Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Pseudo croup acute epiglotitis merupakan suatu sindroma “croup”. Kedua


penyakit ini mempunyai manifestasi klinik yang sama yaitu obstruksi saluran nafas
atas. Tetapi kedua penyakit ini mempunyai penyebab dan patofisiologi yang berbeda
satu sama lainnya.1,2
Karena penyakit ini mempunyai manifestasi klinik berupa obstruksi saluran nafas
atas, maka kedua penyakit ini merupakan kegawatdaruratan di bagian Ilmu Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher yang mungkin dapat ditemukan
dalam praktek sehari – hari.1,2
Pseudo croup adalah penyakit sistemik respiratorik acute yang menyerang mukosa
dan menyebabkan inflamasi dan edema pada daerah larynx dan vocal cord, terkadang
juga mengenai trachea dan cabang bronkus. Terbentuknya “Pseudo” croup yang
artinya Kruup “sangat berbahaya” dan ini membedakannya dengan “real” croup
seperti yang terjadi pada penyakit diphteria. Saluran larynx menjadi sempit akibat
edema, dyspneu bisa muncul cepat dengan typical suara serak, kasar, seperti batuk
croup dan bisa saja mengancam jiwa terutama pada anak – anak.1,2
Virus adalah penyebab tersering pseudo croup (sekitar 60% kasus) adalah Human
Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV- 2,3, dan 4, virus influenza A dan B,
Adenovirus, Respiratory Synctial virus (RSV), dan virus campak. Meskipun jarang,
pernah juga ditemukan Mycoplasma pneumonia. ,2
Sifat penyakit ini adalah self limited, tetapi kadang cenderung mejadi berat
bahka fatal. Sebelum kortikosteorid digunaka , 30% kasus harus dirawat di RS dan
1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid telah
digunakan secara luas, kasus yang memerlukan perawatan di RS menurun drastis,
dan intubasi jarang dilakukan.2

1
BAB II

EMBRIOLOGI, ANATOMI, FISIOLOGI

2.1 EMBRIOLOGI
A. Laring

Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif. Pada


saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal groove
tumbuh dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak disebelah
posterior dari eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan lengkung
1
ke IV daripada lengkung ke III.
Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua
struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi
lapisan epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama
mengalami rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini,
misalnya fistula trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah
1
menjadi esofagus dan bagian laringotrakeal.
Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak
diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama
berbentuk celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya
hipobrachial eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan
tumbuh menjadi epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5
dan pada perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan
membentuk tonjolan yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan
kartilago kornikulata. Kedua aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid
yang kemudian berobliterasi. Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5
– 10, lumen laring mengalami obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali
terbentuk lumen yang berbentuk oval. Kegagalan pembentukan lumen ini akan

2
menyebabkan atresia atau stenosis laring. Plika vokalis sejati dan plika vokalis
1
palsu terbentuk antara minggu ke 8 – 9.
Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan
selanjutnya, sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13
– 16 mm). Otot-otot laring pertama yang dikenal adalah interaritenoid,
ariepiglotika, krikoaritenoid posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik
berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren
Laringeus. M. Krikotiroid berasal dari mesoderm lengkung brakial ke 4 dan
dipersarafi oleh N. Laringeus Superior. Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari
2
eminensia epikardial dan dipersarafi oleh N. Hipoglosus.
Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada
saat lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami
penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago
3
krikoid mulai usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitu pula dengan aritenoid.

B. ANATOMI
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi
vertebra cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif
lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja
4
tertutup bila sedang menelan makanan.
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana
didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan
4
dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple atau jakun.
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang
berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior

3
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan
dari vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum
laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan
kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot
4
sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid.
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago
tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid
dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan
tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi
4
sempurna pada usia 2 tahun.
Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan
4
otot-otot.

a) Anatomi Laring Bagian Dalam


4
Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut :
1. Supraglotis (vestibulum superior),
yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.
2. Glotis (pars media),
yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati
serta membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.
3. Infraglotis (pars inferior),
yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea.
Beberapa bagian penting dari dalam laring :
 Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral
oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas
4
m. aritenoideus.

4
 Rima Vestibuli.
2
Merupakan celah antara pita suara palsu.
 Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus
4
vokalis dan basis kartilago aritenoidea.
 Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk
4
oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.
 Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago
4
epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.
 Sinus Pyriformis (Hipofaring)
4
Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea.
 Incisura Interaritenoidea
4
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.
 Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago
aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan
4
m.interaritenoidea.
 Plika Ventrikularis (pita suara palsu)
Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago
aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua
4
lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.
 Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)
Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari
ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara

5
palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu
bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan
4
pita suara sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.
 Plika Vokalis (pita suara sejati)
Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh
ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per
lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan
4
disebut intercartilagenous portion.

Gambar 1. Anatomi Laring

C. Fisiologi
2.2 Laring

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut : 6,7

6
- Fungsi Fonasi.
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya
interaksi antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh
adanya tekanan udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya
ruangan resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring,
dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai
cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada
dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita
suara sejati. Ada 2 teori yang mengemukakan bagaimana suara terbentuk :

Teori Myoelastik – Aerodinamik.


Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak
langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot
laring akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan
menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan
tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang
subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot
sehingga celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari
posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang
pertama kali membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir
siklus getaran. Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis
akan berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat
(kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan
myoelastik bertambah akibat aliran udara yang melewati celah sempit
menyebabkan tekanan negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika
vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara ruang
subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan terulang kembali.

7
Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari
getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui
N. Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah
impuls yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi
getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan
bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien
dengan paralisis plika vokalis bilateral).

- Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-
otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang
ada pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah
interaritenoid melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai
jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke
depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur
ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus
piriformis lalu ke introitus esofagus.

- Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar
rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan
menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring

8
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan
pO2 arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan
parsial CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

- Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan
dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-
kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari
laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta.
Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N.
Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi,
maka terjadi penurunan denyut jantung.

- Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap
tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.

- Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu :

Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus


Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi
sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke
atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi
pembukaan faringoesofageal.

9
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis.

D. Histologi

Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia kecuali
pada daerah pita suara yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk.

Diantara sel-sel bersilia terdapat sel goblet.4

Gambar 2 : Laryngeal mucosa

Membrana basalis bersifat elastis, makin menebal di daerah pita suara.


Pada daerah pita suara sejati, serabut elastisnya semakin menebal membentuk
ligamentum tiroaritenoidea. Mukosa laring dihubungkan dengan jaringan
dibawahnya oleh jaringan ikat longgar sebagai lapisan submukosa.4

10
Kartilago kornikulata, kuneiforme dan epiglotis merupakan kartilago
hialin. Plika vokalis sendiri tidak mengandung kelenjar. Mukosa laring

berwarna merah muda sedangkan pita suara berwarna keputihan.4

2.3 Pseudo Croup Acute Epiglotitis


2.3.1 Definisi

Pseudo croup adalah penyakit sistemik respiratorik acute yang


menyerang mukosa dan menyebabkan inflamasi dan edema pada daerah
larynx dan vocal cord, terkadang juga mengenai trachea dan cabang bronkus.
Terbentuknya “Pseudo” croup yang artinya Kruup “sangat berbahaya” dan ini
membedakannya dengan “real” croup seperti yang terjadi pada penyakit
diphteria. Saluran larynx menjadi sempit akibat edema, dyspneu bisa muncul
cepat dengan typical suara serak, kasar, seperti batuk croup dan bisa saja
mengancam jiwa terutama pada anak – anak.1,2

2.3.2 Epidemiologi

Pseudo Croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 3 tahun
dengan puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi croup dapat juga terjadi
pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan dengan rasio 3:2. Angka
kejadian meningkat di musim dingin dan musim gugur, tetapi penyakit ini
tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh
pasien dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan
sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan
struktur anatomi saluran respiratori atas. Hampir 15% pasien memiliki riwayat
keluarga dengan penyakit yang sama.6

11
2.3.3 Etiologi

Virus adalah penyebab tersering pseudo croup (sekitar 60% kasus) adalah
Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV- 2,3, dan 4, virus
influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Synctial virus (RSV), dan virus
campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukanMycoplasma pneumonia.2

2.5.5 Patogenesis

Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi


langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar
terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di
laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis
biasanya dimulai dari nasofaring atau orofaring yang turun ke laring dan
trakea setelah masa inkubasi 2-8 hari. Peradangan difus yang menyebabkan
eritema dan edema pada dinding mukosa dari saluran pernapasan serta
menganggu mobilitas pita suara. Laring adalah bagian tersempit saluran
pernafasan atas yang membuatnya sangat mudah untuk terjadinya obstruksi.
Penyempitan saluran udara ini menyebabkan bunyi stridor inspirasi dapat
didengar, dan pita suara yang edema menyebabkan suara serak. 5
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1
mm akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-
anak dan 75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan
menyebabkan gangguan mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis
juga dapat menyebabkan gejala sesak napas. 5
Selama perlangsungan penyakit, lumen pada trakea menjadi semakin
tersumbat dengan eksudat fibrin dan pseudomembran. Pada pemeriksaan
histologi pada laring dan trakea menunjukkan adanya edema, dengan infiltrat
sel histiosit, limfosit, plasma, dan leukosit polimorfonuklear. 5

12
Penyebaran penyakit dari trakea ke bronkus dan alveoli sehingga
menyebabkan laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis.
Bagaimanapun, obstruksi yang progresif pada tahap ini akan menyebabkan
infeksi bakteri sekunder. 5
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti
napas. 5
Pada spasmodic croup, gambaran histologi dari jaringan subglotis
menunjukkan edema non inflamasi. Ini menunjukkan tidak ada infeksi viral
secara langsung pada epitel trakeal, dan obstruksi yang terjadi disebabkan
karena terjadinya edema non inflamasi pada sub mukosa di trakea subglottic.
Walaupun dikatakan terdapat hubungan dengan virus yang sama
menyebabkan laringotrakeitis, tetapi penyebab terjadi edema secara tiba-tiba
masih belum diketahui. Dikatakan penyebab terjadinya spasmodic croup
adalah karena reaksi alergi pada antigen virus.
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laring dimulai
dari nasofaring dan menyebar ke epitel laring. Peradangan difus, eritema dan
edema yang terjadi pada daerah infeksi menyebabkan terganggunya mobilitas
pita suara serta area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara
pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran respiratori
atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan
retraksi dinding dada (selama inspirasi).5,6,7 Stridor inspirasi menunjukkan
adanya obstruksi pada laring.5 Pergerakan dinding dada dan abdomen yang
tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan
hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti
napas. 5,6,8

13
2.5.6. Manifestasi Klinis

Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan


stridor inspirasi. Bila terjadi obstruksi, stridor menjadi semakin berat, tetapi
dalam kondisi yang sudah parah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam
sudah terjadi gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya
didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas.
Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain
terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan takipneu,
takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks
dapat ditemukan retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal,
epigastrial.6
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika
hipoksia bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada
kondisi yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses
penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari. 6

2.5.7. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang

1. Anamnesis

Karakteristik pseudo croup adalah batuk yang mengonggong, suara serak,


stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. Manifestasi
klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi selama 12 –
72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini akan
berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala
sistemik yang menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat

14
terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yang berat, retraksi, dan anak tampak
gelisah, dan akan bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi
pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam
waktu satu minggu. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa
nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong..5

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisis ditemukan Permukaan laringeal dari epiglotis dan


daerah tepat di bawah korda vokalis pada laring mengandung jaringan areolar
longgar yang cenderung membengkak bila meradang. Maka, croup dapat
dibedakan menjadi supraglotis (epiglotitis) akut dan laringitis subglotis akut
(pseudo croup). Meskipun keduanya bersifat akut dan berat, namun epiglotitis
cenderung lebih hebat, seringkali berakibat fatal dalam beberapa jam tanpa
terapi. Secara klinis, kedua penyakitnya tampak serupa dimana pasien gelisah,
cemas, stridor, retraksi dan sianosis. Namun terdapat beberapa perbedaan
ringan. Anak dengan epiglotis cenderung duduk dengan mulut terbuka dan
dagu mengarah ke depan, tidak serak dan cenderung tidak disertai batuk
croupy, namun kemungkinan besar mengalami disfagia. Karena nyeri
menelan maka anak cenderung mengiler. Anak dengan laringitis subglotis
akut biasanya serak dengan batuk croupy yang sangat dan biasanya ingin
berbaring.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan


radiologis tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan
hanya dengan anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisik.6

15
Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN,
kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis. 6

Gambar 2. Penyebaran subglotis tipis pada jalan napas pada radiografi,


menunjukkan tanda "menara" klasik di croup

Jika pasien memiliki eksudat di orofaring atau melapisi plica vocalis,


maka dapat diambil sampel untuk dilakukan pemeriksaan gram dan kultur
bakteri.5

Pada pemeriksaan radiologis leher posisi postero-anterior ditemukan


gambaran udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya
penyempitan kolumna subglotis yang mana gambaran radiologis ini hanya
ditemukan pada 50% kasus.6

2.5.8. Tatalaksana
a. Konservatif
- Non Medikamentosa
Pasien dianjurkan untuk menjaga kelembaban jalan napas dengan
istirahat total penggunaan suara.5,10 Jika harus berbicara maka dianjurkan
menggunakan suara dengan fonasi yang lembut atau bersuara biasa, namun

16
tidak berbisik. Hal ini disebabkan jika berbisik dapat meningkatkan kerja dari
laring.5 Saat berbisik pita suara akan meregang maksimal dan membutuhkan
lebih banyak kerja dari otot-otot laring sehingga dapat memperpanjang waktu
pemulihan.3

Selain itu, menghindari iritasi pada laring, misalnya makanan pedas,


makanan berlemak serta makanan atau minuman yang dingin juga dapat
membantu penyembuhan.5,10

- Medikamentosa

Terapi Inhalasi (Nebulizer)

Pengobatan andalan untuk anak-anak yang memiliki croup adalah


manajemen jalan nafas. Sejak abad ke-19, pengobatan uap telah digunakan
untuk mengobati gejala croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap
panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin
menghirup sekresi jalan nafas dan menenangkan mukosa yang meradang.
Juga, kelembaban menurunkan viskositas sekresi lendir trakea. Penelitian
pada hewan menunjukkan bahwa uap dapat mengaktifkan mechanoreceptors
di laring yang menghasilkan pelambatan refleks laju alir pernafasan. Anak-
anak muda mentolerir uap dingin yang diberikan aerosol sambil duduk di
pangkuan orang tua. Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang
praktis pada sindrom croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap
dapat pula memperberat keadaan bronkospasme yang disertai dengan asma,
seperti laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Anak-anak ini harus memiliki
percobaan uap dingin yang dihentikan jika mengi terus atau memburuk.1

Sebagian besar pasien tidak perlu dirawat di Rumah Sakit, melainkan


cukup dirawat di rumah. Pasien dirawat di rumah sakit bila dijumpai salah
satu dari gejala-gejala berikut.

17
- Anak berusia di bawah 6 bulan
- Terdengar stridor progresif
- Stridor terdengar ketika sedang beristirahat
- Terdapat gejala gawat napas
- Hipoksemia
- Gelisah
- Sianosis
- Gangguan kesadaran
- Demam tinggi
- Anak tampak toksik
- Tidak ada respon terhadap terapi.6

Epinefrin
Terapi farmakologi juga kadang diperlukan. Salah satunya nebulisasi
epinefrin. Nebulasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring dan meningkatkan
laju udara pernapasan.6

Epinefrin racemic adalah campuran 1:1 dari isomer d dan l epinefrin.


Mekanisme tindakan diyakini merupakan stimulasi reseptor alfa-adrenergik
dengan penyempitan arteriole kapiler selanjutnya. Hal ini menyebabkan
resorpsi fluida bukan kebocoran kapiler dari ruang interstisial dan akibatnya
terjadi penurunan edema mukosa laring. Penelitian tambahan telah
menunjukkan bahwa dosis yang sama hanya lomeromer epinefrin memiliki
efek menguntungkan yang sama dengan bentuk rasemat. Informasi ini sangat
penting di luar Amerika Serikat, di mana epinefrin rasemat tidak tersedia.
Meskipun epinefrin nebulisasi mungkin memiliki efek dramatis pada gejala
kroup, mengurangi stridor inspirasi dan retraksi interkostal, reaksi merugikan
umum terhadap bentuk rasemat dan l-isomer, termasuk takikik dan hipertensi,
dapat membatasi kegunaannya. 1

18
Selain itu, nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan
bertahan selama dua jam, Epinefrin yang dapat digunakan antara lain sebagai
berikut:6,13

1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 Isomer d dan 1 epinefrin) dengan


dosis 0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan
dalam 3ml salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer
selama 20 menit
2. L-epinephrine 1:100 sebanyak 5 ml, diberikan melalui nebulizer. Efek
terapi terjadi dalam 2 jam.

Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar


dan mempunyai sedikit efek terhadap kardiovascular seperti takikardi dan
hipertensi. Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan
takikardi dan kelainan jantung seperti tetralogi Fallot.6

Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dapat mengurangi edema pada mukosa laring
melalui mekanisme anti radang. Uji klinis menunjukkan adanya perbaikan
pada pasien laringitis ringan sedang yang diobati dengan steroid oral atau
parenteral dibandingkan dengan placebo. Kortikosteroid yang dapat diberikan
yaitu deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/ intramuskular
sebanyak 1 kali dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak
dalam 2-3 jam setelah pengobatan. Selain deksametason, dapat juga diberikan
prednison atau prednisolone dengan dosis 1-2mg/kgBB6 atau metilprednisolon
11
1-2mg/kbBB kemudian diikuti 0,5mg/kgBB setiap 6-8 jam. Selain itu,
nebulasi budesonid juga dipakai sejak tahun 1990. Larutan 2-4mg budesonid
(2 ml) diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang pada 12 sampai 48 jam
pertama. Efek terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30 menit sedangkan
kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam. Pemberian terapi ini mungkin

19
akan lebih bermanfaat pada pasien dengan gejala muntah dan gawat napas
yang hebat. Namun pada sebagian besar kasus pemakaian budesonid tidak
lebih baik daripada deksametason oral. Budesonid dan epinefrin dapat
digunakan secara bersamaan.6,13

Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:


 Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
 Mengurangi rata-rata lama rawat inap
 Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.

Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan kecuali pada pasien dengan
laringitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien diberi terapi empiris sambil
menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi
ke-2 atau ke-3.6

Sebuah review sistematis yang sangat baik mencoba untuk menjawab


pertanyaan apakah antibiotik yang direkomendasikan dalam kasus laringitis
akut. Para penulis mengutip 2 studi oleh kelompok riset yang sama. Dalam
satu studi, pasien menerima baik penisilin V (800 mg selama 5 hari) atau
plasebo. Dua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam
gejala atau gangguan pita suara. Kelompok riset menerbitkan sebuah studi
kedua dimana eritromisin diberikan. Mereka yang menerima eritromisin
menunjukkan perbaikan kualitas suara setelah satu minggu dan gejala batuk
sedikit lebih baik setelah 2 minggu. Kesimpulan keseluruhan dari Cochrane
Systematic Review database adalah bahwa antibiotik tidak diindikasikan
untuk sebagian besar kasus laringitis akut dan tidak boleh diresepkan sebagai
pengobatan lini pertama untuk laringitis akut.5

20
b. Operatif
- Trakeostomi dan Intubasi endotrakeal

Jika terdapat tanda tarikan dinding dada bagian bawah kedalam yang
berat dan gelisah merupakan indikasi dilakukan trakeostomi dari pada
oksigen. Intubasi endotrakeal dilakukan pada kasus yang berat yang tidak
responsif terhadap terapi yang lain. Intubasi endotrakeal merupakan terapi
alternatif selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi
melakukan endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan adanya ancaman gagal
napas. Selain itu, peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas,
peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi atau
penurunan kesadaran. Intubasi hanya diperlukan untuk jangka waktu yang
singkat yaitu hingga edema laring hilang atau teratasi.6,13

2.5.9. Diagnosis Banding

- Diphtheria
- Trakeitis bakteri

2.5.10. Prognosis

Pseudo Croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang


baik.5,6 Namun penyakit ini juga dapat menimbulkan obstruksi saluran
pernapasan yang cenderung menjadi berat bahkan fatal yakni dapat terjadi
gagal napas atau bahkan henti napas. 5,6,8

21
2.5.11. Pencegahan 10,12

1. Pencegahan dengan vaksin Haemophilus influenza pada anak-anak


2. Menghindari orang-orang yang menderita infeksi saluran napas
3. Menghindari asap rokok yang dapat menyebabkan iritasi pada laring
4. Sering mencuci tangan
5. Menjaga agar tidak menggunakan suara secara berlebihan seperti berteriak
dan menangis.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Malhotra, Amisha and Leonard R. Krilo. 2017. Viral Croup. American


Academy od Pediatric : April 2017. Diunduh tanggal 22 April 2017.
http://pedsinreview.aappublications.org/content/pedsinreview/22/1/5.full.pdf
2. Anonim, 2013. Anatomi dan fisiologi sistem saluran pernafasan. Diunduh
tanggal 22 april 2017.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/21820/Chapter%20II.p
df;jsessionid=DC9AC540C6C956A7165C8D40C2FC139C?sequence=4
3. Wedro B, Stoppler MC. Laryngitis. [serial online] 2014 [cited 30 Oktober
2014]. Didapat dari http://www.medicinet.com/script/main/art.asp?articleke
y=100434&pf=2
4. Vashishta R. Larynx anatomy. [serial online] 21 Juni 2014 [cited 5 November
2014]. Didapat dari http://emedicine.medscape.com/article/1949369-
overview#showall
5. Shah RK. Acute laryngitis.[serial online] 11 Agustus 2014 [cited 30 Oktober
2014]. Didapat dari http://emedicine.medscape.com/article/864671
6. Malhotra Amisha, Krilov Leonard R. Viral Croup. American Academy of
Pediatrics. 2013;1-6
7. Benson BE. Stridor. [serial online] 14 Agustus 2012 [cited 30 Oktober 2014].
Didapat dari http://emedicine.medscape.com/article/995267
8. Badan penerbit ikatan dokter anak Indonesia. Pedoman pelayanan
medis.2009;84-8
9. Departemen kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah
sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: 2008;104-5
10. Laryngitis. [serial online] 11 Oktober 2012 [cited 30 Oktober 2014]. Didapat
dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001385.htm

23
11. Badan penerbit ikatan dokter anak Indonesia. Formularium spesialistik ilmu
kesehatan anak.2013;142
12. Feierabend RH, Shahram MN. Hoarseness in adults. Am Fam Physician. 2009
Aug 15;80(4):363-70. Dalam Shah RK. Laryngitis [serial online] 8 September
2012 [cited 5 November 2014]. Didapat dari
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=58797&pf=3
&page=11
13. Croup. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.
DEPKES dan IDAI. 2009; 104-105

24

Anda mungkin juga menyukai