Referat
Referat
Disusun Oleh:
Dian Kurnia Dwi Saputri 1810029037
Muhammad Aris Indrawan 1810029035
Muhammad Ihsan 1810029043
Ermina Adriani 1810029028
Wisika Cakra Pradipta 1810029036
Salahuddin Al Ayubi 1810029044
Pembimbing:
dr.Daniel Umar, Sp.F., S.H.
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Referat Peran
Larva Lalat dalam Penentuan Waktu Kematian. Referat ini disusun untuk
mengetahui lebih jauh lagi tentang peranan entomologi forensik dalam menentukan
perkiraan waktu kematian dan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti program
Profesi Kedokteran di bagian Forensik RSUD Abdul Wahab Syahranie, Samarinda.
Dalam penulisan ini, penyusun juga ingin menghaturkan banyak terima
kasih kepada dr. Daniel Umar, Sp.F atas waktunya untuk membimbing penyusun di
sela-sela kesibukannya. Banyak ilmu yang penyusun dapat dari arahan beliau yang
bisa membantu dalam kehidupan penyusun.
Penyusun sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, oleh
sebab itu penyusun mengharapkan pembaca dapat memberi saran dan kritik yang
dapat membangun demi perbaikan tinjauan pustaka ini. Akhirnya, penyusun
berharap agar referat ini dapat bermanfaat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang entomologi forensik dan menjadi bekal di masa mendatang.
Penyusun
DAFTAR ISI
i
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
Daftar Gambar………………………....................................................................iv
BAB I Pendahuluan……………………………………………………………….1
1.2 Permasalahan...........................................................................................2
ii
BAB III Penutup …...............................................................................................28
Daftar Pustaka........................................................................................................29
DAFTAR GAMBAR
iii
Gambar 2.2.1 Ordo diptera............................................................................……8
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
dapat membawa bukti-bukti baru. Bukti yang tentunya dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah di pengadilan.4
Oleh karena itu, entomologi forensik cukup membantu di saat barang bukti
maupun bagian tubuh jenazah sudah tidak mendukung untuk penyidikan lebih
mendalam. Selain itu, bukti yang ditemukan menggunakan prinsip entomologi
forensik adalah legal dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam makalah ini kami
akan membahas mengenai entomologi dari definisi hingga kegunaannya dalam
penyidikan untuk menambah pengetahuan praktisi yang berhubungan dengan ilmu
forensik.
1.2 Permasalahan
Masalah- masalah yang diangkat pada referat ini adalah :
1. Apa saja jenis-jenis serangga yang mempunyai peran penting dalam
entomologi forensik?
2. Bagaimana prosedur pemeriksaan dalam entomologi forensik, meliputi
pengumpulan, pengawetan, dan pengemasan spesies?
3. Apakah kegunaan entomologi forensik dalam memperkirakan waktu
kematian?
2
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan mengenai entomologi forensik sehingga diharapkan dengan
mengetahui lebih mendalam tentang entomologi dapat membantu dalam
melaksanakan penyelidikan yang lebih mendalam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Definisi Entomologi
Entomologi kedokteran adalah ilmu yang mempelajari tentang vektor,
kelainan dan penyakit yang disebabkan oleh atropoda. Entomologi forensik adalah
ilmu pengetahuan tentang serangga dan arthropoda dalam kaitan dan aplikasinya
untuk kepentingan hukum. Ilmu tersebut dikaitkan dengan jenazah manusia sesuai
dengan tujuan utamanya untuk menentukan lama perkiraan waktu sejak
kematiannya.5,9
Entomologi forensik merupakan pemanfaatan serangga untuk
menginvestigasi sebuah kejahatan. Dalam hal ini, teknik yang digunakan adalah
mengidentifikasi jenis-jenis serangga pemakan bangkai (disebut nekrofagus) yang
muncul pada korban kejahatan. Kemampuan serangga sebagai perombak bahan
organik, termasuk mayat manusia, dimanfaatkan di dalam bidang kedokteran
forensik untuk mengetahui waktu kematian mayat (Postmortem Period
Investigation, PMI). 6
4
Entomologi forensik dibagi dalam tiga aspek, yaitu urban, stored-product,
dan medikolegal/medikokriminal. Aspek urban menekankan keberadaan serangga
hidup dalam lingkungan di sekitar manusia. Hal tersebut dapat berguna dalam
masalah hukum dengan ditemukannya serangga atau hama urban yang hidup pada
manusia baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Serangga tersebut dapat
menyerang tubuh dan kemudian menimbulkan kerusakan berupa luka yang dapat
diinterpretasikan salah sebagai tanda kekerasan yang terjadi sebelumnya.
5
mengasimilasi zat toksin yang terkumpul pada jaringan tubuh sebelum kematian.9
6
Cyclorrapha terdiri dari segolongan famili, tetapi hanya tiga famili lalat yang
berperan dalam entomologi forensik yaitu famili Calliphoridae, Sarcophagidae dan
Muscidae.13
2.2.1.2 Chrysomya
7
Lalat ditemukan di daerah tropis dan subtropics. Spesies yang terpenting
adalah Chrysomyia bezziana yang secara obligat merupakan parasit manusia atau
hewan, dan menimbulkan myiasis pada manusia. Lalat dewasa berukuran 8 mm-12
mm, warna biru, biru hiau atau biru muda. Rambut di dada bagian dorsal sedikit,
berbeda dengan genus Lucilia yang rambutnya banyak. Squama berambut banyak,
sebaliknya genus Lucilia tidak berambut. Setelah kopulasi, betina meletakkan
berates telur di mukosa, tepi luka atau langsung pada kulit yang luka. Setelah 8-24
jam akan menetas menjadi larva. Larva akan menembuts ke dalam jaringan dimana
mereka tinggal bersama-sama. Larva mempunyai kecenderungan masuk ke
jaringan yang lebih dalam sehingga memungkinkan sampai di otak bila telur
diletakkan di telinga, mata atau hidung. Menimbulkan bau yang busuk dan luka
yang hebat. Setelah 6-7 hari larva akan keluar dari luka, menjatuhkan diri ke tanah
dan menjadi pupa. Umur pupa kira-kira 1 minggu tergantung suhu. Lalat dewasa
ditemukan tidak hanya di sekitar luka, tetapi juga di bunga, sampah atau kotoran
binatang segar.14
8
bekas garukan, sekitar lubang hidung, mulut, vagina dan dapat juga menyerang
sinus.14
2.2.1.4 Lucilia
Lalat ini dikenal dengan nama “green bottle”, umumnya larva hidup di
bangkai. Lalat dewasa warna hijai, hijau-biru atau merah kehijauan. Rambut di
dada dorsal banyak, squama tidak berambut. Larvanya sulit dibedakan dari genus
Calliphora, dan hanya dapat dibedakan kalau dibiarkan menjadi dewasa. Lalat
dewasa menyukai kotoran hewan, sampah busuk dan bangkai.14
2.2.1.5 Calliphora
Lalat ini dikenal dengan nama “blue bottle”. Larvanya menyukai bangkai,
jarang menimbulkan myiasis. Lalat dewasa memiliki rambut di dada dorsal, dan
squama berambut.14
9
Gambar 2.2.1.5 Calliphora
10
memiliki warna metalik. Larva maturnya memiliki panjang 5-12 mm dan berwarna
putih hingga kekuningan.15 Famili ini biasanya muncul pada tubuh mayat sesudah
blow flies dan flesh flies. Mereka juga meletakkan telur-telurnya pada lubang-
lubang yang ada pada tubuh.
11
Tabel.2.3 Siklus hidup lalat mayat ( Black Carrion Fly) dari telur hingga menjadi lalat dewasa 16
12
Gambar. 2.3 b Hipotesis perkembangan lalat
a. Telur
Telur lalat bervariasi bentuk dan ukurannya. Lalat biasanya
meletakkan telurnya secara berkelompok yang dapat mencapai 40-200 telur
sekali bertelur. Telur lalat akan menetas menjadi larva kira-kira setelah 1
hari.
b. Larva
Larva lalat tidak memiliki kaki (legless larva / apodous). Larva akan
mengalami pengelupasan kulit sebanyak tiga kali sebelum akhirnya
bermigrasi untuk menjadi pupa. Terdapat tiga perkembangan larva lalat:
1st instar
Stadium ini membutuhkan waktu paling sedikit diantara
stadium lain. Kebanyakan larva lalat membutuhkan waktu 11-38
jam untuk menyelesaikan stadium ini sejak telur menetas, dengan
puncak pertumbuhan pada 22-28 jam. Panjang larva pada stadium
ini mencapai kurang lebih 5 mm atau seukuran bulir nasi.
2nd instar
Kebanyakan larva menyelesaikan 11-22 jam sejak 1st instar
untuk kemudian menjadi 3 rd instar. Larva membentuk koloni yang
disebut “maggot mass” dan menyebabkan temperature di sekitar
larva sedikit meningkat yang disebut maggot mass temperature.
Panjang larva pada stadium ini kurang lebih 10 mm dan mulai
terbentuk spirakel posterior untuk respirasi.
3rd instar
Stadium ini adalah stadium terlama yang dibagi menjadi dua
tahap. Tahap pertama larva melanjutkan memakan mayat sampai 20-
96 jam, pada tahap ini larva memiliki empat spirakel posterior dan
13
mencapai panjang kurang lebih 17 mm. Tahap kedua akan
berlangsung 80-112 jam. Setelah larva berhenti makan, kemudian
akan berpindah ke daerah yang lebih kering untuk memulai stadium
pupa. Larva berubah warna agak coklat kemerahan.
c. Pupa
Diperlukan waktu kira-kira 10 hari dalam puparium, untuk
transformasi dari larva menjadi lalat dewasa. Tahap pupa dapat bertahan
dari keadaan panas, dingin ataupun banjir.
d. Dewasa
Setelah 3 hari, larva yang sudah berubah menjadi bentuk lalat dewasa
akan keluar dari pupa dan dapat memulai siklus hidupnya lagi dengan
bertelur.14
14
Kumpulkan kira-kira satu sendok makan penuh sertangga dari minimal 3
lokasi berbeda dari tempat kejadian perkara dan untuk serangga dari tubuh
mayat, letakkan pada 3 wadah bertutup yang bening.
Jangan memasukkan serangga ke dalam isopropyl atau formalin, sebagai
gantinya gunakan ethanol 98% bagi setengah dari jumlah serangga yang
kita kumpulkan.
Matikan serangga dengan air panas sebelum meletakkannya dalam ethanol.
Masukkan setengah jumlah spesimen pada pendingin.
Lengkapi setiap wadah sampel dengan label yang dilengkapi dengan
informasi tanggal, inisial, waktu dan lokasi.
Konsultasikan dengan entomology forensik yang berpengalaman untuk
setiap pertanyaan yang timbul saat pengumpulan sampel dan
pemrosesannya.
Identifikasi dan analisa harus dilakukan dengan bantuan entomolog.9
15
Serangga sebaiknya dibawa ke ahli entomologi forensik sesegera mungkin
untuk mempertahankan kontinuitasnya. Serangga ini dikemas dalam sebuah kotak
yang mempunyai banyak udara dan berada dalam posisi tegak.11
a. Telur
b. Larva
16
tiga puluh, diawetkan satu atau dua. Pengawetan spesimen dilakukan dengan cara
mencelupkannya ke dalam air panas selama beberapa menit kemudian
dimasukkan ke dalam alcohol70% atau isopropyl alcohol 50%. Perlu diingat
bahwa sebagian larva harus tetap hidup. Sampel sebaiknya mengandung seratus
larva (setiap ukuran jika mungkin). Spesimen yang hidup ditempatkan dalam botol
kecil dengan udara dan makanan sama seperti telur.17
c. Pupa
Siklus pupa sangat penting dan sangat mudah hilang. Pupa dimasukkan ke
dalam botol kecil yang disertakan dengan selembar tissue untuk mencegah
kerusakan. Dapat pula dilembabkan dengan air tapi hati-hati jangan sampai
tenggelam. Pupa tidak boleh diawetkan. Mereka tidak akan berkembang dan
hamper tidak mungkin dapat diidentifikasi sampai pupa tersebut berubah menjadi
dewasa.17,19
d. Lalat Dewasa
Lalat dewasa tidak terlalu penting. Lalat dewasa ini hanya digunakan
sebagai indikasi untuk menentukan jenis serangga mana yang langsung
berkembang dari mayat dan jenis serangga mana yang berasal dari tempat
lain..Lalat ini dapat dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam botol kecil tanpa air
dan makanan.17
17
langsung sehingga diperoleh larva yang lemas. Selain itu larva cenderung berubah
warna menjadi hitam dibandingkan dengan metode yang direndam terlebih dahulu
dengan air panas. Perubahan warna ini mengakibatkan identifikasi larva lebih sulit.
Hasil pengawetan dengan formalin 10% diperoleh larva yang baik untuk
kepentingan identifikasi namun tidak lebih baik dari larva yang dibunuh dengan air
panas. Pengawetan larva dengan formalin menyebabkan jaringan menjadi rapuh
sehingga tidak dianjurkan untuk keperluan analisis molekuler kecuali untuk
kepentingan pembuatan preparat histologik Berbeda dengan pengawetan larva, lalat
dewasa diawetkan dalam bentuk kering. Pengawetan ini merupakan metode standar
yang praktis untuk insekta. Namun, S HAUFF (2001) menyatakan bahwa
pengawetan ini tidak sesuai untuk jenis diptera karena dapat menyebabkan
kerusakan pada kepala, kaki, dan antena yang mudah menjadi patah.20
Ketika menyelidiki suatu kasus kematian, beberapa pertanyaan utama yang
dibutuhkan dan harus dijawab oleh ahli entomologi forensik adalah :5
1. Serangga jenis apa yang terdapat pada tubuh?
2. Spesimen mana yang paling tua?
3. Berapa umur spesimen yang tertua?
4. Apakah suhu lingkungan di tempat kejadian sesuai ketika lalat
berkembang pada tubuh mayat ?
Faktor-faktor lain yang sebaiknya diketahui pada suatu kasus kematian
yang mempengaruhi pada saat pengambilan sample yaitu : 4
a. Habitat
- Lokasi umum : apakah hutan, pantai, rumah, atau pinggir jalan.
- Vegetasi : pepohonan, rumput, atau semak-semak.
- Jenis tanah : berbatu-batu, berpasir, atau berlumpur
- Cuaca pada saat pengumpulan specimen : panas terik atau berawan.
- Suhu.
- Lokasi kejadian : teduh atau di bawah sinar matahari langsung.
b. Jenazah
- Keberadaan dan tipe pakaian.
18
- Penyebab kematian jika diketahui, apakah ada darah atau cairan tubuh
disekitarnya.
- Keberadaan luka dan jenisnya.
- Keberadaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi kecepatan
dekomposisi.
c. Posisi jenazah
- Tahap-tahap dekomposisi.
- Keberadaan larva dan jumlahnya.
- Keberadaan daging atau bangkai di sekitar jenazah yang mungkin dapat
menarik serangga.
d. Mencatat keadaan yang tidak umum, yang disebabkan oleh manusia, dan
tanda sudah terdapatnya tanda pembusukan.
2
2.5 Kegunaan Entomologi Forensik
Entomologi forensik digunakan untuk membantu penanganan kasus
kriminal untuk menentukan interval postmortem dan perkiraan waktu kematian.
Interval postmortal merupakan hal yang penting dalam penyelidikan kasus
pembunuhan dan kematian tidak wajar lainnya. Hasil investigasi dapat membantu
mengungkapkan kasus kejahatan dengan menyingkirkan tersangka atau
menghubungkan kematian seseorang dengan interval waktu tertentu. Jika
identifikasi spesies tidak tepat maka perkiraan interval postmortal menjadi tidak
tepat pula. Secara umum kegunaan Entomologi forensik adalah:21
1. Memperkirakan Interval Postmortem
Perubahan postmortem pada tubuh mayat dipengaruhi beberapa faktor,
sehingga interval postmortem akan sulit ditentukan. Perubahan biologi dan fisik
yang merupakan fungsi yang masih terjadi setelah kematian merupakan petunjuk
dalam menentukan saat kematian. Namun pada kasus kematian yang telah
berlangsung lama metode tersebut menjadi tidak berguna dan petunjuk yang tepat
didapat dari informasi entomologi. Mayat yang mengalami pembusukan dapat
mempengaruhi perilaku dan komposisi spesies di sekitarnya. Telah banyak
19
dilakukan pengamatan terhadap serangga-serangga yang berkaitan dengan proses
pembusukan mayat. Salah satu proses ini adalah perkembangan spesies yang
memakan bangkai, contohnya adalah lalat dari famili Calliphoridae,
Sacrophagidae, dan Muscidae, yang merupakan serangga yang umum ditemukan
pada mayat. Perkiraan umur serangga yang imatur yang telah memakan bangkai
menunjukkan interval postmortem yang pendek karena, dengan pengecualian yang
sangat jarang, lalat betina dewasa tidak meletakkan anak mereka pada inang yang
masih hidup. Tergantung pada spesies serangga dan kondisi tempat kejadian,
stadium perkembangan larva dapat menunjukkan interval postmortem 1 hari
sampai lebih dari 1 bulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
serangga pada mayat adalah: 21,22
a. Karakteristik spesies
Implikasi penting untuk memperkirakan interval postmortem adalah
bahwa spesies serangga pada bangkai berbeda dalam kecepatan
pertumbuhan dan waktu tiba di bangkai.
b. Iklim dan cuaca
Temperatur memiliki peran penting pada kecepatan pertumbuhan dan
metabolisme serangga. Perkembangan serangga akan semakin cepat
apabila temperaturnya meningkat.
c. Tipe makanan
Beberapa lalat bangkai dapat berkembang biak dalam beberapa macam
tipe makanan. Contohnya Megaselia scalaris yang dapat memakan
invertebrata yang hidup maupun yang sudah mati. Lucilia sericata
tumbuh lebih lambat pada medium sayuran daripada medium daging.
d. Obat-obatan dan racun
Korban yang meninggal karena bahan kimia seperti bunuh diri atau
overdosis obat-obatan memiliki efek pada serangga pemakan bangkai.
Pertumbuhan serangga dapat cepat atau lambat tergantung dari
konsentrasi zat kimia tersebut.21
Pada hampir semua kasus, sampel serangga yang terkumpul berguna untuk
memperkirakan waktu kematian. Keadaan mati adalah unik sehingga tidak ada satu
algoritme terbaik untuk memperkirakan waktu kematian. Salah satu cara untuk
memperkirakan interval postmortem adalah dengan mengamati tahap
20
perkembangan serangga tersebut. Model referensi untuk perkembangan spesies
adalah kurva pertumbuhan, perkiraan terbaik usia larva tergantung pada ukuran
kurva. Garis mendatar dari nilai panjang atau berat larva akan memotong kurva
yang di bawahnya yang merupakan nilai usia. Kurva pertumbuhan belatung
berbentuk huruf "S", yang menunjukkan berat berdasarkan usia, dengan
pertumbuhan yang lambat pada 2 stadium larva yang pertama dan menurun lambat
pada saat penghentian makan oleh stadium ketiga clan munculnya pupa. Pada
daerah kurva yang landai ini merupakan bagian yang berguna untuk
memperkirakan usia.
21
mayat (stadium pembusukan dan kaku mayat) dapat ditentukan apakah mayat
dipindahkan dari tempat sebelumnya atau tidak.1
4. Menentukan sebab kematian
Seiring berjalannya waktu dan proses pembusukan, akan semakin sulit
untuk melakukan uji darah, urin, atau isi lambung untuk mencari sebab kematian.
Meskipun begitu, karena belatung memakan mayat, dimungkinkan untuk
mendapatkan informasi tersebut dari belatung yang ditemukan. Hal ini dapat
membantu menentukan sebab kematian. Pemeriksaan toksikologi dapat dilakukan
pada larva serangga karena jaringan larva mengasimilasi racun yang terakumulasi
dalam jaringan tubuh mayat.1 Serangga seringkali memulai pembentukan koloni
dari lubnag-lubang alami di tubuh mayat baru kemudian memasuki bagian dalam
mayat, kecuali bila terjadi perlukaan terbuka pada permukaan tubuh mayat. Bila
didapatkan kolonisasi serangga di tempat yang tidak biasa, maka dapat
dimungkinkan bahwa telah terjadi perlukaan terbuka pada tempat tersebut.1
22
jaringan tubuh atau mayat telah dipindah dari suatu lokasi ke lokasi
lain.Entomologi tidak hanya bergelut dengan biologi dan histologi artropoda,
namun saat ini entomologi dalam metode – metodenya juga menggeluti ilmu lain
seperti kimia dan genetika termasuk melalui DNA. Hal ini memungkinkan untuk
mengidentifikasi jaringan tubuh atau mayat seseorang melalui serangga yang
ditemukan pada tempat kejadian perkara.22,23
Terdapat 2 metode utama untuk menentukan waktu kematian dengan
menggunakan serangga, yaitu: (1) menggunakan laju perkembangan, dengan
mempertimbangkan temperatur serangga yang pertama kali berkoloni. Metode ini
dapat digunakan sampai beberapa minggu pertama kematian. (2) menggunakan
perubahan komunitas bakteri yang berkoloni pada mayat dari waktu ke waktu, dan
metode ini dapat digunakan dari 3 minggu sampai dengan 1 tahun setelah
kematian. 22
23
terbuka. Kecenderungan ini akan mengakibatkan berubahnya bentuk luka atau
bahkan hancurnya daerah sekitar luka. Telur lalat umumnya terdeposit pada mayat
segera setelah kematian pada siang hari. Bila mayat tidak dipindahkan dan hanya
telur yang ditemukan pada mayat, maka dapat diasumsikan bahwa waktu kematian
berkisar antara 1 - 2 hari. Angka ini sedikit variatif, tergantung pada temperatur,
kelembapan dan spesies lalat. Setelah menetas, larva berkembang sehingga
mencapai tahap pupa. Tahap ini memakan waktu 6 - 10 hari pada kondisi tropis
biasa. Lalat dewasa keluar dari pupa pada 12 - 18 hari. Banyak variabel yang
mempengaruhi perkembangan serangga, karenanya suatu usaha memperkirakan
saat kematian dengan menggunakan metode dari entomologi, harus dibantu oleh
seorang ahli entomologi medik.2
24
terdeposit sangat jauh di dalam rongga tubuh. Telur blowfly memiliki panjang
sekitar 2 mm, dan berwarna putih atau kuning. Fleshflies dapat datang pada waktu
yang sama atau beberapa jam setelah blowflies. Seperti yang telah disebutkan
Fleshflies mendepositkan larva hidup di tubuh. Pada tahap ini mereka dapat
menjadi mangsa bagi lalat dewasa. Semut juga dapat muncul dan memangsa telur
dan belatung.
Selama tahap ini ada beberapa metode yang digunakan untuk
memperkirakan PMI (post mortem interval). Telur dikumpulkan, kemudian dibawa
ke laboratorium. Di laboratorium para peneliti harus menciptakan kondisi
lingkungan seperti saat tubuh itu ditemukan. Beberapa peneliti menyarankan hati
sapi sebagai sumber makanan yang baik untuk pembiakan belatung. Telur menetas
dan munculah lalat dewasa. Beberapa lalat dewasa dikumpulkan dan diidentifikasi.
Siklus kedua mungkin terjadi sehingg penyelidik harus mencatat waktu yang tepat
dari masing-masing tahap dan total lamanya waktu yang diperlukan untuk satu
siklus lengkap.
Siklus hidup lalat terdiri dari lima tahap. Yang pertama adalah telur. Kedua
tahap tiga instar, masing-masing menghasilkan belatung yang lebih besar. Yang
keempat adalah tahap pra-pupa di mana belatung meninggalkan tubuh dan
mencoba untuk membungkus diri di daerah di mana ia akan menjadi kepompong
dan menjadi lalat dewasa. Tahap pembentukan pupa adalah tahap kelima dan
terakhir. Tahap tiga instar diidentifikasi melalui morfologi dari mulut dan spirakel
posterior. Belatung hidup yang ditemukan dikumpulkan dan dibandingkan dengan
kecepatan pertumbuhan. Bagaimanapun juga, kecepatan pertumbuhan ini
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan spesies dari lalat itu sendiri.
2. Bloated Stage
Tahap ini dibedakan dari terdapatnya produksi gas oleh bakteri yang
memecah jaringan. Telur lalat akan menetas dan larva secara aktif berkontribusi
terhadap dekomposisi melalui peningkatan aktivitas pengrusakan jaringan yang
dapat mengakibatkan peningkatkan suhu tubuh hingga 127 derajat fahrenheit .
Semakin tinggi suhu tubuh lebih banyak aktivitas bakteri yang terjadi.
3. Decay Stage
25
Pada decay stage, kulit telah pecah dan cairan tubuh menyerap ke area
sekitarnya. Belatung (larva) akan berhenti makan dan pergi dari tubuh. Belatung
berada dalam tahap instar ketiga selama fase ini. Belatung akan bergerak lepas dari
tubuh secara massal atau individu tergantung dari spesiesnya. Beberapa akan
bergerak sejauh 20 meter dari tubuh. Kumbang menjadi serangga yang paling
umum pada akhir fase ini.
4. Post-Decay stage
Pada tahap post decay yang paling banyak ditemukan pada tubuh adalah
kumbang. Spesies akan bervariasi sesuai dengan kondisi. Beberapa kumbang tidak
dapat hidup dalam kondisi basah sementara yang lainnya membutuhkan kondisi
lembab.
5. Skeletal Stage
Pada tahap ini hanya serangga tanah yang dapat ditemukan. Pada tahap ini
penting untuk mengambil contoh tanah dari bawah tubuh sampai jarak 3 kaki dari
tubuh.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Entomologi forensik mengevaluasi aktifitas lalat dengan berbagai teknik
untuk membantu memperkirakan saat kematian dan menentukan apakah jaringan
tubuh atau mayat telah dipindah dari suatu lokasi ke lokasi lain. Penetuan waktu
kematian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi umur lalat maupun telur yang
26
ada pada mayat, sehingga dapat memperkirakan dengan lebih tepat waktu kematian
mayat tersebut. Untuk menentukan apakah suatu mayat telah dipindahkan dari
lokasi pembunuhan yang sebenarnya dapat dilakukan dengan mengidentifikasi lalat
yang terdapat pada mayat dan dibandingkan dengan serangga serupa yang terdapat
di sekitarnya. Identifikasi terutama secara molekular akan diperoleh data apakah
lalat yang terdapat pada mayat berasal dari daerah tempat mayat tersebut
ditemukan ataukah berasal dari tempat lain, karena pada dasarnya bahkan serangga
yang sejenis dapat memiliki variasi genetik yang berbeda antara lokasi satu dengan
yang lain.
Entomologi medik termasuk di dalamnya entomologi forensik terus
berkembang pesat, dan jasa entomolog medik amat dibutuhkan. Keahlian tenaga
entomolog dibutuhkan dalam penyidikan, di peradilan maupun dalam pengawasan
bidang kedokteran untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Walau di
Indonesia bidang ini belum sepopuler ilmu medik yang lain, namun dengan era
informasi dan globalisasi saat ini, trend entomologi diharapkan akan sepopuler
disiplin entomologi di bagian dunia yang lain.
3.2. Saran
Penentuan saat kematian merupakan hal yang penting dalam identifikasi
jenazah sehingga diperlukan pengetahuan yang mendalam oleh tenaga medis dalam
mengetahui tanda-tanda khusus pada jenazah, salah satunya dengan melihat siklus
hidup lalat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh jenazah.
DAFTAR PUSTAKA
27
3. Hadley D. An Early History of Forensic Entomology, 1300-1900. 2010.
Available at: www.about.com
4. Anderson S Gail. Forensic entomology [online]. 2008. [cited on 2018 Oktober 31].
Available from : URL http://www.remp-learning.orgdocsecdd0030.htm
5. Anonym. Forensic entomology [online].2008 [cited on 2018 Oktober]. Available
from URL : http://www.wikipedia.orgwikiforensic_entomology.htm
6. Goff, L. 2003. Forensic Entomology. Dalam: V.H. Resh & R.T. Carde (editor),
Encyclopedia of Insects, Academic Press, Amsterdam, halaman 919 – 926.
7. Benecke, M. 2001. A brief history of forensic entomology. Forensic Science
International 120: 2-14..
8. Jiron, L.F. and V.M. Cartin. 1981. Insect succession in the decomposition of a
mammal in Costa Rica. Journal of the New York Entomological Society
89: 158-165.
9. Gail. S, dr. Forensic Entomology : The Use of Insect in Death Investigation. 1998
[cited 2018 Oktober 31]. Available from URL : http://www.remp-learning.org
10. Serangga. In Scribd. [serial online]. 2010 [cited 2018 Oktober 31]. Available
from : http://www.scribd.com/doc/13066004/Insecta
11. Meyer Jhon R. Diptera. Department of Entomology NC State University: 2005
[cited 2018 Oktober 31]. Available from:
http://www.cals.ncsu.edu/course/ent425/compendium/diptera.html
12. Isfandiari Adelia B. Perbedaan Genus Larva Lalat Tikus Wistar Mati pada Dataran
Tinggi dan Rendah di Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. 2009.
13. Hendratno S. Entomologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Semarang. 2002.
14. Bullington, Stephen. Forensic Entomology. 1998 [cited 2018 Oktober 31].
Available from URL: http://www.FORENSIC-ENT.com
15. Putri AA. Entomologi Forensik. Available from URL:
http://www.scribd.com/doc/132078852/Entomologi-Forensik
16. Dadour, Ian and Cook, David. Forensic Entomology, Collecting From A Corpse.
Available on : agspsrv34.agric.wa.gov.au/ento/forensic.htm.
17. Putra NS. Entomologi forensic : satu lagi manfaat serangga bagi kepentingan
manusia. 2009 [cited 2018 Oktober 31]. Available from :
http://ilmuserangga.wordpress.com/2009/12/23/entomologi-forensik-satu-lagi-
manfaat-serangga-bagi-kepentingan-manusia/
18. Brandt, Amoret and Hall, Martin. Forensic Entomology. Natural History Museum.
London. 2006. Available on : www.scienceinschool.org/2006/issue2/forensic/
28
19. Suwondo, dkk. Pengawetan Sampel untuk Kepentingan Forensik. 2008. [cited
2018 Oktober 31] . Available from :
http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/jitv/jitv84-8.pdf
20. Morten Staerkeby. What is Forensic Entomology? 2002 [cited 2018 Oktober].
Available from URL: http://forensic-entomology.com
21. Idries AM, et al. Peran Ilmu Kedokteran Forensik dalam proses penyidikan.
Jakarta : Sagung Seto, 2008. Page : 190 – 210.
22. Gennard DE,Wiley J and Sons. Forensic Entomology : An Introduction.
Chichester, United Kingdom, 2007.
29