PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memahami perjalanan penyakit-penyakit
infeksi neonatal, cara menegakkan diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan
pencegahan penyakit serta untuk menambah pengetahuan penulis.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Infeksi neonatal masih merupakan insiden tersering yang terjadi pada neonatus
dan bayi dan menjadi salah satu penyebab utama angka kesakitan dan kematian
pada neonatus dan bayi. Sekitar 2 % fetus terinfeksi selama berada di dalam
kandungan ibu dan angka kejadian bayi yang mendapat infeksi dalam satu bulan
kehidupan awal mencapai sekitar 10%.10
Infeksi pada bayi baru lahir terbagi menjadi dua yaitu early onset
infection (infeksi dini) dan late onset infection (infeksi lambat).11 Infeksi dini
merupakan infeksi yang terjadi pada tujuh hari pertama kehidupan, dimana
infeksi terjadi akibat transmisi vertikal dari ibu ke janin terjadi sebelum atau
selama proses persalinan.10,11 Angka kejadian infeksi dini adalah sekitar 1-2 per
1000 kelahiran hidup. Angka kematian yang disebabkan infeksi dini adalah
sekitar 3% pada bayi baru lahir dan sekitar 16% pada bayi dengan berat badan
lahir sangat rendah.11
Infeksi lambat terjadi setelah tujuh hari pertama dari proses persalinan,
didapat dari lingkungan sekitar. Infeksi lambat sering terjadi pada bayi-bayi
dengan kelahiran prematur terutama jika berat badan lahir sangat rendah.11 Angka
kematian akibat infeksi lambat pada neonatus usia 8-14 hari adalah sekitar 36%,
sedangkan pada neonatus usia 15-28 hari mencapai sekitar 52%.11
2
2.1.3 Etiologi
Infeksi neonatal dapat terjadi secara intrauterin melalui transplasental, didapat
intrapartum saat melalui jalan lahir selama proses persalinan, atau pascapartum
akibat sumber infeksi dari luar setelah lahir.10
Infeksi intrauterin melalui transplasental dapat disebabkan oleh sifilis,
rubella, varicella, cytomegalovirus (CMV), parvovirus B19 dan toksoplasmosis.
Beberapa penyebab seperti virus herpes simpleks, human immunodeficiency virus
(HIV), virus hepatitis B dan C, serta bakteri tuberkulosis dapat terjadi secara
transplasental namun transmisi lebih sering terjadi selama proses persalinan.
Virus herpes simpleks, virus hepatitis B dan HIV sering ditularkan lewat jalan
lahir yang terinfeksi selama proses persalinan. Infeksi postpartum dapat terjadi
akibat kontak langsung dengan ibu atau orang sekitar yang terinfeksi, misalnya
pada infeksi TB. Selain itu, infeksi postpartum yang disebabkan HIV dapat
terjadi melalui ASI yang terinfeksi.10
Infeksi intrapartum maupun postpartum juga dapat disebabkan oleh
beberapa mikroorganisme yang terdapat pada sistem saluran cerna bagian bawah
atau sistem genitourinaria, seperti Streptokokus Grup B, Escherichia coli, CMV,
HIV, dan enterovirus.10
Infeksi pada bayi baru lahir yang terjadi terkait dengan perawatan
kesehatan dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri dan virus. Penyebab
infeksi terkait dengan perawatan kesehatan antara lain Coagulase-negative
Staphilococcus (CoNS), Escherichia coli , Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa, Enterobacter, Enterococcus, Staphylococcus aureus, Candida,
enterovirus, CMV, adenovirus, influenza, parainfluenza, rhinovirus, virus herpes
simpleks dan rotavirus.10
2.1.4 Patogenesis
a) Patogenesis infeksi intrauterine
Infeksi intrauterin terjadi karena terdapat infeksi berbagai macam agen pada ibu
dan terjadi transmisi secara transplasenta kepada janin, yang dapat terjadi selama
masa gestasi. Tanda dan gejala infeksi bisa muncul pada saat kelahiran atau
terlambat beberapa bulan atau tahun.10
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Kuman akan
masuk melalui batas plasenta dan infeksi akan melewati sirkulasi umbilicus,
3
kemudian pada akhirnya masuk ke janin. Kuman yang dapat menyerang janin
melalui jalan ini :
- Virus : Rubella, varicella, cytomegalovirus (CMV), parvovirus B19.
- Spirochaetae : Treponema pallidum
- Parasit : Toxoplasma gondii
Komplikasi yang dapat timbul akibat infeksi adalah aborsi spontan,
malformasi kongenital, kelahiran prematur, kelahiran mati, pembatasan
pertumbuhan intrauterin (IUGR), penyakit pada masa neonatal dan infeksi
persisten tanpa gejala dengan gejala sisa di kemudian hari.10
Hasil akhir yang timbul akibat infeksi dipengaruhi oleh waktu
terjadinya infeksi selama masa gestasi. Infeksi yang terjadi pada trimester
pertama dapat mengganggu proses embryogenesis sehingga menyebabkan
terjadinya malformasi kongenital seperti pada rubella kongenital, sedangkan
infeksi pada trimester ketiga sering menyebabkan infeksi aktif pada saat
persalinan misalnya toxoplasmosis dan sifilis.10
4
setelah terjadinya ruptur membran, dimana yang paling sering terjadi adalah
infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus Grup B.10
Aspirasi bakteri dalam cairan ketuban dapat menyebabkan terjadinya
pneumonia kongenital atau infeksi sistemik. Manifestasi klinis dapat terjadi pada
saat sebelum kelahiran, pada saat kelahiran atau setelah periode laten. Pada saat
sebelum kelahiran dapat terlihat tanda-tanda gawat janin dan takikardi.
Manifestasi yang dapat timbul saat kelahiran contohnya adalah gagal nafas,
gangguan nafas atau syok. Selain itu, gangguan nafas dan syok juga dapat timbul
setelah periode laten. Infeksi dapat timbul dalam selang waktu 1-2 hari setelah
terjadinya aspirasi bakteri.10
5
2.2.2 Epidemiologi
Insiden sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi <1 tahun
dibandingkan dengan anak usia >1 tahun yaitu 9,7 versus 0,23 kasus per 1000
anak. Pasien dengan sepsis berat, sebagian besar disebabkan oleh infeksi saluran
nafas (sekitar 36-42%), bakteremia, dan infeksi saluran kemih. Pada unit
perawatan intensif anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sekitar
19,3% dari 502 pasien anak yang dirawat mengalami sepsis dengan angka
mortalitas mencapai 54%.12
Sepsis berat sering terjadi pada anak dengan komorbiditas yang
menyebabkan terjadinya penurunan sistem imunitas seperti keganasan,
transplantasi, penyakit respirasi kronis dan defek jantung bawaan.12,13,14
Berdasarkan penelitian Sepsis Prevalence Outcomes and Therapies (SPROUT)
tahun 2015 diperoleh data penurunan prevalensi global sepsis berat (Case Fatality
Rate) dari 10,3% menjadi 8,9%. Infeksi terbanyak terdapat pada sistem respirasi
(40%) dan 67% kasus mengalami disfungsi multi organ.15
2.2.3 Etiologi
Sepsis disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh infeksi. Penyebab infeksi
tersering adalah bakteri, namun dapat pula berasal dari jamur, virus, atau
parasit.16
Respon imun terhadap bakteri dapat menyebabkan disfungsi organ atau
sepsis dan syok septik dengan angka mortalitas relatif tinggi. Organ tersering
yang merupakan infeksi primer adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit, dan
abdomen.17
6
Tabel 1. Mikroorganisme patogen penyebab sepsis pada
anak12,15
Organisme lain
• Jamur (spesies Candida dan Aspergillus) dan virus (influenza, respiratory
syncytial virus, human metapneumovirus, varicella dan herpes simplex virus)
7
2.2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya sepsis neonatorum:
1. Faktor risiko ibu18:
Ketuban pecah dini dan ketuban pecah > 18 jam. Kejadian sepsis pada
bayi meningkat sekitar 1% jika ketuban pecah > 24 jam, dan kejadian
sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya apabila disertai
korioamnionitis.
Infeksi dan demam dengan suhu >38°C pada masa peripartum akibat
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh
Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan
komplikasi obstetrik lainnya.
Cairan ketuban hijau keruh dan berbau
Persalinan dan kehamilan kurang bulan
Kehamilan multiple
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
8
Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mengelompokkan faktor risiko menjadi 2
kelompok yaitu risiko mayor dan risiko minor.19
Tabel 2. Faktor Risiko Mayor dan Minor
Jika terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang
(septicwork-up) sesegera mungkin. 20
2.2.5 Patofisiologi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum diklasifikasikan menjadi dua
bentuk yaitu :
1. Sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis)
Sepsis awitan dini (SAD) adalah infeksi perinatal yang terjadi segera dalam
periode pascanatal (< 72 jam), umumnya diperoleh pada saat proses
kelahiran atau in utero.20
Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD
adalah Streptokokus Grup B (>40% kasus), E. coli, Klebsiella,
Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenza, dan Listeria
monocytogenes. Pada negara berkembang termasuk Indonesia,
mikroorganisme penyebab tersering adalah bakteri Gram negatif.20
2. Sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis)
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (>72 jam) yang
didapat dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Di
9
negara maju, Coagulase-negative Staphilococcus (CoNS) dan Candida
albicans merupakan penyebab utama SAL.20
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi
kuman karena terlindung oleh plasenta, selaput amnion, khorion, dan
beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Namun kemungkinan
kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :20,21,22
Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi
janin.
Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor aseptik antiseptik.
Ketika ketuban pecah, paparan kuman dari vagina akan lebih berperan
dalam infeksi janin.
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan. Kontaminasi
dapat disebabkan oleh infeksi silang atau alat-alat yang digunakan bayi,
prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam
ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti septik, rawat inap yang
terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.
10
respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan
bakteri Gram negatif. Kedua kelompok organisme tersebut akan
memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator
inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan akibat aktivasi
makrofag lalu menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan
mikrotrombi sehingga merusak organ. 20,21
3. Gangguan Fibrinolisis
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan
menyebabkan tubuh tidak mampu menghancurkan mikrotrombin. TNF-
α menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya kadar PAI-1 dan
menghambat penghancuran fibrin. Fibrin degradation product (FDP)
mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis.
Mediator proinflamasi (TNF-α dan IL-6) bekerja sinergis
meningkatkan kadar fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada
pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya menyebabkan
disfungsi multi organ. Disfungsi organ dapat bermanifestasi sebagai
gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat
dapat menyebabkan kematian. 20,21
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem
fibrinolisis akan tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah
pelepasan aktivator plasminogen khususnya t-PA dan u-PA dari tempat
penyimpanannya dalam endotel. Namun, aktivasi plasminogen ini
dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan fibrin menjadi
11
tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
merupakan komplikasi tersering pada sepsis.20,21
12
Tabel 3. Kelompok temuan berkaitan dengan sepsis
Kategori A Kategori B
1. Kesulitan bernapas (misalnya Tremor
apnea, laju napas >60x/menit,
retraksi dinding dada, merintih
saat ekspirasi, sianosis sentral
2. Kejang Letargi atau lunglai
3. Tidak sadar Mengantuk atau aktivitas
berkurang
4. Suhu tidak normal (sejak lahir & Iritabel atau rewel
tidak memberi respon terhadap
terapi) atau suhu tidak stabil
sesudah pengukuran suhu normal
selama tiga kali atau lebih,
menyokong ke arah sepsis
5. Persalinan di lingkungan yang Muntah (menyokong ke arah
kurang higienis sepsis)
6. Kondisi memburuk secara cepat Perut kembung
dan dramatis
7. Tanda-tanda mulai muncul
sesudah hari keempat
8. Air ketuban bercampur
mekonium
9. Malas minum, sebelumnya
minum dengan baik
Dugaan sepsis : Jika tidak ditemukan riwayat infeksi intrauterine,
ditemukan 1 kategori A dan 1 atau 2 kategori B.
Kecurigaan besar sepsis :
• Bayi umur s/d 3 hari : riwayat ibu menderita infeksi rahim, demam
dengan kecurigaan berat infeksi (leukosit>20.000/mm3), ketuban pecah
dini atau bayi memiliki 2 atau lebih kategori A atau lebih kategori B.
• Bayi umur >3 hari : memiliki dua atau lebih temuan kategori A, atau 3
atau lebih kategori B.
13
b) Pungsi lumbal
Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat
tinggi. Pungsi lumbal dilakukan untuk diagnosis atau menyingkirkan
sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis. Bila hasil kultur
positif, pungsi lumbal diulang 24-36 jam setelah pemberian antibiotik
untuk menilai apakah pengobatan cukup efektif. Bila setelah
pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS,
diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis.23
c) Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram masih sering dipakai di laboratorium dalam
identifikasi kuman. Pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan
apakah bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau
Gram negatif.23
d) Pemeriksaan Hematologi
Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang
diagnosis sepsis neonatorum adalah :23
• Hitung trombosit
Pada bayi baru lahir, jumlah trombosit kurang dari 100.000/µL jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis
neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit
<100.0000/µL), MPV (mean platelet volume) dan PDW (platelet
distribution width) meningkat pada 2-3 hari pertama kehidupan.23
• Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau
menurun, walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat
ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan kultur bakteri positif.
Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih sensitif
dibandingkan dengan jumlah total leukosit. Jumlah neutrofil
abnormal pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Namun,
jumlah neutrofil tidak memberikan konfirmasi adekuat untuk
diagnosis sepsis.23
• Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)
Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis
neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio
14
maksimum yang dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis
pada 24 jam pertama kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan
neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan.
Oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala
lainnya agar diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.23
• Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
CRP meningkat pada 50-90% bayi yang menderita infeksi bakteri
sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah stimulasi dan
mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat sampai
proses inflamasinya teratasi. Nilai normal adalah < 5 mg/L. Untuk
diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%,
spesifisitas 78,94%.23
• Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien
sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini mampu
lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Selain bermanfaat
untuk deteksi dini, PCR juga digunakan untuk menentukan prognosis
pasien sepsis neonatorum.23
− Pencitraan
Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran,
misalnya:23
• Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus,
pola retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS
(Respiratory Distress Syndrome).
• Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
• Pneumonia : ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat
sepsis awitan dini yang telah terbukti dengan kultur.
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya24:
1. Infeksi, meliputi faktor predisposisi infeksi, tanda atau bukti infeksi
yang sedang berlangsung, respon inflamasi
2. Tanda disfungsi/gagal organ.
15
Gambar 1. Alur Penegakan Diagnosis Sepsis24
1. Infeksi
Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda infeksi,
dan reaksi inflamasi. Faktor-faktor predisposisi infeksi, meliputi: faktor
genetik, usia, status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas (asplenia,
penyakit kronis, transplantasi, keganasan, kelainan bawaan), dan
riwayat terapi (steroid, antibiotika, tindakan invasif).24
Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratoris.
Secara klinis ditandai oleh demam atau hipotermia, atau adanya fokus
infeksi. Secara laboratoris, digunakan penanda (biomarker) infeksi:
pemeriksaan darah tepi (lekosit, trombosit, rasio netrofil:limfosit, shift
to the left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granula toksik, Dohle
body, dan vakuola dalam sitoplasma), c-reactive protein (CRP), dan
prokalsitonin. Sepsis memerlukan pembuktian adanya mikroorganisme
yang dapat dilakukan melalui pemeriksaan apus Gram, hasil kultur
(biakan), atau polymerase chain reaction (PCR). Secara klinis respon
inflamasi terdiri dari16:
1. Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau
hipotermia (suhu inti <36°C).
2. Takikardia
3. Bradikardia
4. Takipneu.
16
2. Kecurigaan Disfungsi Organ
bila ditemukan salah satu dari 3 tanda klinis: penurunan kesadaran
(metode AVPU), gangguan kardiovaskular (penurunan kualitas nadi,
perfusi perifer, atau tekanan arterial rerata), atau gangguan respirasi
(peningkatan atau penurunan work of breathing, sianosis).24
Kriteria Disfungsi Organ :
Disfungsi organ meliputi disfungsi sistem kardiovaskular,
respirasi, hematologis, sistem saraf pusat, dan hepatik. Disfungsi organ
ditegakkan berdasarkan skor PELOD-2. Diagnosis sepsis ditegakkan
bila skor ≥11 (atau ≥7).24
17
2.2.10 Tatalaksana
Tata laksana sepsis ditujukan pada penanggulangan infeksi dan disfungsi
organ:
Tatalaksana Infeksi
1. Antibiotika
Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi
infeksi, diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Bila penyebab
sepsis belum jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama sejak
diduga sepsis, dengan sebelumnya dilakukan kultur darah. Upaya awal
terapi sepsis adalah menggunakan antibiotika tunggal berspektrum
luas. Setelah bakteri penyebab diketahui, terapi antibiotika definitif
diberikan sesuai pola kepekaan kuman.25
Prinsip utama paradigma terapi antibiotik empiris pada sepsis dengan
penyebab yang belum diketahui:
a) Berikan pilihan antibiotik pertama secara efektif dan tepat
b) Dasarkan pemilihan antibiotik, baik empiris maupun bertarget, pada
pengetahuan pola kepekaan lokal (antibiogram lokal)
c) Optimalkan dosis dan rute pemberian antibiotik
d) Berikan antibiotik tunggal, spektrum luas dengan durasi sesingkat
mungkin
DAN
e) Sesuaikan atau hentikan terapi antibiotik sedini mungkin untuk
mengurangi kemungkinan resistensi (de-eskalasi)
2. Antibiotika Kombinasi
Pemberian antibiotik kombinasi, harus mempertimbangkan kondisi
klinis, usia, kemungkinan etiologi, tempat terjadi infeksi,
mikroorganisme penyebab, pola kuman di RS, predisposisi pasien, dan
efek farmakologi dinamik serta kinetik obat.25
Pilihan Kombinasi Antibiotik Empiris untuk sepsis anak dengan
penyebab belum diketahui:
Extended-spectrum penicillina + aminoglikosidab
Sefalosporinc generasi ketiga atau keempat + aminoglikosidaa +
vankomisin
18
Karbapenem + aminoglikosidaa + vankomisin
a
ampisilin-sulbaktam menjadi pilihan pertama extended-spectrum
penicillin dalam terapi sepsis
b
floroquinolon dapat menggantikan aminoglikosida pada semua
regimen di atas
c
Sefalosporin generasi ketiga seftriakson tidak boleh digunakan ketika
dicurigai atau terbukti adanya Pseudomonas
Catatan:
Perhitungkan efek samping dan toksisitas obat dari pemberian
antibiotik kombinasi. Selanjutnya dilakukan evaluasi dan keputusan
untuk melakukan deekskalasi.
3. Anti Jamur
Pasien dengan predisposisi infeksi jamur sistemik (skor Kandida ≥3
dan kadar prokalsitonin >1,3 ng/mL) memerlukan terapi anti-jamur.
Penggunaan anti jamur pada sepsis disesuaikan dengan data sensitivitas
lokal. Bila tidak ada data, dapat diberikan lini pertama berupa
amphotericin B atau flukonazol, sedangkan lini kedua adalah
mycafungin. Antijamur diberikan pada pasien sepsis yang dirawat di
ruang intensif dengan menggunakan algoritme di bawah ini.24
19
Tatalaksana Disfungsi Organ
A. Pernapasan
Meliputi pembebasan jalan napas dan pemberian suplemen oksigen.
Langkah pertama resusitasi adalah pembebasan jalan nafas sesuai
dengan tatalaksana bantuan hidup dasar. Selanjutnya pasien diberikan
suplemen oksigen, awalnya dengan aliran dan konsentrasi tinggi melalui
masker. Oksigen harus dititrasi sesuai dengan pulse oximetry dengan
tujuan kebutuhan saturasi oksigen >92%. Bila didapatkan tanda-tanda
gagal nafas perlu dilakukan segera intubasi endotrakeal dan selanjutnya
ventilasi mekanik di ruang perawatan intensif. Penggunaan obat-obatan
anestesi untuk induksi disarankan dengan menggunakan ketamin dan
rokuronium, dan menghindari etomidate karena berkaitan dengan supresi
adrenal. Pipa endotrakeal dengan balon (cuff) direkomendasikan pada
pasien sindrom distress pernapasan akut yang menggunakan ventilasi
mekanik konvensional. 21
B. Ventilasi Non-Invasif
1. VTP non-invasif digunakan sebagai pilihan awal pada pasien sepsis
dengan risiko PARDS atau mengalami imunodefisiensi.
2. Masker oronasal atau full facial direkomendasikan, namun harus disertai
pengawasan terhadap komplikasi, yaitu: pengelupasan kulit, distensi
lambung, barotrauma, atau kon-jungtivitis.
3. Gas pada ventilasi non-invasif harus dilembabkan dan dihangatkan.
4. Intubasi harus segera dilakukan bila pasien dengan ventilasi non-invasif
tidak menunjukkan tanda perbaikan atau mengalami perburukan.
5. Untuk menjamin sinkronisasi pasien-ventilator, dapat diberikan sedasi
kepada pasien.16
C. Ventilasi Mekanik Invasif
1. Indikasi ventilasi mekanik pada pasien sepsis adalah gagal napas atau
disfungsi organ lain (gangguan sirkulasi dan penurunan kesadaran).
2. Modus ventilasi mekanik dapat manggunakan volume controlled
ventilation (VCV), pressure controlled ventilation (PCV), atau pressure
controlled dengan volume target.
3. Tidal volume tidak boleh melebihi 10 ml/kg predicted body weight
(PBW).
20
D. Resusitasi Cairan dan Tatalaksana Hemodinamik
Tata laksana hemodinamik meliputi: akses vaskular secara cepat,
resusitasi cairan, dan pemberian obat-obatan vasoaktif. Resusitasi cairan
harus memperhatikan aspek fluid-responsiveness dan menghindari
kelebihan cairan >15% per hari.22,23
Akses vaskular harus segera dipasang melalui akses vena
perifer atau intraosseus. Jenis cairan yang diberikan adalah kristaloid
atau koloid. Cairan diberikan dengan bolus sebanyak 20 ml/kg selama 5-
10 menit, menggunakan push and pull atau pressure bag technique.
Resusitasi cairan dihentikan bila target resusitasi tercapai atau bila
terjadi refrakter cairan. Bila tidak tersedia alat pemantauan hemodinamik
canggih, resusitasi cairan dihentikan bila telah didapatkan tanda-tanda
kelebihan cairan (takipneu, ronki, irama Gallop, atau hepatomegali). 24
Tahap lanjut dari resusitasi cairan adalah terapi cairan rumatan.
Penghitungan cairan rumatan saat awal adalah menggunakan formula
Holliday-Segar. Pencatatan jumlah cairan yang masuk dan keluar
dilakukan setiap 4-6 jam dengan tujuan mencegah terjadinya kondisi
hipovolemia atau hipervolemia (fluid overload) >15%.27
21
E. Transfusi Darah
1. Transfusi packed red cell (PRC)
Transfusi diberikan berdasarkan saturasi vena cava superior (ScvO2)
<70% atau Hb <7 g/dL. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
dan ScvO2 <70%, disarankan tercapai kadar hemoglobin >10 g/dL.
Setelah syok teratasi, kadar Hb <7 g/dL dapat digunakan sebagai
ambang transfusi.5,28
2. Transfusi konsentrat trombosit
diberikan pada pasien sepsis sebagai profilaksis atau terapi, dengan
kriteria sebagai berikut16:
1. Profilaksis diberikan pada kadar trombosit <10.000/mm3 tanpa
perdarahan aktif, atau kadar <20.000 /mm3 dengan risiko bermakna
perdarahan aktif. Bila pasien akan menjalani pembedahan atau
prosedur invasif, kadar trombosit dianjurkan >50.000/mm3
2. Terapi diberikan pada kadar trombosit <100.000/mm3 dengan
perdarahan aktif.
2.2.12 Komplikasi
Komplikasi dari sepsis neonatorum meliputi meningitis bakterial, gangguan
metabolic, penyakit radang paru, infeksi saluran kemih, gagal jantung
kongestif, koagulasi intravaskuler diseminata, syok septik, sindrom
disfungsi organ multiple.
22
2.2.13 Prognosis
Angka kematian masih cukup tinggi terutama pada keadaan syok septik.
Pada keadaan ini angka kematian berkisar antara 40 – 70 %, bila telah
disertai dengan gagal organ multipel seperti shock lung, gangguan fungsi
hati atau gagal ginjal kematian dapat mencapai 90 – 100 %. Sekitar 25%
bayi meninggal walaupun telah diberikan antibiotik dan perawatan intensif.
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat,
akan meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada
15-30% kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali
lebih tinggi pada bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan.24
23
2.3.3 Etiologi
Tabel 5. Etiologi Meningitis
Tipe Populasi Pasien Agen Etiologis
Meningitis
Bakterial Neonatus S. agalactiae (GBS),
Enterobacteriaceae,
Listeria monocytogenes
Bayi dan anak S. pneumonia, N.
meningitides, H.
influenzae
Remaja-dewasa S. pneumonia, N.
meningitides, jarang
terjadi Listeria,
Haemophilus, GBS pada
orang yang lebih tua
Aseptik Viral Semua umur Enteroviruses (virus
ECHO, coxsackievirus),
arbovirus
Mikobakterial Semua umur Mycobacterium
tuberculosis
Miscellaneous Semua umur Borrelic burgdorferi,
penyakit Kawasaki,
reaksi terhadap obat
tertentu
Infeksi Semua umur Abses otak, abses spinal
Parameningeal epidural
Fungal Pejamu normal Coccidioides immitis,
Histoplasma capsulatum
HIV + immune Cryptococcus
compromised neoformans
24
2.3.5 Patogenesis
Mula-mula bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal. Bakteri
akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan tubuh
(misalnya barier fisik, imunitas lokal, fagosit) dan mempermudah akses
menuju sistem saraf pusat dengan beberapa mekanisme.28
Invasi bakteri ke dalam aliran darah (bakteremia) dan penyebaran
hematogen ke SSP merupakan pola umum dari penyebaran bakteri.
Penyebaran ini terjadi melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis,
otitis media, malformasi congenital, trauma, inokulasi langsung selama
manipulasi intracranial. Setelah sampai di aliran darah, kemudian akan
terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh
termasuk SSP.28
Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun dan
kemudian bereplikasi dan merangsang inflamasi meningen. Proses
inflamasi melibatkan peran sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-
α), IL-1, IL-8 dan molekul proinflamasi lain sehingga terjadi pleositosis dan
kerusakan neuronal. Meningkatnya konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8
merupakan ciri khas dari meningitis bakterial.28
Paparan sel terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi
dan kematian bakteri akan merangsang sintesis sitokin dan mediator
proinflamasi. Proses ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (misalnya
peptidoglikan dan lipopolisakarida) untuk mengenali Toll-like reseptor.
IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon terhadap infeksi
bakteri. IL-8 membantu reaksi kemotaktik neutrofil. Prostaglandin akan
meningkatkan sawar darah otak. PAF dapat memicu terjadinya
pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravascular.28 Pada
akhirnya akan terjadi jejas endotel vaskular dan peningkatan permeabilitias
sawar darah otak sehingga terjadi perpindahan komponen darah ke dalam
ruang subarachnoid menyebabkan edema vasogenik dan peningkatan
protein cairan serebrospinal. Neutrofil bermigrasi dari aliran darah ke sawar
darah otak yang rusak sebagai respon terhadap molekul sitokin dan
kemotaktik sehingga timbul gambaran khas untuk meningitis bakteri.28
25
Peningkatan viskositas cairan serebrospinal disebabkan karena influks
komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran
vena sehingga terjadi edema interstitial. Edema serebral akan menyebabkan
tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah otak. Tekanan
tinggi intra kranial adalah komplikasi penting dari meningitis yang
merupakan gabungan edema interstitial (sekunder terhadap obstruksi cairan
serebrospinal), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksk bakteri dan
neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabilitias sawar darah
otak).28
27
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi dari meningitis neonatorum meliputi abses otak, hidrosefalus
(communicating atau noncommunicating), efusi subdural, ventrikulitis, tuli
dan kebutaan. Keparahan komplikasi bergantung pada derajat keparahan
penyakit saat periode neonatus. Pasien meningitis dapat tampak sebagai
bayi yang sehat pada saat pasien dipulangkan, namun tanda dari cedera otak
dapat tampak jelas saat evaluasi pasien saat kontrol. Kurang lebih 40-50%
dari pasien meningitis neonatorum yang selamat memiliki bukti cedera
neurologis.27,28
2.3.9 Terapi
Pada meningitis neonatorum, pemberian terapi empiris (vancomysin
dikombinasikan dengan cefotaxime atau ceftriaxone) hendaknya langsung
diberikan, pemberian terapi tambahan yang sensitif terhadap
mikroorganisme penyebab bisa diberikan setelah memperoleh hasil pada
pemeriksaan serebrospinal.30
i. Terapi Antimikrobial
berupa antibiotik secara empirikal biasa diberikan pada meningitis
neonatorum. Namun, diperlukan hasil dari pungsi lumbal untuk
membedakan penyebab meningitis untuk pemberian terapi kedepannya.
Pada meningitis bakterial pemberian antibiotik sangat dibutuhkan untuk
mencegah timbulnya komplikasi pada meningitis.30
Sebelum hasil kultur keluar, pasien meningitis neonatorum
perlu diberikan antibiotik empiris, yaitu ampisilin ditambah
aminoglikosida atau pemberian cefalosporin generasi 3 dengan
kecurigaan ke arah infeksi gram negatif. Dosis ampisilin yaitu 100 – 150
mg/kgbb intravena per 8 jam dan gentamisin 3 mg/kgbb/hari intravena.
Pemberian cephalosporin generasi 3 bisa dengan cefotaxime 200
mg/kgbb/hari intravena diberikan per 6 jam atau ceftriaxone 80 – 100
mg/kgbb/hari intravena setiap 12 – 24 jam, dengan loading dose 75
mg/kgbb. Namun pemberian ceftriaxone tidak dianjurkan karena sangat
berikatan dengan protein sehingga dapat mengganggu ikatan bilirubin
dan albumin, sehingga meningkatkan risiko kernikterus pada neonatus.30
28
ii. Pemberian Kortikosteroid
Kortikosteroid yang biasa diberikan adalah dexamethasone,
biasa diberikan pada neonatus sebagai terapi tambahan dan untuk
mencegah terjadinya komplikasi seperti kehilangan pendengaran.
Pemberian dexamethasone dengan dosis 0,15 mg/kgbb setiap 6
jam selama 2 hari diberikan 1 sampai 2 jam sebelum pemberian
antibiotik. Dexamethasone berperan dalam menurunkan efek inflamasi
dan konten air pada otak. Hal ini dibuktikan dengan adanya penurunan
edema serebral, penurunan tekanan intrakranial, penurunan vaskulitis
dan trombosis pembuluh darah otak, dan mencegah rusaknya neuron.30
2.3.10 Prognosis
Penderita meningitis neonatorum memiliki risiko terjadinya kecacatan
sedang hingga berat. Sebanyak 25-50% memiliki masalah dengan bahasa,
fungsi motorik, pendengaran, penglihatan, dan kognisi; 5-20% mengalami
epilepsi di masa mendatang. Penderita juga lebih cenderung mengalami
defisit visual, penyakit telinga tengah, dan masalah perilaku.30
2.4.2 Epidemiologi
Angka kejadian tetanus tergantung pada jumlah populasi masyarakat
yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat
pencemaran biologik lingkungan peternakan / pertanian, adanya luka pada
kulit atau mukosa. Tetanus tersebar di seluruh dunia terutama pada daerah
risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah.9 WHO
29
menyebutkan sekitar 34.000 tetanus neonatorum menyebabkan kematian
pada tahun 2015. Angka tersebut sudah menurun 96% sejak tahun 1988.31
2.4.3 Etiologi
Tetanus neonatorum disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini
terdapat banyak di alam, di tanah, di feses kuda dan binatang lainnya. Sifat-
sifat bakteri Clostridium tetani 9:
− Basil Gram-positif dengan spora pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
− Obligat anaerob yaitu berbentuk vegetatif apabila berada dalam
lingkugan anaerob dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella
serta menghasilkan eksotoksin berupa tetanospasmin dan tetanolisin.
− Pada lingkungan tidak kondusif, mampu membentuk spora yang
mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan desinfektan.
2.4.4 Patogenesis
Spora Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Mulanya
spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh
beberapa faktor sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan
berkembang biak dengan cepat.9 Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh
toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. Clostridium
tetani menghasilkan dua eksotoksin : tetanospasmin dan tetanolisin.9
− Tetanolisin bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini
dengan merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan
mengoptimalkan suasana anaerob yang terbentuk pada situs luka.
− Tetanospasmin sebagai neurotoksin kemudian menjadi agen
penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada tetanus.
Dalam kondisi normal, sistem muskuloskeletal akan bereaksi sesuai
dengan sinyal yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan inhibitorik).
Reaksi sel-sel neuron terhadap suatu sinyal adalah dengan menghasilkan
neurotransmiter. Neurotransmiter kemudian akan menyampaikan sinyal
tersebut dan saraf motorik akan merangsang serat otot untuk bereaksi.9
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan
neurotransmitter seperti asetilkolin untuk menyampaikan sinyal eksitatorik
30
ke motor neuron yang merangsang otot untuk berkontraksi. Sedangkan
neuron inhibitorik juga akan menghasilkan neurotransmitter seperti GABA
untuk membatasi gerakan dan menodulasi kontraksi yang terjadi, di mana
pada saat satu bagian otot berkontraksi, pada saat bersamaan terdapat otot
lain yang relaksasi (antagonis refleks).9
Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron inhibitorik gagal
mengeluarkan neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi tidak
diimbangi dengan inhibisi otot yang lain. Otot agonis maupun antagonis
mengalami kontraksi dan tidak terkontrol sehingga terjadi spasme otot yang
menjadi gambaran khas pada tetanus.9 Dampak lain dari toksin antara lain9:
a. Dampak pada ganglion pre sumsum tulang belakang disebabkan
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan
dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan menjadi
kaku.
b. Dampak pada otak, disebabkan oleh toksin yang menempel pada
gangliosida serebri mungkin dapat menyebabkan kekakuan dan spasme
c. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat berlebihan, hipertemia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block dan takikardi.
31
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan akan fleksi
pada siku dan tertarik ke arah badan, sedangkan kedua tungkai dorsofleksi
dan kaki akan mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung
menyebabkan punggung tertarik menyerupai busur panah (opistotonus).31
Jarak antara gejala pertama muncul sampai munculnya gejala
berikutnya pada kasus tetanus neonatorum disebut periode onset. Periode
onset ini berperan penting dalam menentukan prognosis penyakit ini.
Semakin pendek periode onset ini, semakin buruk prognosisnya. Periode
onset pada neonatus lebih pendek dibandingkan dengan pada anak atau
dewasa, mungkin disebabkan oleh jarak akson yang lebih pendek sehingga
infeksi lebih cepat mencapai CNS.31
2.4.7 Terapi
Pengobatan pada tetanus terdiri atas9 :
− Pengobatan umum : kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran
jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka atau port’d
entree lain yang didugas seperti karies dentis dan OMSK.
− Pengobatan khusus : pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.
Tindakan atau pengobatan pada pasien tetanus neonatorum9:
1) Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan
2) Berikan diazepam 10 mg/kgbb/hari secara IV dalam 24 jam atau
dengan bolus IV setiap 3 jam (dengan dosis 0,5 ml per kali
pemberian), maksimum 40 mg/kgbb/hari.
32
Bila jalur IV tidak terpasang, pasang pipa lambung dan beri diazepam
melalui rektum (dosis sama dengan dosis IV)
Bila frekuensi nafas < 20 kali/ menit dan tidak tersedia fasilitas
penunjang nafas dengan ventilator, diazepam dihentikan.
Bila bayi mengalami henti nafas selama spasme atau sianosis sentral
setelah spasme, berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang, bila
belum bernafas spontan lakukan resusitasi, bila tidak berhasil dirujuk
ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU.
3) Berikan bayi Human tetanus imunoglobulin 500 IU IM atau
antitoksin tetanus (equine serum) 5000 IU IM sebelumnya dilakukan
tes kulit terlebih dahulu.
4) Tetanus toksoid 0,5 ml IM diberikan pada tempat yang berbeda
dengan tempat pemberian antitoksin.
5) Pemberian antibiotik
Lini 1: Metronidazol 30 mg/kgbb/hari dengan interval setiap 6 jam
(oral/parenteral) selama 7-10 hari.
Lini 2 : Penisilin Procain 100.000 U/kgbb/hari IV dosis tunggal 7- 10
hari.
Jika terdapat sepsis atau bronkopneumonia, berikan antibiotik yang
sesuai.
6) Bila terjadi kemerahan dan atau pembengkakan pada kulit sekitar
pangkal tali pusat, keluar nanah atau bau busuk dari area tali pusat,
berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
2.4.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah sepsis, bronkopneumonia akibat
infeksi sekunder bakteri, kekakuan otot laring dan otot jalan nafas, aspirasi
lendir/ makanan/ minuman, patah tulang belakang (fraktur kompresi).9
2.4.9 Prognosis
Prognosis tetanus ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka
dan keadaan status imunitas pasien. Tetanus neonatorum harus dianggap
sebagai tetanus berat karena memiliki prognosis buruk.9
33
BAB 3
REKAM MEDIS KASUS
Keluhan Utama:
Lahir tidak langsung menangis
34
jalan nafas, pemberian O2, rangsang taktil dan pencegahan hipotermi. Kemudian
pasien dirawat di ruang perinatal level 2 karena berat badan lahir sangat rendah dan
pola nafas tidak adekuat dan tidak teratur. Selama di perinatal level 2 pasien tampak
lemah, pucat, kurang aktif, menangis(+) merintih dan pola nafas pasien tidak
adekuat. Pada tanggal 8 Januari 2019, tiba-tiba pasien mengalami henti nafas dan
tubuh pasien tampak kebiruan, pasien segera dipindahkan ke NICU dan dipasang
ventilator. Pasien dirawat di NICU selama tujuh hari, selama di NICU pasien
megalami kuning di seluruh tubuh mulai dari kepala sampai kaki, kejang (-),
demam(-), muntah(-).
Tanggal 15 Januari 2019 pasien kembali dirawat di perinatal level 2, pasien
tampak pucat, lemas, kurang aktif, menangis (+), tubuh pasien kuning dari kepala
sampai kaki, muntah (+) 2 kali isi susu, sedikit. Pasien difototerapi selama dua hari
dan pasien mulai minum ASI melalui selang orogastrik sedikit-sedikit. Pasien buang
air besar 2 kali per hari, warna kuning, konsistensi lunak, lendir (-), darah (-), buang
air kecil 5-6 kali per hari, warna kuning, darah (-).
35
Riwayat Perinatal:
Antenatal :
Selama kehamilan ibu pasien rutin memeriksakan kandungan di puskesmas,
riwayat kehamilan dengan penyulit (-), riwayat minum obat/jamu (-).
Natal :
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, lahir secara spontan
pervaginam di rumah sakit RSUD RAA Soewondo Pati. Umur kehamilan 32
minggu dengan berat badan lahir 1400 gram, dengan APGAR-SCORE 1-2-3 .
Post natal:
Pasien dirawat di RS (+) sejak lahir karena pucat, berat badan lahir sangat rendah,
nafas tidak adekuat, kuning.
Riwayat Imunisasi:
Belum dilakukan imunisasi
36
Frekuensi Nafas : 56 kali / menit
Suhu : 36,1˚C
SpO2 : 97 %
Data Antropometri
BB : 1400 gram
PB : 39 cm
Pemeriksaan Sistem
Abdomen:
Inspeksi : tampak datar, tidak ada benjolan
Auskultasi : bising usus (+) normal, 9 x/menit
Palpasi : supel, tidak terdapat hepatosplenomegali
37
Ekstremitas dan tulang belakang : akral hangat (+), edema (-), CRT < 2 detik,
tidak ada skoliosis, lordosis, kifosis, spina bifida
Kulit : turgor kulit baik, lanugo jarang, ikterik (+) Kramer 5, ruam (-)
Kelenjar getah bening: tidak teraba pembesaran
Anus dan genitalia :
Anus: tidak terdapat anus imperforate/atresia ani/fistula/ekskoriasi
Genital: bentuk penis normal, epispadia (-), hipospadia (-), testis di skrotum,
rugae jelas
Pemeriksaan Neurologis
Refleks pada bayi :
Refleks moro (+)
Refleks palmar grasp (+)
Refleks plantar grasp (+)
Refleks rooting (+)
Refleks sucking (+)
38
09/01/2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Jumlah lekosit L 5,3 10^3/ul 10-26
Jumlah eritrosit L 3,26 10^6/ul 4,7-6,1
Hemoglobin 13,4 g/dl 10-17
Hematokrit L 36,9 % 40-52
Jumlah trombosit 181 10^3/ul 150-400
10/01/2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Kimia Klinik
Bilirubin Total H 13.23 mg/dL 0.00-1.00
Bilirubin Direct H 0.62 mg/dL 0.0-0.25
Bilirubin Indirect H 12.61 mg/dL 0.0-0.75
16/01/2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Jumlah lekosit L 9,4 10^3/ul 10-26
Jumlah eritrosit L 1,66 10^6/ul 4,7-6,1
Hemoglobin L 6.2 g/dl 10-17
Hematokrit L 16.6 % 40-52
Jumlah trombosit 294 10^3/ul 150-400
Bilirubin Total H 10.12 mg/dL 0.00-
1.00
Bilirubin Direct H 0.58 mg/dL 0.0-0.25
Bilirubin Indirect H 9.54 mg/dL 0.0-0.75
39
21/01/2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai
Rujukan
Jumlah lekosit 10.9 10^3/ul 10-26
Jumlah eritrosit L 3.51 10^6/ul 4,7-6,1
Hemoglobin 10.4 g/dl 10-17
Hematokrit L 31.5 % 40-52
Jumlah trombosit 233 10^3/ul 150-400
Bilirubin Total H 4.49 mg/dL 0.00-
1.00
Bilirubin Direct H 0.88 mg/dL 0.0-0.25
Bilirubin Indirect H 3.61 mg/dL 0.0-0.75
3.5 RESUME
Telah diperiksa seorang bayi laki-laki berusia 0 bulan 17 hari dengan tidak langsung
menangis pada saat lahir, tampak pucat, APGAR score 1-2-3. Berat badan lahir 1400
gram, panjang badan 39 cm. Telah dilakukan pembersihan jalan nafas, pemberian
O2, rangsang taktil dan pencegahan hipotermi. Pasien kemudian dirawat di ruang
perinatal level 2 karena berat badan lahir sangat rendah dan pola nafas tidak adekuat.
Selama di perinatal level 2 pasien tampak lemah, pucat, kurang aktif, menangis(+)
merintih dan pola nafas pasien tidak adekuat dan tidak teratur. Pasien sempat
mengalami henti nafas dan tubuh pasien tampak kebiruan, pasien segera
dipindahkan ke NICU dan dirawat di NICU selama tujuh hari. Lalu pasien kembali
dirawat di perinatal level 2 dan mengalami kuning dari kepala sampai kaki dan
difototerapi selama dua hari. Pasien mulai minum ASI melalui selang orogastrik
sedikit-sedikit. Keluhan muntah (+) 2x isi susu. Pasien buang air besar 2 kali per
hari, warna kuning, konsistensi lunak, lendir (-), darah (-), buang air kecil 5-6 kali
per hari, warna kuning, darah (-).
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Ny. SI dan Tn. P,
lahir secara spontan pervaginam di RSUD RAA Soewondo Pati pada tanggal 6
Januari 2019, usia kehamilan 32 minggu, berat badan lahir 1400 gram. Saat lahir
pasien tidak langsung menangis dan APGAR score 1-2-3.
40
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum pasien
tampak kurang aktif, menangis (+), tanda-tanda vital: nadi 123 kali/menit, nafas 56
x/menit, suhu 36,1oC, BB: 1400 gram, PB: 39 cm, LK: 29 cm, conjunctiva anemis
+/+, sklera ikterik (+/+), akral hangat, CRT < 2 detik, ikterik (+) Kramer 5, sianosis
(-), retraksi (+).
Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan penurunan leukosit,
eritrosit, hematokrit, Hb, neutrofil dan eosinofil serta peningkatan limfosit, bilirubin
total, direk dan indirek.
3.6 DAFTAR MASALAH/DIAGNOSA
Diagnosa kerja: - Sepsis
- BBLSR
- Asfiksia berat
- Anemia
- Hiperbilirubinemia
3.7 PENGKAJIAN
3.7.1 Clinical Reasoning
Sepsis: Pada anamnesis diperoleh bahwa pasien sebelumnya ada keluhan
tampak tidak aktif, muntah, nafas tidak adekuat, kuning. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan keadaan umum tampak kurang aktif, menangis merintih, dan
ada hipotermi. Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan penurunan
leukosit, eritrosit, hematokrit dan neutrofil.
BBLSR: Pasien lahir dengan berat badan 1400 gram
Asfiksia berat : pasien tidak bernafas spontan, adekuat dan teratur setelah lahir,
APGAR score 1-2-3, retraksi (+).
Anemia: Pada pemeriksaan fisik didapatkan conjunctiva anemis +/+, pada
pemeriksaan laboratorium darah pada tanggal 16/01/2019 diperoleh kadar
hemoglobin 6,2 g/dl.
Hiperbilirubinemia : Pada anamnesa pasien sempat kuning dari kepala sampai
kaki, dari pemeriksaan fisik didapatkan kulit ikterik Kramer 5, sclera ikterik
kanan dan kiri, dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan
bilirubin total, bilirubin direk dan bilirubin indirek.
41
3.7.2 Diagnosis Banding
Intoksikasi
Sindrom kawasaki
Leptospirosis
Tuberkulosis
Malaria
Kriptokokosis
Penyakit Lyme
42
Awasi tanda-tanda perburukan (penurunan kesadaran, kejang, apneu, sianosis)
Evaluasi kecukupan cairan dan gizi
3.7.7 Edukasi
Menjelaskan mengenai penyakit yang diderita pasien (definisi, etiologi, faktor
resiko, komplikasi, tatalaksana, prognosis).
Memotivasi ibu agar telaten memberikan ASI setelah keadaan pasien membaik
dan menjaga hygiene selama kontak dengan bayi dan ketika memerah ASI.
3.7.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
3.7.9 Kesimpulan
Telah diperiksa seorang anak laki-laki berusia 0 bulan 17 hari dengan keluhan
tidak langsung menangis saat lahir, kurang aktif, nafas tidak adekuat, dan muntah.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosa kerja sepsis neonatorum, BBLSR, asfiksia berat, anemia, dan
hiperbilirubinemia.
43
Lampiran 1
44
BAB 4
ANALISIS KASUS
TEORI KASUS
Definisi
Sepsis atau septikemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit
infeksi yang berat, disertai dengan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit
infeksi yang berat, disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa
hipotermia, hipertermia, takikardia, hiperventilasi, dan letargi.
Sindrom sepsis adalah sepsis yang telah disertai dengan gangguan perfusi organ seperti
gangguan akut status mental, oligouri, peninggian kadar asam laktat di dalam darah dan
hipoksemia.
Syok septik adalah sindrom sepsis yang telah disertai dengan hipotensi tetapi masih
memberikan respons terhadap pengobatan cairan dan farmakologik.
Epidemiologi
Insiden sepsis lebih tinggi pada Pasien merupakan seorang bayi laki-laki
kelompok neonatus dan bayi <1 tahun berusia 0 bulan 17 hari, lahir prematur: usia
dibandingkan dengan usia >1-18 tahun kehamilan 32 minggu dengan BBLR: 1400
(9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak). gram.
Pasien sepsis berat, sebagian besar
berasal dari infeksi saluran nafas (36-
42%), bakteremia, dan infeksi saluran
kemih.
Sepsis berat lebih sering dialami anak
dengan komorbiditas yang
mengakibatkan penurunan sistem
imunitas seperti keganasan,
transplantasi, penyakit respirasi kronis
dan defek jantung bawaan
45
TEORI KASUS
Etiologi
Sepsis disebabkan oleh respon imun yang Pada pasien belum dilakukan pemeriksaan
dipicu oleh infeksi. Bakteri merupakan kultur darah sehingga belum diketahui
penyebab infeksi yang paling sering, tetapi secara pasti kuman penyebab sepsis pada
dapat pula berasal dari jamur, virus, atau pasien.
parasit.
Faktor Risiko
Faktor risiko ibu: Faktor risiko ibu: persalinan dan kehamilan
Ketuban pecah dini dan ketuban pecah kurang bulan.
lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah Faktor risiko bayi: pasien lahir prematur usia
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada kehamilan 32 minggu dengan BBLSR: 1400
bayi meningkat sekitar 1% dan bila gram, dan dirawat di rumah sakit (ruang
disertai korioamnionitis, kejadian sepsis perinatal level 2 RSUD RAA Soewondo
akan meningkat menjadi 4 kalinya. Pati) selama 12 hari karena asfiksia berat,
Infeksi dan demam (>38°C) pada masa BBLSR, ikterik. Dirawat di NICU selama 7
peripartum akibat korioamnionitis, infeksi hari karena apnea.
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh
Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi
perineal oleh E. coli, dan komplikasi
obstetrik lainnya.
Cairan ketuban hijau keruh dan berbau
Kehamilan multipel
Persalinan dan kehamilan kurang bulan
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
Faktor risiko pada bayi:
Prematuritas dan berat lahir rendah
Dirawat di Rumah Sakit
Trauma pada proses persalinan
Prosedur invasif seperti intubasi
46
endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,
infus, pembedahan, akses vena sentral,
kateter intratorakal
Bayi dengan galaktosemia (predisposisi
untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,atau
asplenia
Asfiksia neonatorum
Cacat bawaan
Tidak diberi ASI
Pemberian nutrisi parenteral
Perawatan di bangsal intensif bayi baru
lahir yang terlalu lama
Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang
overcrowded
Buruknya kebersihan di NICU
TEORI KASUS
Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis dini sepsis dan sepsis yang Keadaan umum : kurang aktif, menangis (-)
terjadi pada masa neonatus dan anak dengan Tanda Vital
gangguan imunitas yang berat sangat sulit Frekuensi Nadi : 123 kali / menit
untuk diketahui. Stadium dini sepsis sulit Frekuensi Nafas : 56 kali / menit
dibedakan dari penyakit infeksi biasa, tetapi Suhu : 36,1˚C
kemudian anak menunjukkan adanya tanda SpO2 : 97%
awal sepsis yang dapat berupa menggigil, Data Antropometri
hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi, yang BB : 1400 gram
disusul dengan hipotensi. Gelisah dan agitasi TB : 39 cm
biasanya merupakan tanda awal dari suatu Kurva Lubcencho:
syok septik, sehingga hal ini penting untuk
BB/usia kehamilan = SMK (diantara
diperhatikan pada pengelolaan sepsis. Pada
persentil 10 dan 90)
stadium dini syok septik dapat ditemukan
PB/usia kehamilan = SMK (diantara
kulit yang hangat sehingga disebut sebagai
persentil 10 dan 90)
warm shock. Oleh karenanya bila
LK/usia kehamilan = SMK (diantara
47
pengawasan tidak diberikan secara adekuat, persentil 10 dan 90)
syok yang terjadi baru diketahui setelah
berjalan lama. Hipotensi yang terjadi dapat Pemeriksaan sistem
mengakibatkan timbulnya gagal ginjal akut, Mata: bola mata ODS (+/+), tidak
gangren perifer, dan laktik asidosis. Pada cekung, CA (+/+), SI (+/+), RC
syok yang berat dapat menimbulkan gagal langsung dan tidak langsung (+/+),
organ berganda yang akan memperburuk pupil bulat, isokor, diameter 3 mm, ,
prognosis. katarak kongenital (-/-), injeksi
Sepsis yang terjadi pada masa neonatus dan konjungtiva (-/-), palpebra edema
anak dengan gangguan imunitas, manifestasi (-/-)
klinis sering tidak spesifik, kadang-kadang Pulmo:
dapat berupa letargi, muntah, perut kembung, Inspeksi : dada simetris,
dan hiponatremia. Adanya netropenia dan pergerakan dada kanan dan kiri
hipotermia pada umumnya merupakan tanda simetris statis dan dinamis, retraksi
penting untuk golongan penderita ini dan (+), pola nafas tidak teratur
juga bagi penderita luka bakar luas yang Palpasi : stem fremitus kanan
mengalami sepsis. dan kiri sama kuat
Petekia dan purpura dapat ditemukan pada Auskultasi : SDV +/+, Rh -/-,
penderita sepsis yang terutama disebabkan Wh -/-
oleh Meningokokus, sedangkan P. Kulit : turgor baik, ikterik (+)
aeruginosa dapat menimbulkan kelainan Kramer 5
kulit berupa ecthyma gangrenosa.
DIC dapat pula ditemukan pada keadaan
sepsis, biasanya terlihat dari adanya purpura,
perdarahan pada bekas jarum suntik, dan
bentuk perdarahan lain.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: Pada pasien dilakukan pemeriksaan
Pemeriksaan kuman dengan kultur laboratorium hematologi: hasilnya
darah didapatkan penurunan hemoglobin, eritrosit,
Pungsi lumbal hematokrit, leukosit, dan neutrofil.
Pewarnaan gram
Pemeriksaan hematologi
48
Tatalaksana
Tata laksana sepsis ditujukan pada Rencana Terapi Farmakologis
penanggulangan infeksi dan disfungsi Infus D5
organ. Injeksi meropenem 30mg tiap 8 jam
Tatalaksana Infeksi Injeksi aminophilin 5 mg tiap 12 jam
A. Antibiotika Injeksi amikasin 20 mg 24 jam
Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai
dengan dugaan etiologi infeksi, diagnosis Rencana Terapi Non-Farmakologis
kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Oksigen 1 L/menit
Apabila penyebab sepsis belum jelas, Transfusi PRC 15 cc/kgBB
antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama
sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya
dilakukan pemeriksaan kultur darah. Upaya
awal terapi sepsis adalah dengan
menggunakan antibiotika tunggal
berspektrum luas. Setelah bakteri penyebab
diketahui, terapi antibiotika definitif
diberikan sesuai pola kepekaan kuman.
B. Antibiotika kombinasi
Apabila antibiotika diberikan kombinasi,
harus dipertimbangkan kondisi klinis, usia,
kemungkinan etiologi dan tempat terjadi
infeksi, mikroorganisme penyebab, pola
kuman di RS, predisposisi pasien, dan efek
farmakologi dinamik serta kinetik obat.
Pilihan Kombinasi Antibiotik Empiris untuk
sepsis anak dengan penyebab belum
diketahui:
Extended-spectrum penicillina +
aminoglikosidab
Sefalosporinc generasi ketiga atau keempat
+ aminoglikosidaa + vankomisin
Karbapenem + aminoglikosidaa +
49
vankomisin
a
ampisilin-sulbaktam menjadi pilihan
pertama extended-spectrum penicillin
dalam terapi sepsis
b
floroquinolon dapat menggantikan
aminoglikosida pada semua regimen di
atas
c
Sefalosporin generasi ketiga seftriakson
tidak boleh digunakan ketika dicurigai atau
terbukti adanya Pseudomonas
C. Anti Jamur
Pasien dengan predisposisi infeksi jamur
sistemik (skor Kandida ≥3 dan kadar
prokalsitonin >1,3 ng/mL) memerlukan
terapi anti-jamur. Penggunaan anti-jamur
pada sepsis disesuaikan dengan data
sensitivitas lokal.
Tatalaksana disfungsi organ
1. Pernapasan
2. Ventilasi non invasif
3. Ventilasi mekanik invasif
4. Resusitasi Cairan dan Tatalaksana
Hemodinamik
5. Transfusi darah
6. Transfusi plasma
7. Kortikosteroid
8. Kontrol glikemik
9. Nutrisi
10. Menghilangkan sumber infeksi
50
Prognosis
51
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Infeksi neonatal merupakan insiden yang sering terjadi pada neonatus dan
bayi dan menjadi salah satu penyebab utama angka kesakitan dan kematian
pada neonatus dan bayi. Berdasarkan laporan WHO yang dikutip Child
Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal
Mortality (1999), dikemukakan bahwa sekitar 42% kematian neonatus
terjadi karena berbagai bentuk infeksi seperti infeksi saluran pernafasan,
tetanus neonatorum, sepsis, dan infeksi gastrointestinal.
Sepsis merupakan respon inflamasi tubuh terhadap suatu infeksi.
Infeksi tersebut bisa berupa infeksi lokal maupun sistemik dan dapat
disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, ataupun jamur. Respon inflamasi
yang ditimbulkan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan organ yang
merupakan penyebab kematian dari sepsis.
Insiden sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi <1 tahun
dibandingkan dengan usia >1-18 tahun (9,7 versus 0,23 kasus per 1000
anak). Pasien sepsis berat, sebagian besar berasal dari infeksi saluran nafas
(36-42%), bakteremia, dan infeksi saluran kemih.
Manifestasi klinis dini sepsis dan sepsis yang terjadi pada masa
neonatus dan anak dengan gangguan imunitas yang berat sangat sulit untuk
diketahui. Stadium dini sepsis sulit dibedakan dari penyakit infeksi biasa,
tetapi kemudian anak menunjukkan adanya tanda awal sepsis yang dapat
berupa menggigil, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi, yang disusul
dengan hipotensi. Gelisah dan agitasi biasanya merupakan tanda awal dari
suatu syok septik, sehingga hal ini penting untuk diperhatikan pada
pengelolaan sepsis. Pada stadium dini syok septik dapat ditemukan kulit
yang hangat sehingga disebut sebagai warm shock.
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya: (1) Infeksi, meliputi
faktor predisposisi infeksi, tanda atau bukti infeksi yang sedang
berlangsung, respon inflamasi; dan (2) tanda disfungsi/gagal organ. Tata
laksana sepsis ditujukan pada penanggulangan infeksi yaitu pemberian
52
antiobiotika, antibiotika kombinasi, dan/atau anti jamur; dan disfungsi
organ yaitu pernapasan, ventilasi non invasif, ventilasi mekanik invasif,
resusitasi cairan dan tatalaksana hemodinamik, transfusi darah, transfusi
plasma, kortikosteroid, dan kontrol glikemik.
5.2 Saran
Saran yang diberikan dalam referat ini terkait dengan kasus adalah:
− Mengevaluasi tanda-tanda perbaikan/perburukan klinis, respons
pengobatan.
− Pemberian terapi suportif seperti menjaga keseimbangan cairan
tubuh.
53
DAFTAR PUSTAKA
1. UNICEF, WHO, The World Bank and United Nations. Levels and trends in child
mortality: report 2017. In: UNICEF, (ed.). New York, USA: UNICEF, 2017.
2. UNICEF, WHO, The World Bank and United Nations. Levels and trends in child
mortality: report 2018. In: UNICEF, (ed.). New York, USA: UNICEF, 2018.
3. BKKBN, BPS, Kemenkes. Survei demografi dan kesehatan indonesia 2017. Jakarta;
2018: 137-9.
4. Oza S, Lawn JE, Hogan DR, Mathers C and Cousens SN. Neonatal cause-of-death
estimates for the early and late neonatal periods for 194 countries: 2000-2013. Bull
World Health Organ. 2015; 93: 19-28.
5. Lawn J, Blencowe H, Oza S, You D, Lee A and Waiswa P. Every newborn:
progress, priorities, and potential beyond survival. Lancet. 2014; 384: 189 - 205.
6. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson textbook of pediatrics, ilmu kesehatan anak,
edisi ke 18. Sepsis dan meningitis neonatus. Jakarta : EGC, 2004, hal 653-663.
7. Soetjiningsih, Ranuh IGNG. Tumbuh kembang anak, edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2016.
8. IDAI. Buku ajar tumbuh kembang anak dan remaja, edisi ke-1. Jakarta : Sagung
Seto; 2008.
9. IDAI. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis, edisi ke-2. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2015.
10. Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF. Nelson textbook of paediatrics.
20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016; 1233-58.
11. Cortese F, Scicchitano P, Gesualdo M, Filaninno A, De Giorgi E, Schettini F, et al.
Early and late infections in newborns: where do we stand? a review. Pediatrics and
Neonatology. 2016; 57: 265-73.
12. Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis. Virulence 2014;5:4-
11.
13. Randolph AG, McCulloh RJ. Pediatric sepsis: important considerations for
diagnosing and managing severe infections in infants, children, and adoles-cents.
Virulence 2014;5:179-89.
14. Plunkett A, Tong J. Sepsis in children. BMJ 2015;350:h3017.
15. Weiss SL, Fitzgerald JC, Maffei FA, et al. Discordant identification of pediat-ric
severe sepsis by research and clinical definitions in the SPROUT interna-tional point
prevalence study. Crit Care 2015;19:325-34.
16. Vincent J-L, Opal SM, Marshall JC, Tracey KJ. Sepsis definitions: time for change.
Lancet 2013;381:774-5.
17. Deutschman CS, Tracey KJ. Sepsis: current dogma and new perspectives. Im-
munity 2014;40:463-75.
18. Ann L Anderson-Berry, MD : Neonatal sepsis. Page was last modified February
23rd, 2010. Page available at http://emedicine.medscape.com/article/978352-
overview
19. Mary T. Caserta, MD : Neonatal sepsis. Page was last modified October 2009. Page
available at http://www.merckmanuals.com/professional/sec19/ch279/ch279m.html
20. Kosim Sholeh et al. Buku ajar neonatologi, edisi pertama, cetakan ke-2. Sepsis pada
bayi baru lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010, hal 170-87.
21. John Mersch, MD, FAAP : Neonatal sepsis ( sepsis neonatorum ). Page was last
modified June 20th, 2011. Page available at
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=98247
54
22. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson textbook of pediatrics, ilmu kesehatan anak,
edisi ke 18. Sepsis dan meningitis neonatus. Jakarta : EGC, 2004, hal 653-63.
23. Claudio Chiesa et al : Diagnosis of neonatal sepsis : A Clinical and Laboratory
Challenge. Page was last modified July 1st, 2011. Page available at
http://www.clinchem.org/cgi/content/full/50/2/279
24. IDAI. Konsensus diagnosis dan tatalaksana sepsis pada anak. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2016
25. Simmons ML, Durham SH, Carter CW. Pharmacological management of pediatric
patient with sepsis. AACN Adv Crit Care 2012;23:437-48
26. Khalessi N, Afsharkhas L. Neonatal meningitis: risk factors, causes and neurologic
complications. Iran J Child Neurol. 2014 Autumn;8(4): 46-50.
27. Gordon SM, Srinivasan L, Harris MC. Neonatal meningitis: overcoming challenges
in diagnosis, prognosis, and treatment with omics. Front Pediatr. 2017; 5; 139.
28. Ku LC, Boggess KA, Wolkowiez MC. Bacterial meningitis in infant. Clin Perinatol.
2015; 42(1); 29-45.
29. Barichello T, Fagundes GD, Generoso JS, Elias SG, Simoes LR, Teixeira AL.
Pathophysiology of neonatal acute bacterial meningitis. J Med Microbiol.
2013;62:1781–9.
30. Tesini BL. Neonatal bacterial meningitis. Page was last modified Juli 2018. Page
available at https://www.msdmanuals.com/professional/pediatrics/infections-in-
neonates/neonatal-bacterial-meningitis
31. WHO. Vaccine-preventable diseases surveillance standards neonatal tetanus. Page
was last modified 2018. Page available at
https://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/WHO_Surv
eillanceVaccinePreventable_14_NeonatalTetanus_R1.pdf?ua=1
32. Thwaites CL, Beeching NJ, Newton CR. Maternal and neonatal tetanus. Lancet.
2015; 385(9965): 362-370.
55