Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kenyataan yang menandai perkembangan kota-kota besar di Negara
sedang berkembang, mereka cenderung berkembang secara luar biasa,
namun ironisnya pertumbuhan kota yang ekspansif itu ternyata tidak di
imbangi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi guna
memberikan kesempatan kerja bagi penduduk yang bertambah cepat di
kota itu (over urbanization). Seperti dikatan T. Mcgee (1971), kota yang
tumbuh menjadi mentropolis dan mnakin gigantis ternyata di saat yang
sama harus berhadapan dengan masalah keterbatasan biaya pembangunan
dan kemampuan kota menyediakan lapangan pekerjaan bagi kaum migran
yang berbondong-bondong memasuki kota-kota besar.
Di Indonesia, pengalaman telah menunjukan bahwa pelaksanaan
pembangunan yang hanya mengutamakan kota besar menimbulkan
implikasi sosial kontra produktif. Pertama, upaya pembangunan yang yang
mengutamakan daerah kota hanya akan meningkat daya tarik bagi
penduduk dari daerah pedesaan untuk berpindah, baik secara tetap maupun
musiman. Kedua, pembangunan di kota kenyataannya membutuhkan dana
yang sangat besar, namun hasilnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil
penduduk saja. Ketiga, pembangunan di kota yang tidak di sertai dengan
penyediaan lapangan pekerjaan yang cukup telah meningkat jumlah
pengangguran yang umumnya karena pendidikan rendah menyebabkan
mereka tidak bisa terserap di sector perekonomian kota. Pembangunan
kota besar hanya menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi secara
fisik ternyata dalam banyak hal justru melahirkan orang-orang miskin
baru, masyarakat pinggiran di perkotaan atau yang lazim di sebut dengan
istilah masyarakat marginal.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan dakwah?
2. Apa yang di maksud dengan masyarakat marginal?
3. Baagaimana cara berdakwah di masyarakat marginal?
C. Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana cara kita berdakwah di masyarakat marginal

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dakwah
Secara etimologi kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”.
Kata kerjanya da’a yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak.1 Dari
makna yang berbeda tersebut sebenarnya semuannya tidak lepas dari unsur
aktifitas memanggil. Mengajak adalah memanggil seseorang untuk mengikuti
kita, berdoa adalah memanggil Tuhan agar mendengarkan dan mengabulkan
permohonan kita, mendakwa/menuduh adalah memanggil orang dengan
anggapan tidak baik, mengadu adalah memanggil seseorang untuk menghadiri
acara, malaikat israfil adalah yang memanggil manusia untuk berkumpul
dipadang mahsyar dengan tiupan sangkakala, gelar adaah panggilan atau
sebutan bagi seseorang, anak angkat adalah anak orang dipanggil sebagai anak
kita walaupun bukan dari keturunan kita. Kita memanggil pun dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia meliputi beberapa makna yang diberikan Al-Qur’an
yaitu mengajak, meminta, menyeru, mengundang, menyebut dan menamakan.
Maka bila digenaralkan makna dakwah adalah memanggil.2
Secara terminologi definisi dakwah dari literatur yang ditulis oleh pakar-
pakar dakwah antara lain:
Aboebakar Atjen, dakwah adalah perintah mengadakan seruan kepada
ssesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar
dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik.
Syekh Muhammad Al-Khadir Husain, Dakwah adalah menyeru manusia
kepada kebajikan dan petunjuk serta menyuruh kepada kebajikan dan melarang
kemungkaran agar mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.
A. Masykur Amin. Dakwah adalah suatu aktifitas yang mendorong
manusia memeluk agama islam melalui cara yang bijaksana, dengan materi

1
Awaludin. Pimay, Paradigma Dakwah Humanis, Semarang: RASAIL, 2015. Hal 13
2
Adi Santoso, dkk, Solusi Islam Atas Problematika Umat:(ekonomi, pendidikan, dakwah),
Jakarta: Gema Insani Press, 1998. hal. 175

3
ajaran islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini (dunia) dan
kebahagiaan nanti (akhirat).
Dari definisi ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah
kegiatan atau usaha memanggil orang muslim maupun non-muslim, dengan
cara bijaksana, kepada islam sebagai jalan yang benar, melalui penyampaian
ajaran islam untuk dipraktekkan dalam kehidupan nyta agar bisa hidup damai
di dunia dan bahagia di akhhirat, singkatnya, dakwah, seperti yang ditulis
Abdul Karim Zaidan, adalah mngajak kepada Allah, yaitu islam.
Setelah kita ketahui makna dakwah secara etimologis dan terminologis
maka kita akan dapatkan semua makna dakwah tersebut membawa misi
persuative bukan represif. Karena sifatnya hanyalah panggilan dan seruan
bukan paksaan. Hal ini bersesuaian dengan firman Allah (ayat la ikraha fiddin)
bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Maka penyebaran islam dengan pedang
ataupun teror tidaklah dikatakan sesuai dengan misi dakwah.3
B. Pengertian Masyarakat Marginal
Siapakah yang termasuk masyarakat marginal perkotaan? Secara faktual,
yang dimaksud dengan masyarakat marginal sebetulnya hampir sama dengan
masyarakat miskin. Akan tetapi, lebih sekedar fenomena ekonomi dalam arti
rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang cukup
mapan untuk tempat bergantung hidup-esensi dari masyarakat marginal adalah
menyangkut kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga miskin untuk
melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupan.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa yang disebut masyarakat
marginal pada umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan
terbatasnya akses pada kegiatan ekonomi sehingga sering kali makin tertinggal
jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi.
Di kota besar, golongan masyarakat yang mengalami proses merginalisasi
umunya adalah kamum migran, seperti pedagang kaki lima, penghuni

3
Solusi Islam Atas Problematika Umat:(ekonomi, pendidikan, dakwah) hal.167-178.

4
pemukiman kumuh dan pedagang asongan yang umumnya tidak terpelajar dan
terlatih atau apa kata yang asing disebut unskillde labour.
Ciri utama yang menandai masyarakat marginal biasanya ialah titik
terjadinya apa yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Mereka yang
miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya. Sedangkan yang kaya akan
tetap menikmati kekayaannya. Menurut pendekatan struktural, faktor
penyebabnya terletak pada lingkungan struktural sosial yang menyebabkan
mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan tarif hidup mereka. Struktur
sosial yang berlaku terlah melahirkan berbagai corak rintangan yang
menghalangi mereka untuk maju.
Ciri lain dari kehidupan masyarakat marginal adalah timbulnya
ketergantungan yang kuat dari pihak orang tidak mampu terhadap kelas sosial.
Ekonomi diatasnya. Menurut moehtar mas’ud, ketergantungan inilah yang
selama ini berperan besar dalam menurunkan kemampuan masyarakat
melakukan tawar-menawar dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang
antara pemilik tanah dan penggara, antara majikan dan buruh. Buruh tidak
mempunyai kemampuan untuk menetapkan upah, pedagang kecil tidak bisa
mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka jual. Pada masyarakat
relatif tidak dapat berbuat banyak atas ekspoitasi dan proses marginalisasi yang
dialami karena mereka tidak memiliki alternatif pilihan untuk menentukan nasib
ke arah yang lebih baik.
Menurut Robert Chamber (1987), pengertian masyarakat marginal
sebetulnya sama dengan apa yang disebut deprivation trap atau perangkap
kemiskinan.
Secara rinci deprivation trap terdiri dari 5 unsur:
a. Kemiskinan itu sendiri
b. Kelemahan fisik
c. Keterasingan atau kadar isolasi
d. Kerentaan
e. Ketidakberdayaan

5
Kelima unsur ini sering saling mengingat sehingga merupakan perangkap
kemiskinan yang benar-benar mematikan peluang hidup orang atau keluarga
miskin, dari akhir-akhirnya menimbulkan proses marginalisasi.4
C. Dakwah Pada Masyarakat Marginal
Dakwah tidak hanya semata-mata proses mengenalkan manusia kepada
Tuhannya, melainkan juga merupakan sebuah proses transformasi sosial, dengan
sejumlah tawaran dan Alternatif solusi-solusi bagi umat dalam mengatasi masalah
kehidupan yang mereka hadapi. Sebagaimana strategi dan pendekatan
komprehensif yang pernah berkembang oleh Rasullulah SAW manakala
mendesain dan menggerakkan program serta agenda Dakwah yang bermuatan
pengembangan atau perberdayaan umat serta berwawasan pembebasan.
Sementara itu disisi lain, masyarakat sasaran Dakwah sangatlah heterogen,
mereka terdiri dari kalangan intelektual, pejabat, pengusaha sampai rakyat jelata.
Ada laki-laki, ada perempuan, ada orang tua, remaja, dan ada anak-anak, ada
masyarakat kota (urban) dan ada masyarakat desa (rural), disamping masyarakat
marginal, yang terlupakan, dengan berbagai problem kehidupan yang mereka
hadapi. Senyatanya, bahwa ternyata dakwah selama ini tidak/belum/kurang
menyentuh kelompok-kelompok ‘masyarakat terpinggirkan (marginal) sebagai
salah satu subjek dan juga objek dakwah. Selaku masyarakat marginal yang
terpinggirkan, jelas, proses dakwah sangat diharapkan untuk mengangkat citra,
martabat, dan memperbaiki derajat kehidupan serta kesejahteraan. Dalam berbagai
bidang fisik, sosial, ekonomi, budaya, pemerintah, agama, dan juga lingkungan.
Dalam konteks strategi dan pendekatan dakwah islam, dimana islam
sebagai sebuah agama dinamis yang dapat menginspirasi denyut jantung
kehidupan manusia, hendaklah di dakwahlah dengan pendekatan-pendekatan yang
strategis dan humanis, baik dari perspektif sosiologis, antropologis maupun
psikologis dan kultural. Disamping itu dalam pelaksanaannya gerak dan langkah
aktifitas dakwah hendaklah berpadu dengan berbagai aktifitas yang dilakukan

4
Solusi Islam Atas Problematika Umat:(ekonomi, pendidikan, dakwah) hal.167-
168.

6
oleh masyarakat termasuk “tradisi” yang ada dan berkembang dalam masyarakat
itu sendiri. Sebut saja tradisi haroa adalah salah satu tradisi keagamaan yang telah
lama dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat Buton, sebagai warisan orang-
orang tua masyarakat muslim Buton, yang turun menurun dari generasi ke
generasi. Haroa dalam masyarakat butom berfungsi di samping sebagai ritual
keagamaan yang terkesan wajib, juga berfungsi sebagai media dakwah bagi
tokoh-tokoh agama untuk mendakwahkan agama islam.
1. Haroa Sebagai Media Dakwah dalam Perspektif Budaya
Ahmad Ghalwusy, menekankan proses penyebaran pesan dakwah (ajaran
islam) dengan pertimbangan pengguna metode, media, dan pesan yang sesuai
dengan situasi dan kondisi mad’u (khalayak dakwah).5 Ditengah arus informasi
yang kian hebat, kegiatan dakwah dengan segala bentuk kegiatan pendekatannya
tak lagi memperlihatkan “taji”. Ketika dakwah sudah tak sakral, sekadar hiburan,
sekedar termotivasi berkumpul untuk mendengar humor dari sang da’i karena
mubalillighnya pandani berhumor, maka harapan terjadinya perubahan atas dasar
dakwah sulit terjadi. Oleh karenanya, diperlukan pola baru, strategi dan metode
yang tepat, media yang efektif, polesan materi yang tidak menonton yaitu sekedar
mengaji membahas akidah, Syariah semata, tetapi juga mendorong daya produktif
ummat. Dalam konteks ini substansi dakwah semestinya menyentuh realitas
kebutuhan manusia. Sebagaimana diketahui bahwa unsur-unsur dakwah terdiri
dari; subjek dakwah, objek dakwah, materi dakwah, media dakwah dan efek dari
aktifitas dakwah yang dilakukan.
Media sebagai salah satu unsur dakwah memegang peranan yang sangat
penting penting untuk menyalurkan pesan-pesan dakwah Islam secara tepat dan
bermakna. Kata media dalam bahasa Arab sama dengan wa saa’ila dan wa siilah
yang berarti sarana atau perantara.6 Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia,
media berarti; alat (sarana) komunikasi seperti Koran, majala, radio, televise, film,
poster dan spanduk, atau bisa juga bermakna “yang terletak di antara dua

5
Ahmad Ghalwusi, Ad-Dakwah Al Islamiyah, (Kairo: Dar-Al Kitab al-Mishry, 1978), p. 10-11
6
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhor, Kamus Kontemporer Arab-Indone-sia (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Kropyok, 1996), p. 2016.

7
golongan”. Secara etimologis, sarana adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai
alat dalam mencapai maksud dan tujuan.7 Secara terminology media adalah alat
atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan bagi komunikator kepada
khalayak. Menurut Hamzah Ya’qub, media dakwah adalah alat objektif yang
menjadi saluran yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital
dan merupakan urat nadi dalam totaliteit dakwah,8 sedangkan Wardi Bachtiar,
media dakwah adalah peralatan yang dipergunakan untuk menyampaikan materi
dakwah.9 Dalam konteks komunikasi Wilbur Schram mendefinisikan media
sebagai media sebagai teknologi informasi yang dapat digunakan dalam
pengajaran.Seca spesifik yang dimaksud dengan media adalah alat-alat fisik yang
menjelaskan isi pesan atau pengajaran seperti buku, film, fideo kaset, slided, dan
sebagainya

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa


pengertian media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat digunakan da’i dalam
menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada khalayak.Dengan banyaknya media
dakwah sekarang ini, seorang da’i maka da’i harus dapat memilih media yang
efektif, efisien untuk mencapai tujuan dakwah. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh seorang da’i dalam memilih media dakwah sebagai berikut (1)
tidak ada satu media yang paling baik untuk menjawab keseluruhan masalah atau
untuk mencapai tujuan dakwah, (2) media yang dipilih hendaknya sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai, (3) media yang dipilih sesuai dengan kemampuan
sasaran dakwah, (4) media yang digunakan sesuai dengan materi dakwah, (5)
pemilihan media hendaknya dilakukan dengan cara yang objektif, (6) kesempatan
dan ketersdiaan media perlu mendapat perhatian, dan (7) efektifitas dan efisiensi
harus diperhatikan.

7
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), P. 892
8
Hamzah Ya’qub, Publisistik Islam, Teknik Dakwah dan Leadership (Bandung: CV. Diponegoro,
1992), p. 47.
9
Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah (Jakarta: Logos, 1997), p. 35.

8
Pemanfaatan sarana/media dalam kegiatan dakwah meng-akibatkan
komunikasi antara da’i atau sasaran dakwahnya akan lebih dekat dan mudah
diterima. Oleh karena itu aspek dakwah sangat erat kaitannya dengan kondisi
sasaran dakwah.Begitu pula sarana/ media dakwah ini memerlukan kesesuaian
dengan bakat dan kemampuan da’inya, dalam arti potensi dan kemampuan da’i
dalam memanfaatkan media yang digunakan.

Berdasarkan banyaknya komunikasi yang menjadi sasaran dakwah maka


secara konseptual media dakwah dapat diklasifikasi menjadi 2, yaitu media massa
san media non massa. Hamzah Ya’qub membagi sarana/media dakwah menjadi 5
(lima) yaitu: (a) lisan, (b) tulisan, (c) lukisan, gambar, karikatur, poster (d) audia
visual seperti televise, slide, internet, OHP, (e) akhlak. Sedangkan dilihat dari
sifatnya media dakwah juga dapat diklasifikasi ke dalam 2 (dua) bagian yaitu: (a)
media tradisional, dan (b) media modern.

“Haroa” sebagai sebuah tradisi dan merupakan rumpun media tradiosional


adalah merupakan salah satu media dakwah efektif yang digunakan oleh tokoh
agama (khatibi, lebe) untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah.Pendekatan
dengan menggunakan Media “Haroa” adalah salah satu yang dianggap paling
efektif dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah Islam bagi masyarakat yang
mendiami pesisir pantai Pulau Buton.

2. Dakwah Haroa dalam Masyarakat Buton

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “haroa” adalah hidangan


berupa makanan, lambang bekal bagi roh orang mati yang dianggap akan
menempuh suatu perjalanan yang jauh. Atau hidangan berupa makanan (lauk
pauk, kue tradisional) yang disiapkan untuk menyambut malam pada bulan
ramadhan.10

Dalam masyarakat Buton, haroa adalah ritual perayaan hari-hari besar


Islam atau bentuk syukuran atas nikmat dan karunia Tuhan, dimana

10
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008), p. 484-489

9
pelaksanaannya diadakan di rumah-rumah warga yang diikuti semua anggota
rumah. Demikian juga dengan para tetangga turut diundang baik yang berbeda
suku maupun agama. Keluarga maupun para tamu/tetangga yang diundang duduk
berkumpul di satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan yang berisikan kue-kue
seperti onde-onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi (ubi
goreng), dan sanggara (pisang goreng). Semua kue tersebut mengelilingi piring
yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur goreng. Usai pembacaan doa, acara
selanjutnya adalah makan-makan. Saya teringat antropolog Victor Turner yang
mengatakan bahwa makna ritual adalah memperkokoh jaringan sosial di antara
seluruh anggota masyarakat. Silaturahmi dengan tetangga, serta kian akrab
dengan semua keluarga.11

Pelaksanaan adat haroa dalam setahun bisa dilaksanakan selama beberapa kali,
sesuai dengan peringatan hari-hari besar Islam yang sering dirayakan.

3. Pekandeana Anana Maelu

Salah satu bentuk haroa yang sering diperingati oleh masyarakat Buton
yaitu haroa yang diadakan setiap tanggal 10 Muharram yang disebut dengan
Pakandeana anana maelu. Tanggal 10 Muharram dirayakan oleh para sufi dengan
tersedu-sedu. Pada hari ini, cucu Rasulullah, Hussein bin Ali, dibantai bersama
seluruh keluarga dan pengikutnya. Makanya, di kalangan penganut ahlul bayt
atau syiah, tanggal 10 Muharram senantiasa dirayakan agar menjadi pelajaran
bagi generasi penerus. Ketika Hussein wafat, maka putranya Imam Ali Zainal
Abidin (atau dalam sejarah dikenal sebagai Imam Sajjad karena saking seringnya
bersujud) menjadi yatim. Dalam bahasa Buton, yatim disebut maelu. Demi
memberi kekuatan bagi Imam Ali Zainal Abidin agar tegar dalam meneruskan
amanah Rasululah untuk menegakkan agama Islam, orang-orang Buton
mengadakan haroa pekandeana anana maelu (makan-makannya anak yatim).

11
La Ode Rusman Bahar, Tradisi Haroa yang Lestari, http://timurangin.
blogspot.com/2009/08/tradisi_haroa_yang_lestari.html, diunduh pada tanggal 29September 2012, sesuai
pula dengan Wawancara Om Kandang, Tokoh Agama (Sara hukumu) pada masyarakat islam Buton yang ada
di Kendari Sulawesi Tenggara.

10
Pelaksanaannya adalah dengan cara memanggil dua orang anak yatim berusia 4
sampai 7 tahun (sesuai umur Imam Ali). Kemudian dari kalangan keluarga yang
melakukan upacara, secara bergiliran ikut menyuapi dua anak tersebut.
Sesudahnya, mereka diberi uang sekedarnya. Tradisi ini merupakan tradisi sufistik
yang kuat di masyarakat Buton yang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun
silam.

Dalam masyarakat Buton peristiwa tersebut di atas bukan merupakan


peristiwa simbolik semata, tetapi mereka berkeyakinan bahwa menyantuni anak-
anak lemah yang di dalamnya terdiri dari anak yatim piatu, panti sosial, panti
asuhan, panti jompo, fakir miskin adalah merupakan tanggung jawab kita semua.
Dalam Al-Quran Surat Al-Mau’un ayat 1-3, disebutkan bahwa kita termasuk
pendusta agama apabila kita mengabaikan tanggung jawab kita terhadap
keberadaan anak yatim piatu.

Dalam pandangan Nurcholis Madjid, kita belum bisa dikatakan


melaksanakan shalat kalau kita tidak menyantuni anak-anak yatim piatu dan kaum
fakir miskin.12Sebab dalam aktifitas ibadah sholat yang kita jalankan adalah
terkandung makna-makna simbolik sosial yang harus diimplementasikan dalam
kehidupan sosial. Sholat yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri
dengan salam adalah bentuk simbolik kegiatan yang dilakukan oleh manusia
untuk bermunajad semata pada Tuhan dan memiliki dimensi sosial dalam
kehidupan. Itulah makna takbiratul ihram yang diakhiri dengan salam.

4. Haroana Maludu

Bentuk ini dilakukan pada bulan Rabiul Awal untuk memperingati maulid
Nabi Muhammad SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita gembira yang
menjadi berkah bagi semesta. Muhammad adalah representasi dari sosok yang
membawa jalan terang bagi manusia. Untuk itu, kelahirannya dirayakan dengan
haroa dan membaca doa syukur bersama-sama. Menurut adat Buton, haroa

12
Nurcholis Madjid, Pesan-Pesan Taqwa, (Jakarta: Paramadina, 2000), p.22-21

11
tersebut dibuka oleh sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian untuk kalangan
masyarakat biasa memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan sampai 29 hari
bulan Rabiul Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada 30 hari bulan
Rabul Awal. Masyarakat menjalankannya setiap tahun dengan membaca riwayat
Nabi Muhammad. Kadangkala selesai haroa, dilanjutkan dengan lagu-lagu
Maludu sampai selesai, yang biasanya dinyanyikan dari waktu malam sampai
siang hari.

Tradisi haroana Maludu yang diikuti dengan lagu-lagu maludhu, bertujuan


untuk menceritakan proses kelahiran Nabi Besar Muhammad Saw dari kecil
sampai menjadi Nabi. Lagu-lagu Maludu berisi tentang cerita kehidupan Nabi
yang dirangkai dalam bentuk nyanyian maludhu yang dikemas dalam bahasa
daerah Buton. Nyayian harona maludhu sekarang ini hampir sirna, sehingga hanya
orang tua-tua dan para tokoh agama yang menghafalnya. Malalui nyanyian
haroana maludhu, proses internalisasi nilai-nilai kehidupan Nabi Muhammad Saw
sangat mudah dimengerti oleh masyarakat Buton. Melalui tradisi haroana maludu,
proses kematangan keberagamaan masyarakat Buton terwujud. Jalaluddin
Rakhmat berpendapat bahwa kebudayaan yang menekankan pada norma yang
didasarkan kepada nilai-nilai luhur kejujuran, loyalitas, kerjasama, bagaimanpun
akan memberi pengaruh dalam membentuk pola dan sikap, yang merupakan unsur
dalam kepribadian sesorang, demikian pula halnya dalam kematangan beragama.
Selanjutnya kemampuan seseorang untuk menemukenali atau memahami nilai
agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta serta menjadikan nilai-nilai
dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama.
Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami,
menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam
kehidupan sehari-hari.

5. Haroana Rajabu

Haroa Rajabu adalah salah satu bentuk media dakwah yang digunakan oleh
tokoh agama Buton untuk menyampaikan ajaran agama Islam kepada masyarakat.

12
Haroa Rajabu diperingati masya-rakat Buton dalam rangka memperingati proses
Isra’mi’raj Nabi Besar Muhammad Saw. Melalui media haroa rajabu, masyarakat
diingatkan kembali dan mendapatkan nasehat-nasehat ajaran agama Islam,
terutama pentingnya menjalankan perintah sholat lima kali sehari semalam.
Dalam Al-Quran proses isra’ mi’raj Nabi dimuat dalam Al-Quran surah Al-Israa’
ayat 1.13

Melalui media rajabu, masyarakat diingatkan untuk tidak hanya


menyelenggarakan haroa bahkan mengkultuskannya, tetapi yang paling esensial
dan substansial adalah hikmah diselenggara-kannya “haroa rajabu” yaitu perintah
wajib untuk mendirikan sholat bagi kaum muslimin.

6. Haroa Malona Bangua, Haroa Qunua dan Haroa Qadhiri

Maloana bangua adalah haroa yang diselenggarakan oleh masyarakat


Buton untuk menyambutmasuknya bulan Suci Ramadhan. Haroa Malona Bangua
pada malam pertama dirayakan

dengan membaca do’a bersama keluarga dan sanak famili serta para tetangga.Pada
masa silam, hari pertama Ramadhan dimeriahkan dengan dentuman meriam. Kini,
dentuman meriam itu sudah tidak terdengar. Masyarakat merayakannya dengan
doa bersama di rumah sambil bersilaturahmi.

Bagi masyarakat Buton khususnya masyarakat muslim marginal,


pemahaman tentang pelaksanaan ibadah puasa yang harus dilaksanakan selama 1
bulan penuh, justru hanya dilaksanakan 3 hari masih dipraktekkan sampai hari ini.
Melalui media malona bangua ini, para pemuka agama menjadikannya media
untuk berdakwah, termasuk meluruskan pemahaman yang keliru mengenai
pelaksanaan puasa. Dalam Islam puasa ramadha dilaksanakan sesuai dengan
perintah Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183.

13
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), p. 109

13
Sedangkan Qunua yaitu upacara yang berkaitan dengan peringatan Nuzulul
Qur’an (turunnya Al-Quran). Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan
bulan suci Ramadhan atau pada 15 malam puasa. Dulunya, masyarakat
memeriahkannya dengan membawa makanan ke masjid keraton dan dimakan
secara bersama-sama menjelang waktu sahur. Qunua dilakukan usai salat tarwih
dan dirangkaian dengan sahur secara bersama-sama di dalam Masjid.

Bagi tokoh agama Buton momen Qunua merupakan media yang sangat
strategis untuk menyebarkan nilai-nilai ajaran agama Islam, terutama gerakan
“cinta terhadap Kitab Suci Al-Quran”. Kemajuan teknologi, yang kemudian
ditandai dengan “al-Quran elektronik” tidak serta merta membuat umat Islam rajin
membaca, dan mendengar Al-Quran. Bahkan di kalangan generasi muda umat
Islam jadi “alergi” menyentuh Al-Quran. Maka melalui media Qunua, Tokoh
agama menjadikannya sebagai momen untuk berdakwah terutama mengetahui
esensi al-Quran diturunkan sebagai Kitab Suci bagi umat Islam, dan menjadi
pedoman dalam kehidupan.

Demikian pula dengan haroa Qadhiri, yaitu upacara yang berkaitan dengan
turunnya Lailatul Qadr di bulan suci Ramadhan. Upacara ini tata pelaksanannya
mirip dengan Qunua, yakni setelah salat Tarwih dirangkaikan dengan sahur secara
bersama-sama di dalam Masjid. Biasanya dilaksanakan pada 27 malam Ramadhan
karena diyakini pada malam itulah turunnya Lailatul Qadr.

D. Strategi Dakwah Terhadap Pengembangan Masyarakat Marginal


Menurut Asep Muhyidin dan Agus Safei ada empat model metode
pengembangan Dakwah yang bisa diterapkan dan harus dilaksanakan secara
sinergis, simultan, terkoordinasi dan berkesinambungan, yakni tadbir, tathwir,
irsyad dan tabligh/ta’lim. Keempatnya menghendaki keterlibatan da’I secara
lngsung dalam pengentasan kemiskinan dan solusi dari beragam persoalan
kehidupppan yang mereka hadapi.
a. Tadbir

14
Tadbir adalah dakwah melalui dakwah dan manajemen dakwah
masyarakat yang dilakukan dalam rangka perekayasaan sosial dan
pemberdayaan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik,
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), pranata sosial
keagamaan serta menumbuhkan pengembangan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat dengan kegiatan pokok seperti penyusunan
kebijakan, perencanaan program, 6 pembagian tugas dan
pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta pengevaluasian
dalam dakwah masyarakat dari aspek perekonomian dan
kesejahteraannya. Dengan kata lain tadbir berkaitan dengan dakwah
melalui dakwah untuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman.
b. Tathwir
Tathwir dilakukan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi
keumatan, yakni pengembangan masyarakat. Pertama tathwir dilakukan
dalam rangka peningkatan sosial budaya masyarakat melalui upaya
pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran islam dalam realitas
kehidupan masyarakat luas seperti kegiatan humaniora, seni budaya,
penggalangan ukhuwah islamiah, pemeliharaan lingkungan, kesehatan
dan lain-lain. Dengan kata lain tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah
melalui pendekatan washilah sosial budaya atau dakwah kultural. Kedua,
melalui program jaring pengaman sosial (sosial safety net) yang lebih
menyentuh persoalan kebutuhan primer dan berorientasi pada
kesetiakawanan serta keperdulian sosial. Ketiga, melalui pemberdayaan
(empowerment) fungsi institusi-institusi sosial dalam menangani
problematika kehidupan masyarakat. Keempat, melalui upaya
kondisioning dalam pemahaman, sikap dan persepsi tentang
keberagamaan dan dakwah maanusia seutuhnya. Kelima, membentuk atau
melalui upaya kerjasama dengan panti-panti rehabilitas sosial, seperti
panti jompo, panti anak tyatim dan terlantar, program anak asuh, dakwahh
rumah singgah yang aman dan nyaman untuk anak-anak jalanan dan
sebagainya.

15
c. Irsyad
Irsyad merupakan upaya-upaya dakwah yang dilakukan dalam
bentuk penyuluhan dan konseling islam. Dakwah model ini dilakukan
dalam rangka pemecahan masalah sosial (problem solving) psikologis
melalui kegiatan pokok bimbingan dan konseling pribadi, keluarga dan
masyarakat luas baik secara preventif maupun kuantitatif.
Sebagaimana yang dijelaskan Munir Mulkhan, bahwa konsep dan
strategi dakwah yang diarahkan pada problem solving atau pembebasan
terhadap berbagai permasalahan kehidupan umat di lapangan, pada
gilirannya nanti akan melahirkran imege dan tiga kondisi positif dalam
diri umat, yakni:
a. Tumbuhnya kepercayaan dan kemadirian umat serta
masyarakat, sehingga akan lahir dan berkembang sikap optimis
dan dinamis.
b. Tumbuhnya kepercayaan terhadap kegiatan dakwah guna
mencapai tujuan kehidupan yang lebih baik dan ideal.
c. Berkembangnya suatu kondisi sosio-ekonomi, budaya, polotik,
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan peningkatan
kualitas hidup, atau peningkatan kualitas sumber daya umat.

Dengan demikian, menurut Munir Mulkhan dakwah


pemecahan masalah merupakan upaya yang demokratis bagi
pengembangan dan peningkatan kualitas hidup sebagai bagian dari
pemberdayaan manusia dan masyarakat, termasuk dalam
menuntaskan berbagai persoalan dan problematika kehidupan
obyektif dihadapi.

d. Tabligh/ta’lim
Model tabligh atau ta’lim dilakukan sebagai upaya penerangan
dan penyebaran ppesan islam dan dalam rangka dpencerdasan
sserta pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok,
sosialisasi, internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai ajaran

16
islam, baik dengan menggunakan sarana mimbar maupun
media massa (cetak dan audio visual).
Melalui upaya dakwah yang sitematis, metodologis dan sirnultan, akhirnya
masyarakat akan mampu berkembang menjadi salah satu unsur kekuatan
dakwah. Apalagi jika keberadaan dan survivalitas mereka di bina, dijaga dan
dikembangkan melalui istem ke-dakwah-an yang harmonis dan terpadu.
Karena itu menjadi satu keharusan bagi setiap subyek Dakwah untuk
memahami metodologi Dakwah secara detail. Ke-dakwah-an, objek dakwah
pada masyarakat dan lain sebagainya, bertujuaan agar bisa melaksanakan
agenda dakwah dengan baik, lebih professional, bermutu, dan elegan. Tanpa
pemahaman yang baik terhadap metodologi dan strategi dakwah dan
karakteristik dari objek yang dihadapi, rasanya susah untuk berharap jika
aktivitas dakwah yang dilaksanakan oleh juru dakwah mampu membentuk
dan membawa masyarakat kepada kondisi pemberrdayaan dan pencerahan
yang diharapkan, yakni masyarakat yang memiliki kemandirian dan
keswadayaan.14
Dan dakwah pada masyarakat marginal menggunakan metode bi al
hikmah. Yaitu suatu pendekatan yang sedemikian rupa sehingga pihak objek
dakwah mampu melaksanakan apa yang di dakwahkan atas kemauannya
sendiri, tidak ada merasa paksaan, konflik, maupun rasa tertekan. Hikmah
merupakan suatu metode pendekatan komunikasi yang dilaksanakan atas
dasar persuasive. Karena dakwah bertumpu pada human oriented, maka
konsekuensi logisnya adalah pengakuan dan penghargaan pada hak-hak yang
bersifat demokratis.

14

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Secara etimologi kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab


“Da’wah”. Kata kerjanya da’a yang berarti memanggil, mengundang atau
mengajak. Dari makna yang berbeda tersebut sebenarnya semuannya tidak lepas
dari unsur aktifitas memanggil. Dakwah adalah kegiatan atau usaha memanggil
orang muslim maupun non-muslim, dengan cara bijaksana, kepada islam sebagai
jalan yang benar, melalui penyampaian ajaran islam untuk dipraktekkan dalam
kehidupan nyta agar bisa hidup damai di dunia dan bahagia di akhhirat,
singkatnya, dakwah, seperti yang ditulis Abdul Karim Zaidan, adalah mngajak
kepada Allah, yaitu islam.
Secara faktual, yang dimaksud dengan masyarakat marginal sebetulnya
hampir sama dengan masyarakat miskin. Akan tetapi, lebih sekedar fenomena
ekonomi dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata
pencaharian yang cukup mapan untuk tempat bergantung hidup-esensi dari
masyarakat marginal adalah menyangkut kemungkinan atau probabilitas orang
atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf
kehidupan.

18
DAFTAR PUSTAKA

19

Anda mungkin juga menyukai