Anda di halaman 1dari 8

BAB 4

ANALISIS SITUASI

4.1. Analisis Kasus terkait Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan


(KKMP)
Proses keperawatan kesehatan yang terjadi pada masyarakat perkotaan tidak
terlepas dari adanya berbagai macam masalah kesehatan yang diakibatkan oleh
karena adanya peningkatan arus urbanisasi yang terjadi di daerah perkotaan.
Fenomena ini menimbulkan berbagai permasalahan dalam segala aspek kehidupan
di daerah perkotaan, seperti: masalah kurang tersedianya perumahan, transportasi,
lapangan pekerjaan, pelayanan sanitasi, dan masalah kesehatan (Haryono, 2010).

Pelayanan keperawatan masyarakat memiliki peranan penting dalam mengatasi


masalah kesehatan yang terjadi saat ini di masyarakat. Menurut data Riskesdas
(2013) masalah-masalah kesehatan yang banyak terjadi di masyarakat perkotaan
yaitu penyakit infeksi (TB, ISPA, pneumonia, hepatitis, diare, dan malaria), dan
penyakit tidak menular (asma, PPOK, kanker, hipertiroid, stroke, diabetes
mellitus, hipertensi, jantung koroner, gagal, jantung, gagal ginjal, batu ginjal, dan
penyakit sendi/rematik). Sedangkan prevalensi penderita hepatitis di Indonesia
pada tahun 2013 adalah sebesar 1,2%. Prevalensi ini 2 kali lebih tinggi
dibandingkan tahun 2007 (sebesar 0,6%). Masalah kesehatan tersebut terjadi
karena adanya perubahan perilaku dan gaya hidup pada masyarakat di perkotaan.
Perubahan perilaku dan gaya hidup yang terjadi di masyarakat perkotaan
disebabkan oleh arus urbanisasi, perkembangan teknologi dan industri (Allender,
J., & Spradley, B., 2011). Perkembangan teknologi dan industri mengakibatkan
masyarakat di pedesaan mencari pekerjaan di kota sehingga mengakibatkan
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat.

Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya sirosis hepatis:


Cavendish (2008) menjelaskan bahwa konsumsi alkohol dan infeksi virus
hepatitis adalah faktor resiko mayor untuk sirosis. Alkoholik berat sangat beresiko
mengalami kematian akibat penyakit ini. Tidak semua orang yang mengkonsumsi

27 Universitas Indonesia
28

alkohol dapat terkena sirosis, penyakit ini terus mengalami perkembangan dalam
waktu 10 tahun atau lebih pada alkoholik berat. Kebanyakan orang tidak pernah
menyadari bahwa mereka telah mengalami kerusakan hati. Bahkan sepertiga
kasus sirosis ditemukan pada saat dilakukan pembedahan otopsi. Hepatitis virus
B, C, dan D adalah penyebab sirosis, virus ini menyebabkan inflamasi pada hati
yang kronik. Dibutuhkan kurang lebih 20 sampai 30 tahun dari infeksi hepatitis
hingga berkembang menjadi sirosis. Ny. D memiliki kebiasaan minum-minuman
bersoda yang bisa menimbulkan adanya perlemakan pada hati, deposisi lemak
dalam hepatosit mengalami komplikasi berupa peradangan atau inflamasi hati dan
fibrosis sehingga menyebabkan sirosis hepatis. Penyakit sirosis juga tidak ada
hubungannya dengan obesitas, karena perlemakan pada hati tidak langsung
berhubungan dengan keadaan obesitas (Reimers, et al. 2009).

4.2. Analisis Kasus


a. Pengkajian
Angka kejadian penyakit sirosis hepatis pada wanita lebih kecil bila
dibandingkan dengan kasus yang terjadi pada pria 2,1:1 dengan usia rata-rata
penderita adalah 44 tahun (PPHI-INA ASL, 2013). Ny D merupakan salah
satu penderita sirosis hepatis dengan jenis kelamin wanita dan berusia saat ini
49 tahun. Berat badan Ny D 44 kg, Tinggi badan 150, dan memiliki IMT 19,5
kg/m2. Ny. D dapat dikatakan mengalami malnutrisi sebagaimana disebutkan
dalam sebuah jurnal seseorang mengalami malnutrisi bila penderita tidak ada
asites dengan IMT < 22kg/m2, dengan asites IMT< 23kg/m2, dan dengan
asites berat IMT< 25 /m2 (Valazques, et al.2013).

Di negara berkembang, penyebab utama sisrosis hati adalah virus hepatitis B


dan C, selain itu konsumsi alkohol dan autoimun juga mempengaruhi
terjadinya sirosis hati. Penyakit perlemakan hati non alkoholik (nonalcoholic
steatohepatitis (NASH), yang lemaknya dalam hepatosit (sel-sel hati) dapat
menyebabkan komplikasi berupa peradangan atau inflamasi hati atau fibrosis
yang juga dapat menyebabkan terjadinya sirosis kriptogenik (penyebab tidak
diketahui pasti) (PPHI-INA ASL, 2013). Semua faktor penyebab ini dapat

Universitas Indonesia
29

terjadi pada daerah perkotaan. Hal ini berkaitan dengan gaya hidup, kondisi
kehidupan, pengaruh sosial, dan pajanan lingkungan (Timmreck, 2005).

Ny. D mempunyai kebiasaan makan-makanan berlemak sejak usia muda dan


bila bekerja klien tidak mengenal waktu dan klien juga mempunyai kebiasaan
sering minum-minuman bersoda. Dalam minuman bersoda terdapat
kandungan fruktosa yang cukup tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya
perlemakan pada hati dan juga dengan adanya kandungan benzene atau
turunannya dapat bersifat racun pada hati. Dari hasil laboratorium didapatkan
hasil hemoglobin 5,0 gr/dl dan albumin 2,1 g/dl. Klien didiagnosis sirosis
hepatis akhir tahun 2014 dan sempat dirawat di rumah sakit tetapi klien
pulang paksa. Dalam hasil USG tanggal 15 Desember 2014 didapatkan kesan
adanya sirosis hepatis dengan bentuk dan ukuran hati yang telah mengecil.

Perawat melakukan pengkajian pada klien, didapatkan data bahwa klien saat
ini tidak mengalami perdarahan, BAB normal dengan feses berwarna kuning,
klien pernah sekali BAB berwarna hitam namun menurut klien hanya sedikit
saja. Saat ini klien mengeluhkan adanya begah di perut, bengkak di tungkai
kaki dan sesak nafas. Gejala yang timbul berupa edema pada kedua tungkai
kaki karena adanya efek gravitasi pada saat berdiri atau duduk akibat garam
dan air yang berlebihan. Timbulnya ikterus dan jaundice akibat adanya
hepatoseluler dimana hati tidak mampu untuk metabolisme bilirubin, serta
adanya obstruksi intrahepatik. Kedua hal ini menyeabkan tingkat bilirubin
yang bersirkulasi tinggi dan mengganggu ekskresi bilirubin (Sulaiman,2007).
Bilirubin tak-terkonjugasi dan bilirubin glukuronida dapat menumpuk secara
sistemik dan mengendap dalam jaringan, menimbulkan warna kuning ikterus.
Hal ini terlihat jelas dalam menguningnya sklera atau ikterus (kumar &
Robbins, 2007).

Universitas Indonesia
30

b. Masalah keperawatan
masalah keperawatan yang pertama adalah kelebihan volume cairan.
Pada saat dilakukan auskultasi terdengar suara ronkhi basah kasar bilateral.
Abdomen klien tampak membesar karena asites, lingkar abdomen didapatkan
84 cm. Hal ini disebabkan karena adanya kadar albumin yang rendah.
Albumin merupakan substansi terbesar dari protein yang diproduksi oleh hati
dari asam amino yang diambil dari makanan. Albumin berfungsi dalam
mengatur tekanan onkotik, sebagai pengangkut nutrisi, hormon, asam lemak,
dan zat sampah. Daya cadang hati yang besar menyebabkan kurang
sensitifnya pemeriksaan albumin untuk menilai fungsi sintesis hati. Pada
keadaan penyakit hati yang luas, baru terjadi penurunan kadar albumin
(sulaiman, 2007). Penyakit ini menimbulkan berbagai gangguan fungsi hati,
Salah satunya adalah gangguan sintesis albumin, sehingga terjadi keadaan
hipoalbuminemia yang menimbulkan berbagai manifestasi klinis seperti
edema tungkai, asites maupun efusi pleura (Hasan dan Indra, 2008). Kondisi
tersebut juga dialami oleh Ny. D yang mengalami penurunan kadar albumin
yaitu 2,3 g/dl.

Albumin dalam peredaran darah merupakan penentu utama tekanan onkotik


plasma darah. Agar sel-sel hati normal dapat membentuk dan mengeluarkan
albumin dalam jumlah besar, maka asupan protein serta zat gizi esensial
lainnya harus cukup. Penurunan konsentrasi albumin dalam sirkulasi
menyebabkan pergeseran cairan dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular, dalam hal ini menyebabkan cairan masuk ke rongga
peritoneum dan menyebabkan asites. Penurunan produksi albumin yang
seharusnya disintesis oleh hati menyebabkan hipoalbuminemia. Pada sirosis
hepatis, hipoalbuminemia yang parah sering tertutupi oleh peningkatan
konsentrasi imunoglobulin (Sacher & Mc Pherson, 2004).
Intervensi yang dilaksanakan adalah Ny. D mendapatkan koreksi albumin
20% 100cc, ukur lingkar perut setiap hari dan balance cairan. Hasil setelah
pemberian koreksi albumin adalah 2,6 g/dl, dan terjadi penurunan lingkar
perut menjadi 76 cm .

Universitas Indonesia
31

Masalah keperawatan ke dua yang dialami oleh Ny. D adalah kerusakan


pertukaran gas. Klien mengeluhkan sesak napas dengan frekuensi pernapasan
28 kali/ menit, dan frekuensi nadi 88 kali/ menit. Klien tampak
menggunakan otot bantu pernapasan, tidak tampak pernapasan cuping
hidung. Pada auskultasi paru didapatkan suara ronkhi basah kasar bilateral,
Hb 5,0 g/dl.

Taktil fremitus menurun pada area paru sebelah kanan, terdapat efusi pleura
dextra dan Saat ini klien mengalami batuk, namun secret susah dikeluarkan.
Intervensi yang dilakukan adalah saat ini klien terpasang O2 nasal kanul 3 L/
menit, memberikan posisi tidur semi Fowler, dan melatih klien teknik nafas
dalam.

Intoleransi aktivitas adalah masalah keperawatan yang juga dialami oleh


Ny.D, klien mengatakan lelah dan sesak napas setelah jalan ke kamar mandi.
Tekanan darah 130/90 mmHg; frekuensi nadi 88 x/ menit kuat tidak teratur,
frekuensi napas 28 x/menit; 36,5 0C.
Intervensi yang diberikan adalah klien sudah dianjurkan untuk melakukan
sesuatu agar seminimal mungkin untuk menghemat energi, melatih ROM,
dan memberikan O2 bila klien merasa sesak.

4.3. Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait


Masalah keperawatan yang sering terjadi dalam kasus sirosis hepatis adalah
kelebihan volume cairan. Dengan makin beratnya sirosis, terjadi pengiriman
sinyal ke ginjal untuk melakukan retensi garam dan air di dalam tubuh, garam dan
air yang berlebihan pada awalnya akan mengumpul pada jaringan dibawah kulit
disekitar tumit dan kaki. Selanjutnya dengan semakin banyaknya garam dan air
yang diretensi, air akhirnya akan mengumpul dalam rongga abdomen antara
dinding perut dan organ dalam perut yang biasa disebut asites (Sulaiman, 2007).

Pemantauan cairan adalah pengumpulan dan analisa data untuk menjaga


keseimbangan cairan. Pentingnya pemantauan cairan pada klien dengan penyakit

Universitas Indonesia
32

dalam karena ketidakseimbangan cairan dipicu dengan adanya gangguan pada


organ pengatur cairan, seperti paru, ginjal, jantung, dan lain-lain yang terjadi
pada penyakit dalam tersebut (Potter&Perry, 2005).

Prinsip penatalaksanaan kelebihan cairan adalah untuk mendapatkan


keseimbangan cairan, dengan keseimbangan intake dan output; mencapai
kestabilan tanda-tanda vital; serta berkurangnya asites atau edema (Doenges,
2010). Klien biasanya mengalami asites atau edema. Penatalaksanaan klien
dengan asites meliputi: diet rendah garam (biasanya kurang dari 1,5 g per hari);
penggunaan diuretik, yaitu spironolacton dan furosemide; tidak mengkonsumsi
alkohol sama sekali (jika penyebab dari sirosis adalah alkoholisme); serta
pembatasan cairan (Simon, 2012).

Diet rendah garam mempunyai tujuan untuk meminimalkan retensi garam


(natrium) yang terjadi dalam jaringan tubuh (Gunawan, 2001). Adapun syarat dari
diet ini adalah cukup kalori, protein, mineral dan vitamin. Makanan ini diberikan
terhadap klien dengan edema, asites, dan atau hipertensi. Diet rendah garam
dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu diet rendah garam (RG) I, RG II, dan RG III.
Diet RG I asupan natrium yang diperbolehkan sebanyak 200-400 mg per hari,
sehingga dalam mengolah makanan tidak perlu lagi ditambahkan dengan garam
dapur. Asupan natrium sebanyak 600-800 mg per hari diberikan kepada klien
dengan diet RG II, pada saat pengolahan makanan boleh menggunakan ½ sendok
teh garam dapur. Diet RG III, asupan natrium sebanyak 1000-1200 mg per hari,
pada pengolahan makanan boleh menggunakan satu sendok teh garam dapur
(Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), 2009). Pada kasus ibu D, klien
selama ini tidak mempunyai riwayat menderita hipertensi, tetapi dalam keluarga
ayah klien menderita hipertensi yang berbuntut kepada stroke dan meninggal.
Klien juga mengalami asites dengan lingkar abdomen 84 cm. Klien mengeluhkan
begah dan sesak napas, pada kedua paru juga terdengar adanya ronkhi. Diet yang
diberikan untuk klien adalah diet hati III 1500 kkal dengan protein 0,8 g/kg
BB/hari, dan rendah garam III.

Universitas Indonesia
33

Penggunaan obat diuretik juga dilakukan dalam penatalaksanaan klien dengan


asites dan edema berkolaborasi dengan tim dokter. Spironolakton merupakan
diuretik pertama diberikan pada kasus klien sirosis hepatis dengan asites. Waktu
paruh dari spironolakton normalnya adalah 24 jam, namun bisa lebih lama pada
klien kasus sirosis hepatis. Dosis spironolakton dimulai dengan 100 mg sekali
sehari. Pada penggunaannya spironolakton dan furosemide digunakan bersama-
sama, diawali dengan spironolakton 1 x 100 mg, dan furosemide 1 x 40 mg lalu
dapat ditingkatkan kembali hingga 400 mg per hari untuk spironolakton dan 160
mg per hari untuk furosemide. Peningkatan dosis harus mempertimbangkan
penurunan berat badan dan hasil elektrolit (Schiff, Maddrey, & Sorrel, 2011).

Pada sirosis hepatis akibat alkoholik terjadi kerusakan hepatotosit yang


kemungkinan bisa disebabkan oleh toksisitas produk akhir metabolisme alkohol.
Sel-sel hati dirangsang untuk mengalami apoptosis (kematian sel terprogram)
sehingga menyebabkan jaringan parut dan fibrosis. Pita-pita fibrosa terbentuk dari
aktivasi respons peradangan kronis dan melingkari serta melilit di antara hepatosit
yang masih ada. Peradangan kronis dapat menyebabkan timbulnya pembengkakan
dan edema interstitium yang bermakna, menyebabkan kolapsnya pembuluh-
pembuluh darah kecil. Hal ini dapat meningkatkan resistensi terhadap aliran darah
melalui hati, sehingga menyebabkan hipertensi porta dan asites (Corwin, 2009).
Menghentikan konsumsi alkohol dapat mencegah perburukan fungsi hati.

Perkembangan asites pada klien sirosis hepatis mengindikasikan prognosis buruk


dan penurunan kualitas hidup seseorang (Tandon & Garcia, 2008 dan Guevara,
Cardenas, Uriz, & Gines, 2005). Penatalaksanaan asites dapat juga dilakukan
dengan pembatasan cairan. Pembatasan cairan pada klien sirosis hepatis disertai
asites biasanya dilakukan juga pada klien dengan hipertensi portal, seperti pada
Ny.D. Setiap orang membutuhkan cairan untuk proses metabolisme di dalam
tubuhnya. Kebutuhan cairan berbeda-beda pada tiap individu, pada usia diatas 50
tahun normalnya kebutuhan cairannya adalah 25 ml/ kg BB/ hari (Randall, 1976
dalam Hartono, 2006). Kebutuhan cairan ini bisa berubah sesuai dengan keadaan
klinis klien, misalnya pada klien dengan kasus sirosis hepatis disertai asites maka

Universitas Indonesia
34

kebutuhan cairan akan diturunkan. Dalam pemenuhan kebutuhan cairan ini harus
diperhatikan balance cairan. Penghitungan balance cairan ditentukan dengan
jumlah asupan baik oral maupun parenteral dikurangi jumlah haluaran (urin, feses,
dan insensible water loss/ IWL). Pada klien sirosis hepatis dengan asites
dilakukan pembatasan cairan dengan tujuan untuk memperbaiki atau mencegah
pengenceran hiponatremia (Doenges, 2010).

4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan


Dalam pemberian asuhan keperawatan yang dilakukan oleh mahasiswa terdapat
beberapa kendala. Mahasiswa dapat dengan menggunakan alternative tindakan
untuk menyelesaikannya. Ruang Melati Atas belum mempunyai gelas ukur untuk
dapat melihat berapa jumlah cairan yang akan dibuang. Dengan menerapkan
tindakan alternatif yang bisa dilakukan tindakan mandiri keperawatan, kolaborasi
dengan tenaga kesehatan yang lain, atau dengan melibatkan anggota keluarga
dalam menyelesaikan suatu persoalan. Dalam hal pemantauan cairan yang ada,
mahasiswa dapat bekerjasama dengan keluarga untuk mencatat cairan yang masuk
ataupun keluar. Dengan botol air mineral digunakan sebagai takaran agar dapat
terlihat terukur cairan masuk dan cairan keluar, mahasiswa mencoba untuk
memantau balance cairan dengan baik. Mahasiswa juga bekerjasama dengan
keluarga untuk penimbangan dan pengukuran lingkar perut sebelum makan pagi.
Hal ini dapat dilakukan dengan baik sehingga hasil yang didapatkan akan lebih
baik.

Tindakan kolaborasi dengan tim kesehatan lain dilakukan dalam pemberian


spirolakton 1x100 mg dan lasik (IV) 1x40 mg, disini mahasiswa dapat memantau
penggunaan dari obat tersebut. Tindakan kolaboratif juga dilakukan dalam
pemenuhan diet yang diberikan kepada pasien dengan diet hati 1500 kkalori
dengan tambahan ekstra putih telur. Keikutsertaan keluarga dapat membantu
proses perawatan klien dengan baik. Klien dengan kelebihan volume cairan tidak
selamanya dirawat di rumah sakit, dengan adanya peran serta dari keluarga dalam
perawatan dapat menjadikan pembelajaran untuk perawatan klien pasca dari rawat
inap.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai