Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju ke usia
dewasa dimana secara psikologi akan mencari identitas diri dan secara fisik remaja akan mengalami perubahan yang sangat pesat sehingga dibutuhkan zat gizi lebih tinggi daripada usia lain (Zulfa, 2011). Kualitas sumber daya harus dipersiapkan sejak dini. Remaja adalah salah satu sumberdaya manusia dimasa depan yang harus dipertahankan dan ditingkatkan status gizinya. Rendahnya status gizi pada remaja akan berdampak negatif terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia (Faizah, 2013). Status gizi menjadi bagian penting dari status kesehatan remaja. Status gizi adalah gambaran kondisi fisik seseorang akibat keseimbangan antara asupan yang masuk dan energy yang dikeluarkan oleh tubuh. Untuk mengetahui keberhasilan remaja dalam menerapkan gizi seimbang melalui status gizi, menggunakan antropometri dengan menghitung indeks masa tubuh berdasarkan usia apakah remaja tersebut dalam status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Dwi, 2012). Gizi sangat dibutuhkan dalam tumbuh kembang remaja. Ketika tubuh kekurangan makanan yang bergizi makan akan berdampak pada pertumbuhan remaja dimana ndeks TB/U dengan kategori pendek sebesar 24,5% dan kategori sangat pendek sebesar 12,3%, dan pada wilayah Sulawesi Tenggara prevalensi anak remaja usia 13-15 Tahun berdasarkan indeks IMT/U dengan kategori kurus adalah sebesar 6,4% dan kategori sangat kurus sebesar 5,4% serta prevalensi anak remaja berdasarkan indeks TB/U dengan kategori pendek sebesar 22,3% dan kategori sangat pendek sebesar 19,3%. Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Indonesia 2018, menjelaskan bahwa kegemukan dan kekurusan pada remaja putri umur 12-18 mengalami penurunan dari38,5% menjadi 19,4% pada kegemukan, dan 6,7% menjadi 4,7% pada kekurusan, dan di Sulawesi Tenggara menunjukan sebanyak 5,6 remaja putri berada pada status gizi kurus, 79,5 normal, 10,5 gemuk dan 1,4 obesitas. Visi Indonesia Sehat 2015 bertujuan untuk mensejahterakan rakyat dalam peningkatan kesehatan termasuk gizi. Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 141 ayat 1 menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat (Mariza dan Kusumastuti, 2013). Remaja termasuk salah satu kelompok rentan yang mengalami masalah gizi pada periode puncak tumbuh kembangnya karena pertama, mereka sedang masa peralihan dimana terjadi perubahan pada pertumbuhan, perkembangan dan produktifitasnya. Kedua, remaja putri sangat memperhatikan penampilan dan bentuk tubuhnya, mereka akan melakukan hal apapun untuk mendapatkan tubuh yang ideal sesuai dengan keinginan mereka, Sejak tahun 2010, westernisasi menjadi kiblat remaja dalam berbagai bidang, diantaranya gaya hidup dan perilaku makan. Salah satu negara yang menjadi kiblat remaja adalah Korea. Dengan masuknya “Korean wave” atau demam korea, remaja-remaja mengidolakan tokoh-tokoh penyanyi dan artis dari negara tersebut. Mereka berusaha untuk meniru apa yang melekat pada artis Korea, yaitu tubuh yang super langsing. Sehingga muncul body image negatif di kalangan remaja, bahwa tubuh yang ideal adalah tubuh yang super langsing. Hal yang dilakukannya adalah dengan berdiet ketat dan mengurangi jumlah makan dalam sehari. Ketiga, remaja sudah mulai memiliki keingintahuan yang tinggi dan lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal baru. Pengaruh yang paling besar dalam perilaku makan justru timbul dari teman sebanyanya karena remaja menginginkan penerimaan dan pengakuan sehingga pemilihan makanan menjadi penting agar remaja diterima oleh teman sebayanya (Damopolii, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2015) menyatakan bahwa 79,2% perilaku makan remaja tidak baik. Remaja sering melewatkan sarapan pagi dan menggantikannya dengan makan-makanan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja Remaja adalah fase perkembangan seseorang menuju ke dewasa dimana pada fase ini terjadi perubahan pada fisik, sosial dan emosionalnya. Remaja yang berkembang dilingkungan yang kurang kondusif cenderung memiliki perilaku yang tidak baik seperti melawan pada orangtua, keras kepala, emosi tidak terkendali. Sedangkan remaja yang berada di lingkungan harmonis bisa membuat kematangan emosinya lebih stabil sehingga remaja memiliki sifat kasih sayang dan lebih bisa menghargai oranglain (Zulfa, 2011). Tahap remaja adalah masa transisi antara masa anak menuju dewasa. Pada masa ini terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai fertilitas, dan terjadi perubahan-perubahan psikologis serta kognitif. Data demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun. Di Indonesia kelompok umur 10-19 tahun sekitar 22% dari total populasi. Remaja yang berpeluang memiliki sumber daya manusia (SDM) berkualitas adalah remaja yang berhasil mencapai potensi biologisnya secara optimal. Tercapainya potensi biologis yang optimal merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan biofisikopsikososial yang salah satunya adalah asupan zat gizi yang adekuat (Muchtar, 2011). 2.2 Status Gizi Status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari (Zarei, 2013). Sedangkan menurut Hasdianah (2014) status gizi didefinisikan sebagai suatu keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu lama yang dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. 2.3 Kebutuhan Gizi Anak Remaja Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi tahun 2013, angka kecukupan gizi untuk remaja menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dibedakan sebagai berikut: Berat Tinggi Kelompok Energi Karbohidrat Protein Lemak Badan Badan Umur (kkal) (g) (g) (g) (kg) (cm) Laki-laki 10-12 34 142 2100 290 50 70 13-15 46 158 2550 350 62 85 16-18 56 166 2650 350 62 88 Perempuan 10-12 36 145 2000 270 52 70 13-15 46 155 2150 300 60 70 16-18 50 157 2150 300 58 70 Sumber: Kementrian Kesehatan RI 2013. 2.4 Masalah Gizi Pada Remaja Remaja termasuk kelompok rentan mengalami masalah gizi. Masalah gizi yang banyak terjadi pada remaja antara lain anemia, gizi kurang dan gizi lebih. Anemia yang paling banyak terjadi pada remaja adalah anemia gizi besi dimana kadar hemoglobin didalam darah kurang dari <12 gr/dl. Menurut Riskesdas (2013) jumlah anemia pada remaja cukup tinggi 21,7% yang banyak terjadi di wilayah pedesaan (22,8%) dibandingkan perkotaan (20,6%). Hal ini terjadi karena kurangnya asupan zat gizi yang banyak mengandunsg zat besi. 2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Status gizi pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah: 2.5.1 Pengetahuan Gizi Semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang dipilih untuk dikonsumsi. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan yang menentukan mudah tidaknya seseorang memahami manfaat kandungan gizi dari mkanan yang dikonsumsi. Sikap dan perilaku makan yang kurang baik akan mengakibatkan status gizi yang kurang bagi remaja tersebut. 2.5.1.1 Tingkatan Pengetahuan Dalam Notoatmodjo (2005) dinyatakan bahwa pengetahuan memiliki enam tingkatan, yaitu: a. Tahu (know, C1) Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa buah tomat banyak mengandung vitamin C, dan sebagainya. Ukuran bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan kata kerja: memilih, melingkari, menyebutkan, mengidentifikasi, menanamkan, mendaftar, memasangkan, menyebutkan, meringkas, mengingat, melaporkan, memilih, dan menyatakan. b. Memahami (comprehension, C2) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya, orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan sekeda menyebutkan 3 M (mengubur, menguras, dan menutup), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup, menguras, dan sebagainya tempat-tempat penampungan air tersebut. Pengukuran tingkat ini dapat menggunakan kata kerja: mendeskripsikan, mendiskusikan, membedakan, mengestimasi, menjelaskan, menggeneralisasi, memberi contoh, menemukan, mengenali, dan merangkum. c. Aplikasi (application, C3) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, orang yang telah paham metodologi penelitian, ia akan mudah membuat proposal penelitian dimana saja, dan sebagainya. Kata kerja yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat ini adalah menerapkan, memperagakan, menggambarkan, menafsirkan, mengubah, menyusun, merevisi, memecahkan, dan menggunakan. d. Analisis (analysis, C4) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya. Kata kerja yang dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat ini adalah menganalisis, menata, menghitung, mengklasifikasi, membandingkan, menyimpulkan,memperlawankan, menetapkan, memilih, dan mendiskriminasi. e. Sintesis (synthesis, C5) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. Misalnya, dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca. Kata kerja yang dapat digunakan pada tingkat ini adalah mengkategorikan, menggabungkan, mengumpulkan, mengkorelasikan, mendesain, merencanakan, menghasilkan, memadukan, mereorganisasi, merevisi, dan merangkum. f. Evaluasi (evaluation, C6) Mengevaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak, seseorang dapat menilai manfaat ikut KB, dan sebagainya. Pengukuran tingkat ini dapat menggunakan kata kerja menaksir, mengkaji, menyimpulkan, mengkritik, mendebat, mempertahankan, menimbang, dan membenarkan. 2.5.2 Pola makan Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah, frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola konsumsi makan harus memperhatikan nilai gizi makanan dan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hal tersebut dapat di tempuh dengan penyajian hidangan yang bervariasi dan dikombinasi, ketersediaan pangan, macam serta jenis bahan makanan mutlak diperlukan untuk mendukung usaha tersebut. Disamping itu jumlah bahan makanan yang dikonsumsi juga menjamin tercukupinnya kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Supariasa, dkk, 2002). Pola konsumsi merupakan serangkaian cara bagaimana makanandiperoleh, jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah makanan yang mereka makan dan pola hidup mereka, termasuk beberapa kali mereka makan atau frekuensi makan. Faktor yang mempengaruhi pola konsumsi diantaranya ketersediaan waktu, pengaruh teman, jumlah uang yang tersedia dan faktor kesukaan serta pengetahuan dan pendidikan gizi (Suhardjo, 2006).
Journal Analisis Strategi Pemasaran Pada Produk Sepeda Motor Matik Berupa Segmentasi, Targeting, Dan Positioning Serta Pengaruhnya Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen Di Semarang