Anda di halaman 1dari 13

‘Bapak Rumah Tangga’:

Menciptakaan Kesetaraan atau Membangun Mitos Baru?

Manneke Budiman
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

Abstrak
Tulisan ini menganalisis perbedaan konsep keluarga (yang diyakini netral-gender) dan rumah
tangga (yang diyakini bias-gender) yang menjadi sumber etimologis istilah ‘bapak rumah
tangga’. Konsep ‘rumah tangga’ dipakai dalam ranah demografis-sosiologis yang terkait dengan
sistem ekonomi. Rumah tangga dipandang sebagai bentuk organisasi sosial, sebuah unit sosial
terkecil dalam masyarakat. Rumah tangga merupakan unit sekunder dalam struktur ekonomi dan
identik dengan wilayah perempuan yang melanggengkan struktur patriarki. Dengan replikasinya
dalam konsep ‘bapak rumah tangga’, istilah ini menjadi ceruk reifikasi dan resignifikasi bias
gender yang mengukuhkan kembali mitos peminggiran tersebut.

Kata Kunci
keluarga, ‘bapak rumah tangga’, mitos, kesetaraan gender.

Abstract
This paper analyzes the concept of ‘family’ (gender-neutral) and ‘household’ (gender-biased) that
inspired the etymological history of “household-father”. ‘Household’ concept is closely
connected to the smallest social unit in society. It is viewed as the secondary unit in the modern
structure of economy that sustains gender bias and compartmentalizes women unfairly at their
own houses. The reification of ‘household-mother’ in the term ‘household-father’ is indeed a
resurrection of those gender discriminations.

Key terms
Family, ‘household-father’, myth, gender equality.

Tidak mudah bagi saya sebagai seorang laki-laki konvensional pencari nafkah yang tidak selalu
diasosiasikan secara erat dengan ‘urusan rumah tangga’. Istri saya pun juga tidak dengan mudah
bisa diberi label sebagai ‘ibu rumah tangga’ sebab ia juga perempuan karir yang lebih banyak
menghabiskan waktu di luar rumah. Jika saya pada akhirnya menuliskan gagasan-gagasan saya
tentang ‘bapak rumah tangga’, maka sudah barang tentu ada banyak bias pribadi dalam tulisan
itu yang sedikit banyak mencerminkan pula pergulatan saya dengan pemahaman atas ide ‘bapak
rumah tangga’ tersebut. Pastilah permintaan Jurnal Perempuan (JP) agar saya menuliskan
sesuatu tentang topik ini dilandasi oleh asumsi tersirat bahwa yang namanya ‘bapak rumah
tangga’ itu betul-betul ada, sehingga patut dan perlu diperbincangkan. Lagi-lagi, jika melihat

1
subjudulnya, tampaknya musykil bahwa JP menganggap bahwa kategori ini hanyalah sebuah
mitos belaka. Malah, jangan-jangan JP bahkan ingin mempromosikan dan mensosialisasikan
gagasan house-husband ini. Maka, yang sedang dicari sepertinya adalah model ideal bapak
rumah tangga yang secara konkret bisa diwujudkan dalam konteks sosial-budaya Indonesia.
Maka, sebelum mulai bertualang dengan imajinasi liar dan rasio longgar untuk
membeberkan pandangan saya tentang konsep ‘bapak rumah tangga’ ini, biar saya jelaskan dulu
mengapa reaksi pertama saya adalah sebagaimana saya ungkap di atas. Sepertinya, tiba-tiba ada
sebuah kesadaran yang menyentak: alangkah absurdnya pemaduan kata ‘bapak’ dengan kata
‘rumah tangga’ yang, secara in absentia, menyangkut pula pemaduan antara kata ‘ibu’ dan
‘rumah tangga’. Kuasa apa yang bertanggung jawab melahirkan genderisasi rumah tangga yang
kedengaran absurd ini? Lalu, bagaimana proses itu mengalami naturalisasi serta diterima sebagai
suatu kenyataan?

Istilah yang problematik


Menurut saya, penggunaan istilah ‘rumah tangga’ sendiri pada dasarnya cukup problematik.
Mengapa demikian? Konsep ini banyak dipakai dalam ranah demografis-sosiologis dan sedikit
banyak terkait dengan urusan ekonomi. Rumah tangga dipandang sebagai sebentuk organisasi
sosial, sebuah unit sosial terkecil dalam masyarakat. Pada saat yang bersamaan, saya juga
melihat bahwa rumah tangga juga dipakai sebagai terminologi penjelas yang merujuk pada
pembagian kerja dalam konteks ekonomi, yakni sebagai sistem penunjang pemerolehan
pendapatan yang diperhitungkan sebagai salah satu indikator GNP/GDP. Lewat institusi rumah
tanggalah produktivitas tenaga kerja dapat dijamin karena kesehatan fisik dan kesiapan kerja
seseorang dirawat di ranah rumah tangga. Dengan demikian, rumah tangga sebagai unit sekunder
yang berfungsi menunjang dan, oleh sebab itu, identik dengan wilayah perempuan, kian
dikukuhkan. Bersamaan dengan itu pula, wilayah publik tempat kerja yang menghasilkan
pendapatan dilakukan menjadi kian berasosiasi dengan laki-laki karena kerja mencari nafkah
untuk keluarga ditumpukan pada pundak mereka.
Ada istilah lain yang lebih longgar secara struktural, sifat hubungan antar-anggotanya
lebih ‘organik’ dan dinamis, dan tidak serta-merta berkaitan dengan kegiatan ekonomi, yaitu
keluarga. Mengapa kemudian istilah keluarga terasa lebih pas digunakan? Keluarga belum
bergender separah rumah tangga. Itu sebabnya mengapa istilah ‘ibu rumah tangga’ terdengar
lumrah, tapi orang tidak pernah memakai istilah ‘ibu keluarga’. Pembagian kerja pun belum
semapan atau sekaku sebagaimana yang terkandung dalam pengertian ‘rumah tangga’. Yang

2
perlu dilakukan bukanlah memanfaatkan peluang yang disediakan oleh konsep keluarga ini untuk
menggantikan konsep rumah tangga, melainkan membebaskan rumah tangga dari kungkungan
sempit patriarki yang membuatnya menjadi bergender. Dengan kata lain, diperlukan apa yang
oleh Anthony Giddens disebut dengan resignifikasi atas konsep rumah tangga ini. Namun,
alternatif ‘keluarga’ sebagai pengganti ‘rumah tangga’ juga tetap perlu untuk digali lebih jauh
untuk lebih mempertegas mengapa ‘rumah tangga’, dalam kerangkeng mitosnya saat ini, tak lagi
dapat dipertahankan sebagai kategori apabila kita hendak berbicara soal kesetaraan gender pada
ranah yang selalu diberi label ‘domestik itu.

Meruntuhkan Mitos
Saya teringat sebuah film laga Hollywood yang disutradarai Ridley Scott berjudul, G.I. Jane
(1997) dengan pemeran utamanya aktris terkenal Demi Moore, yang berperan sebagai Jordan O’
Neil. Memang film ini tak ada sangkut-pautnya langsung dengan isu rumah tangga atau keluarga
yang sedang kita bicarakan. Tapi ada ‘sesuatu’ yang menurut saya bisa kita timba dari cerita film
ini. Apa itu? Ini berkaitan dengan upaya kita untuk bisa lebih memahami persoalan maskulinitas
dan femininitas, serta wilayah publik dan privat, yang tak dapat dipungkiri menjadi pondasi
utama bagi genderisasi rumah tangga dan ruang-ruang publik serta privat.
Film ini bercerita tentang seorang perwira Angkatan Laut A.S., Jordan O’ Neil, yang
diajukan untuk mengikuti program latihan pasukan elit Navy Seals demi pencitraan politik
seorang perempuan senator, dengan keyakinan bahwa O’Neil tak akan berhasil lulus dalam
program yang dikenal luar biasa berat itu. Dalam prosesnya, O’Neil dipaksa untuk beradaptasi
dan sintas dalam lingkungan dan pelatihan yang sangat menonjolkan maskulinitas serta sarat
dengan prasangka terhadap perempuan. Akhirnya, O’Neil menggunduli rambutnya, mengganti
penampilannya menjadi maskulin, meninggalkan semua perlengkapan riasnya, dan berhasil
menjadi prajurit komando yang unggul. Ia bahkan menyelamatkan nyawa pelatih sekaligus
atasannya, yang sedari awal sangat melecehkan kemampuan dirinya.
Tapi seperti bisa diduga sebelumnya, film ini menuai kontroversi. Para pemujanya
menganggap film ini menginspirasi kaum perempuan untuk percaya bahwa mereka mampu
setara, dan bahkan mengungguli, laki-laki. Tapi saat yang bersamaan, film ini juga banyak
menuai kecaman. Apa persoalannya? Para pengkritiknya menuding film ini justru mengekalkan
dominasi maskulinitas sebab, demi kesuksesannya, Jordan O’Neil harus meninggalkan
femininitasnya dan mengubah dirinya menjadi memiliki karakter yang maskulin. Meskipun pada
akhirnya ia memperoleh pengakuan dari rekan-rekannya serta dari Angkatan Laut A.S., suka atau

3
tidak, ia tetap harus tunduk pada norma-norma patriarki dan menjadi bagian dari sistem norma
tersebut.
Lepas dari kontroversi yang ada, atau pro dan kontra yang muncul, saya melihat bahwa
film ini sebetulnya bisa kita nilai sebagai revolusioner. Dengan memasuki wilayah eksklusif laki-
laki yang supermaskulin dan dipercaya tak akan mampu diterobos perempuan, O’Neil
membuktikan bahwa tidak ada yang kodrati atau alami dengan maskulinitas maupun femininitas.
Dalam kenyataannya, baik perempuan maupun laki-laki, pada akhirnya dipaksa memainkan
peran gender mereka oleh norma-norma patriarki. Film ini memperlihatkan bahwa gender
hanyalah urusan performativitas belaka, sebagaimana digagas oleh Judith Butler (1990; 16-25),
seorang filosof post-strukturalis yang banyak menaruh perhatian pada bidang feminis, filsafat,
teori queer dan etika. Meninggalkan perlengkapan rias serta penampilan femininnya, O’Neil
berganti peran dan mengadopsi karakter-karakter maskulin yang menjadi aturan main di kamp
latihan. Implikasinya sangat besar: mitos-mitos tentang femininitas dan maskulinitas yang
menjadi tiang penyanggah patriarki serta pagar pemisah ruang privat dan ruang publik pun bisa
diruntuhkan.
Dengan kata lain, tidak ada yang namanya maskulinitas ataupun femininitas karena
keduanya adalah hasil rekayasa kultural patriarki untuk menjustifikasi eksistensi dan
dominasinya. Tidak ada alternatif lain untuk merubuhkan dominasi ini selain dengan
membuktikan bahwa tidak mustahil bagi perempuan untuk ‘menyeberangi’ pagar kultural itu dan
memainkan peran sebagai laki-laki (dengan implikasi bahwa yang sebaliknya pun berlaku: laki-
laki mestinya juga bisa memainkan peran kultural yang dikenakan pada perempuan). O’Neil
tidak menjadi laki-laki; ia hanya bermain peran sebagai laki-laki, dan dalam prosesnya,
mencairkan garis pembatas yang rigid antara perempuan dan laki-laki.
Dalam arena rumah tangga, hal serupa pun mestinya juga bisa terjadi. Genderisasi rumah
tangga, yang sasarannya hendak menjadikan keluarga sebagai koloni patriarki dengan cara
membagi-bagi peran di dalamnya berdasarkan gender, sangat terbuka bagi kemungkinan untuk
terjadi de-genderisasi karena, nyatanya, konsepsi maskulinitas dan femininitas hanya sebuah
mitos. Saya menyimpulkan bahwa pokok persoalannya tidak terletak pada upaya membangun
kesetaraan dalam rumah tangga, sebagaimana diindikasikan oleh tema yang ditawarkan redaktur
JP. Lalu apa masalahnya? Saya lebih menekankan pada bagaimana caranya membebaskan rumah
tangga atau keluarga dari invasi patriarki yang hendak mereplikasi dikotomi maskulin dan
feminin di dalamnya. Ketidaksetaraan hanyalah akibat dari replikasi tersebut. Keluarga yang

4
idealnya merupakan tempat mengaburnya batas-batas antara privat dan publik hendak dijadikan
ajang penciptaan hirarki gender dengan mengkapling-kaplingnya menjadi ruang privat dan ruang
publik pula.
Jika penciptaan hirarki gender yang terjadi, maka akibatnya pun bisa ditebak. Bapak pun
tak punya kewajiban mengerjakan pekerjaan rumah tangga, namun tetap mendapatkan
keistimewaan sebagai kepala rumah tangga karena ia telah bekerja di luar untuk mencari nafkah
bagi keluarga. Ibu wajib mengerjakan tugas-tugas rumah tangga sebab ia tidak turut serta dalam
proses produksi yang mendatangkan pendapatan bagi keluarga. Maka, ruang privat yang sudah
sempit dan marginal itu pun tidak luput dari jangkauan kuasa patriarki yang sudah mendominasi
ruang publik. Logika yang sama diterapkan pula dalam metode pengasuhan anak laki-laki dan
anak perempuan di rumah. Lewat proses inilah ‘keluarga’ berubah menjadi ‘rumah tangga’, yang
sarat dengan muatan sosial dan ekonomi, mengesampingkan hubungan antarpribadi yang unik
dan sangat subjektif di antara para anggotanya.
Dekolonisasi rumah tangga dari logika gender yang dioperasikan patriarki akan membuat
istilah-istilah seperti ‘ibu rumah tangga’ dan ‘bapak rumah tangga’ menjadi tidak lagi relevan
serta kehilangan alibinya untuk mengada. Keluarga tidak lagi dipersepsikan sebagai sebuah unit
sosial-ekonomi, melainkan sebagai benteng terakhir yang memberikan perlindungan kepada
individu-individu yang menyatukan diri di dalamnya dari dikotomi-dikotomi dan pemaksaan
peran-peran sosial oleh norma dominan yang ada di luar rumah, yakni dalam masyarakat.
Langkah awal yang harus diambil untuk memulai proses dekolonisasi ini adalah dengan menolak
menggunakan logika serta paradigma berpikir yang dipakai oleh patriarki. Kita harus berhenti
memakai istilah ‘ibu rumah tangga’, ataupun mengajukan istilah tandingannya—‘bapak rumah
tangga’—atas nama perjuangan mencapai kesetaraan gender dalam rumah tangga. Begitu kita
menerima dan menggunakan istilah-istilah itu sebagai rujukan kritis kita, maka kita terperangkap
kembali ke dalam jerat logika patriarki.

Menyikapi Perubahan
Perempuan dalam rumah tangga adalah perempuan yang bekerja: mereka menyiapkan makanan
untuk seluruh keluarga, menimba dan mengangkat air, mengumpulkan kayu bakar, tetapi semua
ini dalam paradigma ekonomi tidak diperhitungkan sebagai ‘kerja’. Akibatnya, menurut sebuah
statistik dari situasi pada 1990-an, 90 persen perempuan di wilayah-wilayah pedesaan di dunia
yang dalam praktiknya mengerjakan tugas-tugas tersebut tidak dianggap sebagai ‘tenaga kerja’

5
dan diberi label ‘ibu rumah tangga’ Sementara itu, baik di negara-negara maju maupun
berkembang, perempuan yang bekerja dalam kenyataannya jumlah jam kerjanya per minggu 35
jam lebih banyak dari para laki-laki sebab mereka juga harus mengerjakan tugas-tugas rumah
tangga (Institut pour la solidarité internationale des femmes, http://www.sigi.org/).
BBC News pada 2001 melaporkan bahwa jumlah perempuan pekerja di Inggris
meningkat dari 56 persen pada 1970-an ke 72% pada akhir 1990-an, memicu upaya pemerintah
berkuasa pada waktu itu untuk memberi insentif berupa pemotongan pajak kepada warganya
agar mau tinggal di rumah mengasuh anak-anak. Yang terjadi malah ‘krisis ibu rumah tangga’,
dan label ‘ibu rumah tangga’ sudah sedemikian rendah maknanya sampai-sampai seorang
perempuan anggota Partai Buruh mengusulkan agar istilah ‘ibu rumah tangga’ diganti saja
dengan yang lain, yaitu ‘pengasuh’ (carer) atau ‘ibu penuh-waktu’ (full-time mother) demi
memperbaiki citra ibu rumah tangga di Inggris yang kian lama menjadi kian tak populer
(http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/1183857.stm).
Barangkali, inilah hal-hal yang antara lain memicu lahirnya gagasan akan perlunya ada
‘bapak rumah tangga’. Apabila semua orang bekerja di luar rumah dan tak ada lagi yang mangkal
di rumah untuk mengasuh anak-anak, maka generasi spesies manusia akan datang terancam
punah sebab ada banyak uang diperoleh tetapi tak ada makanan yang dimasak di rumah. Namun,
solusinya bukanlah dengan mendorong atau memaksa perempuan untuk kembali ke rumah dan
meninggalkan pekerjaan mereka demi untuk menyiapkan makanan. Yang digalakkan adalah
imbauan agar laki-laki mau mengambil alih peran rumah tangga itu dengan menjadi ‘bapak
rumah tangga’. Sayangnya, gagasan ini bukannya tidak mengandung permasalahannya sendiri.
Kerja rumah tangga tetap dipersepsikan sebagai kerja tanpa batas waktu dan tanpa penghargaan.
Rumah tetap diposisikan sebagai tempat yang paling tidak difavoritkan sebagai sebuah ruang
produktif karena, tak peduli seberapapun banyaknya kerja yang dilakukan, semuanya itu tidak
dikategorikan sebagai kerja (yang menghasilkan pendapatan).
Bukannya berarti tidak terjadi gayung bersambut. Di banyak tempat, mulai banyak laki-
laki yang ‘alih profesi’ menjadi ‘bapak rumah tangga, meskipun sebagian karena terpaksa akibat
krisis ekonomi dan pemutusan hubungan kerja; sama halnya dengan sebagian perempuan yang
terpaksa memasuki lapangan kerja di luar rumah karena tuntutan nafkah. The Telegraph, pada
edisi 12 Februari 2009, mengajukan sebuah judul yang menantang berkenaan dengan alih profesi
laki-laki ke ranah rumah tangga ini: “Househusband: Are You Man Enough?” Ada kenaikan
persentase lebih dari seratus persen dalam kurun waktu enam belas tahun hingga 2009 dalam

6
jumlah laki-laki yang beralih menjadi bapak rumah tangga di Inggris
(http://www.telegraph.co.uk/women/mother-tongue/4600556/House-husbands-Are-you-man-
enough.html). Harian Inggris lain, Daily Mail online, bahkan mencatat pertumbuhan tiga kali
lipat sampai 2012. Yang menarik, sikap masyarakat terhadap fenomena baru ini pun berubah.
Dikabarkan bahwa secara perlahan bapak rumah tangga citranya semakin positif di mata
masyarakat. Laki-laki sendiri mulai merasa nyaman dan percaya diri dengan dunia barunya ini,
meskipun satu dari lima laki-laki yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka merasa jadi
‘kurang jantan’, dan satu dari delapan menyatakan bahwa ternyata kerja pengasuhan anak di
rumah jauh lebih melelahkan daripada pekerjaan kantor yang biasa mereka jalani sebelumnya.
(http://www.dailymail.co.uk/news/article-2092053/Househusbands-triple-15-years-number-
women-familys-main-breadwinner-soars.html).
Maka, tampaknya baik perempuan maupun laki-laki sama-sama tidak menyukai kerja
rumah tangga, khususnya apabila aktivitas rumah tangga itu dipersepsikan sebagai ‘kerja’ dalam
konteks pembagian kerja yang kaku sebagaimana lazimnya terdapat dalam organisasi-organisasi
sosial lainnya. Konsekuensinya, ‘ibu rumah tangga’ sama sekali bukan sebuah kategori yang
diidealisasikan dalam pembagian kerja, dan yang sebaliknya pun juga betul: ‘bapak rumah
tangga’ bukanlah solusi untuk mengakhiri persoalan. Menciptakan kategori baru agar kesetaraan
tercapai, yakni ‘bapak rumah tangga’, hanyalah akan menggeser permasalahan dari satu kutub ke
kutub lainnya tanpa betul-betul menghadapi akar permasalahannya, yaitu bahwa keluarga
dipahami secara salah-kaprah sebagai sebuah unit sosial-ekonomi dan diberi sinonim yang tidak
pas: rumah tangga. Begitu padanan ini diterima sebagai sebuah kategori, tak bisa dicegah
munculnya pertanyaan: lalu siapa yang berkewajiban mengurus rumah tangga untuk memastikan
bahwa unit sosial terkecil ini berfungsi baik setiap harinya? Dalam paradigma struktural,
disfungsi pada unit terkecil ini akan berdampak negatif pada unit di atasnya yang lebih besar, dan
dampak ini akan menular sebagai semacam efek domino sampai pada unit terbesar, yakni
masyarakat atau bangsa. Sehingga, siapapun yang kemudian didaulat sebagai penanggung jawab
rumah tangga akan memikul beban psikologis yang berat: tugas mulia sebagai penopang bangsa
tanpa upah.
Dalam sistem ekonomi yang kini berlaku, kerja tak berupah bukanlah kerja produktif
yang diperhitungkan menyumbang ekonomi nasional dan dicakupi oleh kategori-kategori
ekonomi seperti GNP dan GDP. Dengan demikian, gagasan ‘bapak rumah tangga’ sama sekali
bukan gagasan yang menarik, apalagi untuk dipakai sebagai sarana pembangun kesadaran laki-

7
laki. Saya curiga sedikit jumlah laki-laki yang mau menekuni jalur ini dengan kesadaran penuh
akan perlunya peran serta laki-laki dalam pengelolaan rumah tangga. Sangat boleh jadi, laki-laki
yang mau masuk ke ranah rumah tangga sebagai ‘bapak rumah tangga’ adalah mereka yang tak
punya penghasilan tetap atau yang penghasilannya secara signifikan jauh di bawah penghasilan
istrinya. Data akurat yang mutakhir memang tak tersedia, tetapi jika kita membaca lebih rinci
rujukan-rujukan ke media Inggris di atas, indikasi tersebut bukannya tak ada. Akibatnya, kerja
rumah tangga yang dijalani pun tidak ditekuni dengan sepenuh hati, dan ini berpotensi
menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar anggota keluarga.

Mengubah Paradigma
Dalam kajian dan aktivisme gender, kita jelas perlu meninggalkan konsep-konsep ciptaan
patriarki yang senantiasa dibangun di atas hirarki serta pembagian kerja yang mengukuhkan
dominasi ruang publik oleh laki-laki dan marginalisasi ruang privat untuk perempuan. Konsep
seperti ‘ibu rumah tangga’ adalah salah satunya. Maka itu, bukan sebuah langkah yang taktis
untuk mengajukan konsep serupa yang berujung pada genderisasi rumah tangga. Namun, rumah
tangga sudah kadung tergenderisasi secara akut, ditambah lagi dengan muatan konotasi ekonomi
yang membebaninya. Himpunan yang terdiri atas orang tua, anak, dan kemungkinan juga
extended family perlu dibebaskan dari kungkungan konsep ‘rumah tangga’ dan dikembalikan ke
hakikatnya, yakni sebagai sebuah komitmen membangun dan mengalami sebuah kebersamaan
yang lebih lekat daripada sekadar mengada bersama. Dan komitmen itulah yang disebut sebagai
‘keluarga’.
Saya bukannya mau mengatakan bahwa keluarga steril terhadap upaya penaklukan
patriarki. Keluarga juga tak luput dari percobaan kolonisasi. Ini terbukti dengan dibuatnya hirarki
dalam keluarga yang menyebabkannya memiliki pemimpin, yang disebut dengan ‘kepala
keluarga’ dan selalu diasosiasikan dengan sosok laki-laki, sementara yang lain adalah ‘anggota’
biasa yang diasumsikan tunduk pada kepemimpinan laki-laki sang kepala keluarga itu. Namun,
keluarga sebagai sebuah kekuatan yang utamanya tidak dibangun di atas elemen-elemen sosial-
ekonomi jauh lebih sulit untuk ditaklukkan, khususnya karena sifatnya yang tidak sesistematik
dan seorganisatoris ‘rumah tangga’. Keluarga siap menerima kekurangan yang paling serius
sekalipun yang dimiliki oleh salah seorang anggotanya, sementara rumah tangga berbeda halnya
karena ia dibangun di atas pembagian kerja dan, dengan demikian, melibatkan produktivitas
anggotanya sebagai salah satu parameter kesuksesannya. Keluarga masih hidup dengan tradisi

8
untuk menjadi tempat perlindungan terakhir bagi anggotanya bahkan ketika masyarakat menutup
seluruh pintu-pintunya. Anggota sebuah keluarga tahu bahwa ketika seluruh dunia
mengucilkannya, pintu kembali pulang ke keluarganya bisa diharapkan tetap terbuka.
Atas dasar itu semua, kita bisa mengatakan bahwa menjadi anggota sebuah ‘keluarga’
memiliki makna tersendiri yang tidak dijumpai dalam kita menjadi anggota sebuah ‘rumah
tangga’. Boleh jadi, di masa kini, keluarga pun telah menjadi sebuah konsep ataupun himpunan
manusia yang tak lagi sesederhana yang saya coba gambarkan dalam tulisan ini. Barangkali, saya
terlalu terhanyut dalam romantisasi terhadap konsep keluarga. Ini tidak perlu diingkari. Tetapi,
saya yakin bahwa kompleksitas apapun yang kini menyebabkan bergesernya makna ‘keluarga’
tak lain dan tak bukan diakibatkan oleh interferensi makna ‘rumah tangga’ ke dalam konsep
‘keluarga’. Pengertian kita tentang ‘keluarga’ pada masa kini telah dipengaruhi oleh ukuran-
ukuran sosial-ekonomi yang selama ini membentuk pemahaman kita tentang ‘rumah tangga’.
Kooptasi lebih jauh terhadap ‘keluarga’ oleh ideologi ‘rumah tangga’ yang bernuansa kapitalistik
ini dapat dicegah justru apabila kita dapat menghindarkan terjadinya genderisasi atas keluarga,
sebagaimana telah dialami oleh rumah tangga. Di dalam keluarga, istilah-istilah seperti ‘bapak
keluarga’ atau ‘ibu keluarga’ tak akan bermakna banyak ataupun memiliki relevansi, sementara
yang sebaliknya justru terjadi dalam konsep rumah tangga.
Di dalam rumah tangga, seorang perempuan single parent bisa disebut dengan ‘ibu rumah
tangga’, namun tak akan pernah dapat disebut ‘bapak rumah tangga’, walaupun ia sendirian
banting tulang mencari nafkah sembari merawat anak-anak dan rumahnya. Sebaliknya, dalam
keluarga, tidak ada persoalan untuk menyebut seorang perempuan single parent dengan ‘kepala
keluarga’. Seorang laki-laki single parent dalam rumah tangga tak akan pernah bisa menjadi ‘ibu
rumah tangga’ walau sangat mungkin ia lalu disebut dengan ‘bapak rumah tangga’. Namun,
dalam keluarga, seorang laki-laki single parent tak punya persoalan untuk disebut dengan
‘kepala keluarga’. Ini lebih jauh memperlihatkan betapa parahnya ‘rumah tangga’ telah
terkolonisasi oleh patriarki, sementara ‘keluarga’ masih relatif bebas dari polarisasi-polarisasi
patriarkis.
Keluarga tidak dibagi-bagi atas ruang yang berorientasi pada kerja dan gender, seperti
dapur, kebun, ruang belakang, ruang tengah, ruang depan, dan lain-lain. Keluarga dipahami
sebagai kumpulan manusia, bukan satuan kerja ataupun denah fisik yang terdiri atas ruang-ruang.
Pada gagasan tentang keluarga inilah, saya yakin, kesetaraan masih bisa diwujudkan dengan
tingkat kerumitan lebih rendah daripada pada konsep rumah tangga. Baik laki-laki maupun

9
perempuan lebih bersedia melakukan pengorbanan serta memberikan sumbangan kepada
keluarga alih-alih kepada rumah tangga, yang lebih didasari oleh hitung-hitungan siapa yang
mencari uang dan siapa yang mengurus rumah. Ide bahwa mereka melakukan sesuatu untuk
keluarga mereka—darah daging mereka sendiri—lebih memotivasi orang untuk melakukan
sesuatu yang berguna bagi semua anggota keluarganya tanpa pamrih ataupun tanpa perasaan
rendah karena yang mereka lakukan tak selalu bisa dihitung dengan uang. Dengan demikian,
perasaan bahwa kerja rumah tangga jauh lebih berat daripada kerja di luar rumah dan lebih tidak
menghasilkan imbalan materi dibandingkan dengan kerja di luar rumah tidak akan dialami ketika
paradigma keluarga menggantikan kedudukan paradigma rumah tangga.
Sekali lagi harus ditegaskan bahwa keluarga sama sekali tidak kebal dari berbagai
kompleksitas dan permasalahan yang dihadapi oleh rumah tangga. Saya tidak mau terjebak
dalam esensialisasi keluarga, meski tak bisa tidak saya harus berangkat dari dikotomi antara
keluarga dan rumah tangga demi menjelaskan argumentasi saya dalam tulisan ini. Keluarga juga
dapat terancam oleh kooptasi kapital serta polarisasi gender seperti halnya rumah tangga.
Keluarga tidak bebas dari ancaman disfungsi sebagai dampak dari berbagai persoalan sosial
dalam masyarakat tempat keluarga itu berada. Mempertahankan hubungan antar anggotanya
yang bersifat ‘organik’, tidak terstruktur secara kaku, dan pilar penopangnya berlandaskan
komitmen bersama adalah cara-cara untuk melawan bermacam-macam serangan tersebut. Oleh
sebab itu, keluarga tidak boleh terjebak dalam genderisasi dan pembagian kerja. Hubungan antar
anggota sebuah keluarga tidak hanya bersifat saling melengkapi tetapi juga saling mengisi.
Setiap orang dalam keluarga memiliki tanggung jawab yang sama untuk merawat kebersamaan
yang ada di dalamnya, tak peduli apakah ia bapak atau ibu atau anak ataupun anggota keluarga
yang lain.
Maka, seorang laki-laki dalam keluarga bisa membuang sampah, menyiapkan makanan
untuk semua, menyeterika pakaian, memandikan bayi, belajar, dan mencari uang di luar;
demikian pula seorang perempuan bisa mengurus kebun, mencuci piring kotor, berbelanja
keperluan keluarga, dan bekerja di luar mencari nafkah. Sosok ‘bapak’ dan ‘ibu’ tetap hadir,
tetapi tidak sebagai ‘tenaga kerja’ yang posisinya dalam keluarga ditentukan oleh
produktivitasnya dalam menghasilkan pendapatan bagi keluarganya. Sosok anak pun demikian
pula. Namun, anak memiliki sumbangannya sendiri kepada keluarga sesuai dengan usia dan
kapasitasnya. Pada pembagian kerja dalam rumah tangga, anak hilang dari ekuasi. Yang ada
tinggal bapak sebagai pencari nafkah dan ibu sebagai pengurus rumah. Pilar penopang keluarga

10
baru goyah ketika ada salah seorang anggotanya yang bersikap egois dan tidak mau
menyumbang bagi kebersamaan di dalamnya, tak peduli apakah ia adalah bapak atau ibu atau
anak atau anggota yang lain dalam keluarga tersebut. Gender sama sekali bukan variabel dalam
konteks ini.
Namun, yang belum banyak terungkap adalah sejak kapan sebetulnya pembagian kerja
dimulai dalam keluarga yang pelan-pelan lalu menggesernya menjadi rumah tangga dalam
wujudnya yang sekarang kita miliki? Jawabannya tidak jelas betul. Dalam dunia hewan,
‘pembagian kerja’ sedikit banyak sudah mulai dapat diamati. Pengasuhan dan perlindungan
anak-anak lebih banyak dilakukan oleh hewan betina. Namun, itu tidak serta-merta membuat
hewan betina tidak lagi bertanggung jawab mencari makan bagi anak-anaknya. Hewan betina
tetap harus keluar sarang dan berburu. Dalam konteks spesies manusia, berburu dan
mengumpulkan makanan (hunting and gathering) kian lama kian menjadi spesialisasi laki-laki,
sementara menjaga anak-anak di rumah serta menyiapkan makanan kian menjadi wilayah kerja
perempuan. Sangat mungkin hal ini terjadi bukan karena perempuan tidak secakap laki-laki
dalam berburu dan mencari makan, melainkan karena perempuan dapat menyusui bayi mereka
selagi kaum laki-lakinya tidak berada di rumah. Berbeda halnya jika laki-laki yang tinggal di
rumah dan perempuan pergi berburu. Bayi-bayi di rumah tak akan bisa disusui, meski ada sosok
orang dewasa menunggui rumah.
Dengan demikian, pembagian kerja itu tidak dibuat berdasarkan asumsi bahwa
perempuan lebih lemah dan, oleh sebab itu, lebih cocok untuk melakukan kerja domestik
(apalagi telah terbukti bahwa kerja domestik lebih berat karena menuntut waktu dan tenaga lebih
banyak daripada kerja di luar rumah). Dalam dunia hewan pun kita secara nyata bisa
menyaksikan bahwa pada umumnya hewan betina bisa jauh lebih agresif dan galak daripada
hewan jantan. Ada respek yang sangat jelas terlihat diberikan oleh hewan jantan kepada hewan
betina, khususnya ketika hewan betina itu sedang menjaga anak-anaknya. Menjaga anak, di
dunia hewan, meliputi juga memberikan perlindungan kepada anak dari ancaman pemangsa lain.
Dan untuk itu, dibutuhkan kekuatan, agresivitas, serta kesediaan bertarung sampai mati pada
hewan betina. Namun, proses evolusi yang panjang kemudian membuat spesialisasi ini menjadi
identik dengan kelemahan, khususnya dalam konteks spesies manusia. Instink agresif yang
berguna untuk berburu dan melindungi anak, pada spesies manusia perempuan, mengalami
domestikasi sejalan dengan domestikasi peranan mereka. Nurturing menjadi aktivitas utama,
sementara protecting, hunting dan food gathering mengendap menjadi dorman. Hipotesis saya,

11
dari sinilah awal identifikasi antara perempuan, kerja domestik, dan kelemahan. Perempuan tak
lagi berkelahi untuk melindungi anak-anaknya, dan fungsi utamanya merawat serta mengasuh
mereka saja.
Keluarga, yang relatif masih terbebas dari rigiditas pembagian kerja karena strukturnya
lebih longgar daripada rumah tangga, secara hipotetis mestinya bisa menjadi ruang serta peluang
bagi perempuan untuk merevitalisasi instink purbanya sebagai pencari makan dan pelindung
anak-anak. Bagi laki-laki, keluarga juga membuka kesempatan untuk membangun respek pada
apa yang dikerjakan perempuan dan bersama-sama melakukan fungsi-fungsi perawatan
(maintenance) serta pengasuhan (nurturing). Kerja mencari nafkah menjadi tanggung jawab
bersama yang tidak terkotak-kotak berdasarkan gender, sebagaimana nenek moyang purba yang
hewani dari spesies manusia pada zaman dahulu kala menjadikan tugas mencari makan sebagai
kerja bersama. Evolusi memberi kita blueprint untuk menjadi setara, namun entah bagaimana
caranya, di tengah jalan patriarki menyabot proses alamiah itu dan menciptakan pembagian kerja
yang berkonsekuensi hirarkis, yang dilestarikan lewat konsep-konsep tergenderisasi seperti
‘rumah tangga’ dengan segala atribut tambahannya.

Penutup
Sebagian besar paparan dan argumen yang disajikan dalam tulisan ini, tak dapat dibantah, kental
dengan nuansa spekulasi. Banyak pernyataan yang dibangun oleh imajinasi dan bersifat
hipotetis. Agak sulit untuk dihindari, mengingat bahwa tulisan ini juga berangkat dari sebuah
hipotesis bernama ‘bapak rumah tangga’, yang ditopang oleh asumsi bahwa kehadiran konsep
hipotetis tersebut diharapkan akan dapat membuat cita-cita kesetaraan gender dapat selangkah
lebih mendekati kenyataan. Tidak mudah pula mencari basis teoretis yang dapat digunakan
sebagai titik-tolak perbincangan, apalagi data yang tersedia berkenaan dengaan isu ini lebih
banyak diperoleh dari reportase media daripada data riset yang ilmiah dan komprehensif.
Namun, eksplorasi imajinatif seperti ini bukannya tak ada gunanya: ia jelas membuka
kemungkinan untuk membicarakan sesuatu yang, pada saat ini, mungkin masih dianggap sebagai
sebuah mimpi atau omong kosong belaka.
Eksplorasi semacam ini juga berfungsi menggugah kita dari perangkap mimpi
berkepanjangan yang bisa mencabut kita dari realitas konkret. Kita jadi bisa menimbang apa
yang mungkin (dan, secara implisit, apa yang dengan demikian mustahil atau tak feasible).
Sebagai seorang laki-laki, saya tidak secakap istri saya dalam menangani kerja-kerja rumah
tangga, meski semangat saya untuk terlibat dalam kerja rumah tangga tersebut sama sekali tidak

12
kecil ataupun main-main. Tetapi, saya tidak membayangkan menjadi seorang ‘bapak rumah
tangga’, dan saya tak yakin akan menyukai sebutan itu, serta implikasinya pada pembagian kerja
yang akan harus saya lakukan dengan istri saya jika saya menerima konsep itu. Tetapi, jelas saya
dengan girang dan sepenuh hati menerima segala macam konsekuensi terkait dengan
keanggotaan saya dalam keluarga saya, termasuk sumbangan serta kerja apapun yang perlu saya
berikan demi kelangsungan kebersamaan dalam keluarga saya. Mudah-mudahan, dengan
demikian, tidak terlalu menjadi soal apakah saya laki-laki atau perempuan, dan apakah saya
berperan sebagai ‘bapak’ atau menyandang peran-peran yang lain.

Daftar Pustaka
Butler, Judith (1990), Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York and
London: Routledge.
Institut pour la solidarité internationale des femmes, http://www.sigi.org/ dalam
http://www.wallworkshop.com/pdf/Statistics_on_Women.pdf
“What became of the housewife?” dalam BBC News February 22, 2001
http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/1183857.stm
“House husbands: Are you man enough?” oleh Casilda Grigg dalam
http://www.telegraph.co.uk/women/mother-tongue/4600556/House-husbands-Are-you-
man-enough.html

Number of house-husbands triples in 15 years as number of women who are family’s main
breadwinners soars” oleh Anthony Bond dalam http://www.dailymail.co.uk/news/article-
2092053/Househusbands-triple-15-years-number-women-familys-main-breadwinner-
soars.html

13

Anda mungkin juga menyukai