Anda di halaman 1dari 126

HEALTH POLITICS:

Teori dan Praktek

Sukri Palutturi, SKM, M.Kes., MSc.PH, PhD


Buku ini saya dedikasikan kepada istri dan anak saya:
Aslina Asnawi, Ahmad Farhan Tanatoa, Ahmad Fauzan Tanatoa, dan
Ahmad Farhat Tanatoa
KATA PENGANTAR

Buku ini terbit terinspirasi dari keterbatasan referensi berbahasa Indonesia,


pengalaman dan pembelajaran bersama mahasiswa S1, S2 dan S3 dalam bidang
kesehatan masyarakat di berbagai universitas dan sekolah tinggi kesehatan di
Indonesia khususnya Indonesia Bagian Timur. Sebut saja di Universitas Hasanuddin
itu sendiri tempat penulis mengabdi, Universitas Haluoleo, Universitas Tadulako,
Universitas Islam Negeri Makassar, Universitas Muslim Indonesia, Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Tamalate dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Makassar; pengalaman
bersama para pengambil kebijakan pada level pemerintah kabupaten/kota, para
politikus, pejabat provinsi sampai pengambil kebijakan pada tingkat kementerian.
Jujur saja saya tidak memiliki pendidikan formal tentang politik, namun kami
menyadari bahwa politik kesehatan merupakan kajian yang sangat penting dalam
bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan di Indonesia.

Sebuah kondisi yang berbeda saat pertama kali penulis tiba di Kota Brisbane
Australia di awal tahun 2008 untuk melanjutkan bidang saya pada program Master of
Science in Public Health (MSc.PH) yang kemudian diakhir tahun 2009 berlanjut
mengambil program Doctor of Phylosophy (PhD) di Griffith University, suasana
akademik yang begitu berbeda di Indonesia. Ruang perpustakaan yang sangat
menarik dan didukung oleh fasilitas internet dan tersedianya berbagai referensi yang
dibutuhkan termasuk buku yang relevan dengan kajian politik kesehatan. Saya
menemukan beberapa buku yang menginspirasi lahirnya buku ini misalnya The
Politics of Health: The Australian Experience (1995), buku yang diedit oleh Healther
Gardner dan diterbitkan oleh Churcill Livingstone; The political economy of health,
buku yang ditulis oleh Doyal dan Pennell (1979), diterbitkan oleh Pluto Press di
London; . The politics of health in Europe, ditulis oleh Freeman (2000), diterbitkan
oleh University of Manchester Press, Manchester; Theory and methods in political
science, ditulis oleh Marsh dan Stoker (2002), diterbitkan oleh Palgrave Macmillan,
Basingstoke, UK; dan Toward the Healthy City: People, Places and the Politics of
Urban Planning, ditulis oleh Corburn (2009), diterbitkan oleh The MIT Press:
Cambridge, Massachusetts, London. Beberapa buku diantaranya relatif tua tetapi bagi
kami isi dari buku tersebut merupakan hal baru. Kesemua aspek ini menguatkan saya
untuk terus mencoba menulis sampai lahirnya buku ini di tangan pembaca.

Tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan bukan saja persoalan sakit, dokter,
tempat tidur dan obat. Determinan kesehatan sangat kompleks, masalah kesehatan
adalah masalah ekonomi, sosial budaya dan bahkan masalah kesehatan adalah
masalah politik. Mengapa kesehatan banyak berkaitan dengan masalah politik karena
kebijakan kesehatan yang lahir hingga hari ini baik berubah peraturan, program dan
penganggaran tidak lepas dari kekuasaan, perdebatan berbagai kepentingan politik,
dan persaingan, bahkan tidak sedikit keputusan kesehatan sangat ditentukan oleh
seorang bupati, walikota, gubernur dan presiden dan juga ketergantungan pada
ketukan palu sidang anggota dewan yang terhormat.
Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama membahas konsep, kompetensi dan
etika politik kesehatan. Bab ini menjelaskan tentang konsep dasar politik kesehatan:
sifat politik kesehatan, mengapa kesehatan menjadi isu politik dan bagaimana
kontribusi politik dalam bidang kesehatan. Kompetensi politik: keterampilan politik
dalam bidang kesehatan, keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan sosial,
jenis keterampilan sosial, dimensi keterampilan politik dan bagaimana membangun
keterampilan politik. Selain itu bagian ini pula menjelaskan etika politik kesehatan,
standar etika politik kesehatan, siapa yang menentukan etika atau tidak beretika
dalam bidang kesehatan. Bagian kedua membahas keterampilan dan implementasi
politik kesehatan. Bab ini meliputi komunikasi politik kesehatan, advokasi kesehatan
masyarakat, pemilu: kesehatan dan komitmen aktor politik, the politics of Healthy
Cities. Bagian terakhir dari Bab ini pula membahas secara khusus tentang Politik
Global: Dari MDGs ke SDGs, sebuah evaluasi MDGs berkaitan dengan pencapaian
khususnya yang berkaitan dengan bidang kesehatan dan strategi yang perlu dilakukan
pasca MDGs untuk memenuhi tantangan kesehatan tersebut.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
terbitnya buku ini. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak luput dari
kesalahan dan kekhilafan. Karena itu, penulis mengapresiasi atas segala saran dan
kritik yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan buku ini. Akhirnya semoga
karya ini dapat memberi manfaat kepada kita semua dalam pengembangan ilmu
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Iman, ilmu, amal padu mengabdi.

Makassar, Oktober 2015

Sukri Palutturi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR KOTAK

BAGIAN PERTAMA: KONSEP, KOMPETENSI DAN ETIKA POLITIK


KESEHATAN

BAB I KONSEP DASAR POLITIK KESEHATAN


1.1 Pendahuluan
1.2 Makna Politik dan Kesehatan
1.3 Sifat Politik Kesehatan
1.4 Mengapa Kesehatan menjadi Isu Politik
1.5 Politik dan Outcome Kesehatan
1.6 Diskusi dan Penugasan
1.7 Penutup

BAB II KOMPETENSI POLITIK KESEHATAN


2.1 Pendahuluan
2.2 Keterampilan Politik dalam Bidang Kesehatan
2.3 Jenis-Jenis Keterampilan Sosial
2.4 Dimensi Keterampilan Politik
2.5 Kompetensi Politik dalam Organisasi
2.6 Membangun Keterampilan Politik
2.7 Diskusi dan Penugasan
2.8 Penutup

BAB III ETIKA POLITIK KESEHATAN


3.1 Pendahuluan
3.2 Pengertian Etika, Etika Politik dan Etika Politik Kesehatan
3.3 Standar Penilaian Etika Politik Kesehatan
3.4 Siapa yang Menentukan Etik atau Tidak?
3.5 Diskusi dan Penugasan
3.6 Penutup
BAGIAN KEDUA: KETERAMPILAN DAN IMPLEMENTASI POLITIK
KESEHATAN
BAB IV KOMUNIKASI POLITIK KESEHATAN
4.1 Pendahuluan
4.2 Konsep Komunikasi Politik Kesehatan
4.3 Ruang Lingkup Komunikasi Politik Kesehatan
4.4 Contoh Kasus Komunikasi Politik Kesehatan
4.5 Diskusi dan Penugasan
4.6 Penutup

BAB V ADVOKASI KESEHATAN MASYARAKAT


5.1 Pendahuluan
5.2 Apa Advokasi Kesehatan Masyarakat itu?
5.3 Komponen Advokasi Kesehatan Masyarakat
5.4 Keterampilan dan Tantangan Advokasi Kesehatan Masyarakat
5.5 Advokasi Media
5.6 Diskusi dan Penugasan
5.7 Penutup

BAB VI PEMILU: KESEHATAN DAN KOMITMEN AKTOR POLITIK


6.1 Pendahuluan
6.2 Potret Pembangunan Kesehatan di Indonesia
6.3 Pemilu dan Aktor Politik Kesehatan
6.4 Kompetensi bagi Para Aktor Politik
6.5 Diskusi dan Penugasan
6.6. Penutup dan Rekomendasi

BAB VII THE POLITICS OF HEALTHY CITIES


7.1 Pendahuluan
7.2 Healthy Cities: Urban Governance dan Planning
7.3 Dimensi Politik Healthy Cities: Proses dan Power
7.4 Hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
7.5 Tantangan Politik Perencanaan Healthy Cities
7.6 Studi Kasus Pentingnya Dukungan Politik dalam Implementasi Healthy Cities
7.7 Diskusi dan Penugasan
7.8 Penutup

BAB VIII POLITIK GLOBAL: DARI MDGs KE SDGs


8.1 Pendahuluan
8.2 Makna Pembangunan Berkelanjutan
8.3 Keterkaitan antara MDGs dan SDGs
8.4 Tujuan dan Indikator SDGs
8.5 Prinisp-Prinsip SDGs
8.6 Politik Global SDGs
8.7 Diskusi dan Penugasan
8.8 Penutup dan Rekomendasi

PROFIL PENULIS
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Definisi politik dalam ilmu-ilmu politik


Tabel 2.1 : Empat Dikotomi MBTI
Tabel 2.2 : Perbedaan Manfaat Metode 16 PF and the Myers-Briggs Type
Indicator (MBTI)
Tabel 5.1 : Contoh Perubahan Produk antara Advokasi Kesehatan Masyarakat
Tabel 5.2 : Peranan Partisipan/Aktor Advokasi Kesehatan Masyarakat
Tabel 7.1 : Tatanan Healthy Cities dan Organisasi Penanggung Jawab
Tabel 7.2 : Struktur Organisasi Healthy Cities dan Penanggung Jawab
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Sejarah Perkembangan Kewarganegaraan


Gambar 1.2 : Hubungan Politik dan Outcome Kesehatan
Gambar 2.1 : Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan
Politik
Gambar 2.2 : Proses Penilaian Umpan Balik 360 Derajat
Gambar 4.1 : Model Komunikasi Politik Aristoteles
Gambar 4.2 : Unsur Komunikasi Politik
Gambar 6.1 : Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008-2012
Gambar 6.2 : Angka Kematian Ibu Tahun 2012-2013 di Indonesia Menurut
Provinsi
Gambar 6.3 : Tren Angka Kematian Ibu (AKI) beberapa negara ASEAN
Gambar 6.4 : Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita di Tiap
Provinsi, Indonesia
Gambar 6.5 : Kecenderungan Angka Kematian Neonatal, Bayi dan Balita, 1991-
2015
Gambar 6.6 : Angka Harapan Hidup Indonesia 2008-2012
Gambar 6.7 : Persentasi Balita Kekurangan Gizi Berdasarkan Berat Badan
Menurut Umur (BB/U) Menurut Provinsi
Gambar 6.8 : Persentasi Balita dengan Tinggi Badan di Bawah Normal
Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Menurut Provinsi
Gambar 6.9 : Persentasi Balita Kurus Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB) Menurut Provinsi
Gambar 6.10 : Prevalensi Balita Stunting di ASEAN & SEAR Tahun 2007-2011
Gambar 6.11 : Persentasi Kelebihan Berat Badan pada Penduduk Dewasa
Gambar 6.12 : Illustrasi Pengambilan Sumpah Anggota DPR dan DPD RI Periode
2014-2019
Gambar 7.1 : Model Kingdon Stream (1995)
DAFTAR KOTAK

Kotak 2.1 : Keterampilan Politik sebagai bagian dari keterampilan sosial


Kotak 4.1 : Contoh Kasus Komunikasi Politik Ala Jokowi
Kotak 4.2 : Contoh Kasus Posbindu PTM Perlu Dukungan
Kotak 5.1 : Sembilan Tahapan Proses Advokasi Kesehatan Masyarakat
Kotak 6.1 : Studi Kasus Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS
Kesehatan
BAGIAN PERTAMA: KONSEP, KOMPETENSI DAN ETIKA
POLITIK KESEHATAN
BAB I
KONSEP DASAR POLITIK BIDANG KESEHATAN

The political basis of our health services is the view of health as a commodity, a
function of individuals rather than of societies; something to be valued, exchanged
(bought and sold in many societies), and in every way determined by the actions of
individuals (Scott-Samuel, 1979 dalam Bambra, Fox, and Scott-Samuel (2003), hal.
25

1.1 Pendahuluan
Masalah kesehatan tak dapat dipisahkan dari persoalan politik baik sebagai
individu dan warganegara, kelompok, organisasi maupun masyarakat. Bab ini
menjelaskan makna politik, kesehatan dan politik kesehatan; dan sifat politik
kesehatan. Bab ini juga menjelaskan pentingnya politik dalam kaitan dengan
persoalan kesehatan dan bukti-bukti keterlibatan politik dalam konteks kesehatan.

1.2 Makna politik dan kesehatan


Pernah terbit sebuah tulisan di Harian Fajar, Makassar pada tanggal 20 Mei
2007. Tulisan ini berjudul Arti Politik dengan mengilustrasikan makna politik sebagai
berikut:
”Seorang murid sekolah dasar mendapat pekerjaan rumah dari gurunya untuk
menjelaskan arti kata POLITIK. Karena belum memahaminya, ia kemudian
menanyakan kepada ayahnya. Sang ayah yang menginginkan si anak dapat berpikir
secara kreatif kemudian memberikan penjelasan. Baiklah nak, ayah akan mencoba
menjelaskan dengan perumpamaan, misalkan ayahmu adalah orang yang bekerja
untuk menghidupi keluarga, jadi kita sebut ayah adalah investor. Ibumu adalah
pengatur keuangan, jadi kita menyebutnya pemerintah. Kami di sini memperhatikan
kebutuhan-kebutuhanmu, jadi kita menyebut engkau rakyat. Pembantu, kita
masukkan dia ke dalam kelas pekerja dan adikmu yang masih balita, kita
menyebutnya masa depan. Sekarang pikirkan hal itu dan lihat apakah penjelasan
ayah ini bisa kau pahami?

Si anak kemudian pergi ke tempat tidur sambil memikirkan apa yang dikatakan
ayahnya. Pada tengah malam, anak itu terbangun karena mendengar adik bayinya
menangis. Ia melihat adik bayinya mengompol. Lalu ia menuju kamar tidur orang
tuanya dan mendapatkan ibunya sedang tidur nyenyak. Karena tidak ingin
membangunkan ibunya, maka ia pergi ke kamar pembantu. Karena pintu terkunci,
maka ia kemudian mengintip melalui lubang kunci dan melihat ayahnya berada di
tempat tidur bersama pembantunya. Akhirnya ia menyerah dan kembali ke tempat
tidur, sambil berkata dalam hati bahwa ia sudah mengerti arti POLITIK.
Pagi harinya, sebelum berangkat ke sekolah ia mengerjakan tugas yang diberikan
oleh gurunya dan menulis pada buku tugasnya: ”Politik adalah hal dimana para
investor meniduri kelas pekerja, sedangkan pemerintah tertidur lelap, rakyat
diabaikan dan masa depan berada dalam kondisi yang menyedihkan”.

Tiga paragrap di atas memberi pandangan pada si anak dalam memahami arti
politik. Pandangan tersebut kelihatan lugu dan mungkin agak humoris dari apa yang
dipahaminya. Secara teori tentu saja pandangan tersebut tidaklah benar, akan tetapi
dalam kenyataan ketika kita bicara tentang politik akan sangat susah terbantahkan
kalau orang melihat dan mendefiniskannya seperti itu. Politik itu berdimensi ’kotor’,
’busuk’, ’jelek’, dan ’curang’ dan berbagai pandangan negatif lainnya.
Politik adalah organisasi masyarakat dan pembuatan keputusan kolektif
tentang sumber daya (Bambra, Smith, & Kennedy, 2008). Laswell (1936) dalam
Bambra et al. (2008) politik adalah siapa dapat apa, kapan dan bagaimana (who gets
what, when, how). Politik didefinisikan sebagai aktivitas pemerintah, para elit dan
agen pemerintah. Definisi ini lebih pada pendekatan top down politik yang secara
esensial memisahkan politik dari masyarakat. Politik digunakan untuk
menggambarkan power-structured relationship pada satu group dan kontrol pada
group yang lain. Definisi yang terakhir ini lebih bersifat bottom up dalam pengertian
bahwa setiap orang dapat terlibat dalam tindakan politik.
Beberapa pakar mendefinisikan politik dalam perspektif yang lebih luas
berdasarkan ideologi politik (Bambra et al., 2003; Heywood (2000); Marsh & Stoker,
2002), yaitu:
a. Politik sebagai pemerintahan (politics as government). Politik adalah
berhubungan dengan seni pemerintahan dan aktivitas sebuah negara. Ini
berhubungan dengan Behavioralists dan Institutionalist ilmu politik.
b. Politik sebagai kehidupan publik (politics as public life). Politik adalah
berhubungan dengan masalah urusan masyarakat. Cara pandang politik ini
berhubungan dengan teori pilihan rasional (Rational Choice Theory).
c. Politik sebagai resolusi konflik (politics as conflict resolution). Politik adalah
berhubungan dengan ungkapan dan resolusi konflik melalui kompromi,
konsiliasi, negosiasi, dan strategi lainnya. Ini berhubungan dengan para ahli
hubungan internasional (International Relations Theorists).
d. Politik sebagai kekuasaan (politics as power). Politik adalah proses melalui
outcome yang ingin dihasilkan, dicapai dalam produksi, distribusi dan
penggunaan sumber daya yang terbatas dalam semua area eksistensi sosial. Cara
pandang ini berhubungan dengan ilmu politik Feminist dan Marxist (Feminist
and Marxist political science).
Definsi politik dalam ilmu-ilmu politik juga dapat digambarkan seperti pada
Tabel 1.1 berdasarkan pandangan Behavioralism, Rational choice theory,
Institutionalism, Feminism, Anti-foundationalism dan Marxism (Bambra et al.,
2003).
Tabel 1.1: Definisi politik dalam ilmu-ilmu politik
Pandangan Definsi

Behavioralism Politics is the processes associated with mainstream politics


and government
Rational choice theory Politics is the conditions for collective action in the
mainstream political word
Institutionalism Politics is the institutional arrangements within the
mainstream politicl word
Feminism Politics is a process and the personal can be political
Anti-foundationalism Politics is a narrative contest that can take place in a variety
of settings
Marxism Politics is the struggle between social groups: in particular
social classes
Sumber: Disesuaikan dari Stoker (2002) dalam Bambra et al. (2003), hal. 10

Kesehatan pun demikian, seringkali kesehatan diartikan dan dinterpretasikan


sebagai pelayanan kesehatan (health care) yang mempunyai pengertian yang sangat
sempit. Kesehatan dianggap hanya berkaitan dengan pasien, dokter, perawat, bidan,
tempat tidur dan obat. Di United Kingdom bahkan diartikan sebagai pelayanan
kesehatan nasional (The National Health Services). Konsekuensinya, politik
kesehatan secara signifikan sering kali dikonstruksikan menjadi politik pelayanan
kesehatan (Freeman, 2000). Kondisi ini dapat terjadi karena kesehatan dapat
ditelusuri dari dua isu ideologi yaitu definisi kesehatan pada satu sisi dan politik pada
sisi yang lain. Kesehatan yang secara konvensional telah dioperasionalkan di bawah
kapitalsime Barat mempunyai dua aspek yang saling berhubungan yaitu kesehatan
dianggap sebagai ketiadaan penyakit (definsi biomedis) dan sebagai komoditi
(definisi ekonomi) (Bambra, Fox, & Scott-Samuel, 2005). Kedua ideologi ini
memfokuskan pada individu yang berlawanan dengan masyarakat sebagai dasar dari
kesehatan. Cara pandang kesehatan dalam konteks masyarakat (kesehatan
masyarakat) dipandang sebagai produk dari faktor-faktor individu misalnya faktor
turunan/genetik, dan pilihan gaya hidup yang dapat mengakses ke pasar atau sistem
kesehatan (Scott-Samuel, 1979). Dalam rangka menyelesaikan ketidaksetaraan ini,
perhatian politik diarahkan terhadap variabel sistem kesehatan.

1.3 Sifat politik kesehatan


Konsep dan metode ilmu politik secara jelas mempunyai kontribusi terhadap
studi-studi kesehatan. Meskipun demikian, debat spesifik tentang kesehatan belum
dianggap secara luas sebagai entitas politik misalnya dalam debat-debat akademik
atau dalam masyarakat (Bambra et al., 2008). Oleh karena itu, marginalisasi politik
kesehatan seakan-akan mempunyai solusi sederhana yaitu perlunya perlakuan atau
treatment kesehatan sebagai isu politik. Kesehatan termasuk aspek kehidupan
manusia lainnya merupakan sebuah isu politik dalam banyak hal (Bambra et al.,
2005):
a. Kesehatan adalah politik karena, sama seperti sumber daya yang lain atau
komoditas di bawah sistem ekonomi neo-liberalisme, beberapa kelompok sosial
mempunyai lebih dari yang lainnya (unequal distribution).
b. Kesehatan adalah politik karena determinan sosialnya (social determinants)
adalah mudah diterima dalam intervensi politik dan oleh karena bergantung pada
tindakan politik (biasanya) (health determinants).
c. Kesehatan adalah politik karena kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kebutuhan kesehatan melalui upaya masyarakat yang terorganisir (organization).
d. Kesehatan adalah politik karena hak terhadap standar kehidupan yang layak untuk
kesehatan dan kesejahteraan harus menjadi aspek kewarganegaraan dan hak asasi
manusia (citizenship).
e. Kesehatan adalah politik karena saat ini kita menghadapi krisis global yang cukup
kompleks yang berdampak pada kesehatan dan kematian yang sesungguhnya
dapat dicegah (globalisation).
Kesehatan adalah politik karena kekuasaan dilaksanakan sepanjang itu
sebagai bagian dari sistem ekonomi, sosial dan politik yang lebih luas. Perubahan
sistem ini membutuhkan kesadaran dan perjuangan politik. Mengapa kesehatan
berdimensi politik karena dalam bidang kesehatan terdapat disparitas derajat
kesehatan masyarakat antar suku dan ras, antar kelompok, antar wilayah dan bahkan
antar negara dimana sebagian kelompok tersebut memiliki akses dan status kesehatan
yang lebih baik sementara lainnya tidak. Untuk mencapai itu perlu diperjuangkan dan
mempengaruhi para pengambil kebijakan dalam upaya memenuhi keadilan terhadap
berbagai masalah dibidang kesehatan.

1.3.1 Ketidaksetaraan kesehatan


Banyak bukti menunjukkan bahwa determinan kesehatan paling kuat dalam
kehidupan modern kependudukan ini adalah faktor sosial, budaya dan ekonomi
(Acheson, 1998; Doyal & Pennell, 1979). Faktor-faktor ini datang dari berbagai
sumber dan diakui oleh pemerintah dan badan-badan internasional (Acheson, 1998).
Akan tetapi ketidaksetaraan kesehatan ini terus berlanjut dalam sebuah negara
misalnya perbedaan kelas sosial ekonomi, gender dan kelompok etnik diantara
mereka. Masih terjadi ketimpangan masalah kemakmuran, kesejahteraan dan sumber
daya (Donkn, Goldblatt, & Lynch, 2002).

Bagaimana ketidakseimbangan kesehatan ini sungguh merupakan isu politik.


Apakah ketidaksetaraan kesehatan diterima sebagai sesuatu yang alam ”natural” dan
hasil perbedaan individu yang sulit terhindarkan tentang penghormatan terhadap
genetik dan tangan-tangan tersembunyi (silent hands) pasar ekonomi ataukah masalah
ekonomi dan sosial yang harus diselesaikan oleh masyarakat dan negara modern
(Adams, Amos, & Munro, 2002). Perbedaan pandangan ini tidak hanya pada apakah
secara scientifik dan ekonomi memungkinkan ketidaksetaraan kesehatan ini dapat
terjadi tetapi juga perbedaan pandangan ideologi dan politik dapat menjadi penyebab
terhadap masalah tersebut.
1.3.2 Determinan kesehatan
Penyebab dan faktor predisposisi terhadap sehat-sakit semakin dipahami
dengan baik (Bambra et al., 2005). Meskipun demikian banyak kasus menunjukkan
bahwa faktor lingkungan sama pentingnya dengan faktor sosial dan ekonomi dalam
mempengaruhi kesehatan (Marmot & Wilkinson, 2001). Faktor-faktor seperti
perumahan, pendapatan dan pengangguran dan isu lainnya banyak didominasi oleh
masalah politik yang menjadi determinan kesehatan dan kesejahteraan. Demikian
pula banyak determinan kesehatan dan ketidaksetaraan terhadap kesehatan
bergantung dan berada di luar dari sektor kesehatan (Acheson, 1998; S Palutturi,
Rutherford, Davey, & Chu, 2013). Karena masalah seperti ini berada di luar dari
kewenangan sektor kesehatan (Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan dan badan-
badan pemerintah yang relevan dengan kesehatan), maka penyelesaiannya
membutuhkan kebijakan non sektor kesehatan untuk mendukung dan menanggulangi
masalah tersebut (Acheson (1998); Whitehead, Diderichsen, & Burstrom, 2000).
Sebagai contoh banjir merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh banyak
wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada musim hujan terutama beberapa
kota besar di Indonesia misalnya Makassar dan Jakarta. Banjir secara langsung tidak
berhubungan dengan sektor kesehatan. Kewenangan ini mungkin berada di Dinas
Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang Tata Kota atau Mungkin Bappeda. Akan tetapi
ketidakmaksimalan dinas dan badan ini merancang dan merencanakan kota yang
sehat menyebabkan kota menjadi semraut, selokan tersumbat dimana-mana sehingga
menyebabkan genangan air juga terjadi dimana-mana. Bukan hanya itu banjir tidak
hanya berkaitan dengan genangan air, tetapi banjir juga akan dapat menyebabkan
kemacetan lalu lintas bahkan kecelakaan lalu lintas karena jalanan berlobang dan
rendahnya kualitas infrastruktur jalanan. Semua masalah ini tentu tidak berada pada
kewenangan dinas kesehatan atau kementerian kesehatan tetapi dampaknya pada
kesehatan.
Diakui bahwa determinan sosial terhadap kesehatan (social determinants of
health) telah mendapat porsi dalam banyak debat, diskusi dan mungkin kebijakan
yang mendukung untuk itu tetapi gagal dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang
berhubungan dengan determinan politik dan ketidaksetaraan kesehatan (political
determinants of health).

1.3.3 Organisasi
Kesehatan masyarakat menurut Winslow (1920) didefiniskan sebagai ”The
science and art of preventing disease and prolonging life, and promoting physical and
mental health and efficiency, through organized community efforts...”. Definisi ini
menekankan bahka upaya terhadap pencegahan penyakit, memperpanjang usia
harapan hidup dan meningkatkan kesehatan hanya dapat dicapai melalui upaya
kesehatan masyarakat yang terorganisir bukan upaya kesehatan individu yang
terorganisir. Pengorganisasian masyarakat dihampir semua negara merupakan
peranan negara dan badan-badan pemerintah. Definisi ini menggarisbawahi bahwa
aspek sosial dan politik terhadap upaya peningkatan status kesehatan merupakan
sesuatu yang vital.

1.3.4 Kewarganegaraan
Terdapat tiga hak warga negara yaitu hak sipil, politik dan sosial (Bambra et
al., 2005). Tuntutan terhadap hak-hak sipil misalnya hak dalam beragama,
mengeluarkan pendapat dan melakukan kontrak atau perjanjian, muncul sekitar abad
18. Hak politik termasuk hak untuk dipilih atau menjadi wakil (representative)
terhadap lembaga pemerintah dan lembaga perwakilan misalnya anggota dewan,
muncul sekitar abad 19 sementara isue kesehatan dan pendidikan gratis juga termasuk
hak-hak ekonomi mulai banyak diperdebatkan pada abad 20. Kesehatan atau hak
terhadap standar hidup yang layak termasuk hak kewarganegaraan sosial yang sangat
penting (International Forum for the Defence of the Health of People, 2002). Hak-hak
kewarganegaraan ini diperoleh sebagai hasil dari perjuangan sosial dan politik selama
industrialisasi barat dan pengembangan kapitalisme. Karena itu isu kesehatan gratis
termasuk isu yang berkaitan dengaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebetulnya
telah menjadi perdebatan puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu. Sejarah
perkembangan kewarganegaraan yang dimodifikasi dari Marshall (1963) dalam
Bamra, et al. (2005) dapat dilihat pada Gambar 1.1

Abad 18 Abad 19 Abad 20

Hak-hak sosial:
Hak-hak politik:
Hak-hak sipil: Pendidikan dan
Hak untuk memilih kesehatan gratis,
Kebebasan dan dipilih pemeliharaan
beragama,
pendapatan
berpikir,
berpendapat dan
kontrak
Sosial
Politik

Sipil

Gambar 1.1: Sejarah perkembangan kewarganegaraan


Sumber: Bambra et al. (2003), Hal. 22

1.3.5 Globalisasi
Arus informasi, barang, modal dan tenaga kerja bahkan masalah lingkungan
dalam lintas batas politik dan ekonomi telah terjadi dalam abad ini. Kompetisi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu bukti bahwa kelihatan
dunia terasa semakin sempit, persepsi tentang waktu telah berubah dan terdapat
interaksi global terhadap ide, budaya dan nilai-nilai, termasuk interaksi global dalam
bidang kesehatan. Kebakaran hutan di beberapa provinsi dan pulau di Indonesia telah
menjadi masalah global yang menuntut perhatian bersama secara global. Kebakaran
hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera menyebabkan negara-negara tetangga
”berteriak” dan bahkan sampai menawarkan diri untuk menyelesaikan masalah ini.

Lee (2000) dalam Bambra et al. (2003) memberikan definisi tentang


globalisasi sebagai ”The process of closer interaction of human activity across a
range of spheres, including the economic, sosial, political and cultural, experienced
along three dimensions: spatial, temporal and cognitive”. Tentu saja, globalisasi
memberikan manfaat dan tidak sedikit pula memberikan kerugian. Manfaatnya adalah
jika potensi dan sumber daya yang dimiliki lebih siap dan memberi kontribusi
terhadap masyarakat global, Indonesia menjadi negara yang bisa menjadi supplier
tenaga kesehatan, bahasa Indonesia seharusnya dapat menjadi bahasa pemersatu dan
bahasa pengantar bagi MEA. Namun demikian, jika bangsa ini tidak bisa bersaing
bahkan tenaga kerja Indonesia dibayar dengan harga yang murah, maka globalisasi
bagi bangsa Indonesia adalah bencana.

1.4 Mengapa kesehatan menjadi isu politik?


Kelihatannya politik kesehatan agak terbelakang dan termarginalkan
(underdeveloped and marginalised). Politik kesehatan belum banyak diperdebatkan
atau didiskusikan secara luas sebagai entitas politik dalam debat-debat akademik
(seminar, workshop, penelitian, pelatihan, seminar dan konferens) atau kelompok
masyarakat yang lebih luas, termasuk dalam ilmu politik (McGinnis, Williams-Russo,
& Knickman, 2002; Navarro & Shi, 2001). Dibandingkan dengan masalah-masalah
kemasyarakatan dan kenegaraan lainnya misalnya masalah KPK, kepolisian,
terorisme, ekonomi, geng motor masalah politik kesehatan belum menjadi isu dan
perdebatan bagi setiap orang. Politik kesehatan hanya banyak diperdebatkan oleh
partai, calon legislatif dan calon bupati/walikota/gubernur bahkan presiden ketika
menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Isu kesehatan dan bahkan
yang mempengaruhi kesehatan kemudian perlahan hilang seiring dengan saat
terpilihnya seorang pimpinan. Masalah politik kesehatan akan muncul kembali
diperdebatkan menjelang pemilihan berikutnya. Oleh karena itu, diibaratkan isu
kesehatan ini diperdebatkan seperti mata gergaji. Tidak ada penjelasan secara
sederhana dalam kealpaan ini. Perlakuan kesehatan sebagai politik hampir merupakan
hasil interaksi dari sebuah isu yang demikian kompleks.

1.5 Politik dan outcome kesehatan


Terdapat hubungan antara politik, pasar tenaga kerja, disparitas sosial dan
outcome kesehatan (lihat Gambar 1.2). Politik yang dimaksudkan misalnya dukungan
elektoral yang diukur dengan partisipasi pemilih dan keberpihakan pemilih, dan
sumber daya kekuasaan yang mendukung setiap tradisi politik. Kondisi politik ini
berpengaruh terhadap pasar tenaga kerja (labour market) dan negara kesejahteraan
(welfare state). Pasar tenaga kerja mencakup populasi yang aktif, partisipasi
perempuan terhadap angkatan kerja, angka pengangguran terhadap perempuan dan
laki-laki sementara negara kesejahteraan diukur dari pengeluaran kesehatan
masyarakat (public health expenditure) dan cakupan pelayanan kesehatan masyarakat
(public health care coverage). Baik pasar tenaga kerja maupun negara kesejahteraan
berpengaruh terhadap disparitas sosial yang dikur dari disparitas pendapatan. Tentu
saja disparitas sosial memberi dampak terhadap kesehatan baik terhadap angka
kematian bayi maupun usia harapan hidup.

Pasar tenaga kerja


 Populasi aktif
 Partisipasi
Politik perempuan dalam
angkatan kerja
Time in government  Angka
pengangguran laki- Outcome
berdasarkan perbedaan
laki dan perempuan Disparitas sosial kesehatan
tradisi politik
Disparitas Angka Kematian
Dukungan elektoral: Negara kesejahteraan
pendapatan Bayi
 Pengeluaran
 Partisipasi pemilih kesehatan
masyarakat Usia Harapan
 Keberpihakan pemilih
 Cakupan pelayanan Hidup
kesehatan
Sumber daya kekuasaan masyarakat

Gambar 1.2: Hubungan Politik dan Outcome Kesehatan


Sumber: Navarro et al. (2006)

1.6 Pertanyaan dan Diskusi


Setelah membaca materi ini, peserta dapat menjawab pertanyaan di bawah ini:
a. Apa yang dimaksud dengan politik, kesehatan dan politik kesehatan?
b. Apa sifat politik kesehatan?
c. Mengapa kesehatan disebut isu politik?
d. Gambarkan sejarah perkembangan kewarganegraan dalam kaitan dengan
kesehatan
e. Buktikan bahwa masalah kesehatan banyak ditentukan oleh dimensi politik!

1.7 Penutup
Dari aspek sosial masalah kesehatan telah banyak diperdebatkan akan tetapi
pentingnya dimensi politik yang mempengaruhi kesehatan belum banyak dipelajari.
Menyadari pentingnya dimensi politik terhadap kesehatan, maka sebaiknya perguruan
tinggi kesehatan dan sekolah kesehatan (masyarakat) sebaiknya mengajarkan kepada
mahasiswa dan mereka yang tertarik dalam bidang ini. Kami percaya bahwa politik
kesehatan adalah sebuah bidang ilmu yang tidak kurang pentingnya dengan sosiologi
kedokteran dan ekonomi kesehatan pada satu sisi dan sosiologi politik dan psikologi
politik pada sisi yang lain.
References:

Acheson, D. (1998). Independent inquiry into inequalities in health. London: The


Stationary Office.
Adams, L., Amos, M., & Munro, J. (2002). Promoting health. London: Sage.
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2003). Towards a New Politics of health.
Politics of Health Group Discussion Paper No. 1.
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2005). Towards a politics of health. Health
Promotion International, 20(2), 187-193.
Bambra, C., Smith, K., & Kennedy, L. (2008). Politics and Health. In N. J & W. J
(Eds.), Health Studies 2nd edition (pp. 257-287). London: Palgrave
Macmillan.
Donkn, A., Goldblatt, P., & Lynch, K. (2002). Inequalities in life expectancy by
social class 1997-1999. Health Statistics Quarterly, 15, 5-15.
Doyal, L., & Pennell, I. (1979). The political economy of health. London: Pluto Press.
Freeman, R. (2000). The politics of health in Europe. Manchester: University of
Manchester Press.
Heywood, A. (2000). Key concepts in politics. London: Macmillan.
International Forum for the Defence of the Health of People. (2002). Health as an
esential human needs, a right of citizenship, and a public good: health for all
is possible and necessary. International Journal of Health Services, 32, 601-
606.
Marmot, M., & Wilkinson, R. (2001). Psychosocial and material pathways in the
relation between income and health. British Medical Journal, 322, 1233-1236.
Marsh, D., & Stoker, G. (2002). Theory and methods in political science.
Basingstoke, UK: Palgrave Macmillan.
McGinnis, J. M., Williams-Russo, P., & Knickman, J. R. (2002). The case for more
active policy attention to health promotion. Health Affairs, 21, 78-93.
Navarro, V., Muntaner, C., Borrell, C., Benach, J., Quiroga, A., Rodriguez-Sanz, M.,
. . . Pasarin, M. I. (2006). Politics and health outcomes. Lancet, 367.
Navarro, V., & Shi, L. (2001). The political context of social inequalities and health.
International Journal of Health Services, 31, 1-21.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith University,
Brisbane, Australia.
Scott-Samuel, A. (1979). The politics of health. Community Medicine, 1, 123-126.
Whitehead, M., Diderichsen, F., & Burstrom, B. (2000). Researching the impact of
public policy on inequalities in health. In H. Graham (Ed.), Understanding
health inequalities. Buckingham: Open University Press.
BAB II
KOMPETENSI POLITIK KESEHATAN

2.1 Pendahuluan
Isu kesehatan sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Untuk
mewujudkan kondisi kesehatan yang optimal, para professional kesehatan seharusnya
memiliki kompetensi atau keterampilan politik. Kompetensi politik sebagai bagian
dari kompetensi sosial harus dikembangkan dan diasah terus guna memperoleh
dukungan politik pemerintah dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat dan
faktor yang mempengaruhinya. Berbagai jenis keterampilan sosial yang
mempengaruhi keterampilan politik dan bagaimana membangun keterampilan
tersebut disajikan pada bagian ini.

2.2 Keterampilan Politik dalam Bidang Kesehatan


Meskipun politik kadang berkonotasi negatif tetapi ternyata keterampilam
politik menjadi sangat penting bagi karir manager seseorang termasuk didalam
mengelola program kesehatan. Keterampilan politik dimaknai sebagai gaya
interpersonal yang merupakan penggabungan antara kepedulian sosial (social
awareness) dengan kemampuan berkomunikasi. Orang-orang yang sering berlatih
dan mempraktekkan keterampilan ini secara baik, menawan dan menarik dapat
menginspirasi percaya diri, kepercayaan, dan ketulusan. Penggunaan keterampilan
politik tidak dibatasi oleh interaksi tatap muka (face to face interaction), tetapi justru
keterampilan politik ini memberikan ruang kepada model komunikasi yang lain
misalnya melalui email dan sarana komunikasi lainnya.
Keterampilan politik sebagai salah satu dimensi dari keterampilan sosial
merupakan bagian dari salah satu kompetensi pemimpin kesehatan masyarakat,
dibutuhkan hampir di semua level organisasi baik organisasi pemerintah, swasta,
partai politik, organisasi profesi, dan organisasi atau lembaga kemasyarakatan (Non
Government Organisation). Keterampilan seperti ini pun menjadi sangat penting
dalam bidang kesehatan karena:

a. Masalah kesehatan cukup kompleks baik dari sisi dampak maupun dari sisi
determinan. Dari sisi dampak masalah kesehatan berkaitan dengan angka kematian
dan angka kesakitan. Sementara dari sisi determinan dapat berupa lingkungan,
kebijakan, anggaran, sumber daya, perilaku, pelayanan kesehatan, pembiayaan
kesehatan atau pun dari aspek kependudukan. Dalam konteks politik semua aspek
ini harus dikomunikasikan kepada orang lain, kepada pemerintah dan pengambil
kebijakan, dikomunikasikan kepada kelompok atau pun masyarakat secara umum.

b. Terjadi perebutan kepentingan antar atau dalam bidang kesehatan sehingga perlu
ada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau departemen lain. Secara
internal orang-orang yang bergerak dibidang kesehatan mempunyai kepentingan
yang berbeda antara mereka yang bergerak dibidang lingkungan, gizi dan promosi
kesehatan. Demikian pula antara satu departemen dengan departemen lainnya.
Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebersihan
dan Pertamanan masing-masing mempunyai bisnis berbeda yang kesemuanya
mencoba untuk mempengaruhi pejabat tingkat di atasnya untuk diakomodasi
sebagai sektor prioritas.

c. Karena determinan kesehatan sangat kompleks, maka perlu ada kemampuan


koordinasi dan bekerjasama dengan orang lain untuk menyelesaikan berbagai
persoalan kesehatan yang ada. Koordinasi dan kerjasama menjadi sangat penting
karena banyak fakor kesehatan yang berada di luar dari sektor kesehatan (beyond
health). Angka kesakitan dan kematian yang tinggi bukan karena terlambat
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas tetapi karena
kurang gizi, angka kecelakaan, jalanan berlubang atau banjir. Masalahnya tidak
berada pada ranah sektor kesehatan tetapi dampaknya ada pada sektor kesehatan.

d. Peningkatan kapasitas baik tenaga kesehatan maupun masyarakat secara


keseluruhan dan berkesinambungan. Oleh karena itu kemampuan melatih atau
transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain menjadi sangat penting
untuk menjaga keberlanjutan tersebut dan demi efektifitas program.

Keterampilan politik yang harus dimiliki oleh mereka yang bergerak dibidang
kesehatan adalah keterampilan komunikasi, memfasilitasi, melatih, mempengaruhi,
mengkoordinasi dan kerjasama dengan orang lain. Meskipun demikian, kemampuan
komunikasi tentang bagaimana menyampaikan pesan secara efektif, bagaimana
mempengaruhi orang lain dan kerjasama dengan orang lain menjadi hal yang krusial
dan tidak mudah untuk dilakukan. Nampaknya mudah untuk diungkapkan tetapi
relatif sulit untuk diimplementasikan. Orang yang memiliki kemampuan politik yang
tinggi mampu mengekspresikan diri secara alamiah dan dapat memanfaatkan
berbagai sarana komunikasi. Mereka yang memiliki kemampuan dan skill politik
yang tinggi memberi kesempatan kepada orang lain untuk menciptakan sinergitas
diantara berbagai praktek perilaku untuk menetapkan sebuah dinamika interpersonal.
Oleh karenanya, skill politik bukan merupakan sifat atau skill tunggal tetapi
merupakan gabungan dari berbagai skill lainnya.

Kotak 2.1: Keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan sosial

Keterampilan sosial (Social Skills):

Komunikasi (Communication)– Memfasilitasi (Facilitating)- Melatih (Coaching)


– Mempengaruhi (Influencing) – Mengkoordinasi (Coordinating) – Kerjasama
Sumber: Ferris, Perrewe, Anthony, and Gilmore
dengan orang (2000)
lain (Partnership)
2.3 Jenis-Jenis Keterampilan Sosial
Beberapa jenis keterampilan sosial yang mempengaruhi keterampilan politik,
yaitu kecerdasan sosial (social intelligence), kecerdasan emosional (emotional
intelligence), ketahanan ego (ego-resiliancy), social self efficacy (self efficacy
social), Pemantauan diri sendiri (self monitoring),

a. Kecerdasan sosial
Kecerdasan sosial mengacu pada kemampuan untuk memahami dan mengelola
orang. Konsep ini lahir dan mengingatkan pada upaya untuk memperluas pandangan
kita tentang kecerdasan diluar IQ. Dimana terdapat kecerdasan-kecerdasan lain yang
tidak kalah hebatnya daripada IQ tersebut. Terdapat gagasan bahwa ada lebih dari satu
cara selain IQ itu sendiri untuk keberhasilan dalam aspek kehidupan yang cenderung
melampaui konteks pembelajaran di kelas. Kami berpendapat bahwa kecerdasan sosial
memainkan peran yang sangat dominan dalam keterampilan politik. Banyak fakta-
fakta di masyarakat kita orang yang kelihatannya mempunyai kemampuan akademik
yang biasa-biasa saja tetapi mereka berhasil di tengah-tengah masyarakat memimpin
partai politik, organisasi daerah, bahkan posisi bupati/walikota, gubernur dan presiden.
Keterampilan politiknya lebih spesifik untuk lingkungan kerja dan berkaitan dengan
pemahaman dan mengelola orang dalam pekerjaan atau pengaturan organisasi. Orang
yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi memiliki kemampuan di dalam
memahami dan mengelola orang lain.

b. Kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk memonitor sendiri
perasaan dan emosi orang lain. Secara spesifik, kecerdasan emosional dapat dilihat
sebagai upaya melibatkan kemampuan dalam mengendalikan dorongan dan menunda
kepuasan, untuk mengatur suasana hati seseorang, dan mampu berempati. Mereka
yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, memiliki kemampuan menunda
kepuasaan sendiri, mampu memberi rasa puas kepada orang lain, dan mampu
mengontrol dirinya sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
juga memiliki rasa empathi kepada orang lain, mereka dengan cepat merespon
bagaimana perasaan orang lain dan bahkan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Ketika seseorang menderita sakit berkepanjangan, mengalami musibah
kemiskinan dan kelaparan, maka mereka yang mempunyai kecerdasan emosional yang
tinggi, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bahkan dengan empati ini,
mereka bisa memberikan bantuan dan ikut memecahkan masalah terhadap apa yang
dihadapi oleh orang lain. Oleh karena itu, mengontrol dan mengatur emosi merupakan
bagian penting dari keterampilan sosial disamping aspek penting lainnya misalnya
membangun dan memanfaatkan modal sosial.

c. Ketahanan ego
Ketahanan ego adalah bentuk keterampilan sosial yang secara fundamental
memberikan kontribusi untuk adaptasi lingkungan yang efektif melalui kemampuan
untuk mengatur perilaku sendiri terhadap tuntutan lingkungan yang berbeda dan
terus berubah. Konsep ini meliputi komponen emotional self regulation, adaptive
impulse control, social intelligence and sense of self-efficacy. Kemampuan untuk
beradaptasi dengan baik terhadap situasi sosial yang berbeda dipandang
berkontribusi terhadap keterampilan politik.

d. Self efficacy sosial


Tipe lain dari keterampilan sosial yaitu efikasi diri sosial, yang mengacu pada
penilaian kemampuan pribadi dalam konteks interaksi sosial. Orang yang
mempunyai self efficacy sosial yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengontrol
hasil interaksi sosial. Mereka yang mempunyai self efficacy sosial yang rendah pada
konstruksi ini, di sisi lain, percaya bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk
menguasai interaksi sosial, terlepas dari level kompetensi sosial atau pengetahuan
mereka. Dengan demikian, self efficacy sosial adalah keyakinan dasar atau
keyakinan pada kemampuan seseorang untuk mengendalikan situasi sosial, yang
memberikan kontribusi untuk bersikap optimistis dan sikap yang positif, dan
berkontribusi terhadap terhadap efektivitas dalam situasi sosial. Keterampilan politik
mencerminkan konsep efikasi diri sosial, namun skill politik ini berkaitan dengan
konteks yang unik dan interaksi dalam organisasi.

e. Pemantauan diri sendiri (self monitoring)


Orang yang memiliki kemampuan pemantauan diri sendiri dapat
menunjukkan kemampuan untuk mengontrol ekspresi emosi mereka. Mereka mampu
menggunakan keterampilan ini secara efektif untuk menciptakan kesan yang
diinginkan. Dengan demikian, pemantauan diri merupakan jenis keterampilan sosial
yang berfokus pada demonstrasi efektif tentang situasi perilaku sosial. Selain itu,
mereka yang memiliki kemampuan ini mencerminkan keterampilan yang unik untuk
bisa membaca, menafsirkan, dan memahami situasi sosial yang ada. Gaya sosial
pemantauan diri yang tinggi adalah salah satu yang mencoba untuk menyajikan
sesuatu yang sesuai orang dalam setiap situasi. Orang dengan orientasi ini pula,
mempunyai sensitivitas dan daya respons yang kuat terhadap isyarat interpersonal.
Meskipun demikian, keterampilan politik berbeda dengan pemantauan diri.
Keterampilan politik sering digunakan untuk melakukan perubahan terhadap cara
yang diinginkan, sedangkan pemantauan diri menggambarkan upaya individu untuk
berperilaku dengan cara yang tepat secara sosial.

f. Tacit knowledge and practical intelligence


Tacit knowledge and practical intelligence diartikan sebagai pengetahuan
dipahami tanpa dikatakan atau diam-diam atau tanpa diucapkan, dan kecerdasan
praktis adalah salah satu skill sosial dan politik yang harus dimiliki oleh politisi
kesehatan atau yang bergerak dibidang kesehatan. Tacit knowledge ini mengacu pada
orientasi tindakan yang relevan dengan pengetahuan yang memungkinkan orang
untuk mencapai tujuan mereka secara pribadi. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh
tanpa bantuan lembaga lainnya dengan kata lain, belajar tentang diri sendiri. Hal ini
berhubungan secara alamiah dan secara langsung berkaitan dengan pencapaian
tujuan. Pengetahuan tacit berkaitan dengan kecerdasan praktis, atau akal sehat.
Pengetahuan tacit dan kecerdasan praktis berhubungan erat satu sama lain dalam
keterampilan politik. Jika seseorang memiliki pengetahuan ini, salah satu lebih
mungkin untuk dapat menunjukkan keterampilan politik. Dengan demikian,
keterampilan politik sebagian besar didasarkan pada pengetahuan tacit seseorang dan
kecerdasan praktis.
Pengaruh dimensi keterampilan sosial terhadap keterampilan politik dapat
ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Kecerdasan
sosial Kecerdasan
Pengetahuan
emosional
tacit dan
kecerdasan
praktis Keterampilan
politik
Ketahanan
Pemantauan ego
diri sendiri
Self-efficacy
sosial

Gambar 2.1: Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan Politik


Sumber: Ferris et al. (2000)

2.4 Dimensi Keterampilan Politik


Pemeriksaan yang cermat dan teliti terhadap politik organisasi dan
keterampilan politik menunjukkan beberapa aspek penting yang harus dimasukkan
dalam konseptualisasi keterampilan politik. Pemeriksaan ini menunjukkan empat
dimensi kritis keterampilan politik: kecerdasan sosial, pengaruh interpersonal,
kemampuan jaringan, dan ketulusan jelas.
Kecerdasan sosial. Individu yang memiliki keterampilan politik memahami
interaksi sosial dengan baik dan akurat dan mampu menafsirkan perilaku mereka,
serta perilaku orang lain. Mereka tajam dengan lingkungan sosial yang beragam dan
memiliki kesadaran diri yang tinggi. Pfeffer (1992) menyebutkan bahwa seseorang
yang memiliki karakteristik seperti ini sensitif terhadap orang lain, dan dia
berpendapat bahwa kemampuan untuk mengidentifikasi dengan orang lain sangat
penting untuk mendapatkan hal-hal untuk diri sendiri. Individu yang cerdik secara
sosial sering dipandang sebagai orang cerdik, bahkan pintar, dalam berhubungan
dengan orang lain.
Pengaruh interpersonal. Secara politik, individu yang terampil memiliki gaya
hidup sederhana dan meyakinkan yang memberikan pengaruh kuat pada orang lain di
sekitar mereka. Pengaruh interpersonal memungkinkan orang untuk beradaptasi dan
menyesuaikan perilaku mereka untuk situasi yang berbeda untuk memperoleh
tanggapan yang diinginkan dari orang lain. Pengaruh dimensi interpersonal
menangkap apa yang Pfeffer (1992) sebut sebagai "fleksibilitas", yang melibatkan
adaptasi perilaku seseorang untuk target pengaruh yang berbeda dalam setting
kontekstual yang berbeda untuk mencapai tujuan seseorang.
Kemampuan jaringan. Individu dengan keterampilan politik yang dimilikinya
mahir mengidentifikasi dan mengembangkan beragam kontak dan jaringan. Orang-
orang dalam jaringan ini cenderung untuk memegang aset sebagai sesuatu yang
berharga dan diperlukan untuk keuntungan pribadi dan organisasi yang sukses.
Mereka biasanya mempunyai gaya yang halus. Individu politik terampil dengan
mudah mengembangkan persahabatan dan membangun kuat, aliansi dan koalisi.
Selain itu, individu yang tinggi dalam kemampuan jaringan memastikan mereka
memiliki posisi untuk membuat dan memanfaatkan peluang (Pfeffer, 1992).
Akhirnya, mereka sering menjadi negosiator terampil dan pembuat kesepakatan, dan
mahir terhadap manajemen konflik.
Ketulusan jelas. Individu yang memiliki keterampilan politik muncul di
permukaan sebagai seorang yang memiliki tingkat integritas yang tinggi dan menjadi
otentik, dan tulus. Mereka, atau tampak jujur dan terus terang. Dimensi keterampilan
politik ini sangat penting jika upaya pengaruh menjadi berhasil, karena berfokus pada
niat yang dirasakan terhadap perilaku yang ditampilkan. Sebagaimana dicatat oleh
Jones (1990), upaya pengaruh akan berhasil bila aktor yang dianggap tidak memiliki
motif tersembunyi atau kepentingan lain daripada kepentingan yang ada selama ini.
Individu yang tinggi dalam ketulusan jelas menginspirasi rasa percaya dan
kepercayaan dari orang-orang di sekitar mereka karena tindakan mereka tidak
ditafsirkan sebagai tindakan manipulatif atau koersif.
Keempat dimensi keterampilan politik itu yaitu kecerdasan sosial, pengaruh
interpersonal, kemampuan jaringan, dan ketulusan jelas diasumsikan mempunyai
hubungan satu sama lain.

2.5 Kompetensi Politik dalam Organisasi


Kompetensi politik adalah sebuah konstruk yang telah diperkenalkan lebih
dari dua dekade yang lalu untuk membangun sebuah organisasi yang efektif. Namun
para ilmuan organisasi banyak tertidur (dormant) dan lambat menyadari pentingnya
keterampilan politik tersebut. Di awal tahun 1980s, Pfeffer (1981) dan Mintzberg
(1983) mengadvokasi perspektif politik pada organisasi. Keduanya juga menyarankan
bahwa untuk menjadi efektif dalam lingkungan politik, individu seharusnya memiliki
keterampilan politik. Penelitian-penelitian tentang keterampilan politik banyak tidur
hingga Ferris dan koleganya (Ferris et al., 1999; Ferris, Treadway, et al., 2005)
mengembangkan sebuah ukuran konstruk dan program penelitian.
Keterampilan politik ditandai sebagai pola kompetensi sosial yang
komprehensif dengan manifestasi kognitif, afektif dan perilaku yang mempunyai
dampak langsung terhadap outcome atau dampak moderator terhadap hubungan
predictor-outcome. Sebuah pandangan baru yang dishare oleh banyak akademisi
adalah bahwa organisasi sudah menjadi sifatnya sebagai arena politik (Mintzberg,
1985). Dalam hal ini, diasumsikan bahwa meskipun kinerja, efektivitas, dan
kesuksesan karir ditentukan sebagian oleh kecerdasan dan kerja keras, faktor lain
seperti kecerdasan sosial, posisi, dan kecerdasan itu sendiri memainkan peran penting
(misalnya, Luthans, Hodgetts, & Bergen, 1988; Mintzberg, 1983). Pfeffer (1981)
adalah salah satu yang pertama menggunakan istilah "skill politik" dalam literatur
ilmiah. Dia menyarankan bahwa keterampilan politik dibutuhkan untuk menjadi
sukses dalam organisasi. Demikian pula, Mintzberg (1983) mengemukakan bahwa
keterampilan politik disebut sebagai latihan pengaruh melalui persuasi, manipulasi,
dan negosiasi.

2.6 Membangun Keterampilan Politik


Orang mungkin dilahirkan dengan kapasitas dan mempunyai keterampilan
politik, tetapi mungkin tidak pernah terwujud sampai batas yang paling maksimal
kecuali mereka menemukan diri mereka sendiri. Mereka melatih diri sendiri.
Semakin mengasah keterampilan politik tersebut untuk mencapai kesempurnaan dan
atau terlibat secara aktif mengembangkan keterampilan, maka mereka akan memiliki
keterampilan politik yang lebih maksimal pula. Oleh karena itu, perlu ada proses
seleksi dan implikasi pelatihan untuk keterampilan politik. Ini menunjukkan bahwa
keterampilan politik itu dapat diperoleh karena dilahirkan dan juga dapat
dikembangkan melalui proses belajar dan latihan secara terus menerus. Orang yang
memiliki keterampilan politik karena dilahirkan, berasal dari keluarga dan keturunan
yang memiliki keterampilan politik yang baik dan juga keterampilan tersebut terus
berlatih, maka orang tersebut akan semakin matang dengan keterampilan politik yang
dimilikinya.
Berbagai metode dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan
politik seseorang, yaitu:

a. Penilaian diri sendiri (self assessment) dan pemahaman


Penilaian diri sendiri atau kesadaran diri yang lebih baik dapat dilakukan
dengan memahami kepribadian seseorang dan bagaimana membuat keputusan.
Kuesioner penilaian kepribadian yang cukup baik adalah Five-Factor Model and the
Sixteen Personality Factor Questionnaire (16PF) (Cattell and Mead (2008); John &
Srivastava, 1999; McCrae & John, 1991). Kedua instrumen ini mampu memberikan
pandangan terhadap kepribadian seseorang di dalam menentukan bagaimana seorang
merespon terhadap berbagai situasi organisasi. Five factor model biasa disebut Big 5
personality traits dan masing-masing mempunyai deskripsi, yaitu: Extraversion,
Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism, and Openness to Experience.

1) Ekstraversi (Extraversion). Menilai kuantitas dan


intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk didukung,
kemampuan untuk berbahagia. Dimensi ini menunjukkan tingkat kesenangan
seseorang akan hubungan. Mereka yang memiliki skor ekstraversi yang tinggi
cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk
mempertahankan dan menikmati sejumlah hubungan. Sementara mereka yang
memiliki skor yang rendah cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki
hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka
lebih senang dengan kesendirian.
2) Keramahan (Agreeableness). Menilai kualitas orientasi individu dengan
kontinum nilai dari lemah lembut sampai antagonis didalam berpikir, perasaan
dan perilaku. Dimensi ini merujuk kepada kecenderungan seseorang untuk
tunduk kepada orang lain. Mereka yang memiliki skor A tinggi cenderung jauh
lebih menghargai harmoni daripada ucapan atau cara mereka. Mereka tergolong
orang yang kooperatif dan percaya pada orang lain. Mereka yang memiliki skor
A rendah cenderung memusatkan perhatian lebih pada kebutuhan mereka sendiri
ketimbang kebutuhan orang lain.

3) Kesadaran (Conscientiousness). Menilai kemampuan individu didalam


organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai tujuan
sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah individu
tersebut tergantung, malas dan tidak rapi. Dimensi ini merujuk pada jumlah
tujuan yang menjadi pusat perhatian seseorang. Orang yang mempunyai skor
tinggi cenderung mendengarkan kata hati dan mengejar sedikit tujuan dalam satu
cara yang terarah dan cenderung bertanggung jawab, kuat bertahan, tergantung,
dan berorientasi pada prestasi. Sementara yang skornya rendah, ia akan
cenderung menjadi lebih kacau pikirannya,mengejar banyak tujuan.

4) Neurotisme (Neuroticism). Trait ini menilai kestabilan dan ketidakstabilan


emosi. Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah individu tersebut
mudah mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak realistis, mempunyai
coping response yang mal-adaptif. Dimensi ini menampung kemampuan
seseorang untuk menahan stres. Mereka yang memiliki skor N yang tinggi
cenderung berciri tenang, bergairah dan aman. Sementara mereka yang memiliki
skor N yang rendah cenderung tertekan, gelisah dan tidak aman.

5) Keterbukaan (Openness). Menilai usahanya secara proaktif dan penghargaannya


terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai bagaimana ia
menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa. Dimensi ini mengarah tentang
minat seseorang. Mereka yang memiliki skor tinggi pada keterbukaan akan
cenderung menjadi imajinatif, benar-benar sensitif dan intelek. Sementara
mereka yang memilik skor rendah pada keterbukaan cenderung realistis, tidak
kreatif, dan tidak penasaran terhadap sesuatu.

Sixteen personality factors (16PF) adalah kuesioner kepribadian yang telah


dikembangkan berabad-abad lamanya oleh Raymond B. Cattell, Maurice Tatsuoka
dan Herbert Eber, sebuah alat ukur yang komprehensif dan efektif untuk menilai
kepribadian normal dalam berbagai pengaturan di mana penilaian yang mendalam
dari seluruh orang yang dibutuhkan (Cattell & Mead, 2008). 16PF ini dapat
digunakan sebagai instrumen klinik untuk membantu melakukan diagnosa gangguan
mental demikian juga secara luas telah digunakan dalam bidang psikologi.
Walaupun 16 PF hanya mengukur kepribadian normal (bukan psikopatologi),
tes tersebut juga sering digunakan dalam bidang konseling dan klinis karena
kemampuannya dalam memberikan gambaran utuh dan mendalam pada seseorang,
termasuk kelebihan dan kelemahannya. Selain hal tersebut, 16 PF memfasilitasi
dialog antara psikolog dan klien, hal ini karena 16 PF merepresentasikan aspek umum
dalam keseharian sehingga dapat disharingkan dengan klien, selanjutnya
memudahkan untuk berdiskusi, meningkatkan kesadaran diri dan membuat klien
merasa aman dan nyaman sebagai partner dalam proses asesment dan terapi.
16 PF dapat mengetahui keadaan klien seperti cara berpikir, self-esteem,
keterbukaan, toleransi, coping stres dan empati. Kesemua itu dapat digunakan dalam
mengembangkan kerja sama dengan klien, memilih metode terapi yang sesuai dan
merencanakan proses terapi yag efektif. Selain itu 16 PF telah digunakan pula dalam
berbagai bidang, dari industri seperti rekrutmen, promosi dan training hingga
penelitian tentang sosial, proses penuaan dan militer.

Test 16 PF terdiri dari 16 faktor diungkap secara mandiri (Cattell & Mead, 2008;
Hertinjung, Susilowati, & Wardhani, 2012), yaitu :
1. Warmth (Kehangatan)
2. Reasoning (Pemikiran/Penalaran)
3. Emotional stability (Stabilitas emosional)
4. Dominance (Dominasi)
5. Liveliness (Keaktifan)
6. Rule-Consciousness (Kesadaran peraturan)
7. Social Boldness (Keberanian sosial )
8. Sensitive (Sensitif)
9. Vigilance (Kewaspadaan)
10. Abstractedness (Imajinasi)
11. Privateness (Privasi)
12. Apprehension (Penangkapan)
13. Opennes to Change (Keterbukaan untuk berubah)
14. Self-Reliance (Kemandirian)
15. Perfectionism (Perfeksionisme)
16. Tension (Ketegangan)

Pengukuran penilaian diri sendiri adalah dengan melalui The Myers-Briggs


Type Indicator (MBTI). Instrumen ini menyiapkan informasi mengenai bagaimana
individu menyelesaikan masalah, membuat keputusan dan gaya interaksi yang lebih
cocok. Psikiater Swiss, Carl Jung, mengembangkan teori awal abad 20 untuk
menggambarkan preferensi dasar individu dan menjelaskan persamaan dan
perbedaan antara orang Prem (n.d). Postulat utama dari teori ini adalah bahwa orang
memiliki kecenderungan perilaku bawaan dan preferensi. Jung teori penting tetapi
tidak dapat diakses oleh masyarakat umum. Isabel Myers dan Katherine Briggs (tim
ibu-anak) memperluas kerja Jung dengan mengembangkan instrumen untuk
membantu orang mengidentifikasi alat preferensi. MBTI merupakan indikator dari
tipe kepribadian (yaitu preferensi bawaan) yang telah terbukti sangat handal dan
valid. Perbedaan dari alat berbasis karir psikologis atau lainnya
1. Tidak menilai kesehatan psikologis
2. Tidak "memberitahu" klien apa yang harus dilakukan
3. Melibatkan umpan balik klien dan "kesepakatan"
4. Melibatkan ada skala atau nilai
5. Kekuatan dan kelemahan inherent yang terkait dengan setiap jenis profil

Terdapat empat dimensi indikator tipe Myers-Briggs yaitu extraversion-introversion,


sensing-intuition, thinking-feeling dan judging-perceiving (MBTI, 2013) (lihat Tabel
2.1).

Tabel 2.1: Empat Dikotomi MBTI

Extraversion – Introversion Di mana Anda lebih memilih untuk


E - I Dichotomy memfokuskan perhatian Anda - dan
mendapatkan energi Anda?

Sensing – Intuition Bagaimana Anda memilih untuk mengambil


S - N Dichotomy informasi?

Thinking – Feeling Bagaimana Anda membuat keputusan?


T - F Dichotomy

Judging – Perceiving Bagaimana Anda berurusan dengan dunia luar?


J - P Dichotomy

Sumber: Prem (n.d); MBTI (2013)

Extraversion – Introversion
Fokus pada tindakan dunia luar, benda dan orang-orang, dan menarik energi dari
kontak orang. Sementara tipe orang yang introversi adalah fokus pada dunia internal,
lebih memilih untuk mencerminkan dan perlu waktu untuk membangun kembali
energi "tenang-pengisian".

Sensing – Intuition
Sensing (penginderaan) adalah percaya pada informasi yang ada, melihat secara detil
dan fakta, bersandar terhadap yang dapat dilihat (tangible) dan dapat meminimalkan
pentingnya yang tak berwujud (intangible). Intuition (intuisi) adalah percaya
informasi yang abstrak/teoritis, mencari pola/keterkaitan, melihat bagaimana data
berhubungan dengan teori dan tidak mengabaikan indera tetapi juga dapat
memperhatikan "firasat".
Thinking – Feeling
Thingking (berpikir) yaitu upaya untuk melihat hal-hal dengan menggunakan logika
atau prinsip; mengatur, meringkas atau mengkategorikan informasi; bersandar
terhadap yang terukur atau sasaran; dan dapat meminimalkan pentingnya nilai-nilai
dan perasaan manusia. Feeling (perasaan) yaitu mencoba untuk melihat sesuatu dari
perspektif lain; terdorong untuk mencari hubungan harmoni, fokus pada
keterampilan-orang, kehangatan dan keramahan; dan meminimalkan pentingnya
"fakta".

Judging – Perceiving
Senang terhadap masalah untuk diputuskan, mulai mengerjakan tugas tepat waktu;
memiliki rencana yang jelas dan mungkin tampak tidak fleksibel. Perceiving adalah
lebih memilih untuk meninggalkan hal-hal terbuka untuk input lebih lanjut; ingin
tetap mendengarkan; menunda tugas sampai dekat dengan batas waktu; dan mungkin
tampak terlalu fleksibel.

Tabel 2.2: Perbedaan Manfaat Metode 16PF and the Myers-Briggs Type Indicator
(MBTI)

No 16PF MBTI

1 Berdasarkan analisis statistik dan Berdasarkan Jung tentang teori


pengamatan perilaku manusia kepribadian
2 Menyediakan pendekatan dari luar-ke Menyediakan pendekatan dari dalam- ke
dalam luar
3 Menggambarkan pengaruh yang Membantu orang meningkatkan
mendasari pada gaya perilaku individu kesadaran diri mereka, dan memperluas
dan dampaknya terhadap situasi pemahaman mereka tentang orang lain
kehidupan nyata
4 Memberikan gambaran yang lebih rinci Menyediakan cara mudah bagi
tentang bagaimana berbeda atau seberapa individu untuk memahami esensi dari
mirip orang tersebut dengan orang lain, kepribadian mereka sendiri dan mengapa
pada sejumlah besar dimensi kepribadian orang lain melihat dunia dan melakukan
sesuatu yang berbeda
5 Memberikan gambaran rinci dan spesifik Memberikan gambaran utuh dari
pada individu tersebut keseluruhan kepribadian
6 Memberikan wawasan tertentu ke dalam Memberikan wawasan tertentu ke dalam
perasaan dan emosi individu bagaimana individu mengambil
informasi dan membuat keputusan
7 Bagi individu yang sebelumnya Bagi individu yang sebelumnya
menyelesaikan tipe kuesioner berdasarkan melengkapi instrumen berbasis sifat
MBTI, umpan balik 16PF menyediakan seperti kuesioner 16PF, menerima
cara untuk menindaklanjuti interpretasi umpan balik MBTI memberikan
MBTI dengan cara yang baru & rinci alternatif yang berguna sebagai acuan
Sumber: Hackston (n.d.)
Model penilaian diri sendiri yang tak kalah populernya yaitu dengan
instrumen umpan balik 360 derajat (360-degree feedbacks). Cara ini dilakukan yaitu
mengumpulkan persepsi orang lain tentang bagaimana pribadi atau perilaku manajer
diterima dalam sebuah konteks organisasi. Ini adalah sejumlah instrumen, tetapi
meskipun demikian instrumen ini tidak mengukur secara langsung keterampilan
politik seseorang. Setiap individu atau tenaga kerja dalam konsep penilaian umpan
balik 360 derajat menilai diri mereka sendiri dan menerima feedback dari rekan
lainnya, atau atasan atau konsumen. Misalnya tenaga kesehatan menilai dirinya atas
kualitas dan jaminan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien atau
keluarga pasien. Namun pada sisi yang lain konsumen/pasien/keluarga pasien, rekan
sekerja dan atasan akan memberikan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan
tersebut. Apakah pasien merasa puas atas pelayanan kesehatan yang diberikan dalam
hal keramahan, komunikasi, kecepatan dan ketepatan pelayanan. Rekan sekerja dan
atasan akan memberikan penilaian bagaimana petugas kesehatan tersebut
memberikan pelayanan kepada pasien misalnya dalam hal kebersihan ruangan, toilet,
ketersediaan air, pencahayaan dan kualitas udara dalam ruangan/gedung. Oleh karena
itu, kualitas pelayanan kesehatan pasien dapat berdimensi luas, juga termasuk dalam
hal ketanggapan petugas.
Antonioni (1996) dalam Widya (2004) mengemukakan sebuah perusahaan
akan memperoleh manfaat dari diaplikasikannya penilaian kinerja umpan balik 360
derajat berupa:
1. Kesadaran individu terhadap apa yang diharapkan oleh penilaian
2. Meningkatnya management learning
3. Mengurangi penilaian buruk atau prasangka terhadap penilai
4. Meningkatkan kinerja
Selain itu penilaian kinerja umpan balik 360 derajat dapat digunakan untuk
memperkirakan kebutuhan training, yaitu training apa yang dibutuhkan oleh seorang
petugas kesehatan dalam rangka peningkatan keterampilan mereka misalnya
pelatihan komunikasi interpersonal, pelatihan advokasi, pelatihan peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan. Bagi seorang manajer program mungkin pelatihan
yang dibutuhkan adalah menghitung unit cost Puskesmas atau Rumah Sakit,
pelatihan perencanaan dan penganggaran kesehatan, pelatihan healthy cities.
Penilaian kinerja umpan balik 360 derajat juga dapat menemukan produk atau
layanan baru dan layanan yang dibutuhkan oleh konsumen. Bisnis rumah sakit tidak
hanya berkaitan dengan dokter, tempat tidur dan obat tetapi semua komponen yang
memberikan keamanan dan kenyamanan pasien dan keluarga pasien. Produk baru
dapat berupa layanan parkir untuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan
menggunakan sistem elektronik seperti layanan kendaraan di mal-mal atau di jalan
tol; layanan kebutuhan yang berkaitan dengan fasilitas handphone, layanan rumah
makan atau membangun layanan rujukan yang lebih cepat. Penilaian kinerja umpan
balik 360 derajat tersebut dapat pula mengukur reaksi anggota tim dan dapat
memprediksi permasalahan yang akan dapat terjadi dari sebuah organisasi karena
pada penilaian ini selain konsumen menilai dirinya sendiri, konsumen dinilai oleh
orang lain atau teman sekerjanya. Oleh karena itu, mereka dapat membangun
interkasi dan komunikasi yang lebih terbuka serta dapat mengantisipasi dan mencari
solusi terhadap potensi permasalahan yang akan muncul.
Untuk mencapaian kinerja maksimal, maka organisasi harus menetapkan
tujuan, standar minimal bahkan tugas dan fungsi dari setiap orang dan jabatan.
Dengan instrumen ini, maka kinerja seseorang lebih mudah untuk diukur, juga
mereka yang dinilai mengetahui apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab
mereka.

INPUT PROCESS OUTPUT


 Self appraisal
 Reaction to feedback
 Coaching for
improvement  Increase awareness of
 Targeting appraisal expectation
 Appraisal objective
improvement areas  Improvevement work
 Appraisal instrument
 Developing action behavior and
 Feedback
plans performance
 Anonymity for
 Reporting result back  Reduction of
appraisers
to appraisal undiscussable
 Selection of peer
 Communication specifically
appraisers
 Specific  Increase in periodic
 Training appraisers
improvement goal informal 3600
 Training for coaches
and action plans feedback
 Feedback report  Job training performance reviews
 Mini appraisal and  Increase in
follow up management training
 Recognition for
improvement
 Accountability

Gambar 2.2: Proses penilaian umpan balik 360 derajat


Sumber: Antonioni (1996), hal. 25

b. Metode untuk belajar dan mengembangkan keterampilan politik


Keterampilan politik dapat dipelajari atau dikembangkan dalam berbagai
cara. Latihan pengalaman peserta melalui bermain peran dan simulasi merupakan
salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan politik. Misalnya, peserta
mungkin akan diminta untuk memainkan peran di dalam memecahkan masalah
kebijakan pelayanan pasien BPJS yang demikian menimbulkan berbagai masalah
sejak program Jaminan Kesehatan Nasional dilaunching oleh pemerintah 1 Januari
2014. Diantara mereka ada yang bertindak sebagai pasien BPJS, petugas BPJS,
Kasir, Security dan Pemberi Pelayanan Kesehatan (Dokter).
1) Pasien BPJS ini adalah seorang perempuan bernama A, umur 39 tahun, tinggal
di salah satu kecamatan di Makassar dalam wilayah kerja Puskesmas ”KK”.
Menurut dokter yang memeriksanya yang bersangkutan akan mengalami operasi
karena diduga mengalami usus buntu. Karena yang bersangkutan adalah tinggal
di wilayah kerja Puskesmas “KK”, maka yang bersangkutan harus mendapat
surat rujukan dari puskesmas tersebut, dan ditujukan kepada salah satu rumah
sakit (Misalnya RS AB).
2) Petugas BPJS, petugas ini yang bertindak sebagai petugas untuk memastikan
bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar dan memenuhi syarat sebagai
pasien BPJS.
3) Petugas kasir, adalah mereka yang bertanggung jawab dalam hal pembayaran
biaya pengobatan dan rawat inap serta pelayanan kesehatan secara keseluruhan
4) Security, adalah petugas yang selain bertugas menjaga keamanan rumah sakit,
juga diberi tugas untuk mengatur pengambilan kartu atau nomor antrian pasien
BPJS.
5) Pemberi Pelayanan Kesehatan, adalah dokter yang akan memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien tersebut.
Amati keterampilan komunikasi, fasilitasi, mempengaruhi dan upaya
koordinasi dan kerjasama satu dengan yang lain diantara mereka atas peran yang
dimainkan oleh masing-masing pihak. Latihan ini akan menjadi sarana belajar untuk
meningkatkan keterampilan politik terutama yang berkaitan dengan masalah
kesehatan dalam konteks pasien BPJS seperti yang dialami oleh pasien tersebut di
atas.

c. Evaluasi dan umpan balik


Dari waktu ke waktu, individu perlu memiliki evaluasi pada perbaikan dan
kemajuan mereka tentang keterampilan politik yang dimilikinya. Evaluasi yang
dilakukan melalui oleh orang lain seperti pengawas individu, klien, kolega, dan
bahkan pasangan akan memberikan umpan balik dan dapat meningkatkan kualitas
dan keterampilan politik. Tentu saja, berdasarkan evaluasi ini, penyesuaian dan
kesempatan belajar dapat dilakukan sebagai koreksi dan perbaikan atas berbagai
masukan yang diperolehnya. Koreksi yang diberikan oleh orang lain memilki
keunggulan karena koreksi tersebut cenderung lebih objektif daripada menilai diri
sendiri dan dapat menghindari perasaan subjektif.

2.7 Diskusi dan Penugasan


Setelah membaca materi ini, peserta diharapkan mampu memahami dan menjawab
pertanyaan ini
a. Mengapa keterampilan politik menjadi sangat penting dalam bidang kesehatan?
b. Haruskah aktor politik kesehatan berasal mereka yang memiliki latar belakang
pendidikan kesehatan?
c. Berikan contoh masing-masing pengaruh dimensi keterampilan sosial terhadap
keterampilan politik!
d. Berdasarkan pengamatan Anda keterampilan politik seperti apa yang harus
dimiliki oleh para pengambil kebijakan bidang kesehatan dalam mempengaruhi
pemerintah atau top pengambil kebijakan?
e. Berikan satu contoh figure yang menurut Anda memiliki keterampilan politik
yang cukup tinggi dan berikan alasan!
f. Isu politik apa yang ada dalam bidang kesehatan yang harus direspon oleh
pemerintah saat ini?

2.8 Penutup

a. Keterampilan politik sebagai salah satu dimensi dari keterampilan sosial


dibutuhkan hampir di semua level organisasi baik organisasi pemerintah, swasta,
partai politik, organisasi profesi, dan organisasi atau lembaga kemasyarakatan
(Non Government Organisation).

b. Keterampilan politik sebagai bagian dari Keterampilan sosial (Social Skills)


meliputi: Komunikasi (Communication)– Memfasilitasi (Facilitating)- Melatih
(Coaching) – Mempengaruhi (Influencing) – Mengkoordinasi (Coordinating) –
Kerjasama dengan orang lain (Partnership)

c. Dimensi keterampilan politik: Kecerdasan sosial, Pengaruh interpersonal,


Kemampuan jaringan, Ketulusan jelas. Keempat dimensi keterampilan politik itu
diasumsikan mempunyai hubungan satu sama lain.

d. Berbagai metode dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan politik


seseorang, dengan penilaian diri sendiri (self assessment) dan pemahaman
melalui kuesioner penilaian kepribadian Five-Factor Model and the Sixteen
Personality Factor Questionnaire (16PF), The Myers-Briggs Type Indicator
(MBTI) dan penilaian umpan balik 360 derajat. Instrumen tersebut dapat
digunakan dalam mengukur keterampilan politik yang berkaitan dengan
kesehatan meskipun instrumen ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing.

References:

Antonioni, D. (1996). Designing in Effective 360-Degree Appraisal Feedback


Process. Organizational Dynamics, 24-38.
Cattell, H. E. P., & Mead, A. D. (2008). The Sixteen Personality Factor
Questionnaire (16PF) SAGE Publication.
Ferris, G. R., Perrewe, P. L., Anthony, W. P., & Gilmore, D. C. (2000). Politics Skill
at Work. Organizational Dynamics, 28(4), 25-23.
Hackston, J. (n.d.). The 16PF and MBTI questionnaires - a perfect match
Hertinjung, W. S., Susilowati, & Wardhani, I. R. (2012). Profil Kepribadian 16 PF
Pelaku dan Korban Bullying Prosiding Seminar Nasional Psikologi Islami,
190-199.
John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The Big-Five Trait Taxonomy: History,
Measurement, and Theoretical Perspectives Barkeley: University of
California at Berkeley
MBTI. (2013). Myers Briggs Type Indicator Personal Impact Report USA.
McCrae, R. R., & John, O. P. (1991). An Introduction to the Five-Factor Model and
Its Applications National Institute on Aging, NIH and University of California
at Berkeley, 175-215.
Prem, K. (n.d). Myers-Briggs Personality Type Indicator – MBTI
https://www.aiaa.org/uploadedFiles/Education_and_Careers/Career_Center/Presentati
on_Archives/2005/MBTI-AIAA-2005.pdf
Widya, R. (2004). Penilaian Kinerja dengan Menggunakan Konsep 360 Derajat
Feedback. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, 4(1), 86-95.
BAB III
ETIKA POLITIK KESEHATAN

3.1 Pendahuluan
“………Saat menjelang pemilihan anggota legislative 2009, mertua saya pernah
mengatakan pada saya ‘politik itu kotor’. Kalau Anda mau menjadi calon anggota
legislative, maka ada lima syarat yang harus dipenuhi yaitu siap uang, siap bohong,
siap dibohongi, siap curang dan siap peng-back up. Mertua saya lebih lanjut
mengatakan semakin banyak syarat tersebut di atas Anda penuhi semakin sempurna
lah Anda untuk terpilih sebagai caleg”.

Ungkapan di atas hampir senada dengan tulisan yang pernah dimuat yang berjudul
“Jangan Percaya Politikus” (Mazayasyah, 2007). Apa yang dikatakan politikus itu
tidak bisa di pegang. Hari ini dia berkata kita koalisi dengan A, besok dia akan
berkata kita koalisi dengan B. Sejam yang lalu di RCTI dia bilang ini, sekarang di
Indosiar dia bilang itu. Hari ini dia saling menyindir, besok dia akan berangkul-
rangkulan, bercanda ria dan makan bareng pada acara pengdeklarasian presiden-
wakil presiden.

Nampaknya kedua ungkapan tersebut di atas, tidaklah sepenuhnya salah.


Realitas politik menunjukkan bahwa politik itu cenderung menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan. Ungkapan tentang politik itu kotor juga pernah ditulis oleh
Darmwanto dalam artikelnya “Etika Politik Wakil Rakyat Kita”. Pertanyaannya
kemudian apakah politik memang seperti itu? Adakah etika politik yang harus
dibangun secara bersama? Siapa yang akan mengatakan bahwa ini etis, ini tidak etis,
lalu apa indikatornya serta bagaimana pula penerapannya etika politik dalam bidang
kesehatan?
Bagian ini pertama menyajikan untuk memahami etika, etika politik dan etika
politik dalam bidang kesehatan. Bagian kedua mengkaji mengenai standar penilaian
etika politik kesehatan dan selanjutnya siapa yang akan menentukan tindakan tersebut
etis atau tidak etis. Bagian akhir menyajikan studi kasus untuk memahami etika
politik dalam bidang kesehatan.

3.2 Pengertian etika, etika politik dan etika politik kesehatan


Etika mempunyai pengertian yang beragam berdasarkan sudut pandang
pengguna (S Palutturi, 2013). Ketika seseorang menyebut etika, maka biasanya kesan
pertama yang muncul adalah pemikiran atau tindakan tidak bersalah atau seseorang
tanpa cacat. Etika berasal dari kata Yunani “ethos” yang akar katanya “etos” yang
berarti karakter atau kebiasaan (Solomon, 2005; Tejavanija, 2007). Etika adalah
semua yang berkaitan dengan karakter individu termasuk yang biasa disebut dengan
“being a good person”. Untuk orang-orang Yunani, etika itu adalah cara orang-orang
berperilaku dalam masyarakat. Bedanya dengan moral, dalam bahasa Yunani dsebut
“moralis” biasanya ditujukan pada tindakan benar dan salah dan bukan karakter
daripada orang tersebut.
Etika secara sederhana mengacu pada standar perilaku yang memberi tahu
kita bagaimana manusia harus bertindak dalam banyak situasi dimana mereka
menemukan diri sebagai teman, orang tua, anak, warga negara, businessman, guru,
para professional, pejabat pemerintah dan pemimpin politk (ethics refers to standards
of behavior that tell us how human beings ought to act in the many situations in
which they find themselves as friends, parents, children, citizens, businesspeople,
teachers, professionals, government officials, and political leaders) (Tejavanija,
2007).
Menurut Solomon (2005), etika adalah bagian dari philosophy yang ditujukan
pada kehidupan yang baik, menjadi orang yang baik “being a good person”,
melakukan sesuatu yang baik, memperoleh sesuatu dengan orang lain dan
menginginkan sesuatu yang baik dalam kehidupan. Karena itu, etika adalah sangat
esensial terhadap kehidupan dalam masyarakat dengan berbagai tradisi, praktek dan
institusi. Kesemua ini menentukan banyak aturan dan harapan yang menjelaskan
gambaran etika orang-orang yang tinggal bersama mereka.. Solomon berpendapat
lebih jauh bahwa etika mempunyai dimensi personal dan sosial meskipun dalam teori
maupun prakteknya kadang-kadang sulit untuk dipisahkan.
Ahli falsafah mengatakan bahwa etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas sedangkan moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral. Pengertian
moral itu sendiri adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia
yang dianggap baik atau buruk. Moralitas merupakan dimensi nilai dari keputusan
dan tindakan yang dilakukan manusia (Sagiran, 2005). Bahasa moralitas termasuk
kata-kata seperti ‘hak’, ‘tanggung jawab’, ‘kebaikan’ dan sifat seperti ‘baik’, ‘buruk’,
‘benar’ dan ‘salah’, ‘sesuai’ dan ‘tidak sesuai’. Menurut dimensi ini etika terutama
ditekankan pada bagaimana mengetahuinya (knowing) sementara moralitas
bagaimana melakukannya (doing). Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai
ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang
amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak? Peter Singer, filsuf
kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas mempunyai arti yang
sama karena itu di dalam buku-bukunya ia sering menggunakan kedua kata tersebut
secara bergantian.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari
lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga
kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan
(ekspektasi) profesi dan masyarakat serta bertindak dengan cara-cara yang
professional. Etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara
pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan
terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan
tanggung jawab khusus terhadap pasien dank lien lain, terhadap organisasi dan staf,
terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat akhir
walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, professional
dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersama dan pedoman untuk
diterapkan dan dipatuhi semua anggota assosiasi tentang apa yang dinilai baik atau
buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Kesimpulannya etika adalah
ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang hak serta kewajiban
moral/akhlak, kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak dan nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Berdasarkan definisi di atas, Tejavanija (2007) membantu kita untuk
memahami beberapa bagian atau aspek bahwa hal tersebut bukan etika atau tidak
sama dengan etika.
a. Etika tidak sama dengan perasaan. Perasaan memberikan informasi penting
untuk pilihan etika kita. Beberapa orang telah sangat berkembang kebiasaan yang
membuat
mereka merasa buruk ketika mereka melakukan sesuatu yang salah, tetapi banyak
orang baik bahkan meskipun mereka melakukan sesuatu yang salah dan sering
perasaan kita akan memberitahu kami itu tidak nyaman untuk melakukan hal yang
benar jika sulit.
b. Etika bukanlah agama. Banyak orang yang tidak religius, tapi etika berlaku untuk
semua orang. Kebanyakan agama melakukan advokasi standar etika yang tinggi
tapi kadang-kadang tidak mengatasi semua jenis masalah yang kita hadapi.
c. Etika tidak mengikuti hukum. Sebuah sistem yang baik hukum tidak memasukkan
banyak standar etika tetapi hukum dapat menyimpang dari apa yang etis. Hukum
dapat menjadi etis korup, dan beberapa rezim totaliter telah membuatnya. Hukum
dapat menjadi fungsi kekuasaan sendiri dan dirancang untuk melayani
kepentingan
kelompok sempit. Hukum mungkin memiliki waktu yang sulit merancang atau
menegakkan standar di beberapa daerah penting dan mungkin lambat untuk
mengatasi masalah baru.
d. Etika tidak mengikuti norma-norma yang diterima secara budaya. Beberapa
budaya yang cukup etis tetapi yang lain menjadi rusak -atau- buta terhadap
keprihatinan etika tertentu.
e. Etika bukan ilmu. Ilmu sosial dan alam dapat memberikan data penting
untuk membantu kita membuat pilihan etis yang lebih baik tapi ilmu pengetahuan
saja tidak memberitahu kita apa yang harus kita lakukan. Sains dapat memberikan
penjelasan untuk apa manusia adalah sama. Tapi etika memberikan alasan untuk
bagaimana manusia seharusnya bertindak dan hanya karena ada sesuatu yang
ilmiah atau teknologi mungkin, tidak mungkin etis untuk melakukannya. Khusus
untuk aspek ini, mungkin akan menjadi kontroversi karena beberapa bahasan di
atas atau mungkin referensi yang lain dinyatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu.
Bagaimana halnya dengan etika politik. Politik membutuhkan etika karena
politik melibatkan dan banyak berhubungan dengan kekuasaan (power), konflik
(conflict) dan kepentingan melayani diri sendiri (self-serving interests). Meskipun
demikian ilmu politik jarang berhubungan dengan etika dalam pembuatan kebijakan
publik (less frequently does political science deal with ethics in public policymaking)
(Albaek, 2003).
Etika politik atau sering disebut sebagai moralitas politik atau etika publik
adalah praktek pembuatan penilaian moral tentang tindakan politik dan kajian tentang
praktek tersebut (Political ethics (sometimes called political morality or public
ethics) is the practice of making moral judgments about political action, and the
study of that practice). Etika politik berkaitan dengan (Tejavanija, 2007):
a. Kejujuran (honesty)
b. Menghormati (respect)
c. Integritas (integrity)
d. Profesionalisme (professionalism)
e. Akuntabilitas (accountability)
f. Keadilan (fairness)
g. Kompetensi (competence), dan
h. Tanggung jawab (responsibility)
Tentu saja karena kesehatan sebagai subjek kajian maka yang dimaksudkan
etika politik di sini adalah yang berkaitan dengan dengan isu-isu etika politik dalam
bidang kesehatan. Dalam keputusan politik bidang kesehatan pun disana terdapat
kewenangan, kekuasaan, lobi, tarik ulur kepentingan bahkan tidak sedikit yang
berhubungan dengan kepentingan pribadi atau kelompok atau golongan dan partai
politik. Sebagai contoh, ketika pemerintah mau menaikkan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM), tidak sedikit debat, pro kontra atas kebijakan pemerintah tersebut.
Koalisi pemerintahan SBY-Boediono bahkan harus terbagi dalam menyikapi
kenaikan harga BBM itu. Semua partai politik dan kabinet koalisi bahkan semua
bicara atas nama rakyat dengan padangan dan argumen yang berbeda. Terdapat
kekuasaan untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Karena itu sifat kejujuran,
menghormati orang lain, profesionalisme, berkeadilan, penuh tanggung jawab dan
kompetensi adalah hal yang tak dapat dipisahkan dalam kebijakan dan etika politik
kesehatan.

3.3 Standar penilaian etika politik kesehatan


Setidaknya terdapat tiga kriteria untuk menentukan tindakan seseorang etis
atau tidak etis yaitu prinsip utilitarianisme, hak dan kewajiban (Siswanto, 2007).
Prinsip utilitarianisme mengajarkan bahwa keputusan yang kita ambil haruslah
memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk jumlah orang terbesar. Ketika BPJS
ditetapkan di DPR dan ditetapkan karena kepentingan perusahaan asuransi kesehatan,
rumah sakit, dokter dan apoteker tetapi dasarnya adalah bahwa kebijakan tersebut
adalah untuk memberikan menjamin kesehatan terhadap semua warga negara
(Jaminan Kesehatan Nasional). Ketika pemerintah provinsi Bali dan beberapa
pemerintah kabupaten/kota di Indonesia mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA)
tentang smoke-free pada tempat-tempat umum misalnya tempat ibadah, kampus,
rumah sakit, hotel dan sebagainya. Dasarnya adalah bukan karena mencari
popularitas atas kemauan politik itu tetapi dasarnya adalah untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat (non-smokers) dan menciptakan lingkungan dan
udara yang lebih sehat. Pandangan demikian menekankan pada kinerja kelompok
(kinerja organisasi). Dengan kata lain pengambilan keputusan adalah dalam rangka
efisiensi dan produktivitas organisasi dan bukan untuk mengambil keuntungan
sepihak.
Prinsip hak adalah menekankan bahwa setiap individu mempunyai kebebasan
untuk mengemukakan pendapat dan berbicara, sebagaimana diatur dalam piagam Hak
Asasi Manusia. Prinsip keadilan adalah mengisyaratkan individu untuk
memberlakukan dan menegakkan aturan-aturan secara adil dan tidak berat sebelah
sehingga terdapat distribusi manfaat dan biaya yang pantas. Dalam bidang kesehatan
pun demikian, misalnya seorang pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang berkualitas, pasien berhak untuk mendapatkan informasi mengenai
status kesehatan atau penyakit yang dideritanya, pasien berhak berapa besar biaya
yang mereka harus keluarkan bahkan pasien berhak atas tindakan yang akan
diberikan oleh seorang dokter atau tenaga kesehatan. Dalam lingkungan masyarakat
pun demikian, mereka berhak untuk mendapatkan informasi mengenai wilayah-
wilayah yang mengalami kemacetan, wilayah rawan gempa dan banjir dan
sebagainya.
Meskipun demikian, masyarakat tidak hanya berhak untuk mendapatkan
manfaat dari tindakan dan kebijakan yang diambil demikian pula mendapatkan hak
tetapi masyarakat pun mempunyai kewajiban atas haknya. Sebagai contoh, dalam
bidang kesehatan pasien dan keluarga pasien berkewajiban untuk menjaga kebersihan
rumah sakit, pasien berkewajiban untuk taat pada peraturan yang ditetapkan oleh
rumah sakit, masyarakat berkewajiban untuk membayar retribusi rumah sakit,
masyarakat berkewajiban membayar retribusi keamanan lingkungan sekitar. Di Bali
misalnya mereka yang tinggal atau pengunjung hotel harus menaati bahwa dalam
kamar hotel dilarang keras untuk merokok karena ini sudah ditetapkan dalam Perda
Provinsi Bali dimana hotel sebagai salah satu tempat umum yang harus bebas dari
rokok.
Tampak bahwa ketiga kriteria penilaian etis dan tidak etis tersebut bersifat
bersaing. Satu kriteria dapat saling melemahkan dan meniadakan kriteria yang lain.
Misalnya dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas organisasi,
perusahaan memecat 10% karyawan yang kurang produktif. Dalam pandangan
utilitarianisme, keputusan ini bermanfaat untuk jumlah orang yang terbanyak, namun
boleh jadi mengabaikan hak-hak individu yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang layak dan rasa keadilan (adanya perlakuan diskriminatif) yaitu
adanya pemecatan sebagian kecil karyawan. Dalam melakukan tindakan politik siapa
pun aktornya (manajer atau staf) haruslah berpedoman pada ketiga kriteria etis tadi.
Contoh yang lain misalnya seorang polisi yang melakukan penggerebekan terhadap
Pekerja Seksual Komersial (PSK) kemudian mereka ditangkap dan dibawa ke
Mattirodeceng salah satu tempat rehabilitasi di Makassar. Dalam pandangan
utilitarianisme seorang PSK ditangkap untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar
dimana mereka tidak dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat akan
tetapi dari sisi hak dan prinsip keadilan. Ini justru melanggar hak-hak mereka.
Mereka harus diperlakukan secara adil sama dengan kelompok masyarakat lainnya.
Bagaimana halnya misalnya dengan kebijakan program harm reduction yang
sedang digalakkan saat ini yaitu dimana para pengguna jarum suntik tetap dibiarkan
untuk menggunakan narkoba. Dari sisi manfaat dan perlindungan kesehatan
masyarakat tentu saja dengan penerapan harm reduction program ini akan
memberikan manfaat terhadap pengguna, keluarga dan masyarakat secara
keseluruhan terutama yang berkaitan dengan penurunan laju penularan kasus
HIV/AIDS. Dari sisi pemenuhan hak dan rasa keadilan juga dapat dikatakan tidak
terjadi pelanggaran yang dapat dikatakan etis dan tidak etis. Oleh karena itu, semakin
terpenuhi ketiga kriteria penilaian etis atau tidak etis tersebut, maka tentu saja akan
semakin dapat dikatakan etis demikian sebaliknya semakin kurang kriteria penilaian
etis terpenuhi semakin jauh pula aspek etisnya.
Di samping ketiga kriteria tersebut terdapat the golden rule dari perilaku
politik yaitu perlakuan orang lain sebagaimana kamu menginginkan orang lain
memperlakukanmu (Do unto others as you want them to do unto you). Sebagai
saringan dapat juga digunakan empat pertanyaan dasar. Pertama, apakah perilaku itu
merupakan kebenaran? Kedua, apakah perilaku itu adil untuk semua pihak terkait?
Ketiga, apakah perilaku itu akan membangun komitmen dan pertemanan yang lebih
baik? Dan keempat adalah apakah perilaku itu bermanfaat untuk semua pihak terkait?
Jika keempat syarat tersebut di atas terpenuhi, maka dapat dikatakan perilaku tersebut
adalah etis.
Prinsip etika dan perilaku berkaitan dengan keharusan yang wajib
dilaksanakan dan larangan yang harus dihindari. Adapun prinsip-prinsipnya adalah
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas (pertanggungjawaban), independensi
(kemandirian) dan prinsip keadilan (fairness) (Buku Pedoman Etika dan Perilaku,
2006). Standar etika dan perilaku tersebut digunakan untuk menentukan hal-hal yang
baik dan yang buruk, hal-hal yang terpuji dan yang tercela dan hal-hal yang dihargai
dan yang tidak dihargai (Buku Pedoman Etika dan Perilaku, 2006).

3.4 Siapa yang menentukan etik atau tidak?


Etika berdimensi majemuk dan pluralistik. Setiap orang memiliki pandangan
yang berbeda mengenai penilaian benar atau salah, baik atau buruk, sesuai tidak
sesuai. Jika ada yang sama paling tidak bisa berbeda dari aspek argumentasi dan
gagasan mereka. Di beberapa masyarakat, perbedaan tersebut dianggap sebagai
sesuatu yang normal dan ada kebebasan seseorang untuk melakukan apa yang
diinginkan sepanjang tidak melanggar hak orang lain. Dalam masyarakat tersebut
budaya dan agama memegang peranan penting mengenai ini etis dan ini tidak etis
disamping pengaruh keluarga, teman sebaya, media dan sumber-sumber eksternal
lainnya (Sagiran, 2005). Di negara berkembang yang cenderung menganut paham
paternalistik bicara pada orang yang lebih tua ada tata kramanya, harus sopan, santun
dan kalau perlu harus ”pegang lutut”. Seorang anak yang terlalu banyak bicara
dengan orang tua dianggap tidak sopan, ”kurang ngajar’ dan pandangan-pandangan
lainnya. Dalam masyarakat liberal, setiap orang memiliki pandangan kebebasan besar
dalam menentukan bagi dirinya sendiri etis atau tidak etis. Dalam masyarakat yang
lebih tradisional keluarga dan garis keturunan, pemimpin agama dan tokoh politik
biasanya memiliki peran lebih besar dalam menentukan etis dan tidak etis bagi
seseorang. Di Indonesia misalnya, mahasiswa ke kampus dan pakai pakain ketat
bahkan celana pendek, mungkin dianggap sangat tidak etis dan bahkan jarang
dijumpai tetapi di negara seperti Australia itu adalah hal yang biasa saja.
Pertanyaannya adalah siapa yang menentukan etis dan tidak etis?
Tentu saja kondisi seperti ini juga berpengaruh terhadap etika dalam
pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan. Seorang bawahan harus loyal sama
pimpinan, apa yang dikatakan oleh pimpinan cenderung dan harus diamini oleh
bawahannya. Dampaknya bawahan cenderung takut untuk melawan pimpinannya
meskipun hanya berbeda dari aspek pendapat dan argumen terhadap masalah
kesehatan yang dihadapi. Meskipun pasien mempunyai hak untuk bertanya pada
dokter tentang penyakitnya atau bertanya mengenai tindakan yang akan diberikan
tetapi di negara seperti Indonesia, seorang pasien bertanya kepada seorang dokter
jarang dijumpai bahkan terlalu banyak bertanya mungkin dianggap hal yang tidak
sopan.
Terlepas dari perbedaan ini, sepertinya sebagian besar manusia sepakat
dengan beberapa prinsip fundamental dari etika sebut saja Hak Asasi Manusia
(HAM) seperti yang dinyatakan dalam United Nations Universal Declaration of
Human Rights. Hak asasi manusia yang penting dalam etika termasuk dalam etika
dalam politik kesehatan adalah hak untuk hidup, bebas dari diskriminasi, bebas dari
siksaan dan kekejaman, bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak pantas,
bebas beropini dan berekspresi, persamaan dalam mendapatkan pelayanan umum di
suatu negara dan pelayanan medis (Sagiran, 2005).
Bagi aktor politik untuk bidang kesehatan, siapa yang akan menentukan etis
atau tidak etis. Pertanyaan seperti ini hampir sama dengan pertanyaan siapa yang
akan menentukan sesuatu etis atau tidak etis perilaku bagi seorang dokter. Sampai
saat ini penilaian etis atau tidak etis memiliki jawaban yang berbeda-beda untuk bisa
diterima secara umum. Selama berabad-abad lamanya profesi kesehatan telah
mengembangkan standar perilakunya sendiri untuk anggotanya yang tercermin dalam
kode etik dan dokumen kebijakan yang terkait. Jika merujuk pada kasus tersebut di
atas, maka seyogyanya etika dalam berpolitik yang dapat memberikan dampak dalam
berbagai bidang termasuk sektor kesehatan harus ada kode etik politik yang
merupakan rambu-rambu, alat kontrol yang dapat digunakan untuk mengatur perilaku
para aktor politik. Setiap orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam
mengambil keputusan etis atau tidak etis dalam mengimplementasikannya. Ada
beberapa cara yang dapat digunakan sebagai pendekatan masalah-masalah etika.
Secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu pendekatan rasional dan
pendekatan non rasional.

a. Pendekatan rasional
Pendekatan rasional yang dimaksudkan meliputi deontologi,
konsekuensialisme, prinsiplisme dan etika budi pekerti. Deontologi melibatkan
pencarian aturan yang terbentuk dengan baik yang dijadikan dasar sebagai pembuatan
keputusan moral. Dasarnya dapat saja agama atau bukan agama misalnya manusia
memiliki gen-gen yang hampir sama. Konsekuensialisme mendasari keputusan etis
yang diambil karena merupakan cara analisis bagaimana konsekuensi atau hasil yang
didapatkan dari berbagai pilihan-pilihan. Tindakan yang benar adalah tindakan yang
memberikan hasil yang terbaik. Untuk menentukan mana hasil yang terbaik itu
biasanya dilihat dari utilitarianisme yaitu mengukur dan menentukan pilihan yang
memberikan hasil yang paling baik diantara semua pilihan yang ada. Sebagai contoh
kebijakan pemerintah tentang harm reduction program bagi pengguna narkoba
suntik. Apa utilitas yang bisa diperoleh dari ditetapkannya kebijakan tersebut. Mana
yang paling memberikan keuntungan dari sisi program dan biaya yaitu cost
effectiveness-nya dan cost benefit-nya. Contoh yang lain misalnya kebijakan
pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan di beberapa
kabupaten/kota di Indonesia. Apa manfaat yang bisa diperoleh dari kebijakan ini.
Sejauh mana pendekatan ini dapat meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan serta
meningkatkan status kesehatan masyarakat kita. Berapa besar biaya yang harus
dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Efektifkah program ini? Bermanfaatkah
program ini? Dan pertanyaan-pertanyaan lain dari aspek utilitarianisme.
Pendekatan rasional juga meliputi prinsiplisme yaitu mempergunakan prinsip-
prinsip etik sebagai dasar dalam membuat keputusan moral. Terakhir adalah etika
budi pekerti. Etika budi pekerti kurang berfokus pada pembuatan keputusan tetapi
lebih pada karakter dari si pengambil keputusan yang tercermin dari perilakunya.
Tidak satupun dari empat pendekatan ini yang dapat mencapai persetujuan yang
universal. Setiap orang memiliki pendekatan rasional yang akan dipilih dalam
pengambilan keputusan etik seperti juga orang lain memilih pendekatan non-rasional.
Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

b. Pendekatan non-rasional
Kemudian pendekatan non-rasional. Pendekatan non-rasional tidak berarti
irrasional. Pendekatan ini hanya dibedakan dari sistematika, dan alasan yang dapat
digunakan dalam mengambil keputusan. Adapun pendekatan non-rasional meliputi
kepatuhan, imitasi, perasaan atau kehendak dan intuisi. Kepatuhan adalah cara umum
dalam membuat keputusan etis terutama anak-anak dan mereka yang bekerja dalam
struktur kepangkatan (militer, kepolisian, berbagai organisasi keagamaan dan bisnis).
Pendekatan ini mengikuti aturan atau perintah penguasa, pimpinan atau direktur tidak
memandang apa Anda setuju atau tidak setuju. Imitasi adalah hampir serupa dengan
kepatuhan karena mengesampingkan penilaian seseorang terhadap benar dan salah
dan mengambil orang lain sebagai acuan karena dia adalah panutan. Pendekatan ini
banyak digunakan dalam etika kedokteran misalnya panutan dari seorang dokter
senior, maka dokter ”yunior” bisa belajar dan meniru dari pengalaman senior. Dalam
pendekatan politik pun demikian, orang lain bisa melakukan imitasi karena melihat
dan mengamati sikap dan perilaku para elit seniornya. Selanjutnya, intuisi. Intuisi
adalah persepsi yang terbentuk dengan segera mengenai bagaimana bertindak di
dalam sebuah situasi tertentu. Intuisi sifatnya subjektif, namun berbeda karena intuisi
terletak pada pemikiran dibanding keinginan. Intuisi dapat bervariasi dari setiap orang
dan bahkan dari individu itu sendiri. Terakhir adalah kebiasaan. Kebiasaan
merupakan metode yang sangat efisien dalam mengambil keputusan moral karena
tidak diperlukan adanya pengulangan proses pembuatan keputusan secara sistematis
setiap masalah moral muncul dan sama dengan masalah yang pernah dihadapi.
Meskipun begitu ada kebiasaan buruk (seperti berbohong) dan ada juga kebiasaan
baik (seperti mengatakan dengan jujur).
3.5 Diskusi dan penugasan
Setelah membaca materi ini, peserta diharapkan mampu:
a. Mendefenisikan etika, etika politik dan etika politik bidang kesehatan
b. Menjelaskan mengapa politik membutuhkan etika?
c. Menyebutkan dan menjelaskan secara singkat dimensi-dimensi yang berhubungan
dengan etika politik
d. Menyebutkan dan menjelaskan krieteria atau standar yang digunakan untuk
menentukan etika atau tidak beretika
e. Menentukan siapa yang menentuka etika dan tidak beretika
f. Memberikan contoh praktek-praktek yang berkaitan dengan etika dalam bidang
politik kesehatan

3.6 Penutup
Etika merupakan hal penting dalam tindakan politik termasuk yang berkaitan
dengan kesehatan. Kejujuran, tanggung jawab, keadilan dan saling menghormati
merupakan aspek-aspek yang berkaitan dengan etika politik. Setidaknya terdapat tiga
kriteria untuk menentukan tindakan seseorang etis atau tidak etis yaitu prinsip
utilitarianisme, hak dan kewajiban. Etika berdimensi majemuk dan pluralistik. Setiap
orang memiliki pandangan yang berbeda mengenai penilaian benar atau salah, baik
atau buruk, sesuai tidak sesuai.

References:
Albaek, E. (2003). Political Ethics and Public Policy: Homosexuals between Moral
Dilemmas and Political Considerations in Danish Parliamentary Debates
Scandinavian Political Studies, 26(3).
Buku Pedoman Etika dan Perilaku. (2006). Buku Pedoman Etika dan Perilaku.
Jakarta Timur: PT Hutama Karya (Persero).
Mazayasyah, A. A. F. (2007). Jangan Percaya Politikus! Yogyakarta: MAGMA.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sagiran. (2005). Panduan Etika Medis. Yogyakarta: Pusat Studi Kedokteran Islam
Fakultas Kedokteran Universitas Mohammadiyah.
Siswanto. (2007). Politik dalam Organisasi (Suatu tinjauan menuju etika berpolitik).
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta, 10(04).
Solomon, R. C. (2005). Introduction to Ethics. Belmont: Wadsworth.
Tejavanija, C. (2007). Ethics of political leaders: The comparative study of George
W. Bush and Thaksin Shinawatra.
BAGIAN KEDUA: KETERAMPILAN DAN IMPLEMENTASI
POLITIK KESEHATAN
BAB IV
KOMUNIKASI POLITIK KESEHATAN

“…Political effects are at the heart of political science…” (Doris & James, 2005)

4.1 Pendahuluan
Komunikasi politik memegang peranan penting dalam mempengaruhi
kebijakan bidang kesehatan. Bab ini pertama-tama membahas konsep komunikasi
politik kesehatan. Bagian ini menjelaskan tentang pemahaman dasar mengenai
komunikasi, komunikasi politik dan dalam kaitannya dengan kesehatan. Bagian
kedua mengkaji ruang lingkup komunikasi politik. Bagian ini membahas siapa
komunikator politik itu? pesan-pesan politik seperti apa yang disampaikan yang dapat
mempengaruhi kesehatan? media komunikasi politik apa yang digunakan? Siapa yang
menjadi sasaran atau khalayak dari komunikasi politik tersebut? dan apa akibat-akibat
yang dapat ditimbulkan dari komunikasi politik tersebut. Untuk melengkapi ilustrasi
dari materi ini, dibagian akhir dari materi ini juga disampaikan contoh kasus yang
berkaitan dengan komunikasi politik di bidang kesehatan.

4.2 Konsep komunikasi politik kesehatan


Studi tentang komunikasi politik telah lama dikaji. Jika kita merujuk pada
Aristotele’s Rethoric and Politics yang ditulis pada tahun 350 B.C. sebagai titik awal,
maka dapat dipastikan bahwa pesan-pesan politik telah dicatat lebih dari dua
millennium pada masa silam (Doris & James, 2005). Ilmu komunikasi politik
merupakan sebuah bidang ilmu yang cukup besar, banyak dikembangkan dari ilmu-
ilmu psikologi, politik dan komunikasi. Karena itu perkembangan ilmu komunikasi
politik tak dapat dipisahkan dari ketiga kajian ilmu tersebut. Umumnya teori yang
relevan dari bidang ilmu ini banyak berhubungan dengan phenomena individu, seperti
proses informasi pada umumnya, atau berbagai aspek dari persuasi dan formasi opini
(Christen & Gunther, 2003).
Komunikasi dan komunikasi politik mempunyai pengertian yang beragam.
Menurut Aristoteles komunikasi menekankan pada “siapa mengatakan apa kepada
siapa (who says what to whom). Model komunikasi Aristoteles diilustrasikan seperti
Gambar 4.1 (Romarheim, 2005).

Speaker Arguments Speech Audience

Gambar 4.1: Model komunikasi politik Aristoteles


Sumber: Romarheim (2005)
Definisi ini sangat sederhana dan mempunyai kelemahan karena komunikasi
ini cenderung satu arah. George Gerbner menyatakan bahwa komunikasi itu adalah
interaksi sosial melalui pesan (communication is a social interaction through
messages) (Romarheim, 2005). Meskipun definisi ini kelihatan sederhana, namun
dapat mengilhami seorang ilmuan politik bernama Harold D. Lasswell pada tahun
1948 dengan membuat definisi yang lebih sempurna dengan mengatakan “ SIAPA”
mengatakan “APA”, MELALUI apa, KEPADA siapa, dan apa AKIBATNYA (who
says what, in which channel, to whom, and what effects).
Hovland, Janis dan Kelly mendefiniskan “Communication is the process by
which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal) to modify
the behavior of other individuals (the audiences). Komunikasi adalah proses
menyampaikan atau mengirimkan stimuli yang umumnya dalam bentuk verbal dari
seorang communicator dengan tujuan merubah perilaku orang lain (receiver).
Bareleson dan Steiner (1964) mendefiniskan “Communication is the transmission of
information, ideas, emotions, skills, etc., by the use of symbols-words, pictures,
figures, graphs, etc. Bareleson dan Steiner (1964) memberikan definisi komunikasi
yang lebih luas. Mereka mengatakan bahwa bahwa komunikasi tidak lain adalah
proses pertukaran informasi, ide, emosi dan skill melalui penggunaan symbol-simbol
bisa berupa kata, gambar, angka-angka, grafik dan sebagainya (Changara, 2009).
Dalam kaitan dengan komunikasi politik, Denton dan Woodward (1990),
misalnya mendefinisikan komunikasi politik sebagai “pure discussion about the
allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the power
to make legal, legislative and executive decision), and official sanctions (what the
state rewards or punishes). Definisi ini menunjukkan bahwa komunikasi politik
adalah diskusi atau debat mengenai pengalokasian sumber daya publik, otoritas
formal yang diberikan kekuasaan untuk membuat keputusan legal bagi legislatif dan
eksekutif termasuk saksi formal yang berkaitan dengan hukuman dan penghargaan
yang diberikan. Definisi ini mencakup komunikasi verbal dan retorika politik secara
tertulis.
Dalam makalah yang ditulis oleh Doris dan Smith (2005) menyatakan bahwa
komunikasi politik mencakup konstruksi, mengirim, menerima dan proses pesan yang
mempunyai potensi secara signifikan baik langsung atau tidak langsung terhadap
politik. Pengirim dan penerima pesan bisa seorang politikus, jurnalis, anggota
kelompok yang mempunyai kepentingan, pihak swasta bahwa kelompok masyarakat
yang tidak terorganisir. Intinya adalah bahwa komunikasi politik itu dimana pesan
mempunyai dampak politik secara signifikan terhadap cara berpikir, kepercayaan dan
perilaku individu, kelompok, institusi dan keseluruhan masyarakat dimana mereka
berada. Terdapat banyak definisi komunikasi politik tetapi umumnya mempunyai
aspek atau elemen yang hampir sama (Hahn, 2003).
Komunikasi dan politik adalah mengandung pembicaraan. Pembicaraan yang
dimaksudkan dalam pengertian yang luas bukan hanya berarti kata yang diucapkan
melainkan pertukaran simbol yang dapat ditulis, gambar, gerakan, sikap tubuh atau
pakaian. Menurut Mark Roelofs dalam Riswandi (2009) dikatakan bahwa kegiatan
berpolitik itu adalah kegiatan berbicara. Terdapat empat jenis pembicaraan yang
mengandung makna politik:
a. Pembicaraan tentang kekuasaan
b. Pembicaraan tentang pengaruh
c. Pembicaraan tentang otoritas dan wewenang
d. Pembicaraan tentang konflik
Dalam konteks komunikasi politik dalam bidang kesehatan tidak lain adalah
proses pertukaran informasi dari seorang komunikator kesehatan melalui media
informasi baik verbal maupun non verbal kepada penerima pesan yang
pembicaraannya dapat berupa kekuasaan, pengaruh, otoritas dan kewenangan dan
bahkan konflik. Komunikator politik kesehatan bisa seorang politikus, birokrat,
perguruan tinggi, pihak swasta, lembaga donor, kelompok kepentingan, kelompok
profesi, kelompok pemaksa yang ujung-ujungnya dapat memberi dampak kesehatan
secara langsung atau tidak langsung. Komunikator dan penerima pesan politik
kesehatan ini dapat dilakukan oleh dan untuk individu, kelompok, dan institusi.

4.3 Ruang lingkup komunikasi politik kesehatan


Doris dan Smith (2005) melakukan kajian literatur tentang komunikasi politik.
Dari 137 artikel yang dikumpulkan dan dikaji, tema komunikasi politik banyak
berkaitan dengan:
a. Kampanye pemilihan
b. Media baru (new media)
c. Partisipasi masyarakat
d. Hubungan internasional
e. Proses informasi
f. Opini publik (public opinion)
g. Iklan kampanye
h. Aktor politik
i. Ekonomi media
j. Budaya populer (banyak disukai orang)
k. Praktek jurnalisme
l. Menuduh orang tak bersalah
m. Bias-bias media
n. Penetapan agenda
o. Politik perbandingan
p. Pemilihan (elections)
q. Bicara melalui radio
r. Televisi
Karena itu topik tentang komunikasi politik mempunyai ruang lingkup yang luas.
Demikian pula halnya dengan komunikasi politik bidang kesehatan. Dari 18 topik di
atas, sebagian besar penulis banyak mengkaji empat aspek yang pertama, yaitu
kampanye pemilihan, media baru, partisipasi masyarakat dan hubungan internasional
(di atas 5%) sementara lainya mempunyai persentasi kecil yaitu di bawah 5%.
Mengacu pada kerangka Lasswell tentang komunikasi yaitu who says what, in
which channel, to whom, with what effects maka ruang lingkup komunikasi politik
terdiri dari komunikator politik, pesan-pesan politik, media komunikasi politik,
khalayak komunikasi politik dan akibat-akibat komunikasi politik.
4.3.1 Komunikator Politik
Nimmo (1989) membagi komunikator politik ke dalam tiga kategori yaitu
politisi/politikus, profesional dan aktivis. Politisi adalah orang yang memegang
jabatan dalam lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di Amerika Serikat
menurut Dan Nimmo yang termasuk politisi adalah para pejabat eksekutif seperti
presiden, anggota kabinet, kepala penasehat dan staf gedung putih; legislator dan
pejabat yudikatif. Sedangkan yang termasuk kalangan profesional sebagai
komunikator politik adalah jurnalis (reporter, koordinator berita TV, penerbit) dan
promotor yaitu orang yang dibayar untuk mengajukan/mempromosikan kepentingan
langganan seperti manajer kampanye, personil periklanan perusahaan. Selanjutnya
yang termasuk ke dalam kelompok aktivis menurut Nimmo adalah jurubicara dan
pemuka pendapat (opinion leader). Komunikator politik juga bisa seperti partai
politik, media massa dan birokrasi dan aparat pemerintah.
Tentu saja karena komunikasi politik ini berkaitan dengan bidang kesehatan
maka komunikator politik yang dimaksudkan adalah komunikator yang dapat
membawa pesan-pesan, pengaruh, kekuasaan dan kewenangan yang berkaitan dengan
kesehatan. Komunikator kesehatan tidak mesti berasal dari tenaga kesehatan seperti
yang disebutkan dalam PP No. 32 tahun 1996 tetapi dapat dilakukan oleh tenaga di
luar sektor kesehatan. Komunikator kesehatan bisa berasal dari seorang pejabat,
bupati/walikota, gubernur, anggota dewan, partai politik, aktivis LSM dan sebagainya
yang peduli, mau dan mampu untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Banyak masalah kesehatan ditentukan di luar dari sektor kesehatan (S Palutturi, 2013;
S Palutturi et al., 2013). Karena itu peranan kementerian dan dinas, badan-badan
pemerintah, sektor swasta dan perguruan tinggi non kesehatan untuk menjadi
komunikator politik bidang kesehatan adalah sangat esensial.
Jika merujuk pada unsur-unsur komunikasi politik: Organisasi politik, media
dan warga negara (Gambar 4.2) (McNair, 2011), maka komunikator politik atau aktor
politik adalah siapa saja yang menginspirasi melalui alat organisasi atau institusi
untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Secara garis besar aktor politik
sebagai komunikator politik dibagi atas empat kelompok secara garis besar, yaitu:

a. Partai politik. Partai politik mempunyai kedudukan penting sebagai komunikator


politik. Partai politik dapat mempengaruhi pihak lain termasuk eksekutif
(presiden) dan anggota DPR/DPRD dalam menentukan arah dan kebijakan
pemerintah yang dapat diambil. Partai politik dapat mempengaruhi lembaga
eksekutif mengenai alokasi anggaran kesehatan, alokasi anggaran yang dapat
mensupport peningkatan derajat kesehatan yang berada di luar dari sektor
kesehatan, dan perekrutan tenaga kesehatan. Di Indonesia saat ini partai yang
mempunyai pengaruh dan kekuatan besar adalah misalnya PDI Perjuangan,
Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat. Partai ini merupakan partai
terbesar yang seringkali secara nasional dapat menempatkan anggotanya di DPR.
Pada tingkat lokal pun juga demikian dan seringkali, partai politik dan anggota
DPRD dari partai ini menjadi kelompok ”pemaksa” bagi seorang bupati/walikota
jika ada program yang dipandang tidak layak dan tidak berpihak kepada
masyarakat banyak (pro rakyat). Pada daerah-daerah tertentu ada partai yang
mempunyai pengaruh yang cukup besar misalnya PKB di Daerah Jawa Timur,
PAN di Daerah Sulawesi Tenggara, Partai Golkar di Sulawesi Selatan dan PKS
di Daerah Jawa Barat. Kesemua ini mempunyai peran besar untuk menjadi
komunikator politik kesehatan yang sangat efektif. Karena itu, untuk mendorong
kesehatan berada pada top isu pembangunan, para profesional dan pejuang
pembangunan kesehatan harus mempunyai jaringan dan persahabatan yang baik
dengan partai politik dan anggota parlemen.

b. Organisasi publik. Organisasi publik yang dimaksudkan disini adalah para aktor
non-partai misalnya para pengusaha (trade unions), kelompok pengguna
(consumer groups) dan organisasi para profesional (professional organizations).
Jika dilihat dari perkembangannya, kelompok pengusaha (mereka yang
mempunyai dana yang cukup) dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah,
pemerintah dapat berubah jalan pikirannya jika ada investor/lembaga pemberi
dana yang mau menanamkan modalnya dalam suatu wilayah demikian halnya
dengan kelompok-kelompok organisasi profesi misalnya IDI, PDGI, IAKMI,
PERSAKMI dan sebagainya.

c. Kelompok penekan. Kelompok pressure tidak seperti partai politik yang dibentuk
tetapi kelompok pressure ini dapat mendukung anggotanya atau mungkin
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kelompok pressure disini misalnya
mahasiswa, organisasi buruh, juga termasuk organisasi profesi. Demonstrasi
yang dilakukan oleh para dokter misalnya yang dilakukan untuk mendukung
”dokter A” atas dugaan kasus malpraktek merupakan kelompok penekan yang
cukup jitu dalam mempengaruhi kebijakan dan keputusan pemerintah.
Demonstrasi mahasiswa yang dilakukan atas kebijakan pemerintah untuk
menaikkan harga BBM adalah dimana mahasiswa mendudukkan dirinya sebagai
kelompok pressure atas kebijakan tersebut. Organisasi buruh yang menuntut
kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) telah menempatkan organisasi buruh
sebagai kelompok penekan.

d. Organisasi teroris. Mungkin tidak terlalu relevan dalam subjek ini termasuk
dalam bidang kesehatan, namun diakui bahwa kelompok teroris adalah kelompok
yang luar biasa yang dapat mengendalikan kewenangan dan pengaruh pada
bidang tertentu. Di Indonesia (dalam bidang kesehatan), secara formal, organisasi
teroris tidak ada.

e. Pemerintah. Kelompok lain yang dapat menjadi aktor dalam komunikasi politik
adalah pemerintah itu sendiri, mulai dari tingkat pusat, provinsi maupun pada
tingkat kabupaten/kota. Ditingkat pusat kementerian kesehatan dan kementerian
di luar dari sektor kesehatan harus dapat menjadi aktor yang baik dalam upaya
menciptakan dan meningkatkan derajat kesehatan yang lebih baik. Ditingkat
provinsi, peranan gubernur, wakil gubernur, Bappeda, para kepala dinas dan
kepala badan mempunyai kedudukan penting dalam mewujudkan kesehatan
masyarakat (yang bersih, aman, nyaman dan sejahtera) demikian pula ditingkat
kabupaten/kota.

Organisasi
politik

Media

Warga negara

Gambar 4.2: Unsur komunikasi politik


Sumber: Disesuaikan dari McNair (2011)

4.3.2 Pesan-pesan politik


Pesan adalah materi yang ingin disampaikan oleh komunikator politik atau
pesan adalah apa yang ingin disampaikan oleh komunikator. Kekuatan pesan
menentukan hasil yang ingin dicapai. Karena itu pesan yang disampaikan harus
singkat, padat, jelas, aktif, spesifik dan kredibel (CPHA, 2009). Menurut Lilleker
(2006) pesan harus singkat, mudah dipahami, jarang lebih dari beberapa kata yang
menyampaikan informasi dari dan tentang sebuah partai, kandidat atau organisasi.
Pesan dalam komunikasi politik umumnya persuasif, sehingga mencerminkan
komunikasi pemasaran dan promosi yang melingkupi masyarakat modern yang
konsumeris (The message is a short, easily understood piece of communication, often
no more than a few words, that conveys information from and about a party,
candidate or organization. Messages in a political context are largely persuasive, so
mirroring the majority of the marketing and promotional communication which
pervades modern consumerist society).
Dalam komunikasi politik, banyak pesan politik dalam bidang kesehatan yang
sering kita jumpai misalnya pendidikan dan kesehatan gratis adalah hak setiap warga
negara, hadirkan pemerintahan yang bersih dan kuat, kebersihan adalah bagian dari
imam, berantas korupsi, Anak Lorongna Makassar. Ini adalah sejumlah pesan-pesan
yang bermakna politik yang dapat mempengaruhi orang lain.
Selanjutnya simbol-simbol kesehatan sebagai pesan komunikasi politik bisa
diwujudkan dalam bentuk gambar seperti penderita Tuberculosis, HIV/AIDS, anak
dengan gizi kurang. Gambar bisa pula diwujudkan seperti gambar kelayakan institusi
pelayanan kesehatan seperti posyandu, dasawisma, pos kesehatan desa, puskesmas,
rumah sakit serta tempat praktek pengobatan tradisional. Simbol pesan komunikasi
politik juga bisa diwujudkan dalam bentuk grafik jumlah angka kematian bayi dan
angka kematian ibu, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia dan seterusnya

4.3.3 Media komunikasi politik


Media dianggap sebagai aktor politik (McNair, 2011). Komunikator yang baik
dengan pesan-pesan politik yang baik pula, juga akan sangat bergantung pada media
komunikasi yang digunakan. Media komunikasi yang baik tidak berarti harus mahal.
Media komunikasi yang sederhana tetapi disampaikan oleh seorang komunikator
efektif, bisa lebih bermakna ketimbang media komunikasi yang modern tetapi
penyampai pesan yang kurang terampil. Sebagai contoh Syahrul Yasin Limpo
(Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan), meskipun mungkin tidak ditunjang oleh media
modern tetapi kemampuannya menyampaikan pesan komunikasi politik yang kuat,
beliau mempunyai daya pikat yang tinggi dan sangat meyakinkan para audiens.
Media komunikasi politik dapat dilakukan melalui radio, media cetak dan
media televisi. Misalnya pesan politik yang disampaikan melalui radio ketika
kampanye pemilihan calon walikota dan wakil walikota Makassar periode 2013-2018
yang disiarkan melalui salah satu radio di Makassar ” Saya None, Saya 9”. Ini adalah
media komunikasi politik yang digunakan oleh pasangan Irman Yasin Limpo dan
Busrah Abdullah saat itu. Di televisi sering kita jumpai pesan-pesan politik misalnya
ARB untuk Abu Rizal Bakri, Partai Gerindra Partai Perubahan dan seterusnya.
Media komunikasi politik mempunyai pengertian yang luas tidak hanya
berupa media misalnya baliho, radio dan televisi tetapi juga dapat berupa media
melalui tim sukses dan tokoh masyarakat. Institut Survei Indonesia (ISI) dua minggu
menjelang pencoblosan pemilihan presiden Republik Indonesia periode 2014-2019
antara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla menyelenggarakan sebuah survei. Dari 999 responden dengan margin of error 3
persen menyatakan bahwa media yang dipandang dapat meningkatkan tingkat
elektabilitas kandidat baik pasangan Prabowo Subianto maupun Joko Widodo adalah
kandidat turun langsung (blusukan) 24,4%; melalui tim sukses 15,6%; tokoh
masyarakat dan melalui kerabat/keluarga masing-masing hampir 10%. Media berupa
TV, radio dan IT hanya dapat membantu sekitar 7% dan media berupa baliho, banner
dan spanduk tidak sampai 5%. Media lainnya yang juga dapat berkontribusi dalam
meningkatkan elektabilitas calon meskipun persentasinya cukup kecil adalah koran,
tabloid, majalaj, stiker dan kartu nama (Harian Nasional, 2014).

4.3.4 Khalayak komunikasi politik


Khalayak adalah siapa yang menjadi sasaran dalam proses komunikasi politik.
Khalayak bisa individu bisa kelompok ataupun masyarakat secara keseluruhan.
Individu adalah bahwa pesan yang akan disampaikan oleh seorang komunikator
politik ditujukan untuk kepentingan perseorangan misalnya berkaitan dengan
kebijakan tarif pelayanan kesehatan pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kelompok bisa ditujukan pada komunitas-komunitas tertentu misalnya komunitas
anak jalanan, komunitas waria, gay and lesbian, komunitas para Pekerja Seksual
Komersial (PSK) atau kelompok masyarakat secara keseluruhan misalnya pesan
Menteri Kesehatan tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang efektif berjalan 1
Januari 2014. Karena itu penggunaan media komunikasi politik akan sangat
bergantung pada siapa yang menjadi sasaran dari proses komunikasi politik tersebut.

4.3.5 Akibat-akibat komunikasi politik


Komunikasi politik seperti yang dikemukakan Richard Fagen adalah kegiatan
komunikasi yang terdapat dalam suatu sistem politik yang mempunyai dampak secara
aktual dan potensial. Secara aktual artinya bahwa pesan yang disampaikan dapat
diterima pada target sasaran dan memberikan perubahan pengetahuan, sikap dan
perilaku atas pesan tersebut. Dampak potensial artinya bahwa pesan yang
disampaikan berpotensi untuk melakukan perubahan berdasarkan tujuan yang ingin
dicapai. Obrolan-obroalan kecil tentang rokok dan dampaknya yang ditujukan pada
anak yang sedang merokok, memicu pula pada orang tuanya untuk tidak dan bahkan
berhenti merokok. Fungsi komunikasi politik adalah salah satu dari fungsi sistem
politik. Ada beberapa fungsi sistem politik lainnya seperti sosialisasi politik; agregasi
dan artikulasi; pembuatan, pelaksanaan dan penghakiman; partisipasi politik dan
rekrutmen politik (Riswandi, 2009).

4.4 Contoh kasus komunikasi politik


Komunikasi politik adalah upaya menyampaikan pesan, ide atau program
kepada individu, kelompok atau khalayak masyarakat secara keseluruhan. Contoh
yang paling menarik saat mengikuti debat Calon Presiden Republik Indonesia Periode
2014-2019 yaitu Prabowo Subianto-Hatta Radjasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Gambaran komunikasi politik dapat dipelajari dari contoh kasus yang disajikan.
Kotak 4.1: Contoh Kasus Komunikasi Politik Ala Jokowi

Debat Ekonomi: Investasi Indonesia sehat

Dalam debat calon Presiden Republik Indonesia antara Prabowo Subianto dan Joko
Widodo pada Minggu 15 Juni 2014. Joko Widodo memfokuskan pada membangun sistem.
Salah satu komponen penting yang disampaikan oleh Joko Widodo adalah melakukan
investasi di bidang kesehatan dengan Kartu Indonesia Sehat. Dalam banyak dialog baik yang
dilakukan langsung oleh Joko Widodo maupun dilakukan oleh para pendukungnya
memperkenalkan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan salah satu program unggulan.
Kartu Indonesia Sehat ini (mungkin) merupakan penerapan lebih jauh dari Kartu Jakarta
Sehat.
Meskipun demikian, Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Nurul Arifin,
program seperti itu juga sudah dikeluarkan pemerintah saat ini, hanya berbeda nama, yaitu
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarajan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), bahkan dianggap tumpang tindih dengan BPJS yang sudah
diterapkan sejak 1 Januari 2014, bahkan lebih jauh Jokowi dituding kubu Prabowo-Hatta
telah membuat kebohongan besar dengan menawarkan program dan atau kebijakan ini.
Karena itu kubu Prabowo-Hatta mempertanyakan apa sebenarnya perbedaan antara Kartu
Indonesia Sehat dengan BPJS kesehatan yang saat ini sudah berjalan?
Meskipun program Kartu Indonesia Sehat banyak diragukan eksistensinya Tim
Sukses Jokowi Dodo-Jusuf Kalla, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa program
Kartu Indonesia Sehat merupakan penyempurnaan dari program BPJS yang sudah berjalan
saat ini. Program ini dipandang akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada
seluruh rakyat Indonesia. Jika pasien biasanya yang mendatangi fasilitas kesehatan misalnya
Puskesmas dan Rumah Sakit, Kartu Indonesia Sehat ini akan memberikan pelayanan
kesehatan dengan memaksimalkan dokter keliling. Setiap warga negara yang memiliki Kartu
Indonesia Sehat akan mendapatkan pelayanan kesehatan sampai pada tingkat desa dengan
memanfaatkan Posyandu. Juga akan disiapkan 55.000 rumah sehat di seluruh Indonesia.
Jokowi juga berjanji akan memperbaiki status gizi 28 juta penduduk Indonesia terutama
mereka yang berada pada kelompok miskin. Mereka harus diberikan gizi yang bagus melalui
penyediaan susu dan suplemen dan makanan tambahan bagi ibu hamil. Keunggulan lain dari
Kartu Indonesia Sehat ini adalah bahwa cakupan pelayanan kesehatan akan lebih luas, yaitu
tidak hanya pada mereka yang membutuhkan dimana kartu BPJS tersebut diterbitkan.
Terkait dengan pembiayaan, sudah ada perhitungan yang cermat. Pemerintah akan
menanggung biaya kesehatan warga miskin, sementara yang berpenghasilan cukup akan ada
mekanisme penetapan tarif. Kita lihat nanti implementasinya seperti apa!!!!!

Sumber: Juga dapat baca di http://nasional.kompas.com/read/2014/06/19


Kotak 4.2: Contoh Kasus Posbindu PTM Perlu Dukungan

Posbindu PTM Perlu Dukungan

Integritasikan dengan Pos Kesehatan Desa


JAKARTA, KOMPAS – Pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular atau Posbindu PTM
terkendala minimnya jumlah petugas kesehatan dan para kader. Untuk itu, dukungan banyak
pihak diperlukan agar kegiatan itu tetap berjalan. Sebab, posbindu amat berperan dalam
surveilans, penapisan, dan deteksi dini penyakit tak menular. Kepala Seksi Bimbingan dan
Evaluasi Subdirektorat Pengendalian Penyakit Kronis dan Degeneratif Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Tiffany Tiara Pakasi
mengemukakan hal itu, Jumat (28/8) di Jakarta.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Lily Sulistyowati
sebelumnya menyatakan, dari sekitar 10.000 posbindu PTM di Indonesia, sekitar 4.000 unit
tidak aktif. Tiara mrngatakan, tidak aktifnya posbindu PTM itu terutama disebabkan
dinamika masyarakat. Misalnya, pergantian petugas posbindu karena sudah lanjut usia, ada
kesibukan lain, bosan, tak ada stimulant dari lingkungan sekitar, ataupun sekadar giat saat
awal pembentukan lalu cenderung tidak aktif.
Salah satu contoh posbindu PTM yang tidak aktif ialah posbindu PTM di Museum
Tekstil, Jakarta Barat. Menurut Ketua Posbindu PTM Museum Tekstil Mery Situmeang,
dalam dua bulan terakhir tidak ada lagi aktifitas di posbindu yang dipimpinnya. Alasannya,
petugas posbindu memiliki kesibukan lain. Padahal, dalam sekali kegiatan 25-40 orang
datang memeriksakan kesehatan mereka di Posbindu PTM Museum Tekstil. Mereka
kebanyakan adalah karyawan dan pengunjung museum. “Kami belum tahu kapan akan
memulai kegiatan lagi, masih menunggu informasi dari puskesmas,” kata Ketua Posbindu
PTM Museum Tekstil, Rosi.
Sementara itu mulyani, kader posbindu di RW 006, Kelurahan Depok, Kota Depok,
Jawa Barat, menyampaikan, antusiasme warga untuk datang ke posbindu PTM masih rendah.
Dari 100orang lansia yang tercatat, hanya 20-25 orang yang memeriksakan diri. Mereka
menganggap tak ada masalah kesehatan. Padahal, dengn bantuan Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per
kader per tahun, kader posbindu PTM di daerah itu rutin bertemu warga. Ada juga warga
yang menganggap posbindu PTM bagi orang kurang mampu sehingga memilih
memeriksakan diri ke rumah sakit jika ada masalah kesehatan.
Lanjutan...

Jangkauan lebih luas


Posbindu PTM merupakan program yang digagas kemenkes untuk mengendalikan
penyakit tak menular. Konsep program itu mirip dengan pos pelayanan terpadu (posyandu),
tetapi jangkauannya lebih luas, yakni warga berusia 15 tahun keatas. Selama ini, posbindu
dijalankan warga yang telah dilatih sebagai kader, dibantu petugas kesehatan dari puskesmas.
Beberapa kegiatan posbindu yang bias diikuti warga ialah konsultasi kebiasaan dan gaya hidup
untuk mengetahui apa ada faktor risiko penyakit tidak menular.
Selain itu, warga dapat mengukur berat tubuh, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan
darah. Masyarakat juga bisa mengikuti pemeriksaan gula darah, kolesterol, dan senam bersama.
Dengan mengikuti posbindu PTM, masyarakat diharapkan terbiasa hidup sehat agar tak terkena
penyakit tak menular.
Lily mengatakan, dalam berbagai pertemuan dengan jajaran pemerintah daerah,
pihaknya terus mendorong agar kepala daerah mengeluarkan kebijakan pro kesehatan. Contoh
kebijakan itu ialah menggalakkan posbindu PTM dan membuat kawasan tanpa rokok.
“Posbindu PTM akan diperkuat melalui integrasi kegiatan dengan upaya kesehatan
bersumber daya masyarakat. Salah satunya, mengintegrasikan ponbindu PTM dengan pos
kesehatan desa,” ujarnya.
Tiara menambahkan, sejauh ini upaya Kemenkes ialah mengadvokasi pemimpin
wilayah, institusi, komunikasi, dan kelompok masyarakat terkait pentingnya posbindu.
“Posbindu berperan penting dalam mendeteksi kemungkinan penyakit tak menular,” ucapnya.
(ADH/B06?B12)

Sumber: Kompas, Jumat 28 Agustus 2015

Merujuk pada teori dan komponen dasar dari sebuah proses komunikasi politik, maka
studi kasus tersebut di atas dapat dibedah lebih jauh.

Studi Kasus 4.1:


a. Komunikator politik
 Calon Presiden Republik Indonesia antara Prabowo Subianto dan Joko
Widodo
 Juru bicara dan para pendukung kedua calon presiden

b. Pesan-pesan politik
 Joko Widodo memfokuskan pada membangun sistem membangun investasi
Indonesia Sehat melalui Kartu Indonesia Sehat KIS)
 KIS dipandang akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada
seluruh rakyat Indonesia.
 KIS akan memberikan pelayanan kesehatan dengan memaksimalkan dokter
keliling. Setiap warga negara yang memiliki KIS mendapatkan pelayanan
kesehatan sampai pada tingkat desa dengan memanfaatkan Posyandu.
 Juga akan disiapkan 55.000 rumah sehat di seluruh Indonesia.
 Jokowi juga berjanji akan memperbaiki status gizi 28 juta penduduk Indonesia
terutama mereka yang berada pada kelompok miskin. Mereka harus diberikan
gizi yang bagus melalui penyediaan susu dan suplemen dan makanan
tambahan bagi ibu hamil.
 Keunggulan lain dari Kartu Indonesia Sehat ini adalah bahwa cakupan
pelayanan kesehatan akan lebih luas, yaitu tidak hanya pada mereka yang
membutuhkan dimana kartu BPJS tersebut diterbitkan.
 Terkait dengan pembiayaan, sudah ada perhitungan yang cermat. Pemerintah
akan menanggung biaya kesehatan warga miskin, sementara yang
berpenghasilan cukup akan ada mekanisme penetapan tarif.
 Kubu Prabowo-Hatta mempertanyakan perbedaan antara Kartu Indonesia
Sehat dengan BPJS kesehatan yang saat ini sudah berjalan

c. Media komunikasi politik


 Media cetak KOMPAS online

d. Khalayak komunikasi politik


 Masyarakat umum dan kelompok masyarakat atau organisasi tertentu
misalnya BPJS, RS, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, BPS dan Puskesmas

e. Akibat-akibat komunikasi politik.


 Masyarakat mendapatkan gambaran informasi dari masing-masing calon
presiden
 Muncul keyakinan dari masyarakat atas kemampuan dan kapasitas yang
dimiliki oleh calon presiden
 Pemilik suara memberikan suaranya pada mereka yang dianggap layak dan
pantas menjadi presiden
.
Studi Kasus 4.2:
a. Komunikator politik
 Kepala Seksi Bimbingan dan Evaluasi Subdirektorat Pengendalian Penyakit
Kronis dan Degeneratif
 Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes
 Ketua Posbindu PTM
 Petugas kesehatan tingkat Puskesmas
 Kader Posbindu

b. Pesan-pesan politik
 Mengintegrasikan Pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular (Posbindu
PTM) dengan Pos Kesehatan Desa
 Posbindu berperan dalam surveilans, penapisan, dan deteksi dini penyakit tak
menular
 Posbindu terkendala minimnya jumlah petugas kesehatan dan para kader.
 Dari sekitar 10.000 Posbindu PTM di Indonesia terdapat sekitar 4.000 unit
tidak aktif
 Penyebab ketidakaktifan Posbindu adalah pergantian petugas posbindu karena
sudah lanjut usia, ada kesibukan lain, bosan, tak ada stimulan dari lingkungan
sekitar, ataupun sekadar giat saat awal pembentukan lalu cenderung tidak
aktif.

c. Media komunikasi politik


 Media cetak KOMPAS

d. Khalayak komunikasi politik


 Jangkauannya lebih luas dari konsep pos pelayanan terpadu (posyandu), yakni
warga berusia 15 tahun ke atas.
 Sektor kesehatan terus mendorong agar kepala daerah mengeluarkan
kebijakan pro kesehatan misalnya kebijakan untuk menggalakkan Posbindu
PTM dan membuat kawasan tanpa rokok
 Mengadvokasi pemimpin wilayah, institusi, komunikasi, dan kelompok
masyarakat terkait pentingnya posbindu

e. Akibat-akibat komunikasi politik


 Mengendalikan penyakit tidak menular. Kegiatan meliputi konsultasi
kebiasaan dan gaya hidup untuk mengetahui apa ada faktor risiko penyakit
tidak menular.
 Warga mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah.
 Masyarakat mengikuti pemeriksaan gula darah, kolesterol, dan senam bersama
 Dengan mengikuti posbindu PTM, masyarakat terbiasa hidup sehat agar tak
terkena penyakit tak menular.

4.5 Diskusi dan penugasan


Setelah membaca materi ini, peserta diharapkan mampu:
a. Menjelaskan konsep komunikasi politik dalam bidang kesehatan kesehatan
b. Menjelaskan ruang lingkup komunikasi politik
c. Menjelaskan unsur-unsur komunikasi politik
d. Lakukan bedah program kesehatan dengan menggunakan pendekatan proses
komunikasi politik
e. Bagaimana pentingnya aktor kesehatan mempengaruhi aktor non-kesehatan
dalam meningkatkan status kesehatan sebuah wilayah?
f. Komunikasi politik seperti apa yang dipandang efektif dalam mendorong dan
mempengaruhi para pengambil kebijakan kesehatan?

4.6 Penutup
Bab ini telah membahas konsep komunikasi politik kesehatan. Komunikator
politik, media politik, pesan-pesan politik, sasaran atau khalayak komunikasi politik,
dan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari komunikasi politik menjadi bagian
yang penting dalam memahami ruang lingkup komunikasi politik. Makalah ini
menjadi lebih mudah dipahami karena disajikan studi kasus yang berkaitan dengan
komunikasi politik kesehatan.

References:
Changara, H. (2009). Komunikasi Politik: Konsep, teori dan strategi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Christen, C. T., & Gunther, A. C. (2003). The influence of mass media and other
culprits on the projection of personal opinion. Communication Research, 30,
414-431.
CPHA. (2009). Leadership in public health: A guide to advocacy for public health
associations. Ottawa: Canadian Public Health Associations.
Denton, R. E., & Woodward, G. C. (1990). Political communication in America. New
York: Praeger.
Doris, A. G., & James, M. S. (2005). Political Communication Faces the 21th
Century. Journal of Communication, 479-507.
Hahn, D. F. (2003). Political communication: Rethoric, government, and citizens.
State College, PA: Strata Publishing.
Harian Nasional. (2014). Kampanye efektif penentu kemenangan, Harian Nasional.
Lilleker, D. G. (2006). Key concepts in political communication. London: SAGE
Publications.
McNair, B. (2011). An introduction to political communication. London and New
York: Routledge.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith University,
Brisbane, Australia.
Riswandi. (2009). Komunikasi Politik. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Romarheim, A. G. (2005). Definitions of strategic political communication.
Norwegia: Norwegian Institute of International Affairs.
BAB V
ADVOKASI KESEHATAN MASYARAKAT

5.1 Pendahuluan
Advokasi kesehatan masyarakat harus dilakukan mengingat kompleksnya
masalah kesehatan yang dihadapi. Meskipun demikian para professional kesehatan
belumlah secara maksimal melakukannya. Makalah ini pertama-tama memaparkan
advokasi kesehatan masyarakat, kemudian menyajikan produk dan proses advokasi
kesehatan masyarakat. Bab ini pula menggambarkan keterampilan yang harus
dimiliki oleh seseorang dalam melakukan advokasi kesehatan masyarakat dan
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam melakukan advokasi.

5.2 Apa advokasi kesehatan masyarakat itu?


Tidak mudah mendefiniskkan advokasi. Perbedaan pendekatan dan perspektif
membuat setiap orang, kelompok pengguna, akademisi, pemerintah dan sektor Non
Government Organizations mendefinisikan advokasi secara berbeda. Meskipun
demikian, makalah ini mencoba melihat beberapa definisi untuk membantu
memahami apa advokasi itu.
Advokasi adalah aplikasi informasi dan sumber daya termasuk keuangan,
usaha, dan suara terhadap dampak perubahan sistemik yang membentuk cara orang
dalam kehidupan masyarakat (Christoffel, 2000). Menurut Wolfensberger (2010)
dalam dokumen pemerintah Queensland (2011) advokasi adalah berfungsi (berbicara,
bertindak, menulis) dengan konflik kepentingan minimum atas nama kepentingan
yang dirasakan seseorang, kelompok, dalam rangka meningkatkan, melindungi dan
mempertahankan kesejahteraan dan keadilan baik individu atau kelompok.

“… Advocacy is functioning (speaking, acting, writing) with minimum conflict of


interest on behalf of the sincerely perceived interests of a person or group, in order to
promote, protect or defend the welfare of, and justice for, either individuals or
groups…”

Advokasi adalah sebuah proses aktif yang menggunakan tindakan strategik


untuk mempengaruhi orang lain, menginisiasi perubahan positif dan menyelesaikan
faktor-faktor yang dapat berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang lebih
sehat (Advocacy is an active process that uses strategic actions to influence others to
shift opinion, initiate positive change, and address the underlying factors that
contribute to a healthier community). Advokasi ini berbeda dengan Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) karena advokasi memfokuskan pada perubahan
kebijakan untuk menyelesaikan penyebab lingkungan dan sosial dari sebuah isu,
daripada perubahan perilaku individu (It is different than an information, education
and communication (IEC) campaign as it focuses on policy change to address the
social and environmental causes of an isu, rather than on individual behaviour
change) (CPHA, 2009).
Advokasi kesehatan masyarakat didefinisikan sebagai sebuah advokasi yang
bertujuan untuk mengurangi kematian atau kecacatan dalam sebuah kelompok (secara
keseluruhan atau dari penyebab yang spesifik) dan yang tidak terbatas pada setting
klinis (not confined to clinical settings). Menurut Chapman (2004) advokasi
kesehatan masyarakat adalah penggunaan media berita secara strategik intuk
memajukan inisiatif kebijakan publik, sering dalam menghadapi oposisi. Terdapat
komponen-komponen umum dalam sebuah advokasi kesehatan masyarakat:
a. Menekankan pada tindakan kolektif untuk mempengaruhi perubahan sistem yang
diinginkan
b. Fokus pada perubahan-perubahan bagian hulu (upstream) misalnya hukum,
peraturan, kebijakan praktek institusi, standar harga dan produk dan secara
eksplisit mengakui pentingnya pelibatan proses politik untuk mempengaruhi
perubahan kebijakan.
Advokasi kesehatan masyarakat sering didefinisikan sebagai proses untuk
memperoleh komitmen politik untuk tujuan atau program tertentu (Chapman, 2004;
Christoffel, 2000). Target audiens advokasi cenderung: para pengambil keputusan,
pengambil kebijakan, manajer program, dan mereka yang berada pada posisi yang
dapat mempengaruhi tindakan yang berdampak pada masyarakat banyak secara
keseluruhan (McCubbin, Labonte, & Dallaire, 2001) (Public health advocacy is often
defined as the process of gaining political commitment for a particular goal or
program. Target audiences tend to be decision-makers, policy-makers, program
managers, and more generally, those that are in a position to influence actions that
affect many people simultaneously).
Advokasi kesehatan masyarakat secara eksplisit mengakui aspek politik
kesehatan masyarakat dan pentingnya determinan sosial kesehatan sebagai komponen
utama strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat (Johnson, 2009).
Pengabaian faktor sosial dan politik terhadap kesehatan mempunyai dampak pada
implementasi kesehatan masyarakat yaitu pencegahan dan promosi faktor risiko
(Lawrence, 2004).

5.3 Komponen advokasi kesehatan masyarakat


5.3.1 Produk advokasi kesehatan masyarakat
Produk akhir dari advokasi kesehatan masyarakat adalah menurunnya
kematian dan kesakitan (Christoffel, 2000). Produk antara (intermediate products)
meliputi perubahan perilaku kehidupan individu dan masyarakat dari perilaku yang
menghambat atau menghalangi kesehatan terhadap perilaku yang mempromosikan
kesehatan, dan membawa secara bersama kekuatan disparitas untuk bekerja dalam
rangka mencapai tujuan. Dalam upaya menurunkan angka kematian dan kecelakaan
lalu lintas misalnya, maka yang dimaksudkan sebagai produk antara adalah
meningkatnya penggunaan safety belt, menurunnya frekuensi pengguna jalan yang
ugal-ugalan atau mabuk-mabukan, dan peningkatan penggunaan konstruksi
kendaraan yang standar termasuk penggunaan helm. Jenis perubahan yang terjadi
sebagai produk antara, baik terhadap individu maupun masyarakat dapat dilihat pada
Tabel 5.1.

Tabel 5.1: Contoh perubahan produk antara advokasi kesehatan masyarakat


Level individu  Menurunnya pengambilan risiko, misalnya
penyalahgunaan zat-zat, seks yang tidak aman, dan
kecepatan
 Meningkatnya proteksi diri, misalnya penggunaan seat
belt, penggunaan kondom, dan latihan
 Menurunnya isolasi personal
 Diet sehat
 Meningkatnya jarak antara anak dan perawatan sebelum
kelahiran
 Pembelajaran dan aplikasi penurunan stress
 Perawatan kesehatan secara regular termasuk screening
dan pengobatan
Level keluarga dan Menurunnya toleransi risiko, misalnya pembatasan
masyarakat kecepatan, pengaturan perdagangan senjata
 Menurunnya bahaya lingkungan, misalnya kontaminasi
makanan, racun dan bahan-bahan berbahaya
 Meningkatnya promosi perlindungan, misalnya
pengungsian aman, imunisasi, dan detektor rokok
 Fasilitasi tindakan individu, misalnya jaminan kesehatan,
pendidikan dan pelayanan kesehatan berbasis sekolah

5.3.2 Proses advokasi kesehatan masyarakat


Aktivitas advokasi kesehatan masyarakat adalah
a. Identifikasi masalah
b. Penelitian dan pengumpulan data
c. Pendidikan professional dan klinis termasuk pendidikan bagi mereka yang
terlibat dalam upaya penciptaan kebijakan publik misalnya media
d. Pengembangan dan promosi peraturan dan perundang-undangan
e. Dukungan peraturan dan perundang-undangan melalui pemilu dan tindakan
pemerintah
f. Penegakan kebijakan yang efektif
g. Proses kebijakan dan hasil evaluasi
Semua aktivitas tersebut dapat terjadi baik pada tingkat individu maupun
kelompok atau masyarakat. Orang yang terlibat dalam proses advokasi misalnya
pemerintah, kelompok etnik, kelompok agama atau organisasi lain mungkin bekerja
secara overlapping tergantung pada posisi mereka.
Tahapan proses untuk menghasilkan produk advokasi kesehatan masyarakat
dapat dibagi atas tiga bagian yaitu: informasi, strategi dan tindakan. Tahap informasi,
merujuk pada aktivitas pengidentifikasian, penggambaran, pengkuantifikasian sejauh
mana masalah kesehatan masyarakat tersebut (pola kejadian, risiko dan faktor
protektif, efektivitas program dan hambatan terhadap efektivitas). Tahap strategi,
merujuk pada tindakan yang berkaitan dengan penggunaan informasi yang tersedia
untuk mengidentifikasi kebutuhan apa untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
Tahap tindakan, merujuk pada aktivitas dalam mengimplementasikan strategi
tersebut, misalnya penggalian pendanaan, memformulasi secara spesifik tentang
waktu, pengaturan staf dalam organisasi kunci, meyakinkan orang terhadap
perubahan kehidupan mereka. Peranan para aktor advokasi kesehatan masyarakat
berbeda berdasarkan 3 tahapan tersebut (lihat Tabel 5.2).

Tabel 5.2: Peranan partisipan/aktor advokasi kesehatan masyarakat


Partisipan Informasi Strategi Tindakan

Koalisi Data yang diminta Pendidikan publik Loby


Identifikasi fokus Memberi kesaksian
kebijakan Suara
Bekerja bersama
legislator
Mengkoordinasikan
upaya-upaya
kelompok
Menguatkan usaha-
usaha kelompok
Kelompok Data yang diminta Loby Loby
masyarakat Pengetahuan Memberi kesaksian Memberi kesaksian
residen
Penyedia Studi kasus Perspective klinik Konsul
pelayanan Kajian penelitian Pendidikan public Loby
kesehatan Mendefinisikan isu Membangun koalisi Memberi kesaksian
klinis Suara
Organisasi Identifikasi data Pernyataan Loby
pemberi pelayanan Beberapa penelitian kebijakan Memberi kesaksian
kesehatan Pedoman klinik
Mendukung koalisi
Pendidikan public
Editor jurnal Pengendalian Isu khusus Mempublikasi
kualitas melalui Memilih reviewer makalah dan
peer reviewer editorial
Press release
Jurnalist Menginvestigasi Pendidikan publik Mempublikasi
pekerjaan cerita

Ahli hukum dan Menggambarkan Mengembangkan Draft aturan dan


pengacara dan pilihan bagi hukum
menginterpretasikan aplikasi dan
hokum dan perubahan dalam
implikasinya hokum
Legislator Data yang Menyelenggarakan Penguatan
dibutuhkan dengar pendapat pendanaan
Kewenanagan Draft legislasi Menetapkan
Dana hukum
Sektor swasta Dana penelitian Prioritas pendanaan Menerapkan
Membiayai Koalisi pendanaan standar keamanan
pekerjaan data Pendidikan public
pendanaan
Peneliti dan Melakukan Mengembangkan Mempublikasi
akademisi penelitian dan data dan teori makalah
evaluasi Menulis editorial
Menyatakan
kesaksian
Mengembangkan
program
Suara
Lembaga dana Dana penelitian Prioritas funding Memberi kesaksian
penelitian Pengendalian Pernyataan
control konsensus

Korban Berpartisipasi Perspective korban Loby


dalam penelitian Pendidikan public Memberi kesaksian
Membawa Koalisi Suara
kesaksian
Sumber: Christoffel (2000)
Partisipan yang dilist seperti pada Tabel 5.2 dapat menjadi pendukung dapat
juga sebagai oposisi. Oposisi bisa berasal dari pemerintah, industri, masyarakat,
kelompok agama, kelompok kepentingan baik berasal dalam bidang public health itu
sendiri maupun yang berada di luar dari partisipan yang dilist tadi. Karena itu
Chapman (2004) membuat 10 pertanyaan yang dapat membantu para advokat atau
pembela kesehatan masyarakat.
1. Apa tujuan kesehatan masyarakat Anda dalam isu ini?
2. Dapatkah outcome menang-menang dapat menjadi rekayasa utama dengan para
pengambil keputusan?
3. Kepada siapa pengambil keputusan utama menjawab dan bagaimana orang-orang
tersebut dipengaruhi?
4. Apa kekuatan dan kelemahan Anda dan posisi oposisi Anda?
5. Apa tujuan advokasi media Anda?
6. Bagaimana Anda membentuk isu yang ada disini?
7. Apa simbol atau gambar kata-kata yang dapat di bawah ke dalam frame ini?
8. Suara seperti apa yang dapat digunakan untuk mentransfer No. 6 dan 7?
9. Dapatkah isu tersebut dipersonalisasi?
10. Bagaimana jumlah orang yang besar itu dapat diorganisir untuk mengungkapkan
masalahnya?
Canadian Public Health Association menetapkan 9 tahapan untuk melakukan
advokasi kesehatan masyarakat seperti yang dilist dalam Kotak 5.1 (CPHA, 2009),
yaitu:

Kotak 5.1: Sembilan tahapan proses advokasi kesehatan masyarakat

1. Pengakuan masalah (Problem recognition)


2. Mengembangkan pernyataan kebijakan (Develop a policy statement)
3. Menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus (Define goals and objectives)
4. Mengidentifikasi kesempatan dan risiko (Identify opportunities and risks)
5. Memetakan stakeholder dan opini mereka (Map stakeholders and their opinions)
6. Pilih pendekatan advokasi Anda (Choose your advocacy approach)
7. Mengembangkan pesan-pesan utama (Develop key messages)
8. Menciptakan rencana aksi (Create an action plan)
9. Melaksanakan dan mengevaluasi (Implement and evaluate)

Sembilan tahapan advokasi kesehatan masyarakat tersebut secara ringkas


dijelaskan satu persatu, yaitu:
1. Pengakuan masalah (Problem recognition). Advokasi kesehatan masyarakat ada
karena terdapat masalah kesehatan masyarakat yang ingin diselesaikan. Misalnya
masalah tentang rokok, banjir, kemacetan lalu lintas, HIV/AIDS, dan tukang
parkir jalanan.

2. Mengembangkan pernyataan posisi dan kebijakan (Develop a position and


policy statement). Pernyataan posisi menjelaskan, memberikan alasan,
merekomendasikan sebuah pendapat tertentu. Pernyataan kebijakan adalah
sebuah rencana, tujuan dinyatakan, yang mempengaruhi respons organisasi
dalam kaitan dengan aktivitasnya, prosedur dan keputusan dan mengarahkan
tindakan atau pekerjaan masa datang melalui organisasi tersebut. Elemen dari
pernyataan posisi dan kebijakan mencakup, yaitu:
a. Penjelasan terhadap isu atau masalah
b. Penjelasan relevansi isu dengan organisasi
c. Membuat garis besar kebijakan dan posisi
d. Membuat garis besar jenis tindakan yang mungkin dapat diambil (untuk
pernyataan kebijakan).

3. Menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus (Define goals and objectives). Apa
tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai. Tujuan harus SMART
(Specific, Measurable, Attainable, Relevant, dan Tim-bound). Contoh tujuan
umum misalnya menurunkan kasus HIV/AIDS bagi para sopir truk. Contoh
tujuan khususnya adalah meningkatkan pengetahuan para sopir truk mengenai
risiko hubungan seks yang tidak aman, memberikan pelatihan dan keterampilan
mengenai penggunaan kondom bagi para sopir truk.

4. Mengidentifikasi kesempatan dan risiko (Identify opportunities and risks).


Dimasa lalu, misalnya posisi Anda tidak mendapat persetujuan dengan banyak
pihak terutama dengan atasan Anda. Pergantian pimpinan dapat menjadi
kesempatan yang baik buat Anda. Risiko pun harus dapat diidentifikasi. Tak
satupun aktivitas tanpa risiko, dimana dan kapan pun. Risiko harus dikenali
untuk dapat dikelola dengan baik atau mungkin dapat dihindari atau
diminimalisir.

5. Memetakan stakeholder dan opini mereka (Map stakeholders and their


opinions). Siapa yang menjadi stakeholder dalam sebuah isu atau masalah. Tentu
harus dipetakan. Soal pengendalian rokok misalnya, maka yang dapat menjadi
stakeholder adalah pemerintah, anggota dewan, perusahaan rokok, petani
tembakau, para pekerja buruh dan mereka yang bekerja dalam perusahaan rokok.
Tanya apa pendapat mereka, atas perubahan yang ingin dilakukan.

6. Pilih pendekatan advokasi Anda (Choose your advocacy approach). Jika Anda
mau melakukan perubahan perilaku pada tingkat staf, maka mungkin Anda akan
melakukan pendekatan dengan pimpinan dan membuat kebijakan yang bisa
mempengaruhi perilaku individu. Jika Anda mau membuat kebijakan yang
berkaitan dengan penggunaan kondom bagi pengguna seks bebas, maka mungkin
Anda harus melakukan pendekatan dengan pemerintah atau anggota dewan.
Beberapa pendekatan yang mungkin Anda lakukan dalam melakukan advokasi
(tergantung konteksnya) adalah:
a. Bertemu dengan pimpinan di semua level
b. Membangun jaringan dan koalisi
c. Melakukan kampanye opini publik
d. Melakukan penelitian dan poling pendapat
e. Mengembangan materi komunikasi
f. Melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran terhadap isu
tersebut.

7. Mengembangkan pesan-pesan utama (Develop key messages). Buat pesan yang


mudah dipahami. Pesan harus padat, aktif, positif dan pendek, spesifik dan
kredible artinya pesan harus ada bukti sehingga dapat dipercaya.
8. Menciptakan rencana aksi (Create an action plan). Buat rencana aksi dari
advokasi yang akan dilakukan

9. Laksanakan dan evaluasi (Implement and evaluate). Laksanakan rencana aksi


yang telah direncanakan dan evaluasi apa yang telah dicapai serta apa hambatan
dan tantangan yang ada sebagai bahan untuk melakukan perbaikan.

The Ontarion Health Promotion Resource System (Johnson, 2009)


mengklasifikasi aktivitas advokasi ke dalam 3 kategori, yaitu:
a. Low profile, aktivitasnya termasuk negosiasi cepat, pertemuan dengan staf,
sharing informasi, dan pengembangan ringkasan non-publik
b. Medium profile, aktivitasnya negosiasi yang sedang berjalan, berpartisipasi
dalam pertemuan dengan pejabat terpilih, membangun aliansi secara strategic
dengan kelompok lain, dan menulis berita terhadap pejabat terpilih untuk
kepentingan berita.
c. High profile, aktivitasnya meliputi aktivitas hubungan dengan publik (public
relation), mengiklankan kampanye, distribusi informasi, dan berpartisipasi
dalam demonstrasi.
Aktivitas dalam negosiasi tersebut baik level low, medium dan high misalnya
pertemuan dengan pejabat, distribusi informasi atau pengiklanan mengenai sebuah
ide kampanye mungkin tidak selalu berhasil. Pencapaian tujuan negosiasi juga akan
sangat ditentukan oleh faktor-faktor lain misalnya orang yang melakukan advokasi
(advocators), media yang digunakan (media) dan target group dari mereka yang
diadvokasi (audience).

5.4 Keterampilan dan tantangan advokasi kesehatan masyarakat


5.4.1 Keterampilan advokasi kesehatan masyarakat
Untuk melakukan advokasi secara efektif, terdapat tiga skill utama yang
diperlukan (Johnson, 2009), yaitu:
a. Kemampuan untuk bekerja secara bersama dengan berbagai pihak (the ability to
work collaboratively with multiple stakeholders), misalnya dengan pemerintah,
DPRD kabupaten/kota atau provinsi, pihak pengusaha, NGOs, dan rumah sakit
b. Kemampuan menggunakan media secara strategis (strategic use of media),
misalnya adalah media cetak atau televisi
c. Kemampuan untuk melakukan analisis secara strategik (ability to conduct
strategic analysis). Kemampuan untuk menilai kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki sebagai dasar untuk melakukan advokasi terhadap perubahan yang ingin
dicapai.

Tiga kemampuan ini membutuhkan untuk fokus pada tiga pertanyaan sentral,
yaitu:
a. Apa masalah yang ingin diselesaikan (what is the problem)? Misalnya smoking
pada area kampus, penggunaan helm standar bagi para pengguna kendaraan
bermotor, pengguna jalan yang amburadul
b. Apa solusi yang diinginkan (what is the desired solution)? Smoke-Free pada area
kampus dengan membuat sanksi tegas, pemeriksaan penggunaan helm secara
regular dan pengaturan ketertiban secara tegas, berkelanjutan dan berkeadilan.
c. Siapa yang menjadi target untuk perubahan itu (who is the target for change?)
Misalnya targetnya adalah mahasiswa, pengguna jalan secara umum

5.4.2 Tantangan advokasi kesehatan masyarakat


Terdapat beberapa tantangan dalam praktek advokasi kesehatan masyarakat, yaitu:
1. Sifat politik yang mendorong perubahan, selalu terdapat kelompok yang resisten
terhadap perubahan. Ketika kampanye rokok digalakkan oleh para professional
kesehatan, itu tidak berarti tidak ada resistensi di dalamnya. Kelompok
pengusaha rokok, para pekerja rokok dan juga mungkin pejuang hak asasi akan
menjadi variable pengganggu dan juga terus berjuang bahwa rokok telah
membiayai negara melalui pajak yang tidak sedikit.
2. Para professional kesehatan jarang mendapatkan pelatihan yang berkaitan dengan
advokasi. Kondisi ini membuat perubahan-perubahan yang diharapkan sulit
terjadi secara signifikan.
3. Tantangan selanjutnya adalah berkaitan dengan bahasa advokasi kesehatan
masyarakat yaitu kesenjangan linguistik antara pendekatan sosial yang
diperlukan untuk kesehatan masyarakat dan pendekatan individual yang biasanya
digunakan dalam isu-isu perawatan kesehatan. Jika tujuan kesehatan masyarakat
adalah untuk memastikan kondisi di mana orang bisa sehat, penciptaan kondisi
ini biasanya membutuhkan perubahan sistemik, jenis perubahan yang dibawa
secara kolektif oleh masyarakat.

5.5 Advokasi media


Meskipun telah diamati bahwa sedikit perhatian penelitian telah
diorientasikan pada advokasi kesehatan masyarakat secara keseluruhan, bidang
'advokasi media' telah menjadi fokus dari sebuah badan penelitian. Makalah diskusi
ini sekarang beralih ke sinopsis singkat dari advokasi media untuk memberikan
contoh praktis dari pendekatan advokasi kesehatan masyarakat. Advokasi media
adalah pendekatan kebijakan yang berorientasi untuk menggunakan media massa
untuk promosi kesehatan masyarakat. Meskipun media massa yang digunakan dalam
berbagai kegiatan promosi kesehatan, hasil akhir dari penggunaan media yang
bervariasi sesuai dengan pendekatan yang intervensi.
Media massa yang digunakan sebagai strategi pendidikan terutama untuk
memberikan informasi kepada individu sehingga mereka dapat membuat pilihan
kesehatan yang lebih baik. Dalam advokasi media, bagaimanapun, media massa
adalah digunakan sebagai alat politik untuk menargetkan dan pembuat kebijakan
untuk perubahan sosial dan untuk memobilisasi dukungan luas untuk menerapkan
tekanan. Ini merupakan perubahan mendasar dari pendekatan pemasaran sosial untuk
mempromosikan kesehatan dan menuju pendekatan yang mengubah aturan
mendefinisikan lingkungan di mana perilaku kesehatan berlangsung. Intervensi
advokasi media memerlukan identifikasi eksplisit khalayak sasaran: kelompok primer,
sekunder dan tersier. Kelompok sasaran utama (kelompok primer) terdiri dari orang-
orang, kelompok atau organisasi dengan kekuatan untuk membuat perubahan yang
diinginkan. Kelompok sasaran sekunder terdiri dari individu atau kelompok yang
dapat dimobilisasi untuk menerapkan tekanan pada orang-orang dengan kekuatan
untuk membuat perubahan. Kelompok sasaran tersier adalah populasi umum.

5.6 Diskusi dan penugasan


Setelah mengikuti materi ini, peserta diharapkan:
a. Mampu menjelaskan definisi advokasi kesehatan masyarakat
b. Mampu menyebutkan tahapan advokasi kesehatan masyarakat dan mampu
menerapkan tahapan tersebut dalam sebuah studi kasus
c. Produk advokasi kesehatan masyarakat dapat dibagi atas dua bagian, sebutkan
dan berikan contoh!
d. Terdapat tiga tahapan untuk menghasilkan produk advokasi kesehatan
masyarakat. Sebutkan dan jelaskan!
e. Apa tantangan yang dihadapi dalam proses advokasi kesehatan masyarakat?
f. Keterampilan apa saja yang harus dimiliki untuk melakukan advokasi kesehatan
masyarakat?

5.7 Penutup
Advokasi merupakan kunci dalam melakukan perubahan kebijakan, dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, individu ataupun kelompok. Keterampilan
dan latihan untuk melakukan advokasi kesehatan masyarakat harus diperkuat untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.

References:
Chapman, S. (2004). Advocacy for public health: a primer. J Epidemiol Community
Health, 361-365.
Christoffel, K. K. (2000). Public health advocacy: Process and product. American
Journal of Public Health, 90(5), 722-726.
CPHA. (2009). Leadership in public health: A guide to advocacy for public health
associations. Ottawa: Canadian Public Health Associations.
Johnson, S. A. (2009). Public health advocacy. Alberta Health Services,.
Lawrence, R. (2004). Framing obesity: The evolution of news disclosure on a public
health issue. International Journal of Press/Politics, 9(3), 56-75.
McCubbin, M., Labonte, R., & Dallaire, B. (2001). Advocacy for healthy public
policy as a health promotion technology Retrieved 19 Januari, 2014, from
http://www.utoronto.ca/chp/download/2ndSymposium/McCubbin,%20Labont
e,%20Dallaire.doc
Queensland Government. (2011). Health advocacy framework: Strengthening health
advocacy in Queensland. Queensland: Retrieved from
http://www.health.qld.gov.au/hcq/publications/hcq_framework_may11.pdf.
BAB VI
PEMILU: KESEHATAN DAN KOMITMEN AKTOR POLITIK

6.1 Pendahuluan
Pemilu menjadi sarana bagi banyak pihak untuk menempatkan berbagai sektor
pembangunan sebagai isu menarik untuk diperbincangkan, termasuk kesehatan.
Calon presiden, DPR/DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati/walikota
menjadikan isu kesehatan sebagai jualan politik. Isu kesehatan gratis dan Kartu
Indonesia Sehat, misalnya, menjadi bahan kampanye untuk meraih simpati
masyarakat. Tentu saja, memang tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan
adalah masalah politik. Kesehatan masyarakat adalah aktivitas politik. Tindakan
kesehatan masyarakat adalah ungkapan ideologi politik, sejauh mana pemegang
kekuasaan formal dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan. Kesehatan
adalah politik karena determinan kesehatan banyak ditentukan oleh faktor politik,
faktor di luar dari persoalan kesehatan itu sendiri. Faktor kesehatan banyak
ditentukan oleh bupati dan walikota dan anggota dewan yang terhormat. Karena
masalah kesehatan adalah masalah politik, maka untuk memecahkannya diperlukan
adanya komitmen politik.
Bab ini memaparkan bagaimana gambaran kesehatan Indonesia; pentingnya
momentum pemilu dan isu kesehatan dalam konteks aktor politik; apa kompetensi
aktor politik yang harus dimiliki dalam memainkan peran kesehatan yang optimal.

6.2 Potret Pembangunan Kesehatan di Indonesia


Kesehatan merupakan salah satu poin penting dari Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) (Human Development Index) untuk mengukur kemajuan suatu
negara. Ini telah ditetapkan negara-negara di dunia oleh anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Untuk mengukur indeks tersebut, indikator telah ditetapkan yaitu
angka harapan hidup (life expectancy) yang mempresentasikan umur panjang dan
sehat. Artinya usia harapan hidup yang panjang diikuti oleh kualitas hidup kesehatan
yang baik. Indikator lainnya adalah angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.
Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mempresentasikan capaian
pembangunan dibidang ekonomi. Indikator terakhir adalah kemampuan daya beli.
Indikator ini menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah
kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita.
Pendekatan ini mencerminkan capaian pembangunan untuk hidup layak
(Kementerian Kesehatan RI, 2014). Karena itu, secara garis besar dapat dikatakan
bahwa indeks pembangunan manusia dapat diukur dari aspek kesehatan, pendidikan
dan ekonomi.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia misalnya dapat dilihat tahun 2008-
2012. Gambaran ini sedikit lebih lambat update nya dari posisi tahun saat ini. Namun
paling tidak ini dapat memberikan gambaran pencapaiannya dari tahun ke tahun.

Gambar 6.1: Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008-2012


Sumber: BPS (2013)

Gambar 6.1 menunjukkan bahwa nilai Indeks Pembangunan Manusia


Indonesia pada tahun 2012 sebesar 73,29 lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kondisi yang dicapai pada tahun 2011 yaitu sebesar 72,77. Nilai tersebut termasuk
dalam kategori nilai IPM sedang. Peningkatan ini disebabkan karena meningkatnya
nilai dari komponen pembuat IPM ini, yaitu kenaikan pada komponen angka harapan
hidup dan angka melek huruf. Pada tahun 2008 nilai IPM Indonesia sebesar 71,17
dan nilai ini meningkat menjadi 71,76 pada tahun 2009. Artinya bahwa peningkatan
IPM Indonesia terus terjadi dari tahun ke tahun meskipun peningkatannya kelihatan
lambat. Angka IPM secara keseluruhan ini berada pada posisi tersebut karena
meskipun terdapat provinsi yang mempunyai nilai IPM yang lumayan bagus
katakanlah di atas angka 75 misalnya Sumatera Utara, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Riau, Sulawesi
Utara, DKI Jakarta, bahkan DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan IPM yang
paling tinggi yaitu sebesar 78,33 pada tahun 2012. Namun terdapat provinsi dengan
IPM yang berada di angka 70 bahkan di bawah 70 misalnya Maluku Utara, Nusa
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Provinsi Papua bahkan tercatat
sebagai provinsi dengan IPM terendah di Indonesia yaitu 65,86. Pencapaian IPM
Provinsi Sulawesi Selatan sendiri adalah 72,70. IPM dibagi atas tiga kategori yaitu
IPM di atas 80 disebut kategori tinggi, IPM diantara 50-79,9 termasuk kategori
sedang dan di bawah 50 termasuk kategori rendah.
Dengan melihat IPM tersebut menempatkan strategi pembangunan nasional
pada pengembangan Sumber Daya Manusia dalam perspektif pembangunan, yaitu
manusia Indonesia yang sehat, cerdas dan kuat secara ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi yang terjadi harus seiring dengan peningkatan Sumber Daya Manusia.
Beberapa faktor penting dalam pembangunan yang sangat efektif bagi pembangunan
manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Kedua faktor ini merupakan kebutuhan
dasar manusia yang perlu dimiliki untuk meningkatkan potensinya dalam
pembangunan. Karena pentingnya faktor tersebut, maka hampir pada setiap pilkada
termasuk pemilihan anggota DPR/DPRD menjadikan pendidikan, kesehatan dan isu
yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai isu sentral.
Sebut saja dalam bidang kesehatan isu kesehatan gratis, ambulans gratis, Kartu
Indonesia Sehat, dan Kartu Jakarta Sehat. Demikian pula dalam bidang pendidikan
misalnya pendidikan gratis, SPP gratis, beasiswa penyelesaian studi, beasiswa untuk
S1, S2 dan S3. Dalam konteks politik memang disadari bahwa kedua sektor ini
memilki basis massa yang tidak sedikit baik yang berhubungan langsung dengan
mereka yang bekerja di sektor kesehatan dan pendidikan maupun keluarganya. Oleh
karena itu, adalah sangat wajar jika selalu sektor ini menjadi sektor primadona dalam
setiap politik pilkada disamping isu tersebut adalah isu yang sangat fundamental
dalam pencapaian kualitas Sumber Daya Manusia.
Potret kesehatan Indonesia dapat dilihat dan dipelajari secara detail dari Profil
Kesehatan Indonesia yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia setiap tahun. Empat indikator utama yang yang sering
dijadikan alat ukur kemajuan pembangunan kesehatan, yaitu: Angka Kematian Ibu,
Angka Kematian Bayi, Usia Harapan Hidup dan Gizi. Bahkan sebagian besar dari isu
ini adalah juga menjadi isu penting dalam Tujuan Pembangunan Millenium
(Millenium Development Goals) misalnya memberantas kemiskinan dan kelaparan.
Tujuan pertama ini berkaitan dengan keterjangkauan ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan gizi. Tujuan Millenium Development Goals yang kedua berkaitan dengan
pendidikan yaitu mewujudkan pendidikan dasar untuk semua. Menurunkan angka
kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu dan memerangi HIV/AIDS Malaria serta
penyakit lainnya menjadi isu penting dibidang kesehatan (Stalker, 2008).
Angka Kematian Ibu. Hal yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu di
tahun 2013, dikarenakan masih rendahnya pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan terutama di daerah–daerah yang secara geografis belum dapat terjangkau
oleh pelayanan kesehatan yang memadai. Selain itu, kurangnya ketersediaan
infrastruktur kesehatan, baik sarana dan prasarana kesehatan maupun ketersediaan
tenaga kesehatan yang secara langsung kurang bersedia untuk ditempatkan di daerah
yang secara geografis tidak memadai. Membaca Gambar 6.2 menunjukkan bahwa
angka kematian ibu di Indonesia pada beberapa provinsi masih cukup tinggi misalnya
Papua, Nusa Tenggara Barat, Maluku sementara beberapa provinsi lainnya
mempunyai angka kematian ibu misalnya Provinsi Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Gambar 6.2: Angka Kematian Ibu Tahun 2012-2013 di Indonesia menurut provinsi
Sumber: Bappenas (2015)

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, maka angka


kematian ibu di Indonesia masih termasuk kategori cukup tinggi (lihat Gambar 6.3).
Pada tahun 2015 diakhir MDGS, Indonesia telah menetapkan angka kematian ibu 102
per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Indonesia masih jauh lebih
tinggi dari angka kematian yang telah dicapai oleh Myanmar, Philippines, Thailand,
Vietnam dan Malaysia, sementara dua negara lainnya misalnya Cambodia dan Lao
PDR mempunyai angka kematian ibu lebih tinggi dari Indonesia.

Gambar 6.3: Tren Angka Kematian Ibu (AKI) Beberapa Negara ASEAN
Sumber: Sumber: UN Maternal Mortality Estimation Group: WHO, UNICEF,
UNFPA, World Bank dalam UNICEF Indonesia (2012)
Angka Kematian Bayi (AKB). Penurunan AKB dan AKABA di Indonesia
dalam satu dekade terakhir mengalami perlambatan. Padahal pada priode 1991 –
2002, Indonesia mampu menurunkan AKB dari 68 per 1.000 kelahiran hidup menjadi
35 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan AKABA turun dari 97 per 1.000 kelahiran
hidup menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (BKKBN, 2013). Dalam priode tersebut,
Indonesia menjadi negara yang mendapat apresiasi besar dari WHO untuk pencapaian
AKB dan AKABA. Setelah tahun 2002, ternyata penurunan AKB dan AKABA di
Indonesia justru mengalami perlambatan. Hasil SDKI 2012 menunjukan saat ini AKB
berada pada angka 32 per 1.000 kelahiran hidup, turun lima poin. Sedangkan
AKABA sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup hanya turun enam poin dari tahun
2002. Selain lambatnya penurunan AKB dan AKABA di Indonesia, pencapaian AKB
dan AKABA di daerah juga masih sangat timpang dan di beberapa daerah juga ada
yang mengalami kenaikan signifikan. Daerah – daerah di timur Indonesia seperti
Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB Sulawesi Barat, Gorontalo
dan Sulawesi Tengah masih memiliki nilai AKB dan AKABA yang cukup tinggi jauh
di atas rata–rata nasional. Malahan, AKB dan AKABA untuk Papua, Papua Barat,
Maluku Utara, dan Gorontalo justru mengalami kenaikan. Selain di daerah timur
Indonesia, temuan kenaikan AKB dan AKABA juga ditemukan di Aceh, Kalimantan
Tengah, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Ketimpangan dan kenaikan AKB dan
AKABA ini merupakan sebuah refleksi dari ketidakmampuan daerah dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak. Seharusnya, dengan
desentralisasi sektor kesehatan, peluang daerah untuk melakukan kebijakan menjadi
lebih kuat. Daerah yang memiliki inovasi dalam kebijakan pembangunan KIA seperti
Jawa Timur, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan
Sulawesi Selatan ternyata mampu secara signifikan menurunkan AKB dan AKABA.
Inilah sebenarnya perlu didorong oleh Kementerian Kesehatan, agar setiap daerah
memiliki arah dan strategi khusus dalam menurunkan AKB dan AKABA sesuai
dengan konteks daerah masing – masing.
Gambar 6.4: Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita di Tiap Provinsi, Indonesia
Sumber: Profil Kesehatan, Kemenkes (2013) dalam Rahmahidanurrizka and Saputra (2013)
Gambar 6.5 menunjukkan kecenderungan angka kematian neonatal, angka
kematian bayi dan angka kematian balita dari tahun 1991-2015 yang terus menurun.

Gambar 6.5: Kecenderungan Angka Kematian Neonatal, Bayi dan Balita, 1991-2015
Sumber: Direktorat Jenderal Bina GIKIA (2013)
Angka Harapan Hidup (AHH). Angka ini adalah angka pendekatan yang
menunjukkan kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama. Usia Harapan Hidup
merupakan alat untuk mengevaluasi penampilan (performance) pemerintah dalam
meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat
kesehatan pada khususnya (Stalker, 2008). Gambar 6.6 menunjukkan peningkatan
AHH yang terjadi di Indonesia selama tahun 2008-2012. Pada tahun 2012, nilai AHH
Indonesia telah mencapai 69,87 tahun dimana lebih tinggi jika dibandingkan dengan
nilai AHH pada tahun 2011 yang sebesar 69,65 tahun. Provinsi dengan nilai AHH
tertinggi terdapat di DKI Jakarta dengan nilai 73,49 dan DI Yogyakarta sebesar
73,33. Provinsi dengan nilai AHH terendah terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar
62,73 dan Kalimantan Selatan sebesar 64,52. Nilai AHH tertinggi ada pada DKI
Jakarta juga sama dengan IPM secara keseluruhan. Sementara Nusa Tenggara Barat
juga bersama dengan Nusa Tenggara Timur mempunyai nilai IPM yang relatif
rendah.

Gambar 1.2: Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (Dalam Tahun) Indonesia 2008-
2012
Sumber: BPS (2013)

Gambar 6.6: Angka Harapan Hidup Indonesia 2008-2012


Sumber: BPS (2013)

Gizi. Status gizi yang dikaji dalam Bab ini dibagi atas dua bagian yaitu status
gizi balita dan status gizi penduduk dewasa (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Pertama, status gizi balita. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan
pencapaiannya dalam MDGs adalah status gizi balita. Pada tahun 2010 terdapat
17,9% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 13,0% balita berstatus gizi kurang dan
4,9% berstatus gizi buruk dan sebesar 5,8% balita dengan status gizi lebih.
Dibandingkan tahun 2007, terjadi penurunan kekurangan gizi balita pada tahun 2010
dari 18,4% menjadi 17,9%. Berdasarkan provinsi, prevalensi balita kekurangan gizi
terendah dicapai Sulawesi Utara (10,6%), Bali (10,9%) dan DKI Jakarta (11,3%),
sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi terjadi di Nusa Tenggara Barat
(30,5%), Nusa Tenggara Timur (29,4%) dan Kalimantan Barat (29,2%). Target
MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015 untuk indikator ini sebesar 15,5%.
Dengan demikian dari 33 provinsi terdapat 9 provinsi di antaranya telah mencapai
target tersebut pada tahun 2010.

Gambar 6.7: Persentase Balita Kekurangan Gizi Berdasarkan Berat Badan Menurut
Umur (BB/U) Menurut Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Diantara 33 provinsi di Indonesia, 19 provinsi memiliki prevalensi balita
kekurangan gizi di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 19,7% sampai
dengan 33,1 persen. Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang
memiliki prevalensi balita kekurangan gizi sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali
(13,2%), (2) DKI Jakarta (14,0%), (3) Kepulauan Bangka Belitung (15,1%). Masalah
kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi kekurangan gizi pada balita
antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO,
2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kekurangan gizi pada anak balita
sebesar 19,6%, yang berarti masalah kekurangan gizi pada balita di Indonesia masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33
provinsi, terdapat dua provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu
Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur (33,0%).
Indikator gizi yang lain yaitu tinggi badan menurut umur (TB/U) memberikan
indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola
asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek.

Gambar 6.8: Persentase Balita Dengan Tinggi Badan Di Bawah Normal Berdasarkan
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Menurut Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Menurut provinsi sesuai Gambar 6.8, prevalensi balita pendek terendah terjadi
di Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,3%), dan DKI Jakarta (27,5%).
Sedangkan provinsi dengan prevalensi balita pendek tertinggi terjadi di Nusa
Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%). Dan Nusa Tenggara Barat
(45,2%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek
sebesar 30 – 39 % dan serius bila prevalensi pendek ≥40% (WHO 2010). Sebanyak
13 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori
serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: Papua (40,1%), Maluku (40,6%), Sulawesi
Selatan (40,9%), Sulawesi Tengah (41,0%), Maluku Utara (41,1%), Kalimantan
Tengah (41,3%), Aceh (41,5%), Sumatera Utara (42,5%), Sulawesi Tenggara
(42,6%), Lampung (42,6%), Kalimantan Selatan (44,2%), Papua Barat (44,7%), Nusa
Tenggara Barat (45,2%), Sulawesi Barat (48,0%). dan Nusa Tenggara Timur
(51,7%). Indikator antropometri lain untuk menilai status gizi balita yaitu berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB). Pada tahun 2013 terdapat 12,1% balita wasting
(kurus) yang terdiri dari 6,8% balita kurus dan 5,3% sangat kurus.
Gambar 6.9: Persentase Balita Kurus Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB) Menurut Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 %, terdapat
penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2%). Demikian
pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga menunjukkan adanya
penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 % (tahun 2007). Terdapat 17
provinsi dimana prevalensi balita kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari
prevalensi tertinggi, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa
TenggaraTimur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi,
Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah,
Kepulauan Riau dan Maluku Utara. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap
serius bila prevalensi kurus antara 10,0 14,0%, dan dianggap kritis bila ≥15,0
persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kurus pada anak
balita masih 12,1 persen, yang artinya masalah kurus di Indonesia masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 23
provinsi yang masuk kategori serius, dan 6 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu
Kalimantan Barat, Maluku, Aceh dan Riau.
Meskipun pada tingkat provinsi terdapat beberapa wilayah yang memiliki
status kesehatan yang lebih baik, namun secara keseluruhan Indonesia masih berada
pada tingkat dimana masalah kesehatan masyarakat termasuk angka kematian bayi
dan balita termasuk tinggi. Demikian pula prevelensi balita stunting baik di
ASEAN maupun di SEAR pada tahun 2007-2011 (Gambar 6.10).

Gambar 6.10: Prevalensi Balita Stunting di ASEAN & SEAR Tahun 2007-2011
Sumber: WHO (2013) dalam Kementerian Kesehatan RI (2013)

Status gizi penduduk dewasa. Gambaran status gizi pada kelompok umur >18
tahun dapat diketahui melalui prevalensi gizi berdasarkan indikator Indeks Massa
Tubuh (IMT). Status gizi pada kelompok dewasa berusia di atas 18 tahun didominasi
dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi (Gambar
6.11).

Gambar 6.11: Persentase Kelebihan Berat Badan Pada Penduduk Dewasa


Berdasarkan Kategori Indeks Masa Tubuh Menurut Provinsi, Riskesdas, Tahun 2013
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Menurut laporan Riskesdas tahun 2013 provinsi dengan prevalensi kelebihan
berat badan pada penduduk >18 tahun terendah yaitu Nusa Tenggara Timur
(12,95%), Lampung (18,52%), Nusa Tenggara Barat (19,47%). Provinsi dengan
prevalensi kelebihan berat badan tertinggi yaitu Sulawesi Utara (40,54%),
Kalimantan Timur (35,38%), dan DKI Jakarta (34,67%). Prevalensi penduduk kurus
terendah di Provinsi Sulawesi Utara (5,6%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur
(19,5%). Dua belas provinsi dengan prevalensi penduduk dewasa kurus diatas
prevalensi nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Jawa
Timur, Maluku, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi penduduk
obesitas terendah di provinsi Nusa Tenggara Timur (6,2%) dan tertinggi di Sulawesi
Utara (24,0%). Enam belas provinsi dengan prevalensi di atas nasional, yaitu Jawa
Barat, Bali, Papua, DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Bangka
Belitung, Sumatera Utara, Papua Barat, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Kalimantan
Timur, DKI Jakarta, Gorontalo dan Sulawesi Utara. Berdasarkan karakteristik,
masalah obesitas cenderung lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan,
berpendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi.

6.3 Pemilu dan aktor politik kesehatan


Siapa yang disebut aktor politik kesehatan? Siapa saja - orang, kelompok,
lembaga atau profesi yang berjuang untuk mewujudkan rakyat yang sehat dan
sejahtera itulah aktor politik kesehatan. Tentu saja, mereka sangat sulit ditarik benang
merahnya untuk menentukan siapa mereka itu sesungguhnya. Dalam tulisan ini
diidentifikasi bahwa aktor politik tidak lain adalah mereka yang juga sekaligus
bertindak sebagai aktor pembangunan misalnya bupati/walikota, gubernur dan
presiden. Secara spesifik aktor politik dalam bidang kesehatan meliputi kementerian
kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi, rumah sakit daerah, LSM
kesehatan, journalis, para peneliti kesehatan, politikus, dan para akademisi. Oleh
karena itu, aktor politik kesehatan dapat berasal dari kalangan pemerintah, birokrat,
swasta maupun berasal dari LSM (Palutturi, 2010).
Meskipun banyak aktor politik kesehatan lain yang memperjuangkan masalah
kesehatan akan tetapi terdapat sejumlah aktor politik yang sangat menentukan arah
pembangunan kesehatan. Aktor politik yang dimaksudkan adalah presiden, gubernur,
bupati/walikota, anggota DPR RI, DPD dan DPRD baik provinsi maupun
kabupaten/kota. Untuk mewujudkan visi misi kesehatan Indonesia diperlukan
penguatan komitmen politik yang serius oleh aktor politik baik pusat maupun daerah
dari Sabang sampai Marouke. Mereka inilah yang harus memiliki pemahaman
kesehatan yang komprehensif.
Menurut survei dan kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang disajikan pada tanggal 26
September 2014 di sebuah forum penting. Tim peneliti memaparkan bagaimana
profil anggota DPR dan DPD Periode 2014-2019 kita dengan melihat latar belakang
pekerjaan mereka. Ternyata mereka para anggota DPR dan DPD adalah mempunyai
latar belakang yang cukup beragam. Hampir sekitar 70% anggota DPR berasal dari
kalangan pengusaha, anggota DPR/DPD/DPRD sebelumnya dan karyawan swasta.
Selebihnya mereka berasal dari kalangan dosen, PNS, seniman, pemuka agama, dan
sangat sedikit mereka yang berasal dari kalangan peneliti (Pusat Kajian Politik UI,
2014).

Hampir sama dengan anggota DPD, mereka juga berasal dari latar belakang
pekerjaan yang beragam. Tetapi yang menarik dari anggota DPD ini adalah bahwa
19% diantara mereka adalah mereka yang pernah duduk sebelumnya sebagai anggota
DPR atau DPRD. Artinya mereka pindah partai atau jalur politik. Hal tersebut dapat
terjadi karena ada aturan kepartaian misalnya dimana tidak boleh menjadi wakil
partai selama dua periode berturut-turut atau karena basis massa. Sekitar 30% latar
belakang anggota senator DPD juga berasal dari kalangan pengusaha/wiraswasta dan
karyawan swasta. Artinya ada kemiripan latar belakang pekerjaan baik anggota DPR
maupun anggota DPD. Sementara anggota DPD lainnya berasal dari kalangan dosen,
aktivis LSM, pemuka agama, seniman dan kalangan profesional misalnya pengacara,
peneliti, dokter, dan sebagainya. Dengan latar belakang ini juga sekaligus
menunjukkan bahwa mereka ini mempunyai pengalaman dan kepentingan yang
berbeda tetapi yang pasti bahwa mereka tentu tetap mau survive dengan posisi yang
dimilikinya atau bahkan pindah pada level yang dianggap lebih memberi keuntungan
ekonomi, jabatan atau status sosial lainnya.

Dari aspek pendidikan pun, mereka mempunyai tingkat pendidikan yang


berbeda. Sebagian besar anggota DPR berpendidikan Sarjana dan Magister (sekitar
80%) dan selebihnya berpendidikan Doktor. Meskipun rata-rata pendidikan DPR
cukup baik, tetapi terdapat sekitar 8,47% yang hanya menamatkan pendidikannya
sampai tingkat SLTA. Itu juga terjadi pada anggota DPD bahwa sebagian besar
tingkat pendidikan mereka adalah Sarjana dan Magister (73%), Doktor (10%) dan
selebihnya adalah pendidikan tingkat SLTA. Meskipun tingkat pendidikan bagi
anggota DPR atau DPD tidak sepenting bagi perguruan tinggi, dosen misalnya namun
semestinya anggota DPR atau DPD tidak ada lagi yang berpendidikan tingkat SLTA
dan yang Strata Sarjana mestinya sudah berpendidikan Magister. Mereka adalah
pembawa aspirasi masyarakat yang tentu secara akademik diharapkan mereka juga
memiliki kemampuan menganalisis masalah dengan baik, memformulasi masalah,
sampai mereka dapat dan mampu untuk mengembangkan program dan kebijakan
yang lebih baik. Mereka ini adalah wakil rakyat yang berada pada tingkat
nasional/pusat yang berbeda statusnya dengan mereka yang berada pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota. Dengan adanya dorongan dan kebijakan pemerintah
tentang pendidikan wajib belajar 9 tahun, wajib belajar 12 tahun itu artinya bahwa
semestinya anggota DPR termasuk DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak
ada lagi yang tidak berpendidikan Srata Satu.
Aktor-aktor politik ini demikian banyak baik berdasarkan jumlah maupun
partai yang diwakilinya. Jika diperinci lebih jauh jumlah anggota DPR sebanyak 560
kursi dari 33 provinsi dan 77 daerah pemilihan provinsi di Indonesia (KPU, 2014;
Pusat Kajian Politik UI, 2014). Dari sejumlah partai yang ada di Indonesia hanya 10
partai yang mampu menempatkan wakilnya di DPR Pusat. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar menempati posisi partai dengan wakil
terbanyak di DPR yaitu masing-masing 109 kursi dan 91 kursi. Kedua partai ini
sekaligus mengukuhkan kembali sebagai partai terbesar di Indonesia sepanjang
sejarah kepartaian. Partai Gerindra yang meskipun usianya jauh terpaut dengan
partai-partai besar lainnya namun Partai Gerindra mampu menunjukkan sebagai salah
satu partai di Indonesia yang cukup diperhitungkan bahkan pada pemilu 2014 mampu
berada pada peringkat ke-3 dengan menempatkan sebanyak 73 orang di DPR. Saya
kira partai lain patut belajar dari partai ini. Partai lainnya yaitu Partai Nasdem 35
kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi, Partai
Demokrat 61 kursi, Partai Amanat Nasional 49 kursi, Partai Persatuan Pembangunan
39 kursi, dan Partai Hati Nurani Rakyat 16 kursi. Partai Bulan Bintang dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia tidak memperoleh kursi di DPR meskipun dua
partai tersebut termasuk partai peserta pemilu.
Anggota DPD sebanyak 132 yaitu 4 senator tiap provinsi (33 provinsi)
sedangkan anggota MPR adalah keseluruhan anggota DPR dan DPD sehingga
jumlahnya sebanyak 692 orang. Ke-692 orang itu sekaligus merupakan anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan kewenangan besar dan luas yang
akan mempengaruhi kebijakan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lima tahun
ke depan, ditambah presiden, wakil presiden, dan para kabinetnya. Khusus DPD,
lembaga ini merupakan lembaga perwakilan yang baru dibentuk pasca reformasi.
Sesuai dengan format representasi, DPD dibagi menjadi fungsi legislasi, fungsi
pertimbangan dan fungsi pengawasan pada bidang-bidang tertentu. Fungsi legislasi
dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR, ikut membahas
Rancangan Undang-Undang Bidang terkait misalnya otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan
SDA dan sumber daya ekonomi lainnya. Selain itu juga berkaitan dengan masalah
pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Fungsi pertimbangan yaitu memberikan
pertimbangan kepada DPR sementara fungsi pengawasan yaitu melaksanakan
pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang dan menyampaikan pengawasannya
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti, menerima hasil
pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Baik anggota DPR maupun
DPD, mereka ini telah dilantik dan mengucapkan sumpah menurut agama dan
kepercayaan masing-masing 01 Oktober 2014 silam. Sumpah ini dilakukan sebagai
upaya tanggung jawab kepada Tuhan dan rakyat Indonesia yang diwakilkan di
parlemen, tanggung jawab kepada negara, Pancasila dan UUD 1945.

Bunyi sumpah tersebut adalah sebagai berikut: Demi Allah (Tuhan) saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam
menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya
kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
daripada kepentingan pribadi, seorang dan golongan; bahwa saya akan
memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan
nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar 6.12: Ilustrasi Pengambilan Sumpah anggota DPR dan DPD RI Periode 2014-2019
Sumber: http://bawaslu.go.id/en/node/1102, 08 Juni 2015

Dipandu Ketua Mahkamah Agung sejumlah anggota MPR, DPR dan DPD
disumpah. Apakah saudara bersedia bersumpah menurut agama dan kepercayaan
saudara masing-masing. Serentak para wakil rakyat baru itu menyatakan kesediannya.
Jika aktor-aktor politik ini amanah akan sumpah dan janjinya sebagai wakil rakyat,
maka mereka inilah sebagai pejuang pembangunan dalam segala bidang kehidupan,
termasuk kesehatan. Mereka inilah yang akan bekerja secara maksimal untuk terus
menjadi pembawa aspirasi masyarakat mewujudkan manusia Indonesia yang sehat
dan sejahtera.
Selain itu, pada tingkat provinsi terdapat jumlah anggota DPRD provinsi yang
tidak sedikit jumlahnya demikian pula anggota DPRD kabupaten/kota. Jumlah
anggota DPRD Provinsi sebanyak 2.137 orang lebih tinggi dari periode sebelumnya
yang jumlahnya hanya 2008 kursi. Terdapat penambahan 134 kursi DPRD Provinsi
secara nasional. Sementara jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota di Indonesia
sebanyak 17.560 kursi meningkat 1.215 kursi DPRD Kabupaten/Kota dari periode
sebelumnya yang jumlahnya hanya 16.345 kursi. Pada level provinsi disana terdapat
33 gubernur dan 33 wakil gubernur. Pada tingkat kabupaten/kota terdapat 397 bupati
and 397 wakil bupati dan 98 walikota dan 98 wakil walikota. Mereka adalah aktor
politik yang juga telah memegang sumpah dan janji, bersumpah dan berjanji
dihadapan manusia dan dihadapan Allah SWT. Jika seluruh aktor politik tersebut
memiliki komitmen dalam upaya untuk menyehatkan warga yang telah memilih
mereka dan konsisten dalam membuat berbagai kebijakan dibidang pembangunan
kesehatan, maka upaya untuk membuat rakyat sehat akan dapat cepat dicapai. Namun
sebaliknya jika wakil rakyat dan para aktor tersebut tidak mempunyai pemahaman
dan wawasan kesehatan yang sempurna bahkan tidak mempunyai kepedulian
kesehatan maka hancurlah sektor kesehatan di negeri ini (Sukri Palutturi, 2010).

6.4 Kompetensi bagi para aktor politik


Aktor politik kesehatan tidak berarti mereka adalah orang dengan latar
belakang pendidikan kesehatan. Akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana
para aktor politik mempunyai wawasan kesehatan. Ini sangat penting karena masalah
kesehatan demikian kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan hanya melihat
masalah kesehatan dari sudut pandang tertentu. Sebuah buku dengan judul the New
Public Health yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2008, ditulis oleh
Fran Baum, dia adalah seorang sosiolog dan konsultan yang menangani social
determinant of health di badan organisasi kesehatan sedunia (World Health
Organization). Buku ini menjelaskan bahwa masalah kesehatan tidak lagi hanya
berorientasi pada pengobatan akan tetapi lebih dari itu dimensi-dimensi politik,
ekonomi, sosial harus menjadi bagian dari pemecahan masalah kesehatan. Konteks
politik yang berbicara tentang governance, kebijakan makro ekonomi, kebijakan
sosial-buruh, pekerja perumahan dan tanah, kebijakan publik-pendidikan, kesehatan
dan perlindungan atau jaminan sosial dan budaya dan nilai-nilai masyarakat
merupakan bagian yang sangat penting yang mempengaruhi kesetaraan dan keadilan
terhadap kesehatan dan kesejahteraan (Baum, 2008).
Kompetensi politik dipaparkan pada Bab tersendiri. Namun terdapat
kompetensi substansi yang orientasinya adalah pada pemahaman yang harus dimiliki
oleh para pengambil kebijakan termasuk para anggota DPR maupun DPD. Apa
wawasan kesehatan yang harus dimiliki oleh para aktor politik, tentu tidak ada
batasannya akan tetapi ada beberapa point yang dianggap penting untuk harus
dipahami sebagai aktor politik yaitu sebagai berikut (Sukri Palutturi, 2010):
a. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia, hak yang
paling fundamental yang harus dinikmati oleh seluruh warga negara (health is
fundamental human rights). Dengan pemahaman ini, mereka akan sadar bahwa
masalah kesehatan adalah hak yang harus dinikmati oleh setiap orang tanpa
melihat perbedaan suku, ras, bangsa dan agama.

b. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah bukan sektor yang konsumtif
akan tetapi sektor investasi yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Artinya peningkatan alokasi anggaran kesehatan
menjadi hal yang sangat penting dalam menginvestaikan dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia.
c. Aktor politik harus paham bahwa arah pembangunan kesehatan tidak hanya
menekankan pada program-program kesehatan yang bersifat pengobatan dengan
pendekatan individual melainkan pada promosi dan prevensi penyakit untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP), Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Wilayah
(UKW) harus bersinergi dalam pembangunan. UKP lebih banyak orientasinya
pada pengobatan, UKM lebih mendorong pada pencegahan penyakit dan promosi
kesehatan, dan UKW menitikberatkan pada determinan sosial kesehatan yang
lebih kompleks. Pendekatan yang terakhir ini adalah pendekatan lintas sektor.
Jika masalah tersebut berada pada wilayah kabupaten/kota atau provinsi maka
kedudukan Bappeda memegang peranan strategis untuk menjadi lembaga atau
institusi yang bisa berperan sebagai dapur perencanaan bagi sektor-sektor yang
lain dalam rangka mewujudkan wilayah yang sehat (Healthy Settings/Cities).

d. Aktor politik harus paham bahwa kematian satu orang bayi karena kekurangan
gizi berarti negara telah mengabaikan rakyatnya. Artinya bahwa pemerintah
harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kondisi kesehatan anak apalagi
saat ini pemerintah telah menggalakkan program 1000 hari pertama kehidupan.

e. Aktor politik harus paham bahwa seorang yang telah terjangkit HIV/AIDS
berarti dia telah membawa beban penyakit seumur hidup. Saat ini kasus
HIV/AIDS terus meningkat berdasarkan laporan dari Dirjen P2PL Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia belum lagi kasus yang tidak terlaporkan yang
diprediksi jauh lebih banyak dari kasus yang terekam. Mereka telah menjadi
pembawa sindrom/penyakit seumur hidup meskipun terdapat upaya pengobatan
untuk menjaga stamina dan kondisi kesehatan si penderita. Pemerintah harus
memberikan perhatian yang tinggi terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS yang
lebih optimal. Jika tidak kasus HIV/AIDS akan semakin bertambah.

f. Aktor politik harus paham bahwa jika ada seorang warga negara pengguna
narkoba berarti mereka telah merusak generasi dan bangsanya. Kasus narkotika
pun juga semakin meningkat dan telah tersentuh hampir pada semua kalangan
baik anak-anak maupun orang tua, laki-laki atau perempuan, pelajar atau pekerja,
pemerintah atau swasta. Mereka telah menjadi korban dari penyalahgunaan
narkotika ini. Dampak yang ditimbulkan pun menjadi sangat kompleks dari
masalah kesehatan, putus sekolah, gangguan mental sampai pada masalah sosial
dan keamanan. Pemerintah harus memutuskan mata rantai dari penyalagunaan
narkotika ini.

g. Aktor politik harus paham bahwa terdapat pertemuan para bupati/walikota se


Indonesia pada tahun 2001 yang menyepakati bahwa alokasi anggaran kesehatan
minimal 15% dari APBD, dan bahwa negara harus menyediakan alokasi
anggaran kesehatan minimal 5% Gross National Product (GNP) sebagai standar
minimal WHO.
h. Aktor politik harus paham bahwa yang menjadi kepala Puskesmas seperti yang
diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar Puskesmas yaitu Kepala
Puskesmas dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang
kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Di tingkat
Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan terdapat pilihan-pilihan
jabatan baik jabatan fungsional maupun struktural bagi tenaga kesehatan yang
harus dijalankan secara adil. Kepala puskesmas dapat dimainkan oleh seorang
Sarjana Kesehatan Masyarakat yang memang kurikulum pendidikannya bukan
saja mencakup kesehatan masyarakat tetapi full kesehatan masyarakat. Tugas
kepala puskesmas adalah tugas administratif dan manajerial yang harus fokus
untuk dijalankan tanpa harus merangkap jabatan lainnya.

i. Aktor politik harus paham dan ingat bahwa ada janji-janji politik yang
disampaikan saat kampanye oleh para calon bupati/walikota, gubernur dan
presiden misalnya kesehatan gratis, pendidikan gratis, gratis lahir sampai mati
dan seterusnya. Janji itu harus diimplementasikan karena janji itu adalah amanah,
dan janji adalah kontrak antara masyarakat dan calon pemerintahnya.

6.5 Diskusi dan Penugasan


Studi kasus ini diambil dari sebuah berita yang dimuat di hukum online
(2015). BPJS tentu saja masih menjadi isu yang sangat menarik untuk dibicarakan
terlepas dari plus minus yang dimilikinya. Harapan besar tentang jaminan kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia adalah harus diwujudkan namun untuk mencapai
kondisi tersebut, masih banyak hal yang perlu dilakukan pembenahan baik pada
tingkat kelembagaan, kepesertaan, pembiayaan, pemberi pelayanan kesehatan sampai
pada masalah perilaku masyarakat itu sendiri sebagai pengguna pelayanan kesehatan.
Peran pemerintah dan DPR adalah bagian tak terpisahkan untuk menyelesaikan
masalah tersebut
Kotak 6.1: Studi Kasus Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran belum diperlukan, kecuali untuk iuran peserta PBI. Anggota Dewan minta
BPJS Kesehatan diaudit. Sejumlah anggota DPR yang duduk di Komisi IX mempersoalkan
rencana pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kebijakan itu dikhawatirkan bisa mempengaruhi kepesertaan warga miskin dan
semakin membebani rakyat. Kenaikan tak pas kalau belum dilakukan audit.Suir Syang, politisi
Partai Gerindra, misalnya menilai rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta non
PBI (Penerima Bantuan Iuran) tidak tepat. Sebab di lapangan masih banyak masyarakat miskin
yang tidak tercakup PBI mendaftar sendiri sebagai peserta bukan penerima upah (PBPU)
dengan mengambil ruang perawatan kelas tiga yang iurannya Rp25.500 per bulan setiap orang.
Jika iuran BPJS Kesehatan bagi peserta non PBI naik, ia khawatir masyarakat miskin yang
telah mendaftar PBPU berhenti jadi peserta non PBI.
Anggota Komisi IX dari PDIP, Ketut Sustiawan, menyebut sebelum iuran BPJS
Kesehatan dinaikan, harus dilakukan audit terlebih dulu agar bisa dihitung ulang berapa
kenaikan yang diperlukan. “BPJS Kesehatan harus diaudit dulu,” katanya dalam Rapat Kerja di
Senayan, Rabu (01/4). Senada, anggota Komisi IX dari Partai Golkar, Andi Fauzia Pujiwatie
Hatta, mengatakan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus dipertimbangkan kembali
dan harus menunggu hasil audit. Saat harga BBM naik dan kemungkinan pengaruhnya
terhadap harga kebutuhan pokok, maka kenaikan iuran BPJS Kesehatan bakal menimbulkan
rasa tidak adil kepada masyarakat terutama golongan ekonomi menengah ke bawah.
Fauzia mengingatkan, dengan besaran iuran yang ada sekarang, pelayanan yang
diberikan BPJS Kesehatan masih dikeluhkan masyarakat. Karena itu, ketimbang menaikkan
iuran, lebih baik BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal lebih dahulu. “Tidak pantas
(kenaikan iuran,-red) kalau pelayanan masih bermasalah,” tukasnya. Berdasarkan pemantauan
Nihayatul Wafiroh di lapangan, peserta yang diuntungkan dengansistem BPJS
Kesehatan sepakat kalau iuran dinaikkan. Tapi, peserta yang ditemuinya itu jumlahnya sedikit.
Sementara peserta BPJS Kesehatan yang sedang mengantri di RS keberatan jika besaran iuran
naik. Peserta yang keberatan itu jumlahnya sangat banyak. “Mereka bertanya apakah dengan
kenaikan iuran itu ada jaminan pelayanan terhadap peserta akan lebih baik,” ujar politisi PKB
itu.
Anggota Komisi IX dari PPP, Okky Asokawati, mengatakan jika BPJS Kesehatan
defisit yang pertama kali harus disorot adalah bagaimana manajemen BPJS Kesehatan
mengelola lembaga yang menggelar jaminan kesehatan itu. Apalagi di tengah kondisi itu, kata
Okky, Direktur Utama BPJS Kesehatan malah bertandang ke German dan Dewan Pengawas
BPJS Kesehatan ke Swiss. Ia meminta ada laporan hasil kunjungan ke luar negeri itu. Okky
meminta kenaikan iuran tidak dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan
masyarakat. Tapi ia sepakat jika iuran peserta PBI naik. “Karena iuran PBI jauh lebih rendah
(Rp19.225) daripada peserta mandiri ruang perawatan kelas tiga (Rp.25.500),” katanya. Politisi
Partai Nasdem, Irma Suryani, tidak setuju rencana kenaikan iuran bagi peserta non PBI BPJS
Kesehatan. Kenaikan iuran itu tidak perlu selama manajemen BPJS Kesehatan belum
diperbaiki. “Manajemen BPJS Kesehatan dibenahi dulu baru minta kenaikan iuran,” tegasnya.

Sumber: Hukum Online (2015) http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt551bdc5290436/anggota-


dpr-kritik-rencana-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan
6.6 Penutup dan Rekomendasi

Berdasarkan uraian di atas beberapa poin penting dapat disimpulkan dalam


membangun kesadaran, kompetensi dan komitmen politik dalam upaya untuk terus
mendorong sektor kesehatan pada posisi puncak sebagai berikut:

a. Berbagai masalah kesehatan di Indonesia termasuk masih cukup tinggi baik yang
berkaitan dengan angka kematian bayi, angka kematian balita, usia harapan
hidup dan masalah gizi, baik masalah kesehatan antar provinsi maupun masalah
kesehatan jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dukungan politik
menjadi sangat penting dalam meningkatkan status kesehatan Indonesia dan
untuk mengejar ketertinggalan bangsa ini.

b. Kesehatan membutuhkan kontribusi banyak pihak. Berbagai organisasi profesi


seperti IAKMI, PERSAKMI, dan organisasi profesi tenaga kesehatan lainnya
seperti kedokteran, kedokteran gigi, sarjana keperawatan, dan sarjana farmasi
untuk bekerja secara konsisten melakukan advokasi kepada aktor-aktor politik
dalam rangka peningkatkan status kesehatan di daerah tersebut.

c. Anggota dewan adalah wakil rakyat sebagai penentu ketukan palu terakhir yang
akan menentukan arah kebijakan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan cita-cita nasional bidang kesehatan yaitu menciptakan masyarakat
yang sehat maka perlu ada program-program yang sifatnya pendampingan
berkelanjutan kepada kelompok masyarakat atau organisasi tertentu atau
meminta bantuan dan konsultan dari kalangan profesional dan akademisi bidang
kesehatan.

Catatan: Bab ini dikembangkan dan dimodifikasi dari sebagian materi Sukri
Palutturi (2010) dalam bukunya Kesehatan itu Politik tentang aktor politik.

References:

Bappenas. (2015). Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi Tahun


2014. Jakarta: Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas.
Baum, F. (2008). The new public health. South Melbourne, Vic: Oxford University
Press.
BPS. (2013). Statistik Indonesia 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Direktorat Jenderal Bina GIKIA. (2013). Kajian Angka Kematian Bayi dan Balita
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2012 dan Sensus
Penduduk 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina GIKIA.
Hukum Online. (2015). Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS
Kesehatan. Retrieved from
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt551bdc5290436/anggota-dpr-
kritik-rencana-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
KPU. (2014). Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 416/Kpts/KPU/Tahun
2014 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik dan Penetapan Calon
Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam Pemilihan Umum Tahun
2014. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.
Palutturi, S. (2010). Kesehatan itu Politik. Semarang: e-Media Solusindo.
Pusat Kajian Politik UI. (2014). Profil Anggota DPR dan DPD RI Periode 2014-2019
Jakarta: Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas
Indonesia.
Rahmahidanurrizka, & Saputra, W. (2013). Arah dan Strategi Kebijakan Penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Balita (AKABA) di Indonesia.
Stalker, P. (2008). Millenium Development Goals. Jakarta: Bappenas dan UNDP.
UNICEF Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak Jakarta:
UNICEF Indonesia.
BAB VII
THE POLITICS OF HEALTHY CITIES

7.1 Pendahuluan
Healthy Cities membutuhkan berbagai pendekatan, disiplin dan juga
multisektor. Pemerintahkan yang dapat menghadirkan keterlibatan berbagai sektor
dalam mewujudkan kota sehat adalah mutlak (good urban governance). Ini bagian
pertama yang dibahas dalam bab ini. Bagian yang kedua mengkaji dimensi politik
Healthy Cities dari sisi proses dan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, hubungan
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam Impelementasi Healthy Cities
juga dikaji lebih jauh. Untuk melengkapi bab ini disajikan sebuah studi kasus yang
menjelaskan pentingnya dukungan politik dalam implementasi Healthy Cities.
Dalam tulisan ini seringkali menggunakan Healthy Cities sesuai dengan
konsep awal lahirnya ide ini dan sering menggunakan kota sehat dan atau
kabupaten/kota sehat dalam konteks Indonesia. Dalam tulisan ini, penggunaan
peristilahan itu secara bergantian atau kedua-duanya secara bersamaan pada
prinsipnya adalah sama.

7.2 Healthy Cities: Urban Governance dan Planning


Healthy Cities adalah usaha untuk meningkatkan kesehatan penduduk,
khususnya penduduk miskin semua kota di seluruh dunia (Naerssen & Barten, 2002).
Gerakan Healthy Cities menempatkan dalam konteks global dan kebijakan
pembangunan perkotaan (Abbott, 1996). Healthy Cities harus diletakkan pada top
level pengambil kebijakan, dimana pembangunan disemua sektor harus berorientasi
pada sektor kesehatan.
Untuk mencapai tujuan Healthy Cities, maka urban governance menjadi
sangat penting. The United Nations Economic and Social Commission for Asia and
the Pacific (UN-ESCAP) menggambarkan bahwa governance sebagai proses
pengambilan keputusan dan keputusan diimplementasikan atau tidak
diimplementasikan (Abednego & Ogunlana, 2006). Governance merujuk pada proses
dimana elemen-elemen dalam masyarakat mempunyai kekuasaan dan otoritas dan
mempengaruhi serta membuat undang-undang kebijakan dan keputusan mengenai
kehidupan public, pembangunan ekonomi dan sosial. Meskipun demikian governance
berbeda dengan government. Governance itu melibatkan interaksi antara institusi
formal dengan lembaga kemasyarakatan (Sajeva & Masera, 2006). Governance itu
lebih pada upaya fasilitasi sementara government itu lebih pada instruksi
(memerintah).
Mewujudkan sebuah kota yang sehat dapat diuji melalui koneksitas atau
diskoneksitas antara perencanaan kota dengan perencanaan kesehatan masyarakat.
Terdapat banyak tantangan politik yang tak terselesaikan terutama bagaimana
menghubungkan ke dua aspek tersebut (Corburn, 2009). Pembangunan fisik dan tata
kota seringkali mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan sosial termasuk aspek
kesehatan. Masing-masing sektor mendorong bidang dan masalahnya tanpa melihat
keterkaitan dari berbagai aspek. Dampaknya pun anggaran bisa menjadi lebih besar
sementara pembangunan tidak efektif.
Menyelesaikan berbagai diskoneksitas antara bidang perencanaan dan
kesehatan masyarakat adalah esensial tidak hanya pada peningkatan urban
governance pada tingkat lokal tetapi pada pemahaman dan penyelesaian perubahan
politik global. Karena itu, kebijakan pada level yang lebih tinggi sangat diharapkan
yaitu dukungan kebijakan dan anggaran serta bantuan asistensi dari pemerintah
provinsi, nasional dan internasional.

7.3 Dimensi Politik Healthy Cities: Proses dan Power


Mewujudkan Healthy Cities bukanlah pekerjaan mudah. Determinan dan
kontrol di luar dari sektor kesehatan sangat dominan dan menantang (S Palutturi,
2013; S Palutturi et al., 2013). Variabel politik berupa kekuasaan, konflik sampai
pada kepentingan melayani diri sendiri sangat tinggi (Albaek, 2003).
Pentingnya konteks nasional dan institusi politik lokal telah dengan jelas
terlihat selama dalam implementasi program Healthy Cities UNDP/WHO bagi
negara-negara berkembang pada tahun 1995-1999 (Naerssen & Barten, 2002).
Konteks politik itu juga menjelaskan mengenai keterlibatan secara aktif masyarakat
sipil (civil society). Corburn (2009) menjelaskan bahwa kerangka politik perencanaan
kota yang sehat (political frames for healthy city planning) berkaitan dengan
kesehatan penduduk (population health), tempat (places), proses (processes) dan
kekuasaan (power).
Kesehatan penduduk dimaksudkan pada penilaian dan penyelesaian mengapa
terdapat kelompok-kelompok sosial dapat lebih sehat daripada yang lainnya dan
perhatian tentang bagaimana ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial menentukan
dan mempengaruhi ketidakadilan terhadap kesehatan. Karena itu, kesehatan
penduduk menekankan pada distribusi ketidakadilan kesehatan terhadap berbagai
kelompok dan penekanannya adalah pada determinan sosial “causes of the causes”
bukan pada perilaku individu, genetik atau pelayanan kesehatan. Selanjutnya adalah
berkaitan dengan tempat. Tempat diartikan sebagai gabungan antara faktor fisik,
sosial dan karaktersitik material; institusi dan kebijakan yang membentuk tempat
tersebut. Karena itu tempat diartikan sebagai interaksi antara berbagai komponen
tersebut. Selain kedua aspek tersebut, proses dan kekuasaan juga termasuk ke dalam
kerangka politik perencanaan kota yangs sehat. Proses berkaitan dengan governance
sebagai organisasi formal dan informal yang membentuk tindakan kolektif dan
mengeksplorasi mekanisme tentang bagaimana ketidakadilan sosial dibentuk
sementara kekuasaan berkaitan dengan fondasi dan landasan yang membentuk dan
merekonstruksi ulang sebuah kota.
Menurut Kingdon (1995) dalam De Leeuw (1999) mengemukakan bahwa
dalam konteks kebijakan terdapat minimal tiga aliran yang mempengaruhi
pembangunan (independent stream of development), dimana setiap stakeholder
memainkan masing-masing peran (lihat Gambar 7.1). Aliran tersebut adalah: aliran
masalah (problem stream), aliran politik (politics stream) dan aliran kebijakan (policy
stream). Menurut Kingdon, problem stream akan selalu ada dalam konteks kebijakan
dan problem stream harus senantiasa dihubungkan dengan solusi. Setiap stakeholder
akan mencoba untuk menghubungkan antara solusi yang paling efektif dengan
problem stream yang ada. Kedua adalah politics stream. Politics stream tidak hanya
dalam kaitan dengan pemilihan (formal election) tetapi perjuangan akan terus
berlanjut untuk menentukan siapa dapat apa (who gets what) dan itulah politik (De
Leeuw, 1999). Bagi bangsa Indonesia tahun 2014 dianggap sebagai tahun politik.
Pemilihan Presiden Republik Indonesia sebagai pemilu raya dilakukan pada tahun ini
untuk menentukan siapa pemimpin Indonesia selanjutnya, siapa presiden republik
Indonesia selanjutnya. Bukan hanya itu partai politik, calon wakil DPD juga berjuang
untuk mendapatkan kuota kursi yang telah ditetapkan. Partai politik misalnya Golkar,
PDIP, Demokrat, Gerindra, Nasdem, PKS, PAN, PPP, PKB, dan sebagainya semakin
kompetitive untuk berjuang mendapatkan kursi di parlemen sebagai calon wakil
rakyat. Tidak hanya itu, pemilihan secara formal menurut Kingdon bukanlah hanya
sebatas pemilihan tetapi disana akan terjadi konflik, perjuangan, lobi untuk
menentukan siapa dapat apa. Golkar dapat apa? PDIP dapat apa dan seterusnya.
Politics stream dalam konteks Healthy Cities pun demikian, orang-orang yang
terpilih dalam pemilihan akan memberi dampak besar dalam perjuangan mewujudkan
Healthy Cities Indonesia. Terakhir adalah policy stream. Policy stream ini berkaitan
dengan penggunaan sumber daya yang spesifik untuk mencapai tujuan yang spesifik
pula.

Gambar 7.1: Model Kingdon stream (1995)


Sumber: De Leeuw (1999)

Di dalam memainkan ketiga stream ini, terdapat peserta/aktor atau orang yang
terlibat baik individu maupun organisasi yang nampak dan dapat diidentifikasi
sebagai bagian dari stakeholder dan terlibat dalam kebijakan itu. Dalam problem
stream, para profesional dan konsultan yang terlibat disana. Dalam politcs stream,
para politisian yang terpilih terlibat disana dan policy stream adalah para birokrat
yang mendapat mandat. Sebaliknya bahwa dalam aliran pembangunan, diakui atau
tidak, biasanya terdapat orang atau kelompok atau bahkan organisasi yang tidak
terlihat (invisible) tetapi mereka memainkan peran yang cukup besar dan sangat
menentukan tujuan pembangunan. Dalam problem stream, para akademisian tertentu
menentukan problem stream. Dalam politics stream terdapat kelompok-kelompok
penekan dan wakil-wakil komuniti dan policy stream terdapat birokrat yang
bergantung pada kesempatan.
Dalam kaitan dengan visible dan invisible actors, bisa kita lihat dalam contoh
kasus anti rokok. Ketika sekolompok orang sedang mengkampanyekan anti rokok,
maka mungkin bisa diidentifikasi dengan jelas pihak-pihak yang terlibat yang
mungkin bisa membantu pencapaian program tersebut, misalnya Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian
Agama, institusi dan perguruan tinggi kesehatan, NGO kesehatan, organisasi
keagamaan misalnya Muhammadiyah, Komnas HAM dan sebagainya. Mereka
diharapkan dapat membantu mengkampanyekan anti rokok. Tetapi benarkah itu
dengan mudah bisa dicapai? Akankah mereka membantu dan mempunyai komitmen
yang kuat untuk mengatakan tidak pada rokok? Jawabannya bisa beragam, bisa ya
bisa juga tidak. Dibalik semua itu, ada pihak lain yang mempunyai peranan besar
yang mungkin bisa kelihatan atau juga bisa tidak terlihat dalam pandangan secara
umum yaitu bahwa kelompok atau oknum anggota DPR yang berasal dari pengusaha
rokok atau orang yang punya relasi kuat dengan pengusaha rokok. Mereka pasti akan
menjadi bayang-bayang dan penghalang untuk menggagalkan kampanye anti rokok.
Mereka tentu punya alasan, misalnya karena sumber pajak dan pendapatan nasional,
bisnis atau perusahaan yang mempekerjakan banyak orang, bisnis yang dapat
menghidupi keluarga para pekerja dan sebagainya.
Thesis Kingdon menyatakan bahwa isu sosial hanya dapat mencapai status
agenda kebijakan ketika pintu kesempatan (window of opportunity) dibuka terhadap
tiga stream tersebut. Isu masyarakat hanya dapat dicapai jika terdapat dinamika baik
oleh visible actors maupun invisible actors. Karenanya tiga stream tadi harus terbuka
dan saling menyadari posisi yang dapat dimainkannya.

7.4 Hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam


Impelemntasi Healthy Cities
Meskipun Indonesia mengenal istilah otonomi daerah, pemerintah pusat dan
daerah mempunyai tanggung jawab dalam mengimplementasikan Healthy Cities.
Tentu saja mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab berbeda seperti yang telah
diatur dalam Keputusan Bersama antara Kementerian Dalam Negeri dengan
Kementerian Kesehatan tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat di
Indonesia. Tanggung jawab tersebut juga bergantung pada tatanan dan organisasi
yang bertanggung jawab. Karena implementasi Healthy Cities tersebut berada pada
level kabupaten/kota, maka juga berhubungan dengan dinas yang berkaitan dengan
kementerian yang ada di atasnya. Misalnya tatanan kawasan permukiman, sarana dan
prasarana umum yaitu pada level kementerian yang bertanggung jawab adalah
Kementerian Pekerjaan Umum tetapi pada tingkat kabupaten/kota yang bertanggung
jawab adalah Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu, terdapat sektor penunjang yang
bertanggung jawab pada setiap tatanan. Kawasan permukiman, sarana dan prasarana
umum, misalnya, sektor penunjangnya adalah dinas kesehatan, dinas kebersihan,
dinas sosial, sektor swasta, perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Tabel 7.1: Tatanan Healthy Cities dan Organisasi Penanggung Jawab


No Tatanan Healthy Cities Penanggung Jawab

1 Kawasan permukiman, sarana dan sarana Kementerian Pekerjaan Umum


umum yang sehat dan Pengendalian Dampak
Lingkungan Regional
2 Kawasan sarana lalu lintas tertib dan Kementerian
pelayanan transportasi yang sehat Transportasi/DLLAJR
3 Kawasan pertambangan yang sehat Kementerian Pertambangan
dan Energi
4 Kawasan kehutanan yang sehat Kementerian Kehutanan
5 Kawasan industri dan perkantoran yang sehat Kementerian Industri dan
Perdagangan
6 Kawasan pariwisata yang sehat Kementerian Pariwisata
7 Ketahanan pangan dan gizi Kementerian Pertanian
8 Kehidupan masyarakat sehat dan mandiri Kementerian Kesehatan
9 Kehidupan sosial yang sehat Kementerian Sosial
Sumber: Palutturi et al. (2013)
Berdasarkan struktur organisasi, Healthy Cities di Indonesia, mereka yang
bertanggung jawab pada level nasional, provinsi dan kabupaten/kota dapat dilihat
pada Tabel 7.2. Pada level nasional terdapat Kementerian Kesehatan dan
Kementerian Dalam Negeri, di level provinsi dan kabupaten/kota terdapat Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan Dinas Kesehatan. Kepala
BAPPEDA bertindak sebagai ketua Tim Pembina Kabupaten/Kota Sehat, sementara
Kepala Dinas Kesehatan berkedudukan sebagai Sekretaris Kabupaten/Kota Sehat.
Mereka mempunyai tanggung jawab berbeda di masing-masing level.
Tabel 7.2: Struktur Organisasi Healthy Cities dan Penanggung Jawab
No Struktur organisasi Penanggung Jawab

1 Level nasional  Kementerian Kesehatan – Direktorat General


Pengendalian Penyakit dan Sanitasi Lingkungan
 Kementerian Dalam Negeri – Direktorat General
Pembangunan Regional
2 Level provinsi  Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA)
 Dinas Kesehatan Provinsi
3 Kabupaten/kota  Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Kabupaten/kota
 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Sumber: Diadaptasi dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan (2005)
Hubungan pemerintah pusat, provinsi sampai pada tingkat desa dalam
implementasi Healthy Cities dapat dilihat pada Gambar 7.2.

Level
nasional

Level Tim Pembina


Provinsi Provinsi

Tujuan
Target
Kebijakan Level Tim Pembina
Kab/Kota Forum
Strategi Kab/Kota
Kab/Kota
Sehat

Forum
Level
Perencanaan Komunikasi
Kecamatan
Implementasi Desa
Klasifikasi
Kriteria
Evaluasi Level Kelompok
Pengembangan Kelurahan/ Kerja Desa
Pendanaan Desa
Gambar 7.2: Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah dalam
implementasi Healthy Cities
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2010)

7.4.1 Tugas Pemerintah Pusat


Seseuai dengan Peraturan Bersama antara Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Kesehatan tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat di
Indonesia, tugas pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dalam
Bab VI pasal 12 menjelaskan bahwa Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan
umum penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat termasuk pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. Staf Kementerian Dalam Negeri yang
banyak terlibat dalam implementasi Healthy Cities adalah mereka yang berada pada
bagian pembangunan daerah. Dalam level Kementerian Kesehatan sesuai pasal 13
adalah bahwa Menteri Kesehatan melakukan pembinaan teknis penyelenggaraan
Kabupaten/Kota Sehat termasuk pemberian pedoman, training, arahan dan supervisi.
Mereka yang banyak terlibat dalam implementasi Healthy Cties di kementerian ini
adalah staf Direktorat General Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Staf kementerian ini banyak terlibat dalam melakukan pembinaan di tingkat
kabupaten/kota di seluruh Indonesia, menyiapkan tenaga ahli bagi kabupaten/kota
yang membutuhkan kegiatan training, seminar atau kegiatan lainnya yang
mendukung pencapaian kabupaten/kota sehat (Kementerian Dalam Negeri dan
Kesehatan RI, 2005).
Pendaaan dalam rangka pembinaan umum penyelenggaran Kabupaten/Kota
Sehat dibebankan kepada Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Departemen Dalam
Negeri, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pendanaan dalam rangka pembinaan teknis penyelenggaran Kabupaten/Kota Sehat
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Departemen Kesehatan,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan kabupaten/Kota.
Tim Pembina di tingkat Pusat yang terdiri dari pengarah dan Pelaksana Tehnis.
Tim Pengarah diketuai oleh Mendagri, Wakil Ketua Menteri Kesehatan dari Ketua
Bappenas, dengan anggota berasal dari eselon I dari berbagai instansi tingkat pusat,
pelaksana tehnis dikoordinir oleh Ketua Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Depkes RI, Wakil dari Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, dan
anggota dari Dirjen sektor terkait, mempunyai fungsi :
1. Menyusun kebijakan nasional kabupaten/kota sehat.
2. Pengkajian pedoman, kriteria, indikator, parameter kabupaten/kota sehat.
3. Merumuskan konsep prosedur dan metode/mekanisme.
4. Memantau/evaluasi melalui Forum Diskusi.
5. Penyusunan pedoman pendekatan kabupaten/kota sehat.
6. Melaksanakan tindakan korektif terhadap kebijakan.
Meskipun peranan kedua kementerian ini sangat penting, peranan Kementerian
Dalam Negeri sangat krusial karena mereka dapat mensinergikan kementerian yang
relevan dalam implementasi program Healthy Cities. Kementerian Kesehatan dalam
hal ini Direktorat General Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan hanya
bisa bekerja dan mempengaruhi dalam level kesehatan sementara mereka tidak
mempunyai kekuatan memaksa dalam menggerakkan sektor lain misalnya
Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Karena itu
peranan Kementerian Dalam Negeri sangat esensial dalam menggerakkan
kementerian lain pada level nasional yang kemudian pada masing-masing
kementerian memberikan dukungan pada dinas level di bawahnya yaitu pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.

7.4.2 Tugas Pemerintah Provinsi


Berdasarkan Gambar 2, pada tingkat provinsi terdapat Tim Pembina. Tim
Pembina biasanya berasal dari para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
sesuai pilihan tatanan. Pasal 14 menjelaskan bahwa pemerintah provinsi melakukan
pembinaan terhadap Pemerintah Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan
Kabupaten/Kota Sehat. Pembinaan yang dimaksud adalah untuk mendorong tercapainya
standar optimal di wilayah provinsi sesuai dengan tatanan Kabupaten/Kota Sehat.
Kegiatan Tim Pembinaan di tingkat provinsi meliputi :
a. Perumusan kebijakan provinsi
b. Pembinaan pelaksanaan pendekatan Kota/Kabupaten Sehat
c. Merumuskan standar, indikator untuk Kota/Kabupaten pada Provinsi yang
bersangkutan
d. Koordinasi perencanaan antar sektor
e. Forum Diskusi/Lokakarya/Seminar

7.4.3 Tugas Pemerintah Kabupaten/Kota


Perbedaan struktur ditingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah bahwa pada
tingkat provinsi hanya terdapat Tim Pembina sementara pada level kabupaten/kota
selain terdapat Tim Pembina juga terdapat Forum Kabupaten/Kota Sehat. Tim Pembina
berasal dari unsur Kepala SKPD misalnya Kota Palopo, Anggota Tim Pembina adalah
Kepala Dinas Transportasi, Kepala Dinas Perencanaan Tata Ruang, Kepala Badan
Pemberdayaan dan Sumber Daya Alam, Kepala Dinas Pertanian dan Pertamanan,
Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan dan Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan. Tim Pembina bertugas:
a. Menyiapkan semua aspek yang berhubungan dengan penilaian kota sehat,
b. Menyiapkan pedoman pelaksanaan program kota sehat,
c. Membuat jadual dan rencana kerja untuk mewujudkan penghargaan kota sehat,
d. Menyelenggarakan pembinaan, monitoring dan evaluasi sesuai dengan petunjuk
teknis tatanan kota sehat, dan
e. Membuat laporan kepada walikota, gubernur dan pemerintah pusat mengenai
perkembangan penyelenggaraan kota sehat di Palopo.
Sementara itu, anggota forum umumnya berasal dari unsur masyarakat
(termasuk di dalamnya adalah unsur LSM, PKK, Dharma Wanita, Organisasi
Keagamaan, Perguruan Tinggi, dan Sektor Swasta). Sebagai contoh Kota Palopo, forum
bertugas:
a. Membagi program kota sehat sesuai dengan tatanan yang dipilih
b. Memfasilitasi pembentukan konsil kesehatan (forum komunikasi) di tingkat
kecamatan dan kelompok kerja di tingkat kelurahan,
c. Menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di masyarakat
d. Mempromosikan dan mengadvokasi perkembangan kota sehat Palopo di semua
level
e. Menyiapkan konsultasi, monitoring dan evaluasi pelaksana kota sehat Palopo pada
level kecamatan dan kelurahan
f. Mengumpulkan data dan informasi tentang perkembangan kota sehat
g. Memfasilitasi dan memberdayakan masyarakat local untuk menjadi sumber daya
bagi pembangunan kesehatan
h. Melaporkan hasil-hasil aktivitas kota sehat kepada walikota
Dalam Peraturan Bersama antara Kementerian Dalam Negeri dengan
Kementerian Kesehatan Pasal 15 menjelaskan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan operasional penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat. Pembinaan
operasional yang dimaksud adalah oleh perangkat daerah sesuai dengan tatanan yang
dipilih. Pendanaan operasional penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
tatanan Kabupaten/Kota Sehat yang dipilih.
Dalam konteks ini baik penyelenggara kota sehat di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kota demikian pula dengan forum di tingkat kabupaten/kota, forum
komunikasi di tingkat kecamatan dan kelompok kerja di tingkat desa/kelurahan harus
memiliki komitmen yang tinggi dan dukungan politik yang kuat untuk
menyelenggarakan kabupaten/kota sehat. Dukungan politik itu dapat berupa:
a. Adanya peraturan yang dapat mendukung penyelenggaraan kota sehat baik berupa
Surat Keputusan Walikota maupun dalam bentuk Peraturan Daerah
b. Meningkatnya alokasi anggaran kota sehat yaitu alokasi anggaran yang bertujuan
meningkatkan lingkungan fisik dan sosial dalam sebuah tatanan/setting tertentu.
c. Penempatan staf/sumber daya manusia dan material yang dapat mendukung
penyelenggaraan kota sehat
d. Adanya sekretariat bersama antara Tim Pembina dengan Forum Komunikasi Sehat
sebagai wadah untuk merencanakan dan mengimplementasikan program
e. Adanya pertemuan berkala baik oleh Tim Pembina maupun Forum
f. Memasyarakatkan “kota sehat” yaitu dimana pada setiap kesempatan
pimpinan/decision makers menyampaikan tentang pentingnya mewujudkan kota
yang sehat.
Intinya pihak-pihak terkait harus memberi kontribusi dalam mewujudkan kota
sehat. Karena itu dukungan politik itu tidak hanya pada siapa yang mendapat apa (who
gets what) tetapi juga pada siapa yang melakukan apa (who does what) pada semua
tingkatan pemerintahan baik pada tingkat pusat, provinsi maupun pada tingkat
kabupaten/kota; baik pemerintah maupun swasta; baik individu maupun kelompok
masyarakat.

7.5 Tantangan Politik Perencanaan Healthy Cities


Menggabungkan faktor sosial dan fisik terhadap kesehatan ke dalam tata
kelola yang sehat membutuhkan politik baru perencanaan. Sangat sedikit praktek
sejarah yang telah ditujukan untuk menggabungkan faktor penentu sosial ekuitas
kesehatan dengan praktek tata kelola (Corburn, 2009). Dalam era reformasi saat ini
sekali pun perencanaan top down dan lemahnya kolaborasi diantara berbagai disiplin
ilmu, profesi, birokrasi, organisasi masyarakat dan sektor swasta telah menjadi
praktek dan tantangan dimasa kini. Setidaknya terdapat lima tantangan kontemporer
untuk bergerak ke arah politik baru perencanaan yang sehat, yaitu:

a. Menghindari tindakan reaksi dan menghapus masalah perkotaan dan bukannya


bekerja untuk mencegah bahaya pada tahap awal. Strategi pencegahan harus
mengakui dan memperbaiki dampak distribusi yang tidak merata menghapus
pencemaran lingkungan, dan "orang patogen" di beberapa lingkungan perkotaan.
Keputusan kebijakan perkotaan dan perencanaan telah meninggalkan warisan
lemahnya infrastruktur fisik bersama dengan bekas luka sosial dan psikologis
bagi lingkungan masyarakat miskin dan kelompok-kelompok rentan. Isu-isu ini
harus diatasi sementara pada waktu yang bersamaan juga perlu untuk
mengembangkan strategi baru dalam upaya mencegah bahaya di masa depan.

b. Rasionalitas ilmiah dan determinisme teknologi mengakui bahwa perencanaan


kota yang sehat membutuhkan eksperimen baru dan inovasi untuk menyeberangi
batas-batas disiplin tradisional. Ilmu baru dari kota perlu ikut diproduksi, dimana
komitmen sosial dan politik dipandang sebagai tidak mencemari tetapi
meningkatkan relevansi sosial dan politik.

c. Menghindari gagasan bahwa perilaku tidak bermoral yang harus disalahkan


untuk lingkungan sehat dan tidak sehat. Perencana kota yang sehat harus
menyadari bahwa lingkungan fisik merupakan salah satu yang dapat berpengaruh
terhadap kesejahteraan manusia. Orang tidak dapat digambarkan sebagai keadaan
yang pasif dalam hubungan perilaku lingkungan, seperti proses politik dan sosial
dibalik pembentukan lingkungan fisik. Politik baru perencanaan kota sehat harus
mampu menempatkan relasi yang kuat antara aspek fisik, sosial, dan politik.
Artinya bahwa untuk mencapai tempat tersebut diperlukan interaksi dan
hubungan antara semua bagian-bagian penyusunnya, dan tidak mengabaikan
salah satu bagian diantaranya.

d. Fokus pada mereka yang memiliki pandangan "laboratorium" atau "lapangan"


saja. Tentu pendekatan yang sangat parsial tidak cukup untuk mengatasi berbagai
kesenjangan perkotaan dan kesenjangan kesehatan. Ketergantungan pada
"pandangan laboratorium" telah menyebabkan banyak intervensi kesehatan
perkotaan untuk mengabaikan kekhasan atau keunikan tempat yang dapat
menjamin kebijakan yang relevan dengan konteks dan menggabungkan
pengetahuan lokal. Namun, ketergantungan lebih pada "pandangan lapangan",
kota dapat membatasi scaling- up intervensi dan gagal untuk mengambil
keuntungan dari kemajuan teknologi medis dan lainnya. Bergerak menuju politik
baru perencanaan kota sehat membutuhkan kritik dan merangkul perspektif
kesehatan penduduk di mana perencana, praktisi kesehatan masyarakat, dan
pekerjaan lain bersama-sama untuk menjelaskan bagaimana permasalahan
kesehatan dapat diatasi secara komprehensif. Perwujudan menyatukan
pandangan-laboratorium dan pandangan lapangan menjadi sangat penting dengan
menekankan bahwa kedua konteks fisik dan sosial ini mempengaruhi hasil
kesehatan.

e. Mengatasi spesialisasi disiplin, fragmentasi birokrasi, dan profesionalisasi saat


ini menjadi faktor penghalang bagi perencanaan maupun kesehatan masyarakat.
Model-model baru penelitian kolaboratif dan pemerintahan kota harus
membangun koalisi baru, lintas disiplin dan sektor baik di dalam maupun di luar
pemerintah. Koalisi regional atau metropolitan yang dapat membangun
pengetahuan dan keahlian lokal akan menjadi penting dalam membentuk
praktek-praktek kelembagaan baru untuk mempromosikan perencanaan kota
yang sehat.

7.6 Studi Kasus Pentingnya Dukungan Politik dalam Implementasi Healthy


Cities
Palopo, Sulawesi Selatan, termasuk salah satu kota di Indonesia yang
mempunyai sejarah panjang dalam implementasi Healthy Cities di Indonesia.
Meskipun Kota Palopo pernah dijuluki sebagai salah satu kota yang berhasil
mengembangkan kota sehat di Indonesia, Kota Palopo pernah mengalami kegagalan
meraih penghargaan tertinggi kota sehat yaitu Swasti Shaba Wistara, dimasa transisi
pemerintahan Walikota H.P.A. Tenriadjeng dengan Walikota Judas Amir. Cerita
kota sehat tersebut dapat dilihat pada Kotak 7.1.
Kotak 7.1: Studi Kasus Kota Sehat Palopo
Kota Sehat Palopo, Sulawesi Selatan

Kota Palopo hampir bersamaan dengan kota lain di Sulawesi Selatan mengembangkan kota
sehat misalnya Kota Makassar dan Kota Parepare. Awalnya, pada tahun 2006 Kepala Dinas
Kesehatan dan Asisten 2 Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Sosial menghadiri pertemuan di
Jakarta mewakili kota tersebut. Hasil pertemuan tersebut disampaikan kepada walikota Palopo
dan ternyata bapak walikota merespon kegiatan tersebut. Moto Palopo dan visi kota sehat pada
prinsipnya mempunyai kemiripan dimana moto Palopo adalah kota yang IDAMAN (Indah,
Damai, Aman dan Nyaman) sementara visi kota sehat adalah kota yang bersih, nyaman, aman
dan sehat.

Menurut laporan kota sehat Palopo, pada tahun 2010-2011, Palopo mempunyai status
kesehatan masyarakat terbaik diantara 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dimana Palopo
mempunyai usia harapan hidup yang tinggi (hamper sama dengan Kota Makassar = 72,3
tahun) bahkan tidak mempunyai Angka Kematian Ibu.

Pada tahun 2007 Kota Palopo ikut seleksi untuk dinilai sebagai Kota sehat dan akhirnya
mendapatkan penghargaan Swasti Shaba Wiwerda. Swasti Shaba Wiwerda adalah
penghargaan kota sehat tingkat kedua artinya Kota Palopo loncat tangga yang mestinya hanya
Swasti Shaba Padapa saja yaitu penghargaan tingkat pertama. Palopo mengembangkan
Tatanan Kawasan Permukiman, Sarana dan Prasarana Umum, Kawasan Industri dan
Perkantoran Sehat, Tatanan Kehidupan Masyarakat yang Sehat dan Mandiri, dan Tatanan
Kehidupan Sosial yang Sehat.

Keberhasilan yang telah dicapai oleh Kota Palopo ternyata dilirik oleh beberapa
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dengan kabupaten/kota lainnya di Indonesia misalnya
Kota Parepare, Kota Makassar, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Gowa, Kabupaten Enrekang
(Sulawesi Selatan), Kota Pematang Siantar, Kota Padang Panjang (Sumatera) dan beberapa
daerah lainnya. Mereka datang ke Kota Palopo untuk belajar manajemen kota sehat.

Dengan banyaknya kabupaten/kota di Indonesia yang berkunjung ke Kota Palopo, maka


pemerintah Kota Palopo dan Forum Kota Sehat semakin termotivasi untuk harus bekerja lebih
baik. Kota Palopo tidak berhenti sampai disitu saja. Kota Palopo bersama dengan para
anggota dewan (DPRD) merancang Perda Kota Sehat. Meskipun perjuangannya untuk
melahirkan Perda tidak mudah pada tahun 2008 diterbitkan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Kota Sehat. Perda itu juga mencatat Palopo sebagai satu-
satunya kabupaten/kota di Indonesia yang mempunyai PERDA kota sehat. Dengan
keberhasilan ini, maka Walikota Palopo, Drs. H.P.A. Tenriadjeng, M.Si. diundang oleh
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri untuk membawakan materi pada
Pertemuan Nasional Tahunan Kota Sehat pada tanggal 28 Agustus 2008 di Jakarta. Kota
Palopo meraih penghargaan Kota Sehat tertinggi yaitu Swasti Shaba Wistara pada tahun 2009
dan 2011.

Dibalik kesuksesan Kota Palopo, diakhir periode walikota saat itu, beliau terjerat kasus
korupsi. Saat itu, kota sehat Palopo sudah tidak mulai ditangani dengan baik dan juga
diperparah dengan kerusuhan yang terjadi di Palopo. Konflik horizontal terjadi sebagai
dampak dari pemilihan walikota. Pembakaran, kerusuhan dan perkelahian antar pendukung
7.7 Diskusi dan penugasan
Setelah membaca bab ini, peserta diharapkan mampu:
a. Menjelaskan pengertian urban governance!
b. Mengkaji Healthy Cities dari aspek politik
c. Dalam konteks Indonesia, terangkan hubungan pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dalam Impelemntasi Healthy Cities
d. Berikan contoh kasus lain di Indonesia yang berkaitan dengan dimensi politik
implementasi Healthy Cities!
e. Anda adalah calon pemimpin masa depan kesehatan masyarakat Indonesia.
Rumuskan kebijakan dan strategi apa yang Anda dapat rekomendasikan kepada
pemerintah daerah untuk penyelenggaraan kota sehat yang lebih efektif.

7.8 Penutup
Sejarah masa lalu menunjukkan bahwa perencanaan kota dan perencanaan
kesehatan seringkali berjalan bersamaan tetapi rel yang berbeda. Mereka jalan pada
porosnya masing-masing dan saling mengabaikan, tidak saling menyapa untuk
membuat perencanaan dan penganggaran bersama. Pembangunan fisik menjulang
tinggi terus digenjok dimana-mana, pembangunan hotel, mall, dan apartemen.
Pemerintah cenderung mengabaikan bahwa kelompok masyarakat yang dapat
menikmati dengan adanya pembangunan model ini adalah hanya kelompok
masyarakat yang berduit. Pemerintah lupa bahwa diantara pembangunan gedung
bertingkat itu, terdapat banyak masyarakat yang tinggal di rumah-rumah kumuh, di
kolong-kolong jembatan. Kesenjangan dengan pola pembangunan seperti ini
membawa berbagai permasalahan sosial dan lingkungan di perkotaan.
Aktor politik Healthy Cities cukup kompleks dan dinamis. Kota sehat hanya
dapat diwujudkan jika setiap aktor dapat mewujudkan sebuah pemerintahan kota
yang baik (good urban governance) yaitu pemerintahan yang dapat menghadirkan
keterlibatan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat secara simultan.. Dukungan
politik pemerintah adalah mutlak termasuk di dalamnya adalah anggota DPR, DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Tim Pembina dan Forum Kota Sehat dapat
belajar dari cerita-cerita sukses atau pasang surut penyelenggaraan kabupaten/kota di
Indonesia. Kota Palopo mungkin salah satunya.

References:
Abbott, J. (1996). Sharing the City Community Participation in Urban Management
London: Earthscan.
Abednego, M. P., & Ogunlana, S. O. (2006). Good project governance for profer risk
allocation in public-private partnerships in Indonesia. International Journal
of Project Management, 24(7), 622-634.
Acheson, D. (1998). Independent inquiry into inequalities in health. London: The
Stationary Office.
Adams, L., Amos, M., & Munro, J. (2002). Promoting health. London: Sage.
Albaek, E. (2003). Political Ethics and Public Policy: Homosexuals between Moral
Dilemmas and Political Considerations in Danish Parliamentary Debates
Scandinavian Political Studies, 26(3).
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2003). Towards a New Politics of health.
Politics of Health Group Discussion Paper No. 1.
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2005). Towards a politics of health. Health
Promotion International, 20(2), 187-193.
Bambra, C., Smith, K., & Kennedy, L. (2008). Politics and Health. In N. J & W. J
(Eds.), Health Studies 2nd edition (pp. 257-287). London: Palgrave
Macmillan.
Bappenas. (2015). Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi Tahun
2014. Jakarta: Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas.
Corburn, J. (2009). Toward the Healthy City: People, Places and the Politics of
Urban Planning. The MIT Press: Cambridge, Massachusetts, London,
England.
De Leeuw, E. (1999). Healthy Cities: Urban social enterpreneurship. Health
Promotion International, 14(3), 262-269.
Heywood, A. (2000). Key concepts in politics. London: Macmillan.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri dan Kesehatan RI. (2005). Peraturan Bersama Menteri
Dalam Negeri (PERBERMENDAGRI) dan Menteri Kesehatan Nomor 34
Tahun 2005 dan Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005. Jakarta:
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Progres Kabupaten/Kota Sehat di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Naerssen, T. v., & Barten, F. (2002). Healthy Cities as a Political Process Germany.
Palutturi, S. (2010). Kesehatan itu Politik. Semarang: e-Media Solusindo.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith University,
Brisbane, Australia.
Scott-Samuel, A. (1979). The politics of health. Community Medicine, 1, 123-126.
Whitehead, M., Diderichsen, F., & Burstrom, B. (2000). Researching the impact of
public policy on inequalities in health. In H. Graham (Ed.), Understanding
health inequalities. Buckingham: Open University Press.
BAB VIII
POLITIK GLOBAL: DARI MDGs KE SDGs

8.1 Pendahuluan
Seseorang pernah bertanya dalam sebuah forum ilmiah, mengapa Millenium
Development Goals (MDGs) selalu menjadi target dari tujuan pembangunan
sementara MDGs akan berakhir pada tahun 2015. Saya jawab secara sederhana
bahwa betul MDGs akan berakhir pada tahun 2015 tetapi masalahnya belum berakhir.
Berbagai masalah dan agenda yang belum terselesaikan yang menuntut perhatian
berbagai pihak di semua tingkatan, dari pemerintah daerah, pemerintah pusat dan
bahkan perhatian masyarakat global. Target MDGs yang belum terselesaikan harus
menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan untuk menjamin kesinambungan
dari apa yang telah dicapai pada masa lalu, saat ini dan bahkan mencari solusi
terhadap masalah yang belum terselesaikan. Bab ini pertama akan menjelaskan
pembangunan berkelanjutan itu, tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development Goals), keterkaitan antara MDGs dan SDGs, kesiapan, tantangan dan
bahkan menyiapkan sejumlah rekomendasi untuk mencapai SDGs tersebut.

8.2 Makna Pembangunan Berkelanjutan


Brundtland Commission (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) sebagai “development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.
Definisi ini memberikan gambaran bahwa yang disebut pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan dan
mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka
sendiri. Secara sederhana pembangunan keberlanjutan adalah peningkatan kualitas
hidup manusia yang dapat saling mendukung eko-sistem, menyampaikan gagasan
keberlanjutan dan memiliki batas kuantitatif. SDGs adalah seperangkat program dan
target yang ditujukan untuk pembangunan global di masa mendatang dan ini
merupakan konsep pengelolaan pembangunan dengan mempertimbangkan faktor
ekonomi, sosial, dan lingkungan (Rahman, 2012).
Pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang cair, berbagai
definisi telah muncul selama dua dekade terakhir. Meskipun perdebatan berlangsung
pada arti yang sebenarnya dari pembangunan berkelanjutan itu, namun beberapa
prinsip-prinsip umum cenderung lebih ditekankan. Pertama adalah komitmen
terhadap ekuitas dan keadilan. Pembangunan berkelanjutan memberikan prioritas
pada upaya meningkatkan kondisi pada negara-negara berkembang sehingga terdapat
keadilan pembangunan antara negara maju dan negara berkembang atau tidak
berkembang. Keputusan pembangunan berkelanjutan harus memperhitungkan hak-
hak generasi mendatang. Kedua adalah pandangan jangka panjang yang menekankan
pada prinsip kehati-hatian, yaitu dimana terdapat ancaman kerusakan serius atau
permanen, kurangnya kepastian ilmiah yang tidak boleh digunakan sebagai alasan
untuk menunda langkah-langkah efektif terhadap upaya untuk mencegah degradasi
lingkungan (Rio Deklarasi tentang Lingkungan dan Pembangunan, Prinsip 15).
Ketiga, pembangunan berkelanjutan mewujudkan integrasi, dan pemahaman dan
bertindak pada interkoneksi yang kompleks yang ada antara lingkungan, ekonomi,
dan masyarakat. Prinsip ini menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan bukan
sebuah tindakan penyeimbangan atau bermain dari satu masalah terhadap masalah
yang lain, tetapi pembangunan berkelanjutan mengakui sifat saling bergantung dari
ketiga pilar tersebut (Drexhage & Murphy, 2010).
Pada bagian awal eksekutif summary dari laporan Universal Sustainable
Development Goals yang ditulis oleh Osborn, Cutter, and Ullah (2015) mengatakan
bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ( SDGs ) dimaksudkan untuk bersifat
universal dalam arti mewujudkan visi global bersama yang aman, adil dan memilki
ruang berkelanjutan untuk semua manusia dapat berkembang di planet. Oleh karena
itu SDGs ini mencerminkan prinsip-prinsip moral yang tidak boleh ada negara yang
harus ditinggalkan. Setiap orang dan setiap negara harus dianggap sebagai memiliki
tanggung jawab untuk memainkan peran mereka dalam mewujudkan visi global.
Secara umum, SDGs harus dipahami sebagai sebagai ambisi dan sebagai tantangan
untuk semua negara. Semua tujuan dan sasaran mengandung pesan penting dan
tantangan untuk maju secara bersama dengan negara-negara berkembang.

8.3 Keterkaitan antara MDGs dengan SDGs


Salah satu hasil utama dari Konferensi PBB tentang Pembangunan
Berkelanjutan (Rio + 20) pada tahun 2012 adalah lahirnya kesepakatan internasional
untuk menegosiasikan kerangka baru Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di
dunia setelah 2015. Dokumen hasil Rio+20 menunjukkan bahwa tujuan
pembangunan yang dimaksudkan adalah berorientasi tindakan (action-oriented),
singkat dan mudah berkomunikasi, terbatas (dalam jumlah), aspiratif, global dan
berlaku universal untuk semua negara. Meskipun demikian SDGs tersebut
mempertimbangkan realitas nasional yang berbeda, kapasitas dan tingkat
pembangunan dan menghormati kebijakan dan prioritas nasional. Mereka harus fokus
pada bidang prioritas untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan.
SDGs hadir dengan harapan dapat menggantikan program MDGs (Millennium
Development Goals), sebuah program yang memiliki maksud dan tujuan yang sama
yang akan kadaluarsa pada akhir tahun 2015 ini. Oleh karena itu program-program
MDGs pada prinsipnya mengalami adaptasi dari SDGs tersebut baik dalam hal
jumlah target atau indikator maupun aspek-aspek yang menjadi parameter dari setiap
tujuan atau target tersebut. Proposal SDGs yang telah diusulkan mengandung 17
tujuan dengan 169 target yang melingkupi hal-hal terkait isu pembangunan
berkelanjutan atau sustainable development. Oleh karena itu, SDGs lahir karena
adanya berbagai permasalahan dalam MDGs. Semenjak pertama dicanangkan,
pencapaian atas sejumlah target secara global MDGs dirasa masih sangat lamban
bahkan dibeberapa kawasan tertentu seperti Sub Sahara Afrika dikawatirkan beberapa
target tidak akan pernah tercapai. Banyak pihak menilai bahwa KTT Rio+20 dapat
dijadikan momentum politis untuk menyepakati perlunya SDGs ditetapkan sebagai
agenda global paska MDGs. Lebih dari itu diusulkan pula agar SDGs sebaiknya
mencakup seluruh negara bukan hanya untuk negara berkembang saja sebagaimana
MDGs.

Menurut makalah yang dipresentasikan oleh Kementerian Luar Negeri


Republik Indonesia pada tahun 2014 tentang Proses Pembahasan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Tingkat
Global, SDGs ini penting karena:

a. Mobilisasi sumber daya (resources). Mobilisasi sumber daya ini meliputi


mobilisasi SDM, keuangan, logistik dan kebijakan baik pada tingkat global
maupun di tingkat nasional dan lokal.

b. Agenda pembangunan menjadi lebih fokus. Pemerintah pusat dan daerah dapat
mengembangkan program dan penyediaan alokasi anggaran berdasarkan tujuan
dan indikator yang diharapkan dari pencapaian SDGs.

c. Memastikan pembahasan agenda pembangunan pasca-2015 secara inklusif dalam


proses intergovernmental. Pencapaian SDGs ini harus dibangun berdasarkan
prinsip bahwa kolaborasi antara dinas, antara departemen, antar sektor adalah
mutlak diperlukan.

d. Memastikan adanya sinergi ketiga dimensi pembangunan: ekonomi, sosial dan


lingkungan hidup. Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah keterkaitan dari
ketiga dimensi tersebut.

e. Tujuan global dan pencapaian target nasional. Indonesia adalah sebagai bagian
dari masyarakat internasional harus berperan aktif dalam pencapaian tujuan
SDGs ini. SDGs berjalan tidak berarti mengabaikan target nasional namun
berjalan secara secara sinergi bahkan dapat memandu arah dan tujuan
pembangunan global berdasarkan pertimbangan kebutuhan lokal dan nasional.

f. Akuntabilitas (accountability). Tujuan pembangunan berkelanjutan ini lebih


mendorong dan memastikan akuntabilitas baik akuntabilitas terhadap pemerintah
atau pun pada masyarakat. SDGs yang dapat dipertanggungjawabkan
(responsibility), yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat
dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan
(liability). Akuntabilitas dalam bentuk adanya pertanggungjawaban tehadap tiap
tindakan, produk, keputusan dan kebijakan dan pelaksanaan dalam lingkup peran
atau posisi kerja yang mencakup di dalam mempunyai suatu kewajiban untuk
melaporkan, menjelaskan dan dapat dipertanyakan bagi tiap-tiap konsekuensi
yang sudah dihasilkan. Karena itu, akuntabilitas terkait dengan tata kelola
pemerintahan.
8.4 Tujuan dan Indikator SDGs
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mengajukan 17 tujuan spesifik dengan
169 target yang saling berkaitan. Berikut tujuan SDGs:
1) Menghapus kemiskinan dalam segala bentuknya di manapun
a. Pada tahun 2030, memberantas kemiskinan ekstrim untuk semua orang di
mana-mana, saat ini diukur orang yang hidup dengan kurang dari $ 1,25 per
hari
b. Pada tahun 2030, mengurangi setidaknya setengah proporsi laki-laki,
perempuan dan anak-anak dari segala usia yang hidup dalam kemiskinan di
semua dimensinya sesuai dengan definisi nasional
c. menerapkan sistem nasional yang tepat perlindungan sosial dan langkah-
langkah untuk semua, termasuk tingkat, dan pada tahun 2030 mencapai
cakupan besar kaum miskin dan rentan

2) Mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan pangan dan perbaikan gizi, dan


memajukan pertanian berkelanjutan
a. Pada tahun 2030 mengakhiri kelaparan dan menjamin akses oleh semua
orang, khususnya orang miskin dan orang-orang dalam situasi rentan
termasuk bayidengan aman, bergizi dan mencukupi makanan sepanjang tahun
b. pada tahun 2030 akhir segala bentuk kekurangan gizi, termasuk mencapai
pada tahun 2025 target yang disepakati secara internasional pada stunting dan
wasting pada anak di bawah usia lima tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi
remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, dan orang-orang yang lebih tua
c. pada tahun 2030 dua kali lipat produktivitas pertanian dan pendapatan
produsen skala kecil makanan, terutama perempuan, masyarakat adat,
keluarga petani, penggembala dan nelayan, termasuk melalui akses yang aman
dan sama dengan tanah, sumber daya produktif lainnya dan masukan,
pengetahuan, jasa keuangan, pasar, dan peluang untuk penambahan nilai dan
pekerjaan non-pertanian

3) Memastikan hidup yang sehat dan memajukan kesejahteraan bagi semua orang di
semua usia
a. Pada tahun 2030 mengurangi rasio kematian ibu secara global kurang dari 70
per 100.000 kelahiran hidup
b. Pada tahun 2030 kematian dapat dicegah dari bayi yang baru lahir dan balita
c. Pada tahun 2030 mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, dan
penyakit tropis tdan memerangi hepatitis, penyakit yang terbawa air, dan
penyakit menular lainnya

4) Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan adil serta mempromosikan


kesempatan belajar seumur hidup bagi semua
a. Pada tahun 2030, memastikan bahwa semua anak perempuan dan anak laki-
laki menyelesaikan secara bebas, adil dan pendidikan dasar dan pendidikan
menengah yang mengarah ke hasil pembelajaran yang relevan dan efektif
b. Pada tahun 2030 memastikan bahwa semua anak perempuan dan anak laki-
laki memiliki akses pengembangan kualitas anak usia dini, perawatan dan
pendidikan pra dasar sehingga mereka siap untuk pendidikan dasar
c. Pada tahun 2030 menjamin akses yang sama bagi semua wanita dan pria
untuk pendidikan teknis, kejuruan dan kualitas tersier terjangkau, termasuk
universitas

5) Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak


perempuan
a. Mengakhiri semua bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak
perempuan di mana-mana
b. Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap semua perempuan dan gadis
di ruang publik dan swasta, termasuk perdagangan dan seksual dan jenis-jenis
eksploitasi
c. Menghilangkan semua praktek-praktek berbahaya, seperti anak, dini dan
pernikahan paksa dan mutilasi alat kelamin perempuan

6) Memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi bagi yang


berkelanjutan bagi semua
a. Pada tahun 2030, mencapai akses universal dan adil terhadap air minum yang
aman dan terjangkau untuk semua
b. Pada tahun 2030, mencapai akses ke sanitasi dan kebersihan yang memadai
dan merata untuk semua, dan mengakhiri buang air besar terbuka,
memberikan perhatian khusus pada kebutuhan perempuan dan anak
perempuan dan orang-orang dalam situasi rentan
c. Pada tahun 2030, meningkatkan kualitas air dengan mengurangi polusi,
menghilangkan dumping dan meminimalkan pelepasan berbahaya bahan
kimia dan bahan, mengurangi separuh proporsi air limbah tidak diolah, dan
meningkatkan daur ulang aman dan digunakan kembali oleh x% secara global

7) Memastikan akses ke energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan


dan modern bagi semua
a. Pada tahun 2030 menjamin akses universal terhadap layanan energi yang
terjangkau, handal, dan modern
b. Meningkat secara substansial pangsa energi terbarukan dalam bauran energi
global pada tahun 2030
c. Dua kali lipat tingkat global perbaikan dalam efisiensi energi pada 2030

8) Mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan inklusif,


kesempatan kerja yang penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak bagi
semua.
a. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi per kapita sesuai dengan kondisi
nasional, dan khususnya 7% per tahun pertumbuhan PDB di negara-negara
tidak berkembang
b. Mencapai tingkat yang lebih tinggi dari produktivitas ekonomi melalui
diversifikasi, peningkatan teknologi dan inovasi, termasuk melalui fokus pada
nilai tambah tinggi dan sektor padat karya
c. Mempromosikan kebijakan pembangunan yang berorientasi yang mendukung
kegiatan produktif, penciptaan lapangan kerja yang layak, kewirausahaan,
kreativitas dan inovasi, dan mendorong formalisasi dan pertumbuhan usaha
mikro, kecil dan menengah termasuk melalui akses ke layanan keuangan

9) Membangun infrastruktur yang tangguh, menggalakkan industrialisasi yang


berkelanjutan dan inklusif dan mengembangkan inovasi
a. Mengembangkan kualitas, infrastruktur yang handal, berkelanjutan dan
tangguh, termasuk infrastruktur regional dan trans-perbatasan, untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia, dengan fokus
pada akses terjangkau dan merata bagi semua
b. Mempromosikan inklusif dan industrialisasi berkelanjutan, dan pada tahun
2030 kenaikan signifikan pangsa industri pekerjaan dan PDB sesuai dengan
keadaan nasional, dan dua kali lipat sahamnya di LDCs
c. Meningkatkan akses skala kecil perusahaan industri dan lainnya, terutama di
negara-negara berkembang, untuk jasa keuangan termasuk kredit terjangkau
dan integrasi mereka ke dalam rantai nilai dan pasar

10) Mengurangi ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara


a. Pada tahun 2030 semakin mencapai dan mempertahankan pertumbuhan
pendapatan dari bagian bawah 40% dari populasi pada tingkat lebih tinggi dari
rata-rata nasional
b. Pada tahun 2030 memberdayakan dan mempromosikan sosial, mic ekonom
dan inklusi politik semua terlepas dari usia, jenis kelamin, cacat, ras, etnis,
asal, agama atau status ekonomi atau lainnya
c. Memastikan kesempatan yang sama dan mengurangi kesenjangan dari hasil,
termasuk melalui menghilangkan hukum yang diskriminatif, kebijakan dan
praktik dan mempromosikan undang-undang, kebijakan dan tindakan yang
tepat dalam hal ini

11) Membuat kota dan permukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh dan
berkelanjutan

a. Pada tahun 2030, memastikan adanya akses bagi semua untuk memadai,
aman dan perumahan yang terjangkau dan layanan dasar, dan peningkatan
kawasan kumuh
b. Pada tahun 2030, memberikan akses yang aman, terjangkau, dapat diakses
dan sistem transportasi yang berkelanjutan untuk semua, meningkatkan
keamanan berkendara, terutama dengan memperluas transportasi umum,
dengan perhatian khusus pada kebutuhan mereka yang rentan pada kondisi
ini, wanita, anak-anak, penyandang cacat dan orang tua
c. Pada tahun 2030 meningkatkan yang inklusif dan urbanisasi
berkesinambungan dan kapasitas untuk partisipatif, terpadu dan perencanaan
pemukiman manusia yang berkelanjutan dan manajemen di semua negara

12) Memastikan pola konsumsi dan produksi yang keberlanjutan


a. Melaksanakan Kerangka 10-Tahun Program konsumsi berkelanjutan dan
produksi (10YFP), semua negara mengambil tindakan, dengan negara-
negara maju memimpin, dengan mempertimbangkan pengembangan dan
kemampuan negara-negara berkembang
b. Pada tahun 2030 mencapai pengelolaan yang berkelanjutan dan efisiensi
penggunaan sumber daya alam
c. Pada tahun 2030 membagi dua kapita limbah pangan global setiap di tingkat
kemudian ritel dan konsumen, dan mengurangi kerugian makanan bersama
rantai produksi dan pasokan termasuk kerugian pasca panen

13) Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampak
dampaknya
a. Memperkuat ketahanan dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya iklim terkait
dan bencana alam di semua negara
b. Mengintegrasikan langkah-langkah perubahan iklim ke dalam kebijakan
nasional, strategi, dan perencanaan
c. Meningkatkan pendidikan, peningkatan kesadaran dan manusia dan
kapasitas kelembagaan pada mitigasi perubahan iklim, adaptasi,
pengurangan dampak, dan peringatan dini

14) Menghemat dan menjaga kesinambungan dalam menggunakan samudera, laut


dan sumber daya untuk pembangunan yang berkelanjutan
a. Pada tahun 2025, mencegah dan secara signifikan mengurangi pencemaran
laut dari semua jenis, terutama dari kegiatan berbasis lahan, termasuk
sampah laut dan polusi nutrisi
b. Pada tahun 2020, pengelolaan berkelanjutan dan melindungi ekosistem laut
dan pesisir untuk menghindari dampak merugikan yang signifikan, termasuk
dengan memperkuat ketahanan mereka, dan mengambil tindakan untuk
memulihkan kondisinya, untuk mencapai lautan yang sehat dan produktif
c. Meminimalkan dan mengatasi dampak pengasaman laut, termasuk melalui
kerjasama ilmiah ditingkatkan di semua tingkatan

15) Melindungi, memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan


ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi,
dan menghentikan degradasi tanah cadangan serta menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati
a. Pada tahun 2020 memastikan konservasi, restorasi dan pemanfaatan
berkelanjutan ekosistem air tawar dan darat pedalaman dan layanan mereka,
di hutan-hutan tertentu, lahan basah-, pegunungan dan lahan kering, sejalan
dengan kewajiban berdasarkan perjanjian internasional
b. Pada tahun 2020, mempromosikan penerapan manajemen berkelanjutan dari
semua jenis hutan, menghentikan deforestasi, memulihkan hutan yang rusak,
dan meningkatkan penghijauan dan reboisasi oleh x% secara global
c. Pada tahun 2020, penggurunan tempur, dan mengembalikan lahan rusak dan
tanah, termasuk tanah yang terkena penggurunan, kekeringan dan banjir, dan
berusaha untuk mencapai dunia tanah-degradasi netral

16) Mendorong kehidupan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua, dan
membangun institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan
a. Signifikan mengurangi segala bentuk kekerasan dan tingkat kematian yang
terkait di mana-mana
b. Mengakhiri penyalahgunaan, eksploitasi, perdagangan dan segala bentuk
kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak
c. Mempromosikan aturan hukum di tingkat nasional dan internasional, dan
menjamin akses yang sama terhadap keadilan bagi semua

17) Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk


pembangunan berkelanjutan (UNCG, 2015)
a. Memperkuat mobilisasi sumber daya dalam negeri, termasuk melalui
dukungan internasional untuk negara-negara berkembang untuk
meningkatkan kapasitas dalam negeri untuk pajak dan pengumpulan
pendapatan lainnya
b. Negara maju untuk melaksanakan sepenuhnya komitmen ODA mereka,
termasuk untuk menyediakan 0,7% dari GNI di ODA ke negara-negara
berkembang yang 0,15-0,20% untuk setidaknya-negara maju
c. Memobilisasi sumber daya keuangan tambahan untuk negara-negara
berkembang dari berbagai sumber (International social science council,
2015).

Dalam kaitan dengan hubungan antara MDGs dan SDGs, maka dikaji lebih
jauh perbandingan antara kedua tujuan pembangunan tersebut seperti pada Tabel 8.1.
Tabel 8.1: Perbandingan MDGs dan SDGs
No MDGs SDGs

1 Menanggulangi kemiskinan 1. Menghapus kemiskinan dalam segala


dan kelaparan bentuknya di manapun
2 Mencapai pendidikan dasar 2. Mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan
untuk semua pangan dan perbaikan gizi, dan memajukan
pertanian berkelanjutan
3 Mendorong kesetaraan 3. Memastikan hidup yang sehat dan
gender dan pemberdayaan memajukan kesejahteraan bagi semua orang
perempuan di semua usia
4 Menurunkan angka 4. Memastikan kualitas pendidikan yang
kematian anak inklusif dan adil serta mempromosikan
kesempatan belajar seumur hidup bagi semua
5 Meningkatkan kesehatan ibu 5. Mencapai kesetaraan gender dan
memberdayakan semua perempuan dan anak
perempuan
6 Memerangi HIV/AIDS, 6. Memastikan ketersediaan dan pengelolaan
malaria, dan penyakit air dan sanitasi bagi yang berkelanjutan bagi
menular lainnya semua
7 Memastikan kelestarian 7. Memastikan akses ke energi yang
lingkungan hidup terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan
dan modern bagi semua
8 Mengembangkan kemitraan 8. Mempromosikan pertumbuhan ekonomi
global untuk pembangunan yang berkelanjutan, dan inklusif, kesempatan
kerja yang penuh dan produktif serta
pekerjaan yang layak bagi semua.
9. Membangun infrastruktur yang tangguh,
menggalakkan industrialisasi yang
berkelanjutan dan inklusif dan
mengembangkan inovasi
10. Mengurangi ketimpangan di dalam dan di
antara negara-negara
11. Membuat kota dan permukiman manusia
menjadi inklusif, aman, tangguh dan
berkelanjutan
12. Memastikan pola konsumsi dan produksi
yang keberlanjutan
13. Mengambil tindakan segera untuk
memerangi perubahan iklim dan
dampakdampaknya
14. Menghemat dan menjaga kesinambungan
dalam menggunakan samudera, laut dan
sumber daya untuk pembangunan yang
berkelanjutan
15. Melindungi, memulihkan dan
meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan
ekosistem darat, mengelola hutan secara
berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan
menghentikan degradasi tanah cadangan
serta menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati
16. Mendorong kehidupan masyarakat yang
damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses terhadap
keadilan bagi semua, dan membangun
institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif
di semua tingkatan
17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan
merevitalisasi kemitraan global untuk
pembangunan berkelanjutan

Jika dianalisis lebih jauh, maka kita bisa lihat persamaan dan perbedaan antara
MDGs dan SDGs, yaitu:
a. Kemiskinan dan kelaparan. Menanggulangi masalah kemiskinan dan kelaparan
menjadi penekanan pada poin 1 dan 2 dari SDGs bahkan menghapus kemiskinan
dalam segala bentuknya di manapun baik kemiskinan strukural maupun
kemiskinan kultural bahkan kemiskinan rasional. Yang dimaksudkan kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang terjadi disebabkan karena kebijakan-kebijakan
pemerintah yang yang tidak berpihak pada rakyat. Kemiskinan struktural ini
bukan karena kemalasan si miskin atau etos kerja yang rendah, tetapi karena
sistem sosial, politik dan ekonomi negara yang menyebabkan satu atau banyak
kelompok termarginalkan. Seseorang bisa menjadi miskin karena aspek politik
misalnya tidak ada budaya demokrasi yang mengakar di masyarakat, keputusan
politik yang sangat dipengaruhi oleh keputusan dan kepentingan politik luar
negeri dan lemahnya kontrol langsung dari rakyat terhadap birokrasi. Misalnya
jika negara-negara pendonor hanya memberikan perhatian pada kelompok negara
tertentu saja, maka kemiskinan dapat terjadi dan masalah kesehatan bisa semakin
meluas di wilayah tersebut. Dari aspek ekonomi seseorang dapat menjadi miskin
karena kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi dan rendahnya
akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
Selain itu seseorang juga menjadi miskin karena aspek sosial budaya misalnya
hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat, hancurnya
kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial dan
lemahnya kelembagaan yang ada.
Kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural ini terjadi sebagai akibat dari adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, misalnya malas
bekerja, pasrah dan mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja
yang tinggi, atau karena ada sebab lainnya. Kemiskinan cultural ini memiliki cirri
masyarakat yang enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga
utama, sikap apatis, selalu curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Terakhir
adalah kemiskinan rasional. Kemiskinan yang terjadi karena keterbatasan
kualitas maupun kuantitas SDA dan SDM, tidak adanya/ hilangnya sumber daya
alam yang menguntungkan dan kurangnya keahlian dan kualitas sumber daya
manusianya mau tidak mau menjadi penyebab terjadinya kemiskinan rasional.
Selain itu pula bisa diakibatkan oleh musibah, bencana alam dan bencana-
bencana lainnya.
SDGs ini bertanggung jawab tidak hanya pada bentuk kemiskinan tetapi juga
kemiskinan pada konteks wilayah dan kelompok. Negara-negara yang ikut
menyepakati SDGs ini member komitmen untuk bertanggung jawab pada
masalah kemiskinan ini dimana pun terjadi, pada kelompok manapun dan pada
warna kulit apapun.
Poin ke-2 dari SDGs itu adalah mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan
pangan dan perbaikan gizi, dan memajukan pertanian berkelanjutan. Poin 2 ini
lebih menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab untuk mengakhiri
kelaparan, menjamin ketersediaan dan keamanan pangan dan memajukan
pertanian yang berkelanjutan sebagai sektor yang bertanggung jawab secara
langsung. Tidak hanya memajukan pertanian tetapi juga harus mampu menjamin
keberlanjutannya dalam aspek ketersediaan, distribusi dan frekuensinya.

Poin 1 dan 2 dari SDGs terdapat keterkaitan dengan poin 3, yaitu diharapkan
dengan terpenuhinya masalah tersebut dapat memastikan hidup yang sehat dan
memajukan kesejahteraan bagi semua orang di semua usia. Semua orang dalam
pengertian tidak ada perbedaan antara kulit hitam dan kulit putih, orang Asia dan
Eropa dan pada semua kelompok usia yaitu tanpa melihat perbedaan hanya pada
kelompok-kelompok produktif saja dan mengabaikan kelompok balita atau usia
lanjut.

Selain itu poin penting dari SDGs yang juga berkaitan dengan aspek pemenuhan
terhadap masalah kemiskinan dan kelaparan adalah upaya memastikan pola
konsumsi dan produksi yang keberlanjutan. Aspek yang berkaitan dengan
peningkatan status gizi menjadi sangat penting disini.

b. Pendidikan dasar untuk semua (education for all). Memastikan kualitas


pendidikan yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar
seumur hidup bagi semua. Kesempatan pendidikan harus memberikan ruang
seluas-luasnya kepada semua negara, semua kelompok tanpa perbedaan jenis
kelamin dan kesempurnaan fisik/kecacatan. Australia, menurut penulis adalah
salah satu negara yang memberikan jaminan pendidikan kepada semua termasuk
orang cacat. Sebagai contoh, Australia memberikan beasiswa kepada putra
terbaik Indonesia meskipun cacat. Karena si anak tersebut cacat maka orang
tuanya pun diberikan beasiswa untuk mendampingi anaknya selama pendidikan
di Australia. Karena anak tersebut cacat, maka orang Australia memfasilitasi
kursi roda yang memungkinkan anak ini dengan mudah ke kampus tanpa harus
didampingi oleh orang tuanya. Kamar tempat tidur disetting bagi orang cacat,
pintu masuk keluar kamar disetting untuk orang cacat, jalanan menuju kampus
disetting untuk orang cacat, kendaraan bus disetting untuk orang cacat dan
bahkan penyeberangan jalan raya disetting untuk orang cacat. Australai tentu
dapat menjadi role model pendidikan untuk semua termasuk bagi orang cacat.
Negara-negara maju lainnya dapat berperan aktif untuk mendorong dan memberi
kesempatan kepada negara-negara terbelakang lainnya sehingga mereka memiliki
akses dan kualitas pendidikan yang lebih baik dan ini sangat relevan dengan poin
4 SDGs.

Poin 10 di MDGs sesungguhnya telah disebutkan dengan jelas bahwa salah satu
aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan global yang berkelanjutan
adalah mengurangi ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara, termasuk
di dalamnya adalah ketimpangan yang berkaitan dengan pendidikan.
Ketimpangan pendidikan dalam negara tersebut atau ketimpangan yang terjadi
diantara negara-negara yang ada. Artinya bahwa semua negara harus mampu
menjamin rakyatnya untuk memiliki akses pendidikan yang sama dan negara
maju harus mampu member support kepada negara-negara berkembang untuk
dapat berdiri sejajar dengan negara-negara lain yang sudah maju.

c. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Hal ini juga telah menjadi
poin penting dari MDGs namun perbedaanya adalah bahwa di SDGs
memberikan penekanan pada upaya untuk mencapai kesetaraan gender dan
memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Terdapat 3 kata kunci
dari poin ini yaitu: kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan
pemberdayaan anak perempuan. Tidak hanya perempuan yang diberdayakan
tetapi juga termasuk anak-anaknya harus diberdayakan dan dipersiapkan dalam
hal kesempatan mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan, kesehatan,
jumlah anak yang dilahirkan, jarak kelahiran dan pemilihan jenis KB yang
digunakan.

d. Menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu dan memerangi


HIV/AIDS, Malaria, dan penyakit menular lainnya. Meskipun pada SDGs poin
ini telah dicover yaitu berkaitan dengan upaya memastikan hidup yang sehat dan
memajukan kesejahteraan bagi semua orang di semua usia, tetapi di MDGs
dimensi-dimensi utama yang perlu mendapat perhatian justru dibahasakan lebih
kuat daripada SDGs. Perhatian dunia dan Indonesia pada khususnya berkaitan
dengan kematian ibu dan anak serta masalah HIV/AIDS, Tuberkulosis dan
Malaria masih merupakan masalah besar dan ini perlu menjadi agenda utama
pemerintah. Angka kematian ibu dan anak bukan hanya tugas dari kementerian
kesehatan tetapi semua sektor dan disiplin yang berkaitan dan bersentuhan
dengan kematian ibu dan anak. Karena itu upaya menurunkan angka kematian
ibu dan anak adalah tugas bagi kita semua. Selain itu, juga masalah HIV/AIDS
dan penyakit lainnya, pemerintah dan negara-negara donor harus tetap
memberikan perhatian pada negara-negara Asia dan Afrika yang merupakan
kontributor terbesar dari masalah ini. Apalagi kasus yang muncul dipermukaan
hanya sebagian kecil dari jumlah kasus sesungguhnya.

e. Kelestarian lingkungan hidup. Di MDGs dimensi ini dibahasakan secara umum


namun pada SDGs lebih diurai lebih jauh menjadi misalnya pada point 6 SDGs
memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi bagi yang
berkelanjutan bagi semua dan poin 7 berkaitan dengan upaya memastikan akses
ke energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan dan modern bagi
semua. Aspek ini dapat dikategorikan sebagai bagian yang mendukung daripada
kelestarian lingkungan hidup.

Selain poin di atas beberapa poin lain yang dipandang berdimensi dengan upaya
menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah poin 13, 14 dan 15. Poin 13
menekankan pada upaya mengambil tindakan segera untuk memerangi
perubahan iklim dan dampaknya, poin 14 mendukung upaya menghemat dan
menjaga kesinambungan dalam menggunakan samudera, laut dan sumber daya
untuk pembangunan yang berkelanjutan dan poin 15 yaitu melindungi,
memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem darat,
mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan
menghentikan degradasi tanah cadangan serta menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati.

f. Kemitraan. Di SDGs pembangunan kemitraan dibahasakan pada poin 17 yaitu


upaya memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk
pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu baik pada MDGs maupun SDGs
mengakui pentingnya bermitra dan membangun kerjasama dengan pemerintah,
swasta dan masyarakat internasional. Poin ini pula menunjukkan bahwa
menjamin pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai jika semua aspek
terlibat dan mengakui pula bahwa kita tidak bisa survive hanya dengan tangan
kita sendiri saja.

8.5 Prinsip-Prinsip SDGs


Prinsip-Prinsip SDGs Berdasarkan Outcome Document 20 tahun KTT Bumi (Rio
Earth Summit) 1992 adalah sebagai berikut:
a. Tidak melemahkan komitmen internasional terhadap pencapaian MDGs pada
tahun 2015. Artinya agenda-agenda MDGs yang belum terselesaikan seharusnya
menjadi komitmen bagi semua negara di dunia untuk menyelesaikannya sehingga
tidak ada lagi negara yang maju dan bebas dari keterbelakangan pendidikan dan
berbagai masalah kesehatan yang ada sementara lainnya mereka harus berjuang
untuk bebas dari kebodohan, keterbelakangan dan kesakitan.

b. Berdasarkan Agenda 21, Johannesburg Plan of Implementation dan Rio


Principles, serta mempertimbangkan perbedaan kondisi, kapasitas dan prioritas
nasional. Artinya bahwa untuk menjalankan SDGs ini harus didasarkan pada
kondisi lingkungan, sosial budaya dan bahkan politik yang ada dari suatu Negara.
Demikian pula kapasitas yang dimilikinya dan prioritas yang ada pada Negara
tersebut. Negara maju yang mungkin tidak memiliki masalah penyakit-penyakit
menular misalnya HIV/AIDS, Malaria dan Tuberkulosis tentu saja mereka tidak
akan menempatkan masalah tersebut sebagai masalah prioritas. Namun pada
negara-negara seperti Indonesia, India dan China bisa jadi penyakit tersebut
menjadi masalah yang cukup mendesak untuk diselesaikan.

c. Fokus pada pencapaian ketiga dimensi pembangunan berkelanjutan secara


berimbang. Artinya pembangunan berkelanjutan tersebut harus berjalan secara
sinergi pada ketiga aspek tersebut yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Sebuah negara tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja
sementara mengabaikan aspek lain misalnya pembangunan sosial dan
lingkungan.

d. Koheren dan terintegrasi dengan agenda pembangunan pasca 2015 (Kementerian


Luar Negeri, 2014). Artinya pembangunan yang dicapai hari ini harus menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari agenda pasca 2015.

8.6 Politik Global SDGs


Beberapa catatan politik yang berkaitan dengan pencapaian SDGs:
a. Politik menyangkut hubungan kekuasaan dan pengaruh. Kekuasaan berkaitan
dengan kewenangan yang diperoleh oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut berdasarkan kewenangan yang diberikan.
Kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi batas kewenangan yang diberikan
(Budiardjo, 2002). Secara umum, kekuasaan dapat berupa kekuasaan individu,
jabatan atau golongan. Terdapat keterkaitan antara kekuasaan dan pengaruh yaitu
dimana bahwa kekuasaan tidak lain kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain
menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan adalah
kemampuan mempengaruhi perilaku. Dalam kaitan dengan strategi pencapaian
target SDGs, negara-negara di dunia harus memiliki komitmen yang kuat untuk
mempengaruhi pengambil kebijakan dalam negaranya maupun antar negara.
Dengan begitu 17 aspek yang tercantum dalam SDGs dapat dicapai. Secara
umum, dalam konteks global organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memiliki tanggung jawab besar di dalam mendorong sumber daya dan kapasitas
yang dimilikinya terhadap pencapaian SDGs tersebut. Melalui PBB negara-negara
maju dapat membantu negara-negara berkembang dalam mewujudkan SDGs.
Target SDGs yang berkaitan dengan bidang kesehatan yaitu dapat dicapai melalui
penguatan organisasi kesehatan sedunia pada masing-masing region, misalnya
WHO Afrika yang berkedudukan di Kongo, WHO Amerika berkedudukan di
Washington, DC, WHO Asia Tenggara berkedudukan di India, WHO Eropa
berkedudukan di Denmark, WHO Western Pacifik berkedudukan di Phillipina
dan WHO Timur Tengah berkedudukan di Kairo, Mesir. Rumpun Negara-negara
ini memiliki tanggung jawab besar dalam pencapaian SDGs.

Negara-negara yang serumpun dengan Indonesia dalam WHO Asia Tenggara


adalah Bangladesh, Buthan, Democratic People’s Republic of Korea, India,
Maldive, Myanmar, Nepal, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste. Negara-negara
yang berada dalam rumpun ini bertanggung jawab satu untuk saling membantu
satu dengan yang lain. Fungsi WHO bagi anggotanya dalam bidang kesehatan
secara umum adalah menyiapkan kepemimpinan terhadap masalah kesehatan
yang vital dan membangun partnership; membentuk agenda penelitian dan
menstimulasi generasi, translasi, dan desiminasi pengetahuan; membentuk norma
dan standar an mempromosikan dan memonitoring pelaksanaanya; mengartikulasi
pilihan-pilihan kebijakan berbasis bukti dan etis; menyiapkan dukungan teknis,
mengkatalisasi perubahan, dan membangun kapasitas institusi yang
berkelanjutan; dan melakukan monitoring terhadap situasi kesehatan dan
melakukan penilaian trend kesehatan. Tentu saja kesemua ini mendukung upaya
pencapaian dari target SDGs ini.

Selain organisasi sedunia atau organisasi kesehatan sedunia, terdapat beberapa


donor agency yang sesungguhnya juga dapat berperan aktif dalam pencapaian
tujuan SDGs tersebut misalnya USAID, AusAID, JICA, CIDA, Asia
Development Bank, United Nations Foundation, Global Fund for Children,
Global Fund for Women, dan Oxfam International. Tugas dan tanggung jawab
dari negara-negara pendonor adalah adalah memberikan bantuan kepada begara-
negara yang membutuhkan terutama mereka yang berada pada sebagian negara-
negara Asia dan Afrika.

Pada level negara, setiap kementerian dapat menyusun strategi dan penganggaran
untuk pencapaian SDGs tersebut. Dalam konteks program perencanaan dan
keuangan, maka tentu Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian
Kesehatan adalah badan atau kementerian yang paling bertanggung jawab secara
langsung berkaitan dengan sektor kesehatan. Mereka semua yang telah
disebutkan ini memiliki kekuasaan dan pengaruh besar dalam mendorong dan
mengakselerasi target SDGs. Namun sebaliknya, jika semua pemangku dan
pemegang kekuasaan ini tidak memiliki komitmen yang kuat, maka tentu saja
dapat dipastikan bahwa 17 agenda penting dari SDGs, nampaknya bisa sulit untuk
dicapai sesuai dengan target yang ditetapkan.
b. Otoritas politik harus benar-benar mau mengalokasikan sumber daya, menuntut
pengorbanan dan menerima perubahan. SDGs dapat dicapai ketika negara dan
masyarakat global mau terbuka terhadap pengalokasian sumber daya manusia dan
sumber daya finansial. Negara maju mau mensharing sumber daya yang
dimilikinya dan negara berkembang mau belajar atas ketertinggalan yang ada.
Mengembangkan pelatihan dan melakukan studi banding atau benchmarking bagi
negara yang sukses terhadap indikator-indikator SDGs tersebut juga adalah
sesuatu yang perlu diperkuat.

c. Pemimpin politik mana yang berubah? SDGs dapat dicapai jika pelaksana negara
mau berubah dan memiliki visi masa depan yang kuat dan konsisten untuk
menjalankannya. Para pemimpin politik yang kuat selalu menentang status quo
dan cinta terhadap perubahan yang mengarah kepada yang lebih baik. Change,
change and change. Perlu pengorbanan dan keinginan untuk menerima perubahan.

8.7 Diskusi dan Penugasan


Beberapa pertanyaan yang dapat dikembangkan dan didiskusikan lebih jauh adalah
sebagai berikut:
a. Identifikasi berbagai masalah yang ada dalam MDGs yang termasuk agenda yang
belum terselesaikan (unfinished agenda) dan apa solusi Anda?

b. Bagaimana Anda yakin bahwa target SDGs dapat dicapai?

c. Dari 17 dimensi SDGs, ambil satu diantaranya sebagai masalah prioritas, berikan
alasan disertai data dan fakta dan susun langkah-langkah strategis untuk
memecahkan masalah tersebut!

8.8 Penutup dan Rekomendasi

a. Integrasi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan adalah esensi dari Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.

b. Terdapat persamaan dan perbedaan pada MDGs dan SDGs terutama pada
penekanan pada dimensi atau aspek dari MDGs dan SDGs tersebut.

c. Agenda-agenda MDGs yang belum terselesaikan seharusnya menjadi agenda


prioritas di SDGs dan para pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab
bersama pada semua level dan profesi untuk mencapainya
d. SDGs adalah politik global yang berkaitan dengan kekuasaan dan pengaruh,
maka untuk mencapainya diperlukan dukungan politik terutama yang berkaitan
dengan pendanaan, SDM dan sharing pengalaman dan faktor-faktor sukses.

References
Budiardjo, M. (2002). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Drexhage, J., & Murphy, D. (2010). Sustainable Development: From Brundtland to
Rio 2012, prepared for consideration by the High Level Panel on Global
Sustainability at its first meeting, 19 September 2010 New York: United
Nations Headquarters.
International social science council. (2015). Sustainable Development Goals and
Targets. Paris: International Council for Science (ICSU).
Kementerian Luar Negeri. (2014). Proses Pembahasan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Tingkat Global.
Jakarta: Kementrian Luar Negeri.
Osborn, D., Cutter, A., & Ullah, F. (2015). UNIVERSAL SUSTAINABLE
DEVELOPMENT GOALS: Understanding the Transformational Challenge
for Developed Countries: Stakeholder Forum.
Rahman, A. B. (2012). Menuju Sustainable Development Goals (SDGs) di
Indonesia. Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
UNCG. (2015). Saatnya untuk Aksi Global Jakarta: United Nations Information
Centre.
PROFIL PENULIS

SUKRI PALUTTURI. Generasi ke-4 dari Napii Dg. Gassing


Karaeng Tanatoa I, lahir pada tanggal 29 Mei 1972 di
Tanatoa, kampung bersejarah dalam sistem kerajaan di
Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Jeneponto. Anak
kedua dari pasangan Palutturi Emba, A.Ma. dan Yangki.
Meskipun lahir dari sebuah pelosok desa, cita-cita dan
semangat untuk melanjutkan studi tak kalah dengan mereka
yang tinggal di daerah perkotaan. Itu terbukti dengan jenjang
pendidikan yang dilaluinya. Tamat SDN No. 64 Tanatoa tahun
1986, SMP Negeri 2 Allu Tanatoa tahun 1989, SMA Negeri 9 Makassar tahun 1992.
Dimasa SMA, penulis tercatat sebagai salah satu siswa ungulan di sekolah tersebut.
Karena prestasi akademiknya dia bergabung di SMA Kelas Khusus yang dikelola
oleh BPG/LPMP tingkat Sulawesi Selatan. Pada tahun 1998 dan 2001 penulis
menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1 (SKM) dan Strata 2 (M.Kes.) di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Atas kerjasama pemerintah Indonesia
dan Australia, pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk mengambil
Program Master of Science in Public Health-Public Health Leadership (MSc.PH) di
Griffith University, Australia. Pada tahun 2013 penulis menyelesaikan Program
Philosophy of Doctor (PhD) pada universitas yang sama.
Penulis tidak hanya sukses dalam bidang akademik. Sejak mahasiswa, penulis pernah
menduduki jabatan strategis. Sebut saja, misalnya sebagai Ketua Umum Pengurus
Besar Himpunan Pelajar Mahasiswa Turatea (Hasil Musyawarah Luar Biasa) Periode
1998-2000, Ketua Umum Senat Mahasiswa FKM Unhas pada tahun 1996-1997,
Ketua Mushallah Al’Afiah FKM Unhas tahun 1994-1995 dan Anggota Maperwa
FKM Unhas tahun 1993-1994.
Penulis memulai karirnya di berbagai Non Government Organization dan aktif dalam
organisasi profesi misalnya sebagai Koordinator Divisi Penelitian, Yayasan Tumbuh
Mandiri Indonesia (2003-2005), Anggota Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah
(KPAD) Sulawesi Selatan (2002-2007), Koordinator Bidang Advokasi Persatuan
Sarjana Kesehatan Masyarakat (PERSAKMI) Sulawesi Selatan (2003-2008),
Koordinator Bidang Kesehatan Lembaga Informasi Pengembangan Kesehatan dan
Ekonomi Masyarakat (LIPKEM) (2001-2005), Koordinator HIV/AIDS FIK-ORNOP
Sulawesi Selatan (2000-2002) dan Koordinator Program HIV/AIDS PKBI Daerah
Sulawesi Selatan (1998-1999).
Penulis aktif menulis dan menghadiri conference, short course baik skala nasional
maupun internasional. Misalnya, Presenter on Global Trends in Academic Research,
Global Illuminators, Bandung 2015, Speaker on International Conference on
Environmental Risks and Public Health (ICER-PH), Makassar, 2015; Presenter on
Emerging Trends in Academic Research, Global Illuminators, Bali 2014;
Environmental Health and Disaster Management Short Course di Bali, 2013 in
conjunction with Udayana University, Indonesia; Griffith University, Australia and
CDC United States; Environmental Health and Disaster Management di Brisbane,
Australia 2012; Healthy Cities Short Course di Adelaide, Australia, 2012; Presenter
on the 5th Alliance for Healthy Cities Global Conference di Brisbane Australia, 2012;
Presenter on the 10th International Urban Health Conference di Brazil, 2011;
Presenter on the 4th International Healthy Cities Conference di Korea Selatan, 2010;
Health Promoting Settings Short Course (Modul B): Concept and Application in
Australia, 2009; Healthy City Development Training in Philipines, organized by
University of Phillipines, 2009.
Buku yang telah diterbitkan: Kesehatan itu Politik, diterbitkan oleh e-Media
Solusindo, Semarang ISBN: 978-979-16198-5-1 dan Public Health Leadership,
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta ISBN: 978-602-229-269-2. Saat ini
penulis memegang 3 mandat penting (Periode 2014-2018): sebagai Wakil Dekan III
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Bidang Kemahasiswaan,
Alumni dan Kerjasama, Ketua Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia
Provinsi Sulawesi Selatan dan Kepala Bidang Pengembangan Organisasi Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu
penulis adalah Pimpinan Jurnal Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Indonesia
(Journal of the Indonesian Health Policy and Administration) Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin. Penulis adalah dosen tetap Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin, Departemen Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan. Email: sukritanatoa72@gmail.com; Mobile: 08114453033.

Anda mungkin juga menyukai