degenerasi serabut-

serabut saraf dengan gejala nyeri, yang sering terserang adalah saraf tungkai atau

lengan (UNPAD, 200 ).

- Komplikasi Mikrovaskular

Komplikasi mikrovaskular merupakan komplikasi unik yang hanya terjadi

pada DM. Penyakit mikrovaskular diabetes atau sering juga disebut dengan istilah

mikroangiopati ditandai oleh penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Ada

dua tempat di mana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius yaitu mata dan

Universitas Sumatera Utara


ginjal. Kelainan patologis pada mata, atau dikenal dengan istilah retinopati

diabetes, disebabkan oleh perubahan pada pembuluh-pembuluh darah kecil di

retina. Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah kecil di retina ini dapat

menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan pasien DM, bahkan dapat menjadi

penyebab utama kebutaan (Brunner & Suddarth, 2001).

1.4. Retinopati Diabetes

Mekanisme perkembangan mikroangiopati berkaitan dengan perubahan-

perubahan yang terjadi pada ultrastruktur, biokimia, dan proses hemostatis.

Termasuk ke dalamnya penipisan lapisan membran kapiler. Beberapa studi

menunjukkan bahwa hiperglikemia kronik memiliki kontribusi dalam

menyebabkan terjadinya retinopati diabetes.

Retinopati diabetes adalah penyakit mata yang sering terjadi pada

penderita DM. Retinopati diabetik biasanya berkembang menjadi beberapa

tingkatan pada kebanyakan penderita diabetes tipe I dan sejumlah penderita DM

tipe II (Medicastore, 2008).

Retinopati diabetes merupakan penyebab kebutaan yang utama pada

kelompok usia kerja di Inggris dan di banyak negara berkembang lainnya.

Peningkatan jumlah pasien DM di dunia akan mendorong retinopati diabetes

sebagai penyebab kebutaan terbesar (Steele, 2008).

Retinopati diabetik lebih sering terjadi pada penderita DM yang tergolong

”insulin-dependent” dibandingkan mereka yang “non-insulin dependent”.

Walaupun demikian, mengingat jumlah penderita yang tergolong ke dalam non-

Universitas Sumatera Utara


insulin dependent jauh lebih banyak, yaitu mencapai sembilan kali lebih banyak,

maka jumlah non-insulin dependent yang mengalami retinopati akan lebih banyak

(Adam, 2005).

Hiperglikemia

Perubahan vaskular retina

Abnormalitas
makrovaskular

Oklusi kapiler Kerusakan kapiler

Hipoksia retina Perdarahan Edema retina

Neovaskularisasi A/V shunt Edema yang Difusi edema


retinopati IRMAs disertai
proliferatif eksudat

Skema 1. Patofisiologi Retinopati Diabetes

Universitas Sumatera Utara


Ada tiga stadium utama pada retinopati diabetes yaitu :

a. Retinopati Nonproliferatif

Retinopati nonprliferatif merupakan stadium awal dari proses penyakit ini.

Selama menderita DM, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil

pada mata melemah sehingga dapat menimbulkan tonjolan kecil

(mikroaneurisme). Tonjolan ini sangat mudah pecah dan mengalirkan cairan dan

sejumlah protein ke dalam retina sehingga menimbulkan bercak berwarna abu-abu

atau putih. Endapan lemak protein yang berawarna putih kekuningan juga

terbentuk pada retina. Perubahan ini mungkin tidak mempengaruhi penglihatan

kecuali cairan dan protein dari pembuluh darah yang rusak dapat menyebabkan

pembengkakan pada pusat retina (makula). Keadaan ini disebut edema makula,

yang dapat memperparah penglihatan seseorang (Medicastore).

b. Retinopati Praproliferatif

Keadaan ini merupakan lanjutan dari retinopati nonproliferatif dan

merupakan pencetus terjadinya retinopati proliferatif yang cukup serius. Bukti

epidemiologi menunjukkan bahwa 10 % - 50 % pasien DM dengan retinopati

akan menderita retinopati proliferatif dalam jangka waktu 1 tahun. Perubahan

visual yang terjadi pada stadium ini juga disebabakan oleh edema makula

(Brunner & Suddarth, 2001).

c. Retinopati Proliferatif

Retinopati proliferatif diawali dengan terdapatnya pertumbuhan abnormal

pembuluh darah baru pada permukaan retina sebagai bentuk kompensasi iskemia

yang terjadi pada retina. Pembuluh darah yang abnormal ini mudah pecah

Universitas Sumatera Utara


sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada pertengahan bola mata, atau sering

disebut dengan istilah perdarahan vitreus, yang dapat menghalangi penglihatan

(Steele, 2008). Konsekuensi lain dari perdarahan vitreus ini adalah terbentuknya

jaringan parut fibrosa yang disebabakan oleh reabsorpsi darah ke dalam korpus

vitreus. Jaringan parut ini dapat menarik retina sehingga terjadi pelepasan retina,

atau disebut dengan istilah ablasio retina, dan akhirnya dapat mengakibatkan

kebutaan (Brunner & Suddarth, 2001).

1.5 Faktor Resiko Terjadinya Retinopati Diabetik

a. Lama Menderita DM

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini menjadi indikator dalam

mendeteksi adanya retinopati diabetes. Pasien dengan DM tipe I umumnya

akan menunjukkan adanya retinopati diabetes setelah didiagnosis menderita

DM selama 20 tahun (50 %).

b. Kadar Gula Darah

Kadar gula darah juga merupakan faktor resiko yang memiliki peranan

penting dalam perkembangan retinopati diabetes.

c. Pubertas

d. Tipe DM

e. Nefropati

f. Hipertensi

g. Kehamilan

h. Faktor Genetik

Universitas Sumatera Utara


1.6 Penatalaksanaan Retinopati Diabetik

Deteksi awal retinopati diabetik dapat membantu mencegah terjadinya

kehilangan penglihatan. Mereka yang menderita DM harus memeriksakan mata

pada seorang dokter mata (oftalmologis) setiap tahun, bahkan bila mereka tidak

memiliki keluhan pada mata sekalipun. Asosiasi Diabetes Amerika (ADA)

menyarankan pemeriksaan setahun sekali mulai dalam 3-5 tahun setelah

didiagnosa menderita DM tipe I dan segera setelah didiagnosa menderita DM tipe

II (Medicastore, 2008).

Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol kadar gula

darah yang baik, sedangkan pada kelainan yang sudah lanjut hampir tidak dapat

diperbaiki hanya dengan kontrol kadar gula darah karena akan memperburuk

keadaan jika dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat (UNPAD,

2008 ). Pengobatan lanjutan yang dapat diberikan yaitu penatalaksanaan diabetes

yang baik, mencegah faktor-faktor resiko seperti hipertensi, dan pengobatan

fotokoagulasi khususnya pada mereka dengan retinopati diabetik lanjut.

Diperkenalkannya fotokoagulasi untuk retinopati diabetik sangat mendorong

untuk mencegah kebutaan (Adam, 2005).

2. Ketajaman Penglihatan

2.1 Definisi Ketajaman Penglihatan

Ketajaman penglihatan adalah kemampuan untuk membedakan antara dua titik

yang berbeda pada jarak tertentu (Affandi, 2005).

Universitas Sumatera Utara


2.2 Anatomi dan Faal Mata

Mata merupakan organ fotosensoris yaitu organ yang menerima rangsangan

cahaya. Cahaya masuk melintasi kornea, lensa, dan beberapa struktur refraksi di

dalam orbita. Cahaya kemudian difokuskan oleh lensa ke bagian saraf mata yang

sensitive terhadap cahaya yaitu retina. Retina mengandung sel-sel batang dan

kerucut yang akan mengubah impuls cahaya menjadi impuls saraf. Setelah

melintasi suatu rangkaian lapisan sel saraf dan sel-sel penyokong informasi

penglihatan diteruskan oleh saraf optik ke otak untuk diproses (Scribd, 2010).

Adapun anatomi organ penglihatan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,

yaitu:

a. Adneksa Mata, merupakan jaringan pendukung mata yang terdiri dari:

- Kelopak mata, terdiri atas lempeng penyokong di bagian tengah yang terdiri

dari jaringan ikat dan otot rangka yang diliputi kulit di bagian luar dan suatu

membran mukosa di dalam. Kelopak mata berfungsi melindungi mata dan

berkedip serta untuk melicinkan dan membasahi mata.

- Konjungtiva, adalah membran mukosa jernih yang melapisi permukaan

dalam kelopak mata (konjungtiva palpebra) dan menutupi permukaan sklera

pada bagian depan bola mata (konjungtiva bulbi). Konjungtiva di susun oleh

epitel berlapis silindris yang mengandung sel goblet yang terletak di atas

suatu lamina basal dan lamina propia yang terdiri atas jaringan ikat longgar.

- Sistem Saluran Air Mata (Lakrimal), terletak pada sudut superolateral rongga

mata dan berfungsi untuk menghasilkan cairan air mata.

Universitas Sumatera Utara


- Rongga Orbita, merupakan rongga tempat bola mata yang dilindungi oleh

tulang-tulang yang kokoh.

- Otot-Otot Bola Mata, masing-masing bola mata mempunyai 6 (enam) buah

otot yang berfungsi menggerakkan kedua bola mata secara terkoordinasi pada

saat melirik (Jusuf, 2008).

b. Bola Mata

Dinding bola mata disusun oleh 3 tunika (lapisan) yaitu:

- Tunika fibrosa (lapis sklera-kornea) merupakan lapisan luar bola mata yang

terdiri atas sklera dan kornea.

- Tunika vaskularis (lapis uvea) merupakan lapisan tengah bola mata, terdiri

atas khoroid, badan siliaris dan iris.

- Tunika neuralis (lapis retina) merupakan lapisan dalam bola mata terdiri

atas retina (Tambajong, 2009)

2.3 Faktor Penyebab Gangguan Ketajaman Penglihatan

Ketajaman penglihatan seseorang dapat berkurang. Hal ini disebabkan antara lain

oleh faktor-faktor sebagai berikut:

a. Kuat Penerangan atau Pencahayaan

Mata manusia sensitif terhadap kekuatan pencahayaan, mulai dari beberapa lux

di dalam ruangan gelap hingga 100.000 lux di tengah terik matahari. Kekuatan

pencahayaan ini aneka ragam yaitu berkisar 2000-100.000 di tempat terbuka

sepanjang siang dan 50-500 lux pada malam hari dengan pencahayaan buatan.

Penambahan kekuatan cahaya berarti menambah daya, tetapi kelelahan relative

bertambah pula.

Universitas Sumatera Utara


b. Waktu Papar

Pemaparan terus menerus misalnya pada pekerja sektor perindustrian yang jam

kerjanya melebihi 40 jam/minggu dapat menimbulkan berbagai penyakit akibat kerja.

Yang dimaksud dengan jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu istirahat.

Meskipun terjadi keanekaragaman jam kerja, umumnya pekerja informal bekerja

lebih dari 7 jam/hari. Hal ini menimbulkan adannya beban tambahan pada pekerja

yang pada akhirnya menyebabkan kelelahan mata (Direktorat Bina Peran Serta

Masyarakat dikutip oleh Wijayanti, 2005).

c. Umur

Ketajaman penglihatan berkurang menurut bertambahnya usia. Pada tenaga kerja

berusia lebih dari 40 tahun, visus jarang ditemukan 6/6, melainkan berkurang. Maka

dari itu, kontras dan ukuran benda perlu lebih besar untuk melihat dengan ketajaman

yang sama (Austin, 2003).

d. Kelainan Refraksi

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri

atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Secara klinik

kelainan refraksi terjadi akibat adanya kerusakan akomodasi visual. Kelainan refraksi

yang sering terjadi adalah miopia, hipermetropia, presbiopia, dan astigmatisma

(Sidarta Ilyas, 2004).

e. Katarak

Katarak merupakan salah satu faktor penyebab gangguan ketajaman penglihatan.

Katarak adalah penurunan progresif kejernihan lensa. Lensa menjadi keruh, atau

berwarna putih abu-abu, dan ketajaman penglihatan berkurang ( Elizabeth J dikutip

oleh Wijayanti, 2005).

Universitas Sumatera Utara


f. Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik merupakan karakteristik lesi yang terdapat pada retina

individu yang telah menderita diabetes melitus selama beberapa tahun. Retinopati

diabetik terjadi karena perubahan sirkulasi vaskular retina yang mengakibatkan

oklusi pembuluh darah dan dilatasi. Hal ini dapat berkembang menjadi retinopati

proliferatif dengan pertumbuhan pembuluh darah baru dan penebalan pada bagian

tengah retina. Penebalan retina yang terjadi dapat secara signifikan mengurangi

ketajaman penglihatan (WHO, 2010).

g. Glaukoma

Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak

langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan atau pandangan mata

semakin berkurang bahkan dapat menyebabkan kebutaan. Hal ini disebabkan oleh

saluran cairan yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan

membesar sehingga menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata.

Akibat penekanan ini saraf mata tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf

mata akan mati (Wikipedia, 2010).

2.4 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan

Tidak semua orang mempunyai ketajaman penglihatan yang sama. Ketajaman

penglihatan ini dalam istilah kedokteran disebut visus. Ketajaman penglihatan (visus)

dipergunakan untuk menentukan penggunaan kacamata. Visus penderita bukan saja

memberi pengertian tentang optiknya (kaca mata) tetapi mempunyai arti yang lebih

luas yaitu memberi keterangan tentang baik buruknya fungsi mata keseluruhan

(Gabriel dikutip oleh Wijayanti, 2005).

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan ketajaman penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.

Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui penyebab

kelainan mata yang mengakibatkan turunnya ketajaman penglihatan (Sidarta Ilyas,

2004). Pemeriksaan ketajaman penglihatan dapat dilakukan dengan menggunakan

kartu Snellen, kartu Cincin Landolt, kartu uji E, dan kartu uji Sheridan/Gardiner.

2.5 Klasifikasi Ketajaman Penglihatan

Ketajaman penglihatan dan penglihatan kurang dibagi dalam tujuh kategori,

yaitu:

1) Penglihatan normal, pada keadaan ini penglihatan mata adalah normal dan

sehat.

2) Penglihatan hampir normal, tidak menimbulkan masalah yang gawat, akan

tetapi perlu diketahui penyebabnya.

3) Low vision sedang, dengan kacamata kuat atau kaca pembesar masih dapat

membaca dengan cepat.

4) Low vision berat, masih dapat berorientasi dan melakukan mobilitas umum

akan tetapi mendapat kesulitan pada lalu lintas dan melihat nomor mobil.

Untuk membaca diperlukan lensa pembesar kuat.

5) Low vision nyata, bertambahnya masalah orientasi dan mobilisasi. Diperlukan

tongkat untuk mengenal lingkungan. Hanya minat yang kuat masih mungkin

membaca dengan kaca pembesar; umumnya memerlukan Braille, radio,

pustaka kaset.

Universitas Sumatera Utara


6) Hampir buta, penglihatan kurang dari 4 kaki untuk menghitung jari.

Penglihatan tidak bermanfaat, kecuali pada keadaan tertentu. Harus

mempergunakan alat nonvisual.

7) Buta total, tidak mengenal rangsangan sinar sama sekali. Seluruhnya

tergantung pada alat indera lainnya atau tidak mata (Ilyas, 2004).

Menurut WHO Study Group on The Prevention of Blindness, kelainan pada

penglihatan dibagi atas tiga, yaitu :

1. Blindness (<20/400)

2. Low Vision (20/400-20/70)

3. Normal Vision (20/70-20/15)

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai