9460 - Isi CRS-1
9460 - Isi CRS-1
PENDAHULUAN
1
Tubektomi/MOW (Medis Operatif Wanita) atau juga dapat disebut dengan
sterilisasi. MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur
kanan dan kiri yang menyebabakan sel telur tidak dapat melewati saluran telur,
dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperm laki-laki sehingga
tidak terjadi kehamilan, oleh karena itu gairah seks wanita tidak akan turun.
Pelaksanaan MOW sendiri dibagi menjadi 3 yaitu pelaksanaan MOW pasca
operasi/pasca melahirkan, mempunyai penyakit ginekologi, dan dilakukan pada
masa interval.6
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 21 Mei 2018
Nama : Ny. I
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
TB/BB : 157 cm/75 kg
Gol. Darah :A
Alamat : Ma. Bulian RT 10
No. RM : 885931
Ruangan : Bangsal kebidanan
Diagnosa : G4P3A0 gravida 37-38 minggu riwayat sectio caesaria 3 kali,
janin tunggal hidup intrauterine presentasi kepala
Tindakan : Sectio Caesaria + Tubektomi
Keluhan utama:
Pasien datang ke poli kebidanan untuk melakukan kontrol rutin. Pasien datang ke
poli tanpa keluhan apapun seperti nyeri, keluar darah, ataupun lendir. Kemudian,
pasien dilakukan USG dikatakan bahwa janin mengalami pengapuran, sehingga
pasien dirawat dan direncanakan SC cito. Pasien meminta untuk dilakukan tindakan
steril dikarenakan pasien merasa sudah memiliki cukup anak.
3
Pasien sudah menikah selama 12 tahun, dengan riwayat sectio caesaria sebanyak 3
kali. Sectio caesaria dilakukan karena pinggul pasien kecil. Riwayat penggunaan
KB (-).
a. Vital Sign
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit, reguller, kuat angkat, isi dan tahanan cukup.
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,5 ̊C
b. Kepala : normochepal
c. Mata : SI -/-, CA -/-, RC +/+, isokor +/+
d. THT : nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-)
e. Leher : simetris, pembesaran KGB (-).
f. Thoraks
Inspeksi : simetris
Palpasi : vokal Fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor (+)
4
Auskultasi
- Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
- Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki -/-
g. Abdomen
Inspeksi : tampak membesar, striae (+), luka bekas operasi (+)
Palpasi : TFU 31 cm, letak punggung janin kiri, presentasi kepala,
taksiran berat janin 3100 gr, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : DJJ 151 x/menit, bising usus (+) normal
h. Genital : dalam batas normal
i. Ekstremitas : akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
5
C. LAPORAN ANESTESI
Berat Badan : 75 kg
b. Laboratorium
Darah Rutin (tanggal 22 Mei 2018)
WBC : 7.98 x 103/L
RBC : 3.37 x 1012/L
HGB : 9.5 gr/dL
HCT : 27.9 %
6
PLT : 199 x 109/L
Masa Pendarahan : 2 (1 – 3 menit )
Masa Pembekuan : 3 (2 – 6 menit)
2. Tindakan Anestesi
1. Diagnosa pra bedah : TFU 31 cm, letak punggung janin kiri, presentasi
kepala, taksiran berat janin 3100 gr HIS (+), nyeri tekan (-)
2. Tindakan bedah : Sectio Caesaria + Tubektomi
3. Status fisik ASA : II
4. Jenis anestesi : Spinal
Lokasi penusukan : L3-L4
Pramedikasi :
Ondansentron 4 mg (IV)
Dexametasone 5 mg (IV)
Ranitidine 50 mg (IV)
Anestesi Spinal : Bupivacaine 15 mg
Adjuvant :-
Pemeliharaan anestesi : O2
Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat
Status fisik : ASA II
Induksi mulai : 08.50 WIB
Operasi mulai : 09.00 WIB
Operasi selesai : 09.45 WIB
Berat badan pasien : 80 Kg
Durasi operasi : 45 menit
Pasien puasa : 6 jam
Medikasi :
Oxytocin 20 IU
Methylergometrin 0.4 mg
Ephedrine 10 mg
7
3. Keadaan Selama Operasi
a. Letak Penderita : Terlentang
b. Intubasi :-
c. Penyulit Intubasi :-
d. Penyulit :-
e. Lama Anestesi : ± 1 jam
f. Jumlah Cairan
Input :
RL 500 ml
RL 500 ml
RL 500 ml
RL 500 ml
RL 500 ml + Ketorolac 30 mg
Output :
Urine : ± 100 cc
Perdarahan : ± 250 cc
g. Kebutuhan cairan pasien ini :
BB = 75 Kg
Maintenance (M)
M = 2 cc/kgBB
M = 2 cc x 75
M = 150 cc
Pengganti Puasa (P)
P=6xM
P = 6 x 150
P = 900 cc
Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (operasi sedang)
O = 75 x 6 cc
O = 450 cc
8
Kebutuhan cairan selama operasi
Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (900) + 150 + 450
= 1050 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (900) + 150 + 450
= 825 cc
EBV = 65 x BB
= 65 x 75
= 4875 cc
ABL = Δ Ht x EBV x 3
100
= (37-28) x 4875 x 3
100
= 1316.25 cc
4. Monitoring
TD awal = 110/80 mmHg, Nadi = 82 x/menit, RR = 22 x/menit
9
09.00 Kondisi terkontrol 88 98 108/60 20
09.15 70 99 109/62 22
09.30 105 97 90/63 20
09.45 Operasi selesai 75 98 90/60 18
10.00 Pelepasan alat monitoring 84 98 98/68 18
10.15 Pasien dipindahkan ke RR
5. Ruang Pemulihan
Masuk Jam : 10.12 WIB
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 15
Tanda vital
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit
RR : 20 x/menit
Pernafasan : Baik
Scoring Aldrete:
Aktivitas :1
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah :9
10
Instruksi lain sesuai dr. Hanif M. Noor, Sp.OG
BAB III
TIJAUAN PUSTAKA
Anesthesia regional terbagi atas blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi
blok spinal, epidural dan kaudal serta blok perifer misalnya blok pleksus brakhialis,
aksiler, analgesia regional intravena dan lain-lain.1
11
akan menembus kulit ke subkutis kemudian ligamentum supraspinosum ke
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan
ruang subarachnoid.1
Ada 3 kelas saraf: motorik, sensorik dan otonom. Stimulasi saraf motorik
menyebabkan otot berkontraksi ketika terjadi blok saraf, otot mengalami
kelumpuhan. Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan dan nyeri dari
sumsum tulang belakang ke otak, sedangkan sarf otonom mengontrol caliber
pembuluh darah, denyut jantung, kontraksi usus dan fungsi lainnya yang tidak
berhubungan dengan kendali kesadaran. Umumnya saraf otonom dansensorik
terblok sebelum saraf motorik. Vasodilatasi dan penurunan tekanan darah pun
dapat terjadi ketika saraf otonom di blok.7
12
3.1.4 Penilaian dan Persiapan Pra Anestesia1
Anamnesis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewakan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Klasifikasi yang azim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah
yang berasal dari The American Society of Anesthesiologist (ASA)
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berrat, sehingga aktivitas rutin terbatas
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam
Masukan oral
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan bayi 3-
4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia.
Minum bening, air putih, the menis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi.
Premedikasi
13
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk memperlancar induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia. Obat
peredam kecemasan biasanya diazepam oral 10-15 mg beberapa jam sebelum
indksi. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin 50 mg intramuscular.
Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tida sadar,
sehinggamemungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Induksi
anesthesia dapat dikerjakan dengan intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anesthesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anesthesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Indikasi:1
Kontraindikasi Absolut1
Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Hipovolemia berat, syok
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
Tekanan intracranial meninggi
Fasilitas resusitasi minim
Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anesthesia
14
Kontraindikasi relatif:1
Akut
1. Hipotensi dikarenakan dilatasi pembuluh darah max
2. Bradikardi dikarenakan blok terlalu tinggi, berikan SA
3. Hipoventilasi berikan O2
4. Mual muntah dikarenakan hipotensi terlalu tajam, berikan epedril
5. Total spinal obat anestesi naik ke atas, berikan GA
15
Pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala
4. Retensi urin dikarenakan sakral terblok pasang kateter
1. Biaya
Biaya minimal
2. Kepuasan pasien
Pasien sangat senang dengan teknik ini karena pemulihannya yang cepat dan
tidak ada efek samping.
3. Pernapasan
Efek samping sedikit pada system pernapasan selama blockade yang terlalu
tinggi dihindari.
4. Jalan napas
Control jalan napas tidak terganggu, sehingga menurunkan resiko
penyumbatan saluran napas atau aspirasi isi lambung.keuntungan ini bias
hilang jika obat penenang terlalu banyak diberikan.
5. Relaksasi otot
Anesthesia spinal memberikan relaksasi otot yang sangat baik pada
ekstremitas bawah dan perut bawah.
6. Perdarahan
Kehilangan darah selama operasi minimal bila dibandingkan dengan anestesi
umum. Hal ini karena penurunan tekanan darah dan denyut jantung dan
peningkatan draenase vena menyebabkan aliran.
7. Koagulasi
8. Pada umumnya pasca operasi jarang terjadi thrombosis vena dan emboli paru.
16
Terkadang akan sulit untuk menemukan ruang dural dan mendapatkan CSF.
Hipotensi dapat terjadi pada saat blockade.
Beberapa pasien tidak cocok secara psikologis untuk tetap sadar, bahkan jika
dibius, selama operasi.
Ada risiko teoritis bahwa infeksi ke dalam ruang subarachnoid dan
menyebabkan meningitis. Ini seharusnya tidak pernah terjadi jika peralatan
disterilkan dengan benar dan teknik aseptic digunakan.
Sakit kepala postural dapat terjadi pasca operasi.
Pasien harus terhidrasi dengan baik sebelum anesthesia local di suntikkan dan
harus memiliki infuse intravena ditempat sehingga cairan lebih lanjut atau
vasokonstriktor dapat diberikan jika terjadi hipotensi.
17
3.1.10 Peralatan Analgesia Spinal1
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri, denyut (pulse oksimeter) dan EKG
2. Peralatan anetesia/resusitasi umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quincke bobcock) atau
jarum spinal denga ujung pensil (pensil poit whitecare).
Pasien duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan pada meja
operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.1,7
1. Setelah dimonitor tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakan stabil. Buat
pasien membungkuk maksima agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain
ialah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4 atau
L4-5. Tusukan pada L1 dan L-2 atau diatasnya beresiko trauma terhadap medulla
spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol
4. Beri anestesi local pada tempat tusukan misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml
5. Cara tusukan median atau para median
Unuk jarum spinal besar 22G, 23G, atau 25 G dapat langsung digunakan.
Sedangkan untuk yang kecil 27G aytau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum biasanya 10cc. Tusukan intoducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit
18
kearah sefal kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya kelubang
jarum tersebut. JIka menggunakan jarum tajam irisan jarum harus sejajar dengan
duramater yaitu pada posisi tidur miring “bevel” mengarah keatas atau kebawah
untuk menghindari kebocoran liquor yang dapat berakibat timbulnya nyeri pasca
spinal. Setelah resistensi menghilang mandarin jarum spinal juga harus dicabut
dan dikeluarkan likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dikeluarkan
pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit hanya untuk menyakinkan
posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin posisi jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar putar arah jarum 90% biasanya likuor keluar. Untuk
analgetik spinal kontinu dapat dimasukkan kateter
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestik hiperbarik. Jarak kulit ligamentum flavum dewasa lebih kurang
6 cm.
3.2.1 Definisi
Suatu Persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada
dinding perut dan dinding Rahim dengan syarat Rahim dalam keadaan utuh serta
berat janin diatas 500 gram.9
Indikasi Ibu
1. Panggul sempit
2. Tumor-tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi
3. Stenosis serviks/ vagina
4. Plasenta previa
5. Disproporsi sefalopelvik
6. Ruptur uteri membakat
19
Indikasi Janin 9
1. Kelainan letak
2. Gawat janin
3.3 Tubektomi
3.3.1 Definisi
Tubektomi/MOW (Medis Operatif Wanita) atau juga dapat disebut dengan
sterilisasi. MOW merupakan tindakan penutupan terhadap kedua saluran telur
kanan dan kiri yang menyebabakan sel telur tidak dapat melewati saluran telur,
dengan demikian sel telur tidak dapat bertemu dengan sperm laki-laki sehingga
tidak terjadi kehamilan, oleh karena itu gairah seks wanita tidak akan turun.6
3.3.2 Klasifikasi
Pelaksanaan MOW sendiri dibagi menjadi 3 yaitu pelaksanaan MOW pasca
operasi/pasca melahirkan, mempunyai penyakit ginekologi, dan dilakukan pada
masa interval.6
20
3) gangguan pisikis yang di alami yaitu seprti skizofernia (psikosis), sering
menderita psikosa nifas, dan lain-lain.;
4) indikasi medis obstetric yaitu toksemia gravidarum yang berulang, seksio
sesarea yang berulang, histerektomi obstetri;
5) indikasi medis ginekologik pada waktu melakukan operasi ginekologik dapat
pula dipertimbangkan untuk sekaligus melakukan sterilisasi;
6) indikasi sosial ekonomi adalah indikasi berdasarkan beban sosaial ekonomi
yang sekarang ini terasa bertambah berat;
7) mengikuti rumus 120 yaitu perkalian jumlah anak hidup dan umur ibu,
misalnya umur ibu 30 tahun dengan anak hidup 4, maka hasil perkalianya adalah
120;
8) mengikuti rumus 100 umur ibu 25 tahun ke atas dengan anak hidup 4 orang,
umur ibu 30 tahun keatas dengan anak hidup 3 orang, umur ibu 35 tahun keatas
dengan anak hidup 2 orang.10
21
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke poli kebidanan untuk melakukan kontrol rutin. Pasien datang
ke poli tanpa keluhan apapun seperti nyeri, keluar darah, ataupun lendir. Kemudian,
pasien dilakukan USG dikatakan bahwa janin mengalami pengapuran, sehingga
pasien dirawat dan direncanakan SC cito. Pasien meminta untuk dilakukan tindakan
steril dikarenakan pasien merasa sudah memiliki cukup anak. Pasien sudah menikah
selama 12 tahun, dengan riwayat sectio caesaria sebanyak 3 kali. Sectio caesaria
dilakukan karena pinggul pasien kecil. Riwayat penggunaan KB (-).
Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang lebih 10 jam sebelum operasi, untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang dilakukan.
Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien secara umum,
keadaan fisik dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien secara
umum baik. Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA),
keadaan pasien Ny. I tergolong ke ASA II, yaitu terdapat penyakit sistemik ringan
atau sedang.
22
Pemilihan Jenis Anestesi
Pada operasi SC, kita membutuhkan efek analgesi setinggi T10. Oleh karena itu
maka jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi spinal. Anestesi spinal
diindikasikan untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke
bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada
hampir semua operasi abdomen bagian bawah, bedah obstetri, bedah urologi,
rektum-perineum, dan ekstremitas bawah.1
Premedikasi
23
- Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ondansentron 4 mg (IV),
Dexametasone 5 mg (IV), dan Ranitidine 50 mg (IV). Dalam pemberian obat
premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan waktu pemberian obat. Obat
premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat 1-2 jam sebelum dilakukan
induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 15 menit sebelum induksi spinal.
Anestesi Spinal
Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala
menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra
lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan
tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27 ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian
dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL hiperbarik 15 mg. Bupivacain merupakan
anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan
menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara
kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat
reversibel.
Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi spinal, maka perlu dilakukan monitoring tekanan
darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah
yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-
30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi dan bradikardi merupakan
salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja dari
syaraf simpatis. Namun bila dengan cairan infus masih terjadi hipotensi, maka dapat
24
diberikan vasopresor berupa efedrin dengan dosis 10 mg intravena yang dapat
diulang tiap 3-4 menit sampai tekanan darah yang dikehendaki.
Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid secara
intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan
saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang pindah
ke ruang ketiga. Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam
waktu 3 jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.
Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 2500 ml (5
kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang
karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 6 jam.
25
o Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (operasi sedang)
= 75 x 6 cc
= 450 cc
26
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung, tidak ada
hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.
Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan
serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi pada kasus ini
berlangsung dengan baik.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, dan Dachlan MR, Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI. 2009.
2. Dahlan MR, Soenarto RF. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen
Anestesiologi dan Intensif Care FKUI. 2009.
3. Winkjosastro. Ilmu Kebidanan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2002.
4. Aaron B Caughey, Jennifer R. Butler. Postterm Pregnancy. Medscape
references, 2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape/article/26136-
overview#aw2aab6b5
5. Anonim. Caesarean section. Diunduh dari: http://en.wikipedia.org/wiki/
caesarean_section
6. BKKBN. Arah Kebijakan dan Strategi Program Kependudukan dan KB
Tahun 2011. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional; 2011.
7. Nugroho AM. Anestesia Obstetrik. Soenarto RF, Chandra S, editor. Buku
ajar anestesiologi. Jakarta: Departemen Anestesiologi dan Intensive Care;
2012. hal 33-34.
8. Adli J. Kontraindikasi Anestesi spinal pada pasien multigravida dengan
section caesaria. Yogyakarta: FKUMY. 2010
9. W. Hanifa. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi Pertama. Jakarta: PT. Bina
Pustaka. 2011.
10. Asih dan Oesman. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian metode
kontrasepsi jangka panjang. Jakarta: Puslitbang KB dan Kesehatan
Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional; 2009.
11. Lukito Husodo. Pembedahan dengan laparotomi. Di dalam : Wiknjosastro
H, editor. Ilmu kebidanan, edisi ketiga. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2002 . 863 – 875
12. Medscape .Perioperative Medication Management. 2015. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/284801-overview#showall
28