Anda di halaman 1dari 2

Bondhan Kresna W.

Psikolog Psikolog dan penulis freelance, tertarik pada


dunia psikologi pendidikan dan psikologi organisasi. Menjadi Associate
Member Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada (2009-
2011), konselor psikologi di Panti Sosial Tresna Wredha “Abiyoso” Yogyakarta
(2010-2011).Sedang berusaha menyelesaikan kurikulum dan membangun
taman anak yang berkualitas dan terjangkau untuk semua anak bangsa. Bisa
dihubungi di bondee.wijaya@gmail.com. Buku yang pernah diterbitkan bisa dilihat di goo.
.gl/bH3nx4

Media Sosial Membuat Kita Semakin Dungu?

MEDIA sosial membuat kita semakin dungu, itu hipotesis saya. Dugaan saya. Memang, saya
belum menemukan penelitian yang menguji korelasi tingkat kedunguan (entah bagaimana
cara mengukurnya) dengan aktif tidaknya seseorang di media sosial. Khususnya di tahun
politik yang sangat panjang seperti sekarang. Kok bisa demikian? Apakah saya ngawur?
Bukankan banyak juga konten media sosial positif, membangun, bermanfaat bagi kehidupan
orang banyak? Tentu saja banyak, banyak sekali. Saya juga percaya. Tapi kalau dilihat, mana
lebih viral? Mana lebih banyak direspons netizen? Konten bermanfaat tadi, atau konten
menebar kebencian, konten yang saling menghina satu sama lain? Kenapa juga saya memilih
kata "dungu" sebagai judul artikel saya minggu ini? Begitu banyak pertanyaan. Minimal
pertanyaan dari saya, untuk diri saya sendiri. Berpikir belakangan dan berpikir kritis Pertama
bisa mulai dari pemilihan kata "dungu". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
/du·ngu/artinya sangat tumpul otaknya, tidak cerdas, bebal, bodoh. Kalau mau lebih kasar
lagi, bisa pakai kata "goblok", "idiot". Tapi nanti saya bisa ditangkap polisi, seperti seseorang
yang baru-baru ini merasa dipersekusi. Menurut saya, orang tidak selamanya dungu. Orang
menjadi dungu tergantung konteks dan waktu. Dalam hal ini, ketika kita sudah merasa jempol
kita lebih cerdas dibandingkan dengan otak kita. Sudah menjadi hal yang biasa, orang klik
dulu, pencet dulu, bagikan dulu berita atau gambarnya dengan jempol. Apakah berita dan
gambarnya sesuai dengan kenyataan, itu urusan belakangan. Belakangan ini orang-orang
mungkin lebih suka menyimpan otaknya di rumah, kalau perlu tidak usah dibawa-bawa.
Karena jarang dipakai untuk lebih kritis membaca sebuah informasi, apalagi klarifikasi.
Ujaran kebencian lebih disukai Kedua, apa benar media sosial menjadi penyebab orang-orang
menjadi dungu? Sekali lagi saya tidak asal, tidak ngawur. Sebuah penelitian tahun 2017 oleh
tim peneliti New York University berjudul "Emotion shapes the diffusion of moralized
content in social networks" membahas hal ini. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan
lebih dari 500 ribu tweet dari Twitter. Tepatnya 563.312 tweet. Data sebanyak itu kemudian
dianalisis. Isu yang ada dalam ratusan ribu tweet itu dipilah-pilah. Salah satunya adalah isu
pernikahan sesama jenis. Pada isu ini, tweet yang mengandung kata-kata emosional seperti
menyalahkan orang lain (blame) dan ujaran kebencian (hate) jauh lebih banyak di re-tweet
dibandingkan kata-kata netral mengenai isu ini. Hal sama juga berlaku pada isu-isu lain,
termasuk politik. Misal, dalam konteks pemilu Amerika. Tweet agak datar seperti "Saya
pendukung partai republik", mendapatkan 7 like. Adapun tweet seperti "Hidup partai
republik! partai demokrat anti Amerika!!!" mendapatkan 370.000 like. Artinya, 7 berbanding
370.000. Sebenarnya konten sama, hanya terakhir memodifikasi beberapa kata menjadi lebih
ekstrem, dan perbanyak tanda seru. "Kami" versus "Kalian" Bagaimana penjelasannya?
Salah satu peneliti, associate profesor psikologi Jay J. Van Bavel mengatakan bahwa hal ini
berkaitan (lagi) dengan konsep psikologi sosial in-group (kami) vs out-group (kalian). Kata-
kata makin kasar dapat makin menegaskan seseorang anggota kelompok tertentu, atau pro
dengan isu tertentu (in-group). Umpatan dan makian ke kelompok lain juga menegaskan
bahwa orang lain itu bukan bagian dari kelompok (out-group). Seperti gerombolan suporter
persib (in-group) di stadion Gelora Bandung Lautan Api beberapa waktu yang lalu, ketika
mengetahui Haringga Sirla adalah pendukung persija (out-group) tanpa pikir panjang, tanpa
perlu tahu latar belakang, mereka langsung keroyok dan habisi. Sesimpel itu. Situasi
chaos semacam itu dengan mudah bisa terjadi, apalagi semua media sosial memberikan
bahan bakarnya. Ya, bahan bakar ini makin meruncingkan opini, makin membuat masyarakat
mudah sekali diadu domba. Mudah dicocok hidungnya untuk percaya bahwa capres idola
selalu benar bagi masing-masing pendukungnya, dan capres lawan selalu salah. Kenapa bisa
begitu? Media sosial "mengikat" Media sosial dirancang untuk "mengikat", untuk mencegah
pengguna pindah ke aplikasi lain. Kalau bisa selama 24 jam. Karena semakin banyak diklik,
semakin banyak pula iklan yang bisa didapat, semakin banyak uang yang mengalir ke
Facebook, Instagram atau Twitter. Bagaimana caranya? Misal, saya pernah mencari-cari
restoran burger di google atau membaca testimoninya di media sosial. Tiba-tiba secara
otomatis hampir semua media sosial lain muncul informasi terkait restoran burger. Ini bukan
kebetulan. Begitu pula ketika kita lebih sering membuka tautan capres idola. Otomatis makin
banyak tautan mengenai capres idola, makin jarang kita klik tautan capres lawan, makin
sedikit pula informasi dari tim capres lawan mampir ke halaman media sosial kita. Situasi ini
diperparah dengan semakin jarangnya kita berdiskusi atau bicara tatap muka dengan orang
berbeda pendapat. Padahal ketika makin banyak bertatap muka dengan orang lain, apalagi
yang berbeda pendapat sinapsis, atau lompatan-lompatan neuron dalam otak kita akan
semakin banyak. Wawasan kita akan semakin luas dan pandangan kita akan semakin
beragam. Sehingga mencegah kita menjadi buta, membuka kacamata kuda, dan membuat
otak kita tidak tumpul (baca: dungu).

https://edukasi.kompas.com/read/2018/10/22/14305781/media-sosial-membuat-kita-semakin-
dungu.

Anda mungkin juga menyukai