Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH TENTANG PUASA

Mata Kuliah“FIQIH IBADAH”

Disusun Oleh:

Agus Masrifin 142131016

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2016
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Ibadah puasa terdapat hamper seluruh agama baik dalam agama samawi ataupun
agama ardhi. Oleh karena itu ibadah puasa ini telah dikenal di kalangan orang-orang agama
budaya dulu kala. Hal tesebut tercermin dalam firman Allah SWT.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Islam mengajarkan diri kita untuk saling menghargai dan saling menyayangi, islam
juga mengajarkan diri untuk berbuat kebaikan dan menjahui segala keburukan yang dapat
merusak. Puasa merupakan media pembelajaran bagi umat islam untuk menambah keimanan
dan ketaqwaannya.

RUMUSAN MASALAH

1) hal yg membolehkan tidak berpuasa


2) hal yang membatalkan puasa
3) hal yang mengurangi pahala puasa
BAB II

PEMBAHASAN

1) Hal yg Membolehkan Tidak Berpuasa

Bepergian (Safar)

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi :”Maka barang
siapa di antara kamu dalam keadaan sakit atau sedang bepergian maka dia boleh
meninggalkan puasa dan menggantinya dihari lain”.

1. Safar yang memperbolehkan berbuka adalah safar yang berjarak minimal kira-kira 89
km. Safar ini, menurut jumhur (mayoritas) ulama, harus dilakukan sebelum terbitnya
matahari. Jika dia telah berpuasa saat memulai perjalanan (karena dia memulai
perjalanannya sehabis Subuh), maka dia tidak boleh membatalkan puasanya. Kendati
begitu jika ternyata dia tidak mampu menuntaskan puasanya karena perjalanan yang
amat melelahkan, maka dia boleh berbuka dan wajib mengqadha’nya, sebagaimana
hadis riwayat Jabir: “Bahwasanya Rasulullah berangakat menuju Makkah pada ‘Aam
al-Fath. Sampai masuk kawasan Kurâ’ al-Ghamîm (nama sebuah jurang di Asfân,
dataran tinggi Madinah) Nabi masih berpuasa, maka para sahabat pun ikut berpusasa.
Kemudian Rasul mendengar laporan bahwa “rombongan sudah merasa amat berat
untuk meneruskan puasa, hanya saja mereka menunggu apa yang dilakukan Rasul”.
Maka lantas Rasul mengajak meminum air sehabis Asar. Anggota rombongan pada
memperhatikannya, ada sebagian yang ikut membatalkan puasa, dan sebagian lain ada
yang masih tetap bertahan meneruskan puasanya. Setelah diberitahu bahwa masih ada
yang berpuasa, maka Rasul pun bersabda: “Mereka yang tidak membatalkan puasanya
itu orang-orang yang keras”. Hadis ini menunjukkan bahwa seorang musafir boleh
berbuka dalam perjalanannya sekalipun dia sudah memulai puasanya pada hari itu.
2. Ulama Hambaliyah membolehkan musafir berbuka sekalipun dia baru memulai
perjalanannya pada siang hari sebagaimana riwayat Abu Dawud dari Abu Bashrah Al-
Ghiffâri yang pernah membatalkan puasanya dalam perjalanan, dan ia berkata bahwa
“hal itu merupakan sunnah Rasul.”
 Ulama Syafi’iyah, ada satu syarat lagi yaitu hendaklah orang yang bepergian tersebut
bukan termasuk orang yang selalu bepergian seperti sopir. Dia tidak boleh berbuka
kecuali jika dia betul-betul menemui masyaqqah (kepayahan) yang luar biasa.
 Jumhur ulama selain Hanafiyah ada dua syarat lain lagi, yaitu:
1. Perjalanan yang dilakukan bukan untuk kemaksiatan. (Hanafiyah
memperbolehkan membatalkan puasa sekalipun perjalanan itu demi
kemaksiatan)
2. Tidak berniat untuk menetap di tempat tujuan selama 4 hari.
 Ulama Malikiyah menambah syarat lain: berniat tidak berpuasa pada malam harinya.

***
Seandainya seorang musafir telah memulai puasanya sampai pagi hari, lantas ia hendak
membatalkannya? Menurut jumhur ulama hal itu tidak jadi soal dan dia tidak berdosa.
Namun tetap wajib mengqadha’nya sebagaimana Rasul pernah melakukan hal yang sama,
seperti yang ditunjukkan hadis di atas. Sementar ulama Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa hal itu tidak boleh dan ia berdosa jika melakukannya serta wajib
mengqadha’nya dan membayar kafarat.

Mana yang lebih baik bagi musafir, berpuasa atau tidak? Menurut ulama Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi’iyah, berpuasa lebih baik jika tidak ada sebab yang mendesak untuk
membatalkan puasa.

Hanafiyah menambahkan, bila sesama rombongan musafir pada membatalkan puasa, atau
bekal mereka jadi satu, maka lebih baik membatalkan puasanya. Namun jika keadaan tidak
memungkinkan untuk melanjutkan puasa maka wajib hukumnya membatalkan puasa. Dalil
yang melandasi pendapat mereka adalah firman Allah: “Dan berpuasalah karena itu lebih
baik bagi kalian”.

Lain lagi dengan Hanbaliyah yang men-sunnatkan untuk membatalkan puasa dan
memakruhkan berpuasa sekalipun tidak ada masyaqqah sama sekali, berdasar sabda
Rasulullah (dalam hadis di atas) “Mereka yang tidak membatalkan puasanya itu orang-orang
yang keras.” Diperkuat lagi dengan riwayat Syaikhain Bukhari dan Muslim bahwa Rasul
bersabda: “Berpuasa dalam perjalanan bukanlah termasuk perbuatan yang baik”.
Menurut penulis (Wahbah al-Zuheily–pent), pendapat jumhur lebih bisa diterima, setidaknya
karena dua alasan: (1) karena sesuai dengan firman Allah: “dan berpuasalah karena itu lebih
baik bagi kalian”, dan (2) kisah dalam hadis di atas terjadi saat ‘Aam al-Fath, yaitu ketika
terjadi perang.

***
Kalaupun musafir itu memperoleh rukhsah (kemudahan) tidak berpuasa dalam bulan
Ramadhan, secara implisit hal itu menunjukkan ia juga tidak boleh berpuasa wajib selain
Ramadhan. Karena diperbolehkannya ia tidak berpuasa Ramadhan, itu sekedar
kemurahan/kemudahan (rukhsah). Maka jika ia tidak mau mengambil kesempatan rukhsah
tersebut ia harus kembali pada hukum asalnya: wajib berpuasa Ramadhan. Sehingga, jika
seorang musafir atau orang sakit melakukan puasa selain Ramadhan pada saat itu, maka
puasanya batal.

Beda dengan Hanafiyah, jika yang dilakukan adalah puasa wajib maka sah, karena jika
musafir itu boleh berbuka maka dia juga berhak untuk melakukan puasa lain yang wajib
atasnya.

***
Jika seorang musafir atau orang sakit tidak mau mengambil kesempatan rukhsahnya, lantas ia
berpuasa dalam safarnya atau dalam keadaan sakitnya, apakah puasanya sah? Menurut
keempat madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, puasanya diangap sah.
Sementara ulama Dhahiriyah berpendapat bahwa puasanya dianggap batal.

2. Sakit

Sakit merupakan ‘udzur puasa berdasar firman Allah : “Barang siapa diantara kamu dalam
keadaan sakit atau sedang bepergian …..”

Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu
lagi untuk melaksanakan puasa atau bila ia berpuasa justru memperparah kondisinya,
memperlambat kesembuhan, atau bahkan dikhawatirkan menyebabkan kematian. Maka jika
seseorang menderita penyakit-penyakit ringan, semacam koreng, flu, tidak boleh
membatalkan puasanya. Dan seseorang yang dalam keadaan sehat namun dia khawatir bila
puasa akan menjadi sakit menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah (berbeda dari Syafi’iyah
dan Hanbaliyah), dia dihukumi sama dengan orang sakit. Demikian pula jika seseorang
mempunya dugaan kuat bila ia puasa maka akan mematikan fungsi salah satu panca
inderanya, misal, maka wajib hukumnya membatalkan puasanya.

Ulama Hanafiyah menambahkan, dalam peperangan yang melelahkan seseorang boleh tidak
berpuasa agar bisa menghadapi musuh dengan kondisi yang fit. Sebagaimana yang pernah
dilakukan Rasul pada ‘Aam al-Fath (penaklukan kota makkah).

Menurut jumhur ulama orang yang sakit tidak diwajibkan niat berbuka. Lain dengan ulama
Syafi’iyah yang mewajibkan hal itu. Namun jika orang yang sakit tersebut tetap berpuasa
maka puasanya dianggap sah.

***
Manakah yang lebih baik bagi orang yang sakit, tetap berpuasa atau boleh berbuka?
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah mereka boleh berbuka atau tetap berpuasa, sementara
menurut Hanbaliyah sunnat bagi mereka berbuka dan makruh berpuasa. Di pihak lain
Malikiyah mengatakan ada 4 ketentuan bagi puasanya orang sakit :

1. Jika ia tidak bisa sama sekali berpuasa, atau puasanya akan memperparah keadaan,
atau bahkan menyebabkan kematiannya maka wajib baginya untuk berbuka.
2. Jika ia bisa berpuasa walaupun dengan susah payah maka boleh baginya untuk
berbuka.
3. Jika ia mampu berpuasa namun masih khawatir akan kesehatannya, ada dua pendapat
dalam hal ini, antara boleh dan tidak.
4. Jika ia bisa berpuasa tanpa khawatir sedikitpun, maka menurut jumhur ulama ia tidak
boleh berbuka.
5. Jika seseorang yang sakit /musafir berniat puasa pada pagi harinya dan ternyata di
siang hari ‘udzurnya hilang, maka dia tidak boleh berbuka, sementara jika ia tidak
berpuasa di pagi harinya maka ia boleh tetap berbuka.

Jika seseorang meninggalkan puasa baik karena sakit atau ‘udzur yang lain dan dia belum
mengqadha’nya hingga datang Ramadhan lagi, menurut Syafi’iyah dia wajib mengqadha’
dan membayar kafarah yaitu memberi makan sebanyak 1 mud untuk satu hari puasa yang
ditinggalnya kepada orang miskin. Lain halnya jika ‘udzurnya tersebut belum berakhir hingga
datang Ramadhan berikutnya, maka diwajibkan mengqadha’ saja.
Dan jika ia meninggal sebelum mengqadha’, puasanya digantikan oleh walinya. Namun jika
walinya tidak mampu juga –untuk menggantikan puasanya si mayit– maka dia (wali) harus
membayar kafarah dari harta peninggalannya (mayit). Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi
dari Ibnu Umar ia berkata : “Barang siapa meninggal dan belum mengqadha’ Ramadhan yang
ia tinggalkan maka hendaklah ia membayar kafarah.” Dan dalam hadis riwayat Bukhari dan
Muslim dari Sayidah ‘Aisyah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa meninggal dan
mempunyai tanggungan puasa, maka digantikan oleh walinya.”

3 & 4. Hamil dan Menyusui

Seseorang yang hamil dan menyusui boleh meninggalkan puasa jika ia khawatir akan
kesehatan diri dan bayinya. Sama saja apakah bayi yang disusui adalah anak kandungnya atau
anak susuan saja. Kekhawatiran disini baik berdasarkan diagnosa dokter atau pengalaman
sendiri. Ketentuan seperti ini berlandaskan pada qiyas pada orang yang sakit atau musafir,
dan hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dan orang sakit
untuk tidak berpuasa, mengqashar shalat, dan meringankan bagi perempuan yang hamil dan
yang menyusui.”

Dan jika mereka (perempuan hamil dan menyusui) mengkhawatirkan timbulnya sesuatu yang
kronis –akibat puasanya– maka haram baginya berpuasa.

Jika mereka berbuka (tidak berpuasa) apakah wajib mengqadha’ dan membayar fidyah?

 Hanafiyah: mereka wajib mengqadha’ saja tanpa membayar fidyah.


 Syafi’iyah dan Hanbaliyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah, jika mereka
khawatir atas keselamatan bayinya saja (tidak diri mereka).
 Malikiyah: wajib mengqadha’ dan membayar fidyah bagi orang yang menyusui, dan
hanya mengqadha’ saja bagi orang hamil.

5. Lanjut Usia

Berdasarkan ijma’ kaum muslimin, seseorang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu lagi
untuk berpuasa, baik pada bulan Ramadhan atau lainnya dibolehkan untuk tidak berpuasa dan
tidak diwajibkan untuk mengqadha’nya melainkan ia harus membayar fidyah yang diberikan
pada orang-orang miskin. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Baqarah 184. Menurut
Ibnu Abbas, ayat ini menerangkan tentang orang yang sudah lanjut usia yang sudah tidak
mampu lagi berpuasa, maka ia wajib membayar fidyah kepada satu orang miskin tiap satu
hari.

Ketentuan ini juga berlaku bagi orang sakit yang tidak diharap lagi kesembuhannya, berdasar
firman Allah “..dan sekali-kali Dia (Allah) tidak menjadikan bagi kamu dalam agama suatu
kesempitan.” [QS. Al-Hajj 78] Dan bagi mereka yang kira-kira masih bisa sembuh maka
wajib mengqadha’ tanpa membayar fidyah.

6. Lapar dan dahaga yang tak tertahankan lagi.

Seseorang yang tertimpa lapar atau dahaga yang tak tertahankan lagi, sekiranya jika ia
berpuasa akan menemui kepayahan luar biasa, maka ia boleh membatalkan puasa dan wajib
mengqadha’nya. Bahkan ia wajib membatalkan puasanya jika menduga akan menemui
madharrat sehingga merusak mekanisme (syaraf) tubuh. Firman Allah: “…dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan. [QS. Al Baqarah 195]

7. Dalam keadaan dipaksa

Mayoritas ulama (berbeda dari Syafi’iyah) berpendapat bahwa seseorang yang


dipaksa/diperkosa boleh membatalkan puasanya dan ia wajib mengqadha’nya. Dan jika ada
seorang perempuan digauli secara paksa atau dalam keadaan tidur, ia (si perempuan) wajib
mengqadha’nya puasanya.

Demikianlah beberapa hal yang memperbolehkan kita untuk membatalkan puasa.

Ketentuan-ketentuan lain

1. Pekerjaberat
Imam Abu Bakar Al-Ajiri mengatakan bahwa jika ia mengkhawatirkan kondisinya
karena pekerjaan berat yang ia lakukan maka dia boleh tidak berpuasa dan wajib
mengqadha’nya. Namun, mayoritas ulama mengatakan bahwa mereka tetap wajib
berpuasa dan jika ternyata ditengah hari dia tidak mampu lagi melanjutkan puasanya,
barulah ia membatalkannya dan wajib mengqadha’ nya. Sebagaimana firman Allah
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, karena sesungguhnya Allah Maha
Peenyayang kepadamu.” [Surat Annisa 29]
2. Penyelamat seseorang yang tenggelam
Ulama Hanbali mengatakan bahwa ia boleh berbuka dan tidak wajib membayar
fidyah jika tidak mampu menahan masuknya air, jika ia mampu menahannya maka ia
tidak diperbolehkan berbuka.

2) Hal yang Membatalkan Puasa

1. Membatalkan niat untuk berpuasa


Apabila seseorang membatalkan niatnya untuk berpuasa, puasanya menjadi batal, karena niat
adalah salah satu rukun puasa.
2. Makan dan minum dengan sengaja
Seserang yang sengaja merusak puasanya dengan makan atau minum dengan sengaja maka
sebagian ulama mewajibkan ia mengqdlakan puasanya.1[8]
3. Sengaja memasukan sesuatu benda kedalam rongga terbuka, meskipun benda itu sekecil
apa pun. Rongga terbuka seperti mulut, hidung, telinga dan kemaluan
4. Keluar sesuatu dari perut, sepeeti muntah walapun sedikit dengan cara di sengaja. Tetapi
jika tidak disengaja, maka puasanya tidak batal.
5. Bercampur (jima’)
6. Keluar mani, apabila ada unsure kesengajaan. Adapun keluar mani sebab mimpi, maka
hukumnya tidak batal

3) Hal yang Mengurangi Pahala Puasa

Berikut ini merupakan hal-hal yang dapat mengurangi ibadah puasa:

1. Marah, diwajibkan bagi setiap muslim yang berpuasa untuk menahan diri dari marah dan
emosi.
2. Tidur sepanjang hari. Tidak semua tidur bernilai ibadah, tidur yang baik di bulan Ramadan
adalah tidur siang. Ini untuk menghindari diri dari mengerjakan hal-hal yang tidak baik atau
tidur untuk persiapan qiyamul lail (Salat malam).
3. Puasa tanpa mengerjakan salat. Tidak sedikit orang yang mengerjakan puasa, namun
meninggalkan salatnya.

1[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.Op.Cit. hlm.121-122


4. Berbicara kotor. Bulan suci Ramadhan adalah momen yang tepat untuk melatih kita agar
tidak berkata kotor.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Puasa adalah terjemahan dari Ash Shiyam. Menurut istilah bahasa berarti menahan
diri dari sesuatu dalam pengertian tidak terbatas. “Saumu” (puasa), menurut bahasa Arab
adalah “menahan dari segala sesuatu”, seperti makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang
tidak bermanfaat dan sebagainya.
Menurut istilah agama Islam yaitu “menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya,
satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari dengan niat dan beberapa
syarat.
Berdasarkan ketetapan Alquran surat Al-Baqarah ayat 183 dan ketetapan hadis yang
telah disebutkan diatas, puasa diwajibkan atas umat Islam sebagaimana diwajibkan atas umat
yang terdahulu. Ayat itu menerangkan bahwa orang yang berada di tempat dalam keadaan
sehat, di waktu bulan Ramadhan, wajib dia berpuasa. Seluruh Ulama Islam sepakat
menetapkan bahwasanya puasa, salah satu rukun Islam yang lima, karena itu puasa di bulan
Ramadhan adalah wajib dikerjakan.

DAFTAR PUSTAKA

Bahreisj, Hussein., 1980. Pedoman Fiqih Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.

Latif, M. Djamil., 2001. Puasa dan Ibadah Bulan Ramadhan. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Rifa’i, Moh., 1978. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra.

Anda mungkin juga menyukai