Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-
ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau
adilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi
hadisnya.

Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an sudah
tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits sahih jelas tidak
diperdebatkan lagi, bahkan demikianlah yang semestinya. Namun bagaimana menentukan
kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak
waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dan
pembukuan suatu hadits.

Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis,
maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui
keadaan perawi itu adalah melalui ilmu ‘al- Jarh wa at-Ta’dil’.

2. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Al-Jarh dan At-ta’dil ?
2. Apakah Manfaat dari Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil ?
3. Apa Pentingnya Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil ?
4. Bagaimana Perkembangan Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil ?
5. Apa Saja Pertentangan antara Al-jarh wa At-ta’dil ?
6. Apa Saja Ketentuan Ta’dil ?
7. Bagaimana Ta’dil yang diberikan Anak Kecil ?
8. Apa Saja Tingkatan dalam Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil ?

3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Al-Jarh dan At-ta’dil
2. Mengetahui Manfaat dari Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil

1
3. Mengetahui Pentingnya Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil
4. Mengetahui Bagaimana Perkembangan Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil
5. Mengetahui Pertentangan antara Al-jarh wa At-ta’dil
6. Mengetahui Ketentuan Ta’dil
7. Mengetahui Hukum Ta’dil Anak Kecil
8. Mengetahui Tingkatan dalam Ilmu Al-jarh wa At-ta’dil

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ILMU AL-JARH WA AT-TA'DIL

Kalimat ‘al-jarh wa at-ta'di’l merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri
dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan 'al-adl'. Al-jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar,
dari kata ‫ يجرح‬- ‫ جرح‬yang berarti 'seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang
ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu'. Dikatakan juga

yang berarti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi,
berupa kedustaan dan sebagainya. Secara terminclogi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat
dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan
ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan
tertolak riwayatnya. Adapun 'at-tajrih' menyifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang
membawa konskuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima. 1

Kemudian, pengertian al-adl secara etimologi berarti 'sesuatu yang terdapat dalam
jiwa bahwa sesuatu itu lurus' merupakan lawan dari lacur' Orang adil berarti orang yang
terima kesaksiannya.

Ta’dil pada diri seseorang berarti menilainya positif. Adapun secara terminologi, al-adl
berarti orang yang tidak memiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.

Lafazh al-jarh, menurut Muhadisin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan
keadilan dan kehapalannya. Men-jarh atau men-tajrih seorang rawi berarti menyifati seorang
rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang
diriwayatkannya. Adapun rawi dikatakan ‘adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-
sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi
sehingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.

Dengan demikian, ilmu al-jahr wa at-ta’dil berarti :

“Ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.

1 M.Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm 157

3
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli, ilmu al-jarh wa at-
ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadis yang membahas cacat atau
adilnya seorang yang meriwayatkan hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi
hadisnya.

B. MANFAAT ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang


rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para
ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi
dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang
lain untuk menerima hadis terpenuhi.

Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak,
akan muncul penilaianbahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal,
perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW. Sampai dibukukan mengalami perjalanan
yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah
wafatnya Rasulullah , kemurnian sebuah hadis perlu mendapat penelitian secara seksama
karena terjadinya pertiakian di bidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah yang
lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadis
yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang
mereka buat untuk kepentingan golongannya.

Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan
mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu
(maudhu).

Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana
hadis sahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari
matannya. 2

2 M.Solahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm 159

4
C. KEPENTINGAN ADANYA AL-JARH WA AT-TA’DIL

Umat Islam telah menetapkan bahwa hadits adalah dasar Tasyri’ yang kedua.
Kehidupan manusia baik dalam kaitannya dengan hubungan manusia dengan manusia
maupun hubungan manusia yang telah di tetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi.

Oleh karena itu, sebelum orang mengamalkan apa yang ada dalam hadits itu, orang
harus yakin terlebih dahulu bahwa hadits itu benar-benar nyata. Adapun Al-Qur’an tidak
perlu di ragukan lagi karena sudah mutawatir kebenarannya.

Hadits dari sumbernya yaitu Rasulullah sampai pada penerima terakhir melalui
deretan orang-orang yang kemudian kita kenal sebagai sanad. Orang dilewati hadits
mempunyai sifat dan keadilan yang berbeda. Dalam kenyataannya banyak terjadi riwayat
yang menyalahi riwayat orang-orang lain yang mempunyai kepercayaan dan periwayatnya,
ada juga yang bertentangan antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lain bahkan ada
riwayat dibuat oleh perowinya karena ada maksud tertentu.

Allah telah memperingatkan kita agar kita lebih berhati-hati dalam menerima suatu
hadits supaya tidak menyesal dalam kemudian hari, peringatan iu terdapat dalam surat Al-
hujurat ayat 6 yang berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”.

Dengan demikian Jarh disini bukanlah maksud untuk mengumumkan cacad seseorang
untuk kepentingan lain, tetapi Jarh dimaksud agar umat Islam dapat selamat dari hadits yanng
tidak benar, sehingga umat Islam dapat menjalankan ketentuan yang benar-benar datang dari
Rasul.

Begitu juga Ta’dil bukan maksud untuk memuji seseorang, tetapi untuk
mengungkapkan bahwa hadits tersebut adalah benar, karena telah melewati orang-orang yang
tidak diragukan kejujurannya. Nabi sendiri telah memberi contoh tentang Tajrih dan Ta’dil
yang beliau lakukan pada orang lain.

Dalam riwayat Bukhori Muslim dari aisyah tentang seorang laki-laki yang akan
menghadap Rasul, laki-laki itu bernama ‘Uyainah bin Hashn. Yaitu orang yang jelek tikah

5
lakunya dan ucapannya. Rasulullah memberitahukan kepada sahabat yang sedang berada di
depan beliau bahwa orang yang akan menghadap itu mempunyai sifat yang tidak baik. Sabda
beliau :

“Izinkanlah oleh kamu sekalian kepada sijelek saudara suatu qobilah atau anak
qobilah itu”.

Dan rasul telah menyatakan keadilan Kholid bi walid. Sabda Nabi riwayat Imam
ahmad dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairoh :

“ Beruntunglah abdullah Kholid bin walid satu pedang dari pedang-pedang Allah”.3

D. PERKEMBANGAN AL-JARH WA AT-TA’DIL

Jahr dan Ta’dil berkembang bersamaan dengan perkembangan riwayat. Karena untuk
mengetahui shohih dan tidaknya suatu hadits harus diketahui keadaan perowinya. Dengan itu
akan diketahui jujur atau tidaknya riwayat itu. Selanjutnya dapat dibedakan antara yang
diterima dan ditolak. Pengetahuan tentang rowi meliputi seluruh aspek kehidupannya
sehingga dapat diketahui kekuatan hafalannya, daya tangkap dan ingatannya, panjang dan
pendeknya masa pergaulan dengan Nabi dan sebagainya.

Para sahabat, tabi’in dan ahli ilmu menjelaskan keadaan para rowi semata-mata
karena Allah, bukan karena takut pada seseorang. Mereka tidak memandang dari mana
mereka menerima hadits Nabi. Dan hal ini mereka lakukan karena kekhidmatan mereka pada
syari’at Islam, untuk menjaga sumber syariat itu dan arena niat yang ikhlas.

Syu’bah bin Al Hajjaj yang hidup antara tahun 80-160 H pernah ditanya tentang
hadits yang didapat dari Hkau bin Zubair yaitu orang yang sangat senang berdusta, maka
jawab Syu’bah “Saya takut neraka”. Karena itulah maka Imam Syafi’i berkata “Seandainya
tidak ada Syu’bah maka tidak akan kita dapati hadits di Irak”.

Kata Asy Sya’bi “Demi Allah, seandainya aku benar tujuh puluh tujuh kali dan keliru
sekali saja, sungguh mengalahkan kepadaku kesalahan yang hanya sekali itu”.

Para ulama memberikan pengertian penuh dalam mencari hal ikhwal para rowi, dan
menanyakan keadaan mereka. Abdur Rohman bin Al Mahdi pernah bertanya kepada Syu’bah,
Ibnul Mubarok, Ats Tsauri dan Malik bin Anash tentang seseorang yang disangka berdusta,

3 Saeful Hadi, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Sabda Media, hlm 112-113

6
maka para ulama tersebut menjawa “Jelaskan keadaannya, sebab hal itu adalah termasuk
urusan agama”.

Dalam hal ini ulama menetapkan sebagai suatu keharusan, dan tidak termasuk
mengumpat, justru menjelaskan tentang shohih dan dhaif, maqbul dan mardud dan ini semua
oenjagaan terhadap hadits Nabi.

Abdullah bin Ahmad bn Hambal berkata “Abu Turab An Nakhsyabi datang kepada
ayahku, dari percakapan mereka : Ayah berkata “Fulan itu seorang yang dhaif dan fulan
yang lain adalah orang yang dapat dipercaya”. Mendengar hal itu Abu Turab berkata “Wah
bagaimana kamu ini, ini adalah Nasikhat sama sekali bukan mengumpat”

Pernah ditanyakan kepada Yahya bin Said Al Qotthoh “Tidaklah orang itu (yang
dinyatakan cacatnya) nanti akan menuntutnya di hadapan Allah ?” Yahya bin Sa’id
menjawab “Aku lebih suka dituntut oleh mereka dari pada saya dituntut oleh Rasulullah”.

Para sahabat sebagaimana para tabi’in memandang hal ini sebagai suatu hal yang
wajib, mereka berdasarkan firman Allah surat Al-Ahzab ayat 70-71 yaitu :

Artinya :

71. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar”.

72. “Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-
dosamu; dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasulnya, maka sesungguhnya ua telah
mendapat kemenangan yang besar”. 4

4 Saeful Hadi, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Sabda Media, hlm 113-114

7
E. PERTENTANGAN ANTARA AL-JARH WA AT-TA’DIL

Seorang rowi terkadang mendapat dua penilaiandari para ahli. Ada yang mengatakan
bahwa dia adalah orang yang adil sekaligusn dia di nilai sebagai orang yang mempunyai
cacat.

Disini nyata terdapat pertentangan, oleh karena itu pertentangan pernilaian ini harus
di bahas untuk mengetahui kebenerannya.

Apabila terjadi pertentangan antara Jarh dan Ta’dil maka terdapat beberapa pendapat
ulama :

1. Menurut mayoritas ulama para imam madinah, penilaian cacat di dahulukan atas
Ta’dil, meskipun jumlah penta’dilan lebih banyak dari pada Jarh (penilaian cacat),
sebab dalam penilaiannya itu dapat di ketahui sesuatu yang tidak di ketahui oleh para
penta’dil.
Jarh di dahulukan atas Ta’dil dengan dua pengecualian :
a. Jarh menerangkan sebab-sebab cacatnya, sedangkan Mu’tadil menerangkan
bahwa Perowi tersebut telah bertaubat dari kesalahannya.
b. Jarh menerangkan tegas sebab-sebab cacatnya, kemudian Mu’tadil membantah
tegas sebab-sebab cacat yang di sampaikan oleh Jarh tersebut.
2. Ta’dil didahulukan atas Jarh apabila jumlah Mu’tadil lebih banyak dari pada Jarh,
sebab jumlah yang lebih banyak berarti memperkuat rowi yang dinilai.

Al-Qasami mengatakan bahwa meskipun pendapat yang kedua lemah, namun harus
kita pegangi.

At-Tajus subki mengtakan bahwa kita janganlah memegang secara buta kaidah, sebab
orang yang diakui alim, adil, banyak yang memuji, sering juga ada yang
mencacatkannya walaupun sedikit, yang celaan itu karena dusebabkan fanatik
madzhab, maka cercaan itutidak bisa diterima.

Adz-Dzhabi mengatakan cercaan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh ilmu terhadap


seorang tokoh tidak boleh kita hiraukan, lebih-lebih ketika nampak tanda-tanda
permusuhan, fanatik mazhab atau dengki, hampir semua orang dipengaruhi oleh hal
itu.

F. SIFAT-SIFAT YANG MENYEBABKAN SEORANG DINILAI JAHR


8
Seorang perawi hadits dapat tidak diterima periwayatannya manakala terdapat suatu
sifat atau beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, yang efeknya tidak dapat
diterima periwayatannya. Sifat-sifat tersebut antara lain seperti diuraikan berikut ini.

1. Dusta

Yang dimaksud dengan dusta dalam hal ini ialah bahwa orang itu pernah berbuat
dusta terhadap sesuatu atau beberapa hadis. Dalam pengertian, seorang perawi berbuat dusta
terhadap Rasulullah, seperti membuat hadits palsu, pernah menjadi saksi palsu, kecuali ia
sudah tobat.

Menetapkan kepalsuan suatu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang pernah
berbuat dusta adalah berdasarkan keyakinan yang kuat, bukan atas dasar sangkaan, sehingga
mungkin pada suatu saat, ia berbuat dusta dan dalam keadaan lain, ia berkata sebenarnya.
Dalam masalah ini, para ulama berpendapat. Menurut Imam Ahmad dan Abu Bakar Al-
Humaidi, guru Imam Al-Bukhari, riwayatnya tidak dapat diterima, meski ia sudah berbuat.
Pendapat ini dikutip oleh Mudhaafar Al-Sam'any, sedangkan Al-Nawawi me-nasakh-kan atau
menerima riwayatnya apabila ia betul telah bertobat.

2. Tertuduh Berbuat Dusta

Yang dimaksud dengan tertuduh dengan berbuat dusta adalah seorang perawi sudah
tenar di kalangan masyarakat sebagai orang yang berdusta. Periwayatan orang yang tertuduh
dusta dapat diterima apabila ia betul-betul telah bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi
menuduh pendusta.

3. Fasik (Melanggar Ketentuan Syarak)

Yang dimaksud fasik disini ialah fasik dalam perbuatan yang tampak secara lahiriah,
bukan dalam hal i'tiqiyah, nama tetap periwayatannya ditolak, sebagaimana diterangkan
dalam firman Allah (QS. Al-Hujurat : 7) sebagai berikut.

9
“Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada rasulullah. Kalau ia menuruti
kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi allah
menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam
hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka
itulah krang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”. (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1989: 846).

4. Jahalah

Yang dimaksud dengan jahalah adalah perawi hadits itu tidak diketahui
kepribadiannya, apakah ia sebagai orang yang tercacat (jarih). Dengan tidak diketahuinya itu,
menjadi alasan untuk tidak diterima riwayatnya, kecuali dari golongan sahabat atau orang
yang disebut dengan lafal yang menyebutkan atau menunjukkan kepada kepercayaan, seperti
dengan lafal hadatsan, tsiqan, atau akhbar-nya ‘adlun, dan sebagainya.

5. Ahli Bid’ah

Yang dimaksud dengan ahli bid’ah, yaitu perawi yang tergolong melakukan bid’ah,
dalam hal i’tikad yang menyebabkan ia kufur maka riwayatnya ditolak. 5

G. TA’DIL YANG DIBERIKAN ANAK KECIL

Para ulama sepakat bahwa ta'dil yang diberikan oleh seorang anak kecil tidak
diterima, Karena untuk menetapkan keadilan seseorang ditetapkan Beberapa syarat terhadap
takdir Allah tersebut.

Diantara syarat itu adalah mengetahui sebab-sebab jarh dan ta'dil nya seorang Rowi.
karena hal itu tidak mungkin ada pada anak kecil maka ta'dil yang mereka berikan pun tidak
bisa diterima. Para Ulama menerima ta'dil yang diberikan oleh budak beliau, akan tetapi para
Ulama berbeda pendapat tentang ta'dil yang diberikan oleh seorang wanita. Menurut Qodli
Abu Bakar ta'dil yang diberikan oleh wanita bisa diterima akan tetapi kebanyakan Fuqoha
Madinah tidak menerimanya.

H. HAL-HAL YANG DISYARATKAN DALAM AL-JARH WA AT-TA’DIL


5 Sohari Sahrani. Ulumul Hadits. 2010. Bogor: Ghalia Indonesia. Hlm 152

10
Dalam tradisi ilmu-ilmu hadits, seorang yang hendak melakukan jarh maupun ta’dil
sebelumnya harus memenuhi bebarapa syarat sebagai berikut:

1. Ia harus seorang yang alim, wara’, bertakwa, dan jujur. Ini adalah syarat yang paling
mendasar, sebab orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut, bagaimana mungkin ia dapat

menetapkan kualitas seorang perawi.

2. Ia harus mengetahui sebab-sebab seseorang di-jarh maupun di-ta’dil. Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata, “Yang diterima adalah tazkiyah (rekomendasi) dari seseorang yang mengetahui

sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak tahu, agar rekomendasi itu tidak hanya berdasar
pada apa yang diketahui dari luar dan tidak melalui penyelidikan yang mendalam.”

3. Ia harus menguasai bahasa dan percakapan orang Arab dengan baik, tidak meletakkan
kalimat di luar maknanya, sehingga terhindar dari melakukan jarh dengan kalimat yang
bukan

kalimat jarh.

Masih terkait dengan jarh wa ta’dil, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa
hal-hal tersebut tidak disyaratkan dalam jarh wa ta’dil, yaitu:

1. Tidak disyaratkan harus laki-laki ataupun wanita. Jarh wa ta’dil adalah area bebas gender.

2. Tidak disyaratkan harus merdeka. Dengan demikian, periwayatan budak sama nilainya
dengan periwayatan non budak, selagi memenuhi syarat-syarat di atas.

3. Sebagian ulama menyatakan, jarh maupun ta’dil hanya bisa diterima dengan kesaksian dua
orang atau lebih. Namun sebagian yanhg lain menerima jarh dan ta’dil dari satu orang saja,
karena banyaknya jumlah tidaklah disyaratkan dalam diterima atau ditolaknya sebuah
riwayat. Ini berbeda dengan persaksian.

Para ulama yang menjelaskan hal ikhwal Rowi menetapkan keadilan atau cacat Rowi adalah
bermaksud menjaga hadits yang shohih dan yang lemah. Mereka memberikan perhatian khusus
terhadap penjagaan hadits. Mereka mengetahui apa akibat dari ta'dil dan tajrih yang mereka tetapkan.

11
Oleh karena itu tajrih dan takdir bukan hanya berakibat menguntungkan atau merugikan perowi, akan
tetapi lebih daripada itu yaitu keselamatan umat dalam mengamalkan hadits Nabi.

Syarat pentakhrij dan penta'dil :

1). berilmu;

2). taqwa;

3). wara;

4). jujur;

5). menjauhi fanatik golongan;

6). mengetahui sebab-sebab ta'dil dan tajrih (mufassar).

I. Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh Wa Ta’dil

Para perawi yang meriwayatkan hadist bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi
keadilannya, kedlabitannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya
sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan
salah padahal mereka adalah orang yang adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam
hadist. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna
pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan
lafadh-lafadh yang menunjukan pada setiap tingkatan.

1. Tingkatan Ta’dil
Dalam melakukan jarh, para ulama menetapkan adanya tingkatan, antara lain:

a. Tingkatan pertama, yakni para sahabat. Disini terdapat satu jargon yang cukup
terkenal yaitu kullu shahabat ‘udul (semua sahabat adalah adil).

b. Tingkatan kedua, yakni tingkatan orang-orang yang direkomendasikan para


ulama dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang hiperbolis. Yaitu lafadz
berwazan;af’al al-tafdhil. Contohnya :

Orang yang paling tsiqah ‫أثسوثثقق ُالنناَّ س‬


‫س‬

Orang yang paling mantap ‫حسفةظاَّ ُثوثعثداثلةة‬ ‫أثسثثب ق‬


‫ت ُالنناَّ ح‬
‫س ُ ح‬

12
hafalan dan keadilannya.

Orang yang paling mantap


keteguhan hati dan ‫إحثلسيحه ُاسلقمسنثتثهىِ ُحفىِ ُالثثبت‬
lidahnya.

c. Tingkatan ketiga, yaitu tingkatan orang-orang yang dipuji oleh para ulamadengan
membubuhkan satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedabitannya
baik dengan lafadz yang diulang atau kata majmu’ setara. Yaitu:

Orang yang teguh (lagi)


‫ت ُقثقب س‬
‫ت‬ ‫قثقب ت‬
teguh

Orang yang tsiqah (lagi)


‫حثثقتة ُحثثقسة‬
tsiqah

Orang yang teguh (lagi)


‫قثقب ت‬
‫ت ُحثنقسة‬
tsiqah

Orang yang kuat


ingatannya (lagi) ‫ضاَّب ت‬
ِ‫ط ُقمستحقن‬ ‫ث ح‬
meyakinkan ilmunya.

d. Tingkatan keempat, yaitu tingkatan orang-orang yang dipuji oleh para ulama
dengan menunjuk keadila menggunakan suatu lafadz mufrad dan mengandung arti
kuat ingatan

Orang yang teguh hati


‫قثقب ت‬
‫ت‬
dan lidahnya.

Orang yang meyakinkan


ِ‫قمستحقتن‬
ilmunya

Orang yang Tsiqah ‫ثقة‬

Orang yang kuat


‫ثحاَّحف ت‬
‫ظ‬
hafalannya.

13
e. Tingkatan kelima, yaitu tingkatan orang-orang yang dikomentari oleh para ulama
dengan lafadz yang menunjuk keadilan dan kedhabitan seorang rawi, tetapi tidak
mengandung arti kuat ingatannya. Seperti :

Orang yang sangat jujur ‫صقدسوتق‬


‫ث‬

Orang yang dapat


ِ‫ثمأسقمسوتن‬
memegang amanat

Orang yang tidak cacat ‫ثلثبأس ث‬


‫س ُحبسه‬

f. Tingkatan enam, yaitu tingkatan orang-orang yang dikomentari oleh para ulama
dengan lafadz yang menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak dipahami
kedhabitannya. Misalnya seperti :

Orang yang baik


ْ‫ثجيَيقد ُاسلثححدسيث‬
hadistnya

Orang yang bagus


ْ‫ثحثسقنِ ُاسلثححدسيث‬
haditsnya

g. Tingkatan ketujuh, yaitu tingkatan orang-orang yang yang dikomentari oleh


para ulama dengan lafadz yang baru lalu diiringi dengan lafadz musyiah
(insyaallah) atau dimulai dengan pengharapan atau ditashghirkan (dianggap
kecil):

Orang yang jujur, insya


‫صقدسوتق ُإحسنثشاَّثء ُا‬
‫ق‬
Allah

Orang yang diharapkan


‫فقثلتنِ ُأثسرقجسو ُحبأ ثننِ ُثلثبأس ث‬
‫س ُحبه‬
tsiqah

Orang yang diharapkan


‫فقثلتنِ ُثمسققبسولْ ُثححدسيقثقه‬
diterima hadistnya

14
Hukum Tingkatan Ta’dil :

 Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagaian mereka
lebih kat dari pada yang lain.

 Adapun tingkatan keempat dan kelima tidak dapat dijadikan hujjah. Tteapi hadist
mereka boleh ditulis dan diuji kedhabitan mereka dengan membandingkan hadist
mereka dengan hadist para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai degan hadist mereka
maka boleh dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai maka ditolak.

 Sedangkan untuk tingkat keenam, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Tetapi
hadist mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk
pengujian karena mereka tidak dlabith.6

2. Tingkatan Al- Jarh

a. Tingkatan pertama,yang menunjukan adanya kelemahan dan ini yang paling


rendah dalam tingkatan al-jarh, seperti : layyinul-hadiits (lemah hadistnya), atau
fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan) atau fiihi dla’fun (padanya ada
kelemahan).

b. Tingkatan kedua, yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan


tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti :”Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”,
atau dlaif atau ia mempunyai hadist-hadist yang munkar atau majhul (tidak
diketahui identitas/kondisinya).

c. Tingkatan ketiga, yang menunjukan lemah sekali dan tidak boleh ditulis
hadistnya seperti : “fullan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis
hadistnya” atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada
apa-apanya).

d. Tingkatan keempat, Yang menunjukan tuduhan dusta atau pemalsuan hadist,


seperti : “Fulan muttaham bil kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh

6 Endang Soetari,Ilmu Hadist,(Bandung:CV Mimbar Pustaka,2008),hlm.198-200

15
memalsukan hadist”, atau mencuri hadist, atau matruk (yang ditinggalkan) atau
laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).

e. Tingkatan kelima,yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya;


seperti : kadzdzah (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadist), atau
yakdzib (dia berbohong), atau yadla (dia memalsukan hadist).

f. Tingkat keenam, yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan dan ini
merupakan tingkatan yang terburuk. Seperti :”Fulan orang paling pembohong”,
atau “ia adalah puncak dalam kedustaan” atau “dia rukun kedustaan”.

Hukum tingkatan-tingkatan Al-Jarh

 Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap
hadist mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya
orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan
pertama.

 Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak
boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.

Nama-Nama Rawi yang Adl

1) Said bin Abdil Aziz at-Tanukhi ad-Dimisyqi, salah seorang imam,mufti dimisyq.
Tersebut dalam Mizan :”Ia kepercayaan”

Kata Nasa-i : “Ia Kepercayaan,lagi teguh”. Kata Ibnu Ma’in :”Ia hujjah”.

2) Sa’id bin Manshur bin Syu’bah al-Khurasani,seorang Hafidz yang kepercayaan ;


seorang yang mempunyai kitab “sunan”.

Imam Ahmad memuji dia. Berkata Abu Hatim “Ia dari golongan orang-orang yang
teliti dan teguh”.

Berkata Ibnu Khirasyi : “Ia seorang kepercayaan”

3) Sufyan bin Uyainah al-Hilali, salah seorang kepercayaan. Tersebut dalam


Mizan:”orang-orang telah Ijma’ berhujjah dengan dia”; adalah ia seorang yang kuat
hafalannya”.
16
4) Salam bin Sulaim Abul-Ahwash al-Hanafi al-Kufi,seorang yang benar lagi
kepercayaan,tetapi rawi lain lebih teguh daripadanya. Kata Ibnu Ma’in :”Ia seorang
kepercayaan,lagi teliti”.7

7 Qadir Hassan,Ilmu Musthalah Hadits,(Bandung:CV Diponogoro,Bandung) Hlm.469

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadist disebabkan oleh sesuatu yang dapat
merusak keadilan atau kedabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari seluk-
beluk para perawi hadits yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan
menjaga hadits. Ilmu ta’dil adalah lawan dari al- jarh, yaitu pembersihan atau pensucian
perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dabit. Pernyataan bahwa seorang perawi bersih dari
sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa
diterima dikalangan umat islam.

B. Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterima
riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dijadikan
referensi bagi para peminat hadits dalam menentukan sikap pada sebuah hadits. Tentunya
makalah ini masih banyak kekurangan dengan kedhaifan penulis. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua umat islam.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Solahudin, M dan Agus Suyadi, 2013. Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia

2. Hadi, Saeful. 2013. Ulumul Hadits, Yogyakarta: Sabda Media.

3. Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia

4. Soetari, Endang. 2008. Ilmu Hadist, Bandung: CV Mimbar Pustaka.

5. Hassan, Qadir. 2003. Ilmu Musthalah Hadits, Bandung: CV Diponogoro,Bandung.

19

Anda mungkin juga menyukai