Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju ke usia


dewasa dimana secara psikologi akan mencari identitas diri dan secara fisik
remaja akan mengalami perubahan yang sangat pesat sehingga dibutuhkan zat gizi
lebih tinggi daripada usia lain (Zulfa, 2011). Kualitas sumber daya harus
dipersiapkan sejak dini. Remaja adalah salah satu sumberdaya manusia dimasa
depan yang harus dipertahankan dan ditingkatkan status gizinya. Rendahnya
status gizi pada remaja akan berdampak negatif terhadap peningkatan kualitas
sumberdaya manusia (Faizah, 2013).
Status gizi menjadi bagian penting dari status kesehatan remaja. Status gizi
adalah gambaran kondisi fisik seseorang akibat keseimbangan antara asupan yang
masuk dan energy yang dikeluarkan oleh tubuh. Untuk mengetahui keberhasilan
remaja dalam menerapkan gizi seimbang melalui status gizi, menggunakan
antropometri dengan menghitung indeks masa tubuh berdasarkan usia apakah
remaja tersebut dalam status gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Dwi, 2012). Gizi
sangat dibutuhkan dalam tumbuh kembang remaja. Ketika tubuh kekurangan
makanan yang bergizi makan akan berdampak pada pertumbuhan remaja dimana
ndeks TB/U dengan kategori pendek sebesar 24,5% dan kategori sangat
pendek sebesar 12,3%, dan pada wilayah Sulawesi Tenggara prevalensi anak
remaja usia 13-15 Tahun berdasarkan indeks IMT/U dengan kategori kurus adalah
sebesar 6,4% dan kategori sangat kurus sebesar 5,4% serta prevalensi anak remaja
berdasarkan indeks TB/U dengan kategori pendek sebesar 22,3% dan kategori
sangat pendek sebesar 19,3%.
Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Indonesia 2018, menjelaskan bahwa
kegemukan dan kekurusan pada remaja putri umur 12-18 mengalami penurunan
dari38,5% menjadi 19,4% pada kegemukan, dan 6,7% menjadi 4,7% pada
kekurusan, dan di Sulawesi Tenggara menunjukan sebanyak 5,6 remaja putri
berada pada status gizi kurus, 79,5 normal, 10,5 gemuk dan 1,4 obesitas.
Visi Indonesia Sehat 2015 bertujuan untuk mensejahterakan rakyat dalam
peningkatan kesehatan termasuk gizi. Undang-undang nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan pasal 141 ayat 1 menyatakan bahwa upaya perbaikan gizi
masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat
(Mariza dan Kusumastuti, 2013).
Remaja termasuk salah satu kelompok rentan yang mengalami masalah gizi
pada periode puncak tumbuh kembangnya karena pertama, mereka sedang masa
peralihan dimana terjadi perubahan pada pertumbuhan, perkembangan dan
produktifitasnya. Kedua, remaja putri sangat memperhatikan penampilan dan
bentuk tubuhnya, mereka akan melakukan hal apapun untuk mendapatkan tubuh
yang ideal sesuai dengan keinginan mereka, Sejak tahun 2010, westernisasi
menjadi kiblat remaja dalam berbagai bidang, diantaranya gaya hidup dan
perilaku makan. Salah satu negara yang menjadi kiblat remaja adalah Korea.
Dengan masuknya “Korean wave” atau demam korea, remaja-remaja
mengidolakan tokoh-tokoh penyanyi dan artis dari negara tersebut. Mereka
berusaha untuk meniru apa yang melekat pada artis Korea, yaitu tubuh yang super
langsing. Sehingga muncul body image negatif di kalangan remaja, bahwa tubuh
yang ideal adalah tubuh yang super langsing. Hal yang dilakukannya adalah
dengan berdiet ketat dan mengurangi jumlah makan dalam sehari. Ketiga, remaja
sudah mulai memiliki keingintahuan yang tinggi dan lebih mudah terpengaruh
oleh hal-hal baru. Pengaruh yang paling besar dalam perilaku makan justru timbul
dari teman sebanyanya karena remaja menginginkan penerimaan dan pengakuan
sehingga pemilihan makanan menjadi penting agar remaja diterima oleh teman
sebayanya (Damopolii, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian Suryani (2015) menyatakan bahwa 79,2%
perilaku makan remaja tidak baik. Remaja sering melewatkan sarapan pagi dan
menggantikannya dengan makan-makanan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
Remaja adalah fase perkembangan seseorang menuju ke dewasa dimana
pada fase ini terjadi perubahan pada fisik, sosial dan emosionalnya. Remaja yang
berkembang dilingkungan yang kurang kondusif cenderung memiliki perilaku
yang tidak baik seperti melawan pada orangtua, keras kepala, emosi tidak
terkendali. Sedangkan remaja yang berada di lingkungan harmonis bisa membuat
kematangan emosinya lebih stabil sehingga remaja memiliki sifat kasih sayang
dan lebih bisa menghargai oranglain (Zulfa, 2011).
Tahap remaja adalah masa transisi antara masa anak menuju dewasa. Pada
masa ini terjadi pacu tumbuh (growth spurt), timbul ciri-ciri seks sekunder,
tercapai fertilitas, dan terjadi perubahan-perubahan psikologis serta kognitif. Data
demografi menunjukkan bahwa remaja merupakan populasi yang besar dari
penduduk dunia. Sekitar seperlima dari penduduk dunia adalah remaja
berumur 10-19 tahun. Di Indonesia kelompok umur 10-19 tahun sekitar 22% dari
total populasi. Remaja yang berpeluang memiliki sumber daya manusia (SDM)
berkualitas adalah remaja yang berhasil mencapai potensi biologisnya secara
optimal. Tercapainya potensi biologis yang optimal merupakan hasil interaksi
antara faktor genetik dan lingkungan biofisikopsikososial yang salah satunya
adalah asupan zat gizi yang adekuat (Muchtar, 2011).
2.2 Status Gizi
Status gizi adalah tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat
keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari
makanan yang dikonsumsi sehari-hari (Zarei, 2013). Sedangkan menurut
Hasdianah (2014) status gizi didefinisikan sebagai suatu keadaan seseorang yang
diakibatkan oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam
jangka waktu lama yang dapat diukur secara langsung dan tidak langsung.
2.3 Kebutuhan Gizi Anak Remaja
Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi tahun 2013, angka kecukupan gizi
untuk remaja menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dibedakan sebagai
berikut:
Berat Tinggi
Kelompok Energi Karbohidrat Protein Lemak
Badan Badan
Umur (kkal) (g) (g) (g)
(kg) (cm)
Laki-laki
10-12 34 142 2100 290 50 70
13-15 46 158 2550 350 62 85
16-18 56 166 2650 350 62 88
Perempuan
10-12 36 145 2000 270 52 70
13-15 46 155 2150 300 60 70
16-18 50 157 2150 300 58 70
Sumber: Kementrian Kesehatan RI 2013.
2.4 Masalah Gizi Pada Remaja
Remaja termasuk kelompok rentan mengalami masalah gizi. Masalah gizi
yang banyak terjadi pada remaja antara lain anemia, gizi kurang dan gizi lebih.
Anemia yang paling banyak terjadi pada remaja adalah anemia gizi besi dimana
kadar hemoglobin didalam darah kurang dari <12 gr/dl. Menurut Riskesdas
(2013) jumlah anemia pada remaja cukup tinggi 21,7% yang banyak terjadi di
wilayah pedesaan (22,8%) dibandingkan perkotaan (20,6%). Hal ini terjadi karena
kurangnya asupan zat gizi yang banyak mengandunsg zat besi.
2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Status gizi pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah:
2.5.1 Pengetahuan Gizi
Semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang dipilih untuk
dikonsumsi. Tingkat pengetahuan gizi seseorang berpengaruh terhadap sikap dan
perilaku dalam memilih makanan yang menentukan mudah tidaknya seseorang
memahami manfaat kandungan gizi dari mkanan yang dikonsumsi. Sikap dan
perilaku makan yang kurang baik akan mengakibatkan status gizi yang kurang
bagi remaja tersebut.
2.5.1.1 Tingkatan Pengetahuan
Dalam Notoatmodjo (2005) dinyatakan bahwa pengetahuan memiliki
enam tingkatan, yaitu:
a. Tahu (know, C1)
Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa buah tomat banyak
mengandung vitamin C, dan sebagainya. Ukuran bahwa orang tahu sesuatu dapat
menggunakan kata kerja: memilih, melingkari, menyebutkan, mengidentifikasi,
menanamkan, mendaftar, memasangkan, menyebutkan, meringkas, mengingat,
melaporkan, memilih, dan menyatakan.
b. Memahami (comprehension, C2)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan
secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya, orang yang
memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan sekeda
menyebutkan 3 M (mengubur, menguras, dan menutup), tetapi harus dapat
menjelaskan mengapa harus menutup, menguras, dan sebagainya tempat-tempat
penampungan air tersebut. Pengukuran tingkat ini dapat menggunakan kata kerja:
mendeskripsikan, mendiskusikan, membedakan, mengestimasi, menjelaskan,
menggeneralisasi, memberi contoh, menemukan, mengenali, dan merangkum.
c. Aplikasi (application, C3)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui
tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, orang yang telah paham metodologi
penelitian, ia akan mudah membuat proposal penelitian dimana saja, dan
sebagainya. Kata kerja yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat ini adalah
menerapkan, memperagakan, menggambarkan, menafsirkan, mengubah,
menyusun, merevisi, memecahkan, dan menggunakan.
d. Analisis (analysis, C4)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa
pengetahuan seseorang itu sudah sampai tingkat analisis adalah apabila orang
tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat
diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, dapat
membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat
diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan sebagainya. Kata kerja yang
dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat ini adalah menganalisis, menata,
menghitung, mengklasifikasi, membandingkan, menyimpulkan,memperlawankan,
menetapkan, memilih, dan mendiskriminasi.
e. Sintesis (synthesis, C5)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
Misalnya, dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri
tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan
tentang artikel yang telah dibaca. Kata kerja yang dapat digunakan pada tingkat
ini adalah mengkategorikan, menggabungkan, mengumpulkan, mengkorelasikan,
mendesain, merencanakan, menghasilkan, memadukan, mereorganisasi, merevisi,
dan merangkum. f. Evaluasi (evaluation, C6)
Mengevaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan
sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma
norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, seorang ibu dapat menilai atau
menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak, seseorang dapat
menilai manfaat ikut KB, dan sebagainya. Pengukuran tingkat ini dapat
menggunakan kata kerja menaksir, mengkaji, menyimpulkan, mengkritik,
mendebat, mempertahankan, menimbang, dan membenarkan.
2.5.2 Pola makan
Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah,
frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola konsumsi makan harus
memperhatikan nilai gizi makanan dan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hal
tersebut dapat di tempuh dengan penyajian hidangan yang bervariasi dan
dikombinasi, ketersediaan pangan, macam serta jenis bahan makanan mutlak
diperlukan untuk mendukung usaha tersebut. Disamping itu jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi juga menjamin tercukupinnya kebutuhan zat gizi yang
diperlukan oleh tubuh (Supariasa, dkk, 2002).
Pola konsumsi merupakan serangkaian cara bagaimana makanandiperoleh,
jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah makanan yang mereka makan dan pola
hidup mereka, termasuk beberapa kali mereka makan atau frekuensi makan.
Faktor yang mempengaruhi pola konsumsi diantaranya ketersediaan waktu,
pengaruh teman, jumlah uang yang tersedia dan faktor kesukaan serta
pengetahuan dan pendidikan gizi (Suhardjo, 2006).

Anda mungkin juga menyukai