Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

IBADAH PUASA
Disusun Untuk Tugas Mata Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Dosen Pengampu: Andi Wahyono, S.Pd.I., M.Pd.

Oleh :
Rizki Faijur Rohman [C2A218015]
Burhanudin Anusopati [C2A218024]

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN LINTAS JALUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah ‘Azza Wajalla karena dengan rahmat,
karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Ibadah
Puasa ini dengan baik meskipun. Kami juga berterimakasih pada Bapak Andi Wahyono,
S.Pd.I., M.Pd. selaku dosen mata kuliah Al Islam dan Kemuhammadiyahan yang telah
memberikan tugas ini.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan.
Oleh sebab itu, adanya kritik, saran, dan usulan terkait penyusunan makalah ini adalah suatu
hal yang sangat berharga. Semoga makalah sederhana ini dapat dapat memberikan wawasan
bagi para pembaca.

Semarang, 09 April 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ibadah puasa merupakan ibadah yang telah disyariatkan kepada umat manusia baik
sebelum maupun sesudah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalam
syariat islam sendiri, ibadah puasa termasuk salah satu rukun islam yang wajib dilaksanankan
oleh setiap muslim yang tidak memiliki udzur. Sebagaimana firman Allah ta’ala di dalam Al
Quran surat Al Baqarah ayat 183 :
‫يا ايها الذ ين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذ ين من قبلكم لعلكم تتقون‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang terdahulu kamu agar kamu bertaqwa”. [Q.S. Al Baqarah : 183)

Ibadah puasa mengandung makna dan manfaat yang sangat dalam bagi kehidupan umat
manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, perlu ilmu dan pemahanman yang
matang sebelum melaksanakan ibadah yang agung ini. Supaya di dalam pelaksanaan ibadah
puasa ini kita dapat memperoleh keutamaan-keutamaan darinya secara maksimal.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian puasa ?
2. Apa saja dalil-dalil dari Al Quran dan Al Hadits yang menjelaskan tentang puasa ?
3. Bagaimana hukum puasa ?
4. Bagaimana kriteria keabsahan puasa?
5. Apa tujuan dan fungsi dari puasa?
6. Apa hikmah dan makna spiritual dari puasa ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Puasa
Puasa dalam bahasa arab yaitu “shaum”. Secara bahasa shaum bermakna imsak
(menahan diri) dari sesuatu. Adapun puasa menurut syariat adalah menahan diri dari makan,
minum dan semua perkara yang membatalkan puasa disertai niat sejak terbitnya fajar shadiq
sampai terbenamnya matahari.

2.2 Dalil-Dalil Tentang Puasa


Dalil-dalil tentang kewajiban puasa Ramadhan sangatlah banyak dalam nash-nash Al-
Qur`an dan Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’âla,
.ََ‫ن َقَ ْب ِل ُك َْم َلَعَلَّ ُك َْم ت ََت َّقُون‬
َْ ‫علَى اَلَّذِينََ ِم‬
َ ‫ب‬ ِّ ِ ‫علَ ْي ُك َُم‬
ََ ِ‫الصيَا َُم َك َما ُكت‬ ََ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينََ آ َمنُوا ُكت‬
َ ‫ب‬
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” [ Q.S. Al-
Baqarah: 183]
Dalam hadits Abdullah bin Umar riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa puasa adalah salah satu rukun Islam yang agung dan
mulia,
َِ َ ‫ َوإِيت‬، ‫صالَ َِة‬
َّ ‫اء‬
، ‫الزكَا َِة‬ َِ َ‫ َوإِق‬، ِ‫َللا‬
َّ ‫ام ال‬ َُ ‫َللاُ َوأَنََّ َُم َح َّمدًا َر‬
ََّ ‫سو َُل‬ َْ َ ‫ش َها َد َِة أ‬
ََّ َّ‫ن َلَ إِلَهََ إِ َل‬ َ َ‫علَى َخ ْمس‬
َ ‫سالَ َُم‬
ْ ‫اإل‬
ِ ‫ي‬ََ ِ‫بُن‬
ََ‫ص ْو َِم َر َمضَان‬ َِّ ‫َوا ْل َح‬
َ ‫ َو‬، ِ‫ج‬
“Islam dibangun di atas lima (perkara, pondasi): Syahadat Lâ Ilâha Illallâh wa Anna
Muhammadan ‘Abduhu wa Rasûluhu, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke
Rumah Allah, dan berpuasa Ramadhan.”[H.R. Bukhari dan Muslim]
Selanjutnya, dalil lain terdapat dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallâhu
‘anhu riwayat Muslim ,dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhari dan
Muslim, tentang kisah Jibril yang masyhur ketika beliau bertanya kepada
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, Iman, Ihsan, dan tanda-tanda hari
kiamat. Ketika ditanya tentang Islam, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,

ُ َ ‫الزكَا َةَ َوت‬


ََ‫صو َمَ َر َمضَان‬ َّ َ‫صالَ َةَ َوت ُ ْؤتِ َى‬
ََّ ‫َللاِ َوَت ُ ِقي ََم ال‬ ُ ‫َللاُ َوأَنََّ ُم َح َّمدًا َر‬
ََّ ‫سو َُل‬ ََّ َّ‫ن َلَ إِلَهََ إِ َل‬ َْ َ ‫ش َه ََد أ‬ ْ َ‫ن ت‬ َْ َ ‫سالَ َُم أ‬ ْ ‫اإل‬ ِ
.ً‫ال‬ َ ‫ست َ َط ْعتََ ِإلَ ْي َِه‬
َ ‫سبِي‬ ْ ‫نا‬ َِ ِ‫ج ا ْلبَيْتََ إ‬ ََّ ‫َوت َ ُح‬
“Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tiada yang berhak untuk diibadahi
kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, engkau menegakkan shalat,
mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, serta berhaji ke rumah (Allah) bila engkau
sanggup menempuh jalan untuk itu.”[H.R. Bukhari dan Muslim]

2.3 Hukum Puasa


Dalam islam, ada beberapa macam puasa. Macam-macam puasa ini bermacam pula
sifatnya. Dan kita sebagai umat muslim harus mentaati sesuai dengan sifat dari masing-
masing puasa tersebut.
Puasa Wajib
Puasa yang bersifat wajib adalah puasa yang harus dilaksanakan dan akan berdosa bila
meninggalkannya.
a. Puasa Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling suci bulan yang paling istimewa. Bulan
Ramadhan adalah satu-satunya bulan yang dipilih Alloh untuk menurunkan Al-
Qur’an.
b. Puasa Qadha
Puasa Qadha adalah puasa yang menggantikan puasa ramadhan yang ditinggalkan
karena sebab sesuatu yang syar’i.
c. Puasa Nadzar
Puasa Nadzar pada dasarnya adalah utang. Oleh karena itu, seseorang yang yang
bernadzar wajib melaksanakan puasa nadzar tersebut karena ia sendiri yang
membuatnya wajib.
d. Puasa Kifarat
Puasa Kifarat diberlakukan atas pelanggaran yang sudah dilakukan seorang muslim
atas hukum Alloh yang sudah berketetapan.
Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah puasa yang dianjurkan untuk dikerjakan.
a. Puasa Senin dan Kamis
Puasa ini adalah puasa yang sangat dianjurkan. Karena pada hari senin adalah hari
Rosululloh lahir dan pada hari kamis para malaikat sedang turun ke bumi.
b. Puasa 6 Hari di bulan syawal
c. Puasa Pertengahan Bulan
d. Puasa Dawud
Puasa Haram
Puasa Haram adalah puasa yang tidak boleh dikerjakan oleh umat muslim.
a. Puasa pada Hari-Hari Tertentu
Ada hari-hari yang Allah haramkan untuk kita berpuasa yaitu pada dua hari raya dan
hari tasyrik.
b. Puasa Terus Menerus
Puasa yang terus menerus tidak berbuka dan melanjutkan puasa pada esok hari.
c. Puasa Wanita Haid atau Nifas
d. Puasa Sunnah Istri Tanpa Izin Suami
Puasa Makruh
a. Puasa Sunnah Hari Jum’at atau Sabtu Saja
b. Puasa yang Membuat Diri Sendiri Menderita

2.4 Kriteria Keabsahan Puasa


Dalam syariat islam dijelaskan bahwa seorang muslim diwajibkan berpuasa apabila
telah memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Islam
Orang yang tidak Islam tidak wajib puasa. Ketika di dunia, orang kafir tidak dituntut
melakukan puasa karena puasanya tidak sah. Namun di akhirat, ia dihukum karena
kemampuan dia mengerjakan ibadah tersebut dengan masuk Islam. (Lihat Al Iqna’, 1: 204
dan 404).
b. Baligh
Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil. Sedangkan bagi anak yang
sudah tamyiz masih sah puasanya. Selain itu, di bawah tamyiz, tidak sah puasanya.
Demikian dijelaskan dalam Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 551.
Muhammad Al Khotib berkata, “Diperintahkan puasa bagi anak usia tujuh tahun
ketika sudah mampu. Ketika usia sepuluh tahun tidak mampu puasa, maka ia dipukul.” (Al
Iqna’, 1: 404).
Ada beberapa tanda baligh yang terdapat pada laki-laki dan perempuan:
1) ihtilam (keluarnya mani ketika sadar atau tertidur).
2) tumbuhnya bulu kemaluan. Namun ulama Syafi’iyah menganggap tanda ini adalah
khusus untuk anak orang kafir atau orang yang tidak diketahui keislamannya, bukan
tanda pada muslim dan muslimah.
Tanda yang khusus pada wanita: (1) datang haidh, dan (2) hamil.
Jika tanda-tanda di atas tidak didapati, maka dipakai patokan umur. Menurut ulama
Syafi’iyah, patokan umur yang dikatakan baligh adalah 15 tahun. (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 8: 188-192).
Yang dimaksud tamyiz adalah bisa mengenal baik dan buruk atau bisa mengenal
mana yang manfaat dan mudhorot (bahaya) setelah dikenalkan sebelumnya. Anak yang
sudah tamyiz belum dikenai kewajiban syar’i seperti shalat, puasa atau haji. Akan tetapi
jika ia melakukannya, ibadah tersebut sah. Bagi orang tua anak ini ketika usia tujuh tahun,
ia perintahkan anaknya untuk shalat dan puasa. Jika ia meninggalkan ketika usia sepuluh
tahun, maka boleh ditindak dengan dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 14: 32-33).
c. Berakal
Orang yang gila, pingsan dan tidak sadarkan diri karena mabuk, maka tidak wajib
puasa.Jika seseorang hilang kesadaran ketika puasa, maka puasanya tidak sah. Namun jika
hilang kesadaran lalu sadar di siang hari dan ia dapati waktu siang tersebut walau hanya
sekejap, maka puasanya sah. Kecuali jika ia tidak sadarkan diri pada seluruh siang (mulai
dari shubuh hingga tenggelam matahari), maka puasanya tidak sah. (Lihat Hasyiyah Syaikh
Ibrahim Al Baijuri, 1: 551-552).
Mengenai dalil syarat kedua dan ketiga yaitu baligh dan berakal adalah hadits,
‫ص ِب ِى وع ِن يسْت ْي ِقظ حتَّى النَّائِ ِم ع ِن ثالثة ع ْن ْالقل ُم ُرفِع‬ ِ ُ‫ىََحت ْالمجْ ن‬
َّ ‫ون وع ِن يحْ ت ِلم حتَّى ال‬
‫ي ْع ِقل‬
“Pena diangkat dari tiga orang: (1) orang yang tidur sampai ia terbangun, (2) anak
kecil sampai ia ihtilam (keluar mani), (3) orang gila sampai ia berakal (sadar dari
gilanya).” (HR. Abu Daud no. 4403, An Nasai no. 3432, Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no.
2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
d. Mampu untuk berpuasa
Kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan syar’i dan fisik. Yang tidak
mampu secara fisik seperti orang yang sakit berat atau berada dalam usia senja atau
sakitnya tidak kunjung sembut, maka tidak wajib puasa. Sedangkan yang tidak mampu
secara syar’i artinya oleh Islam untuk puasa seperti wanita haidh dan nifas. Lihat Hasyiyah
Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 552, dan Al Iqna’, 1: 404.
Ibadah puasa dinyatakan sah secara ilmu fikih apabila seseorang melaksanakan semua
rukun puasa dan tidak melakukan satupun dari pembatal-pembatal puasa.
Adapun rukun-rukun puasa ada dua, yaitu :
a. Niat
Niat dalam hal ini bermakna orang yang berpuasa bersengaja menahan diri dari segala
hal yang membatalkan ibadah kepada Allah ta’ala.Dengan niat ini pula akan memisahkan
kegiatan yang bertujuan untuk ibadah dan yang bukan ibadah. Selain itu juga dengan niat
akan membedakan antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, sehingga orang yang berpuasa
dapat memaksudkan puasanya, baik puasa Ramadhan maupun puasa yang lain.
b. Menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa
Maksudnya adalah orang yang berpuasa menahan dirinya dari melakukan perkara yang
dapat memmbatalkan puasa dari mulai terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Pembatal-pembatal puasa adalah sebagai berikut :


a. Makan dan minum dengan sengaja.
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[1]. Makan
dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh
melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan
makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan
rokok), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu).
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
ُ ‫ض ْالخ ْي‬
‫ط ل ُك ُم يتبيَّن حتَّى وا ْشربُوا و ُكلُوا‬ ُ ‫َالصي أتِ ُّموا ث ُ َّم ْالفجْ ِر ِمن ْاْلسْو ِد ْالخ ْي ِط ِمن ْاْلبْي‬
ِ ‫اللَّ ْي ِل إِلى ام‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah:
187).
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ ص ْومهُ ف ْليُ ِت َّم وش ِرب فأكل نسِى إِذا‬، ‫طعمهُ فإِنَّما‬
ْ ‫َللا ُ أ‬
َّ ُ‫وسقاه‬
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap
menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”
Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika
seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini
dihukumi sama dengan makan dan minum.
Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia
punya kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas
ulama.
b. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ْلي ْق‬
‫ضَف اسْتقاء و ِإ ِن قضاء عل ْي ِه فليْس صائِم و ُهو ق ْىء ذرعهُ م ْن‬
“Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak
ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya
membayar qodho’.”
c. Haidh dan nifas.
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di
awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah
sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa
berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ » ت‬. ‫ بلى قُ ْلن‬. ‫ان ِم ْن كَِفذل « قال‬


ْ ‫ص ْم ول ْم تُص ِل ل ْم حاض‬
‫ت إِذا أليْس‬ ِ ‫» دِينِها نُ ْقص‬
“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan
puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”[10]
Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari
lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat.” Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan
nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia suci.
d. Keluarnya mani dengan sengaja.
Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti
mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut
atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal dan
wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫يتْ ُركُ طعامه ُ وشرابه ُ وش ْهوتهُ ِم ْن أجْ ِلى‬
“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat
karena-Ku”. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga
termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.
Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak
keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani,
puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar
mani, maka puasanya batal.
Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani?
Jawabnya, puasanya tidak batal. Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ ‫ت ما أ ُ َّمتِى ع ْن تجاوز‬
‫َللا إِ َّن‬ ْ ‫ أ ْنفُسها بِ ِه حد َّث‬، ‫تتكلَّ ْم أ ْو ت ْعم ْل ل ْم ما‬
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka, selama
tidak melakukan atau pun mengungkapnya”
e. Berniat membatalkan puasa.
Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa.
Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan
ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan
minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫نوى ما ا ْم ِرئ ِل ُك ِل و ِإنَّما‬
“Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”[18] Ibnu
Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia
dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.” Ketika puasa batal dalam keadaan seperti
ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.
f. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib
mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat:
(1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan
termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa.
2.5 Tujuan dan Fungsi Puasa
Puasa sangat berhubungan erat dengan ilmu kesehatan. Rosululloh bersabda :
‫صومواتصحوا‬
“Berpuasalah kamu agar kamu sehat”[ H.R Ibnu Sunni dan Abu
Nu’aim]
a. Puasa Mengistirahatkan Mesin Pencernaan
Para ulama muslim juga pakar kesehatan menatakan bahwa sumber dari segala
penyakit yang susah diobati adalah “memasukkan makanan diaatas makanan”.
Artinya , makanan yang belum tercerna baik dilambung sudah kemasukan
makanan berikutnya. Sehingga alat pencernaan tidak beristirahat. Dengan puasa,
mesin pencernaan dapat istirahat karena tidak kemasukan makanan apapun setelah
sahur.
b. Puasa Meningkatkan Daya Tahan Tubuh
Puasa dinyatakan oleh Rosululloh sebagai perisai. Perisai yang tumbuh disini
menurut pakar kesehatan ialah bertambahnya sel darah putih dan diblokirnya suplai
makanan untuk bakteri, virus, dan sel kanker yang bersarang ditubuh. Hal tersebut
menjadikan orang yang berpuasa memiliki kekebalan tubuh dan daa tahan tubuh
meningkat.
c. Puasa Mencerdaskan Otak
Pada saat perut kenyang, banyak dara ang tersalurkan untuk melakukan proses
pencernaan. Selagi seseorang berpuasa dan perut kosong, maka volume darah di
bagian pencernaan dapat dikurangi dan dipakai untuk keperluan lain terutama
untuk otak.
d. Puasa untuk Kesehatah Psikologi
Tak hanya manfaatnya untuk kesehatan fisik namun juga untuk jiwa. Puasa
Melatih Kesabaran Secara psikis, orang yang berpuasa lebih memiliki kesiapan dan
ketahanan dalam derita, ujian, dan cobaan hidup. Sebab dia telah terlatih, terbiasa,
dan tertempa mentalnya.
2.6 Hikmah dan Makna Spiritual Puasa
a. Puasa adalah jalan meraih takwa
Allah Ta’âla berfirman :
.ََ‫ن َقَ ْب ِل ُك َْم َلَعَلَّ ُك َْم ت ََت َّقُون‬
َْ ‫علَى اَلَّذِينََ ِم‬
َ ‫ب‬ ِّ ِ ‫علَ ْي ُك َُم‬
ََ ِ‫الصيَا َُم َك َما ُكت‬ ََ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينََ آ َمنُوا ُكت‬
َ ‫ب‬
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” [Al-Baqarah: 183]
Allah ta’ala menyebutkan dalam dalam ayat di atas mengenai hikmah disyariatkannya
puasa yaitu agar kita betakwa. Karena dalam puasa, kita menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya.yang meliputi takwa dalam puasa adalah seorang muslim
meninggalkan apa yang Allah haramkan yaitu makan, minum, hubungan intim sesama
pasangan dan semacamnya. Padahal jiwa begitu terdorong menikmatinya. Namun, semua itu
ditinggalkan karena ingin mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala dari-
Nya. Itulah yang disebut takwa.
b. Puasa menjadi pengekang syahwat
Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihib wasallam bersabda yang artinya, “Wahai para pemuda,
barang siapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu akan lebih menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka
berpuasalahkarena puasa itu bagai obat pengekang baginy.”[H.R. Bukhari no. 5065 dan
Muslim no. 1400]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan
mengekang kejelekan mani sebagaimana orang yang dikebiri.
c. Pintu surga Ar-rayyan bagi orang yang berpuasa
Dalam sebuah hadits riwayat Bukharidari Sahl bin Sa’ad disebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Surga memiliki delapan buah pintu. Diantara pintu tersebut ada yang dinamakan Ar-
Rayyan yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa.” [H.R. Bukhari no.3257]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Puasa adalah menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai
waktu maghrib disertai dengan niat dan syarat-syarat tertentu.
2. Dalil yang menjelaskan tentang puasa adalah sangat banyak, diantaranya adalah
Surat Al Baqarah ayat 183 dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
tentang rukun islam.
3. Puasa bisa dihukumi wajib, sunnah, makruh dan haram tergantung dari jenis puasa
yang dilakukan. Puasa yang bersifat wajib misalnya puasa Ramadhan dan puasa
kafarat. Puasa yang dihukumi sunnah misalnya puasa senin kamis dan puasa enam
hari di bulan syawal. Puasa yang dihukumi makruh misalnya puasa di hari jumat
atau sabtu saja. Sedangkan puasa yang dihukumi haram misalnya puasa pada dua
hari raya dan hari-hari tasyrik dan juga puasa setiap hari secara terus menerus.
4. Puasa dianggap sah apabila terpenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya serta tidak
melakukan satupun dari pembatal-pembatal puasa. Syarat wajib puasa adalah :
Islam, baligh, berakal, dan mampu menjalankan puasa. Rukun puasa adalah : niat
dan menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa dari terbit fajar
sampai tenggelamnya matahari. Pembatal-pembatal puasa adalah : makan dan
minum disengaja, muntah dengan disengaja, haid dan nifas, jima’ di siang hari,
keluar mani dengan disengaja, dan berniat membatalkan puasa.
5. Tujuan dan fungsi puasa antara lain : mengistirahatkan mesin pencernaan,
mencerdaskan otak, meningkatkan daya tahan tubuh, dan menambah kesehatan
psikologis.
6. Hikmah dan makna spiritual puasa antara lain : puasa sebagai jalan menuju takwa,
puasa sebagai pengekang syahwat, dan akan dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke
surga melalui pintu Ar-Rayyan.
DAFTAR PUSTAKA
Al Mahdi, Abdul Aziz Mabruk, dkk. 2018. Fikih Muyassar. Jakarta : Darul Haq.
Tuasikal, Muhammad Abduh. 2014. Panduan Ramadhan Bekal Meraih Ramadhan Penuh
Berkah. Yogyakarta : Pustaka Muslim
Dzulqarnain, Muhammad Sanusi (2012). Dalil-dalil Tentang Kewajiban dan Keutamaan
Puasa Ramadhan. Dikutip dari Dzulkarnain : https://dzulqarnain.net/dalil-dalil-
tentang-kewajiban-dan-keutamaan-puasa-ramadhan.html (diakses tanggal 08 April
2019)
Kania, Tikasari. Tanpa Tahun. Makalah Puasa. Didownload dari Academia :
https://www.academia.edu/12086523/Makalah_Puasa. (diakses tanggal 07 April
2019)
Masrifin, Agus. 2016. Makalah Tentang Puasa. Didownload dari Academia :
https://www.academia.edu/26982179/MAKALAH_TENTANG_PUASA (diakses
tanggal 07 April 2019)
Tuasikal, Muhammad Abduh (2013, 13 Juni). Fikih Puasa (1): Syarat Wajib Puasa. Dikutip
dari Muslim : https://muslim.or.id/16739-fikih-puasa-1-syarat-wajib-puasa.html
(diakses tanggal 08 April 2019)
(2010, 27 Juli). Pembatal-Pembatal Puasa . Dikutip dari Muslim :
https://muslim.or.id/336-pembatal-puasa.html . (diakses tanggal 08 April 2019)
Wahyudi, Ari ( 2015, 14 Juni). Inilah Hikmah Dan Keistimewaan Ibadah Puasa. Dikutip
dari Muslim : https://muslim.or.id/25767-inilah-hikmah-dan-keistimewaan-ibadah-
puasa.html (diakses tanggal 08 April 2019)

Anda mungkin juga menyukai