PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Korupsi di Indonesia telah menjamur di berbagai segi kehidupan. Dari Instansi tingkat desa,
kota, pemerintahan, hingga pendidikan. Bisa dibilang korupsi sudah membudaya di
Indonesia Salah satu penyebab terpuruknya bangsa Indonesia, baik dari segi ekonomi
maupun politik, yaitu suburnya tindak kejahatan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat
negara. Pada masa orde baru, tindak pidana korupsi dilakukan oleh para pejabat negara di
tingkat pusat.
B.Perumusan Masalah
1.Apakah yang dimaksud dengan korupsi?
2.Apa saja dampak korupsi dalam pendidikan?
3.Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Karakter?
4.Apa saja bentuk-bentuk pendidikan karakter?
5.Apa tujuan dari Pendidikan karakter?
6.Bagaimana pengaruh Pendidikan karakter dalam mengurangi budaya korupsi?
C.Tujuan Penulisan
1.Untuk mengetahui pengertian dari korupsi.
2.Untuk mengetahui dampak korupsi dalam pendidikan.
3.Untuk mengetahui pengertian dari pendidikan karakter.
4.Untuk mengetahui bentuk-bentuk pendidikan karakter.
5.Untuk mengetahui tujuan dari pendidikan karakter.
6.Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pendidikan karakter dalam mengurangi
budaya korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Definisi Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andreae : 1951) atau
“corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio”
berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin
tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan
“corruptie/korruptie” (Belanda).
Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.
Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa (Muhammad Ali : 1998) :
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya;
2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya; dan
Menurut Akhmad Sudrajat, supaya kita lebih mudah memahami makna pendidikan karakter,
kita mesti mengerti makna dari karakter itu sendiri terlebih dahulu. Pengertian karakter
menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Sementara itu, yang disebut
dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak. Lain
halnya dengan pendapat Tadkiroatun Musfiroh (2008). Menurutnya, karakter mengacu pada
serangkaian sikap {attitudes),perilaku {behaviors), motivasi (;motivations), dan keterampilan
{skills). Makna karakter itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to
mark” atau menandai dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan berperilaku jelek
dikatakan sebagai orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai
dengan kaidah moral dinamakan berkarakter mulia.
Seseorang yang memiliki karakter positif juga terlihat dari adanya kesadaran untuk berbuat
yang terbaik atau unggul, serta mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya
tersebut. Dengan demikian, karakter atau karakteristik adalah realisasi kembangan positif
dalam hal intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku.
Menurut David Elkind dan Freddy Sweet, Ph.D. (2004), yang dimaksud dengan pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru, yang mampu mempengaruhi
karakter peserta didik. Dalam hal ini, guru membantu membentuk watak peserta didik agar
senantiasa positif. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan caranya berperilaku,
berbicara, ataupun menyampaikan materi, bertoleransi, serta berbagai hal terkait lainnya.
Adapun T. Ramli (2003) menyatakan bahwasanya pendidikan karakter memiliki esensi yang
sama dengan pendidikan moral atau akhlak. Dalam penerapan pendidikan karakter, faktor
yang harus dijadikan sebagai tujuan adalah terbentuknya kepribadian peserta didik supaya
menjadi manusia yang baik, dan hal itu sama sekali tidak terikat dengan angka dan nilai.
Dengan demikian, dalam konteks pendidikan di Indonesia, pendidikan karakter ialah
pendidikan nilai, yakni penanaman nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa Indonesia.
Pijakan utama yang harus dijadikan sebagai landasan dalam menerapkan pendidikan
karakter ialah nilai moral universal yang dapat digali dari agama. Meskipun demikian, ada
beberapa nilai karakter dasar yang disepakati oleh para pakar untuk diajarkan kepada
peserta didik, yakni rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ciptaan-Nya, tanggung
jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, mampu bekerja sama, percaya diri,
kreatif, mau bekerja keras, pantang menyerah, adil, serta memiliki sifat kepemimpinan; baik,
rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Dengan ungkapan lain, dalam
upaya menerapkan pendidikan karakter, guru harus berusaha menumbuhkan nilai-nilai
tersebut melalui spirit keteladanan yang nyata, bukan sekadar pengajaran dan wacana.
Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa nilai- nilai karakter dasar yang harus diajarkan
kepada peserta didik sejak dini adalah sifat dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian,
peduli, jujur, tanggung jawab, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya
integritas.
Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah hendaknya berpijak pada
nilai-nilai karakter dasar tersebut, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang
lebih banyak atau tinggi (yang bersifat tidak absolut atau relatif), yang sesuai dengan
kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Lebih lanjut menurut Akhmad Sudrajat, saat ini, tidak sedikit pihak yang menuntut
peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga
pendidikan formal. Tuntutan itu sangat beralasan dan dilatarbelakangi oleh fenomena
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat dan kasus-kasus dekadensi moral
lainnya. Di kota- kota besar, fenomena dekadensi moral yang melanda para remaja sudah
sedemikian parahnya, sehingga banyak pihak yang meminta agar lembaga pendidikan
formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda mampu meningkatkan peranannya
dalam pembentukan kepribadian dan karakter.
A.Versi Pemerintah
B.Versi Pengamat
Sharudin dan Sri Iriani berpendapat bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk
masyarakat yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, berto- leran, bergotong
royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, serta berorientasi ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa
sekaligus berdasarkan Pancasila.
1.Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang berhati
baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
2.Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.
3.Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dan pergaulan dunia
BAB III
PEMBAHASAN
A.Gambaran masalah
Lembaga pendidikan adalah salah satu institusi dan instrumen pelaksana pendidikan
nasional yang rentan terhadap berbagai praktik korupsi. Permasalahan yang akan diangkat
kali ini adalah mengenai Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Lahusa Kabupaten Nias Selatan,
Siwaris Budi (SB) yang terbukti korupsi dana BOS untuk kepentingan pribadi. SB dijatuhi
hukuman dua tahun enam bulan di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (11/12/2013).
Terdakwa yang dalam persidangan memakai kemeja berwarna kuning itu, dianggap
menyelewengkan dana BOS mulai triwulan IV 2010 sampai triwulan I tahun 2012 senilai Rp
138. 877.500.
Karena kesalahannya, terdakwa melanggar pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana Majelis Hakim
dalam perkara tersebut diketuai Lebanus Sinurat dan beranggotakan Agus Setiawan dan
Achmad Drajat. Sebelumnya, Lebanus Sinurat juga memerintahkan terdakwa membayar
denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan. SB juga dibebankan membayar uang
pengganti Rp138.877.500. Jika tidak dibayar dalam waktu yang ditentukan, harta bendanya
akan disita, namun bila tidak mencukupi harus diganti kurungan badan 3 bulan penjara.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Edi Tarigan yang menuntut
terdakwa Siwaris Budi selama 6,5 tahun penjara denda Rp50 juta subsider 3 bulan serta
meminta majelis hakim memberikan pidana tambahan dengan membayar uang pengganti
senilai Rp 301.371.500 subsider 3 tahun 3 bulan penjara. Mendengar putusan majelis
hakim, terdakwa mengaku menerima putusan tersebut. Sedangkan JPU mengatakan
pikir-pikir.
Diketahui, dalam dakwaan jaksa terdakwa selaku pengelola dana BOS yang diterima SMPN
1 Lausa menggunakan sebagian dana BOS tahun 2010-2012 tidak sesuai peruntukannya.
Dana BOS SMPN 1 Lausa diselewengkan terdakwa mulai Triwulan IV tahun 2010 sampai
Triwulan I tahun 2012 senilai Rp 301.371.500 dari total dana BOS yang diterima dalam
periode itu senilai Rp800 juta lebih. Sebagian dana BOS yang tidak disalurkan terdakwa itu
digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadinya.
Tanpa disadari hal yang dilakukan oleh SB tersebut dapat berdampak buruk terhadap
pendidikan di Indonesia. Seperti Merosotnya kualitas pendidikan. Pendidikan adalah sebuah
sarana yang penting untuk pembangunan ekonomi dan perbaikan standar penghidupan,
khususnya di negara-negara berkembang. Dana BOS yang digunakan untuk kepentingan
pribadi seharusnya untuk mengembangkan kualitas pendidikan di sekolah tersebut sehingga
menghasilkan peserta didik yang berkualitas dan mampu bersaing di dunia luar.
Selain itu juga adanya Ketidakadilan sosial. Seperti yang kita ketahui bahwa dana BOS
berguna bagi masyarakat yang kurang mampu sedangkan korupsi adalah hukuman bagi
kelompok-kelompok masyarakat miskin yang kurang mampu mengenyam pendidikan (yang
korup). Dengan demikian, pendidikan memihak kepada kelompok-kelompok masyarakat
kaya. Pengurangan pengeluaran pendidikan publik akan memperendah potensi
pertumbuhan sebuah negara melalui penurunan pembangunan modal insani, dan dengan
demikian memperburuk ketidakadilan penghasilan.
Melihat permasalahan yang terjadi diatas, sangat sulit dipercaya memang. Mengapa?
Karena ternyata budaya korupsi di Indonesia bukan hanya terjadi dalam dunia politik, tetapi
dalam dunia pendidikan pun bisa terjadi. Yang lebih ironisnya terdakwa adalah seorang
kepala sekolah yang seharusnya menjadi teladan baik di Sekolah tersebut. Apa yang dia
pikirkan? Bukankah dia adalah seorang yang berpendidikan? Apa yang dapat kita pelajari
dari semua ini?. Bahwa pendidikan yang hanya menghasilkan ijazah dan mengandalkan
nilai tidak menjamin seseorang tersebut memiliki karakter yang baik dan berbudi pekerti.
Maka itu menerapkan pendidikan karakter di sekolah sejak dini sangat dibutuhkan untuk
seorang individu, agar tidak mudah terpengaruh untuk melakukan hal hal yang tidak
bermoral seperti itu (korupsi). Pendidikan karakter adalah sebuah sistem yang
menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen
pengetahuan, kesadaran individu, tekad, serta adanya kemauan dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insan kamil. Dari pengertian
tersebut sangat jelas bahwa dalam pendidikan karakter, seorang individu dituntut untuk
mampu memiliki sifat yang Jujur, Disiplin, Percaya Diri, Peduli, Mandiri, Gigih, Tegas,
Bertanggung Jawab dan Kreatif. Semua sifat tersebut dapat juga disebut KARAKTER
POSITIF.
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut
perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang
busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah. Selain terjadi dalam instansi
politik, budaya korupsi juga sudah menyebar ke instansi pendidikan. Apalagi semenjak
adanya dana BOS. Jenjang pendidikan yang tinggi tidak menjamin seorang individu memiliki
karakter yang baik. Untuk itu salah satu upaya agar masalah budaya korupsi di Indonesia
dapat dihilangkan adalah dengan menerapkan pendidikan karakter.