Sebuah kondisi yang berbeda saat pertama kali penulis tiba di Kota Brisbane
Australia di awal tahun 2008 untuk melanjutkan bidang saya pada program Master of
Science in Public Health (MSc.PH) yang kemudian diakhir tahun 2009 berlanjut
mengambil program Doctor of Phylosophy (PhD) di Griffith University, suasana
akademik yang begitu berbeda di Indonesia. Ruang perpustakaan yang sangat
menarik dan didukung oleh fasilitas internet dan tersedianya berbagai referensi yang
dibutuhkan termasuk buku yang relevan dengan kajian politik kesehatan. Saya
menemukan beberapa buku yang menginspirasi lahirnya buku ini misalnya The
Politics of Health: The Australian Experience (1995), buku yang diedit oleh Healther
Gardner dan diterbitkan oleh Churcill Livingstone; The political economy of health,
buku yang ditulis oleh Doyal dan Pennell (1979), diterbitkan oleh Pluto Press di
London; . The politics of health in Europe, ditulis oleh Freeman (2000), diterbitkan
oleh University of Manchester Press, Manchester; Theory and methods in political
science, ditulis oleh Marsh dan Stoker (2002), diterbitkan oleh Palgrave Macmillan,
Basingstoke, UK; dan Toward the Healthy City: People, Places and the Politics of
Urban Planning, ditulis oleh Corburn (2009), diterbitkan oleh The MIT Press:
Cambridge, Massachusetts, London. Beberapa buku diantaranya relatif tua tetapi bagi
kami isi dari buku tersebut merupakan hal baru. Kesemua aspek ini menguatkan saya
untuk terus mencoba menulis sampai lahirnya buku ini di tangan pembaca.
Tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan bukan saja persoalan sakit, dokter,
tempat tidur dan obat. Determinan kesehatan sangat kompleks, masalah kesehatan
adalah masalah ekonomi, sosial budaya dan bahkan masalah kesehatan adalah
masalah politik. Mengapa kesehatan banyak berkaitan dengan masalah politik karena
kebijakan kesehatan yang lahir hingga hari ini baik berubah peraturan, program dan
penganggaran tidak lepas dari kekuasaan, perdebatan berbagai kepentingan politik,
dan persaingan, bahkan tidak sedikit keputusan kesehatan sangat ditentukan oleh
seorang bupati, walikota, gubernur dan presiden dan juga ketergantungan pada
ketukan palu sidang anggota dewan yang terhormat.
Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama membahas konsep, kompetensi dan
etika politik kesehatan. Bab ini menjelaskan tentang konsep dasar politik kesehatan:
sifat politik kesehatan, mengapa kesehatan menjadi isu politik dan bagaimana
kontribusi politik dalam bidang kesehatan. Kompetensi politik: keterampilan politik
dalam bidang kesehatan, keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan sosial,
jenis keterampilan sosial, dimensi keterampilan politik dan bagaimana membangun
keterampilan politik. Selain itu bagian ini pula menjelaskan etika politik kesehatan,
standar etika politik kesehatan, siapa yang menentukan etika atau tidak beretika
dalam bidang kesehatan. Bagian kedua membahas keterampilan dan implementasi
politik kesehatan. Bab ini meliputi komunikasi politik kesehatan, advokasi kesehatan
masyarakat, pemilu: kesehatan dan komitmen aktor politik, the politics of Healthy
Cities. Bagian terakhir dari Bab ini pula membahas secara khusus tentang Politik
Global: Dari MDGs ke SDGs, sebuah evaluasi MDGs berkaitan dengan pencapaian
khususnya yang berkaitan dengan bidang kesehatan dan strategi yang perlu dilakukan
pasca MDGs untuk memenuhi tantangan kesehatan tersebut.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
terbitnya buku ini. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak luput dari
kesalahan dan kekhilafan. Karena itu, penulis mengapresiasi atas segala saran dan
kritik yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan buku ini. Akhirnya semoga
karya ini dapat memberi manfaat kepada kita semua dalam pengembangan ilmu
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Iman, ilmu, amal padu mengabdi.
Sukri Palutturi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR KOTAK
PROFIL PENULIS
DAFTAR TABEL
The political basis of our health services is the view of health as a commodity, a
function of individuals rather than of societies; something to be valued, exchanged
(bought and sold in many societies), and in every way determined by the actions of
individuals (Scott-Samuel, 1979 dalam Bambra, Fox, and Scott-Samuel (2003), hal.
25
1.1 Pendahuluan
Masalah kesehatan tak dapat dipisahkan dari persoalan politik baik sebagai
individu dan warganegara, kelompok, organisasi maupun masyarakat. Bab ini
menjelaskan makna politik, kesehatan dan politik kesehatan; dan sifat politik
kesehatan. Bab ini juga menjelaskan pentingnya politik dalam kaitan dengan
persoalan kesehatan dan bukti-bukti keterlibatan politik dalam konteks kesehatan.
Si anak kemudian pergi ke tempat tidur sambil memikirkan apa yang dikatakan
ayahnya. Pada tengah malam, anak itu terbangun karena mendengar adik bayinya
menangis. Ia melihat adik bayinya mengompol. Lalu ia menuju kamar tidur orang
tuanya dan mendapatkan ibunya sedang tidur nyenyak. Karena tidak ingin
membangunkan ibunya, maka ia pergi ke kamar pembantu. Karena pintu terkunci,
maka ia kemudian mengintip melalui lubang kunci dan melihat ayahnya berada di
tempat tidur bersama pembantunya. Akhirnya ia menyerah dan kembali ke tempat
tidur, sambil berkata dalam hati bahwa ia sudah mengerti arti POLITIK.
Pagi harinya, sebelum berangkat ke sekolah ia mengerjakan tugas yang diberikan
oleh gurunya dan menulis pada buku tugasnya: ”Politik adalah hal dimana para
investor meniduri kelas pekerja, sedangkan pemerintah tertidur lelap, rakyat
diabaikan dan masa depan berada dalam kondisi yang menyedihkan”.
Tiga paragrap di atas memberi pandangan pada si anak dalam memahami arti
politik. Pandangan tersebut kelihatan lugu dan mungkin agak humoris dari apa yang
dipahaminya. Secara teori tentu saja pandangan tersebut tidaklah benar, akan tetapi
dalam kenyataan ketika kita bicara tentang politik akan sangat susah terbantahkan
kalau orang melihat dan mendefiniskannya seperti itu. Politik itu berdimensi ’kotor’,
’busuk’, ’jelek’, dan ’curang’ dan berbagai pandangan negatif lainnya.
Politik adalah organisasi masyarakat dan pembuatan keputusan kolektif
tentang sumber daya (Bambra, Smith, & Kennedy, 2008). Laswell (1936) dalam
Bambra et al. (2008) politik adalah siapa dapat apa, kapan dan bagaimana (who gets
what, when, how). Politik didefinisikan sebagai aktivitas pemerintah, para elit dan
agen pemerintah. Definisi ini lebih pada pendekatan top down politik yang secara
esensial memisahkan politik dari masyarakat. Politik digunakan untuk
menggambarkan power-structured relationship pada satu group dan kontrol pada
group yang lain. Definisi yang terakhir ini lebih bersifat bottom up dalam pengertian
bahwa setiap orang dapat terlibat dalam tindakan politik.
Beberapa pakar mendefinisikan politik dalam perspektif yang lebih luas
berdasarkan ideologi politik (Bambra et al., 2003; Heywood (2000); Marsh & Stoker,
2002), yaitu:
a. Politik sebagai pemerintahan (politics as government). Politik adalah
berhubungan dengan seni pemerintahan dan aktivitas sebuah negara. Ini
berhubungan dengan Behavioralists dan Institutionalist ilmu politik.
b. Politik sebagai kehidupan publik (politics as public life). Politik adalah
berhubungan dengan masalah urusan masyarakat. Cara pandang politik ini
berhubungan dengan teori pilihan rasional (Rational Choice Theory).
c. Politik sebagai resolusi konflik (politics as conflict resolution). Politik adalah
berhubungan dengan ungkapan dan resolusi konflik melalui kompromi,
konsiliasi, negosiasi, dan strategi lainnya. Ini berhubungan dengan para ahli
hubungan internasional (International Relations Theorists).
d. Politik sebagai kekuasaan (politics as power). Politik adalah proses melalui
outcome yang ingin dihasilkan, dicapai dalam produksi, distribusi dan
penggunaan sumber daya yang terbatas dalam semua area eksistensi sosial. Cara
pandang ini berhubungan dengan ilmu politik Feminist dan Marxist (Feminist
and Marxist political science).
Definsi politik dalam ilmu-ilmu politik juga dapat digambarkan seperti pada
Tabel 1.1 berdasarkan pandangan Behavioralism, Rational choice theory,
Institutionalism, Feminism, Anti-foundationalism dan Marxism (Bambra et al.,
2003).
Tabel 1.1: Definisi politik dalam ilmu-ilmu politik
Pandangan Definsi
1.3.3 Organisasi
Kesehatan masyarakat menurut Winslow (1920) didefiniskan sebagai ”The
science and art of preventing disease and prolonging life, and promoting physical and
mental health and efficiency, through organized community efforts...”. Definisi ini
menekankan bahka upaya terhadap pencegahan penyakit, memperpanjang usia
harapan hidup dan meningkatkan kesehatan hanya dapat dicapai melalui upaya
kesehatan masyarakat yang terorganisir bukan upaya kesehatan individu yang
terorganisir. Pengorganisasian masyarakat dihampir semua negara merupakan
peranan negara dan badan-badan pemerintah. Definisi ini menggarisbawahi bahwa
aspek sosial dan politik terhadap upaya peningkatan status kesehatan merupakan
sesuatu yang vital.
1.3.4 Kewarganegaraan
Terdapat tiga hak warga negara yaitu hak sipil, politik dan sosial (Bambra et
al., 2005). Tuntutan terhadap hak-hak sipil misalnya hak dalam beragama,
mengeluarkan pendapat dan melakukan kontrak atau perjanjian, muncul sekitar abad
18. Hak politik termasuk hak untuk dipilih atau menjadi wakil (representative)
terhadap lembaga pemerintah dan lembaga perwakilan misalnya anggota dewan,
muncul sekitar abad 19 sementara isue kesehatan dan pendidikan gratis juga termasuk
hak-hak ekonomi mulai banyak diperdebatkan pada abad 20. Kesehatan atau hak
terhadap standar hidup yang layak termasuk hak kewarganegaraan sosial yang sangat
penting (International Forum for the Defence of the Health of People, 2002). Hak-hak
kewarganegaraan ini diperoleh sebagai hasil dari perjuangan sosial dan politik selama
industrialisasi barat dan pengembangan kapitalisme. Karena itu isu kesehatan gratis
termasuk isu yang berkaitan dengaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebetulnya
telah menjadi perdebatan puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu. Sejarah
perkembangan kewarganegaraan yang dimodifikasi dari Marshall (1963) dalam
Bamra, et al. (2005) dapat dilihat pada Gambar 1.1
Hak-hak sosial:
Hak-hak politik:
Hak-hak sipil: Pendidikan dan
Hak untuk memilih kesehatan gratis,
Kebebasan dan dipilih pemeliharaan
beragama,
pendapatan
berpikir,
berpendapat dan
kontrak
Sosial
Politik
Sipil
1.3.5 Globalisasi
Arus informasi, barang, modal dan tenaga kerja bahkan masalah lingkungan
dalam lintas batas politik dan ekonomi telah terjadi dalam abad ini. Kompetisi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu bukti bahwa kelihatan
dunia terasa semakin sempit, persepsi tentang waktu telah berubah dan terdapat
interaksi global terhadap ide, budaya dan nilai-nilai, termasuk interaksi global dalam
bidang kesehatan. Kebakaran hutan di beberapa provinsi dan pulau di Indonesia telah
menjadi masalah global yang menuntut perhatian bersama secara global. Kebakaran
hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera menyebabkan negara-negara tetangga
”berteriak” dan bahkan sampai menawarkan diri untuk menyelesaikan masalah ini.
1.7 Penutup
Dari aspek sosial masalah kesehatan telah banyak diperdebatkan akan tetapi
pentingnya dimensi politik yang mempengaruhi kesehatan belum banyak dipelajari.
Menyadari pentingnya dimensi politik terhadap kesehatan, maka sebaiknya perguruan
tinggi kesehatan dan sekolah kesehatan (masyarakat) sebaiknya mengajarkan kepada
mahasiswa dan mereka yang tertarik dalam bidang ini. Kami percaya bahwa politik
kesehatan adalah sebuah bidang ilmu yang tidak kurang pentingnya dengan sosiologi
kedokteran dan ekonomi kesehatan pada satu sisi dan sosiologi politik dan psikologi
politik pada sisi yang lain.
References:
2.1 Pendahuluan
Isu kesehatan sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Untuk
mewujudkan kondisi kesehatan yang optimal, para professional kesehatan seharusnya
memiliki kompetensi atau keterampilan politik. Kompetensi politik sebagai bagian
dari kompetensi sosial harus dikembangkan dan diasah terus guna memperoleh
dukungan politik pemerintah dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat dan
faktor yang mempengaruhinya. Berbagai jenis keterampilan sosial yang
mempengaruhi keterampilan politik dan bagaimana membangun keterampilan
tersebut disajikan pada bagian ini.
a. Masalah kesehatan cukup kompleks baik dari sisi dampak maupun dari sisi
determinan. Dari sisi dampak masalah kesehatan berkaitan dengan angka kematian
dan angka kesakitan. Sementara dari sisi determinan dapat berupa lingkungan,
kebijakan, anggaran, sumber daya, perilaku, pelayanan kesehatan, pembiayaan
kesehatan atau pun dari aspek kependudukan. Dalam konteks politik semua aspek
ini harus dikomunikasikan kepada orang lain, kepada pemerintah dan pengambil
kebijakan, dikomunikasikan kepada kelompok atau pun masyarakat secara umum.
b. Terjadi perebutan kepentingan antar atau dalam bidang kesehatan sehingga perlu
ada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau departemen lain. Secara
internal orang-orang yang bergerak dibidang kesehatan mempunyai kepentingan
yang berbeda antara mereka yang bergerak dibidang lingkungan, gizi dan promosi
kesehatan. Demikian pula antara satu departemen dengan departemen lainnya.
Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kebersihan
dan Pertamanan masing-masing mempunyai bisnis berbeda yang kesemuanya
mencoba untuk mempengaruhi pejabat tingkat di atasnya untuk diakomodasi
sebagai sektor prioritas.
Keterampilan politik yang harus dimiliki oleh mereka yang bergerak dibidang
kesehatan adalah keterampilan komunikasi, memfasilitasi, melatih, mempengaruhi,
mengkoordinasi dan kerjasama dengan orang lain. Meskipun demikian, kemampuan
komunikasi tentang bagaimana menyampaikan pesan secara efektif, bagaimana
mempengaruhi orang lain dan kerjasama dengan orang lain menjadi hal yang krusial
dan tidak mudah untuk dilakukan. Nampaknya mudah untuk diungkapkan tetapi
relatif sulit untuk diimplementasikan. Orang yang memiliki kemampuan politik yang
tinggi mampu mengekspresikan diri secara alamiah dan dapat memanfaatkan
berbagai sarana komunikasi. Mereka yang memiliki kemampuan dan skill politik
yang tinggi memberi kesempatan kepada orang lain untuk menciptakan sinergitas
diantara berbagai praktek perilaku untuk menetapkan sebuah dinamika interpersonal.
Oleh karenanya, skill politik bukan merupakan sifat atau skill tunggal tetapi
merupakan gabungan dari berbagai skill lainnya.
a. Kecerdasan sosial
Kecerdasan sosial mengacu pada kemampuan untuk memahami dan mengelola
orang. Konsep ini lahir dan mengingatkan pada upaya untuk memperluas pandangan
kita tentang kecerdasan diluar IQ. Dimana terdapat kecerdasan-kecerdasan lain yang
tidak kalah hebatnya daripada IQ tersebut. Terdapat gagasan bahwa ada lebih dari satu
cara selain IQ itu sendiri untuk keberhasilan dalam aspek kehidupan yang cenderung
melampaui konteks pembelajaran di kelas. Kami berpendapat bahwa kecerdasan sosial
memainkan peran yang sangat dominan dalam keterampilan politik. Banyak fakta-
fakta di masyarakat kita orang yang kelihatannya mempunyai kemampuan akademik
yang biasa-biasa saja tetapi mereka berhasil di tengah-tengah masyarakat memimpin
partai politik, organisasi daerah, bahkan posisi bupati/walikota, gubernur dan presiden.
Keterampilan politiknya lebih spesifik untuk lingkungan kerja dan berkaitan dengan
pemahaman dan mengelola orang dalam pekerjaan atau pengaturan organisasi. Orang
yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi memiliki kemampuan di dalam
memahami dan mengelola orang lain.
b. Kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk memonitor sendiri
perasaan dan emosi orang lain. Secara spesifik, kecerdasan emosional dapat dilihat
sebagai upaya melibatkan kemampuan dalam mengendalikan dorongan dan menunda
kepuasan, untuk mengatur suasana hati seseorang, dan mampu berempati. Mereka
yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, memiliki kemampuan menunda
kepuasaan sendiri, mampu memberi rasa puas kepada orang lain, dan mampu
mengontrol dirinya sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi
juga memiliki rasa empathi kepada orang lain, mereka dengan cepat merespon
bagaimana perasaan orang lain dan bahkan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Ketika seseorang menderita sakit berkepanjangan, mengalami musibah
kemiskinan dan kelaparan, maka mereka yang mempunyai kecerdasan emosional yang
tinggi, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bahkan dengan empati ini,
mereka bisa memberikan bantuan dan ikut memecahkan masalah terhadap apa yang
dihadapi oleh orang lain. Oleh karena itu, mengontrol dan mengatur emosi merupakan
bagian penting dari keterampilan sosial disamping aspek penting lainnya misalnya
membangun dan memanfaatkan modal sosial.
c. Ketahanan ego
Ketahanan ego adalah bentuk keterampilan sosial yang secara fundamental
memberikan kontribusi untuk adaptasi lingkungan yang efektif melalui kemampuan
untuk mengatur perilaku sendiri terhadap tuntutan lingkungan yang berbeda dan
terus berubah. Konsep ini meliputi komponen emotional self regulation, adaptive
impulse control, social intelligence and sense of self-efficacy. Kemampuan untuk
beradaptasi dengan baik terhadap situasi sosial yang berbeda dipandang
berkontribusi terhadap keterampilan politik.
Kecerdasan
sosial Kecerdasan
Pengetahuan
emosional
tacit dan
kecerdasan
praktis Keterampilan
politik
Ketahanan
Pemantauan ego
diri sendiri
Self-efficacy
sosial
Test 16 PF terdiri dari 16 faktor diungkap secara mandiri (Cattell & Mead, 2008;
Hertinjung, Susilowati, & Wardhani, 2012), yaitu :
1. Warmth (Kehangatan)
2. Reasoning (Pemikiran/Penalaran)
3. Emotional stability (Stabilitas emosional)
4. Dominance (Dominasi)
5. Liveliness (Keaktifan)
6. Rule-Consciousness (Kesadaran peraturan)
7. Social Boldness (Keberanian sosial )
8. Sensitive (Sensitif)
9. Vigilance (Kewaspadaan)
10. Abstractedness (Imajinasi)
11. Privateness (Privasi)
12. Apprehension (Penangkapan)
13. Opennes to Change (Keterbukaan untuk berubah)
14. Self-Reliance (Kemandirian)
15. Perfectionism (Perfeksionisme)
16. Tension (Ketegangan)
Extraversion – Introversion
Fokus pada tindakan dunia luar, benda dan orang-orang, dan menarik energi dari
kontak orang. Sementara tipe orang yang introversi adalah fokus pada dunia internal,
lebih memilih untuk mencerminkan dan perlu waktu untuk membangun kembali
energi "tenang-pengisian".
Sensing – Intuition
Sensing (penginderaan) adalah percaya pada informasi yang ada, melihat secara detil
dan fakta, bersandar terhadap yang dapat dilihat (tangible) dan dapat meminimalkan
pentingnya yang tak berwujud (intangible). Intuition (intuisi) adalah percaya
informasi yang abstrak/teoritis, mencari pola/keterkaitan, melihat bagaimana data
berhubungan dengan teori dan tidak mengabaikan indera tetapi juga dapat
memperhatikan "firasat".
Thinking – Feeling
Thingking (berpikir) yaitu upaya untuk melihat hal-hal dengan menggunakan logika
atau prinsip; mengatur, meringkas atau mengkategorikan informasi; bersandar
terhadap yang terukur atau sasaran; dan dapat meminimalkan pentingnya nilai-nilai
dan perasaan manusia. Feeling (perasaan) yaitu mencoba untuk melihat sesuatu dari
perspektif lain; terdorong untuk mencari hubungan harmoni, fokus pada
keterampilan-orang, kehangatan dan keramahan; dan meminimalkan pentingnya
"fakta".
Judging – Perceiving
Senang terhadap masalah untuk diputuskan, mulai mengerjakan tugas tepat waktu;
memiliki rencana yang jelas dan mungkin tampak tidak fleksibel. Perceiving adalah
lebih memilih untuk meninggalkan hal-hal terbuka untuk input lebih lanjut; ingin
tetap mendengarkan; menunda tugas sampai dekat dengan batas waktu; dan mungkin
tampak terlalu fleksibel.
Tabel 2.2: Perbedaan Manfaat Metode 16PF and the Myers-Briggs Type Indicator
(MBTI)
No 16PF MBTI
2.8 Penutup
References:
3.1 Pendahuluan
“………Saat menjelang pemilihan anggota legislative 2009, mertua saya pernah
mengatakan pada saya ‘politik itu kotor’. Kalau Anda mau menjadi calon anggota
legislative, maka ada lima syarat yang harus dipenuhi yaitu siap uang, siap bohong,
siap dibohongi, siap curang dan siap peng-back up. Mertua saya lebih lanjut
mengatakan semakin banyak syarat tersebut di atas Anda penuhi semakin sempurna
lah Anda untuk terpilih sebagai caleg”.
Ungkapan di atas hampir senada dengan tulisan yang pernah dimuat yang berjudul
“Jangan Percaya Politikus” (Mazayasyah, 2007). Apa yang dikatakan politikus itu
tidak bisa di pegang. Hari ini dia berkata kita koalisi dengan A, besok dia akan
berkata kita koalisi dengan B. Sejam yang lalu di RCTI dia bilang ini, sekarang di
Indosiar dia bilang itu. Hari ini dia saling menyindir, besok dia akan berangkul-
rangkulan, bercanda ria dan makan bareng pada acara pengdeklarasian presiden-
wakil presiden.
a. Pendekatan rasional
Pendekatan rasional yang dimaksudkan meliputi deontologi,
konsekuensialisme, prinsiplisme dan etika budi pekerti. Deontologi melibatkan
pencarian aturan yang terbentuk dengan baik yang dijadikan dasar sebagai pembuatan
keputusan moral. Dasarnya dapat saja agama atau bukan agama misalnya manusia
memiliki gen-gen yang hampir sama. Konsekuensialisme mendasari keputusan etis
yang diambil karena merupakan cara analisis bagaimana konsekuensi atau hasil yang
didapatkan dari berbagai pilihan-pilihan. Tindakan yang benar adalah tindakan yang
memberikan hasil yang terbaik. Untuk menentukan mana hasil yang terbaik itu
biasanya dilihat dari utilitarianisme yaitu mengukur dan menentukan pilihan yang
memberikan hasil yang paling baik diantara semua pilihan yang ada. Sebagai contoh
kebijakan pemerintah tentang harm reduction program bagi pengguna narkoba
suntik. Apa utilitas yang bisa diperoleh dari ditetapkannya kebijakan tersebut. Mana
yang paling memberikan keuntungan dari sisi program dan biaya yaitu cost
effectiveness-nya dan cost benefit-nya. Contoh yang lain misalnya kebijakan
pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan di beberapa
kabupaten/kota di Indonesia. Apa manfaat yang bisa diperoleh dari kebijakan ini.
Sejauh mana pendekatan ini dapat meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan serta
meningkatkan status kesehatan masyarakat kita. Berapa besar biaya yang harus
dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Efektifkah program ini? Bermanfaatkah
program ini? Dan pertanyaan-pertanyaan lain dari aspek utilitarianisme.
Pendekatan rasional juga meliputi prinsiplisme yaitu mempergunakan prinsip-
prinsip etik sebagai dasar dalam membuat keputusan moral. Terakhir adalah etika
budi pekerti. Etika budi pekerti kurang berfokus pada pembuatan keputusan tetapi
lebih pada karakter dari si pengambil keputusan yang tercermin dari perilakunya.
Tidak satupun dari empat pendekatan ini yang dapat mencapai persetujuan yang
universal. Setiap orang memiliki pendekatan rasional yang akan dipilih dalam
pengambilan keputusan etik seperti juga orang lain memilih pendekatan non-rasional.
Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
b. Pendekatan non-rasional
Kemudian pendekatan non-rasional. Pendekatan non-rasional tidak berarti
irrasional. Pendekatan ini hanya dibedakan dari sistematika, dan alasan yang dapat
digunakan dalam mengambil keputusan. Adapun pendekatan non-rasional meliputi
kepatuhan, imitasi, perasaan atau kehendak dan intuisi. Kepatuhan adalah cara umum
dalam membuat keputusan etis terutama anak-anak dan mereka yang bekerja dalam
struktur kepangkatan (militer, kepolisian, berbagai organisasi keagamaan dan bisnis).
Pendekatan ini mengikuti aturan atau perintah penguasa, pimpinan atau direktur tidak
memandang apa Anda setuju atau tidak setuju. Imitasi adalah hampir serupa dengan
kepatuhan karena mengesampingkan penilaian seseorang terhadap benar dan salah
dan mengambil orang lain sebagai acuan karena dia adalah panutan. Pendekatan ini
banyak digunakan dalam etika kedokteran misalnya panutan dari seorang dokter
senior, maka dokter ”yunior” bisa belajar dan meniru dari pengalaman senior. Dalam
pendekatan politik pun demikian, orang lain bisa melakukan imitasi karena melihat
dan mengamati sikap dan perilaku para elit seniornya. Selanjutnya, intuisi. Intuisi
adalah persepsi yang terbentuk dengan segera mengenai bagaimana bertindak di
dalam sebuah situasi tertentu. Intuisi sifatnya subjektif, namun berbeda karena intuisi
terletak pada pemikiran dibanding keinginan. Intuisi dapat bervariasi dari setiap orang
dan bahkan dari individu itu sendiri. Terakhir adalah kebiasaan. Kebiasaan
merupakan metode yang sangat efisien dalam mengambil keputusan moral karena
tidak diperlukan adanya pengulangan proses pembuatan keputusan secara sistematis
setiap masalah moral muncul dan sama dengan masalah yang pernah dihadapi.
Meskipun begitu ada kebiasaan buruk (seperti berbohong) dan ada juga kebiasaan
baik (seperti mengatakan dengan jujur).
3.5 Diskusi dan penugasan
Setelah membaca materi ini, peserta diharapkan mampu:
a. Mendefenisikan etika, etika politik dan etika politik bidang kesehatan
b. Menjelaskan mengapa politik membutuhkan etika?
c. Menyebutkan dan menjelaskan secara singkat dimensi-dimensi yang berhubungan
dengan etika politik
d. Menyebutkan dan menjelaskan krieteria atau standar yang digunakan untuk
menentukan etika atau tidak beretika
e. Menentukan siapa yang menentuka etika dan tidak beretika
f. Memberikan contoh praktek-praktek yang berkaitan dengan etika dalam bidang
politik kesehatan
3.6 Penutup
Etika merupakan hal penting dalam tindakan politik termasuk yang berkaitan
dengan kesehatan. Kejujuran, tanggung jawab, keadilan dan saling menghormati
merupakan aspek-aspek yang berkaitan dengan etika politik. Setidaknya terdapat tiga
kriteria untuk menentukan tindakan seseorang etis atau tidak etis yaitu prinsip
utilitarianisme, hak dan kewajiban. Etika berdimensi majemuk dan pluralistik. Setiap
orang memiliki pandangan yang berbeda mengenai penilaian benar atau salah, baik
atau buruk, sesuai tidak sesuai.
References:
Albaek, E. (2003). Political Ethics and Public Policy: Homosexuals between Moral
Dilemmas and Political Considerations in Danish Parliamentary Debates
Scandinavian Political Studies, 26(3).
Buku Pedoman Etika dan Perilaku. (2006). Buku Pedoman Etika dan Perilaku.
Jakarta Timur: PT Hutama Karya (Persero).
Mazayasyah, A. A. F. (2007). Jangan Percaya Politikus! Yogyakarta: MAGMA.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sagiran. (2005). Panduan Etika Medis. Yogyakarta: Pusat Studi Kedokteran Islam
Fakultas Kedokteran Universitas Mohammadiyah.
Siswanto. (2007). Politik dalam Organisasi (Suatu tinjauan menuju etika berpolitik).
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta, 10(04).
Solomon, R. C. (2005). Introduction to Ethics. Belmont: Wadsworth.
Tejavanija, C. (2007). Ethics of political leaders: The comparative study of George
W. Bush and Thaksin Shinawatra.
BAGIAN KEDUA: KETERAMPILAN DAN IMPLEMENTASI
POLITIK KESEHATAN
BAB IV
KOMUNIKASI POLITIK KESEHATAN
“…Political effects are at the heart of political science…” (Doris & James, 2005)
4.1 Pendahuluan
Komunikasi politik memegang peranan penting dalam mempengaruhi
kebijakan bidang kesehatan. Bab ini pertama-tama membahas konsep komunikasi
politik kesehatan. Bagian ini menjelaskan tentang pemahaman dasar mengenai
komunikasi, komunikasi politik dan dalam kaitannya dengan kesehatan. Bagian
kedua mengkaji ruang lingkup komunikasi politik. Bagian ini membahas siapa
komunikator politik itu? pesan-pesan politik seperti apa yang disampaikan yang dapat
mempengaruhi kesehatan? media komunikasi politik apa yang digunakan? Siapa yang
menjadi sasaran atau khalayak dari komunikasi politik tersebut? dan apa akibat-akibat
yang dapat ditimbulkan dari komunikasi politik tersebut. Untuk melengkapi ilustrasi
dari materi ini, dibagian akhir dari materi ini juga disampaikan contoh kasus yang
berkaitan dengan komunikasi politik di bidang kesehatan.
b. Organisasi publik. Organisasi publik yang dimaksudkan disini adalah para aktor
non-partai misalnya para pengusaha (trade unions), kelompok pengguna
(consumer groups) dan organisasi para profesional (professional organizations).
Jika dilihat dari perkembangannya, kelompok pengusaha (mereka yang
mempunyai dana yang cukup) dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah,
pemerintah dapat berubah jalan pikirannya jika ada investor/lembaga pemberi
dana yang mau menanamkan modalnya dalam suatu wilayah demikian halnya
dengan kelompok-kelompok organisasi profesi misalnya IDI, PDGI, IAKMI,
PERSAKMI dan sebagainya.
c. Kelompok penekan. Kelompok pressure tidak seperti partai politik yang dibentuk
tetapi kelompok pressure ini dapat mendukung anggotanya atau mungkin
kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kelompok pressure disini misalnya
mahasiswa, organisasi buruh, juga termasuk organisasi profesi. Demonstrasi
yang dilakukan oleh para dokter misalnya yang dilakukan untuk mendukung
”dokter A” atas dugaan kasus malpraktek merupakan kelompok penekan yang
cukup jitu dalam mempengaruhi kebijakan dan keputusan pemerintah.
Demonstrasi mahasiswa yang dilakukan atas kebijakan pemerintah untuk
menaikkan harga BBM adalah dimana mahasiswa mendudukkan dirinya sebagai
kelompok pressure atas kebijakan tersebut. Organisasi buruh yang menuntut
kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) telah menempatkan organisasi buruh
sebagai kelompok penekan.
d. Organisasi teroris. Mungkin tidak terlalu relevan dalam subjek ini termasuk
dalam bidang kesehatan, namun diakui bahwa kelompok teroris adalah kelompok
yang luar biasa yang dapat mengendalikan kewenangan dan pengaruh pada
bidang tertentu. Di Indonesia (dalam bidang kesehatan), secara formal, organisasi
teroris tidak ada.
e. Pemerintah. Kelompok lain yang dapat menjadi aktor dalam komunikasi politik
adalah pemerintah itu sendiri, mulai dari tingkat pusat, provinsi maupun pada
tingkat kabupaten/kota. Ditingkat pusat kementerian kesehatan dan kementerian
di luar dari sektor kesehatan harus dapat menjadi aktor yang baik dalam upaya
menciptakan dan meningkatkan derajat kesehatan yang lebih baik. Ditingkat
provinsi, peranan gubernur, wakil gubernur, Bappeda, para kepala dinas dan
kepala badan mempunyai kedudukan penting dalam mewujudkan kesehatan
masyarakat (yang bersih, aman, nyaman dan sejahtera) demikian pula ditingkat
kabupaten/kota.
Organisasi
politik
Media
Warga negara
Dalam debat calon Presiden Republik Indonesia antara Prabowo Subianto dan Joko
Widodo pada Minggu 15 Juni 2014. Joko Widodo memfokuskan pada membangun sistem.
Salah satu komponen penting yang disampaikan oleh Joko Widodo adalah melakukan
investasi di bidang kesehatan dengan Kartu Indonesia Sehat. Dalam banyak dialog baik yang
dilakukan langsung oleh Joko Widodo maupun dilakukan oleh para pendukungnya
memperkenalkan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan salah satu program unggulan.
Kartu Indonesia Sehat ini (mungkin) merupakan penerapan lebih jauh dari Kartu Jakarta
Sehat.
Meskipun demikian, Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Nurul Arifin,
program seperti itu juga sudah dikeluarkan pemerintah saat ini, hanya berbeda nama, yaitu
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarajan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), bahkan dianggap tumpang tindih dengan BPJS yang sudah
diterapkan sejak 1 Januari 2014, bahkan lebih jauh Jokowi dituding kubu Prabowo-Hatta
telah membuat kebohongan besar dengan menawarkan program dan atau kebijakan ini.
Karena itu kubu Prabowo-Hatta mempertanyakan apa sebenarnya perbedaan antara Kartu
Indonesia Sehat dengan BPJS kesehatan yang saat ini sudah berjalan?
Meskipun program Kartu Indonesia Sehat banyak diragukan eksistensinya Tim
Sukses Jokowi Dodo-Jusuf Kalla, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa program
Kartu Indonesia Sehat merupakan penyempurnaan dari program BPJS yang sudah berjalan
saat ini. Program ini dipandang akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada
seluruh rakyat Indonesia. Jika pasien biasanya yang mendatangi fasilitas kesehatan misalnya
Puskesmas dan Rumah Sakit, Kartu Indonesia Sehat ini akan memberikan pelayanan
kesehatan dengan memaksimalkan dokter keliling. Setiap warga negara yang memiliki Kartu
Indonesia Sehat akan mendapatkan pelayanan kesehatan sampai pada tingkat desa dengan
memanfaatkan Posyandu. Juga akan disiapkan 55.000 rumah sehat di seluruh Indonesia.
Jokowi juga berjanji akan memperbaiki status gizi 28 juta penduduk Indonesia terutama
mereka yang berada pada kelompok miskin. Mereka harus diberikan gizi yang bagus melalui
penyediaan susu dan suplemen dan makanan tambahan bagi ibu hamil. Keunggulan lain dari
Kartu Indonesia Sehat ini adalah bahwa cakupan pelayanan kesehatan akan lebih luas, yaitu
tidak hanya pada mereka yang membutuhkan dimana kartu BPJS tersebut diterbitkan.
Terkait dengan pembiayaan, sudah ada perhitungan yang cermat. Pemerintah akan
menanggung biaya kesehatan warga miskin, sementara yang berpenghasilan cukup akan ada
mekanisme penetapan tarif. Kita lihat nanti implementasinya seperti apa!!!!!
Merujuk pada teori dan komponen dasar dari sebuah proses komunikasi politik, maka
studi kasus tersebut di atas dapat dibedah lebih jauh.
b. Pesan-pesan politik
Joko Widodo memfokuskan pada membangun sistem membangun investasi
Indonesia Sehat melalui Kartu Indonesia Sehat KIS)
KIS dipandang akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada
seluruh rakyat Indonesia.
KIS akan memberikan pelayanan kesehatan dengan memaksimalkan dokter
keliling. Setiap warga negara yang memiliki KIS mendapatkan pelayanan
kesehatan sampai pada tingkat desa dengan memanfaatkan Posyandu.
Juga akan disiapkan 55.000 rumah sehat di seluruh Indonesia.
Jokowi juga berjanji akan memperbaiki status gizi 28 juta penduduk Indonesia
terutama mereka yang berada pada kelompok miskin. Mereka harus diberikan
gizi yang bagus melalui penyediaan susu dan suplemen dan makanan
tambahan bagi ibu hamil.
Keunggulan lain dari Kartu Indonesia Sehat ini adalah bahwa cakupan
pelayanan kesehatan akan lebih luas, yaitu tidak hanya pada mereka yang
membutuhkan dimana kartu BPJS tersebut diterbitkan.
Terkait dengan pembiayaan, sudah ada perhitungan yang cermat. Pemerintah
akan menanggung biaya kesehatan warga miskin, sementara yang
berpenghasilan cukup akan ada mekanisme penetapan tarif.
Kubu Prabowo-Hatta mempertanyakan perbedaan antara Kartu Indonesia
Sehat dengan BPJS kesehatan yang saat ini sudah berjalan
b. Pesan-pesan politik
Mengintegrasikan Pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular (Posbindu
PTM) dengan Pos Kesehatan Desa
Posbindu berperan dalam surveilans, penapisan, dan deteksi dini penyakit tak
menular
Posbindu terkendala minimnya jumlah petugas kesehatan dan para kader.
Dari sekitar 10.000 Posbindu PTM di Indonesia terdapat sekitar 4.000 unit
tidak aktif
Penyebab ketidakaktifan Posbindu adalah pergantian petugas posbindu karena
sudah lanjut usia, ada kesibukan lain, bosan, tak ada stimulan dari lingkungan
sekitar, ataupun sekadar giat saat awal pembentukan lalu cenderung tidak
aktif.
4.6 Penutup
Bab ini telah membahas konsep komunikasi politik kesehatan. Komunikator
politik, media politik, pesan-pesan politik, sasaran atau khalayak komunikasi politik,
dan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari komunikasi politik menjadi bagian
yang penting dalam memahami ruang lingkup komunikasi politik. Makalah ini
menjadi lebih mudah dipahami karena disajikan studi kasus yang berkaitan dengan
komunikasi politik kesehatan.
References:
Changara, H. (2009). Komunikasi Politik: Konsep, teori dan strategi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Christen, C. T., & Gunther, A. C. (2003). The influence of mass media and other
culprits on the projection of personal opinion. Communication Research, 30,
414-431.
CPHA. (2009). Leadership in public health: A guide to advocacy for public health
associations. Ottawa: Canadian Public Health Associations.
Denton, R. E., & Woodward, G. C. (1990). Political communication in America. New
York: Praeger.
Doris, A. G., & James, M. S. (2005). Political Communication Faces the 21th
Century. Journal of Communication, 479-507.
Hahn, D. F. (2003). Political communication: Rethoric, government, and citizens.
State College, PA: Strata Publishing.
Harian Nasional. (2014). Kampanye efektif penentu kemenangan, Harian Nasional.
Lilleker, D. G. (2006). Key concepts in political communication. London: SAGE
Publications.
McNair, B. (2011). An introduction to political communication. London and New
York: Routledge.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith University,
Brisbane, Australia.
Riswandi. (2009). Komunikasi Politik. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Romarheim, A. G. (2005). Definitions of strategic political communication.
Norwegia: Norwegian Institute of International Affairs.
BAB V
ADVOKASI KESEHATAN MASYARAKAT
5.1 Pendahuluan
Advokasi kesehatan masyarakat harus dilakukan mengingat kompleksnya
masalah kesehatan yang dihadapi. Meskipun demikian para professional kesehatan
belumlah secara maksimal melakukannya. Makalah ini pertama-tama memaparkan
advokasi kesehatan masyarakat, kemudian menyajikan produk dan proses advokasi
kesehatan masyarakat. Bab ini pula menggambarkan keterampilan yang harus
dimiliki oleh seseorang dalam melakukan advokasi kesehatan masyarakat dan
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam melakukan advokasi.
3. Menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus (Define goals and objectives). Apa
tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai. Tujuan harus SMART
(Specific, Measurable, Attainable, Relevant, dan Tim-bound). Contoh tujuan
umum misalnya menurunkan kasus HIV/AIDS bagi para sopir truk. Contoh
tujuan khususnya adalah meningkatkan pengetahuan para sopir truk mengenai
risiko hubungan seks yang tidak aman, memberikan pelatihan dan keterampilan
mengenai penggunaan kondom bagi para sopir truk.
6. Pilih pendekatan advokasi Anda (Choose your advocacy approach). Jika Anda
mau melakukan perubahan perilaku pada tingkat staf, maka mungkin Anda akan
melakukan pendekatan dengan pimpinan dan membuat kebijakan yang bisa
mempengaruhi perilaku individu. Jika Anda mau membuat kebijakan yang
berkaitan dengan penggunaan kondom bagi pengguna seks bebas, maka mungkin
Anda harus melakukan pendekatan dengan pemerintah atau anggota dewan.
Beberapa pendekatan yang mungkin Anda lakukan dalam melakukan advokasi
(tergantung konteksnya) adalah:
a. Bertemu dengan pimpinan di semua level
b. Membangun jaringan dan koalisi
c. Melakukan kampanye opini publik
d. Melakukan penelitian dan poling pendapat
e. Mengembangan materi komunikasi
f. Melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran terhadap isu
tersebut.
Tiga kemampuan ini membutuhkan untuk fokus pada tiga pertanyaan sentral,
yaitu:
a. Apa masalah yang ingin diselesaikan (what is the problem)? Misalnya smoking
pada area kampus, penggunaan helm standar bagi para pengguna kendaraan
bermotor, pengguna jalan yang amburadul
b. Apa solusi yang diinginkan (what is the desired solution)? Smoke-Free pada area
kampus dengan membuat sanksi tegas, pemeriksaan penggunaan helm secara
regular dan pengaturan ketertiban secara tegas, berkelanjutan dan berkeadilan.
c. Siapa yang menjadi target untuk perubahan itu (who is the target for change?)
Misalnya targetnya adalah mahasiswa, pengguna jalan secara umum
5.7 Penutup
Advokasi merupakan kunci dalam melakukan perubahan kebijakan, dalam
jangka pendek maupun jangka panjang, individu ataupun kelompok. Keterampilan
dan latihan untuk melakukan advokasi kesehatan masyarakat harus diperkuat untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
References:
Chapman, S. (2004). Advocacy for public health: a primer. J Epidemiol Community
Health, 361-365.
Christoffel, K. K. (2000). Public health advocacy: Process and product. American
Journal of Public Health, 90(5), 722-726.
CPHA. (2009). Leadership in public health: A guide to advocacy for public health
associations. Ottawa: Canadian Public Health Associations.
Johnson, S. A. (2009). Public health advocacy. Alberta Health Services,.
Lawrence, R. (2004). Framing obesity: The evolution of news disclosure on a public
health issue. International Journal of Press/Politics, 9(3), 56-75.
McCubbin, M., Labonte, R., & Dallaire, B. (2001). Advocacy for healthy public
policy as a health promotion technology Retrieved 19 Januari, 2014, from
http://www.utoronto.ca/chp/download/2ndSymposium/McCubbin,%20Labont
e,%20Dallaire.doc
Queensland Government. (2011). Health advocacy framework: Strengthening health
advocacy in Queensland. Queensland: Retrieved from
http://www.health.qld.gov.au/hcq/publications/hcq_framework_may11.pdf.
BAB VI
PEMILU: KESEHATAN DAN KOMITMEN AKTOR POLITIK
6.1 Pendahuluan
Pemilu menjadi sarana bagi banyak pihak untuk menempatkan berbagai sektor
pembangunan sebagai isu menarik untuk diperbincangkan, termasuk kesehatan.
Calon presiden, DPR/DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati/walikota
menjadikan isu kesehatan sebagai jualan politik. Isu kesehatan gratis dan Kartu
Indonesia Sehat, misalnya, menjadi bahan kampanye untuk meraih simpati
masyarakat. Tentu saja, memang tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan
adalah masalah politik. Kesehatan masyarakat adalah aktivitas politik. Tindakan
kesehatan masyarakat adalah ungkapan ideologi politik, sejauh mana pemegang
kekuasaan formal dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan. Kesehatan
adalah politik karena determinan kesehatan banyak ditentukan oleh faktor politik,
faktor di luar dari persoalan kesehatan itu sendiri. Faktor kesehatan banyak
ditentukan oleh bupati dan walikota dan anggota dewan yang terhormat. Karena
masalah kesehatan adalah masalah politik, maka untuk memecahkannya diperlukan
adanya komitmen politik.
Bab ini memaparkan bagaimana gambaran kesehatan Indonesia; pentingnya
momentum pemilu dan isu kesehatan dalam konteks aktor politik; apa kompetensi
aktor politik yang harus dimiliki dalam memainkan peran kesehatan yang optimal.
Gambar 6.3: Tren Angka Kematian Ibu (AKI) Beberapa Negara ASEAN
Sumber: Sumber: UN Maternal Mortality Estimation Group: WHO, UNICEF,
UNFPA, World Bank dalam UNICEF Indonesia (2012)
Angka Kematian Bayi (AKB). Penurunan AKB dan AKABA di Indonesia
dalam satu dekade terakhir mengalami perlambatan. Padahal pada priode 1991 –
2002, Indonesia mampu menurunkan AKB dari 68 per 1.000 kelahiran hidup menjadi
35 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan AKABA turun dari 97 per 1.000 kelahiran
hidup menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (BKKBN, 2013). Dalam priode tersebut,
Indonesia menjadi negara yang mendapat apresiasi besar dari WHO untuk pencapaian
AKB dan AKABA. Setelah tahun 2002, ternyata penurunan AKB dan AKABA di
Indonesia justru mengalami perlambatan. Hasil SDKI 2012 menunjukan saat ini AKB
berada pada angka 32 per 1.000 kelahiran hidup, turun lima poin. Sedangkan
AKABA sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup hanya turun enam poin dari tahun
2002. Selain lambatnya penurunan AKB dan AKABA di Indonesia, pencapaian AKB
dan AKABA di daerah juga masih sangat timpang dan di beberapa daerah juga ada
yang mengalami kenaikan signifikan. Daerah – daerah di timur Indonesia seperti
Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB Sulawesi Barat, Gorontalo
dan Sulawesi Tengah masih memiliki nilai AKB dan AKABA yang cukup tinggi jauh
di atas rata–rata nasional. Malahan, AKB dan AKABA untuk Papua, Papua Barat,
Maluku Utara, dan Gorontalo justru mengalami kenaikan. Selain di daerah timur
Indonesia, temuan kenaikan AKB dan AKABA juga ditemukan di Aceh, Kalimantan
Tengah, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Ketimpangan dan kenaikan AKB dan
AKABA ini merupakan sebuah refleksi dari ketidakmampuan daerah dalam
meningkatkan pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak. Seharusnya, dengan
desentralisasi sektor kesehatan, peluang daerah untuk melakukan kebijakan menjadi
lebih kuat. Daerah yang memiliki inovasi dalam kebijakan pembangunan KIA seperti
Jawa Timur, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan
Sulawesi Selatan ternyata mampu secara signifikan menurunkan AKB dan AKABA.
Inilah sebenarnya perlu didorong oleh Kementerian Kesehatan, agar setiap daerah
memiliki arah dan strategi khusus dalam menurunkan AKB dan AKABA sesuai
dengan konteks daerah masing – masing.
Gambar 6.4: Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita di Tiap Provinsi, Indonesia
Sumber: Profil Kesehatan, Kemenkes (2013) dalam Rahmahidanurrizka and Saputra (2013)
Gambar 6.5 menunjukkan kecenderungan angka kematian neonatal, angka
kematian bayi dan angka kematian balita dari tahun 1991-2015 yang terus menurun.
Gambar 6.5: Kecenderungan Angka Kematian Neonatal, Bayi dan Balita, 1991-2015
Sumber: Direktorat Jenderal Bina GIKIA (2013)
Angka Harapan Hidup (AHH). Angka ini adalah angka pendekatan yang
menunjukkan kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama. Usia Harapan Hidup
merupakan alat untuk mengevaluasi penampilan (performance) pemerintah dalam
meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat
kesehatan pada khususnya (Stalker, 2008). Gambar 6.6 menunjukkan peningkatan
AHH yang terjadi di Indonesia selama tahun 2008-2012. Pada tahun 2012, nilai AHH
Indonesia telah mencapai 69,87 tahun dimana lebih tinggi jika dibandingkan dengan
nilai AHH pada tahun 2011 yang sebesar 69,65 tahun. Provinsi dengan nilai AHH
tertinggi terdapat di DKI Jakarta dengan nilai 73,49 dan DI Yogyakarta sebesar
73,33. Provinsi dengan nilai AHH terendah terdapat di Nusa Tenggara Barat sebesar
62,73 dan Kalimantan Selatan sebesar 64,52. Nilai AHH tertinggi ada pada DKI
Jakarta juga sama dengan IPM secara keseluruhan. Sementara Nusa Tenggara Barat
juga bersama dengan Nusa Tenggara Timur mempunyai nilai IPM yang relatif
rendah.
Gambar 1.2: Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (Dalam Tahun) Indonesia 2008-
2012
Sumber: BPS (2013)
Gizi. Status gizi yang dikaji dalam Bab ini dibagi atas dua bagian yaitu status
gizi balita dan status gizi penduduk dewasa (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Pertama, status gizi balita. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan
pencapaiannya dalam MDGs adalah status gizi balita. Pada tahun 2010 terdapat
17,9% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 13,0% balita berstatus gizi kurang dan
4,9% berstatus gizi buruk dan sebesar 5,8% balita dengan status gizi lebih.
Dibandingkan tahun 2007, terjadi penurunan kekurangan gizi balita pada tahun 2010
dari 18,4% menjadi 17,9%. Berdasarkan provinsi, prevalensi balita kekurangan gizi
terendah dicapai Sulawesi Utara (10,6%), Bali (10,9%) dan DKI Jakarta (11,3%),
sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi terjadi di Nusa Tenggara Barat
(30,5%), Nusa Tenggara Timur (29,4%) dan Kalimantan Barat (29,2%). Target
MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015 untuk indikator ini sebesar 15,5%.
Dengan demikian dari 33 provinsi terdapat 9 provinsi di antaranya telah mencapai
target tersebut pada tahun 2010.
Gambar 6.7: Persentase Balita Kekurangan Gizi Berdasarkan Berat Badan Menurut
Umur (BB/U) Menurut Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Diantara 33 provinsi di Indonesia, 19 provinsi memiliki prevalensi balita
kekurangan gizi di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 19,7% sampai
dengan 33,1 persen. Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang
memiliki prevalensi balita kekurangan gizi sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali
(13,2%), (2) DKI Jakarta (14,0%), (3) Kepulauan Bangka Belitung (15,1%). Masalah
kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi kekurangan gizi pada balita
antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO,
2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kekurangan gizi pada anak balita
sebesar 19,6%, yang berarti masalah kekurangan gizi pada balita di Indonesia masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33
provinsi, terdapat dua provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu
Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur (33,0%).
Indikator gizi yang lain yaitu tinggi badan menurut umur (TB/U) memberikan
indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang
berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola
asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek.
Gambar 6.8: Persentase Balita Dengan Tinggi Badan Di Bawah Normal Berdasarkan
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Menurut Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Menurut provinsi sesuai Gambar 6.8, prevalensi balita pendek terendah terjadi
di Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,3%), dan DKI Jakarta (27,5%).
Sedangkan provinsi dengan prevalensi balita pendek tertinggi terjadi di Nusa
Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%). Dan Nusa Tenggara Barat
(45,2%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek
sebesar 30 – 39 % dan serius bila prevalensi pendek ≥40% (WHO 2010). Sebanyak
13 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori
serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: Papua (40,1%), Maluku (40,6%), Sulawesi
Selatan (40,9%), Sulawesi Tengah (41,0%), Maluku Utara (41,1%), Kalimantan
Tengah (41,3%), Aceh (41,5%), Sumatera Utara (42,5%), Sulawesi Tenggara
(42,6%), Lampung (42,6%), Kalimantan Selatan (44,2%), Papua Barat (44,7%), Nusa
Tenggara Barat (45,2%), Sulawesi Barat (48,0%). dan Nusa Tenggara Timur
(51,7%). Indikator antropometri lain untuk menilai status gizi balita yaitu berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB). Pada tahun 2013 terdapat 12,1% balita wasting
(kurus) yang terdiri dari 6,8% balita kurus dan 5,3% sangat kurus.
Gambar 6.9: Persentase Balita Kurus Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB) Menurut Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 %, terdapat
penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2%). Demikian
pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga menunjukkan adanya
penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 % (tahun 2007). Terdapat 17
provinsi dimana prevalensi balita kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari
prevalensi tertinggi, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa
TenggaraTimur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi,
Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah,
Kepulauan Riau dan Maluku Utara. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap
serius bila prevalensi kurus antara 10,0 14,0%, dan dianggap kritis bila ≥15,0
persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kurus pada anak
balita masih 12,1 persen, yang artinya masalah kurus di Indonesia masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 23
provinsi yang masuk kategori serius, dan 6 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu
Kalimantan Barat, Maluku, Aceh dan Riau.
Meskipun pada tingkat provinsi terdapat beberapa wilayah yang memiliki
status kesehatan yang lebih baik, namun secara keseluruhan Indonesia masih berada
pada tingkat dimana masalah kesehatan masyarakat termasuk angka kematian bayi
dan balita termasuk tinggi. Demikian pula prevelensi balita stunting baik di
ASEAN maupun di SEAR pada tahun 2007-2011 (Gambar 6.10).
Gambar 6.10: Prevalensi Balita Stunting di ASEAN & SEAR Tahun 2007-2011
Sumber: WHO (2013) dalam Kementerian Kesehatan RI (2013)
Status gizi penduduk dewasa. Gambaran status gizi pada kelompok umur >18
tahun dapat diketahui melalui prevalensi gizi berdasarkan indikator Indeks Massa
Tubuh (IMT). Status gizi pada kelompok dewasa berusia di atas 18 tahun didominasi
dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi (Gambar
6.11).
Hampir sama dengan anggota DPD, mereka juga berasal dari latar belakang
pekerjaan yang beragam. Tetapi yang menarik dari anggota DPD ini adalah bahwa
19% diantara mereka adalah mereka yang pernah duduk sebelumnya sebagai anggota
DPR atau DPRD. Artinya mereka pindah partai atau jalur politik. Hal tersebut dapat
terjadi karena ada aturan kepartaian misalnya dimana tidak boleh menjadi wakil
partai selama dua periode berturut-turut atau karena basis massa. Sekitar 30% latar
belakang anggota senator DPD juga berasal dari kalangan pengusaha/wiraswasta dan
karyawan swasta. Artinya ada kemiripan latar belakang pekerjaan baik anggota DPR
maupun anggota DPD. Sementara anggota DPD lainnya berasal dari kalangan dosen,
aktivis LSM, pemuka agama, seniman dan kalangan profesional misalnya pengacara,
peneliti, dokter, dan sebagainya. Dengan latar belakang ini juga sekaligus
menunjukkan bahwa mereka ini mempunyai pengalaman dan kepentingan yang
berbeda tetapi yang pasti bahwa mereka tentu tetap mau survive dengan posisi yang
dimilikinya atau bahkan pindah pada level yang dianggap lebih memberi keuntungan
ekonomi, jabatan atau status sosial lainnya.
Bunyi sumpah tersebut adalah sebagai berikut: Demi Allah (Tuhan) saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam
menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya
kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
daripada kepentingan pribadi, seorang dan golongan; bahwa saya akan
memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan
nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gambar 6.12: Ilustrasi Pengambilan Sumpah anggota DPR dan DPD RI Periode 2014-2019
Sumber: http://bawaslu.go.id/en/node/1102, 08 Juni 2015
Dipandu Ketua Mahkamah Agung sejumlah anggota MPR, DPR dan DPD
disumpah. Apakah saudara bersedia bersumpah menurut agama dan kepercayaan
saudara masing-masing. Serentak para wakil rakyat baru itu menyatakan kesediannya.
Jika aktor-aktor politik ini amanah akan sumpah dan janjinya sebagai wakil rakyat,
maka mereka inilah sebagai pejuang pembangunan dalam segala bidang kehidupan,
termasuk kesehatan. Mereka inilah yang akan bekerja secara maksimal untuk terus
menjadi pembawa aspirasi masyarakat mewujudkan manusia Indonesia yang sehat
dan sejahtera.
Selain itu, pada tingkat provinsi terdapat jumlah anggota DPRD provinsi yang
tidak sedikit jumlahnya demikian pula anggota DPRD kabupaten/kota. Jumlah
anggota DPRD Provinsi sebanyak 2.137 orang lebih tinggi dari periode sebelumnya
yang jumlahnya hanya 2008 kursi. Terdapat penambahan 134 kursi DPRD Provinsi
secara nasional. Sementara jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota di Indonesia
sebanyak 17.560 kursi meningkat 1.215 kursi DPRD Kabupaten/Kota dari periode
sebelumnya yang jumlahnya hanya 16.345 kursi. Pada level provinsi disana terdapat
33 gubernur dan 33 wakil gubernur. Pada tingkat kabupaten/kota terdapat 397 bupati
and 397 wakil bupati dan 98 walikota dan 98 wakil walikota. Mereka adalah aktor
politik yang juga telah memegang sumpah dan janji, bersumpah dan berjanji
dihadapan manusia dan dihadapan Allah SWT. Jika seluruh aktor politik tersebut
memiliki komitmen dalam upaya untuk menyehatkan warga yang telah memilih
mereka dan konsisten dalam membuat berbagai kebijakan dibidang pembangunan
kesehatan, maka upaya untuk membuat rakyat sehat akan dapat cepat dicapai. Namun
sebaliknya jika wakil rakyat dan para aktor tersebut tidak mempunyai pemahaman
dan wawasan kesehatan yang sempurna bahkan tidak mempunyai kepedulian
kesehatan maka hancurlah sektor kesehatan di negeri ini (Sukri Palutturi, 2010).
b. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah bukan sektor yang konsumtif
akan tetapi sektor investasi yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Artinya peningkatan alokasi anggaran kesehatan
menjadi hal yang sangat penting dalam menginvestaikan dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia.
c. Aktor politik harus paham bahwa arah pembangunan kesehatan tidak hanya
menekankan pada program-program kesehatan yang bersifat pengobatan dengan
pendekatan individual melainkan pada promosi dan prevensi penyakit untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP), Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan Wilayah
(UKW) harus bersinergi dalam pembangunan. UKP lebih banyak orientasinya
pada pengobatan, UKM lebih mendorong pada pencegahan penyakit dan promosi
kesehatan, dan UKW menitikberatkan pada determinan sosial kesehatan yang
lebih kompleks. Pendekatan yang terakhir ini adalah pendekatan lintas sektor.
Jika masalah tersebut berada pada wilayah kabupaten/kota atau provinsi maka
kedudukan Bappeda memegang peranan strategis untuk menjadi lembaga atau
institusi yang bisa berperan sebagai dapur perencanaan bagi sektor-sektor yang
lain dalam rangka mewujudkan wilayah yang sehat (Healthy Settings/Cities).
d. Aktor politik harus paham bahwa kematian satu orang bayi karena kekurangan
gizi berarti negara telah mengabaikan rakyatnya. Artinya bahwa pemerintah
harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kondisi kesehatan anak apalagi
saat ini pemerintah telah menggalakkan program 1000 hari pertama kehidupan.
e. Aktor politik harus paham bahwa seorang yang telah terjangkit HIV/AIDS
berarti dia telah membawa beban penyakit seumur hidup. Saat ini kasus
HIV/AIDS terus meningkat berdasarkan laporan dari Dirjen P2PL Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia belum lagi kasus yang tidak terlaporkan yang
diprediksi jauh lebih banyak dari kasus yang terekam. Mereka telah menjadi
pembawa sindrom/penyakit seumur hidup meskipun terdapat upaya pengobatan
untuk menjaga stamina dan kondisi kesehatan si penderita. Pemerintah harus
memberikan perhatian yang tinggi terhadap upaya pencegahan HIV/AIDS yang
lebih optimal. Jika tidak kasus HIV/AIDS akan semakin bertambah.
f. Aktor politik harus paham bahwa jika ada seorang warga negara pengguna
narkoba berarti mereka telah merusak generasi dan bangsanya. Kasus narkotika
pun juga semakin meningkat dan telah tersentuh hampir pada semua kalangan
baik anak-anak maupun orang tua, laki-laki atau perempuan, pelajar atau pekerja,
pemerintah atau swasta. Mereka telah menjadi korban dari penyalahgunaan
narkotika ini. Dampak yang ditimbulkan pun menjadi sangat kompleks dari
masalah kesehatan, putus sekolah, gangguan mental sampai pada masalah sosial
dan keamanan. Pemerintah harus memutuskan mata rantai dari penyalagunaan
narkotika ini.
i. Aktor politik harus paham dan ingat bahwa ada janji-janji politik yang
disampaikan saat kampanye oleh para calon bupati/walikota, gubernur dan
presiden misalnya kesehatan gratis, pendidikan gratis, gratis lahir sampai mati
dan seterusnya. Janji itu harus diimplementasikan karena janji itu adalah amanah,
dan janji adalah kontrak antara masyarakat dan calon pemerintahnya.
Kenaikan iuran belum diperlukan, kecuali untuk iuran peserta PBI. Anggota Dewan minta
BPJS Kesehatan diaudit. Sejumlah anggota DPR yang duduk di Komisi IX mempersoalkan
rencana pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kebijakan itu dikhawatirkan bisa mempengaruhi kepesertaan warga miskin dan
semakin membebani rakyat. Kenaikan tak pas kalau belum dilakukan audit.Suir Syang, politisi
Partai Gerindra, misalnya menilai rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta non
PBI (Penerima Bantuan Iuran) tidak tepat. Sebab di lapangan masih banyak masyarakat miskin
yang tidak tercakup PBI mendaftar sendiri sebagai peserta bukan penerima upah (PBPU)
dengan mengambil ruang perawatan kelas tiga yang iurannya Rp25.500 per bulan setiap orang.
Jika iuran BPJS Kesehatan bagi peserta non PBI naik, ia khawatir masyarakat miskin yang
telah mendaftar PBPU berhenti jadi peserta non PBI.
Anggota Komisi IX dari PDIP, Ketut Sustiawan, menyebut sebelum iuran BPJS
Kesehatan dinaikan, harus dilakukan audit terlebih dulu agar bisa dihitung ulang berapa
kenaikan yang diperlukan. “BPJS Kesehatan harus diaudit dulu,” katanya dalam Rapat Kerja di
Senayan, Rabu (01/4). Senada, anggota Komisi IX dari Partai Golkar, Andi Fauzia Pujiwatie
Hatta, mengatakan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus dipertimbangkan kembali
dan harus menunggu hasil audit. Saat harga BBM naik dan kemungkinan pengaruhnya
terhadap harga kebutuhan pokok, maka kenaikan iuran BPJS Kesehatan bakal menimbulkan
rasa tidak adil kepada masyarakat terutama golongan ekonomi menengah ke bawah.
Fauzia mengingatkan, dengan besaran iuran yang ada sekarang, pelayanan yang
diberikan BPJS Kesehatan masih dikeluhkan masyarakat. Karena itu, ketimbang menaikkan
iuran, lebih baik BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal lebih dahulu. “Tidak pantas
(kenaikan iuran,-red) kalau pelayanan masih bermasalah,” tukasnya. Berdasarkan pemantauan
Nihayatul Wafiroh di lapangan, peserta yang diuntungkan dengansistem BPJS
Kesehatan sepakat kalau iuran dinaikkan. Tapi, peserta yang ditemuinya itu jumlahnya sedikit.
Sementara peserta BPJS Kesehatan yang sedang mengantri di RS keberatan jika besaran iuran
naik. Peserta yang keberatan itu jumlahnya sangat banyak. “Mereka bertanya apakah dengan
kenaikan iuran itu ada jaminan pelayanan terhadap peserta akan lebih baik,” ujar politisi PKB
itu.
Anggota Komisi IX dari PPP, Okky Asokawati, mengatakan jika BPJS Kesehatan
defisit yang pertama kali harus disorot adalah bagaimana manajemen BPJS Kesehatan
mengelola lembaga yang menggelar jaminan kesehatan itu. Apalagi di tengah kondisi itu, kata
Okky, Direktur Utama BPJS Kesehatan malah bertandang ke German dan Dewan Pengawas
BPJS Kesehatan ke Swiss. Ia meminta ada laporan hasil kunjungan ke luar negeri itu. Okky
meminta kenaikan iuran tidak dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan
masyarakat. Tapi ia sepakat jika iuran peserta PBI naik. “Karena iuran PBI jauh lebih rendah
(Rp19.225) daripada peserta mandiri ruang perawatan kelas tiga (Rp.25.500),” katanya. Politisi
Partai Nasdem, Irma Suryani, tidak setuju rencana kenaikan iuran bagi peserta non PBI BPJS
Kesehatan. Kenaikan iuran itu tidak perlu selama manajemen BPJS Kesehatan belum
diperbaiki. “Manajemen BPJS Kesehatan dibenahi dulu baru minta kenaikan iuran,” tegasnya.
a. Berbagai masalah kesehatan di Indonesia termasuk masih cukup tinggi baik yang
berkaitan dengan angka kematian bayi, angka kematian balita, usia harapan
hidup dan masalah gizi, baik masalah kesehatan antar provinsi maupun masalah
kesehatan jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dukungan politik
menjadi sangat penting dalam meningkatkan status kesehatan Indonesia dan
untuk mengejar ketertinggalan bangsa ini.
c. Anggota dewan adalah wakil rakyat sebagai penentu ketukan palu terakhir yang
akan menentukan arah kebijakan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, untuk
mewujudkan cita-cita nasional bidang kesehatan yaitu menciptakan masyarakat
yang sehat maka perlu ada program-program yang sifatnya pendampingan
berkelanjutan kepada kelompok masyarakat atau organisasi tertentu atau
meminta bantuan dan konsultan dari kalangan profesional dan akademisi bidang
kesehatan.
Catatan: Bab ini dikembangkan dan dimodifikasi dari sebagian materi Sukri
Palutturi (2010) dalam bukunya Kesehatan itu Politik tentang aktor politik.
References:
7.1 Pendahuluan
Healthy Cities membutuhkan berbagai pendekatan, disiplin dan juga
multisektor. Pemerintahkan yang dapat menghadirkan keterlibatan berbagai sektor
dalam mewujudkan kota sehat adalah mutlak (good urban governance). Ini bagian
pertama yang dibahas dalam bab ini. Bagian yang kedua mengkaji dimensi politik
Healthy Cities dari sisi proses dan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, hubungan
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam Impelementasi Healthy Cities
juga dikaji lebih jauh. Untuk melengkapi bab ini disajikan sebuah studi kasus yang
menjelaskan pentingnya dukungan politik dalam implementasi Healthy Cities.
Dalam tulisan ini seringkali menggunakan Healthy Cities sesuai dengan
konsep awal lahirnya ide ini dan sering menggunakan kota sehat dan atau
kabupaten/kota sehat dalam konteks Indonesia. Dalam tulisan ini, penggunaan
peristilahan itu secara bergantian atau kedua-duanya secara bersamaan pada
prinsipnya adalah sama.
Di dalam memainkan ketiga stream ini, terdapat peserta/aktor atau orang yang
terlibat baik individu maupun organisasi yang nampak dan dapat diidentifikasi
sebagai bagian dari stakeholder dan terlibat dalam kebijakan itu. Dalam problem
stream, para profesional dan konsultan yang terlibat disana. Dalam politcs stream,
para politisian yang terpilih terlibat disana dan policy stream adalah para birokrat
yang mendapat mandat. Sebaliknya bahwa dalam aliran pembangunan, diakui atau
tidak, biasanya terdapat orang atau kelompok atau bahkan organisasi yang tidak
terlihat (invisible) tetapi mereka memainkan peran yang cukup besar dan sangat
menentukan tujuan pembangunan. Dalam problem stream, para akademisian tertentu
menentukan problem stream. Dalam politics stream terdapat kelompok-kelompok
penekan dan wakil-wakil komuniti dan policy stream terdapat birokrat yang
bergantung pada kesempatan.
Dalam kaitan dengan visible dan invisible actors, bisa kita lihat dalam contoh
kasus anti rokok. Ketika sekolompok orang sedang mengkampanyekan anti rokok,
maka mungkin bisa diidentifikasi dengan jelas pihak-pihak yang terlibat yang
mungkin bisa membantu pencapaian program tersebut, misalnya Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian
Agama, institusi dan perguruan tinggi kesehatan, NGO kesehatan, organisasi
keagamaan misalnya Muhammadiyah, Komnas HAM dan sebagainya. Mereka
diharapkan dapat membantu mengkampanyekan anti rokok. Tetapi benarkah itu
dengan mudah bisa dicapai? Akankah mereka membantu dan mempunyai komitmen
yang kuat untuk mengatakan tidak pada rokok? Jawabannya bisa beragam, bisa ya
bisa juga tidak. Dibalik semua itu, ada pihak lain yang mempunyai peranan besar
yang mungkin bisa kelihatan atau juga bisa tidak terlihat dalam pandangan secara
umum yaitu bahwa kelompok atau oknum anggota DPR yang berasal dari pengusaha
rokok atau orang yang punya relasi kuat dengan pengusaha rokok. Mereka pasti akan
menjadi bayang-bayang dan penghalang untuk menggagalkan kampanye anti rokok.
Mereka tentu punya alasan, misalnya karena sumber pajak dan pendapatan nasional,
bisnis atau perusahaan yang mempekerjakan banyak orang, bisnis yang dapat
menghidupi keluarga para pekerja dan sebagainya.
Thesis Kingdon menyatakan bahwa isu sosial hanya dapat mencapai status
agenda kebijakan ketika pintu kesempatan (window of opportunity) dibuka terhadap
tiga stream tersebut. Isu masyarakat hanya dapat dicapai jika terdapat dinamika baik
oleh visible actors maupun invisible actors. Karenanya tiga stream tadi harus terbuka
dan saling menyadari posisi yang dapat dimainkannya.
Level
nasional
Tujuan
Target
Kebijakan Level Tim Pembina
Kab/Kota Forum
Strategi Kab/Kota
Kab/Kota
Sehat
Forum
Level
Perencanaan Komunikasi
Kecamatan
Implementasi Desa
Klasifikasi
Kriteria
Evaluasi Level Kelompok
Pengembangan Kelurahan/ Kerja Desa
Pendanaan Desa
Gambar 7.2: Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah dalam
implementasi Healthy Cities
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2010)
Kota Palopo hampir bersamaan dengan kota lain di Sulawesi Selatan mengembangkan kota
sehat misalnya Kota Makassar dan Kota Parepare. Awalnya, pada tahun 2006 Kepala Dinas
Kesehatan dan Asisten 2 Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Sosial menghadiri pertemuan di
Jakarta mewakili kota tersebut. Hasil pertemuan tersebut disampaikan kepada walikota Palopo
dan ternyata bapak walikota merespon kegiatan tersebut. Moto Palopo dan visi kota sehat pada
prinsipnya mempunyai kemiripan dimana moto Palopo adalah kota yang IDAMAN (Indah,
Damai, Aman dan Nyaman) sementara visi kota sehat adalah kota yang bersih, nyaman, aman
dan sehat.
Menurut laporan kota sehat Palopo, pada tahun 2010-2011, Palopo mempunyai status
kesehatan masyarakat terbaik diantara 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dimana Palopo
mempunyai usia harapan hidup yang tinggi (hamper sama dengan Kota Makassar = 72,3
tahun) bahkan tidak mempunyai Angka Kematian Ibu.
Pada tahun 2007 Kota Palopo ikut seleksi untuk dinilai sebagai Kota sehat dan akhirnya
mendapatkan penghargaan Swasti Shaba Wiwerda. Swasti Shaba Wiwerda adalah
penghargaan kota sehat tingkat kedua artinya Kota Palopo loncat tangga yang mestinya hanya
Swasti Shaba Padapa saja yaitu penghargaan tingkat pertama. Palopo mengembangkan
Tatanan Kawasan Permukiman, Sarana dan Prasarana Umum, Kawasan Industri dan
Perkantoran Sehat, Tatanan Kehidupan Masyarakat yang Sehat dan Mandiri, dan Tatanan
Kehidupan Sosial yang Sehat.
Keberhasilan yang telah dicapai oleh Kota Palopo ternyata dilirik oleh beberapa
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dengan kabupaten/kota lainnya di Indonesia misalnya
Kota Parepare, Kota Makassar, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Gowa, Kabupaten Enrekang
(Sulawesi Selatan), Kota Pematang Siantar, Kota Padang Panjang (Sumatera) dan beberapa
daerah lainnya. Mereka datang ke Kota Palopo untuk belajar manajemen kota sehat.
Dibalik kesuksesan Kota Palopo, diakhir periode walikota saat itu, beliau terjerat kasus
korupsi. Saat itu, kota sehat Palopo sudah tidak mulai ditangani dengan baik dan juga
diperparah dengan kerusuhan yang terjadi di Palopo. Konflik horizontal terjadi sebagai
dampak dari pemilihan walikota. Pembakaran, kerusuhan dan perkelahian antar pendukung
7.7 Diskusi dan penugasan
Setelah membaca bab ini, peserta diharapkan mampu:
a. Menjelaskan pengertian urban governance!
b. Mengkaji Healthy Cities dari aspek politik
c. Dalam konteks Indonesia, terangkan hubungan pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dalam Impelemntasi Healthy Cities
d. Berikan contoh kasus lain di Indonesia yang berkaitan dengan dimensi politik
implementasi Healthy Cities!
e. Anda adalah calon pemimpin masa depan kesehatan masyarakat Indonesia.
Rumuskan kebijakan dan strategi apa yang Anda dapat rekomendasikan kepada
pemerintah daerah untuk penyelenggaraan kota sehat yang lebih efektif.
7.8 Penutup
Sejarah masa lalu menunjukkan bahwa perencanaan kota dan perencanaan
kesehatan seringkali berjalan bersamaan tetapi rel yang berbeda. Mereka jalan pada
porosnya masing-masing dan saling mengabaikan, tidak saling menyapa untuk
membuat perencanaan dan penganggaran bersama. Pembangunan fisik menjulang
tinggi terus digenjok dimana-mana, pembangunan hotel, mall, dan apartemen.
Pemerintah cenderung mengabaikan bahwa kelompok masyarakat yang dapat
menikmati dengan adanya pembangunan model ini adalah hanya kelompok
masyarakat yang berduit. Pemerintah lupa bahwa diantara pembangunan gedung
bertingkat itu, terdapat banyak masyarakat yang tinggal di rumah-rumah kumuh, di
kolong-kolong jembatan. Kesenjangan dengan pola pembangunan seperti ini
membawa berbagai permasalahan sosial dan lingkungan di perkotaan.
Aktor politik Healthy Cities cukup kompleks dan dinamis. Kota sehat hanya
dapat diwujudkan jika setiap aktor dapat mewujudkan sebuah pemerintahan kota
yang baik (good urban governance) yaitu pemerintahan yang dapat menghadirkan
keterlibatan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat secara simultan.. Dukungan
politik pemerintah adalah mutlak termasuk di dalamnya adalah anggota DPR, DPRD
provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Tim Pembina dan Forum Kota Sehat dapat
belajar dari cerita-cerita sukses atau pasang surut penyelenggaraan kabupaten/kota di
Indonesia. Kota Palopo mungkin salah satunya.
References:
Abbott, J. (1996). Sharing the City Community Participation in Urban Management
London: Earthscan.
Abednego, M. P., & Ogunlana, S. O. (2006). Good project governance for profer risk
allocation in public-private partnerships in Indonesia. International Journal
of Project Management, 24(7), 622-634.
Acheson, D. (1998). Independent inquiry into inequalities in health. London: The
Stationary Office.
Adams, L., Amos, M., & Munro, J. (2002). Promoting health. London: Sage.
Albaek, E. (2003). Political Ethics and Public Policy: Homosexuals between Moral
Dilemmas and Political Considerations in Danish Parliamentary Debates
Scandinavian Political Studies, 26(3).
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2003). Towards a New Politics of health.
Politics of Health Group Discussion Paper No. 1.
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2005). Towards a politics of health. Health
Promotion International, 20(2), 187-193.
Bambra, C., Smith, K., & Kennedy, L. (2008). Politics and Health. In N. J & W. J
(Eds.), Health Studies 2nd edition (pp. 257-287). London: Palgrave
Macmillan.
Bappenas. (2015). Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi Tahun
2014. Jakarta: Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas.
Corburn, J. (2009). Toward the Healthy City: People, Places and the Politics of
Urban Planning. The MIT Press: Cambridge, Massachusetts, London,
England.
De Leeuw, E. (1999). Healthy Cities: Urban social enterpreneurship. Health
Promotion International, 14(3), 262-269.
Heywood, A. (2000). Key concepts in politics. London: Macmillan.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri dan Kesehatan RI. (2005). Peraturan Bersama Menteri
Dalam Negeri (PERBERMENDAGRI) dan Menteri Kesehatan Nomor 34
Tahun 2005 dan Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005. Jakarta:
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Progres Kabupaten/Kota Sehat di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Naerssen, T. v., & Barten, F. (2002). Healthy Cities as a Political Process Germany.
Palutturi, S. (2010). Kesehatan itu Politik. Semarang: e-Media Solusindo.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith University,
Brisbane, Australia.
Scott-Samuel, A. (1979). The politics of health. Community Medicine, 1, 123-126.
Whitehead, M., Diderichsen, F., & Burstrom, B. (2000). Researching the impact of
public policy on inequalities in health. In H. Graham (Ed.), Understanding
health inequalities. Buckingham: Open University Press.
BAB VIII
POLITIK GLOBAL: DARI MDGs KE SDGs
8.1 Pendahuluan
Seseorang pernah bertanya dalam sebuah forum ilmiah, mengapa Millenium
Development Goals (MDGs) selalu menjadi target dari tujuan pembangunan
sementara MDGs akan berakhir pada tahun 2015. Saya jawab secara sederhana
bahwa betul MDGs akan berakhir pada tahun 2015 tetapi masalahnya belum berakhir.
Berbagai masalah dan agenda yang belum terselesaikan yang menuntut perhatian
berbagai pihak di semua tingkatan, dari pemerintah daerah, pemerintah pusat dan
bahkan perhatian masyarakat global. Target MDGs yang belum terselesaikan harus
menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan untuk menjamin kesinambungan
dari apa yang telah dicapai pada masa lalu, saat ini dan bahkan mencari solusi
terhadap masalah yang belum terselesaikan. Bab ini pertama akan menjelaskan
pembangunan berkelanjutan itu, tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development Goals), keterkaitan antara MDGs dan SDGs, kesiapan, tantangan dan
bahkan menyiapkan sejumlah rekomendasi untuk mencapai SDGs tersebut.
b. Agenda pembangunan menjadi lebih fokus. Pemerintah pusat dan daerah dapat
mengembangkan program dan penyediaan alokasi anggaran berdasarkan tujuan
dan indikator yang diharapkan dari pencapaian SDGs.
e. Tujuan global dan pencapaian target nasional. Indonesia adalah sebagai bagian
dari masyarakat internasional harus berperan aktif dalam pencapaian tujuan
SDGs ini. SDGs berjalan tidak berarti mengabaikan target nasional namun
berjalan secara secara sinergi bahkan dapat memandu arah dan tujuan
pembangunan global berdasarkan pertimbangan kebutuhan lokal dan nasional.
3) Memastikan hidup yang sehat dan memajukan kesejahteraan bagi semua orang di
semua usia
a. Pada tahun 2030 mengurangi rasio kematian ibu secara global kurang dari 70
per 100.000 kelahiran hidup
b. Pada tahun 2030 kematian dapat dicegah dari bayi yang baru lahir dan balita
c. Pada tahun 2030 mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, dan
penyakit tropis tdan memerangi hepatitis, penyakit yang terbawa air, dan
penyakit menular lainnya
11) Membuat kota dan permukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh dan
berkelanjutan
a. Pada tahun 2030, memastikan adanya akses bagi semua untuk memadai,
aman dan perumahan yang terjangkau dan layanan dasar, dan peningkatan
kawasan kumuh
b. Pada tahun 2030, memberikan akses yang aman, terjangkau, dapat diakses
dan sistem transportasi yang berkelanjutan untuk semua, meningkatkan
keamanan berkendara, terutama dengan memperluas transportasi umum,
dengan perhatian khusus pada kebutuhan mereka yang rentan pada kondisi
ini, wanita, anak-anak, penyandang cacat dan orang tua
c. Pada tahun 2030 meningkatkan yang inklusif dan urbanisasi
berkesinambungan dan kapasitas untuk partisipatif, terpadu dan perencanaan
pemukiman manusia yang berkelanjutan dan manajemen di semua negara
13) Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampak
dampaknya
a. Memperkuat ketahanan dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya iklim terkait
dan bencana alam di semua negara
b. Mengintegrasikan langkah-langkah perubahan iklim ke dalam kebijakan
nasional, strategi, dan perencanaan
c. Meningkatkan pendidikan, peningkatan kesadaran dan manusia dan
kapasitas kelembagaan pada mitigasi perubahan iklim, adaptasi,
pengurangan dampak, dan peringatan dini
16) Mendorong kehidupan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua, dan
membangun institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan
a. Signifikan mengurangi segala bentuk kekerasan dan tingkat kematian yang
terkait di mana-mana
b. Mengakhiri penyalahgunaan, eksploitasi, perdagangan dan segala bentuk
kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak
c. Mempromosikan aturan hukum di tingkat nasional dan internasional, dan
menjamin akses yang sama terhadap keadilan bagi semua
Dalam kaitan dengan hubungan antara MDGs dan SDGs, maka dikaji lebih
jauh perbandingan antara kedua tujuan pembangunan tersebut seperti pada Tabel 8.1.
Tabel 8.1: Perbandingan MDGs dan SDGs
No MDGs SDGs
Jika dianalisis lebih jauh, maka kita bisa lihat persamaan dan perbedaan antara
MDGs dan SDGs, yaitu:
a. Kemiskinan dan kelaparan. Menanggulangi masalah kemiskinan dan kelaparan
menjadi penekanan pada poin 1 dan 2 dari SDGs bahkan menghapus kemiskinan
dalam segala bentuknya di manapun baik kemiskinan strukural maupun
kemiskinan kultural bahkan kemiskinan rasional. Yang dimaksudkan kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang terjadi disebabkan karena kebijakan-kebijakan
pemerintah yang yang tidak berpihak pada rakyat. Kemiskinan struktural ini
bukan karena kemalasan si miskin atau etos kerja yang rendah, tetapi karena
sistem sosial, politik dan ekonomi negara yang menyebabkan satu atau banyak
kelompok termarginalkan. Seseorang bisa menjadi miskin karena aspek politik
misalnya tidak ada budaya demokrasi yang mengakar di masyarakat, keputusan
politik yang sangat dipengaruhi oleh keputusan dan kepentingan politik luar
negeri dan lemahnya kontrol langsung dari rakyat terhadap birokrasi. Misalnya
jika negara-negara pendonor hanya memberikan perhatian pada kelompok negara
tertentu saja, maka kemiskinan dapat terjadi dan masalah kesehatan bisa semakin
meluas di wilayah tersebut. Dari aspek ekonomi seseorang dapat menjadi miskin
karena kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi dan rendahnya
akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.
Selain itu seseorang juga menjadi miskin karena aspek sosial budaya misalnya
hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat, hancurnya
kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial dan
lemahnya kelembagaan yang ada.
Kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural ini terjadi sebagai akibat dari adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, misalnya malas
bekerja, pasrah dan mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja
yang tinggi, atau karena ada sebab lainnya. Kemiskinan cultural ini memiliki cirri
masyarakat yang enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga
utama, sikap apatis, selalu curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Terakhir
adalah kemiskinan rasional. Kemiskinan yang terjadi karena keterbatasan
kualitas maupun kuantitas SDA dan SDM, tidak adanya/ hilangnya sumber daya
alam yang menguntungkan dan kurangnya keahlian dan kualitas sumber daya
manusianya mau tidak mau menjadi penyebab terjadinya kemiskinan rasional.
Selain itu pula bisa diakibatkan oleh musibah, bencana alam dan bencana-
bencana lainnya.
SDGs ini bertanggung jawab tidak hanya pada bentuk kemiskinan tetapi juga
kemiskinan pada konteks wilayah dan kelompok. Negara-negara yang ikut
menyepakati SDGs ini member komitmen untuk bertanggung jawab pada
masalah kemiskinan ini dimana pun terjadi, pada kelompok manapun dan pada
warna kulit apapun.
Poin ke-2 dari SDGs itu adalah mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan
pangan dan perbaikan gizi, dan memajukan pertanian berkelanjutan. Poin 2 ini
lebih menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab untuk mengakhiri
kelaparan, menjamin ketersediaan dan keamanan pangan dan memajukan
pertanian yang berkelanjutan sebagai sektor yang bertanggung jawab secara
langsung. Tidak hanya memajukan pertanian tetapi juga harus mampu menjamin
keberlanjutannya dalam aspek ketersediaan, distribusi dan frekuensinya.
Poin 1 dan 2 dari SDGs terdapat keterkaitan dengan poin 3, yaitu diharapkan
dengan terpenuhinya masalah tersebut dapat memastikan hidup yang sehat dan
memajukan kesejahteraan bagi semua orang di semua usia. Semua orang dalam
pengertian tidak ada perbedaan antara kulit hitam dan kulit putih, orang Asia dan
Eropa dan pada semua kelompok usia yaitu tanpa melihat perbedaan hanya pada
kelompok-kelompok produktif saja dan mengabaikan kelompok balita atau usia
lanjut.
Selain itu poin penting dari SDGs yang juga berkaitan dengan aspek pemenuhan
terhadap masalah kemiskinan dan kelaparan adalah upaya memastikan pola
konsumsi dan produksi yang keberlanjutan. Aspek yang berkaitan dengan
peningkatan status gizi menjadi sangat penting disini.
Poin 10 di MDGs sesungguhnya telah disebutkan dengan jelas bahwa salah satu
aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan global yang berkelanjutan
adalah mengurangi ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara, termasuk
di dalamnya adalah ketimpangan yang berkaitan dengan pendidikan.
Ketimpangan pendidikan dalam negara tersebut atau ketimpangan yang terjadi
diantara negara-negara yang ada. Artinya bahwa semua negara harus mampu
menjamin rakyatnya untuk memiliki akses pendidikan yang sama dan negara
maju harus mampu member support kepada negara-negara berkembang untuk
dapat berdiri sejajar dengan negara-negara lain yang sudah maju.
c. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Hal ini juga telah menjadi
poin penting dari MDGs namun perbedaanya adalah bahwa di SDGs
memberikan penekanan pada upaya untuk mencapai kesetaraan gender dan
memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Terdapat 3 kata kunci
dari poin ini yaitu: kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan
pemberdayaan anak perempuan. Tidak hanya perempuan yang diberdayakan
tetapi juga termasuk anak-anaknya harus diberdayakan dan dipersiapkan dalam
hal kesempatan mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan, kesehatan,
jumlah anak yang dilahirkan, jarak kelahiran dan pemilihan jenis KB yang
digunakan.
Selain poin di atas beberapa poin lain yang dipandang berdimensi dengan upaya
menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah poin 13, 14 dan 15. Poin 13
menekankan pada upaya mengambil tindakan segera untuk memerangi
perubahan iklim dan dampaknya, poin 14 mendukung upaya menghemat dan
menjaga kesinambungan dalam menggunakan samudera, laut dan sumber daya
untuk pembangunan yang berkelanjutan dan poin 15 yaitu melindungi,
memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem darat,
mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan
menghentikan degradasi tanah cadangan serta menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati.
Pada level negara, setiap kementerian dapat menyusun strategi dan penganggaran
untuk pencapaian SDGs tersebut. Dalam konteks program perencanaan dan
keuangan, maka tentu Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian
Kesehatan adalah badan atau kementerian yang paling bertanggung jawab secara
langsung berkaitan dengan sektor kesehatan. Mereka semua yang telah
disebutkan ini memiliki kekuasaan dan pengaruh besar dalam mendorong dan
mengakselerasi target SDGs. Namun sebaliknya, jika semua pemangku dan
pemegang kekuasaan ini tidak memiliki komitmen yang kuat, maka tentu saja
dapat dipastikan bahwa 17 agenda penting dari SDGs, nampaknya bisa sulit untuk
dicapai sesuai dengan target yang ditetapkan.
b. Otoritas politik harus benar-benar mau mengalokasikan sumber daya, menuntut
pengorbanan dan menerima perubahan. SDGs dapat dicapai ketika negara dan
masyarakat global mau terbuka terhadap pengalokasian sumber daya manusia dan
sumber daya finansial. Negara maju mau mensharing sumber daya yang
dimilikinya dan negara berkembang mau belajar atas ketertinggalan yang ada.
Mengembangkan pelatihan dan melakukan studi banding atau benchmarking bagi
negara yang sukses terhadap indikator-indikator SDGs tersebut juga adalah
sesuatu yang perlu diperkuat.
c. Pemimpin politik mana yang berubah? SDGs dapat dicapai jika pelaksana negara
mau berubah dan memiliki visi masa depan yang kuat dan konsisten untuk
menjalankannya. Para pemimpin politik yang kuat selalu menentang status quo
dan cinta terhadap perubahan yang mengarah kepada yang lebih baik. Change,
change and change. Perlu pengorbanan dan keinginan untuk menerima perubahan.
c. Dari 17 dimensi SDGs, ambil satu diantaranya sebagai masalah prioritas, berikan
alasan disertai data dan fakta dan susun langkah-langkah strategis untuk
memecahkan masalah tersebut!
a. Integrasi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan adalah esensi dari Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.
b. Terdapat persamaan dan perbedaan pada MDGs dan SDGs terutama pada
penekanan pada dimensi atau aspek dari MDGs dan SDGs tersebut.
References
Budiardjo, M. (2002). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Drexhage, J., & Murphy, D. (2010). Sustainable Development: From Brundtland to
Rio 2012, prepared for consideration by the High Level Panel on Global
Sustainability at its first meeting, 19 September 2010 New York: United
Nations Headquarters.
International social science council. (2015). Sustainable Development Goals and
Targets. Paris: International Council for Science (ICSU).
Kementerian Luar Negeri. (2014). Proses Pembahasan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Tingkat Global.
Jakarta: Kementrian Luar Negeri.
Osborn, D., Cutter, A., & Ullah, F. (2015). UNIVERSAL SUSTAINABLE
DEVELOPMENT GOALS: Understanding the Transformational Challenge
for Developed Countries: Stakeholder Forum.
Rahman, A. B. (2012). Menuju Sustainable Development Goals (SDGs) di
Indonesia. Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
UNCG. (2015). Saatnya untuk Aksi Global Jakarta: United Nations Information
Centre.
PROFIL PENULIS