Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Bismillâhirrahmânirrahîm
Alhamdulillah, segala puji kita panjatkan kepada Allah SWT karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
dengan harapan dan waktu yang telah diberikan. Shalawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, dan
para sahabatnya. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen
Pengampu Mata Kuliah FILSAFAT ISLAM (SUHARI, MSI) karena sudah
memberikan kami kesempatan dan pengarahan untuk menyusun makalah ini.
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman yang ikut membantu
kami dalam mencari referensi dalam pembuatan materi makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat membantu dalam proses pembelajaran
dan semoga bermanfaat bagi semua yang membacanya. Kami harapkan pula agar
para pembaca memperhatikan celah yang mungkin kurang sempurna dalam
makalah ini sehingga kami dapat menyusun kembali yang lebih baik pada
makalah berikutnya.

Sambas, 20 April 2019

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. Latar Belakang..........................................................................................3
B. Rumusan Masalah.....................................................................................5
C. Tujuan........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6
A. Pengertian Ontologi...................................................................................6
B. Aspek Ontologi.......................................................................................10
C. Konsep Ontologi Filsafat Islam...............................................................11
D. Ontologi dalam Filsafat Paripatetik.........................................................15

BAB III PENUTUP...............................................................................................24


A. Kesimpulan..............................................................................................24
B. Saran........................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................25

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan
kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada
kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal
mula segala sesuatu. Pembicaraan mengenai hakikat sangatlah luas, meliputi
segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat ada adalah kenyataan
sebenarnya bukan kenyataan sementara atau berubah-ubah. Secara ringkas
Ontologi membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya.
Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta.
Ontologi juga merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang
menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being),
baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-
Thobi’ah). Sedangkan Ontologi atau bagian metafisika yang umum,
membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh yang mengkaji
persoalan seperti hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian
tentang kebebasan dan lainnya. Dalam pemahaman ontologi ditemukan
pandangan-pandangan pokok pemikiran, seperti Monoisme, dualisme,
pluralisme, nikhilisme, dan agnotisime. Pendahuluan a . Berpikir mengenai
apakah ada itu dalam filsafat disebut ontologi. Berpikir mengenai bagaimana
itu disebut epistemologi. Adapun berpikir untuk apa tahu disebut aksiologi.
Filsafat Islam sebelum berkembang juga berawal dari penerimaan pemikiran
Yunani. Pengaruh pemikiran Yunani tersebut tampak dengan jelas pada
pokok-pokok pikiran tokoh-tokoh filsuf Muslim. Pemikiran Islam (filsafat)
yang berasal dari produk Yunani tersebut memang tidak dapat dimungkiri,
tetapi kita seharusnya menyadari bahwa hal itu tidak sepenuhnya dapat
menyelesaikan persoalan kekiniaan, karena konteks persoalan yang dihadapi
sudah banyak berubah. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian kembali
terhadap keberadaan filsafat Islam yang lebih sesuai untuk menjawab
persoalan kekinian.
Perkembangan Ontologi dalam Filsafat Islam Ontologi berasal dari dua
kata onto dan logi, artinya ilmu tentang ada. Ontologi adalah teori tentang ada
dan realitas. Ontologi (ilmu hakikat) merupakan bagian dari metafisika, dan
metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Meninjau persoalan secara
ontologis adalah mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi,
ontologi adalah bagian dari metafisika yang mempelajari hakikat dan
digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan atau dengan kata
lain menjawab tentang pertanyaan apakah hakikat ilmu itu. Apa yang dapat
kita alami dan amati secara langsung adalah fakta, sehingga fakta ini disebut
fakta empiris, meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indra. Pembicaraan ontologi perlu pemisahan antara kenyataan dan
penampakan. dan pertanyaan penting di bidang ontologis adalah: “apakah
yang merupakan hakikat terdalam dari segenap kenyataan.213 Secara
ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada
daerah-daerah yang berada pada jangkauan pengalaman manusia. Dengan
demikian, objek penelaahan yang berada dalam daerah pra pengalaman
(seperti penciptaan manusia) atau pasca pengalaman (seperti hidup sesudah
mati) tidak menjadi pembahasan dalam ontologi.214 M. Quraish Shihab,
dalam buku Membumikan al-Qur’an, menyatakan bahwa ada realitas lain
yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra, sehingga terhadapnya tidak
dapat dilakukan observasi atau eksperimen.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud ontologi dalam filsafat islam?
2. Apa saja aspek ontologi?
3. Apa yang di maksud konsep ontologi?
4. Apa yang di maksud ontology dalam filsafat paripetik?

C. Tujuan
1. Mengetahui ontologi filsafat islam.
2. Mengetahui aspek ontologi.
3. Mengetahui konsep ontologi.
4. Mengetahui ontology dalam filsafat paripetik.

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ontologi
Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat tentu juga akan mengalami dinamika
dan perkembangan sesuai dengan dinamika dan perkembangan ilmu-ilmu
yang lain, yang biasanya mengalami percabangan. Filsafat sebagi suatu
disiplin ilmu telah melahirkan tiga cabang kajian. Ketiga cabang kajian itu
ialah teori hakikat (ontologi), teori pengetahuan (epistimologi), dan teori nilai
(aksiologi).1 Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk
menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy
dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The
Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan).2Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi
membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau
dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada’’.3 Jadi dapat
disimpulkan bahwa menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani,
yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu tentang hakikat
yang ada. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang
hakikat yang ada, yang merupakan Kenyataan yg asas, baik yang berbentuk
jasmani/konkret, maupun rohani / abstrak.
1. Bidang Kajian Ontologi
Ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada
tahun 1636 M yang menamai teori tentang hakikat yang ada bersifat
metafisis. Dalam perkembangannya, Christian Wolff (1679 – 1754 M)
membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika
khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi
dan teologi.[Amsal Bahtiar, 2004:135].Objek kajian ontologi adalah
hakikat seluruh kenyataan. Yang nantinya, objek ini melahirkan

1
Cecep Sumarna, 2006, hlm. 47.
2
Amsal Bakhtiar, 2007, hlm. 132.
3
Jujun S. Suriasumantri, 1985, hlm. 5.
pandangan-pandangan (point of view)/aliran-aliran pemikiran dalam
kajian ontologi antara lain Monoisme, Dualisme, Pluralisme, Nihilisme,
danAgnotisisme.
2. Aliran-aliran Ontologi
a. Monoisme yaitu paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari
seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua, baik
yang asal berupa materi ataupun rohani. Paham ini kemudian terbagi
kedalam 2 aliran yaitu materialism aliran materialisme ini
menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh Bapak Filsafat yaitu Thales (624-
546 SM). Dia berpendapat bahwa sumber asal adalah air karena
pentingnya bagi kehidupan. Aliran ini sering juga disebut naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya
fakta. Yang ada hanyalah materi/alam, sedangkan jiwa /ruh tidak
berdiri sendiri. Anaximander (585-525 SM). Dia berpendapat bahwa
unsur asal itu adalah udara dengan alasan bahwa udara merupakan
sumber dari segala kehidupan. Dari segi dimensinya paham ini sering
dikaitkan dengan teori Atomisme. Menurutnya semua materi tersusun
dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap
tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari itulah yang
dinamakan atom-atom. Demokritos (460-370 SM). Ia berpendapat
bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak
jumlahnya, tak dapat di hitung dan amat halus. Atom-atom inilah yang
merupkan asal kejadian alam. kedua Idealisme yaitu Idealisme
diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. 4 Aliran
ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang
tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik
yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap
hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu
menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah

4
Amsal Bakhtiar, 2007, hlm. 138.
membawa orang pada kebenaran sejati. Dalam perkembangannya,
aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya
yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati
ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi,
idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu
Aristoteles,George Barkeley, Immanuel Kant, Fichte, Hegel dan
Schelling.
b. Dualisme yaitu aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua
macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan
hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat
itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan
abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap
sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu
dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan).
Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan
Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia
menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes
(metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes,
ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried
Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).[Amsal Bakhtiar, 2007:142]
c. Pluralisme, paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Lebih jauh lagi paham ini menyatakan bahwa
kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur. Tokoh aliran ini pada
masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4
unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah
William James (1842-1910 M) yang terkenal sebagai seorang psikolog
dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth, James
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku
umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang
mengenal. Apa yang kita anggap benar sebelumnya dapat
dikoreksi/diubah oleh pengalaman berikutnya.
d. Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak
ada. Doktrin tentang nihilisme sudah ada semenjak zaman Yunani
Kuno, tokohnya yaitu Gorgias (483-360 SM) yang memberikan 3
proposisi tentang realitas yaitu: Pertama, tidak ada sesuatupun yang
eksis, Kedua, bila sesuatu itu ada ia tidak dapat diketahui, Ketiga,
sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita
beritahukan kepada orang lain. Tokoh modern aliran ini diantaranya:
Ivan Turgeniev (1862 M) dari Rusia dan Friedrich Nietzsche (1844-
1900 M), dengan pendapatnya bahwa dunia terbuka untuk kebebasan
dan kreativitas manusia. Ia dilahirkan di Rocken di Prusia dari
keluarga pendeta.
e. Agnotisisme paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk
mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun ruhani. Kata
Agnoticisme berasal dari bahasa Greek yaitu Agnostos yang berarti
unknown. A artinya not, Gnoartinya know. Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu
menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri
sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini seperti Filsafat Eksistensinya
Soren Kierkegaar (1813-1855 M), yang terkenal dengan julukan
sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme yang menyatakan bahwa
manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai
aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke
dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger
(1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu
ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami
dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980
M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat
beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau
sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan
terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi
maupun ruhani.5

B. Aspek Ontologi
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis
mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis
ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang
berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang
sesuai dengan akal manusia. Aspek ontologi ilmu pengetahuan tertentu
hendaknya diuraikan/ditelaah secara:
1. Metodis yaitu menggunakan cara ilmiah
2. Sistematis yaitu aling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu
keseluruhan.
3. Koheren yaitu nsur-unsurnya harus bertautan,tidak boleh mengandung
uraian yang bertentangan.
4. Rasional yaitu harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar (logis)
5. Komprehensif yaitu melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut
pandang, melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan
(holistik).
6. Radikal yaitu diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya.
7. Universal yaitu muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku
di mana saja.

5
Amsal Bakhtiar, 2007, hlm. 48.
C. Konsep Ontologi Filsafat Islam
Persoalan tentang obyek ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat disebut
ontologi.6 Ontologi adalah penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang
mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang
disebut dengan ilmu pengetahuan itu). Jadi dalam ontologi yang
dipermasalahkan adalah akar-akarnya hingga sampai menjadi ilmu. Ilmu
menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah yang bersifat
kongkret yang terdapat dalam dunia nyata. Secara ontologis, ilmu membatasi
masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat pada ruang
jangkauan pengalaman manusia. Hal ini harus disadari karena inilah yang
memisahkan daerah ilmu dengan agama. Agama mempermasalahkan pula
obyek-obyek yang berada di luar pengalaman manusia. Perbedaan antara
lingkup permasalahan yang dihadapi juga menyebabkan perbedaan metode.
Hal ini harus diketahui dengan benar untuk dapat menempatkan ilmu dan
agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa mengetahui hal ini maka
mudah sekali kita terjatuh dalam kebingungan. Padahal dengan menguasai
hakekat ilmu dan agama secara baik, akan memungkinkan pengetahuan
berkembang lebih sempurna, karena kedua pengetahuan itu justeru saling
melengkapi. Di satu pihak, agama akan memberikan landasan moral bagi
aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain, ilmu akan memperdalam
keyakinan beragama. Dalam kajian beberapa pendapat, ontologi dapat
dikatakan sebagai metafisika. Pengertian sederhana dari metafisika yaitu
kajian tentang sifat paling dalam dan radikal dari kenyataan. Metafisika dan
ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya berusaha
menyusun pertanyaan-pertanyaan umum. Tetapi, metafisika berkaitan dengan
konsep-konsep yang kejadiannya tidak dapat diukur secara empiris. Dalam
hal ini tidak berarti bahwa metafisika menolak ilmu pengetahuan. Sebaliknya
ilmu pengetahuan sendiri menimbulkan masalah tentang hakekat realitas.
Metafisika berusaha untuk memecahkan masalah hakekat yang tidak mampu
6
Rahmat, Pendidikan Islam Sebagai Ilmu (Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi), Dalam
Jurnal Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,
Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011, Hlm. 138.
ilmu pengetahuan memecahkannya. Metafisika secara praktis akan menjadi
persoalan utama dalam pendidikan. Karena peserta didik bergaul dengan
dunia sekitarnya, maka ia memiliki dorongan yang kuat untuk memahami
tentang segala sesuatu yang ada. Peserta didik, baik di sekolah maupun di
masyarakat, selalu menghadapi realitas, mengalami segala macam kejadian
dalam kehidupannya. Di sini terlihat tujuan mempelajari metafisika bagi
filsafat pendidikan untuk mengontrol secara implisit tujuan pendidikan, untuk
mengetahui dunia pesrta didik.
Seorang pendidik, terutama filosof pendidikan, tidak hanya tahu tentang
hakekat dunia di mana ia tinggal, melainkan juga ia harus tahu hakekat
manusia, khususnya hakekat peserta didik. Oleh karena itu metafisika
memiliki implikasi-implikasi penting untuk pendidikan karena kurikulum
sekolah berdasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai realitas. Dalam
ajaran Islam realitas tidak hanya terbatas pada yang lahiriah dalam bentuk
alam nyata, melainkan menyangkut realitas yang gaib. Realitas yang lahiriyah
dan yang gaib itu berawal dari yang tunggal, yaitu Tuhan. Dalam pemahaman
seperti ini maka dapat dikatakan obyek pendidikan Islam itu tidak hanya
terbatas pada alam fisik (alam dan manusia), melainkan menyangkut Tuhan.
Berbicara seputar Tuhan, alam dan manusia dalam keterkaitan dengan
filsafat pendidikan Islam tidak telepas dengan kajian teologi, kosmologi dan
antropologi. Pembicaraan tentang Tuhan merupakan hal yang mendasar
dalam pendidikan Islam, karena manusia adalah ciptaan-Nya. Oleh karena itu
sebelum manusia melaksanakan pendidikan perlu memahami terlebih dahulu
bagaimana konsep tentang Tuhan dan hubungannya dengan realitas yang
menjadi ciptaan-Nya. Pemahaman penghubungan persoalan transenden
dengan dunia empirik akan melahirkan ilmu pendidikan Islam yang memiliki
karakteristik tersendiri, yang berasumsi bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah Allah, yang disampaikan melalui pengalaman batin Nabi Muhammad
Saw., yang mewujud dalam bentuk fenomena qauliyah, serta disampaikan
melalui penciptaan yang mewujud dalam bentuk fenomena kauniyah. Dari
kedua fenomena tersebut dapat digali dan dikaji konsepkonsep pendidikan
yang bersifat universal, sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran filosofis
dan asas-asas pendidikan Islam, yang kemudian di-break down ke dalam
kegiatan-kegiatan ilmiah, yang pada gilirannya melahirkan teori-teori atau
ilmu pendidikan Islam. Konsep dasar pendidikan Islam bertumpu pada unsur-
unsur utama yang disebut tauhid. Semua harus merujuk pada tauhid. Tauhid
dalam pandangan Islam, merupakan landasan seluruh konsep dan aturan
hidup ini dibangun. Adapun sumber pokok pembangunan tauhid adalah
wahyu yang dinukilkan dalam Al-Qur’an dan alsunnah. Pada tataran awal,
tauhid bersinggungan dengan kosmologi. Kosmologi pendidikan Islam yang
berkembang selama ini, pada umumnya diposisikan pada dikotomi dunia
akhirat. Ruang dunia adalah ruang pendidikan umum dan ruang akhirat
adalah ruang pendidikan agama. Ruang dunia adalah ruang empirik dalam
waktu kini, sedang ruang akhirat adalah ruang spiritual yang ada di balik
kehidupan dunia ini, dalam waktu esok yang sangat jauh, yaitu kehidupan
setelah kematian.7
Pendidikan Islam yang bercorak dikotomik, pada hakekatnya bertentangan
dengan Islam itu sendiri yang fundamental visinya adalah tauhid, yang tidak
mengenal adanya pemisahan antara pendidikan umum dan pendidikan agama,
keduanya merupakan kesatuan pendidikan Islam, yaitu penguasaan ilmu
dunia untuk tujuan akhirat. Oleh karena itu, visi tauhid dalam pendidikan
Islam perlu diaktualisasikan lebih kongkret dalam keterlibatanya yang
intensif dengan dinamika perubahan dan pluralitas, karena pendidikan pada
dasarnya adalah bagian dari dinamika perubahan kehidupan masyarakat.
Dalam konteks ini, visi tauhid sesungguhnya diperlukan untuk menemukan
kesatuan akar dari pluralitas yang harus dijaga, dikembangkan dan
ditransendensikan sehingga pluralitas menjadi bagian dari proses pengayaan
kehidupan spiritual. Pada tataran kedua, tauhid bersinggungan dengan
manusia. Dalam filsafat pendidikan, antropologi merupakan ilmu yang
memberlakukan manusia sebagai satu keseluruhan. Manusia tidak hanya
7
Rahmat, Pendidikan Islam Sebagai Ilmu (Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi), Dalam
Jurnal Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,
Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011, Hlm. 139.
objek, tetapi juga subyek ilmu. Manusia dipelajari dalam ilmu ini dari fisik
dan metafisika, pikiran dan perasaan. Ilmu ada sebagaimana manusia
menciptakannya yang ontology tanpa keberadaan manusia, tidak ada ilmu,
karena ilmu adalah bentukan manusia. Ilmu pengetahuan tentang manusia
lebih rumit dan kompleks karena mempelajari obyek yang dirinya adalah
bagian dari obyek itu sendiri. Proses pendidikan merupakan interaksi
pluralitas antara manusia dengan manusia, dengan lingkungan alamiah, sosial
dan kultural akan sangat ditentukan oleh aspek manusianya. Kedudukan
manusia sebagai subyek di dalam masyarakat dan di alam semesta ini,
memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengembangkan amanat untuk
manusia dan mengembangkan manusia sesamanya, memelihara alam
lingkungan hidup bersama. Lebih jauh manusia bertanggung jawab atas
martabatnya.8 Manusia sebagai objek pendidikan Islam adalah manusia yang
telah tergambar dan terangkum dalam Al-Qur’an dan al-sunnah. Dalam kedua
sumber itu, manusia dianggap manusia yang paling lengkap, terdiri dari unsur
jasmani dan ruhani, unsur jiwa dan akal, unsur nafs dan qalb. Pendidikan
Islam tidak bersifat dikotomis dalam menangani unsur-unsur tersebut.
Melainkan dengan menganggap semuanya merupakan kesatuan. Unsur-unsur
potensi yang dimiliki manusia tidak akan berlangsung secara alamiah dengan
sendirinya, tetapi ia membutuhkan bimbingan dan bantuan manusia lain.
Sejak lahir manusia akan berinteraksi dengan manusia lain. Manusia akan
menjadi manusia kalau hidup bersama-sama dengan manusia lain di luar
dirinya. Semua ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Di
samping mnyadari posisi manusia sebagai makhluk individual dan sosial,
manusia juga memiliki kesadaran adanya suatu kekuatan yang berada di luar
dirinya. Kesadaran ini akan melahirkan prinsip ketauhidan dalam pendidikan
Islam. Prinsip ketahui dan dalam pendidikan Islam menjadi dasar bagi
penyusunan bahan-bahan, kurikulum, metode dan tujuan pendidikan.

8
Rahmat, Pendidikan Islam Sebagai Ilmu (Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi), Dalam
Jurnal Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,
Volume 6 Nomor 2 Tahun 2011, Hlm. 140.
D. Ontologi dalam Filsafat Paripatetik
Problema alam yang diwarisi filsuf-filsuf Muslim dari filsafat Yunani
adalah bahwa alam itu qadim (azali). Hal ini sebagaimana tegas dinyatakan
oleh Aristoteles, dan kurang tegas dinyatakan oleh Plato dan Plotinus. Plato
mengatakan bahwa alam ini qadim, tetapi Tuhanlah yang mengaturnya.
Sementara itu, Plotinus menampilkan teori pancaran (pelimpahan) dalam hal
kejadian alam, yang mengandung unsur panteisme. Semua teori tersebut jelas
bertentangan dengan ajaran Islam, yang dengan tegas menetapkan bahwa
Tuhan adalah pencipta alam dari ketiadaan (Creator ex Nihilo), berlainan
sama sekali dengan alam, Maha Tinggi dari segala sesuatu, dan bebas dalam
perbuatan-Nya menciptakan alam ini. Dalam hal ini, para filsuf Muslim juga
berbeda pendapatnya, meskipun secara umum mereka telah mengambil jalan
tengah (pemaduan) antara ajaran agama dengan filsafat Yunani. Al-Kindi
secara radikal menyatakan bahwa alam ini tidak kekal. Sebab, menurutnya,
semua benda fisik terdiri atas materi dan bentuk, yang bergerak di dalam
ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang, dan waktu merupakan unsur
dari setiap fisik dan karenanya terbatas, meskipun fisik ini adalah wujud
dunia. Oleh karena terbatas, maka tak kekal, dan hanya Allah jualah yang
kekal.216 Al-Farabi menafsirkan alam ini berasal dari al-Awwal (Yang Maha
Pertama) melalui proses emanasi. Dari “Yang Pertama” melimpah “Pertama”
yang lain (akal pertama), karena apa yang berasal dari “satu” harus “satu”
juga, seperti keluarnya cahaya dari matahari.9
Perkembangan Ontologi dalam Filsafat Islam yang lain, wujud kedua)
memancar akal kedua (wujud ketiga), dan begitu seterusnya sampai muncul
akal kesepuluh (wujud kesebelas), dan dari padanya muncullah bumi serta
roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam,
yaitu api, air, udara, dan tanah. Jadi, dari akal kesepuluh (akal fa‘a>l) inilah
keluar alam (bumi) yang ditempati manusia serta seisinya dan merupakan
jiwa yang mengaturnya. Walaupun materi itu makhluk, tetapi itu tercipta

9
M.M. Sharif, A History of Moslem Philosophy (Delhi: Low Price Public tion, 1998), hlm. 24.
tanpa mempunyai permulaan dalam waktu, yakni qadim.217 Teori emanasi
ini ternyata diterima juga oleh Ibnu Sina, dengan sedikit perbedaan tentang
rincian objek pemikiran bagi akal-akal. Al-Farabi hanya menyebut dua objek
pemikiran bagi akal-akal, yaitu Tuhan dan diri-Nya sendiri. Sementara, Ibnu
Sina menyebut tiga objek, yaitu Tuhan, dirinya sendiri sebagai wa>jib al-
wuju>d, dan diri-Nya sebagai mumkin al-wuju>d. Sebenarnya para filsuf
Muslim dengan teori ini ingin menetapkan adanya penciptaan (ibda’ al-khalq)
sebagaimana konsep al-Qur’an, meskipun mereka menggambarkan
penciptaan dengan gambaran spiritual rasional, dan masih sependapat dengan
Aristoteles dengan qadimnya alam.
Adapun Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dari satu segi, alam ini adalah
baru, sebab wujudnya membutuhkan sebab dari luar, yakni Tuhan sebagai
Pencipta Pertama. Akan tetapi, dari sisi lain, alam ini qadim, sebab adanya
tidak didahului oleh adam (tiada) dan tidak pula didahului oleh zaman, sebab
wujudnya bukan terjadi secara Creatio ex Nihilo, tetapi bahan-bahannya telah
tersedia. Suhrawardi adalah tokoh sufi falsafi yang paham tentang filsafat
Platonisme, Paripatetisme, Neo-Platonisme, hikmah Persia, aliran-aliran
agama, dan hermeneutikisme. Tasawuf falsafi Suhrawardi dikenal dengan
“Filsafat Isyraqiyah” (Iluminatif) yang secara ontologis ataupun
epistemologis lahir sebagai alternatif atas kelemahan-kelemahan pemikiran
sebelumnya, khususnya Paripatetik Aristotelian. Kelemahan filsafat
Paripatetik secara epistemologis menurut Suhrawardi adalah bahwa penalaran
rasional dan silogisme rasional tidak akan bisa menggapai seluruh realitas
wujud, dan pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan
sesuatu yang diketahuinya. Memang manusia adalah makhluk berpikir dan
merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding dengan makhluk
Tuhan lainnya. Kapasitas berpikir yang dimilikinya menjadikan manusia
menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk Tuhan lain. Kemampuan
ini pula yang mendorong manusia menuju ke kondisi yang lebih baik.
Manusia diciptakan Tuhan dengan ciri khusus yang tidak dimiliki oleh
makhluk yang lain, yaitu daya berpikir. Akan tetapi, ada yang lebih spesifik
lagi bagi manusia, yaitu intuisi atau daya batiniah yang oleh Suhrawardi
dipadukan dengan daya berpikir tersebut, sehingga menghasilkan pemikiran
Iluminasi atau Hikmah al-Isyraq. Iluminasi dalam bahasa Inggris adalah
illuminiation yang dijadikan padanan kata isyraq yang berarti cahaya atau
penerangan. Tegasnya, iluminasi (isyraqi) berkaitan dengan kebenderangan
atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan,
kebahagiaan, ketenangan, dan hal lain yang membahagiakan. Dalam bahasa
filsafat, iluminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk
dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni.
Bagi kaum isyraqi, apa yang disebut hikmah bukanlah sekadar teori yang
diyakini, melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan
yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang
mustahil menuju kepada cahaya yang bersifat akali yang di dalamnya
pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama. Oleh karena itu,
menurut kaum isyraqi, sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu
berupa semacam hads yang Perkembangan Ontologi dalam Filsafat Islam
menghubungkan dengan substansi cahaya. Cahaya adalah simbol utama dari
filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan suatu faktor
yang menentukan wujud bentuk meteri, hal-hal masuk akal yang primer dan
sekunder, intelek, jiwa, zat individual, dan tingkat-tingkat intensitas
pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan
karakter dari bangunan filsafat isyraqiyyah. Menurut Suhrawardi, cahaya dan
gelap masing-masing memiliki dua jenis, yaitu cahaya dalam realitas dirinya
dan untuk dirinya sendiri (nur bi nafsihi li nafsihi) dan cahaya dalam dirinya
sendiri tetapi untuk sesuatu yang lain (nur fi nafsihi wa huwa li gairihi).
Bentuk cahaya pertama merupakan cahaya asli, paling murni, tidak tercampur
dengan kegelapan sedikit pun, dan tidak inheren di dalam sesuatu apapun
yang lain.
Perkembangan Ontologi dalam Filsafat Islam jauhariyah), maujud
senantiasa bergerak atau berpindah dari suatu tingkatan ke tingkatan lainnya
yang di sebut “ambiguitas wujud” (tasykik al-wujud). Manusia sebagai
mauju>d yang memiliki karsa bebas dan potensi yang kuat selalu bergerak
menempuh tangga eksistensial berdasarkan tingkatan mental-spiritualnya.
Semakin baik mental-spiritual seseorang, maka semakin naik menangkap atau
mendaki kebenaran yang puncaknya adalah “Sang Wujud Sejati” sebagai asal
semua mauju>d, atau Sang Kebanaran (al-Haqq), yaitu Allah swt. Prinsip
selanjutnya yang dikemukakan Mulla Sadra adalah gradasi wujud. Gradasi
wujud merupakan gambaran atas wujud tunggal, tetapi memiliki gradasi yang
berbeda disebabkan tingkatan kualitas yang ada pada wujud tersebut. Hal ini
menyebabkan wujud tersebut memiliki dua sifat pada saat yang bersamaan,
yaitu ketunggalan (univok) dan keragaman (ekuivok) yang dalam istilah
Mulla Sadra disebut “keragaman dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam
keragaman” (al-kasrah fi> ‘ain al-wah}dah wa alwah}dah fi> ‘ain al-
kasrah).226 Mulla Sadra dalam menjelaskan pemikirannya ini menggunakan
perumpamaan cahaya, seperti halnya Suhrawardi dalam menjelaskan realitas
kuiditas. Baginya, wujud seperti halnya level-level cahaya matahari yang
merupakan gambaran Tuhan bagi alam materi, bagaimana dia memancarkan
dan menampilkan warna-warna pada cermin, dan pada saat yang sama
cahayacahaya tersebut merupakan cahaya dirinya sendiri. Tidaklah terjadi
perbedaan di antaranya kecuali pada kepadatan dan ketidakpadatan semata.
Manusia yang terpaku hanya pada cermin dan warna-warna yang ditampilkan
dan terhijab dengannya dari cahaya hakiki dari level-level hakiki yang
terpancar turun, menurut Mulla Sadra, manusia tersebut tidak mampu
memahami realitas cahaya-Nya. Sebagaimana pandangan yang menyatakan
bahwa kuiditas adalah persoalan hakiki yang merealisasikan wujud,
sedangkan wujud hanya merupakan persoalan abstraksi mental. Bagi manusia
yang menyaksikan beragam warna cahaya dan memiliki kesadaran bahwa hal
tersebut dimunculkan oleh cermin semata dan warna-warna tersebut pada
substansinya adalah cahaya, maka manusia seperti itu dapat memahami
cahaya yang sesungguhnya dan jelaslah baginya bahwa yang menampakkan
kuiditas dan keragamannya tidak lain adalah level-level wujud itu sendiri.
Berdasarkan prinsip ini, Mulla Sadra menyatakan bahwa wujud merupakan
pancaran dari “Wujud Tuhan” seperti cahaya memancarkan warna-warna.
Wujud Mutlak memancarkan kuiditas-kuiditas (mahiyah) yang bersifat imkan
yang tidak lain merupakan ragam bentuk makhluk.227 Gradasi wujud yang
dikemukakan Mulla Sadra ini merupakan perkembangan konsepsi dalam
filsafat Islam, karena pendahulunya, yaitu Ibnu Sina, telah meyakini bahwa
yang utama dan real tidak lain adalah wujud, hanya saja dalam proses
munculnya wujud imkan pemikiran Ibnu Sina tidak mengenal prinsip gradasi
ini. Menurut Ibnu Sina, dalam proses penciptaan wujud imkan, sekalipun ada
tingkatan intelek, akan tetapi pada saat yang sama wujud imkan tersebut
terikat dalam kesatuan substantif, masing-masing berdiri secara independen.
Melalui prinsip gradasi wujud ini, terlihat dengan jelas upaya Mulla Sadra
untuk menyelesaikan ketegangan antara kecenderungan monistik para sufi,
bahwa semua realitas pada akhirnya akan lenyap di hadapan “Realitas
Tunggal Tuhan”. Mulla Sadra diketahui pernah menjadi pendukung bagi
pandangan seperti ini, karenanya dirinya sempat terusir dari Syiraz dan
menyebabkannya mengasingkan diri di Kahak. Adapun menurut pandangan
pluralistik, wujud adalah pandangan bahwa setiap identitas merupakan wujud
independen yang berbeda, baik di antara setiap forma wujud maupun antara
wujud imkan dan niscaya, yang pada umumnya pandangan seperti ini dianut
para teolog.
Perkembangan Ontologi dalam Filsafat Islam menyatukan kedua
pandangan di atas, karena wujud dalam gradasi wujud adalah univok
sekaligus ekuivok. Sedikit sulit untuk memahami teori ini tanpa muncul
persoalan kontradiksi bahwa yang tunggal sekaligus plural, akan tetapi Mulla
Sadra sejak awal telah mengingatkan bahwa univok dan ekuivok tersebut
tidak dalam satu dimensi. Univok dalam hakikat wujudnya, sedangkan
ekuivok dalam kualitas wujudnya.228 Mulla Sadra secara lebih rinci
menjelaskan tentang gradasi wujud sebagai berikut.229 Wujud Murni, yaitu
wujud yang keberadaannya tidak tergantung kepada selain dirinya dan tidak
terbatasi oleh apapun. Keberadaannya mendahului segala sesuatu yang lain,
dan Dia ada pada dirinya sendiri tanpa perubahan dan pergerakan. Dia oleh
para arif disebut ketersembunyian murni, kerahasiaan yang absolut, dan ke-
Esa-an zat yang hanya bisa diketahui melalui perumpamaan-perumpamaan
dan bekas-bekas-Nya. Wujud Muqayyad, yaitu wujud yang keberadaannya
tergantung kepada selain dirinya. Ia merupakan wujud yang dibatasi dengan
atribut-atribut yang merupakan tambahan pada dirinya, seperti akal-akal,
jiwa-jiwa, benda-benda langit, unsur-unsur yang membentuk manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati, dan seluruh maujud tertentu. Wujud
Absolut dalam penyebarannya, yaitu realitas yang menyebar ke seluruh
bentuk yang bersifat mungkin dan pada lembaran-lembaran seluruh mahiyah,
tanpa dibatasi dengan deskripsi tertentu. Apa yang dijelaskan Mulla Sadra di
atas bukan untuk menegaskan bahwa Tuhan itu wujud, tetapi ingin
menunjukkan persepsi yang benar bahwa secara hakiki, Tuhan sebagai satu-
satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan menghadirkan semua
maujud, Dia meliputi segala hal, sehingga setiap realitas selain-Nya
merupakan manifestasi dan tajalli wujudNya. Wujud makhluk jika
dibandingkan dengan Wujud Tuhan bukanlah wujud hakiki, melainkan
sebagai bayangan, citra, dan manifestasi sifat-sifat dan nama-nama Tuhan.
Perbedaan Wujud Tuhan dengan makhluk tidak dipahami sebagai dua realitas
yang memiliki batasan dan garis pemisah, tetapi terletak pada kesempurnaan
Tuhan dan kekurangan makhluk dan kekuatan Tuhan dan kelemahan
makhluk. Oleh karena itu, perbedaan antara keduanya tidak bersifat berhadap-
hadapan, melainkan bersifat meliputi dalam rangkaian gradasi dari
manifestasi Zat dan Sifat-Sifat-Nya. analisis.
Sebagai pemikir Islam yang elaboris-dialektis, Mulla Sadra dalam
menerima tesis kaum eksistensialisme tidak secara keseluruhan persis,
demikian pula dalam menolak gagasan kaum esensialisme juga tidak secara
total. Dia melakukan elaborasi dan harmonisasi antara kedua aliran tersebut
dengan meracik secara apik, sehingga melahirkan wacana baru yang sintesis
dan simetris, baik dari segi metodologis maupun argumentatif. Hanya saja,
rumusan pemikiran Mulla Sadra tersebut secara terminologis condong kepada
kaum eksistensialisme sebagaimana terlihat dari berbagai statemen di atas.
Namun, jika dicermati, Mulla Sadra tetap mengakui bahwa esensi (mahiyah,
kuiditas) merupakan realitas penting bagi suatu eksistensi. Ibnu Sina sebagai
tokoh filsafat paripatetik meyakini bahwa yang utama dan real adalah wujud,
sedangkan Syaikh Isyraq, Suhrawardi, dengan filsafat iluminasi menganggap
mahiyah yang real dan hakiki. Suhrawardi mengemukakan argumentasi atas
keyakinannya tersebut, bahwa jika yang utama dan real tersebut adalah
wujud, maka yang mewujud di luar adalah wujud. Wujud tersebut pastilah
memiliki atribut kewujudan, dan sesuatu yang mewujud pastilah terdapat
pada dirinya wujud, sehingga terjadi lingkaran setan, dan hal tersebut
mustahil. Selain alasan tersebut, perkembangan ontologi dalam Filsafat Islam
Syaikh Isyraq juga menolak terhadap wujud sebagai realitas yang utama
berdasarkan argumen, bahwa wujud, karena merupakan konsep yang paling
umum dibandingkan segala sesuatu, maka wujud sebenarnya tidak lebih
sebagai konsep sekunder. 230 Mulla Sadra beranggapan bahwa yang benar
adalah pandangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa wujud-lah yang utama
dan real, sedangkan mahiyah hanyalah aksiden atau hanya abstraksi mental.
Perkembangan Ontologi dalam Filsafat Islam Islam, yaitu: (a) eksistensi
adalah “penampakan” (appearence) yang tidak hakiki (real); (b) eksistensi
adalah kenyataan hakiki yang manunggal, dalam arti tidak ada kemajemukan
sama sekali di dalamnya; (c) eksistensi adalah kenyataan hakiki yang
majemuk, dalam arti eksistensi setiap maujud merupakan realitas yang
berbeda dengan maujud lain, dan bahwa eksistensi dalam setiap ragam
kuiditas merupakan sesuatu yang sederhana; dan (d) eksistensi adalah
kenyataan hakiki yang sekaligus bersifat manunggal dan majemuk, yakni
eksistensi adalah realitas bergradasi dengan derajat yang beragam. Keempat
konsep tentang eksistensi itu merupakan khazanah yang diperselisihkan di
kalangan kaum arif yang ternyata ada perbedaan tipis dengan konsep Mulla
Sadra mengenai maujud kontingen (mumkin al-wujud). Meskipun sebagian
kaum arif mengakui sejenis gradasi dalam eksistensi, tetapi tidak mengakui
adanya tingkat eksistensi sebagai keserbamungkinan yang membutuhkan (al-
imkan al-faqri). Sebaliknya, filsafat Mulla Sadra justru didasarkan pada
gagasan keserbamungkinan tersebut.234 Sebelum Mulla Sadra, Ibnu ‘Arabi
menyatakan bahwa wujud ini pada hakikatnya adalah satu, yakni Wujud Allah
Yang Mutlak, yang ber-tajalli (menampakkan diri) dalam tiga martabat, yaitu:
Martabat1. Ah adiyyah (Za tiyyah), yaitu Wujud Allah sebagai Zat Yang
Maha Mutlak, mujarrad, tidak bernama, dan tidak bersifat, serta tidak
dipahami dan tidak dapat dikhayalkan, sehingga tidak bisa dinamai Tuhan.
Martabat. Wahidiyyah (tajalli zat, faid} aqdas), yakni Zat Yang Mutlak dan
mujarrad itu ber-tajalli melalui sifat dan asma. Zat itu dinamakan Allah yang
memiliki sifat-sifat dan asma-asma yang sempurna (Asma’ al-H{usna) yang
tidak berlainan (identik) dengan Zat Allah (‘Ain az Zat) pada satu sisi, tetapi
pada sisi lain merupakan hakikat alam empiris ini (a‘yan sabitah, ta‘ayyun
awwal) yang belum memiliki wujud riil. Martabat3. tajalli syuhudi (ta‘ayyun
sani, faid} muqaddas), yakni tajalli Allah melalui asma dan sifat-Nya dalam
kenyataan empiris melalui proses “kun”, maka a‘yan s \a>bitah sebagai
wujud potensial dalam Zat Ilahi menjadi kenyataan aktual dalam berbagai
citra alam empiric. Jadi, alam yang merupakan kumpulan fenomena empiris
adalah wadah (mazhar) dalam berbagai wujud atau bentuk yang tiada
akhirnya.235 Gradasi wujud atau yang dalam istilah Mulla Sadra disebut
dengan tasykik al-wujud, dibanding teori-teori filsafat yang dikemukakan
para filsuf Muslim sebelumnya lebih dekat pada prinsip martabah al-wuju>d
Ibnu ‘Arabi, sekalipun tidak persis sama, yakni prinsip yang dijadikan
pendekatan secara filosofis untuk memahami teori wujud. Jika kita melacak
lebih jauh pandangan Mulla Sadra, akan mendapati kecenderungannya pada
pandangan wah}dah al-wuju>d, sehingga secara tidak langsung memberikan
kesan bahwa pandangan gradasi wujud hanyalah upaya Mulla Sadra untuk
memberikan bukti-bukti filosofis terhadap ajaran wah}dah al-wuju>d.
Mengenai tingkatan wujud ini, dalam sejarah pemikiran Islam mengalami
perkembangan wacana di kalangan sufi, termasuk para sufi Nusantara, seperti
Hamzah Fansuri (w. 1590 M) yang memiliki ajaran lima martabat wujud.
Lima martabat wujud Hamzah Fansuri ini kemudian dikembangkan oleh
muridnya yang bernama Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630 M) menjadi
martabat tujuh.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan
yang paling kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori
tentang keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya, ontologi
membicarakan tentang hakikat tentang segala sesuatu. Hakikat disini berarti
kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang fatamorgana). Dalam
ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme,
dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah paham
yang menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal
sesuatu itu bisa berupa materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh).
Dualisme adalah aliran yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua
hakikat (hakikat materi dan ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan
spirit). Pluralisme adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal
merupakan kenyataan. Nihilisme adalah paham yang tidak mengakui validitas
alternatif yang positif. Dan agnostisisme adalah paham yang mengingkari
terhadap kemampuan manusia dalam mengetahui hakikat benda. Jadi, dapat
disimpulakan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang
sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat
tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme, dualisme,
pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan
kenyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.
Kritik dan saran dari pembaca akan kami jadikan sebagai bahan pertimbangan
agar makalah berikutnya bisa lebih baik

DAFTAR PUSTAKA
Asy’arie, Musa. 1999. Filsafat Islam Tentang Kebudayaan. Cet. I; Yogyakarta:
LESFI.
Asy’arie, Musa. 1992. Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis,
Aksiologis, dan Perspektif. Yogyakarta: LESFI.

Jalal, Abdul Fatah. 1988. Min Usūl al-Tarbiyah fī al-Islam. terj. Henry Nur Ali,
Azas-azas Pendidikan Islam. Cet. I; Bandung: Diponegorro.

Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Logos.

Muhaimin dan Mujib Abdul. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis
dan Kerangka Dasar Operaionalnya. Cet. I; Bandung: Trigenda Karya.

Solihin, M. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga modern.


Cet. I; Bandung: Pustaka Setia.

Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Cet. XVIII;
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai