Anda di halaman 1dari 19

TUGAS STUDY ISLAM II

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN SOSIAL

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 8

RIA KUSTIANI : 1811020311

NGABID SANTOSO : 1811020334

KUWAT SUSANTO : 1811020359

IMAM AS'ARI : 1811020373

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PURWOKERTO

2019
TUGAS STUDY ISLAM II

Muhammadiyah sebagai gerakan sosial:

a. nilai-nilai dan ajaran sosial-kemanusiaan Muhammadiyah (teologi al-Ma’un),

b. gerakan peduli kepada fakir miskin dan anak yatim,

c. bentuk dan model gerakan sosial-kemanusiaan Muhammadiyah,

d. revitalisasi gerakan sosial Muhammadiyah

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN SOSIAL

Pemikiran Islam di Indonesia telah dikenalkan oleh beberapa pemikir yang mengungkap pandangan
tentang operasionalisasi agama di wilayah social kemasyarakatan. Sebut saja Moeslim Abdurrahman
dengan Teologi Transformative. Harun Nasution dengan Teologi Rasional, Nurcholis Majid dengan
Islam Inklusif, Munawir Sadjali juga mengusung Kontekstualisasi, Kuntowijoya melalui Islam Profetik,
Abdul Rahman Wahid melalui Pribumisasi Islam, dan pemikir-pemikir lain yang mengusung gagasan
brilian. Semua pemikiran tersebut bermuara pada operasionalisasi-implikatif agama (Islam) dalam
kehidupan social manusia yang tidak hanya berorientasi pada ketuhanan, tetapi juga memiliki
orientasi pada kemanusiaan. Dalam bahasa akademis, agama menjadikan manusia salih secara
ketuhanan dan juga secara sosial (salih sosial).

Tulisan yang memfokuskan pada kerangka sosial ini mengangkat landasan nilai teologis yang diusung
oleh pesyarikatan Muhammadiyah, yaitu fikih al-Maun. Tulisan ini mencoba mendekripsikan tata
operasional agama sebagai fakta normative yang mengandung ajaran yang dapat menjadi dasar
pembentukan nilai-nilai sosial dan perilaku sosial. Melalui konsep inilah nantinya masyarakat
Muhammadiyah mampu tampil sebagai umat washatan yang membawa rahmat bagi semesta alam.

A. Nilai-nilai dan Ajaran Sosial Kemanusiaan dalam Perspektif Muhammadiyah (Fikih al-Maun)

Nilai Kemanusiaan

Dalam salah satu tulisannya, Abdul Munir Mulkhan (2010: 43) mengatakan, inti visi kemanusiaan
agama-agama adalah cinta kasih. Paus Johanes Paulus II dan Benediktus XVI adalah tokoh agama
yang dikenal sangat gigih memperjuangkan nilai kemanusiaan. Tulisan Munir Mulkhan tersebut
dapat dipahami bahwa KH. Ahmad Dahlan tidak ketinggalan jika disbanding dengan Paus Johanes
Paulus II dan Benediktus XVI. KH.Ahmad Dahlan tampaknya menjadi tokoh pencari identitas
kebenaran etos kemanusiaan global. Berangkat dari gagasan mulia itu, lahirlah berbagai rumah sakit,
rumah bersalin, sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dari diploma
sampai doktoral, panti asuhan yatim piatu, rumah miskin dan kepanduan.

Selanjutnya, Munir Mulkhan (2010:80) mengutip hasil penelitian Alfian dan Nakamura yang memiliki
kesimpulan bahwa paham keislaman KH. Ahmad Dahlan mengedepankan penafsiran pragmatis yang
oleh Nakamura disebut sebagai bermuka dua. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa amalan lahiriah adalah
bekas dan hasil dari daya ruh agama. Agama mengandung ajaran yang dapat menjadi dasar
pembentukan nilai-nilai sosial dan perilaku sosial. Menurut Muhammadiyah, gerakan sosial
termasuk dalam urusan Muamalah al-duniawiyah.

Manusia mempunyai nilai universal tanpa dibatasi oleh keyakinan, wilayah, etnis dan jenis kelamin.
Nilai itu adalah nilai kemuliaan yang disandang oleh setiap anak cucu Adam. Di dalam Al-Qur’an
surat al-israa’ ayat 70 secara deskriptif telah dijelaskan bahwa:

Artinya : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Israa’:70)

Secara kultural, kemuliaan dapat diperoleh melalui banyak cara, diantaranya: manusia dapat
dianggap mulia karena ilmunya, itulah sebabnya orang yang berilmu biasa disebut al-
mukarram. Manusia dapat dianggap mulia karena hartanya itulah sebabnya orang kaya dihormati.
Manusia dapat dianggap mulia karena jabatannya, itulah sebabnya pejabat biasa dihormati. Tetapi,
kemiliaan tersebut bukanlah kemuliaan yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an. Kemuliaan tersebut
dapat membawa nilai apabila diikuti dengan sifat lain misalnya: ilmuwan mempunyai nilai apabila ia
mengajarkan dan mengamalkan ilmunya. Orang kaya dianggap mempunyai nilai apabila ia menjadi
dermawan. Pejabat dianggap mempunyai nilai apabila ia menjalankan kepemimpinan dengan adil.

Secara subtansial, kemuliaan manusia itu melekat pada fitrah. Itulah sebabnya pada ayat lain dalam
al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 disebutkan bahwa:

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbanga-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya, Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” (QS. Al-
Hujuurat: 13).

Bentuk kemuliaan itu direspon dalam al-Qur’an dengan janji antara lain: mudkhalan
kariman (dimasukkan ke tempat yang mulia atau surga) (QS. An-Nisa’: 31) maghfirah wa rizkun
karim memperoleh maghfirah dan nikmat yang mulia) (QS. Al al Anfal: 4), maqaam karim (tempat
yang mulia) (QS. Asy-Syuara: 58). Potensi untuk meraih kemuliaan itu disebut sebagai sebaik-baik
makhluk. Dimana makhluk yang diberi potensi tersebut adalah manusia. Inilah yang disinggung dlam
al-Qur’an surat al-Thin ayat 4 bahwa:

Artinya: “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya” (QS. al-Tin: 4)

melihat deskripsi tersebut bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat mulia, indikator
kemuliaan seseorang dapat dilihat dari lima aspek antara lain:

a. Hubungan dirinya dengan Tuhan

Hubungan manusia dengan Tuhan di atur dalam aqidah dan ibadah. Aqidah menjadi inti kehidupan
beragama. Jantung Islam adalah penyaksian keesaan Allah, kemutlakan untuk tunduk pada
kehendak Tuhan. Dua kalimat syahadat merupakan suatu pernyataan pokok yang mengandung
makna pembebasan diri dari berbagai bentuk ikatan kecuali ikatan terhadap Allah SWT. Pernyataan
kehambaan menegaskan bahwa tidak ada tempat menghambakan diri kecuali hanya kepada Allah
SWT. Iman adalah percaya dengan penuh tanggung jawab; kepercayaan kepada Tuhan merupakan
masalah personal, berada dalam hati. Orang bebas menentukan keyakinan dan kepercayaannya.
Nabi Muhammad Saw, bukan dalam kapasitas melaksanakan keimanan, sebagaimana disebtukan
dalam al_Qur’an bahwa: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (QS. Al-Ghasiyah:22).
Pada ayat lain dikatakan juga, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumu seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yusuf:99)

b. Hubungan dirinya dengan alam

Tujuan utama diciptakan manusia adalah untuk menjadi khalifah yang bertugas mengelola,
merawat, menjaga, memakmurkan dan memelihara kelestarian alam semesta dengan pengertian
yang seluas-luasnya. Tugas tersebut disebutkan dalam al-Qur’an, misalnya, “Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi” (QS. al-Baqarah:30)

Keseimbangan dan keramahan lingkungan kepada manusia tergantung pada bagaimana manusia
memperlakukan alam semesta. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas tentang bahaya dari ketidak
ramahan manusia terhadap lingkungan. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Telah Nampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS.
Ar-Rum:41)

c. Hubungan dirinya dengan masyarakat

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk yang cenderung hidup bermasyarakat,
bersama, berkelompok-kelompok. Dan berbangsa-bangsa Islam menekankan pada pentingnya
menjaga akhlak dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menghormati tetangga atau
menghormati sejawat. Sebagaimana disebutkan misalnya dalam surat an-Nisa ayat 36 bahwa:

Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan
berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba
sahayamu. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-
banggakan diri” (QS. An-Nisa:36)

Dalam surat yang lain, yaitu al-Qur’an surat Lukman ayat 18-19, juga dijelaskan bahwa:

Artinya: :”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (Karen sombong) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakanlah
suaramu. Sesungguhnya seburu-buruk suara ialah suara keledai” (QS. Lukman:18-19)

Dua ayat tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa sifat sombong itu dicela, dikecam dalam al-
Qur’an. Sombong merupakan ungkapan, simbol dari sikap individualism, sikap menang sendiri, sikap
merendahkan orang lain. Merendahkan orang termasuk salah satu penyakit masyarakat.
d. Hubungan dirinya dengan keluarga

Dalam melaksanakan hubungan dengan keluarga, perinsip yang harus dijaga adalah saling
menghormati, perinsip ta’awun (tolong menolong), perinsip saling menasehati dan perinsip
musyawarah.

e. Hubungan dengan dirinya sendiri

Menjaga diri dari hal-hal yang bisa merusak harkat dan martabat atau bisa mengurangi derajat
kemuliaan. Sebaliknya, harus memelihara diri dari sifat-sifat yang wajib dimiliki seperti: ikhlas, sabar,
jujur, istiqomah. Perlakukan terhadap diri sendiri menjadi acuan untuk memperlakukan orang lain.
Perlakuan orang lain kepada diri merupakan refleksi dari perlakuan diri kepada orang lain.

2. Ajaran Sosial Kemanusiaan dalam Muhammadiyah

Islam menetapkan dua pola hubungan yang permanen dalam kehidupan beragama yakni: hubungan
dengan Allah SWT, yang lazim disebut hablun minallah dan hubungan dengan sesama manusia atau
lazim disebut hablun minannas. Hubungan dengan Allah dalam bentuk ibadah dibahas dalam ilmu
fiqih, sedangkan hubungan dengan sesame manusia dibahas dalam ilmu akhlak. Baik yang
berhubungan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan akhlak, apabila disebutkan secara
jelas dan tegas di dalam al-Qur’an atau al-Hadist, itu disebut ajaran. Jadi, konsep ajaran Islam adalah
ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an atau al-Hadist. Berdasarkan konsep tersebut, dapat
dinyatakan bahwa: menyantuni anak yatim adalah ajaran Islam, memberi makan orang miskin
adalah ajaran Islam, mebantu kaum duafa adalah ajaran Islam, seperti halnya shalat adalah ajaran
Islam, dan zakat adalah ajaran Islam. Tiga bentuk ajaran Islam yang awal disebut merupakan wajib
kifayah dalam pandangan ulama fiqih, sedangkan dua ajaran yang terakhir disebut termasuk
kewajiban ‘ain (fardhu ‘ain). Dalam pandangan Muhammadiyah, kedua kewajiban tersebut sama
nilainya dan sama pentingnya. Tiga bentuk ajaran tersebut digolongkan dalam kategori hablun
minannas, sementara dua bentuk yang disebut terakhir digolongkan dalam kategori hablun
minallah.

Muhammadiyah menjadi pelopor gerakan filantropi atau pembelaan pada kaum mustad’afin di
Indonesia, sebuah entitas yang tetap menjadi ruh perjalanan gerakan sepanjang masa. Dikisahkan
bahwa pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan membina sebuah pengajian. “Materi
pengajiannya, sudah beberapa bulan membahas surat yang sama yaitu al-Maun. Sampai pada suatu
hari, salah seorang murid bertanya kepada Kiai Dahlan. “Pak Kiai, pengajiannya kok membahas al-
Maun terus, kapan mengaji surat lain?” Lantas, Kiai Dahlan pun balik bertanya. “Sudahkah kamu
mengamalkan surat ini?” Si murid menjawab. “Sudah. Kiai, saya sudah menggunakan surat ini dalam
shalat saya dan suka membacanya berulang-ulang di rumah. “Bukan begitu ….,” kata Sang Kiai.
“Sudahkah kamu mengamalkan kandungan surat ini? “Sudahkah kamu peduli pada anak yatim di
sekitarmu? Sudahkah kamu memberi santunan terhadap orang miskin di sekitarmu? Kalau belum,
berarti kamu benar-benar mengamalkan surat ini. “Akhirnya, setelah itu, Sang Kiai dan para
muridnya berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat dimana banyak orang-orang miskin dan
anak-anak yatim. Mereka kemudian membawa kaum duafa tersebut ke suraunya, member mereka
makan, memberi pakaian dan member pendidikan.
Cerita terkenal tentang pengajaran surat al-Maun oleh KH. Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya
menjadi landasan kuat akan berkembangnya perinsip “beramal ilmiah, berilmu amaliah” dalam
menjalankan gerak pesyarikatan Muhammadiyah. Tidak cukup hanya dengan mengaji dan mengkaji
saja tentang ajaran agama Islam, namun juga harus melakukan tindakan nyata di lapangan. Harus
beramal nyata, beramal yang dilandasi ilmu, dan ilmu yang mesti diamalkan dalam kehidupan sehari-
hari. Dari perinsip inilah kemudian lahir dan bertebaran lembaga pendidikan, rumah sakit, panti
asuhan, lembaga social, dan sekian jumlah amal usaha Muhammadiyah di berbagai pelosok negeri
(Febriansyah, dkk., 2013:20-21).

Atas dasar spirit surat al-Maun, KH. Ahmad Dahlan memberi isyarat bahwa Islam adalah agama yang
menekankan bukan hanya aspek ritual dan mengabaikan aspek sosial. Akan tetapi, seorang muslim
dikatakan salih dalam menjalankan ibadah ritual, apabila melahirkan akhlakul karimah dan kepekaan
sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan, orang yang melupakan tidak perduli pada nasib anak
yatim dan orang miskin digolongkan sebagai pendusta agama.

Ajaran sosial kemanusiaan yang dipopulerkan dengan istilah teologi al-Maun ini mengandung empat
nilai, yakni:

1. Nilai religi atau nilai iman

Iman adalah sesusuatu yang menjadi ruh semangat keberagamaan, sesuatu yang menjadi sumber
dan sekaligus motivasi atau penggerak amaliah. Dalam pandangan Muhammadiyah, iman bukanlah
barang yang pasif melainkan aktif. Iman bukan sesuatu yang absolute dan tidak dapat diamati, tidak
dapat diukur, melainkan iman dapat diamati, diukur dan terlihat dalam interaksi sosial.

Di dalam al-Qur’an, banyak disinggung tentang iman dan amal social. Keduanya harus aktif secara
bersamaan. Iman disejajarkan dengan memberikan harta yang dicintai sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177 bahwa:

Artinya: “Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musyafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-
minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah:177)

Ayat ini menyebutkan tujuh syarat perbuatan yang disejajarkan nilainya dan menjadi syarat takwa,
yakni: Beriman, Memberikan harta yang dicintainya, Memerdekakan hamba sahaya, Mendirikan
shalat, Menunaikan zakat, Menepati janji, dan sabar. Tujuh item dari pesan ayat tersebut dapat
diidentifikasi jadi dua bagian. Bagian pertama terkait dengan hubungan kepada Tuhan: beriman dan
mendirikan shalat; bagian kedua menyangkut hubungan dengan sesama manusia: memberikan harta
yang dicintainya, memerdekakan hamba sahaya, menunaikan zakat, menpati janji dan sabar. Hal ini
berarti tanda-tanda taqwa lebih banyak berdimensi kemanusiaan.

2. Nilai belas kasih atau nilai al-rahmah

Nilai al-Rahmah atau cinta kasih atau belas kasihan merupakan ajaran dasar yang sangat prinsipil.
Berbagai sifat yang berlawanan dengan sifat al-Rahmah adalah pemarah, sombong, dengki, dendam.
Semua itu dikecam dalam al-Qur’an Dalam hadist nabi disebutkan bahwa cinta kasih merupakan
indikator iman seseorang sebagaimana dijelaskan dalam hadist dari Annas bin Malik, Artinya;

Dari anas Ibn Malik ra, dari Nabi Saw bersabda, “Tidak beriman seseorang diantar kamu sebelum ia
mencintai saudaranya atau tetangganya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Muslim juz
1:49)

Rahmah adalah bagian dalam atau bagian dari aspek kejiwaan (psikologi) yang menjadi dasar dari
perasaan setiap orang. Perasaan tersebut menjadi identitas diri kemanusiaan. Apabila perasaan
tersebut hilang, identitas kemanusiaan juga dapat dikatakan telah hilang. Istilah yang lebih ekstrim
adalah perasaan telah mati. Inilah yang dimaksud jiwa yang meninggal sementara jasad masih hidup.
Untuk memahami makna al-Rahmah berikut sebuah riwayat yang menceriterakan bahwa suatu
ketika Nabi menggendong seorang anak yang sedang menhadapi sakratulmaut, nafasnya tersenggal-
senggal, menyaksikan situasi tersebut air mata nabi Muhammad Saw menetes membasahi pipinya.
Sahabat yang hadir pada waktu termasuk Thalhah merasa heran dan bertanya, ada apa gterangan ya
Rasulullah, Beliau menunjukkan kepada air mata yang ada di pipinya sambil menjawab, “hadzihi al-
rahmah” (ini adalah rahmah). Jadi, orang menangis mengeluarkan air mata karena kesedihan atau
perasaan belas kasihan itulah yang disebut al-rahmah.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Nabi Saw, diminta untuk mendoakan orang
musyrik agar dilaknat oleh Allah SWT. Lalu, Nabi menjawab sebagaimana disebutkan vdalam hadist
dar Abi Hurairah bahwa:

Artinya; “Dari Abi Hurairah, berkata, ya Rasulullah do’akan orang musyrik supaya dilaknat, lalu Nabi
menjawab, saya diutus bukan untuk melaknat melainkan sebagai rahmat” (HR. Muslim juz 8:24)

Al-Rahmah adalah bagian dari cinta kasih sebagaimana disinggung pada awal tulisan dan merupakan
landasan atau basis pendirian amal usaha di bidang social yang dibina oleh Muhammadiyah. Amal
usaha itu merupakan focus gerakan Muhammadiyah. Menurut Amin Rais (1998:44-48), terdapat
empat doktrin Muhammadiyah, yakni: Pertama, doktrin pencerahan umat, sehingga amal usaha
yang pertama-tama dirintis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah adalah mrndirikan
sekolah. Kedua, doktrin amal shalih; dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah telah
ditetapkan bahwa syarat berdirinya suatu ranting adalah wajib memiliki amal usaha minimal
mendirikan taman kanak-kanak. Ketiga, doktrin kerjasama untuk kebajikan; doktrin ini berlandaskan
pada QS. Al-Maidah 2, dan kempat, doktrin tidak berpolitik.

3. Nilai syukur

Syukur adalah bentuk pernyataan terima kasih atas nikmat yang telah diperoleh. Allah akan
memberi balasan kepada hambanya yang suka bersyukur (QS. Al-Qamar:35). Bentuk syukur yang
diimplementasikan oleh Muhammadiyah adalah kerja keras. Muhammadiyah memahami bahwa
bekerja secara sungguh-sungguh dalam mengelola lembaga pendidikan merupakan perwujudan
bentuk syukur (tafsir syukur). Pintu untuk meraih kebahagiaan adalah kerja keras (syukur). Allah
tidak akan membiarkan hambaNya dalam keadaan termarjinal, dalam keadaan tertinggal untuk
keluar dari kesulitan apabila si hamba beriman dan bekerja keras (bersyukur) (QS. An-Nisa:147)
Lebih tegas, dinyatakan bahwa Allah pasti membalas orang-orang yang bekerja keras (syukur).
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat tujuh bahwa:

Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;”Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”(QS. Ibrahim:7)

Pada ayat tersebut, terdapat dua istilah yang berlawanan, yakni term”syukur/syakartum” dengan
“kufr/kafartum”. Syukur adalah simbol dari orang yang tahu berterima kasih kepada Tuhan,
sedangkan kufr adalah symbol dari orang yang tidak tahu berterima kasih. Bekerja keras untuk
mengatasi masalah kemiskinan atau bekerja keras untuk mengurusi anak yatim adalah sikap dan
perilaku orang yang tahu bersyukur.

4. Nilai tolong-menolong

Tolong-menolong merupakan perinsip ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Tolong-


menolong disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 bahwa:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu, dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Mesjidil haram, medorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah:2)

Muhammadiyah menganut doktrin bahwa: hidip harus bermasyarakat. Di dalamnya terkandung


pengertian kerja sama, saling menghargai, dan juga saling mengakui perbedaan. Idea tau cita-cita
social Muhammadiyah berkisar pada: ukhuwah, hurriyah, musawah, dan ‘adalah(persaudaraan,
kemerdekaan, persamaan dan keadilan) (Rais,1998:17). Hidup bermuhammadiyah berarti
memperbanyak kawan, dan berarti kita harus memelihara kesetiakawanan. Hidup
bermuhammadiyah berarti menghargai orang lain, menghargai organisasi lain, dan menghargai
agama lain.

B. Gerakan Peduli Pada Fakir Miskin dan Anak Yatim

Istilah “fakir” dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan.
Miskin diartikan sebagai tidak berharta benda, serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Dalam
bahasa Arab, kata “miskin” berakar dari kata sa-ka-nayang berarti diam atau tenang. Kenapa orang
miskin disebut miskin, karena ia lebih banyak diam. Seperti halnya, kenapa keluarga yang bahagia
disebut keluarga sakinah, karena keduanya merasa tentram atau tenang (diam) terhadap
pasangannya; keduanya tidak kemana-mana. Tentang kriteria kemiskinan, tidak dijelaskan di dalam
al-Qur’an maupun al-Hadist. Itulah sebabnya ulama berbeda pendapat tentang pengertian fakir dan
miskin.

Al-Qur’an memuji kecukupan bahkan menganjurkan untuk meperoleh kelebihan (Syihab, t.th:451).
Ayat yang dijadikan rujukan adalah al-Qur’an surat al-Jum’ah ayat 10 yang mengatakan:

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jum’ah:10)

Sedangkan dalam al-Qur’an di surat yang lain yaitu surat al-Dhuha ayat 8 menerangkan bahwa:

Artinya: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan” (QS. Al-Dhuha:8).

Bahkan ada ayat lain yaitu ayat dalam surat al-Baqarah ayat 198 yang juga mendekripsikan bahwa:

Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
Maka apabila kamu telah bertolak dar’Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan
berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” (QS. Al-
Baqarah:198)

Kedua ayat tersebut memberi kesan bahwa berkecukupan adalah sesuatu yang mulia dan karenanya
harus bekerja keras untuk meraih kecukupan tersebut. Yang dilarang dan dicelah ialah rakus atau
berkecukupan lalu kikir.

Muhammadiyah memahami bahwa tujuan yang hendak dicapai dan diturunkannya agama di muka
bumi ini adalah mengatur menyelamatkan, dan membimbing manusia ke tujuan yang
luhur (baldatun thayyibatun warabbun ghafur), mencerahkan kehidupan, membebaskan manusia
dari segala bentuk perbudakan. Tidak ada penghambaan kecuali hanya menhambakan diri kepada
Allah SWT. Dalam konteks kehidupan sekarang, manusia harus dibebaskan paling tidak dari tiga
bentuk cengkeraman yakni: kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Salah satu problematika nasional, khususnya problem umat islam saat ini, adalah mengenai
pengurangan kemiskinan. Kemiskinan merupakan bentuk ketidak mampuan seseorang, satu
keluarga, atau satu kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang berupa
kebutuhan pangan, atau kebutuhan pendidikan dasar dan menengah, atau kebutuhan kesehatan.
Ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan
absolut.

Gerakan peduli fakir miskin diserukan oleh Nabi Muhammad Saw, sebagaimana disinggung dalam al-
Qur’an. Tidak hanya memuat perintah untuk menyantuni fakir miskin, tetapi al-Qur’an juga
merkonstruksi perilaku masyarakat Qurays. Tidak jarang al-Qur’an mengecam berbagai bentuk sikap
mereka terkait dengan harta, anak yatim dan fakir miskin. Kecaman tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut:

1. Peringatan kepada orang yang suka menghimpin harta, suka bermewah-mewah atau
serakah (QS. Al-Takasur:1-2)
2. Mencintai harta secara berlebihan (QS. Al-Fajar:17-20)
3. Menghardik anak yatim, tidak member makan orang miskin (QS. Al-Fajar:17-20; al-Maun:1-
6)

Dalam tafsir Bahr al-Ulum (t.th:juz.3,600)v disebutkan bahwa pengertian yukazzibu biddin adalah
orang-orang kafir; “Wahai Muhammad, inilah orang-orang kafir”. Jadi, orang yang menghardik anak
yatim adalah simbol dari orang kafir yang berkebalikan dengan orang-orang yang menghargai dan
mengasihi anak yatim sebagai orang yang beriman. Ayat ini berbicara secara simbolis antara orang
beriman dan orang kafir. Surat sebelumnya yakni QS. Al-Quraisy menegaskan, “Tuhanlah yang yang
meberi makan dan minum kepada kamu hai manusia, baik yang kaya maupun yang miskin.” Lalu,
pada surat sesudahnya, yakni surat al-Kautsar disebutkan, “Sesungguhnya, Tuhanlah yang memberi
nikmat kepada kamu, berkorbanlah dengan harta yang kamu miliki.”

Terdapat riwayat yang menceritakan bahwa pembesar suku Quraisy setiap minggu menyembelih
seekor unta. Namun, ketika anak yatim datang meminta sedikit daging unta yang disembelih itu,
para pembesar Quraisy tidak member daging, bahkan mereka menghardik dan mengusir anak yatim
tersebut. Realitas sosial inilah yang menghidupkan spirit al-Maun dan memperkenalkan ide setral
tauhid dan kemanusiaan serta keadilan sosial ekonomi. Spirit al-Maun itulah yang menggerakkan
Muhammad Saw, dalam melakukan transformasi sosio moral ekonomi masyarakat Arab
(Rahman,2003:3).

Bahkan dalam al-Qur’an juga dieksplisitkan bahwa Allah memuji dan menyejajarkan ibadah shalat
dengan menginfaqkan sebagian harta. Hal ini terekam dalam al-Qur’an surat al-Maarij ayat 19-25
yang menerangkan bahwa:

Artinya: “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang
yang mengerjakan shalat, mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam
hartanya trsedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak
mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” (QS. Al-Maarij:19-25)

Ayat tersebut mempertentangkan antara orang kikir, keluh kesah disatu sisi dan disisi lain orang
shalat sekaligus dermawan, menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan orang yang
membutuhkan. Dua macam sifat yang bertentangan tersebut merupakan dua kutub yang saling
berhadapan dan senatiasa hadir pada setiap komunitas sepanjang waktu.

Sikap dan perilaku memuliakan anak yatim dan sikap member makan orang miskin digambarkan
sebagai suatu perbuatan yang amat susah bagi orang-orang Quraisy, sehingga ayat menyebutnya
sebagai jalan yang mendaki. Apa yang dimaksud jalan mendaki (lihat QS. Al-Balad:11-16). Jalan ini
cenderung dihindari oleh manusia yang justru dikecam oleh al-Qur’an. Jalan yang mendaki adalah
membebaskan perbudakan, member bantuan kepada anak yatim dan orang miskin yang hidup
dalam penderitaan dan kesengsaraan. Dalam keadaan situasi seperti tersebut, manusia cenderung
rakus, cinta harta berlebihan, tidak lagi memiliki sikap kepedulian, suka menghardik, suka mencaci,
membiarkan anak yatim dan orang fakir miskin terloantar. Dalam kondisi seperti itulah al-Qur’an
surat al-Maun diturunkan.

Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang implikasi negatifnya melibatkan berbagai aspek;
terkait masalah-masalah kamanan, pendidikan, politik dan kesehatan. Sebagian bentuk nyata dari
problem kemiskinan adalah pengangguran, busung lapar, gizi kurang, kriminalitas, dan bunuh diri.
Berdasarkan pemahaman tentang al-Qur’an dan realitas social, Muhammadiyah menggiatkan urusan
menyantuni orang miskin, fakir dan anak yatim dalam bentuk; mendirikan rumah miskin dan panti
asuhan. Sebagai upaya konsistensi keberpihakan Muhammadiyah pada rakyat miskin, pada
muktamar tahun 2000 dibentuklah Lembaga Buruh, Petani dan Nelayan, sedang pada muktamar
2005 di Malang upaya ini lebih disempurnakan lagi dengan pembentukan Majelis Pemberdayaan
Masyarakat (MPM).

C. Bentuk dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah,

Ahmad Dahlan menerjemahkan teks-teks al-Qur’an kedalam kegiatan praksis social, amaliah, atau
tindakan. Inilah yang menjadi pembeda dengan tokoh-tokoh yang lain. Ia lebih menonjolkan aksi,
bukan menonjolkan pemikiran, tetapi tidak berarti Muhammadiyah mengabaikan pemikiran
keagamaan. Konsistensi di bidang gerakan social ini menjadi cirri khas, dan kemudian dikenal istilah
metode tafsir sosial dalam Muhammadiyah.

Teologi al-Ma’un diterjemahkan kedalam tiga pilar kerja atau tiga bentuk pelayanan yakni;
pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial. Tiga pilar tersebut secara praktis
dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Pelayanan Pendidikan

Seperti disebutkan pada uraian terdahulu, doktrin Muhammadiyah adalah pencerahan dan doktrin
amal salih. Konsekwensi dari doktrin ini adalah Muhammadiyah mencurahkan segala
kemampuannya untuk mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak atau Pendidikan
Usia Dini sampai ke Perguruan Tinggi. Besarnya apresiasi sejarah terhadap organisasi
Muhammadiyah tidak bias dilepaskan dari peranan Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan
di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri bahwa salah satu factor yang mendorong KH. Ahmad Dahlan
mendirikan cMuhammadiyah adalah keterbelakangan bangsa Indonesia dari segi pendidikan. Tentu
vproblem tersebut sekaligus mrnjadi problem umat Islam (Hanzah,1985;120).

Dewasa ini, Muhammadiyah mengelola lembaga pendidikan sebanyak 1132 Sekolah Dasr, 1769
Madrasah Ibtidayah, 1184 Sekolah Menengah Pertama, 534 Madrasah Tsanawiyah, 511 Sekolah
Menengah Atas, 263 Sekolah Menengah Kejuruan, 172 Madrasah Aliyah, 67 Pondok Posantren, 55
Akademi, 4 Politeknik, 70 Sekolah Tinggi, dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia
(Profil Muhammadiyah, 2005). Namun sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 2015, data
tentang lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah sebagai berikut: TK/TPQ: 4.623, SD/MI:
2.604, SMP/MTs: 1.772, SMA/SMK/MA: 1.143, Pondok Posantren: 67, dan Perguruan Tinggi: 172
(Profil Muhammadiyah, 2015).

Data tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah bekerja keras dalam melayani masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya dalam bidang pendidikan. Usaha kerja keras tersebut dimaknai
sebagai ibadah yang nilainya tidak kalah mulia daripada ibadah mahdha.

2. Pelayanan Kesehatan

Tahun 1918 telah berdiri Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) yang pada tahun 1921 menjadi
bagian khusus dalam Muhammadiyah. Pada tahun 1926, berdirilah klinik di Surabaya, malang dan
Surakarta atau Solo, selain klinik yang ada di Jokyakarta. Sekarang ini masalah pelayanan kesehatan
diurus oleh suatu majelis yang diberi nama Majelis Pembinaan kesehatan Umum. Dalam
mewujudkan visi muhammadiyah tahun 2025, salah satu usahanya adalah meningkatkan kualitas
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Sekarang, Muhammadiyah mengelola Rumah Sakit,
Rumah Bersalin, BKIA, BP dan lain sebagainya yang secara keseluruhan telah berjumlah 457 buah
(lihat profil Muhammadiyah, 2015). Semangat warga Muhammadiyah mendirikan amal usaha dalam
bidang kesehatan semakin tumbuh. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya putra-putri
Muhammadiyah yang kuliah di Fakultas Kedokteran (Syamsuddin, 2014:63)

3. Pelayanan Sosial

Dalam mewujudkan visi Muhammadiyah tahun 2025, usaha lainnya adalah memajukan
perekonomian dan kewirausahaan kea rah perbaikan hidup yang berkualitas. Selain masalah
pendidikan yang menjadi alas an utama KH. Ahmad Dahlan mendirikan muhammadiyah, masalah
ekonomi umat juga menjadi factor dominan pendorong lahirnya persyarikatan muhammadiyah. Jika
usaha pendidikan berusaha untuk mengubah situasi umat yang bodoh menjadi umat yang cerdas,
maka bidang ekonomi digarap dalam rangka mengubah keadaan masyarakat yang miskin menjadi
masyarakat yanga kaya atau paling tidak menjadi masyarakat yang berkecukupan.

Amal usaha dalam bidang kesejahteraan/kesehatan meliputi pembinaan anak yatim dan anak fakir
miskin, pembinaan daerah kumuh, daerah tertinggal, anak jalanan, pekerja anak, rumah sakit, rumah
bersalin, balai kesehatan masyarakat (Keputusan muktamar Muhammadiyah 43:162),
Pemberdayaan masyarakat, pendampingan usaha masyarakat tani dan nelayan.

Sampai tahun 2015, vamal usaha Muhammadiyah dalam bidang social meliputi: Panti Asuhan,
santunan, asuhan keluarga dan lain sebagainya sebanyak318, panti jompo: 54, rehabilitasi cacat: 82,
SLB: 71, Mesjid: 6.118. Majelis-majelis yang terkait dengan urusan social adalah: Majelis Pelayanan
Sosial, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan, Majelis Pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga
yang terkait adalah: Lembaga Penanganan Bencana dan Lembaga Zakat Infak dan Sedekah.

Muhammadiyah melalui MPM melaksanakan program pemberdayaan petani, pendapingan


kelompok-kelompok usaha micro, dan pemberdayaan masyarakat miskin, yang dilakukan dalam
berbagai usaha dan bentuk kegiatan, antara lain:

a. Pemberdayaan petani, yaitu pembinaan tata cara tanam yang menggunakan pupuk organic,
pelatihan dan penyediaan fasilitator pemberdayaan serta penyadaran fungsi penting pupuk
organic, dan lain-lain.
b. Pemberdayaan kelompok usaha mikro: MPM melakukan pendampingan terhadap kelompok
usaha mikro, misalnya; kelompok perempuan petani kakao, kelompok petani di Tasikmalaya
dan kelompok industry rumah tangga dan lain-lain.
c. Pemberdayaan kelompok miskin kota: MPM membuat pilot proyek pemberdayaan
pengemudi becak, dan lain-lain.

Dalam gerakan peduli pada anak yatim, Muhammadiyah aktif mendirikan panti asuhan di berbagai
daerah dan mervitalisasi panti asuhan dan lembaga-lembaga lainnya guna meningkatkan pelayanan
dan kepedulian pada anak yatim. Kelahiran panti asuhan adalah buah pengamalan atas pemahaman
KH. Ahmad Dahlan mengenai pentingnya memperhatikan dan mrnyantuni anak-anak yatim serta
fakir miskin dan anak-anak terlantar, sebagaimana terkandung dalam al-Qur’ansurat al-Ma’un
tersebut (Febriansyah, dkk.,2013:54-56-144).
D. Revitalisasi Gerakan Sosial

1. Revitalisasi Pendidikan

Indonesia adalah Negara yang mayoritas penduduknya muslim. Jauh sebelaum Islam dating,
pemduduk Indonesia mayoritas beragama Hindu, disamping agama-agama local yang tumbuh.
Setelah Islam datang, penduduk berubah menjadi mayoritas muslim terbesar di dunia. Faktor yang
menjadi pendorong transformasi agama adalah factor strategi dakwah yang mampu memikat hati
dan menawarkan jalan hidup yang memberi harapan lebih baik bagi masyarakat di kepulauan
nusantara ini. Kini, misi gerakan Islam sesungguhnya masih menghadapi tantangan besar, yakni
bagaimana membebaskan, memberdayakan, dan memajukan umat Islam maupun masyarakat
Indonesia dari berbagai ketertinggalan menuju kehidupan berkemajuan di segala bidang.

Tantangan gerakan Islam menjadi lebih berat ketika mereka behadapan dengan misi gerakan agama
lain yang lebih progresif dan sistimatis. Gerakan Islam diharapkan mampu menjadi alternatif.
Kerenanya, perlu meninjau ulang dan memperbaharui pesan, pendekatan, strategi dan langka-
langka gerakan Islam agar selain dapat merawat jumlah pemeluk umat secara kuatitas, sekaligus
mampu menjadi pemeluk Islam sebagai umat terbaik (Nashir: 2010).

Muhammadiyah memandang bahwa untuk membangun Indonesia yang berkemajuan, diperlukan


dukungan manusia yang cerdas dan berkarakter. Ikhtiar untuk membangun pendidikan yang
mencerahkan menjadi pilihan utama. Haedar Nashir (2010) mengatakan bahwa ikhtiar membangun
Indonesia berkemajuan menuntut pengembangan pendidikan yang mencerdaskan. Kutipan lengkap
dari pemikiran Nashir tersebut di bawah:

“Indonesia berkemajuan meniscayakan dukungan sumber daya manusia yang cerdas dan
berkarakter utama. Manusia yang cerdas adalah manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki
kekuatan akal budi, moral dan ilmu pengetahuan yang unggul untuk memahami realitas persoalan
serta mampu membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna bagi terwujudnya cita-cita
nasional. Manusia Indonesia yang cerdas memiliki fondasi iman dan takwa yang kokoh, kekuatan
intelektual yang berkualitas, kepribadian yang utama, dan menjadi pelaku kehidupan kebangsaan
yang positif sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sumber daya manusia
Indonesia yang cerdas dan berkarakter utama hanya dapat dihasilkan oleh sistim pendidikan yang
“mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pendidikan
tersebut dalam prosesnya tidak hanya menekankan pada kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung, tetapi sekaligus sebagai proses aktualisasi diri yang mendorong peserta didik untuk
memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan berkeadaban mulia. Karenanya, pendidikan nasional yang
selama ini berlaku harus direkonstruksi menjadi sistim pendidikan yang mencerahkan”.

Berikut ini penulis kemukakan uraikan tentang revitalisasi pendidikan Muhammadiyah yang
meliputi: Filsafat pendidikan muhammadiyah, Visi dan Misi Muhammadiyah, dan konsep pendidikan
Muhammadiyah.. Uraian tersebut dipaparkan sebagaimana berikut:

a. Rumusan filsafat pendidikan muhammadiyah

Pendidikan Muhammadiyah adalah penyiapan lingkungan yang memungkinkan seseorang tumbuh


sebagai manusia yang menyadari kehadiran Allah SWT sebagai Robb yang menguasai dan memiliki
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). Dengan kesadaran spiritual (iman) dan penguasaan
ipteks seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, peduli terhadap sesame,
menebarluaskan kemkmuran, mencegah kemunkaran, ramah lingkungan, beradab, mewujudkan
kesejahteraan dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT (Nshir, 2010: 63)

Pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan islam modern yang mengintegrasikan agama


dengan kehidupan social, iman dengan kemajuan yang holistik. Dari pendidikan Islam, diharapkan
lahir generasi muda Islam yang kuat iman dan kepribadiannya, sekaligus mampu menghadapi dan
menjawab tantangan zaman. Inilah pendidikan Islam yang berkemajuan (Nshir, 2010: 63)

Ayat kauniyah dan ayat qauliah merupakan kesatuan integral yang terus dikembangkan melalui
penelitian dan pengembangan berorientasi pada kemuliaan, kemanusiaan dan dalam alam
kehidupan yang lestari. Pengusaan ipteks adalah langkah awal dari tumbuhnya kesadaran makrifat,
sehingga pemikiran rasional adalah awal dari kesadaran spiritual makrifat ketuhanan. Pengabdian
ibadah kepada Allah meliputi ibadah yang terangkum dalam rukun Islam, penelitian dan
pengembangan ipteks, penataan lingkungan hidup, pembebasan setiap orang dari penderitaan
akibat kebodohan dan kemiskinan (Nashir, 2010: 64)

b. Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyah

Visi pendidikan Muhammadiyah adalah terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak
mulia, berkemajuan dan unggul dalam ipteks sebagai perwujudan tajdid dakwah amar ma’ruf nahi
munkar.

Misi dari pendidikan Muhammadiyah mencakup:

 Mendidik manusia memiliki kesadaran ketuhanan (spiritual makrifat).


 Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki etos tajdid, berpikir cerdas, alternative
dan berwawasan luas.
 Mengembangkan potensi manusia, berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wira usaha,
kompetitif dan jujur.
 Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan
keterampilan sosial, teknologi, informasi dan komunikasi.
 Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, kemampuan
menciptakan dan mengapresiasi karya seni budaya.
 Membentuk kader persyarikatan, umat dan bangsa yang ikhlas, peka, peduli dan
bertanggung jawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan (Nashir, 2010; 64).

c. Konsep Pendidikan Muhammaduyah

Nilai-nilai dasar Pendidikan Muhammadiyah

Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan merupaka wilayah yang sangat strategis
dalam rangka mewujudkan kemajuan umat dan bangsa. Lembaga pendidikan yang dikelola oleh
Muhammadiyah sudah bertahan lebih dari 100 tahun. Fakta ini menjadi argument bahwa
Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang tidak bisa dihitung nilainya pada perkembangan
bangsa Indonesia. Amal usaha ini pula yang menjadi pembeda antara Muhammadiyah dengan
organisasi lainnya. Hampir setiap daerah atau kabupaten berdiri bangunan sekolah Muhammadiyah.
Pendidikan muhammadiyah didasarkan pada lima nilai dasar yakni: pertama, pendidikan
Muhammadiyah dilaksanakan berdasrkan nilai al-Qur’an dan Sunnah. Nilai dasar dikembangkan
berdasarkan nilai kebenaran, nilai pencerahan, dan nilai budi pekerti yang baik (Nshir, 2010: 65). Hal
ini secara eksplisit telah terekam dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 44 bahwa:

Artinya: “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami,
mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari
binatang ternak itu)” (Al-Furqan: 44)

Berdasarkan telaah terhadap ayat tersebut, KH. Ahmad Dahlan mengeluarkan fatwah bahwa
“Manusia tidak menuruti, atau tidak memperdulikan sesuatu yang sudah terang benar bagi dirinya.
Maksudnya, dirinya sendiri. Pikirannya sendiri, sudah dapat mengatakan itu benar tetapi ia tidak
mau menuruti kebenaran itu karena takut mendapatkan kesukaran, takut berat dan takut
bermacam-macam yang dikhawatirkan. Nafsu dan hatinya sudah terlanjur rusak berpenyakitan
akhlak (budi pekerti), hanyut dan tertarik pada kebiasaan buruk (Hajid, 2005: 24-25). Kedua, nilai
ikhlas. Ikhlas menjadi dasar dalam mencari ridha Allah SWT. Ikhlas menjadi inspirasi dalam
ikhtiar mendirikan dan menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Ketiga, nilai kerja sama
(musyawarah) dengan tetap menjaga sikap kritis baik pada masa Hindia Belanda, Dai Nippon
(Jepang), orde baru hingga paska orde baru. Keempat, Nilai tajdid, yakni selalu memelihara dan
menghidup-hidupkan perinsip pembaruan (tajdid) inovasi dalam menjalankan amal usaha di bidang
pendidikan, dan yang Kelima, memelihara kultur memihak kepada kaum zuafa dan mustadhafin
dnegan melakukan proses-proses kreatif susuai dengan tantangan dan perkembangan yang terjadi
pada masyarakat Indonesia. (Nashir, 2010: 66).

Kehadiran Muhammadiyah sebagai gerkan Islam yang mengemban misi dakwah dan tajdid selama
perjalanan satu abad lebih, sungguh dituntut untuk meberi sibghah sekaligus mengubah jalan
kehidupan umat dan bangsa kea rah yang lebih berkemajuan. Di sinilah pentingnya gerakan
pencerahan yang menyinari penduduk negeri, sehingga Indonesia menjadi Negara dan bangsa yang
berkemajuan. Islam sesungguhnya agama yang mencerahkan kehidupan umat manusia (din at-
tanwir). Kehadiran Islam mebawa misi penting untuk mengeluarkan umat manusia dari segala
bentuk kegelapan (kejahiliyahan) menuju pada keadaan terang benderang. Takhrij min al-dhulumat
ila an-nur (QS, al-Baqarah: 257). Pesan-pesan Islam perintah iqra (QS. Al-‘Alaq: 1-5), al-Qur’an
sebagai hidayah, bayan, furqan (QS. Al-Baqarah: 189), agar setiap umat mengubah nasib dirinya dan
memperhatikan masa depan (QS. Ar-Ra’du: 11, al-Hasyr: 18), membebaskan kaum zu’afa dan
mustadh’fin (QS. Al-Ma’um: 1-7, al-Balad: 11-16), mejadi khalifah di muka bumi untuk membangun
dan tidak untuk merusak (QS. Al-Baqrah: 30, HUd: 61, al-Baqarah: 11), menunjukkan pesan inspiratif
Allah bahwaajaran Islam menawarkan pencerahan bagi umat manusia semesta.

2. Aspek-aspek pendidikan Muhammadiyah

Aspek pembelajar

Pendidikan muhammadiyah memberikan peluang untuk mengembangkan akal sehat pserta didik,
pada saat yang sama juga mendorong untuk menumbuhkan hati yang suci dalam diri peserta didik,
serta mendorong tumbuhnya soft skill (IQ, EQ, dan SQ). Terkait dengan masalah itu KH. Ahmad
Dahlan berpesan, akal manusia sesungguhnya suatu ketika akan menhadapi bahaya dan jika manusia
menghadapi hal yang demikian, ia telah memiliki perangkat untuk menghadapinya, yaitu hati yang
suci. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal harus menjaga bahaya akal yang merusak
kesucian hati (Nashir, 2010: 67)

2. Aspek pembelajaran

Pendidikan yang menghidupkan dan membebaskan memerlukan integrasi kritis antara legitimasi
normative (al-Qur’an dan Sunnah) dan realitas social. Pendidikan Muhammadiyah terkait dengan
nilai-nilai dasar Persyarikatan. Pendidikan muhammadiyah harus menjamin terciptanya lulusan yang
cerdas sekaligus berposisi sebagai kader organisasi demi kelangsungan Muhammadiyah itu sendiri.

Penyelenggaraan pendidikan muhammadiyah perlu meperhatikan nilai manfaat sebagai upaya


pemenuhan prinsip-prinsip sosio-kemanusiaan sehingga outputnya memiliki konstribusi nyata bagi
masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan muhammadiyah harus memperhatikan dimensi social
sehingga bermanfaat bagi kemanusiaan, harus memperhatikan demensi ideology sehingga
menjamin pencerahan peradaban sekaligus menjadi sarana terciptanya kader yang mampu
membaca tanda-tanda zaman (Nshir, 2010: 69)

3. Aspek pendidik

Pendidik dalam pendidian muhammadiyah terkait dengan kompetensi akademik, kompetensi


pedagogik, kompetensi atau komitmen ideology persyarikatan, kompetensi social dan kompetensi
kepribadian. Pendidik yang mengabdi pada lembaga pendidikan muhammadiyah memiliki
kompetensi dasar sebagai pendidik yang didukung oleh komitmennya pada persyarikatan
Muhammadiyah, nilai-nilai dan pemahaman keislamam sebagaimana yang dipahami oleh
Muhammadiyah.

Kemampuan komparatif yang dimiliki oleh pendidik akan menentukan arah perubahan peradaban.
Pendidik harus memiliki pengetahuan dasar mengenai pendidikan akhlak sebagai dasar untuk
menanamkan karakter pembelajar yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan bertujuan untuk
mengembangkan pendidik individu yang utuh dan pendidikan kemasyarakatan yang bertujuan untuk
menjamin kemajuan hidup bermasyarakat (Nashir, 2010: 70).

Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, pendidikan yang utuh adalah pendidikan yang
berkesinambungan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek. Antara
perasaan dan akal pikiran, serta antara dunia dan akherat (Hadikusumo, 1980: 5)

4. Aspek persyarikatan

Pendidikan muhammadiyah yang menghidupkan dan membebaskan dikaitkan dengan persyarikatan


adalah model pendidikan yang mapu mejadi media dan instrument bagi eksistensi dan
pengembangan kegiatan sosial kemanusiaan persyarikatan Muhammadiyah. Lembaga-lembaga
pendidikan Muhammadiyah sebagai instrument persyarikatan bersinergi untuk mencapai tujuan
terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Lembaga pendidikan perlu mengembangkan
misi persyarikatan dengan konsisten agar lembaga pendidikan benar-benar menjadi alat
persyarikatan untuk mencapai tujuannya. Ahmad Dahlan pernah berpesan, “Muhammadiyah
sekarang ini lain dengan Muhammadiyah yang akan dating. Maka teruslah kamu bersekolah
menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah guru, kembalilah ke Muhammadiyah, jadilah
dokter, kembalilah ke Muhammadiyah, jadilah insinyur dan kembalilah ke Muhammadiyah (Salam,
2009: 135)

5. Aspek Manajerial

Aspek manajerial yang dipakai dalam lingkungan persyarikatan Muhammadiyah disesuaikan dengan
prinsip-prinsip Islam disamping mengadopsi prinsip manajemen modern. Penerapan manajemen
modern seperti standarisasi, profesionalisme, impersonal, reward and punishment di satu sisi
memberikan dasar yang kuat, bagi eksistensi lembaga pendidikan Muhammadiyah. Tetapi pada sisi
lain, jika diterpkan secara kaku, manajemen modern akan merugikan persyarikatan muhammadiyah.
Dalam soal rekrutmen, misalnya, manajemen modern bisa jadi mengesampingkan aspek
pertimbangan ideologo persayrikata Muhammadiyah. Implementasi manajemen modern dalam
pengelolaan institusi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah harus dapat dikembalikan pada
prinsip-prinsip dasar yang telah disepakati oleh persyarikatan muhammadiyah.

6. Aspek kurikulum

Strategi pengembangan kurikulum berdasakan pada orientasi kebutuhan, Dimensi akademik dan
keorganisasian menjadi factor krusial dan inti dalam penentuan muatan kurikulum.
Pendekata backward curriculum harus dikedepankan agar prinsip religious ideologis dan humanities
dapat dipenuhi dalam kurikulum yang diterpkan dalam penyelenggaraan pendidikan
Muhammadiyah.

Muatan kurikulum dirancang berdasrkan pertimbangan kebutuhan dasar keilmuan, ildeologi


persayrikatan, dan pasar atau yang dibutuhkan masyarakat. Kurikulum Muhammadiyah harus
menganut prinsip desentralisasi yang mampu memberdayakan pendidik untuk mendinamisasikan isi
kurikulum secara maksimal. Pencapaian kurikulum pendidikan Muhammadiyah harus berorientasi
pada kompetensi dan berkelanjutan. Dalam pengelolaan lembaga pendidikan, Muhammadiyah tetap
memperhatikan kepentingan organisasi, bukan semata-mata
memperhatikan stakeholders. Keberadaan institusi pendidikan sebagai amal usaha ditempatkan
sebagai instrument dan wahana beramal sehingga pendidikan tidak diarahkan semata pada
pencapaian kompetensi, tetapi juga dalam kerangka pengkaderan persyarikatan.

7. Aspek kemasyarakatan.

Pendidikan muhammadiyah yang menghidupkan, mencerdaskan dan membebaskan dalam


pengelolaannya harus memihak kepada orang-orang lemah, orang-orang yang sengsara. Pendidikan
yang dikelola oleh Muhammadiyah harus mampu mengentaskan orang miskin (Nashir, 2010: 73).
Pembaruan dan pengembangan amal usaha pendidikan Muhammadiyah harus dimotivasi kembali
dengan semangat teologi al-Ma’un agar tidak sekedar menjadi lembaga pelayanan social yang
bersifat rutin, tetapi menjadi institusi pembebasan dan pemberdayaan terutama masyarakat dua’fa
(lemah, miskin) dan mustad’afin (termarginal, tersingkir, tertindas) (Nashir, 2010:421-422).

Revitalisasi kader Muhammadiyah

Revitalisasi kader merupakan langkah penataan, pembinaan, peningkatan dan pengembangan


anggota inti persyarikatan yang dapat melaksanakan misi, usaha dan pencapaian tujuan
Muhammadiyah. Tujuan revitalisasi ialah berkembangnya jumlah kualitas kader Muhammadiyah
yang berperan aktif dalam persyarikatan, umat, bangsa dan kemanusiaan universal sebagai
perwujudan pelaku dakwah dan tajdid. Dengan revitalisasi kader, diharapkan agar rekruitmen dan
pengembangan kader benar-benar menjadi komitmen organisasi secara menyeluruh, konsisten dan
didukung bebagai sumber dana, jaringan, dan dukungan optimal.

Kompetensi yang secara normative penting untuk diwujudkan dalam revitalisasi kader
muhammadiyah, antara lain: a) Kompetensi keberagamaan, dicirikan dengan nilai-nilai: kemurnian
aqidah, ketaatan beribadah, keikhlasan, shidiq, amanah (komitmen) danberjiwa gerakan. b)
Kompetensi akademik dan intelektual dicirikan dengan nilai-nilai: fathonah (kecerdasan), tajdid,
istiqamah, etos belajar, dan moderat. c) Kompetensi social kemanusiaan dan kepeloporan dicirikan
dengan nilai-nilai: kesalihan, kepedulian social, suka beramal, keteladanan, tabligh, inovatif, dan
berpikiran maju. Dan yang terakhir d) Kompetensi keorganisasian dan kepemimpinan dicirikan oleh:
penghidmatan dan partisipasi aktif dalam peran keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang
universal; menempati posisi apapun dengan semangat ikhlas, berdedikasi, berprestasi, dan
menghasilkan hal-hal terbaik; menjadi bagian yang menyatu dengan denyut nadi kehidupan
persyarikatan, umat dan bangsa sebagai wujud menjalankan misi organisasi; berkomitmen dan
menjunjung tinggi ideologi Muhammadiyah dan mampu bersikap tegas, tetapi arif dalam membela
serta menegakkan perinsip dan kepentingan persyarikatan; dan mengutamakan misi dan
kepentingan muhammadiyah di atas lainnya dengan niat ikhlas dan berhidmat.

Sumber :

AIK III : Kemuhammadiyahan

(Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah) Tahun
2016.

Anda mungkin juga menyukai