Anda di halaman 1dari 39

BAB I

AKHLAK DAN MU’AMALAH

1. Akhlak
1.1. Pendahuluan
Salah satu aspek ajaran dalam Islam adalah ajaran tentang akhlak. Dalam
ajaran Islam persoalan akhlak menempati posisi yang sangat penting, bahkan
merupakan inti dari ajaran Islam secara keseluruhan (Al-Taftanzani, 1991:8). Hal
ini disebabkan karena setiap aspek yang diajarkan oleh Islam baik itu aspek
aqidah, ibadah, maupun muamalah pada akhirnya dimaksudkan untuk
merealisasikan akhlak yang mulia. Akidah tidak dianggap benar jika tidak disertai
dengan ibadah dan perwujudan akhlak yang mulia. Ibadah tidak memiliki makna
apa-apa jika tidak dilandasi oleh akidah yang benar dan tidak melahirkan akhlak
yang mulia. Muamalah yang dilakukan manusia apapun bentuknya apakah itu
dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dll. hanya akan melahirkan
malapetaka dan bencana kehidupan jika tidak dibarengi dengan akhlak yang
mulia. Akhlak dalam Islam merupakan ujung tombak untuk mewujudkan Islam
sebagai rahmatan lil ‘alamin. Oleh sebab itu perhatian Islam terhadap persoalan
akhlak melebihi perhatiannya terhadap aspek ajaran Islam yang lain. Perhatian
Islam yang demikian besar tersebut dapat dilihat dari pernyataan Rasulullah Saw.
yang mengaitkan akhlak dengan missi kerasulannya. Beliau bersabda:
(‫إنما بعثت لتأمم مكارم الخألقا )رواه مالك‬
Artinya:”Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk meyempurnakan akhlak yang
mulia” (H.R. Malik)
Hadis ini menunjukkan dengan jelas bahwa missi utama diutusnya Nabi
Muhammad Saw. ke dunia ini tiada lain hanyalah untuk membangun,
mengembangkan, dan menyempurnakan kehidupan yang berlandaskan pada nilai-
nilai akhlak yang mulia.
Hadis ini diperkuat dengan hadis-hadis lain ketika Rasulullah Saw. menunjukkan
posisi akhlak mulia dalam Islam. Beliau menyatakan:
”Sesuatu yang paling berat timbangannya pada hari kiamat adalah taqwa
kepada Allah dan akhlak yang mulia” (H.R. Abu Dawud dan al-Tirmidzi)

1
“Sesungguhnya diantara kalian yang paling aku cintai dan paling dekat
kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya”
(H.R. al-Thabrani)
Ketika ditanyakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, siapakah orang
mukmin yang paling utama imannya?” Beliau menjawab: “Yang paling baik
akhlaknya” (H.R. Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa`I, dan al-Hakim).
Dan salah satu doa yang banyak dibaca oleh Rasulullah adalah:”Ya Allah,
sesungguhnya aku mohon kepadamu sehat dan afiat serta akhlak yang baik”
(H.R. al-Kharaithi)
Dari hadis-hadis di atas dapatlah difahami bahwa Islam memiliki obsesi
yang tinggi untuk mewujudkan manusia yang memiliki akhlak yang mulia yang
dari situ akan lahir masyarakat yang mulia yang mampu mengemban amanah
untuk memakmurkan dunia di atas landasan norma dan akhlak yang mulia. Sebab
hanya dengan akhlak yang mulia manusia akan dapat mewujudkan kehidupan
yang penuh kedamaian, kesejehteraan, kebahagiaan, dan terhindar dari bencana
dan malapetaka.
Dan perlu diketahui bahwa akhlak dalam Islam tidak hanya berkaitan
dengan pengetahuan dan kesadaran tentang baik dan buruk, terpuji dan tercela.
Atau dengan kata lain untuk sekedar mengetahui bahwa jujur itu baik dan terpuji,
bohong itu buruk dan tercela, dst. Akan tetapi ia memiliki jangkauan yang lebih
jauh dari itu semua. Akhlak berkaitan dengan kesadaran dan keterkesanan jiwa
tentang sesuatu yang seharusnya diwujudkan atau dilakukan kemudian ia
melakukannya dengan suka rela, serta kesadaran dan keterkesanan jiwa tentang
sesuatu yang seharusnya tidak diwujudkan dan tidak dilakukan kemudian ia
meninggalkannya dengan suka rela (Syaltut, 1966: 473). Dengan demikian akhlak
dalam Islam merupakan ikatan yang harus menjadi pegangan umat Islam dalam
rangka mewujudkan diri sebagai manusia muslim yang sejati yakni manusia yang
dalam segala aspek kehidupannya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak yang
mulia.

2
1.2. Pengertian akhlak
Secara etimologis, kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq
yang dalam kamus al-Munjid diartikan dengan harga diri, kebiasaan, perangai,
dan tabiat (Ma`luf, 1984: 194), dan dalam al-Mu`jam al-Asasi diartikan dengan
sekumpulan sifat jiwa dan amal perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk
(Tim, 1988: 419), sedangkan dalam Dairah al-Ma`arif diartikan dengan sifat-sifat
manusia yang berbau moral (Yunus,t.t.: 436). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata akhlak diartikan dengan budi pekerti, kelakuan (Tim, 1993: 15).
Dalam bahasa Arab kata khuluq memiliki akar kata yang sama dengan kata
khalq (ciptaan,makhluk,perangai) yang keduanya sama-sama digunakan. Misalnya
dikatakan:
ْ‫فلنا حسن اللخللقْ والخخللق‬
artinya: Si Fulan baik perangai batin dan lahirnya. Khuluq merupakan perangai
batin, sementara khalq merupakan perangai lahir (Al-Ghazali, 1989: 58).
Sedangkan akhlak secara terminologis adalah sebagai berikut:
1. Menurut Ibnu Maskawaih (wafat 421 H/1030 M) dalam bukunya Tahdzib
al-Akhlaq, bahwa yang dimaksud dengan akhlak adalah:
‫حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ول روية‬
Artinya: “Satu kondisi (sifat) yang ada dalam jiwa yang mendorong untuk
melakukan sesuatu tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”
(Maskawaih, )
2. Menurut al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) dalam bukunya Ihya`
Ulumuddin, bahwa akhlak adalah:
‫عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تأصدر الفعال بسهولة ويسر من غير حاجة إلى فكر وروية‬
Artinya:”Kondisi (sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya
amal perbuatan lahir dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan” (Al-Ghazali,1989: 57)
Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan:
Pertama, bahwa akhlak merupakan sifat batiniah yang sudah menginternal dan
mendarah daging dalam diri seseorang dan sudah menjadi watak dan tabiatnya. Ia
merupakan sifat yang murni dalam diri seseorang yang melahirkan perbuatan
tanpa ada unsur lain yang mempengaruhinya. Orang yang memiliki akhlak

3
dermawan misalnya, maka kedermawanan itu memang sudah merupakan watak
dan tabiatnya. Apabila ia berbuat derma, maka perbuatan itu dilakukannya tanpa
ada unsur lain yang mempengaruhinya selain sifat kedermawanan yang sudah
menjadi akhlaknya tersebut.
Kedua, perbuatan akhlak muncul dari diri seseorang secara mudah dan spontan
tanpa pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Maksudnya bahwa perbuatan
tersebut dilakukan secara suka rela, tanpa paksaan, atau susah payah, atau karena
pengaruh faktor di luar dirinya. Oleh karena itu apabila orang melakukan
kejujuran karena terpaksa, atau agar dilihat sebagai orang yang baik, atau karena
pertimbangan faktor politik, ekonomi, atau yang lain misalnya, maka perbuatan
tersebut tidaklah dapat disebut sebagai perbuatan akhlak kejujuran dan orang
yang melakukannaya tidak dapat dikatakan memiliki akhlak kejujuran.
Dengan demikian akhlak terkait dengan sesuatu yang ada dalam diri
manusia yang sifatnya sudah mendarah-daging dan menginternal serta merupakan
motivator berbuat secara suka rela. Akhlak bukanlah gambaran tentang perbuatan,
sebab kadangkala ada orang yang akhlaknya dermawan akan tetapi tidak dapat
memberi karena tidak punya uang atau karena halangan. Begitu pula ada orang
yang akhlaknya bakhil akan tetapi ia memberi karena ada faktor luar yang
mendorongnya atau karena riya` (Al-Jurjani, 1993: 136).

1.3. Perbedaan Akhlak, Etika dan Moral


Etika
Biasanya kata akhlak disamakan dengan kata etika dan moral. Meskipun ada
titik kesamaan antara ketiga kata tersebut akan tetapi ada pula titik perbedaannya.
Secara etimologis kata etika berasal dari bahasaYunanai ethos yang berarti adat
kebiasaan (Bertens, 1997:4). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia etika
diartikan dengan:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak)
2. Kumpulan asas atau nilai yang berhubungan dengan akhlak
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat (Tim, 1993: 237)

4
Sedangkan secara terminologis ada beberapa pengertian yang disampaikan
oleh para pakar, di antaranya:
1. Menurut Ahmad Amin dalam bukunya Etika (Ilmu Akhlak) bahwa Etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju
oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat (Amin, 1983: 3)
2. Menurut Lewis Mulford Adams dalam New Masters Pictorial
Encyclopaedia sebagaimana dikutip oleh Asmaran As, bahwa Etika adalah
ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai,
tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya (Asmaran
1992: 6)
3. Menurut Hamzah Ya’qub dalam buku Etika Islam bahwa Etika adalah ilmu
yang menyelidiki mana yang bak dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh
akal pikiran (Ya’qub, 1983: 13)
Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan:
Pertama, etika merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang objek kajiannya adalah
tingkah laku manusia untuk menentukan baik dan buruknya
Kedua, dalam etika ukuran untuk menentukan baik-buruk tingkah laku manusia
tersebut adalah akal pikiran
Ketiga, etika bersifat teoritis dan memandang tingkah laku manusia secara
universal.

Moral
Sedangkan moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin mores yaitu
jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan (Asmaran As, 1992: 8). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia moral diartikan dengan ajaran tentang baik-buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb.
Secara terminologis kata moral didefinisikan sebagai berikut:
1. Menurut Carter V Good dalam Dictionary of Education sebagaimana
dikutip oleh Asmaran As: Moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk

5
menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, buruk (Loc
cit)
2. Menurut Soegarda Poerbakatja dalam Ensiklopde Pendidikan: Moral
adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hidup
(moral). Juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menentukan baik dan
buruk (Poerbakatja, 1976: 186).
Dari pengertian di atas dapatlah disimpulkan:
Pertama, dari sisi objek kajiannya, moral sama dengan etika yang membicarakan
tingkah laku manusia dari sisi baik dan buruknya.
Kedua, tolok ukur moral untuk menentukan baik dan buruk dari perbuatan
manusia adalah adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
Ketiga, moral memandang tingkah laku manusia secara lokal (terbatas) dan lebih
bersifat praktis.
Dari pengertian dan definisi di atas dapat diketahui bahwa titik persamaan
antara akhlak, etika, dan moral adalah ketiganya sama-sama membicarakan
persoalan baik dan buruk dari perbuatan manusia. Sedangkan titik perbedaannya
adalah dari sisi tolok ukur untuk menentukan baik dan buruk dari perbuatan
manusia. Dalam akhlak, tolok ukurnya adalah wahyu (al-Quran dan al-Sunnah),
dan dalam etika tolok ukurnya adalah akal pikiran manusia, sementara dalam
moral tolok ukurnya adalah adat istiadat masyarakat sekitar.
Dengan demikian, akhlak sifatnya mutlak, absolut dan tidak dapat diubah.
Sementara etika dan moral sifatnya terbatas dan dapat diubah (Nata, 1997: 95).
Apa yang ditentukan sebagai akhlak yang baik, dimana saja dan kapan saja akan
tetap merupakan akhlak yang baik. Akan tetapi apa yang disebut dengan etika atau
moral yang baik tidak selamanya merupakan etika atau moral yang baik untuk
segala tempat dan masa.

1.4. Hubungan Moral, Akhlak, dan Etika

Etika (ilmu akhlak) bersifat teoritis sementara moral dan akhlak lebih
bersifat praktis. Artinya moral berbicara mana yang baik dan mana yang buruk,
akhlak berbicara soal baik buruk, benar salah, layak atau tidak layak. Sementara

6
etika lebih berbicara kenapa perbuatan itu dikatakan baik atau kenapa perbuatan
itu buruk. Etika menyelidiki, memikirkan, dan mempertimbangkan tentang yang
baik dan buruk, moral menyatakan ukuran yang baik tentang tindakan itu dalam
kesatuan sosial tertentu. Moral itu hasil dari penelitian etika.

Islam sangat menghargai etika dan moral karena Islam mempunyai


penghormatan yang tinggi terhadap penggunaan akal dalam mengkaji/memahami
ajaran-ajaran-Nya, dan Islam sangat menghargai budaya suatu masyarakat.
Kalaupun adat lokal menyimpang dari tuntunan Islam, maka Islam mengajarkan
kepada umatnya agar mengubahnya tidak sekaligus melainkan secara bertahap
melalui dakwah kultural.

1.5 Sumber Akhlak Dalam Islam

Persoalan akhlak di dalam Islam banyak dijelaskan melalui Al Qur’an


dan Al hadits. Sumber tersebut merupakan landasan dalam setiap aktifitas manusia
sehari-hari. Di dalamnya juga menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi
informasi kepada umat apa yang semestinya harus diperbuat dan dilaksanakan
sehingga dengan mudah dapat diketahui apakah perbuiatan itu terpuji atau tercela
benar atau salah.

Kita telah mengetahui bahwa akhlak Islam merupakan sistem moral atau
akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertolak pada aqidah yang diwahyukan
Allah Swt pada Rosul-Nya yang kemudian disampaikan kepada umatnya. Akhlak
Islam karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada
Rabb Yang Maha Esa, maka tentunya sesuai dengan dasar agama itu sendiri. Oleh
karena itu sumber pokok Akhlak Islam adalah Al Quran dan hadits yang
merupakan sumber utama di dalam agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits:

‫عنانس بن مالك ﻗاﻞ النبي ﺻلي ﷲ عليﻪ وسلم تأرﻛﺕ فيم امرين لن‬
‫تأﻀلوا ماتأمسﻛتأم بهما ﻛتأاﺐ ﷲ وسنة رسولﻪ‬

7
Artinya :
Dari Anas bin Malik berkata: Bersabda Nabi Saw.: ”Telah kutinggalkan atas kamu
sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak
akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.”

Nabi Muhammad Saw diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Hal ini telah dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya:

Artinya :
”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi mu
(yaitu) bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab:21)

Dari ayat diatas dijelaskan bahwa tugas utama Nabi Muhammad Saw. diutus ke
dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Untuk itulah Al Qur’an
dan As Sunah dijadikan dasar atau sumber utama dalam akhlak Islam.

Pengertian akhlak telah dipaparkan dengan jelas diatas dan dapat disimpulkan
bahwa akhlak bersifat mutlak, absolute dan tidak dapat diubah, karena akhlak
bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang maqbullah. Sementara etika dan
moral sifatnya terbatas dan dapat diubah karena bersumber pada akal atau budaya.

Karena Akhlak bersumber pada Al-Qur’an tentunya perilaku/perbuatan


/aktivitas manusia harus berpedoman pada dua hal diatas sehingga secara garis
besar akhlak dibagi menjadi dua macam:

1. Akhlaq Hasanah (akhlak yang baik) atau akhlaq karimah (akhlak yang
mulia)
Yaitu akhlak yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan yang baik dan
terpuji yang sesuai dengan akal dan Al Qur’an.

8
2. Akhlaq Sayyi`ah (akhlak yang buruk) atau akhlaq madzmumah (akhlak yang
tercela)
Yaitu akhlak yang dari padanya lahir perbuatan-perbuatan buruk dan tercela
yang bertentangan dengan akal dan Al-Qur’an.
Contoh-contoh akhlak yang mulia dan akhlak yang tercela dapat dilihat
dalam paparan singkat berikut ini. Di antara akhlak mulia yang ditekankan oleh
Islam adalah:
a. Malu
Sifat malu merupakan salah satu karakteristik orang Islam yang
ditekankan oleh Rasulullah Saw. Dan diteladankan dalam kehidupan beliau. Abu
Sa’id al-Khudri meriwayatkan: ”Rasulullah Saw. Lebih malu daripada seorang
gadis pingitan. Jika beliau melihat sesuatu yang tidak beliau sukai, kami hanya
bisa menyimpulkan dari ekspresi wajahnya” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Sebagaimana didefinisikan oleh para ulama, Malu merupakan sikap mulia
yang senantiasa mendorong seseorang untuk menghindari perbuatan buruk dan
mencegahnya dari kegagalan melaksanakan kewajibannya terhadap orang-orang
yang menjadi tanggungjawabnya (Al-Hasyimi, 1999:260). Sifat malu merupakan
salah satu cabang iman dan akan selalu membawa kebaikan. Rasulullah Saw.
Bersabda:
“Malu tidak membawa apa-apa selain kebaikan” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
“Iman memiliki lebih 70 cabang. Cabang yang tertinggi adalah mengucapkan
lailahaillallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan sesuatu yang berbahaya
dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman” (H.R. al-Bukhari dan
Muslim).
Orang yang memiliki sifat malu selalu peka terhadap dirinya dan diri
orang lain. Ia akan selalu memikirkan dan mengontrol apa yang akan ia perbuat
dan mengukurnya dengan nilai-nilai Islam. Jika yang akan diperbuat melanggar
nilai-nilai agama ia enggan untuk melakukan karena malu terhadap Allah dan
merasa takut akan bercampurnya keimanan dengan kesalahan. Ia merasa malu
untuk melakukan penghianatan terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah.
Apabila ia diberikan keindahan tubuh, ia tidak menggunakannya untuk hal-hal
yang akan membawa fitnah bagi orang lain, ia tidak mempertontonkan keindahan

9
tubuhnya di hadapan orang lain atau untuk dinikmati oleh orang lain. Apabila ia
diberi kekayaan, ia tidak akan menggunakannya untuk hal-hal yang akan
menjauhkan dirinya dari Allah, ia tidak menggunakannya untuk berhura-hura
demi kepuasan nafsunya. Apabila ia dikarunia ilmu pengetahuan, iapun tidak akan
menggunakannya untuk hal-hal yang tidak membawa kebaikan, ia tidak akan
memanfaatkan ilmu pengetahuannya untuk sekedar mencari popularitas atau uang
namun melanggar aturan-aturan Allah. Dengan demikian, sifat malu selalu
melindunginya dari segala kesalahan dan membimbingnya menuju kebenaran.
Dalam masyarakat modern saat ini, sifat malu sudah mulai pudar. Banyak
orang tidak lagi merasa malu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-
nilai agama. Mereka tidak merasa risih apalagi merasa berdosa dengan
pelanggaran-pelanggaran yang mereka lakukan secara sembunyi maupun terang-
terangan, dilihat orang maupun tidak dilihat orang. Mata mereka sudah mulai
buta, telinga mereka sudah mulai tuli untuk melihat dan mendengar kebenaran,
sementara hati mereka karena seringkali melakukan dosa, mulai sakit sehingga
sulit menerima kebenaran.
Nikmat yang diberikan oleh Allah tidak lagi dipergunakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi dimanfaatkan untuk komoditi dan
kepuasaan nafsunya. Mereka kehilangan kesadaran bahwa Allah selalu
mengontrol dan akan meminta pertanggungjawaban dari semua nikmat yang
mereka terima. Hilangnya kesadaran yang demikian akan mendorong mereka
melakukan segala hal semau mereka. Rasulullah Saw. Menyatakan:
“Apabila kamu tidak lagi merasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu”
b. Sabar dan Pemaaf
Sifat sabar merupakan salah satu sifat yang ditekankan dalam al-Quran.
Sifat ini merupakan salah satu karakteristik orang Islam. Dengan sifat ini orang
akan mampu mengendalikan emosi dan amarahnya dan selalu mengontrolnya
untuk tetap berada pada keseimbangan diri dalam menjalankan perintah-perintah
Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Orang yang sabar akan dicintai oleh
Allah dan bersama-sama dengan Nya sebagaimana disebutkan dalam firmannya:
Artinya:”

10
(yaitu) …… orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. Ali Imran
[3]:134)
‫انا ﷲ مع الصابرين‬

Artinya:” ……Sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar “. (Q.S. Al Baqarah


{2} : 153)
Orang yang memiliki sifat sabar ini menyadari bahwa ukuran kejantanan
seseorang bukan terletak pada kemampuannya mengalahkan orang secara fisik,
akan tetapi adalah kemampuannya dalam menjaga keseimbangan, kesabaran, dan
kontrol diri. Rasulullah Saw. mengatakan:
Artinya:”Orang kuat itu bukanlah orang yang bisa menjatuhkan seseorang ke
tanah, akan tetapi orang yang bisa mengendalikan diri ketika sedang marah” (H.R.
al-Bukhari dan Muslim).
Kemampuan untuk mengendalikan diri ini akan muncul manakala orang
menyadari bahwa setiap orang memiliki kelemahan dan kekurangan, dan tidak
merasa bahwa apa yang menjadi konsepnya, apa yang sedang dilakukan adalah
yang paling baik di antara yang lain. Orang yang sabar akan melihat orang secara
porposional dan objektif. Apabila ia marah, kemarahan itu bukan demi
kepentingan dirinya, akan tetapi demi Allah ketika sebagian hukum-hukum Allah
dilanggar atau dikesampingkan atau salah satu ritusnya dihina. Hal seperti ini
biasa ditunjukkan oleh Rasulullah Saw.. Beliau pernah marah ketika ada seorang
yang melaporkan bahwa ia enggan mengikuti shalat berjamaah karena yang
menjadi imam selalu memanjangkan bacaan shalatnya, beliau bersabda:”Wahai
manusia, ada beberapa orang yang mencegah orang lain dari berbuat kebaikan.
Jika seseorang mengimami shalat, hendaknya memendekkan shalatnya karena di
belakangnya ada orang yang sudah tua, anak kecil, dan orang yang terdesak
kebutuhan” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Beliau juga marah ketika Usamah bin Zaid salah satu sahabat yang dicintai oleh
Rasulullah meminta kebebasan perempuan dari hukum potong tangan akibat
mencuri. Ketika itu beliau langsung bangkit dan berceramah:”Orang-orang
sebelum kalian rusak ketika orang yang terhormat melakukan pencurian, mereka

11
tidak menghukumnya, namun ketika orang lemah yang mencuri, mereka
menerapkan hukumannya. Demi Allah seandainya Fatimah putri Muhammad
mencuri, pasti akan aku potong tangannya” Inilah alasan kemarahan yang
dibenarkan oleh Islam. Kemarahan hanya boleh dilakukan karena Allah bukan
karena manusia (Ibid, 288)
Dalam kehidupan saat ini, seringkali kita menemukan banyak orang tidak
mampu lagi mengendalikan dirinya. Mereka tidak sabar menghadapi kesalahan
orang lain terhadap dirinya atau kelompoknya atau masyarakatnya. Akibatnya,
yang dikedepankan adalah kesalahan, kebencian dan dendam yang dari padanya
muncul konflik, pertikaian, permusuhan yang banyak merugikan. Dalam
masyarakat Islam, hubungan antar individu tidak didasarkan atas kesalahan,
kebencian, dan dendam, akan tetapi didasarkan atas toleransi, mengabaikan
kesalahan, memaafkan dan kesabaran. Allah berfirman:
‫خأذ العفووأمربالعرف واعرض عن الجاهلين‬
Artinya:” Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,
dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh” (Q.S. al-A’raf [7]:199)
........‫ادفع بالتى هي احسن‬
Artinya:”Balaslah (kejahatan) dengan sesuatu yang lebih baik” (Q.S. Fussilat
[41]: 34). Demikianlah dua contoh akhlak yang mulia (al-Akhlaq al-Karimah).
Adapun contoh akhlak yang tercela (al-Akhlaq al-Madzmumah) adalah:
a. Sombong
Sifat sombong adalah sifat memandang rendah orang lain dan merasa
dirinya lebih baik dari orang lain. Sifat seperti ini sangat dicela oleh Allah dan
tidak disukai Nya. Dalam al-Quran dan al-Hadis dinyatakan bahwa orang yang
melakukan kesombongan tidak disukai oleh Allah dan akan mendapat kerugian di
akherat. Allah berfirman:
‫ولتأصعرخأدك لناس ولتأمش فى الرض مرحا انا ﷲ ليحﺐ ﻛﻞ مختال فخور‬
Artinya:”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena
sombong) dan janganlah kamu berjalan di atas bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri” (Q.S. Luqman [31]:18)
‫ تألك الدارالخأرة نجعلها للذين ليريدونا علوافى الرض ولفسادا‬........

12
Artinya:”Negeri akherat Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di bumi” (Q.S. al-Qashash [28]: 83).
Dan Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya:”Tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya terdapat
kesombongan meski hanya seberat atom …” (H.R. Muslim)

Artinya:”Maukah kamu saya beritahukan mengenai penghuni neraka? (Yakni)


setiap orang yang kasar, membanggakan diri, penuh kehinaan dan sombong”
(H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kehidupan bermasyarakat orang yang sombong juga tidak disukai
oleh masyarakat, sebab orang yang sombong sealu merasa dirinya lebih baik dari
yang lain, konsep dan idenya lebih hebat dari yang lain, kekayaannya lebih
banyak dari yang lain, marganya lebih tinggi dari yang lain, nasab (keturunan) nya
lebih terhormat dari yang lain. Dari sikap semacam itu akan lahir perilaku-
perilaku yang meremehkan pendapat, kedudukan, dan sikap orang lain. Orang
yang sombong tidak sadar bahwa dibalik kelebihan yang dia miliki apapun
bentuknya apakah itu harta, ilmu, kedudukan, atau yang lainnya ada kelemahan-
kelemahan. Di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanya
milik Allah. Oleh sebab itu dalam menjalani kehidupan ini tidak ada manusia
yang paling hebat dan paling baik dalam segala hal. Disinilah diperlukan adanya
kerjasama dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.
Dalam ajaran Islam orang-orang yang sombong berarti melampaui batas
wilayah Tuhan sebab hanya Allahlah yang pantas melakukan kesombongan karena
Dia Maha Sempurna dalam segala hal. Oleh sebab itu Rasulullah Saw. banyak
mengingatkan agar orang yang beriman tidak tergoda oleh sifat sombong karena
manusia diciptakan sebagai makhluk yang lemah dan tidak sempurna, dan
kesombongan akan membawa kerugian baik dalam kehidupan di dunia maupun
kehidupan di akherat.

b. Iri Hati (hasad)


Iri Hati (hasad) adalah sifat tidak senang terhadap pemberian Allah
kepada orang lain dan menginginkan agar nikmat tersebut hilang darinya (Al-

13
Ghazali,t.t.: 76-77). Sifat ini termasuk akhlak yang sangat tercela bahkan Al-
Ghazali menyebutnya sebagai salah satu dari tiga sifat yang menjadi induk
penyakit hati bersama dengan riya’ dan ujub (merasa dirinya paling hebat). Islam
melarang manusia memiliki sifat ini sebab ia akan memberikan bahaya dalam
kehidupannya di dunia maupun kehidupannya di akherat. Orang dilanda sifat iri
hati pada hakekatnya akan selalu menderita di dunia sebab manakala ia melihat
orang lain memperoleh nimat dari Allah hatinya selalu merasa tidak senang,
sementara di dunia ini tidak pernah terputus Allah memberikan nikmat kepada
orang lain apakah berupa harta kekayaan, keturunan, ilmu pengetahuan, dicintai
orang lain, pangkat, atau yang lain. Sedangkan di akherat iapun akan memperoleh
kerugian karena kebaikan yang dilakukan hilang begitu saja karena sifat iri
hatinya itu. Rasulullah bersabda:
‫إياﻛم والحسد فإنا الحسد يأﻛﻞ الحسناﺕ ﻛما يأﻛﻞ النار الحطﺐ‬
Artinya:”Jauhilah sifat iri hati sebab iri hati itu memakan (menghilangkan)
kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar” (H.R.)
Dalam Islam sifat yang dikembangkan adalah sikap saling mencintai satu
sama lain. Karena itu apabila ada orang Islam menerima nikmat dari Allah,
hendaknya orang Islam yang lain turut merasa seanng dan bersyukur atas nikmat
tersebut meskipun ia sendiri belum memperoleh nikmat itu sebab hal demikian ini
merupakan karakteristik iman seseorang. Dikatakan dalam hadis bahwa orang itu
belum dapat mencapai derajat iman ketika belum mampu mencintai orang lain
sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Orang yang selalu iri hati kehilangan sifat
ini karena ia selalu benci jika ada orang lain memperoleh nikmat dan mendoakan
agar nikmat itu hilang darinya. Hatinya selalu tidak senang kalau ada orang lain
mendapatkan kesenangan apalagi jika yang didapat itu belum ia peroleh atau
mengungguli yang ia peroleh.
Dalam fenomena sehari-hari kita dapatkan orang yang terkena sifat tidak
terpuji ini tidak sekedar merasa tidak senang terhadap karunia Allah yang
diberikan kepada orang lain, akan tetapi kadangkala menggunakan cara-cara yang
tidak benar agar supaya nikmat atau karunia Allah itu terlepas darinya, misalnya
dengan cara menyebarkan fitnah, isu-isu negatif, menutup atau memperkecil
peluangnya, dan cara-cara lain yang tidak benar. Agar kita terhindar dari kejahatan

14
orang yang iri hati ini, Allah mengajarkan kepada kita agar kita selalu berlindung
kepada Nya sebagaimana disebutkan dalam surat al-Nas:
‫ومن شر حاسد إذا حسد‬
Artinya:”(dan aku berlindung) dari kejahatan orang yang iri hati ketika ia iri
hatinya”. Inilah dua contoh akhlak yang tercela yang harus dihindari oleh
manusia.
Dengan memperhatikan contoh-contoh akhlak di atas, kita dapatkan bahwa
ada akhlak yang berkaitan dengan kehidupan individu seseorang secara pribadi,
dan ada pula akhlak-akhlak yang berkaitan dengan kehidupan seseorang dalam
hubungannya dengan yang lain. Dari sisi ini, maka akhlak dapat dibagi menjadi
dua macam pula, yaitu:
1. Akhlak Individual
Yakni akhlak yang lebih banyak berkaitan dengan pembentukan sifat dan
sikap individu secara pribadi. Akhlak ini lebih berkaitan dengan hubungan
manusia secara vertikal. Pembinaan akhlak mulia secara individual ini akan
melahirkan kesalehan individual. Contoh akhlak individual adalah syukur,
tawakkal, ikhlas, ridla, tawadhu’, dsb.
2. Akhlak Sosial
Yakni akhlak yang lebih banyak berkaitan dengan pembentukan sifat dan
sikap sosial. Akhlak ini lebih banyak berhubungan dengan interaksi manusia
dengan yang lain. Pembentukan akhlak mulia dalam hal ini akan melahirkan
kesalehan sosial. Contoh akhlak sosial adalah amanah, dermawan, syaja`ah
(berani) membela kebenaran, tidak sombong, tidak iri hati, dsb.
Kedua macam akhlak ini harus sama-sama menjadi fokus perhatian
manusia agar ada keseimbangan hidup secara invidual maupun secara sosial.
Islam menginginkan agar orang tidak menjadi shaleh untuk dirinya sendiri akan
tetapi juga mengharapkan agar orang membangun kehidupan yang shaleh secara
sosial.

1.4. Ruang Lingkup Akhlak


Akhlak dalam Islam mencakup banyak dimensi kehidupan manusia. Ia
memiliki ruang lingkup yang luas seluas dimensi perilaku manusia itu sendiri.

15
Akhlak dalam Islam tidak sama dengan etika yang ruang lingkupnya hanya
terbatas pada sopan santun antar manusia dan hanya berkaitan dengan tingkah
laku lahiriah manusia saja. M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Quran
membagi ruang lingkup akhlak menjadi tiga:
1. Akhlak terhadap Allah
2. Akhlak terhadap sesama manusia
3. Akhlak terhadap lingkungan (Lihat Shihab, 1998:261-273)
Berikut ini penjelasan sekilas tentang ketiga ruang lingkup akhlak
tersebut:
1. Akhlak terhadap Allah
Akhlak ini mencakup persoalan tata hubungan manusia dengan Allah,
yakni bagaimana seharusnya manusia berperilaku dan bersikap terhadap Allah.
Titik tolak Akhlak kepada Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada
Tuhan selain Allah Yang Maha Sempurna dalam sifat, nama, dan perbuatan-Nya.
Pengakuan dan kesadaran semacam ini membawa konsekwensi agar dalam
melakukan hubungan dengan Allah manusia selalu menyadari bahwa dirinya
adalah makhluk yang lemah, terbatas, dan tidak sempurna, serta selalu
membutuhkan pertolongan Allah, sementara Allah adalah Tuhan Yang Maha
Sempurna dan Absolut, semua yang diperbuat oleh Allah terhadap manusia selalu
mengandung hikmah dan kebaikan sehingga harus diterima dengan sepenuh hati
dan penuh keikhlasan meskipun kadangkala manusia tidak dapat mengetahui
hikmah tersebut. Dengan pengakuan dan kesadaran tersebut kita temukan dalam
ajaran Islam ada perintah kepada manusia untuk memuji Allah dan selalu
mengingat Nya, bersyukur kepada Nya atas segala nikmat dan pemberian Nya
yang tak terhitung, menyerahkan dan mengembalikan persoalan kepada Allah
yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu, bertawakkal (menyerahkan diri
sepenuhnya) kepada Nya, berprasangka baik terhadap Nya, dan beberapa perintah
yang lain. Selain itu dalam ajaran Islam kita temukan pula sikap-sikap yang tidak
diperkenankan untuk dilakukan oleh manusia terhadap Allah, misalnya syirik
(menyekutukan Allah), kufur (tidak menyukuri) terhadap nikmat Allah,
berprasangka buruk terhadap Allah, dll. Allah berfirman:

16
‫ألم يأنا للذين آمنوا أنا تأخشع ﻗلوبهم لذﻛر ﷲ وما نزل من الحقْ ول يكونوا ﻛالذين أوتأوا الكتاب من ﻗبﻞ فطال‬
‫عليهم المد فقست ﻗلوبهم وﻛثير منهم فاسقونا‬

Artinya:” Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk


tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya
telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka
adalah orang-orang yang fasik ( Q.S Al Hadiid [57] : 16)
.‫واعبدوا ﷲ ول تأشرﻛوا بﻪ شيئا‬
Artinya:”Dan sembahlah Allah dan jangan menyekutukan Nya dengan sesuatu”
‫وإذا عزمت فتوﻛﻞ على ﷲ‬
Artinya:”Apabila kamu telah bertekad, maka bertawakkallah kepada Allah”
Apabila manusia telah mampu menanamkan sikap yang benar terhadap
Allah, ia akan selalu mengingat Allah, memuji Nya, mencintainya, mentaati
perintah Nya, menjauhi larangan Nya secara ikhlas, dan selalu bergantung kepada
Nya. Ia akan menyadari betul bahwa kehidupan yang ada ini tidak bisa dilepaskan
dari peran besar Allah sebagai Penciptanya sehingga jalan menuju
kebahagiaanpun hanya akan diperoleh dengan mengikuti aturan dan ajaran agama
yang diridlai Nya.

2. Akhlak kepada sesama manusia


Akhlak ini mencakup banyak segi dalam hubungan sosial manusia dengan
sesamanya baik dalam persoalan keluarga, bertetangga, bergaul dan berinteraksi
dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum, dll. Akhlak ini tidak
hanya menyangkut sikap-sikap yang berkaitan dengan fisik orang lain, akan tetapi
juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hati dan perasaan orang lain, dan
tidak pula hanya mencakup hubungan sesama muslim, akan tetapi hubungan
dengan sesama manusia apapun agama dan keyakinannya.
Ajaran mendasar tentang akhlak terhadap sesama manusia adalah
kesadaran tentang harkat dan martabat manusia yang merupakan makhluk yang
dimulyakan oleh Allah yang harus dihargai, dan kesadaran bahwa setiap manusia

17
memiliki kelebihan dan kekurangan, kebaikan dan keburukan yang harus
dimaklumi. Oleh sebab itu Islam mengajarkan agar memandang sesama manusia
sebagai makhluk Allah yang sama posisinya yang kadangkala benar dan
kadangkala salah. Dengan titik pandang seperti ini maka manusia akan terhindar
dari sifat-sifat sombong, riya’, menghina orang lain; dan akan menumbuhkan sifat
toleran, pemaaf, dan menghargai orang lain. Selain itu Islam juga mengajarkan
agar menempatkan manusia secara wajar sesuai dengan derajat dan keistimewaan
yang dimilikinya. Orang yang lebih muda menghargai orang yang lebih tua, orang
yang lebih tua mengasihi orang yang lebih muda, orang yang tidak berilmu
menghormati orang yang berilmu, anak menghormati orang tuanya, murid
menghormati gurunya, dst.. Di sini Islam mengakui adanya perbedaan derajat
antar manusia. Perbedaan tersebut dapat berupa usia, ilmu, dan kualitas iman.
Allah menyatakan:
(8 ‫ووﺻينا النسانا بوالديﻪ حسنا )العنكبوﺕ‬
Artinya:”Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada orang
tuanya” (Q.S. Al-Ankabut [29]: 8)
‫يرفع ﷲ الذين آمنوا منكم والذين أوتأوا العلم درجاﺕ‬
Artinya: “…. maka Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang
yang berilmu di antara kamu dengan beberapa derajat” (Q.S. )
‫ﻗﻞ هﻞ يستوي الذين يعلمونا والذين ل يعلمونا‬
Artinya:“Katakan, apakah sama antara orang yang berilmu dengan yang tidak
berilmu”
‫إنا أﻛرمكم عند ﷲ أتأقاﻛم‬
Artinya:”Sesungguhnya yang paling mulya dintara kamu di sisi Allah adalah yang
paling bertakwa”
Dan dalam hadis Rasulullah Saw. Menyatakan:
‫ليس منا من ل يرحم ﺻغيرمن ول يوﻗر ﻛيرنا‬
Artinya:”Tidaklah termasuk umatku orang yang tiak menunjukkan kasih sayang
kepada yang lebih muda dan tidak menghormati kepada yang lebih tua” (H.R.
Ahmad dan al-Hakim)
Dalam akhlak Islam juga ada ajaran agar manusia menjaga privacy dan
perasaan orang lain sehingga ada larangan untuk memasuki rumah tanpa izin tuan

18
rumahnya, ada larangan mengungkap aib orang lain, menggunjing, mencemooh,
memfitnah, berkhianat, menipu dan sebangsanya. Islam melarang perilaku untuk
mencapai kemenangan atau kebahagiaan namun membuat orang lain menderita,
atau dengan kata lain mencapai kebahagiaan dan kesuksesan di atas penderitaan
orang lain. Akhlak Islam mengajarkan untuk lebih mengutamakan orang lain dari
pada diri sendiri. Kalau di negara Barat sering dikatakan “Anda boleh melakukan
perbuatan apapun selama tidak bertentangan atau mengganggu hak orang lain”,
maka Islam mengajarkan “Mereka (orang-orang yang beriman) mengutamakan
orang lain dari pada diri mereka sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan”
(Q.S. al-Hasyr [59]: 9).
Dengan demikian, maka dalam persoalan akhlak terhadap sesama, Islam
menginginkan agar manusia menjadi orang yang shaleh (baik secara individual)
sekaligus orang yang mushlih atau muhsin (baik secara sosial).

3. Akhlak terhadap lingkungan


Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala yang ada di
sekitar manusia baik benda-benda yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
Ajaran tentang akhlak terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia
sebagai khalifah yang mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan
pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam Islam
diajarkan agar manusia mengahargai proses yang sedang terjadi pada alam
sehingga orang dilarang mengambil buah sebelum matang, memetik bunga
sebelum mekar, dan memisahkan anak binatang dari induknya. Kesadaran
terhadap ajaran seperti ini akan mengantarkan manusia bertanggung jawab
terhadap pelestarian alam sehingga tidak melakukan perusakan alam sebab
perusakan apapun yang dilakukan terhadap alam sebenarnya adalah perusakan
terhadap diri manusia sendiri. Tumbuhan, binatang, dan benda-benda tak
bernyawa adalah ciptaan Allah dan menjadi milik Nya. Dari sisi ini ciptaan Allah
tersebut tidak berbeda dengan manusia. Oleh karena itu manusia harus
memperlakukannya dengan baik dan sewajarnya serta tidak boleh merusak,
menyakiti, atau menganiayanya. Perlakuan yang baik terhadap binatang misalnya

19
telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Sebelum Eropa mendirikan organisasi
pecinta binatang, Rasulullah Saw. telah mengajarkan:
‫اتأقوا ﷲ في هذه البهائم المعجمة فارﻛبوها ﺻالحة وﻛلوها ﺻالحة‬
Artinya: “Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang.
Kendarailah dan berilah makan dengan baik”
Dalam akhlak Islam juga diajarkan bahwa apa yang ada dalam genggaman
manusia berupa binatang, tumbuhan, dan benda-benda lain sebenarnya adalah
amanat yang harus dipertanggungjwabkan kepada Allah. Rasulullah dalam
menafsirkan ayat 8 surat al-Takatsur “Kamu sekalian pasti akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)” mengatakan: “Setiap
jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di
udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan
pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfaatannya”.
Dari sini dapat difahami bahwa meskipun manusia diciptakan sebagi
makhluk yang paling utama dan diberi kekuasaan di bumi, akan tetapi ia tidak
diperkenankan untuk berbuat semena-mena terhadap makhluk lain. Manusia harus
bersahabat dengan makhluk lain sebab manifestasi fungsi kekhilafahan manusia
menuntut adanya interaksi dengan makhluk lain. Dalam melakukan interaksi
tersebut bukanlah mencari kemenangan terhadap makhluk lain (alam) yang
menjadi tujuan akan tetapi membuat keselarasan dengan alam. Manusia dan alam
adalah sama-sama makhluk Allah yang tunduk dan mengabdi kepada Nya.

1.4. Sumber Akhlak Dalam Islam

Persoalan akhlak di dalam Islam banyak dijelaskan melalui Al Qur’an dan


Al hadits. Sumber tersebut merupakan landasan dalam setiap aktifitas manusia
sehari-hari. Di dalamnya juga menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi
informasi kepada umat apa yang semestinya harus diperbuat dan dilaksanakan
sehingga dengan mudah dapat diketahui apakah perbuiatan itu terpuji atau tercela
benar atau salah.

Kita telah mengetahui bahwa akhlak Islam merupakan sistem moral atau
akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertolak pada aqidah yang diwahyukan
Allah Swt pada Rosul-Nya yang kemudian disampaikan kepada umatnya. Akhlak
Islam karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada
Rabb Yang Maha Esa, maka tentunya sesuai dengan dasar agama itu sendiri. Oleh

20
karena itu sumber pokok Akhlak Islam adalah Al Quran dan hadits yang
merupakan sumber utama di dalam agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits:

‫عنانس بن مالك ﻗاﻞ النبي ﺻلي ﷲ عليﻪ وسلم تأرﻛﺕ فيم امرين لن‬
‫تأﻀلوا ماتأمسﻛتأم بهما ﻛتأاﺐ ﷲ وسنة رسولﻪ‬
Artinya :
Dari Anas bin Malik berkata: Bersabda Nabi Saw.: ”Telah kutinggalkan atas kamu
sekalian dua perkara, yang apabila kamu berpegang kepada keduanya, maka tidak
akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.”

Nabi Muhammad Saw diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Hal ini telah dijelaskan Allah Swt dalam firman-Nya:

Artinya :
”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi mu
(yaitu) bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab:21)

Dari ayat diatas dijelaskan bahwa tugas utama Nabi Muhammad Saw. diutus ke
dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Untuk itulah Al Qur’an
dan As Sunah dijadikan dasar atau sumber utama dalam akhlak Islam.
Posted in: Akhlak islam

1.6. Urgensi Akhlak Karimah dalam kehidupan manusia


Akhlak Karimah bukan sekedar kebutuhan sampingan bagi kehidupan
manusia akan tetapi merupakan keharusan yang harus diwujudkan dalam
kehidupan manusia baik secara individual maupun secara sosial (Al-Syarqawi,
1990:20). Hal ini karena manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai makhluk
yang memiliki dua potensi yang paradok, di satu sisi memiliki potensi untuk
menjadi baik dan di sisi lain memiliki potensi menjadi buruk dapat saja
mengalami kehidupan yang memilukan dan lebih hina dari binatang sebagaimana
dapat pula mencapai kehidupan yang mulia bahkan melebihi kemulyakan para
malaikat memerlukan pembinaan akhlak yang benar, yang mengarahkannya
menuju kehidupan yang benar yang akan mengantarkannya mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akherat. Akhlak karimah (mulia) merupakan pilar
utama terciptanya kehidupan yang sejahtera dalam masyarakat apapun. Hilangnya

21
akhlak mulia dalam kehidupan masyarakat akan mengantarkan masyarakat itu
mengalami kemerosotan dan bahkan kehancuran. Ahmad Syauqi seorang penyair
dari Mesir pernah menggambarkan urgensi akhlak karimah dalam kehidupan
masyarakat dalam satu bait syairnya sebagi berikut:
‫إنما المم الخألقا ما بقيت فإنا هم ذهبت أخألﻗهم ذهبوا‬
Artinya: “Sesungguhnya eksistensi umat itu akan ada selagi akhlaknya (yang
mulia) masih ada. Akan tetapi jika akhlaknya telah rusak maka hancurlah mereka”
Bukti-bukti sejarah telah menunjukkan tentang fakta tersebut, bahwa
ketika masyarakat masih memegangi akhlak mulia sebagai pilar utamanya
kehidupan mereka akan mengalami kemakmuran, akan tetapi manakala mereka
sudah tidak lagi memperhatikan akhlak yang mulia maka kehidupan mereka
mengalami kehancuran. Hancurnya sebuah masyarakat (komunitas) atau negara
bila kita telusuri dari sisi ini akan kita dapatkan bahwa salah satu faktor utamanya
adalah berkembangnya praktek-praktek kehidupan yang tidak lagi menjunjung
akhlak yang mulia. Para penguasa dan pemimpinnya tidak lagi memiliki amanah,
kejujuran, cinta terhadap rakyat, keadilan, prinsip menegakkan kebenaran, dan
sebagainya; akan tetapi yang dikembangkan adalah sifat-sifat rakus terhadap
kekuasaan, membohongi rakyat, cinta harta dan pangkat, korupsi, khianat, dan
sebangsanya. Dalam kondisi seperti itu tidak ada lagi yang dapat menjadi panutan,
tidak ada penegakan hukum yang jujur dan kebenaran, akibatnya adalah yang
benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Ketika kondisi sudah semakin parah
maka hancurlah komunitas atau negara tersebut. Al-Quran telah memberikan
contoh-contoh kongrit dalam masalah ini ketika mengisahkan tentang kehidupan
para nabi dan umat-umat terdahulu seperti Tsamud, Ad, Fir’aun, dll. Sebagaimana
sejarah juga mencatat tentang hal ini baik yang klasik maupun yang modern
seperti yang kita alami saat ini di negri tercinta ini.
Oleh sebab itu obsesi utama dari ajaran Islam adalah mewujudkan
kehidupan yang menjunjung tinggi akhlak yang mulia dalam rangka mencapai
kebahagiaan hidup individual maupun sosial, di dunia maupun di akherat. Dalam
Islam beragama tidak sekedar memegangi ajaran Islam secara formalitas dan
meninggalkan esensinya atau sekedar memperoleh kesenangan pribadi, akan
tetapi adalah pemahaman yang penuh kesadaran tentang ajaran agama itu dan

22
melaksanakannya dalam kehidupan bersama dengan meletakkan akhlak sebagai
intinya (al-Taftanzani, 1991:6). Rasulullah bersabda:
‫إنما بعثت لتأمم مكارم الخألقا‬
Artinya:”Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia” (H.R. Malik)
Untuk mewujudkan obsesi ini, maka setiap aspek dalam ajaran Islam
selalu dikaitkan dengan pembinaan akhlak yang mulia. Berikut ini akan diuraikan
sekilas tentang hubungan aspek-aspek ajaran Islam dengan pembinaan akhlak
yang mulia:
Akidah dan pembinaan akhlak yang mulia
Akidah yang merupakan fondasi utama dalam berislam
selalu mengajak kepada kebaikan dan keluhuran akhlak. Apabila
ia telah meresap dan menjadi kuat dalam diri manusia akan
lahirlah sifat-sifat yang mulia. Oleh sebab itu di dalam al-Quran
maupun Hadis kita selalu menemukan hubungan yang sangat erat
antara akidah dengan pembinaan akhlak yang mulia. Hal ini dapat
kita lihat misalnya dalam ayat dan hadis-hadis berikut. Allah
berfirman:

‫إنما المؤمنون الذين إذا ذكر الله وجلت قلوبهم وإذا تليت‬
‫ الذين يقيمون‬.‫عليهم آياته زادتهم إيمانا وعلى ربهم يتوكلون‬
‫ أولئك هم المؤمنون حقا‬.‫الصلة ومما رزقناهم ينفقون‬
(4-2 ‫)النفال‬
Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka
yang apabila disebut (nama) Allah hatinya bergetar, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah bertambahlah imannya,
dan mereka bertawakkal keapda Allah. Dan mereka yang
menegakkan shalat dan mengeluarkan sebagian rizki yang Kami
berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-
benar beriman” (Q.S. al-Anfal []: 2-4)

23
Dalam ayat tersebut Allah menunjukkan bahwa di antara
ciri utama orang-orang yang beriman adalah terwujudnya sikap-
sikap mulia berikut:
1) Perasaan takut (khauf) bercampur cinta (hubb) kepada Allah.
Hal ini sebagaimana digambarkan dalam ayat “apabila disebut
(nama) Allah bergetarlah hatinya”. Getaran hati yang ada dalam
diri orang yang beriman dapat berasal dari rasa cintanya
kepada Allah setelah mampu mengenali Allah dengan segala
kesempurnaan Nya, atau karena rasa takut kepada Allah
karena menyadari kekurangannya dalam mentaati Allah. Rasa
cinta yang menggetarkan hati dapat diibaratkan dengan
seorang perjaka yang mencintai seorang gadis, baru
disebutkan namanya saja hatinya sudah deg-degan, sementara
rasa takut dapat diibaratkan dengan seorang murid yang tidak
mengerjakan tugas yang diberikan oleh seorang guru yang
sangat disiplin, baru dikabarkan kedatangannya saja ia sudah
merasa takut dengan hukuman yang akan diperoleh.
2) Mudah menerima kebenaran. Hal ini digambarkan dalam ayat
”apabila dibacakan ayat-ayat Allah, bertambahlah imannya”.
Ayat-ayat Allah yang dimaksud dapat berupa ayat-ayat
qauliyah (firman Allah dalam al-Quran) atau ayat-ayat
kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah dalam alam semesta).
Orang yang beriman dengan memperhatikan ayat-ayat Allah
tersebut akan semakin yakin terhadap Allah dan kebenaran
ajarannya.
3) Bertawakkal kepada Allah. Hal ini dapat difahami dari ayat
“dan mereka bertawaakkal keapda Allah” yakni menyerahkan
sepenuhnya urusan kehidupannya keapda Allah setelah
menempuh sebab-sebab yang harus dilalui guna mencapai
keberhasilan urusan tersebut. Sikap seperti ini lahir dari rasa
yakin yang mendalam terhadap ketentuan-ketentuan dan
jaminan-jaminan Allah dalam kehidupan ini.

24
4) Mudah melakukan kebaikan dan ketaatan baik secara
individual maupun sosial. Hal ini dapat difahami dari ayat
“mereka yang mendirikan shalat dan mengeluarkan sebagian
rizki yang Kami berikan kepadanya”. Orang-orang yang
beriman tidak merasa berat untuk melakukan hal-hal yang
akan membawa kebaikan baik dalam hubungan dengan Allah
(vertikal) maupun dalam hubungannya dengan sesama
makhluk (horizontal).
Dari sini tampak jelas ada hubungan antara akidah dan
pembinaan akhlak yang mulia. Akidah yang benar harus
membuahkan sikap dan perilaku atau akhlak yang mulia.
Penegasan tentang hal ini lebih lanjut dapat disimak dari beberapa
hadis Rasulullah Saw.:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaknya menghormati tamunya, dan barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya tidak
menyakiti tetangganya, barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir hendaknya berkata yang baik atau
diam”
“Tidaklah beriman salah satu dari kamu sekalian sebelum ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”
“Dua hal yang tidak dapat berkumpul dalam diri orang yang
beriman: kikir (bakhil) dan akhlak yang buruk”
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya”
Hadis-hadis di atas memberikan penguatan lebih lanjut
tentang arti pentingnya perwujudan akhlak yang mulia sebagai
implementasi akidah (iman) yang benar. Bahkan dalam satu hadis
di atas dinyatakan bahwa tidaklah dianggap beriman kalau
manusia belum mampu melahirkan sikap-sikap yang terpuji dan
menghilangkan sikap-sikap yang tidak terpuji. Gambaran tentang
iman yang paling sempurna sebagaimana ditunjukkan dalam

25
salah satu hadis di atas adalah manakala pemilik iman itu mampu
menjelmakan diri sebagai orang yang paling baik akhlaknya.

Ibadah dan pembinaan akhlak


Ibadah yang diwajibkan di dalam ajaran Islam bukan
sekedar praktek-praktek ritual tanpa makna yang akan
menyambungkan hubungan dengan Allah dan membangun
hubungan yang baik dengan sesama manusia dan makhluk lain,
akan tetapi merupakan latihan-latihan rutin untuk membiasakan
manusia hidup dengan tatanan akhlak yang benar dan senantiasa
berpegang teguh dengan tatanan akhlak tersebut meskipun situasi
dan kondisi kehidupan mengalami perubahan (Ibid, 117). Hal ini
dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan al-Quran dan al-Hadis
yang senantiasa menghubungkan antara ibadah dengan realisasi
akhlak yang mulia.
Shalat yang merupakan ibadah harian pertama dalam
kehidupan muslim memiliki fungsi yang agung untuk membangun
kepribadian beragama (Al-Qardlawi, 1996:78). Allah berfirman:

‫ إن الصلة تنهى عن الفخشاء والمنكر )العنكبوت‬،‫وأقم الصلة‬


(45
Artinya:”Dan tegakkanlah shalat, sesungguhnya shalat itu
mencegah dari perbuatan keji dan munkar” (Q.S. al-Ankabut []:
45)
Inilah sebenarnya hakekat shalat, yakni menjauhkan
manusia dari sifat dan sikap yang tercela dan membersihkan diri
dari perbuatan dan perkataan yang tidak terpuji.
Zakat yang diwajibkan bagi orang muslim yang mampu
bukan sekedar pungutan pajak yang diambil dari orang yang kaya
lalu diberikan kepada orang yang fakir dan miskin, akan tetapi di
dalamnya ada makna pembinaan akhlak yang tinggi yakni untuk
menanamkan perasaan kasih dan sayang antar manusia,

26
membangun tali persaudaraan, dan merupakan sarana
pembersihan diri dari sifat-sifat yang tidak terpuji. Allah
berfirman:

(103 ‫خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها )التوبة‬


Artinya:”Ambillah dari harta-harta mereka sedekah yang
mensucikan dan membersihkan diri mereka” (Q.S. al-Taubah
[]:103)
Dalam zakat ada latihan untuk rela berkorban demi
kepentingan orang lain, dan penyadaran bahwa hidup ini tidak
bisa dilalui tanpa bantuan dan pertolongan orang lain. Saat ini
orang mungkin tidak membutuhkan bantuan orang lain karena
kekayaan yang dimiliki, tapi pada saat lain mungkin ia akan
membutuhkan pertolongan orang lain. Karena itu di saat ia
mampu memberikan sesuatu kepada orang lain, Islam
mewajibkan agar ia rela mengorbankan sebagian miliknya kepada
orang lain. Dari sinilah kemudian solidaritas sosial akan tercipta
dan kesenjangan sosial akan dapat dihindari.
Puasa yang merupakan kewajiban tahunan juga tidak alpa
dari pembinaan akhlak. Hakekat puasa bukan sekedar mencegah
diri dari makan, minum, dan berhubungan seksual dengan suami
atau istri sebagaimana difahami oleh banyak orang, akan tetapi
hakekat puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang dapat
menghilangkan iman dan keutamaan takwa (Saltut, 1960: ). Ayat
berikut menunjukkan hal ini:

‫ياأيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من‬
(183 ‫قبلكم لعلكم تتقون )البقرة‬
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. al-baqarah [2]:183)
Ayat di atas dimulai dengan menyebut iman dan diakhiri
dengan menyebut taqwa, baru ditengah-tengahnya ada perintah

27
berpuasa. Susunan redaksi yang demikian menunjukkan dengan
jelas bahwa antara puasa diwajibkan tidak sekedar mencegah
orang untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang dalam puasa,
akan tetapi ada maksud utamanya yakni mempersiapkan diri
untuk bertakwa yang merupakan kumpulan dari akhlak yang
mulia.
Oleh sebab itu ibadah-ibadah dalam Islam yang tidak
memiliki makna-makna di atas dan tidak mampu mewujudkan
tujuan-tujuan tersebut, sebenarnya telah kehilangan fungsi
utamanya dan hany menjadi badan dan jiwa (Ibid. 89). Karena itu
Rasulullah menyatakan:
“Barang siapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari berbuat
mungkar, maka sama saja dengan tidak shalat”
“Banyak orang yang shalat malam, akan tetapi yang didapat
hanyalah begadang”
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan buruk dan
perbuatan buruk, maka tidak ada kebutuhan Allah dalam hal ia
meninggalkan makanan dan minumannya” (H.R. al-Bukhari)
“Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum, akan
tetapi puasa adalah (menahan diri) dari perbuatan yang tidak
berguna dan keji. Apabila ada seseorang menghinamu atau
berbuat jahil kepadamu, maka katakan: sesungguhnya saya
berpuasa” (H.R. Ibnu Huzaimah)
Dan dalam hadis lain disebutkan bahwa seorang laki-laki berkata
kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang
wanita disebutkan shalatnya banyak, puasanya banyak,
sedekahnya banyak, hanya saja ia menyakiti tetangganya dengan
lesannya”, maka Rasulullah Saw. bersabda: “Ia di neraka”,
kemudian laki-laki tadi menanyakan: Wahai Rasulullah seorang
wanita disebutkan sedikit shalatnya, sedikit puasanya, dan ia
bersedekah hanya dengan sepotong keju tetapi ia tidak menyakiti

28
teangganya”, maka Rasulullah bersabda: “Ia di sorga” (H.R.
Ahmad)
Hadis yang terakhir ini memberikan petunjuk secara jelas
bahwa ibadah yang tidak melahirkan akhlak yang mulia tidak
memiliki manfaat apaun meskipun secara kuantitas banyak
dilakukan. Akan tetapi sedikit ibadah yang penuh dengan
penghayatan dan melahirkan akhlak yang mulia akan banyak
memberikan manfaat bagi pelakunya. Dari sini maka Islam tidak
sekedar melihat sisi kuantitas ibadah, akan tetapi yang lebih
penting adalah sisi kualitas ibadah itu. Ibadah yang baik adalah
yang memperhatikan sisi kuantitas namun disertai dengan
kualitas, menggabungkan antara formalitas ibadah dengan esensi
yang menajdi tujuan ibadah itu.
Dengan memperhatikan urgensi akhlak dalam kehidupan
manusia, maka Islam menetapkan profil manusia yang harus
diteladani didasarkan pada keluhuran akhlak. Hal ini tampak
dengan jelas ketika Allah menyatakan Rasulullah Saw. sebagai
teladan bagi orang yang beriman dalam satu ayat, dan di ayat
yang lain menyebut Rasulullah sebagai manusia yang berakhlak
yang tinggi. Allah berfirman:

‫لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله‬
‫واليوم الخر وذكر الله كثيرا‬
Artinya:”Sungguh ada dalam diri Rasulullah teladan yang baik
bagi kamu sekalian, (yakni) bagi mereka yang mengharapkan
(balasan) Allah dan hari Kiamat dan banyak ingat keapda Allah”
(Q.S. )

‫وإنك لعلى خلق عظيم‬


Artinya:”Sesungguhnya kamu benar-benar pada akhlak yang
agung”
Hal serupa juga dinyatakan oleh Rasulullah Saw. dalam
hadisnya:

29
‫أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا‬
Artinya:”Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah
yang paling baik akhlaknya”.
Inilah mengapa kalau kita memperhatikan ciri-ciri
kepribadian orang yang beriman dan utama di dalam al-Quran
selalu disebutkan akhlak-akhlak yang mulia. Imam al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin menyebutkan tanda-tanda akhlak
yang mulia terangkum dalam beberapa ayat berikut:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu)
orang-orang yang khusu’ dalam shalatnya. Dan orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak
berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-
orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di
balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dan orang-orang yang memelihara amanat (yang dipikulnya) dan
janji-janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (Yakni) yang akan
mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya” (Q.S. al-
Mukminun [23]:1-10)
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yuang beribadat,
yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku’, yang sujud, dan
menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar, dan
yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-
orang mukmin itu” (Q.S. al-taubat [9]:112)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang
apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan keapda mereka ayat-ayat Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya) dan keapda Tuhan mereka bertawakkal.
(Yaitu) otang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan

30
sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya” (Q.S. al-Anfal
[8]:2-4)
“Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang
itu (adalah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah
hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan
orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk
Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata:’Ya Tuhan kami,
jauhkanlah dari kami azab jahannam, sesungguhnya azabnya itu
kebinasaan yang kekal. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-
buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang
yang apabiula membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-
lebihan dan tidak pula kikir akan tetapi di tengah-tengah antara
yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan
yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan demikian
itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya). (Yakni) akan
dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan
kekal dalam azab itu dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan
diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan
mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya. Dan orang-
orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila
mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan
yang tidak berfaedah, mereka lalui saja dengan menjaga
kehormatan dirinya. Dan orang-orang yang apabila diberi
peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah
mengahadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. Dan

31
orang-orang yang berkata:’Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang
yang bertakwa’. Mereka itulah orang yang dibalasi dengan
martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan
mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di
dalamnya” (Q.S. al-Furqan [25]: 63-75).
Ayat-ayat di atas secara singkat dapat disimpulkan bahwa
akhlak yang mulia itu tercermin dalam sikap-sikap baik yang
dilakukan dalam interaksi dengan Allah dan dalam interaksi
dengan sesama manusia. Ia menyangkut persoalan individual
manusia dan persoalan sosialnya.
Dari uraian-uraian di atas dapatlah kita menarik
kesimpulan bahwa akhlak memiliki posisi yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Akhlak dalam Islam merupakan inti
ajaran yang harus diwujudkan dalam segala aktifitas kehidupan
muslim baik dalam akidah, ibadah, maupun muamalah.
Pembinaan akhlak yang mulia dapat dilakukan dengan cara
melatih dan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan akhlak mulia kehidupan manusia akan mencapai
kemakmuran dan kebahagiaan, begitu pula sebaliknya tanpa
akhlak yang mulia kehidupan manusia akan mencapai
kehancuran dan malapetaka. Oleh sebab itu setiap muslim harus
selalu berusaha untuk menjadikan dirinya sebagai pribadi-pribadi
yang selalu menjunjung tinggi akhlak yang mulia dalam seluruh
aktifitas kehidupannya.

Mu’amalah
Muamalah dalam Islam dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa
dan kedua dari segi istilah. Menurut segi bahasa, muamalah berasal dari kata
.‘Aamala yang artinya bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan
Menurut istilah, pengertian muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib

32
ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam urusan duniawi
.dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda

Gambaran umum tentang muamalah, misalnya : sang pedagang dengan


lapaknya, sang karyawan dengan berkasnya, mahasiswa dengan makalahnya,
pengangguran dengan harapannya, tukang rumput dengan guntingnya, nelayan
dengan lautnya, petani dengan musim tanamnya, polantas dengan peluitnya,
pengacara dengan kasusnya, dan lain-lain.

Interaksi manusia dengan segala tujuannya untuk memenuhi kebutuhan


keduniaan diatur Islam dalam Fiqh Muamalat. Berbeda halnya dengan Fiqh
Ibadah, Fiqh Muamalat bersifat lebih fleksibel dan eksploratif. Hukum semua
aktifitas itu pada awalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya,
inilah kaidah ushul fiqhnya. Fiqh Muamalat pada awalnya mencakup semua aspek
permasalahan yang melibatkan interaksi manusia, seperti pendapat Wahbah
Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum keluarga, hukum kebendaan,
hukum acara, perundang-undangan, hukum internasional, hukum ekonomi dan
keuangan. Tapi, sekarang Fiqh Muamalat dikenal secara khusus atau lebih sempit
mengerucut hanya pada hukum yang terkait dengan harta benda.

Ruang Lingkup Muamalah dalam Islam

Muamalah dalam Islam mempunyai beberapa pembagian, menurut Ibn


‘Abidin, fiqh muamalah terbagi menjadi lima bagian, yaitu:

1. Mu’awadlah Maliyah (Hukum Kebendaan)


2. Munakahat (Hukum Perkawinan)
3. Muhasanat (Hukum Acara)
4. Amanat dan ‘Aryah (Pinjaman)
5. Tirkah (Harta peninggalan)

Ibn ‘Abidin adalah seorang yang mendefinisikan muamalah secara luas sehingga
munakhat termasuk salah satu bagian dari fiqh muamalah, padahal munakhat
diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu fiqh munakhat.Dan begitu pula dengan
tirkah yang sudah ada dalam fiqh mawaris.

33
Al-Fikri dalam kitabnya, “Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah”,
menyatakan bahwa muamalah dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:

1. Al-Muamalah al-madiyah adalah muamalah yang mengkaji objeknya


sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah adalah
muamalah yang bersifat kebendaan karena objek fiqh mauamalah adalah
benda halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, serta masalah jual beli (al-
bai’al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalan dan
dlaman), pemindahan utang (hiwalah), sewa-menyewa (al-ijarah) dan lain
sebagainya.
2. Al-Muamalah al-adabiyah adalah muamalah yang ditinjau dari segi cara
tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indera manusia, yang
unsur penegaknya adalah hak -hak dan kewajiban-kewajiban, ijab dan
kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak.

Pembagian diatas dilakukan atas dasar kepentingan teoritis semata-mata


sebab dalam praktiknya, kedua bagian muamalah tersebut tidak dapat dipisah-
pisahkan.

Begitu pentingnya mengetahui Fiqh ini karena setiap muslim tidak pernah
terlepas dari kegiatan kebendaan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhannya.
Maka dikenallah objek yang dikaji dalam fiqh muamalah, walau para fuqaha (ahli
fiqih) klasik maupun kontemporer berbeda-beda, namun secara umum fiqh
muamalah membahas hal berikut : (1) teori hak-kewajiban, konsep harta, konsep
kepemilikan, (2) teori akad, bentuk-bentuk akad yang terdiri dari jual-beli, sewa-
menyewa, sayembara, akad kerjasama perdagangan, kerjasama bidang pertanian,
pemberian, titipan, pinjam-meminjam, perwakilan, hutang-piutang, garansi,
pengalihan hutang-piutang, jaminan, perdamaian, akad-akad yang terkait dengan
kepemilikan: menggarap tanah tak bertuan, ghasab (meminjam barang tanpa izin
– edt), merusak, barang temuan, dan syuf’ah (memindahkan hak kepada rekan
sekongsi dengan mendapat ganti yang jelas).

34
Setelah mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh
muamalah, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5 hal
yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi.
Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah
atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar,
Haram, Riba, dan Bathil.

1. Maisir

Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir


berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal
dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh
keuntungan dengan cara mudah. Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa
untung atau bisa rugi. Padahal islam mengajarkan tentang usaha dan kerja keras.
Larangan terhadap maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam AlQur’an Surat Al-
Baqarah (2): 219 dan Surat An-Nisa’ (5): 90.

2. Gharar

Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang


menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan. Setiap transaksi yang
masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar
jangkauan termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan bahwa konsep gharar
berkisar kepada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang
dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai berikut :

- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;

- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;

- Transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan kontraknya
tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan lain-lain.

Misalnya , membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang
masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar.
Atau kegiatan para spekulan jual beli valas.

35
3. Haram

Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya menjadi
tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.

4. Riba

Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat


mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan turunnya
ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara keras.

Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :

Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru mengurangi
harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti yang dijelaskan
dalam QS. Ar Rum : 39 .

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”

Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras
kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An Nisa :
160-161 .

“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka


(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa
yang pedih.”

Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan menjauhi riba
seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.

36
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.”

Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah


mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini menjelaskan konsep
final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.”

5. Bathil

Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada
kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama
rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan
merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta
hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang,
mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti menggunakan
barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus
sangat diperhatikan dalam bermuamalat.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Ahmad, al-Akhlaq, Dar al-Kutub al-Mishriyah, Kairo, t.t.

Asmaran As., Pengantar Studi Akhlak, cet. I, Rajawali Pers, Jakarta, 1992

Bertens,K., Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997

Al- Ghazali, Abu Ahmad, Ihya` Ulumuddin, juz III, cet. II, Dar al-Fikr, Bairut,
1989

----------------------, Bidayah al-Hidayah, Maktabah Ahmad bin Said bin Nabhan,


Surabaya, t.t.

37
Al-Hasyimi, Muhammad Ali, Menjadi Muslim Ideal,(terj.), Mitra Pustaka,
Yogyakarta, 1999

Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq, al-Maktabah al-


Mishriyah, Kairo, 1934

Al-Jurjani, Ali bin Mahmud bin Ali, al-Ta’rifat, Dar al-Bayan li al-Turats, Kairo,
1993

Makluf, Lois, al-Munjid,al-Maktabah al-katulikiyah, Bairut, 1984

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, cet. III, Rajawali Pers, Jakarta, 1997

Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta, 1976

Al-Qardlawi. Yusuf, Madkhal li Ma’rifah al-Islam, Maktabah Wahbah, Kairo,


1996

Shihab, M.Quraisy, Wawasan al-Quran, cet. VIII, Mizan, Bandung, 1998

Syaltut, Mahmud, al-Islam Aqidah wa Syariah, Dar al-Qalam, Kairo, 1966

Al-Syarqawi, Muhammad Abdullah, al-Fikr al-Akhlaqi, Dar al-jail, Bairut, 1990

Al-Taftanzani, Abu al-Wafa, Muhadharah fi al-tasawwuf al-Islami, Ma’had al-


Dirasat al-Islamiyah, Kairo, 1991

Tim, al-Mu’jam al-Arabi al-Asasi, al-Munadhdhamah al-Arabiyah li al-tarbiyah


wa al-tsaqafah wa al-Ulum, Tunis, 1988

Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993

Ya’kub, Hamzah, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1983

Yunus, Abdul hamid, Dairah al-Ma’arif, cet. II, al-Sya’b, Kairo, t.t.

Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (ciputat : UIN jakarta Press, 2005), cet.1, h. 5

http://khairilmuslim.wordpress.com/2011/04/04/208

http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/08/gharar-riba-dan-maisir-di-dalam.html

38
39

Anda mungkin juga menyukai