Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindakan pembedahan jantung merupakan tindakan yang beresiko besar, sehingga
untuk mendapatkan hasil yang terbaik diperlukan ketelitian dan kecermatan serta
kerjasama dan komunikasi yang baik antar tim (Bojart, 2011). Kondisi pasca bedah
jantung merupakan keadaan kritis terutama 8-12 jam pertama. Sherwood ( 2007)
menjelaskan bahwa hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya respon
inflamasi sistemik yang teraktifasi oleh proses pembedahan, kehilangan volume darah
cairan dan elektrolit selama proses pembedahan, penggunaan positif end expiration
pressure (PEEP) pada ventilator, sedasi yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh
darah, atau perioperatif infark yang disebabkan oleh revaskularisasi koroner yang
tidak berhasil pada pasien operasi coronary arteri bypass graft (CABG) atau
kegagalan proteksi miokard selama proses operasi yang menurunkan kemampuan
kontraksi jantung dan nyeri pasca operasi. Operasi jantung dapat mengakibatkan
nyeri yang berat karena besarnya luka akibat pembedahan serta adanya alat-alat
monitoring yang dipasang secara invasif pada pasien tersebut (Aslan & Badir, 2009) .
Hal ini didukung oleh hasil penelitian lain yang dilakukan oleh (C. J. Kalkman, K
Visser; j. Moen, G.J. Bonsel, D.E Grobe, K. G. M. Moen, 2003) bahwa nyeri pasca
bedah jantung dirasakan paling berat pada 1 jam pertama saat pasien mulai terbangun
dari sedasi namun masih terintubasi.

Pada umumnya dilapangan, nyeri sering dianggap sebagai penyebab utama gangguan
hemodinamik pasca operasi jantung, padahal sesungguhnya penyebab perubahan
hemodinamik tidak selalu diakibatkan oleh nyeri. (Bojart, 2011; Sherwood 2007).
Penatalaksanaan nyeri yang dilakukan bagi pasien pasca operasi jantung adalah
dengan menggunakan obat farmakologi golongan narkotik. morphin sering dipilih
sebagai terapi yang tepat untuk mengatasi nyeri akut yang berat termasuk pada pasien
pasca bedah jantung karena sifatnya yang dapat menghilangkan nyeri dengan
menaikkan ambang nyeri di medulla spinalis atau mengubah persepsi otak terhadap
nyeri dan aman terhadap jantung dengan efek vasodilatornya (Richard Finkel, 2009).
Namun demikian efek samping dari penggunaan morpin adalah mendepresi pusat
pernafasan dengan cara mereduksi sensitifitas neuron pusat pernafasan terhadap CO2,

menurut Richard Finkel (2009) hal ini dapat menghambat nafas spontan pasien
sehingga mengganggu proses weaning ventilator.

Target utama perawatan pasca operasi jantung menurut Inwood (2002) adalah
mengembalikan kondisi tubuh yang optimal dan mencegah efek negatif dari tindakan
pembedahan seperti infeksi pasca operasi (pneumonia). Pencegahan pneumonia salah
satunya adalah melaui penggunaan ventilator yang tidak terlalu lama. Extubasi pada
pasien pasca operasi jantung menurut Inwood (2011) dapat segera dilakukan pada 8
jam pertama jika pasien menunjukkan perbaikan kondisi yang ditandai dengan
kestabilan hemodinamik. Namun demikian penggunaan morphin yang tidak tepat
mengakibatkan pemasangan ventilator menjadi memanjang sehingga resiko infeksi
pneumonia pasca operasi meningkat, dengan demikian diperlukan data tentang
bagaimana sesungguhnya gambaran nyeri pasien pasca operasi jantung untuk
menentukan intervensi yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Perawat mempunyai peranan yang penting dalam mengatasi nyeri, pengkajian dalam
nyeri merupakan langkah pertama untuk mengatasi nyeri, dan menentukan intervensi
yang tepat untuk mengatasi nyeri. Instrumen yang dapat digunakan untuk mengkaji
nyeri pada pasien dengan sedasi dan analgetik adalah dengan menggunakan Criticall
Ill Pain Observation Tool (CPOT) .

Tn.K berumur 72 tahun di diagnosa oleh dokter dengan diagnosa medis post CABG.
8 bulan yang lalu klien mengeluh nyeri dada ketika melakukan aktivitas sedang
sampai berat lalu klien memeriksakan diri ke dokter penyakit dalam dan setelah itu
dokter penyakit dalam menyarankan untuk klien berobat ke poli jantung dan disana
klien dilakukan tindakan pemeriksaan rotgen dan klien disarankan untuk melakukan
tindakan pembedahan atau operasi jantung karena adanya sumbatan pada pembuluh
darah sehingga aliran darah yang membawa oksigen ke otot jantung tidak dapat
mengalir dengan baik. Setelah menunggu selama 6 bulan pasien pada tanggal 29
dilakukannya tindakan operasi CABG. Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang
CICU karena memerlukan perawatan secara intensive. Saat dilakukan pengkajian
tingkat kesadaran atau GCS pasien masih dalam pengaruh obat (DPO) sehingga
belum dapat dikaji tingkat kesadarannya.
BAB II
ANALISA JURNAL

Penelitian ini dilakukan oleh Aan Nuraeni, Irma Yanti Ade Warya, Ayu Prawesti Priambodo
pada tahun 2016 dengan judul “ Gambaran Tingkat Nyeri Pasien Pasca Operasi Jantung Di
Ruang Intensif Jantung Rs X Bandung” jenis penilitian ini menggunakan rancangan deskriptif
kuantitatif yaitu mendeskripsikan tingkat nyeri pasien pasca operasi jantung sebelum extubasi.
Sampel pada penelitian ini adalah pasien pasca operasi jantung yang dirawat di ruang intensif
jantung, yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia ikut serta dalam penelitian dengan mengisi
Informed concent. kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Semua jenis operasi jantung dewasa
2. Pasien dikirim dari kamar operasi ke ruang ICCU dengan kondisi terintubasi
3. Pasien mendapat terapi morphin
4. Pasien mengalami perubahan hemodinamik yang akan diintervensi dengan meningkatkan
dosis morphin.

Data diambil setiap kali terjadi perubahan hemodinamik yang akan diintervensi dengan
peningkatan dosis morphin. Data tersebut diambil sebanyak tiga kali kemudian dirata-ratakan.
Selanjutnya data yang sudah dirata-ratakan tersebut di dikategorikan sebagai berikut: nyeri
ringan pada skala 1-3; nyeri sedang 4-6; nyeri berat 7-8; dan kemudian dihitung distribusi
frekwensinya. Data lainnya digambarkan dengan nilai rerata maupun distribusi frekuensi.

Hasil penelitian tentang gambaran tingkat nyeri pasien pasca operasi jantung di Ruang intensif
jantung RS X di Bandung, menunjukan bahwa dari 30 responden yang dijadikan sampel dengan
jumlah yang sama antara laki-laki dan perempuan yaitu masing-masing sebanyak 15 orang, dapat
dilihat bahwa pasien-pasien pasca operasi mengalami tingkat nyeri yang ringan hingga sedang
dan tidak satu pun dari pasien-pasien tersebut mengalami nyeri yang berat hal ini kemungkinan
terjadi karena dipengaruhi oleh pemberian obat analgetik morphin yang diberikan segera setelah
tindakan operasi selesai dan pasien-pasien tersebut dialih rawatkan ke ruang intensif (Bojart,
2011). Morfin bekerja sebagai analgetik kuat melalui mekanisme penghambatan impuls nyeri di
reseptor opioid sehingga impuls nyeri tidak dapat sampai ke otak untuk dipersepsikan (stoelting,
1991). Kondisi ini menggambarkan bahwa pemberian analgetik pada pasien pasca operasi
jantung cukup membantu dalam mengurangi nyeri dan dosis yang diberikan pada saat ini sudah
efektif untuk mengontrol tingkat nyeri pasca operasi jantung sehingga tidak diperlukan lagi
peningkatan dosis obat tersebut saat terjadi perubahan hemodinamik. efektif untuk mengontrol
tingkat nyeri pasca operasi jantung sehingga tidak diperlukan lagi peningkatan dosis obat
tersebut saat terjadi perubahan hemodinamik.

Menurut Bojart (2011) 8 jam pertama pasca operasi merupakan fase kritis yang menyebabkan
kondisi hemodinamik tidak stabil dapat terjadi karena pada ini tubuh pasien sedang
menyesuaikan dengan perubahan kondisi yang diakibatkan oleh tindakan pembedahan. Tindakan
ini dapat mengaktivasi inflamasi sistemik yang hebat serta kehilangan volume cairan intra
operasi atau perdarahan yang menurunkan preload. Selain itu tindakan operasi yang tidak
berhasil dapat memperburuk kontraksi miokard dan mempengaruhi hemodinamik pula (Inwood,
2002). Oleh karena itu saat terjadi perubahan hemodinamik pasca operasi maka hendaknya dicari
penyebab utama yang lain selain nyeri dan dipertimbangkan intervensi lain sebelum memutuskan
untuk meningkatkan dosis morphin.

Tingkat nyeri ringan dan sedang yang paling banyak dirasakan pada responden dengan
tekanan darah sistolik 101-140, sedangkan tingkat nyeri ringan yang paling sedikit
dirasakan pada responden dengan tekanan darah 141-160. Tingkat nyeri sedang paling
sedikit dirasakan pada responden dengan tingkat tekanan darah 90-100 dan 141-160. Hal
ini kemungkinan terjadi karena jumlah responden dengan tekanan darah 101-140 paling
banyak dibandingkan jumlah responden pada tingkat tekanan darah lain. Selain itu sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Arbor & Gelinas (2010) menjelaskan bahwa tanda-tanda
vital bukan satu-satunya indikator respon terhadap nyeri oleh karena itu diperlukan
pengkajian lain untuk menilai respon nyeri seseorang.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus Tn.K berumur 72 tahun di diagnosa oleh dokter dengan diagnosa medis
post CABG. Tingkat kesadaran pasien masih dalam pengaruh obat akibat tindakan
post CABG. TD 129/47 mmHg, MAP 74, HR 76 x/menit, RR 20 x/menit, Suhu 36
x/menit. Terapi infus yang diberikan menggunakan infus pump RL 1500 cc/24 jam
dengan kecepatan 0,20 mlh, dobutamin 10 mg, lasix 20cc, pasien mendapatkan terapi
obat paracetamol 4x1gr, meropenenm 3x1gr, omeprazole 2x40 mg, morfin 10mg,
asam tranexamat 3x500mg, vit k 1x10mg, aptor 1x100 mg, atorvastatin 1x40 mg.
akral hangat pasien tampak tenang namun setiap 4 jam sekali harus dilakukan terapi
nebulivzer untuk mengeluarkan atau mengencerkan dahak untuk mencegah terjadinya
penumpukan secret atau suara nafas tambahan serta untuk mencegah terjadinya
penurunan saturasi oksigen pada Tn.K.

Hasil penelitian yang dilakukan di ruang Intensif Jantung RS X Bandung yang


menunjukan bahwa adanya pengaruh terhadap nyeri pada pasien pasca operasi
jantung dalam pemberian obat analgetik morphin yang diberikan segera setelah
tindakan operasi selesai dan pasien-pasien tersebut dialih rawatkan ke ruang intensif
pemberian atau terapi obat ini juga telah dilakukan diruang CICU RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung bahwa pasien yang dirawat di CICU diberikan intervensi berupa
pemberian atau terapi obat morfin menunjukkan hasil yang sama yaitu terjadi
pengaruh terhadap penurunan skala nyeri pada pasca operasi jantung. Dimana semula
nyeri yang dirasakan pasien skornya 12 (sedasi dalam 8-16) dengan menggunakan
penilaian nyeri comport skale dan setelah diberikan terapi morfin menjadi menurun
skornya 17 (sedasi dan kontrolnyeri adekuat 17-26).
Berdasarkan hasil intervensi ini didapatkan bahwa nyeri terhadap pasca operasi dalam
pemberian terapi obat morfin mengalami pengaruh skala nyeri yang dirasakan oleh
pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan bahwa Morfin bekerja
sebagai analgetik kuat melalui mekanisme penghambatan impuls nyeri di reseptor
opioid sehingga impuls nyeri tidak dapat sampai ke otak untuk dipersepsikan
(stoelting, 1991). Kondisi ini menggambarkan bahwa pemberian analgetik pada
pasien pasca operasi jantung cukup membantu dalam mengurangi nyeri dan dosis
yang diberikan pada saat ini sudah efektif untuk mengontrol tingkat nyeri pasca
operasi jantung sehingga tidak diperlukan lagi peningkatan dosis obat tersebut saat
terjadi perubahan hemodinamik.

Menurut Bojart (2011) 8-12 jam pertama pasca operasi merupakan fase kritis yang
dapat mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik karena berbagai macam penyebab
diantaranya aktivasi reaksi inflamasi sistemik, perdarahan pasca operasi, depresi
fungsi miokard pasca operasi, atau tindakan reperfusi koroner pasca operasi CABG
yang tidak berhasil. Oleh karena itu pada fase ini diperlukan support inotropik dan
vasopresor yng digunakan untuk mengatasi masalah tersebut. Norepinefrin sebagai
agonis adrenergik digunakan untuk meningkatkan tekanan darah melalui mekanisme
vasokonstriksi karena berikatannya obat tersebut dengan reseptor alfa pada pembuluh
darah (Richard Finkel, 2009). Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
peningkatan tekanan darah tidak hanya dipengaruhi oleh respon nyeri karena
penggunaan obat inotropik dan vasopressor yang digunakan pasca operasi juga
mempengaruhi heart rate.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan kesimpulan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa adanya pengaruh
terhadap pemberian terapi obat morfin terhadap penurunan skala nyeri pada pasien pasca
operasi jantung dan saat terjadi perubahan hemodinamik tersebut telah terkontrol oleh
karena itu terapi analgetik yang diberikan efektif mengurangi nyeri pasien pasca operasi
tersebut sehingga apabila terjadi perubahan hemodinamik yang dianggap sebagai respon
terhadap nyeri dan akan diintervensi dengan meningkatkan dosis morphin maka hal ini
perlu dipertimbangkan lagi dan lebih baik dicari penyebab lain yang mengakibatkan
perubahan hemodinamik tersebut selain nyeri. Disamping itu dapat juga disimpulkan
bahwa pengkajian nyeri mutlak diperlukan dan harus dilaksanakan sebelum
diputuskannya suatu intervensi yang akan dilakukan untuk mengatasi nyeri
REFERENSI

Aan Nuraeni, Irma Yanti Ade Warya, Ayu Prawesti Priambodo. (2016). Gambaran Tingkat
Nyeri Pasien Pasca Operasi Jantung Di Ruang Intensif Jantung Di RS X Bandung. Fakultas
Keperawatan Universitas Padjadjaran
Bojart, R. M. (2011). Manual of Perioperatif Care in Adult Cardiac Surgery. United Kingdom:
Blackwell.
Priambodo, A. P. (2011, juli). Kesesuaian Alat Ukur Nyeri Behavioral pain Scale (BPS) dan
Critical Pain observation Tool (CPOT)

Anda mungkin juga menyukai