Anda di halaman 1dari 15

IKTERUS OBSTRUKTIF

I. PENDAHULUAN

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan


lainnya(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh
bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin
dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin heme pada metabolisme sel darah
merah.1 Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit hati atau kelainan fungsi
hati, saluran empedu dan penyakit darah (khususnya kelainan sel darah merah).
Kadar normal bilirubin dalam serum berkisar antara 0,3 – 1,0 mg/dl dan
dipertahankan dalam batasan ini oleh keseimbangan antara produksi bilirubin
dengan penyerapan oleh hepar, konyugasi dan ekskresi empedu. Bila kadar
bilirubin sudah mencapai 2 – 2,5 mg/dl maka sudah telihat warna kuning pada
sklera dan mukosa sedangkan bila sudah mencapai > 5 mg/dl maka kulit tampak
berwarna kuning. Ikterus terjadi karena peningkatan kadara bilirubin direk
(conjugated bilirubin) dan atau kadar bilirubin indirek (unconjugated bilirubin).4
Kata ikterus (jaundice) berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti
kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari,
dengan melihat sklera mata. 1,2
Ada 3 tipe ikterus yaitu ikterus pre hepatika (hemolitik), ikterus hepatika
(parenkimatosa) dan ikterus post hepatika (obstruksi).
Ikterus obstruksi (post hepatika) adalah ikterus yang disebabkan oleh
gangguan aliran empedu antara hati dan duodenum yang terjadi akibat adanya
sumbatan (obstruksi) pada saluran empedu. Ikterus obstruksi disebut juga ikterus
kolestasis dimana terjadi stasis sebagian atau seluruh cairan empedu dan bilirubin
ke dalam duodenum.4 Pada ikterus obstruktif, kecepatan pembentukan bilirubin
adalah normal, tapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat dari darah ke dalam
usus akibat adanya suatu obstruksi.2

1
Ada 2 bentuk ikterus obstruksi yaitu obstruksi intra hepatal dan ekstra
hepatal. Pada ikterus obstruksi intra hepatal terjadi kelainan di dalam parenkim
hati, kanalikuli atau kolangiola yang menyebabkan tanda-tanda stasis empedu,
sedangkan sedangkan ikterus obstruksi ekstra hepatal terjadi kelainan di luar
parenkim hati (saluran empedu di luar hati) yang juga menyebabkan tanda-tanda
stasis empedu.3

II. ETIOLOGI

Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati
(kanalikulus), sampai ampula vateri, sehoingga ikterus obstruktif berdasarkan
lokasi obstruksinya dibedakan atas ikterus obstruksi ekstrahepatik dan
intrahepatik. Adapaun penyebab ikterus ekstrahepatik antara lain :
 Atresia biliaris
 Stenosis duktus biliaris
 Hipoplasia biliaris
 Massa (batu, neoplasma)
 Perforasi spontan duktus biliaris
Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik :
 Idiopatik :
 Hepatitis neonatal idiopatik. Kelianan ini ditandai oleh
peningkatan kadar bilirubin direct dan bilirubin indirect
yang dihubungkan dengan adanya giant cell transformation
dalam parenkim hati.11
 Kolestasis intrahepatik persisten
 Kelainan anatomis struktur intrahepatik
 Defisiensi alfa-1 antitripsin
 Hepatitis. Peradangan intrahepatik pada hepatitis mengganggu
transport bilirubin terkonyugasi dan menyebabkan ikterus.
 Defisiensi alfa-1 antitripsin
 Gangguan genetik & kromosom

2
III. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Ikterus obstruksi dapat ditemukan pada semua kelompok umur, tetapi bayi
baru lahir dan anak-anak lebih rentan mengalami ikterus obstruksi karena struktur
hepar yang masih immatur.8
Bayi-bayi yang lahir prematur, BBLR, dan riwayat sepsis,serta riwayat
mendapat nutrisi parenteral dalam waktu lama meningkatkan risiko terjadinya
ikterus obstruksi.8
Adapun Angka kejadian ikterus obstruksi kausa Atresia Bilier (AB) di
USA sekitar 1:15.000 kelahiran, dan didominasi oleh pasien berjenis kelamin
wanita.6 Dan didunia angka kejadian Atresia Bilier tertinggi di Asia, dengan
perbandingan bayi-bayi di negara Cina lebih banyak dibandingkan Bayi di Negara
Jepang.5
Dari segi gender, Atresia Bilier lebih sering ditemukan pada anak
perempuan. Dan dari segi usia, lebih sering ditemukan pada bayi-bayi baru lahir
dengan rentang usia kurang dari 8 minggu5. Insidens tinggi juga ditemukan pada
pasien dengan ras kulit hitam yang dapat mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras
kulit putih.5,11
Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier
377 (34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), α-1 antitripsin defisiensi 189
(17,4%), hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus
koledokus 34 (3,1%).9
Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun
1999-2004 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal
kolestasis. Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus
koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1
(1,04%).9

3
IV. PATOGENESIS
Metabolisme Bilirubin
Bilirubiin merupakan pigmen tetrapirol yang larut dalam lemak yang
berasal dari pemecahan sel-sel eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag dari
sistem retikulo-endotelial terutama dalam lien.. Masa hidup rata-rata eritrosit
adalah 120 hari. Setiap hari sekitar 50 cc darah dihancurkan menghasilkan 200 –
250 mg bilirubin. Kini diketahui juga bahwa pigmen empedu sebagian juga
berasal dari destruksi eritrosit matang dalam sumsum tulang dan dari hemoprotein
lain.3,4
Pada proses penghancuran eritrosit di organ RES, cincin hem setelah
dibebaskan dari Fe dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau oleh
enzim heme oksigenase. Enzim reduktase akan merubah biliverdin menjadi
bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini akan berikatan dengan protein
sitosolik spesifik membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan
melalui darah ke dalam sel hati. Pada saat transportasi menuju hati, bilirubin ini
berikatan dengan albumin. Bilirubin ini dikenal sebagai bilirubin yang belum
dikonjugasi (bilirubin I) atau bilirubin indirek berdasarkan reaksi diazo Van den
Berg. Bilirubin indirek ini tidak larut dalam air dan tidak diekskresi melalui urine.
3

Saat tiba di hati, albumin dipisahkan dan bilirubin indirect terikat pada
protein akseptor sitoplasmik Y dan Z hepatosit. Di dalam hepatosit, bilirubin
indirect akan diikat oleh asam glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil
transferase. Hasil gabungan ini disebut bilirubin direct (memberikan reaksi
langsung dengan diazo Van den Berg) atau bilirubin terikat (conjugated bilirubin),
dan bersifat larut dalam air. Selanjutnya bilirubin direct akan dikeluarkan ke
saluran empedu.. Didalam hati kira-kira 80% bilirubin terdapat dalam bentuk
bilirubin direk (terkonjugasi atau bilirubin II).3,4,15
Melalui saluran empedu, bilirubin direk akan masuk ke usus halus sampai
ke kolon. Oleh aktivitas enzim-enzim bakteri dalam kolon, glukoronid akan
pecah dan bilirubin dirubah menjadi mesobilirubinogen, stercobilinogen dan
urobilinogen yang sebagian besar diekskresikan ke dalam feses. Urobilinogen

4
akan dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna feses. Bila terjadi obstruksi
total saluran empedu maka tidak akan terjadi pembentukan urobilinogen dalam
kolon sehingga warna feses seperti dempul (alkoholik). Urobilinogen yang
terbentuk akan direabsorbsi dari usus , dikembalikan ke hepar yang kemudian
langsung diekskresikan ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sejumlah
kecil lainnya diserap oleh usus dan masuk ke aliran darah, mencapai ginjal dan
diekskresi melalui urine.3,4,15

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin (dikutip dari kepustakaan 3)

5
Patofisiologi Ikterus Obstruktif
Patofisiologi ikterus obstruktif juga belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan gambaran histopatologik, diketahui bahwa karena proses inflamasi
berkepanjangan yang menyebabkan duktus bilier ekstrahepatik mengalami
kerusakan secara progresif. Pada keadaan lanjut proses inflamasi menyebar ke
duktus bilier intrahepatik, sehingga akan mengalami kerusakan yang progresif
pula.6
Hasil penelitian terbaru telah mempostulasikan malformasi kongenital pada
sistem ductus bilier sebagai penyebabnya. Tapi bagaimana pun juga kebanyakan
bayi baru lahir dengan Atresia Bilier, ditemukan lesi inflamasi progresif yang
menandakan telah terjadi suatu infeksi dan/atau gangguan agen toksik yang
mengakibatkan terputusnya duktus biliaris.5
Pada atresia bilier tipe III, varian histopatologis yang sering ditemukan,
sisa jaringan fibrosis mengakibatkan sumbatan total pada sekurang-kurangnya
satu bagian sistem bilier ekstrahepatik. Duktus intrahepatik, yang memanjang
hingga ke porta hepatis, pada awalnya paten hingga beberapa minggu pertama
kehidupan tetapi dapat rusak secara progresif oleh karena serangan agen yang
sama dengan yang merusak ductus ekstrahepatik maupun akibat efek racun
empedu yang tertahan lama dalam ductus ekstrahepatik.5
Peradangan aktif dan progresif yang terjadi pada pengrusakan sistem bilier
dalam penyakit Atresia Bilier merupakan suatu lesi dapatan yang tidak melibatkan
satu faktor etiologik saja. Namun agen infeksius dianggap lebih memungkinkan
menjadi penyebab utamanya, terutama pada kelainan atresia yang terisolasi.
Beberapa penelitian terbaru telah mengidentifikasi peningkatan titer antibodi
terhadap retrovirus tipe 3 pada pasien - pasien yang mengalami atresia.
Peningkatan itu terjadi pula pada rotavirus dan sitomegalovirus.5,12

6
Gambar 3. Kolestasis intrahepatal (atas) dan kolestasis ekstrahepatal (bawah)
(dikutip dari kepustakaan 3)

Efek patofisiologis yang nyata terlihat pada ikterus obstruktif adalah tidak
adanya komponen garam empedu dan bilirubin dalam usus. Tidak adanya
bilirubin dalam usus menyebabkan tinja pasien dengan ikterus obstruksi berwarna
pucat. Tidak adanya garam empedu menimbulkan malabsorbsi lemak, sehingga
timbul gejala steatorea dan defisiensi vitamin larut lemak seperti vitamin A, K,
dan D. Defisisensi vitamin K akan mengurangi kadar protrombin, sehingga
menimbulkan gangguan pembekuan darah. Pada ikterus obstruktif yang
berkepanjangan, yang disertai malabsorbsi vitamin D dan Ca, dapat menyebabkan
terjadinya osteoporosis atau osteomalacia. Kadang-kadang pruritus timbul sebagai
gejala awal, hal ini berkaitan dengan peningkatan kadar asam empedu dalam
plasma dan pengendapannya di jaringan perifer terutama kulit. Kadang-kadang

7
terbentuk xantoma kulit (penimbunan fokal kolesterol) akibat hiperlipidemia dan
gangguan eksresi kolesterol.3,7
Temuan laboratorium yan karakteristik adalah peningkatan kadar akali
fosfatase serum, suatu enzim yang terdapat di epitel duktus empedu dan
membrane kanalikulus hepatosit. Terdapat isozim yang secara normal ditemukan
dalam banyk jaringan lain seperti tulang, sehingga kadar yang meningkat tersebut
perlu dipastikan berasal dari hati.3

V. MANIFESTASI KLINIS

Pasien yang mengalami ikterus obstruktif umumnya datang dengan


keluhan mata dan kulit berwarna kuning, urin berwarna gelap dan feses yang
pucat. Sering pula pasien datang dengan keluhan gatal-gatal pada kulit. Bayi yang
yang disertai infeksi biasanya terlihat lesu dan nafsu makan menurun. Riwayat
demam, kolik bilier serta ikterus yang intermitten mengarahkan kita pada
diagnosis cholangitis dan choledocholithiasis.7, 15

VI. DIAGNOSIS
A. Gambaran Klinis
 Anamnesis
Ikterus neonatorum yang timbul pada bayi umur 2-3 hari biasanya
akan menghilang pada umur 2-3 minggu. Bila ikterus menetap
setelah 2-3 minggu sebaiknya dipikirkan kelainan patologis.4
Kecurigaan adanya obstruksi pada ikterus yang memanjang (lebih
dari 2 minggu) disertai dengan terlihatnya tinja yang akolis dan
urin yang menyerupai teh pekat. Pada kebanyakan kasus, feses
akolik tidak ditemukan pada minggu pertama kehidupan. Tapi
beberapa minggu setelahnya. Nafsu makan, pertumbuhan dan
pertambahan berat badan biasanya normal. Selanjutnya, perlu
dipikirkan apakah kasus ini termasuk kausa hepatitis atau atresia.4

8
Pada anamnesis sebaiknya ditanyakan apakah ada gejala ikterus
memanjang pada saudara kandung lainnya dan bagaimana
perjalanan penyakitnya. Pertanyaan ini menjadi penting karena
ikterus kausa hepatitis bisa ditemukan pada penderita dan
saudaranya. Selain itu perlu pula ditanyakan tentang riwayat
kelahiran bayi, karena umumnya atresia bilier ditemukan pada bayi
yang aterm, meskipun insidens yang lebih tinggi lagi ditemukan
pada yang BBLR (bayi berat lahir rendah).4,5

 Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis ikterus mudah dilihat, hati membesar dan
bila teraba tumpul dan keras lebih condong disebabkan oleh atresia,
sedangkan pembesaran yang rata dan lunak lebih ke arah hepatitis.
Adanya hepatosplenomegali mengarah kepada kemungkinan
adanya hipetensi portal. Ditemukannya asites, edema dan pucat
menunjukkan adanya kemundurang fungsi hati lanjut.4
Jika pada palpasi teraba pembesaran kandung empedu dapat
dicurigai terjadinya keganasan extrahepatik (Couvoissier’s Law).7

B. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Hiperbilirubinemia terkonjugasi, didefinisikan sebagai peningkatan
bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau lebih dari 20% total
bilirubin.5,13
Bayi dengan Atresia Bilier menunjukkan peningkatan moderat
pada bilirubin total, yang biasanya antara 6-12 mg/dl, dengan fraksi
terkonjugasi mencapai 50-60% dari total bilirubin serum.5
Memeriksa kadar alkaline phosphatase (AP), 5' nucleotidase,
gamma-glutamyl transpeptidase (GGTP), serum aminotransferases
dan serum asam empedu.5

9
Pada semua tes ini, terjadi peningkatan baik dalam hal sensitivitas
maupun spesifitas. Sayangnya, tidak ada satu pun pemeriksaan
biokimia yang dapat membedakan secara akurat antara Atresia
Bilier dengan penyebab kolestasis lain pada neonatus.5
Sebagai tambahan terhadap hiperbilirubinemia terkonjugasi
(temuan universal terhadap semua bentuk kolestasis neonatus),
abnormalitas pemeriksaan enzim termasuk peningkatan level AP.
Pada bebrapa kasus, peningkatan AP akibat sumber skeletal dapat
dibedakan dengan yang berasal dari hepar dengan menghitung
fraksi spesifik hati, 5` nucleotidase.5
GGTP merupakan protein membrane integral pada kanalikuli bilier
dan mengalami peningkatan pada kondisi kolestasis. Kadar GGTP
berhubungan erat dengan kadar AP dan mengalami peningkatan
pada semua kondisi yang berkaitan dengan obstruksi bilier. Tapi
bagaimana pun juga terkadang kadar GGTP normal pada beberapa
bentuk kolestasis akibat kerusakan hepatoseluler.5
Kadar aminotransferase tidak terlalu menolong dalam menegakkan
diagnosis secara khusus, meskipun peningkatan kadar alanine
transferase (>800 IU/L) mengindikasikan kerusakan hepatoseluler
yang signifikan dan lebih konsisten pada kondisi sindrom hepatitis
neonatus.5

 Pemeriksaan Radiologis

1. Ultrasonography / Color Doppler Ultrasonography


Sindrom kolestasis neonatus dapat dibedakan dengan anomali
sistem bilier ekstrahepatik dengan menggunakan US, terutama kista
koledokal. Saat ini, diagnosis kista koledokal harus dibuat dengan
menggunakan US fetal in utero.5,13

2. Hepatobiliary scintiscanning (HSS)

10
Hepatobiliary scintigraphy selama beberapa tahun digunakan
sebagai modalitas untuk mendiagnosis atresia bilier.14
Sensitivitas dari scintigraphy untuk mendiagnosis Atresia bilier
terlihat cukup tinggi dati 2 retrospektif (83% sampai 100%), dengan
secara nyata pasien yang terkena tidak menunjukkan eksresi. Akan tetapi
spesifitas dari modalitas in sedikit berkurang yakni sekitar 33% sampai
80%.13
Jika ekskresi dari radiotracer terlihat/keluar dari, diagnosis atresia
bilier dapat dikeluarkan. Namun jika radiotracer tidak terlihat dalam 24
jam ataupun setelahnya (seperti gambar dibawah ini), dapat dicurigai
atresia bilier.14

3. Cholangiography Intraoperatif
Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan
anatomis traktus biliaris. Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika
biopsi hati menunjukkan adanya etiologi obstruktif. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam saluran
empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif
dilaksanakan. Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan
scintiscan gagal menunjukkan hasil yang adekuat.5,13

VII. DIAGNOSIS BANDING

 Sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom Crigler-Najjar tipe I


merupakan penyakit resesif autosomal yang jarang, pada penyakit tersebut,
enzim yang berperan dalam konjugasi asam glukoronida ke bilirubin sama
sekali tidak terdapat. Akibatnya terjadi peningkatan kadar bilirubin
indireck dalam darah. Sindrom ini biasanya fatal dan menyebabkan
kematian dalam 18 bulan setelah lahir akibat kerusakan otak (kernikerus).
Sedangkan Sindrom Crigler-Najjar tipe II merupakan penyakit resesif
autosomal yang lebih ringan dan nonfatal yang defek enzim konjugasinya

11
hanya bersifat parsial. Konsekuensi utama adalah kulit yang sangat
kuning.3
 Sindrom Dubin-Johnson terjadi akibat defek resesif autosomal protein
pengangkut yang berperan dalam ekskresi hepatoseluler bilirubin
glukoronida melewati membrane kanalikulus. Pada pasien dengan
sindroma ini, memperlihatkan hiperilirubinemia terkonjugasi. Selain
memiliki hati yang berwarna gelap (akibat metabolit epinefrin polimer,
bukan bilirubin) dan hepatomegali, pada pasien ini tidak ditemukan
kelainan fungsi.3

VIII. PENATALAKSANAAN

Penanganan kasus ikterus obstruksi bertujuan menjamin kelancaran aliran


empedu ke duodenum dengan menghilangkan sumbatan dengan cara pembedahan
seperti, pengangkatan batu, reseksi tumor, atau tindakan endoskop laparoskopi
atau laparoskopi eksplorasi terutama pada kasus yang dicurigai sebagai biliary
atresia. Bila penyebab sumbatan tidak dapat diatasi maka aliran empedu dapat
dialihkan dengan drainase eksterna atau drainase interna dapat dilakukan dengan
jalan membuat pintasan biliodigestive atau bypass, misalnya kholesisto-
jejunostomi, kholedoko-jejunostomi, hepatiko- jejunostomi. Pada kasus ikterus
obstruktif kausa hepatitis, sebaiknya diobati secara konservatif dan berupaya agar
kerusakan sel hati masih bersifat reversible.4

IX. PROGNOSIS

Jika ikterus obstruktif disebabkan oleh hepatitis neonatorum tipe giant cell
transformation, maka prognosis umumnya buruk. Mortalitas kira-kira 30-40%.
Prognosis ini berhubungan dengan lengkap atau tidaknya “giant cell
transformation” itu. Pada penderita dengan “giant cell transformation” lengkap,
pada hepar akan terjadi kolaps pasca nekrotik dan fibrosis yang merata tanpa
tonjolan yang regeneratif. Hal ini disebbaka oleh sifat sel raksasa hati yang tidak

12
dapat bereproduksi. Biasanya penderita meninggal dengan ikterus yang berat dan
beberapa gejala yang mirip dengan gejala yang disebabkan atresia bilier.
Prognosis “giant cell transformation” yang tidak lengkap sebaliknya tidak terlalu
buruk, kecuali bila disertai atresia bilier atau infeksi rekuren. Sebabnya ialah
karena bagian parenkim yang masih normal dan mengandung kanal
empedulambat laun dapat beregenerasi menggantikan sel raksasa hati yang
degenerative dan berjangka hidup terbatas, sehingga kadang-kadang dapat
mencapai keadaan hamper normal, baik struktur maupun fungsionalnya.4
Sedangkan ikterus obstruksi kausa atresi bilier memiliki prognosis lebih
baik jika mendapat operasi yang tepat dan cepat. Sebelum ditemukan transplantasi
hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan penyakit hati stadium akhir, angka
kelangsungan hidup jangka panjang pada anak penderita Atresia Bilier yang telah
mengalami portoenterostomy adalah 47-60% dalam 5 tahun dan 25-35% dalam
10 tahun. Sepertiga dari semua pasien ini , mengalami gangguan aliran empedu
setelah mendapat terapi bedah,sehingga anak-anak ini terpaksa menderita
komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama kehidupan mereka
meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang dapat terjadi
setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi portal
(>60%).5

X. PENCEGAHAN

Belum ada upaya pencegahan yang tepat untuk kasus ikterus obstruksi.
Salah satu yang diupayakan adalah ibu hamil sebaiknya tidak mengonsumsi
sembarang obat selama kehamilan untuk mencegah gangguan organogenesis
janinnya.7 Salah satu faktor risiko terjadinya ikterus adalah infeksi, oleh karena itu
meghindari paparan infeksi selama kehamilan dapat diupayakan untuk mencegah
ikterus obstruktif. 15

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaiman, Ali. 2007. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Aru
W Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta :
Penerbitan IPD FKUI. h. 420-423
2. Guyton, Arthur C dan John E hall. 1997. Fisiologi Gastrointestinal. Dalam
: Irawati Setiawan (Editor Bahasa Indonesia) Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC. h. 1108-1109
3. Robbins, Stanley L dan Vinay Kumar. 2007. Buku Ajar Patologi volume 2
edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Abdoerrachman, M.H. et al. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak
Jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
5. Schwarz SM. Pediatric biliary atresia. [online]. Updated Juni 2011. [cited
September 2011]. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/927029-overview
6. Ringoringo, Parlin dr. Atresia Bilier dalam Cermin Dunia Kedokteran No.
86, 1993. Jakarta: 1990. Jurnal diunduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_086_masalah_anak.pdf
7. Kadumbo, UN dr. Diagnosis and Management of Malignant Obstructive
Jaundice. Junior Registrar in General Surgery Institute of Continued
Health Education University of Zimbabwe.
8. Hisham Nazer, MB, BCh, FRCP, DCh, DTM&H. Cholestasis. [online].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/927624-
overview#a0199
9. Arief, Sjamsul. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Surabaya; FK UNAIR/
RSU Dr Soetomo. Diunduh dari http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-
ena504-pkb.pdf diakses 2 okt 2011

14
10. JOHN LOUGH, M.D., F.R.C.P. [C] and JULIUS D. METRAKOS, Ph.D.
Idiopathic Neonatal Jaundice Discordance in Monozygotic Twins. Canad.
Med. Ass. J. May 6, 1967, vol. 96
11. Yoon PW, Bresee JS, Olney RS, James LM, Khoury MJ. Epidemiology
of biliary atresia: a population-based study. In: Pediatrics Journal Vol. 99.
Ilinois; 1997. p. 376-382
12. Lugo-Vicente, Humberto L. Biliary Atresia: An overview. Puerto Rico:
Boletín Asociación Médica de Puerto Rico; 1995. Vol 87 (7-8-9): 147-153
13. Benchimol EI, Walsh CM, Ling SC. Early diagnosis of neonatal
cholestatic jaundice: test at 2 weeks. In: Clinical Review Canadian Family
Physician Vol. 55. Canada; 2009. p.1185-1189
14. Zukotynski K, Babin PS. Biliary atresia imaging. [online]. June 2011.
[cited October 2011]. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/406335-overview#showall
15. Kader H, Balesteri W. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn.
In: Kliegman RM, Behrman RM, Jenson HB, Stanton BF, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. 17th Ed. Philadelphia: Elsevier Churchill
Livingstone; 2003.

15

Anda mungkin juga menyukai