Anda di halaman 1dari 23

A.

Peneliti Sebagai Instrumen Penelitian


Menurut Suharsimi Arikunto (1995 : 177) instrument penelitian merupakan
alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data. Dapat disimpulkan bahwa
instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian
agar penelitian dapat berjalan dengan baik.Instrumen penelitian merupakan alat bantu
yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data penelitian dengan cara
melakukan pengukuran (Widoyoko, 2015: 51). Ada juga yang menyatakan bahwa
instrument penelitian merupakan pedoman tertulis tentang wawancara, atau
pengamatan, atau daftar pertanyaan yang disiapkan untuk mendapatkan informasi dari
responden (Gulo, 2005: 123).
Menurut Sugiyono (2010 : 102) instrument penelitian adalah suatu alat yang
digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun social yang diamati (Sugiyono,
2010: 102). Dalam penelitian kualitatif peneliti merupakan instrumen pertama dari
penelitian. Dimana peneliti sekaligus sebagai perencana yang menetapkan fokus,
memilih informasi, sebagai pelaksana pengumpulan data, menafsirkan data, menarik
kesimpulan data dilapangan sekaligus menganalisis data di lapangan yang alami tanpa
dibuat-buat. Peneliti sebagai instrumen dalam penelitian kualitatif mengandung arti
bahwa peneliti melakukan kerja lapangan secara langsung dan bersama beraktivitas
dengan orang orang yang diteliti untuk mengumpulkan data. Konsekuensi peneliti
sebagai instrumen penelitian adalah peneliti harus memahami masalah yang akan
diteliti, memahami teknik pengumpulan data penelitian tersirat dari apa yang dilihat,
didengar, dan dirasakan oleh karena itu dibutuhkan kepandaian dalam memahami
masalah. Peneliti harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang akan diteliti.
Untuk itu dibutuhkan sikap yang toleran, sabar, serta menjadi pendengaryang baik.
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data tidak dipandu dengan teori,
tetapi di pandu oleh fakta-fakta yang ditemukan dilapangan pada saat penelitian.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan intrumen utama penelitian, di mana
peneliti sekaligus sebagai perencana yang menetapkan fokus, memilih informan,
sebagai pelaksana pengumpulan data, menafsirkan data, menarik kesimpulan
sementara di lapang dan menganalisis data di lapangan yang alami tanpa dibuat-buat.
Sudarwin (2002) menyatakan bahwa peneliti sebagai instrumen dalam penelitian
kualitatif mengandung arti bahwa peneliti melakukan kerja lapangan secara langsung
dan bersama beraktivitas dengan orang-orang yang diteliti untuk mengumpulkan data.
Instrument sebagai alat pengumpul data harus betul-betul dirancang dan dibuat
sedemikian rupa sehingga menghasilkan data yang empiris sebagaimana adanya. Data
yang salah atau tidak menggambarkan data empiris dapat menyesatkan peneliti
sehingga kesimpulan peneliti yang ditarik atau dibuat peneliti bisa keliru (Zuriah,
2009: 168). Dengan melakukan pengukuran akan diperoleh data yang objektif yang
diperlukan untuk menghasilkan kesimpulan penelitian yang objektif pula. Selain
diperoleh data yang objektif, dengan menggunakan instrument dalam pengumpulan
data, maka pekerjaan pengumpulan data menjadi lebih mudah dan hasilnya lebih baik,
dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah untuk diolah
(Widoyoko, 2015: 51).
Objektivitas data hasil pengukuran dapat dicapai karena pengumpulan data
dengan alat ukur yang baik dapat menutup kesempatan peneliti memasukkan unsur-
unsur subjektivitas dalam pengumpulan data. Alat indera manusia mempunyai
kemampuan yang terbatas dalam memahami berbagai gejala maupun fenomena
sehingga memerlukan alat bantu pengukuran agar pemahaman terhadap gejala
maupun fenomena yang ada tidak didasarkan atas subjektivitasnya. Namun dalam
suatu penelitian manusia atau alat indera manusia menjadi instrument penelitian yang
wajib, salah satunya pada penelitian naturalistik. Dalam penelitian naturalistik/
Kualitatif tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrument
peneliti utama (Nasution, 2002: 55). Alasannya ialah bahwa segala sesuatu belum
mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, focus penelitian, prosedur penelitian, data
yang akan dikumpulkan, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu
semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu
masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tak
pasti dan jelas itu tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri satu-satunya alat
yang dapat menghadapinya. Ada tiga hal yang dibahas disini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1981: 128-150), yaitu mencakup ciri-ciri
umum, kualitas yang diharapkan, dan kemungkinan peningkatan manusia sebagai
instrumen.
Menurut Nasution (2002: 55-56), peneliti sebagai instrument penelitian serasi
untuk penelitian serupa ini karena mempunyai ciri-ciri yang berikut.
1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat beeaksi terhadap segala stimulus dari
lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian.
Tidak ada instrument lain yang dapat bereaksi terhadap demikian banyak factor
dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah.
2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan
dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian lain,
seperti yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang dapat menyesuaikan diri
dengan bermacam-maca situasi serupa itu.
3. Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada suatu instrument berupa tes
atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan
pengetahuan semata-mata. Untuk memahaminya perlu merasakannya,
menyelaminya berdasarkan penghanyatan.
5. Peneliti sebagai instrument dapat segera menganalisis data yang diperoleh.
Peneliti dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk
menentukan arah pengamatan, untuk mentes hipotesis yang timbul seketika.
6. Hanya manusia sebagai instrument dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data
yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan
untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan.

Dalam penelitian menggunakan tes atau angket yang bersifat kuantitatif yang
diutamakan adalah respon yang dapat dikuantifikasi agar dapat dioalh secara sttistik,
sedangkan yang menyimpang dari itu tidak dihiraukan. Dengan manusia sebagai
instrument, respon yang aneh, yang menyimpang justru diberi perhatian, bahkan yang
bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat
pemahaman mengenai aspek yang diselidiki.

B. Macam-Macam Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan
oleh dua pihak, pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaaan itu. Maksud
mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985:266), antara
lain: menkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi,
tuntutan, kepedulian, dan lain.-lain.
Menurut Emzir (2010 : 50) wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi
untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan
informan atau subjek penelitian (Emzir, 2010: 50). Dengan kemajuan teknologi
informasi seperti saat ini, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni
melalui media telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan
untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang
diangkat dalam penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi
atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya.
Menurut Moleong ( 2012: 187-188) ada bermacam-macam cara pembagian
jenis wawancara yang dikemukakan dalam kepustakaan. Dua diantaranya
dikemukakan disini. Cara pembagian pertama dikemukakan oleh Patton (1980: 197)
sebagai berikut: (a) wawancara pembicaraan informal, (b) pendekatan menggunakan
petunjuk umum wawancara, dan (c) wawancara baku terbuka. Pembagian wawancara
yang dilakukan oleh Patton didasarkan atas perencanaan pertanyaannya. Ketiganya
dijelaskan secara singkat dibawah ini.
a. Wawancara Pembicaraan Informal
Pada jenis wawancara ini pertanyaan yang diajukan sangat bergantung
pada pewanwancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya dalam
mengajukan pertanyaan kepada terwawancara. Hubungan pewawancara
dengan terwawancara adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan
pertanyaannya dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Pendekatan Menggunakan Petunjuk Umum Wawancara
Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka
dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan
secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata
untuk wawancara dalam hal tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya.
c. Wawancara Baku Terbuka
Jenis wawancara ini menggunakan seperangkat pertanyaan baku.
Urutan pertanyaan, kata-katanya, dan cara penyajiannya pun sama untuk
setiap responden. Keluwesan mengadakan pertanyaan pendalaman
(probing) terbatas, dan hal itu bergantung pada situasi wawancara dan
kecakapan pewawancara.

Pembagian lain dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1981: 160-170).


Pembagian mereka adalah (a) wawancara oleh tim atau panel, (b) wawancara tertutup
dan wawancara terbuka, (c) wawancara riwayat secara lisan, (d) wawancara
tersrtuktur dan tak terstruktur. Berturut-turut hal itu diurakan berikut ini.
a. Wawancara oleh tim atau panel
Wawancara oleh tim berarti wawancara dilakukan tidak hanya satu
orang, tetapi oleh duaa orang atau lebih terhadap seseorang yang
diwawancarai. Jika cara ini digunakan, hendaknya pada awalnya sudah
dimintakan kesepakatan dan persetujuan dari terwawancara, apakah ia
tidak keberatan diwawancarai oleh dua orang. Dipihak lain, seorang
pewawancara dapat saja memperhadapkan dua orang atau lebih yang
diwawancarai sekaligus, yang dalam hal ini dinamakan panel.
b. Wawancara tertutup dan wawancara terbuka (covert and overt
interview)
Pada wawancara ini tertutup biasanya yang diwawancarai tidak
mengetahui dan tidak menyadari bahwa mereka diwawancarai. Mereka
tidak mengetahui tujuan wawancara. Cara demikian tidak sesuai dengan
penelitian kualitatif yang biasanya berpandangan terbuka. Jadi, dalam
penelitian kualitatif sebaiknya digunakan wawancara terbuka yang para
subjeknya tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula
apa maksud dan tujuan wawancara itu.
c. Wawancara Riwayat secara Lisan
Jenis ini adalah wawancara terhadap orang-orang yang pernah
membuat sejarah atau yang membuat karya ilmiah besar, sosial,
pembangunan, perdamaian, dan sebagainya. Maksud wawancara ini adalah
untuk mengungkapkan riwayat hidup, pekerjaannya, kesenangannya,
ketekunannya, pergaulannya, dan lain-lain.
d. Wawancara Terstruktur dan Wawancara Tak Terstruktur
Wawancara Terstruktur
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya
menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan
diajukan. Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan
mencari jawaban terhadap hipotesis kerja. Jenis wawancara ini tampaknya
bersamaan dengan apa yang dinamakan wawancara baku terbuka menurut
Patton seperti yang dijelaskan diatas. Biasanya dalam wawancara
terstruktur, survei didasarkan pada logika penelitian yang sama seperti
kuesioner (cara standar mengajukan pertanyaan yang dipikirkan untuk
menghasilkan jawaban yang dapat dibandingkan di antara peserta dan
mungkin kuantitatif) (Brinkmann, 2013:20).
Format wawancara yang digunakan bisa bermacam-macam, dan format
itu dinamakan protokol wawancara. Protokol wawancara itu dapat juga
berbentuk terbuka. Pertanyaanpertanyyan ini disusun sebekumnya dan
disarankan atas masalah dalam rancangan penelitian. Keuntungan
wawancara terstruktur ialah jarang mengadakan pendalaman pertanyaan
yang dapat mengarahkan terwawancara agar sampai berdusta. Dedy
Mulyana (2004: 180) menyebutkan bahwa wawancara terstruktur sering
juga disebut wawancara baku ( standardized interview), yang susunan
pertanyaannya sudah ditetapkan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan
pilihan-pilihan jawaban yang sudah disediakan.
Di sisi lain Sugiyono (2012: 194-195), berpendapat bahwa wawancara
terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data oleh peneliti atau
pengumpul data bila mereka mengetahui dengan pasti tentang apa yang
akan diperoleh. Sehingga dalam melakukan wawancara, pengumpul data
telah mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif
jawabannya pun telah disiapkan. Dengan wawancara terstruktur ini, setiap
responden diberikan pertanyaan yang sama dan pengumpul data mencatat
setiap jawabannya. Dalam melakukan wawancara, selain harus
mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman, pengumpul data
atau peneliti juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder,
gambar, grafik dan hal lain sebagainya yang dapat digunakan untuk
membantu pelaksanaan wawancara menjadi lancar.
Sedangkan menurut Nasution (2006: 119) wawancara berstruktur
mempunyai sejumlah keuntungan antar lain : (1) tujuan wawancara lebih
jelas dan terpusat pada hal-hal yang telah ditentukan lebih dahulu sehingga
tidak ada bahaya bahwa percakapan menyimpang dari tujuan, (2) jawaban-
jawaban mudah dicatat dan diberi kode, dan karena itu, (3) data itu lebih
mudah diolah dan saling membandingkan.

Wawancara Tak Terstruktur


Wawancara tak terstruktur merupakan wawancara yang berbeda
dengan yang terstruktur. Cirinya kurang diinterupsi dan arbitrer.
Pertanyaan biasanya tidak disusun terlebih dahulu malah disesuaikan
dengan keadaan dan ciri yang unik dari responden. Menurut Moleong
(2014: 186-191) Pelaksanaan tanya jawab mengalir seperti dalam
percakapan sehari-hari. Wawancara tak terstruktur dilakukan pada
keadaan-keadaan berikut :
a) Bila pewawancara berhubungan dengan orang penting.
b) Jika pewawancara ingin menayaakan sesuatu secara lebih mendalam
lagi pada seorang subyek tertentu.
c) Apabila pewawancara menyelenggarakan kegiatan yang bersifat
penemuan.
d) Jika ia tertarik untuk mempersoalkan bagian –bagian tertentu yang tak
normal.
e) Jika ia tertarik untuk berhubungan langsung dengan salah seorang
responder.
f) Apabila ia tertarik untuk mengukapkaan motivasi, maksud ,atau
penjelasan dari responden.
g) Apabila ia mau mencoba mengukapkaan pengertian suatu peristiwa,
situasi, atau keadaan tertentu.

Selanjutnya, Koentjaraningrat (1986:136) membagi wawancara ke


dalam dua hal golongan besar, yaitu: (1) wawancara berencana atau stand
ardized interview dan (2) wawancara tak berencana atau unstand dardized
interview. Perbedaan terletak pada perlu tidaknya peneliti meyusun daftar
pertanyaan yang diperlukan sebagai pedoman untuk mewawancarai
informen. Sedangkan dari sudut bentuk pertanyaan wawancara dapat
dibedakan antara lain: (1) wawancara tertutup atau closed interview dan
(2) wawancara terbuka atau open interview. Perbedaan terletak pada
jawaban yang dikehendaki terbatas maka wawancara tersebut tertutup,
sedangkan apabila jawaban yang dikehendaki tidak terbatas maka
termasuk wawancara cara terbuka.
Menurut Sugiyono (2012: 197-199), wawancara tidak terstruktur
adalah wawancara yang bebas dimana peneliti atau pengumpul data tidak
menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan secara
sistematis dan lengkap yang digunakan dalam pengumpulan datanya.
Pedoman wawancara yang digunakan oleh peneliti atau pengumpul data
hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan.
Wawancara tidak terstruktur atau terbuka bisanya digunakan dalam
penelitian pendahuluan atau untuk penelitian yang lebih mendalam
tentang responden. Dalam penelitian pendahuluan, peneliti menggunakan
wawancara tidak terstruktur untuk berusaha mendapatkan informasi awal
tentang berbagai isu atau permasalahan yang ada pada obyek, sehingga
peneliti dapat menentukan secara pasti permasalahan atau variabel apa
yang harus di teliti. Untuk mendapatkan gambaran permasalahan yang
lebih lengkap dan jelas, maka peneliti perlu melakukan wawancara kepada
pihak-pihak yang mewakili berbagai tingkatan atau bagian yang ada
dalam obyek.
Selain itu wawancara tidak terstruktur juga digunakan untuk
mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang responden. Dalam
wawancara tidak terstruktur, peneliti belum mengetahui secara pasti data
apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih banyak mendengarkan
apa yang diceritakan oleh responden. Berdasarkan analisa terhadap setiap
jawaban dari koresponden tersebut, maka peneliti dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan.
Wawancara baik yang dilakukan dengan face to face maupun yang
menggunakan telepon, akan selalu terjadi kontak pribadi. Oleh karena itu
pewawancara perlu memahami situasi dan kondisi sehingga dapat
memilih waktu yang tepat, kapan dan di mana harus melakukan
wawancara. Pada saat koresponden sedang sibuk bekerja atau sedang
menganggur, sedang mempunyai masalah berat atau sedang tidak
bermasalah, sedang mulai istirahat, sedang makan, sedang tidak sehat,
atau sedang marah, maka harus hati-hati dalam melakukan wawancara.
Bila dipaksakan wawancara dalam kondisi tersebut, data yang dihasilkan
tidak valid dan akurat. Informasi atau data yang biasa di peroleh dari
wawancara seringkali bias, dimana pengertian bias adalah menyimpang
dari seharusnya, sehingga dapat dinyatakan data tersebut subyektif dan
tidak akurat. Kebiasan data dipengaruhi oleh pewawancara, yang di
wawancarai (responden) dan situasi dan kondisi pada saat wawancara.
Menurut Dedy Mulyana (2004: 183), diantara kedua jenis wawancara
ini, wawancara tak terstruktur atau wawancara mendalam adalah metode
yang selaras dengan perspektif interaksionisme simbolik, karena hal
tersebut memungkan pihak yang diwawancarai untuk mendefinisikan
dirinya sendiri dan lingkungannya, untuk menggunakan istilah-istilah
mereka sendiri mengenai fenomena yang diteliti, tidak sekedar menjawab
pertanyaan. Maka peneliti memang harus mendorong subjek penelitian
agar jawabannya bukan hanya secara jujur tetapi juga cukup lengkapatau
terjabarkan. Maka dalam konteks ini tujuan wawancara mendalam
sebenarnya sejajar dengan tujuan pengamatan berperan-serta

C. Langkah-langkah Wawancara
Pelaksanaan wawancara terjadi ketika pewawancara dengan terwawancara
saling berhubungan mengadakan percakapan. Tata aturan dan kesopanan harus
dipenuhi pewawancara antara lain:
1. Pewawancara hendaknya berpakaian sepantasnya
2. Pewawancara senantiasa menepati janji waktu yang telah disepakati
3. Setelah bertemu, pertama kali memperkenalkan diri dulu
4. Persiapan tempat dan lingkungan sekitar pelaksanaan wawancara senyaman
mungkin dan menyenangkan.
Moleong (2009: 169-172) menyatakan bahwa untuk melakukan wawancara
melalui empat langkah sebagai berikut :
1. Menetapkan tujuan wawancara
Sebelum wawancara dilakukan, perlu ditetapkan tujuan wawancara.
Penetapan tujuan ini dilakukan agar pertanyaan yang kalian ajukan kepada
narasumber bisa terarah pada informasi yang kita butuhkan sehingga wawancara
akan berhasil.
2. Menyiapkan daftar pertanyaan
Wawancara adalah proses dialog antara orang yang mencari informasi dengan
orang yang memberikan informasi. Dalam dialog terjadi karena adanya
pertanyaan dari pewawancara dan jawaban dari narasumber. Berikut adalah
petunjuk penyusunan daftar pertanyaan dalam wawancara.
a. Pertanyaan disusun berdasarkan tujuan wawancara.
b. Upayakan satu pertanyaan untuk menggali satu informasi.
c. Kalimat tanya disusun dengan singkat dan jelas.
d. Daftar pertanyaan dibicarakan dulu dengan orang yang lebih mengerti.
3. Melakukan wawancara
Proses melakukan wawancara dilakukan dengan beberapa tahapan. Meskipun
tahapan itu bukan merupakan tahapan baku, paling tidak tahapan-tahapan itu bisa
menjadi pemandu kalian dalam berwawancara agar bisa berhasil.
a. Pendahuluan
Pewawancara membuat janji dulu dengan narasumber, kapan dan dimana
narasumber bersedia diwawancarai. Jangan lupa sampaikan tujuan
wawancara kepada narasumber.
b. Pembukaan
Awalilah dengan pembicaraan ringan, seperti menanyakan kabardan
kondisi narasumberserta tunjukkan sikap yang ramah dan bersahabat.
c. Tahap inti
Ajukan pertanyaan secara urut, singkat, dan jelas. Lakukan perekaman
selain pencatatan. Hindarilah pertanyaan yang memojokkan atau
menginterogasi.
d. Penutup
Akhiri wawancara dengan kesan yang baik dan menyenangkan. Jangan
lupa ucapkan terima kasih atas waktu dan kesediaan
narasumberdiwawancarai.
4. Melaporkan hasil wawancara
Hasil wawancara dituliskan sebagai bentuk laporan. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menyusun laporan hasil wawancara.
a. Perhatikan kaidah penulisan laporan.
b. Jangan mencampuri hasil wawancara dengan pendapat sendiri.
c. Pilihlah data yang relevan dengan permasalahan.
d. Jaga nama baik narasumber dan bila perlu jaga kerahasiaan identitas
narasumber

Langkah-langkah dalam melakukan wawancara menurut Guba & Lincoln


(1985: 270-271) adalah:
1. Menentukan kepada siapa wawancara dilakukan. Langkah ini “menentukan
dimana dan dari siapa data akan dikumpulkan”. Bahan yang akan dinegosiasikan
sepenuhnya tentang pernyataan yang diinformasikan dan pengidentifikasian serta
menggunakan informan-informan juga sesuai dengan tugas ini.
2. Mempersiapkan diri untuk mewawancarai. Langkah ini meliputi melakukan
pekerjaan rumah dalam hubungannya dengan responden (semakin elite
respondennya, dalam arti istilah tersebut seperti yang digunakan oleh Dexter,
1970, semakin pentinglah bagi pewawancara sepenuhnya mendapatkan informasi
tentang responden); mempraktikkan wawancara dengan peranan “berada di
tempat” yang tepat; menentukan urutan yang tepat tentang pertanyaan-pertanyaan
(meskipun jika wawancara tidak terstruktur); dan menentukan peranan, pakaian,
tingkat formalitas yang dimiliki oleh pewawancara itu sendiri, dan sebagainya.
Konfirmasi dengan responden waktu dan tempat wawancara juga tindakan yang
bijaksana.
3. Gerakan-gerakan awal. Meskipun responden telah diberikan briefing secara
meyakinkan berkenaan dengan hakikat dan tujuan wawancara sebagai bagian dari
prosedur pemberian izin yang diinformasikan, suatu hal yang bijaksana untuk
mengingat kembali rincian pada awalnya. Responden harus diberi kesempatan
untuk “melakukan pemanasan” dengan diberi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
umum, misalnya “Betapa spesialnya sepertinya hari ini?” “Bagaimana anda
sampai masuk ke pekerjaan ini?” yang memberikan kepada responden latihan
dalam berbicara dengan pewawancara dengan suatu iklim yang santai sambil pada
saat yang sama memberikan informasi yang bermanfaat tentang bagaimana
responden menguraikan karakteristik umum dari konteks tersebut. Responden
juga dapat diberikan kesempatan untuk “mengatur pikiran” dengan diberikan
pertanyaan-pertanyaan umum lainnya. Ini mengarahkan kepada persoalan-
persoalan yang diinginkan oleh pewawancara untuk dibahas secara terperinci
selanjutnya.
4. Membuat dan mempertahankan tahapan wawancara agar tetap produktif:
pertanyaan-pertanyaan semakin spesifik ketika pewawancara beralih dan mulai
merasakan apa yang kelihatan menonjol tentang informasi yang diberikan oleh
responden. Penting untuk menjaga irama yang mudah, dan sebanyak mungkin,
menjaga “berbicara bergantian” dengan responden atau (pewawancara jarang
belajar sesuatu ketika dia berbicara). Menjaga fleksibilitas sehingga pewawancara
ini dapat mengikuti pengarahan yang menjadikan atau kembali ke poin-poin
seelumnya yang sepertinya memerlukan pengembangan penting selanjutnya.
Pewawancara yang telah terampil adalah ahli dalam menggunakan penelitian
mengarahkan isyarat untuk lebih banyak informasi dan informasi yang lebih
berkembang. Penelitian mendalam bisa mengambil bentuk diam (para responden
tidak menyukai suatu kekosongan pendengaran, tetapi harus jelas bahwa “giliran
berbicara” adalah dengan resonden); “pumps” suarasuara seperti “uh-huuh” atau
“umm” atau memberikan dorongan berupa lambaian tangan; harus lebih banyak
diadakan (“Dapatkah anda menceritakan kepada saya lebih banyak lagi dalam hal
tersebut?”); mengambil contoh-contoh; mengambil reaksi-reaksi pada perumusan
kembali pewawancara yang telah dikatakan (“Apakah saya mengerti kamu untuk
mengatakan hal itu”; atau “jika saya memahamimu secara benar. Anda sepertinya
mengatakan bahwa...”), atau hanya bertanya secara khusus yang dirumuskan oleh
pewawancara untuk membumbui atau mengembangkan sesuatu apa yang telah
dikatakan oleh responden.
5. Menghentikan pewawancara dan memperoleh penjelasan: jika pewawancara telah
di hentikan dianggap produktif (informasi diulang; baik pewawancara ataupun
responden menunjukkan kepenatannya; respons sepertinya perlu diarahkan; dan
sebagainya) ini waktunya untuk menghentikannya. Pada poin ini pewawancara
harus merangkum dan “memutar kembali” untuk apa yang telah dikatakan oleh
responden (“Saya percaya poin-poin utama yang telah anda buat adalah X, Y dan
Z; apakah itu sepertinya benar bagi anda?”) porses ini mempunyai beberapa
keuntungan bagi pewawancara. Pertama, ini mengundang responden untuk
bereaksimengecek anggota-validitas dari bentukan-bentukan yang telah dibuat
oleh pewawancara. Kedua, seringkali menggoda responden untuk menambahkan
materi-materi baru, dimana dia diingatkan untuk mendengarkan rangkuman.
Terakhir, itu menempatkan responden pada catatan sehingga dia kurang ada
kecenderungan untuk menunda atau menolak informasi selanjutnya (sudah tentu
penolakan mutlak tidak mungkin jika pernyataan telah dicatat dan jika bentuk
pernyataan yang diinformasikan telah diberikan).

Agar bisa dipersiapkan dengan baik selama wawancara, peneliti harus


waspada dengan beberapa hal yang harus diperhatikan selama setiap tahap wawancara
yang terdiri dari: pra wawancara, wawancara, dan post-wawancara. Berikut ini adalah
tahapan dalam wawancara menurut Wahyuni, (2012: 59-63).
1. Pra-wawancara
a. Menganalisis masalah penelitian dan fokus pada pertanyaan Anda (pertanyaan
penelitian). Ini adalah isu penting yang harus diputuskan sebelumnya sehingga
wawancaranya tidakakan ke mana-mana.
b. Mengerti informasi apa yang anda butuhkan. Ini termasuk mengetahui tentang
apa yang ingin Anda pelajari dari orang yang Anda ajak bicara, seberapa
banyak Anda sudah tahu tentang pertanyaan Anda, dan bagaimana mengelola
pengetahuan ini. Di sini, Anda harus mempertimbangkan dimensi
pengumpulan data, bagaimana Anda akan menggunakan tanggapan untuk
analisis dalam laporan Anda dan bagaimana Anda ingin menyajikan informasi
yang Anda kumpulkan.
c. Lihatlah siapa yang bisa memberikannya. Kebenaran wawancara kualitatif
Anda tergantung pada siapa Anda diwawancarai dan mengapa, apakah dia
tetap fokus dan jika Anda mempercayai ceritanya. Juga, hal lain yang penting
diidentifikasi siapa lagi yang mungkin ingin diwawancarai yang masih terbuka
terhadap kemungkinan bahwa orang yang diwawancarai dapat
mengidentifikasi informan yang perlu diwawancarai oleh peneliti.
d. Pilot study sebagian besar waktu diperlukan karena alasan berikut: (1) menilai
pertanyaan dan waktu yang dibutuhkan untuk wawancara; (2) mendapatkan
wawasan tentang variabel yang mungkin tidak diketahui pada awal penelitian;
(3) menarik perhatian dan meyakinkan kandidat responden untuk
berpartisipasi lebih lanjut dalam penelitian Anda.
e. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutupi keseluruhan variabel
penelitian Anda harus menjadi aset sejak awal sehingga kita tidak akan
kehilangan momentum. Saat kita wawancara, mintalah peserta tentang batasan
waktu yang mereka miliki. Bila kita mengetahui ketersediaan waktu, kita bisa
mempercepat wawancara untuk mencakup semua pertanyaan dalam panduan
ini. J ika waktu yang disepakati sebelum pukul 14.00-15.30, sangat mungkin
bahwa pada jam 15.30 responden harus pergi menemui dan berhenti berbicara
dan meminta Anda untuk berhenti. J adi, kita harus mengajukan pertanyaan
yang paling penting terlebih dahulu sebelum beralih ke pertanyaan lainnya.
f. Sosial konvensi. Ini termasuk bagaimana Anda berperilaku dalam wawancara,
jenis kain apa yang harus Anda pakai dan sebagainya. Kuncinya di sini adalah
untuk mengetahui siapa yang akan diwawancarai. Kita harus sadar bahwa
presentasi diri akan mempengaruhi hubungan lapangan sampai tingkat
tertentu. Kode berpakaian yang berbeda mungkin diperlukan untuk tipe
responden yang berbeda misalnya, ketika kita mewawancarai seorang
eksekutif kita harus berdandan dengan baik untuk menghormatinya, tapi ketika
mewawancarai seorang pedagang kaki lima maka sebaiknya kita berpakaian
santai sehingga tidak ada celah besarantara pewawancara. dan orang yang
diwawancarai.
g. Buat alasan atau imbalan bagi responden. Reward tidak selalu berhubungan
dengan hal materi, kado, cinderamata, dll., Tapi bisa juga menjadi insentif
bagi responden untuk berpartisipasi dalam penelitian Anda. Orang yang
diwawancarai harus termotivasi. Mengapa mereka menjawab pertanyaan
Anda? Apa keuntungan bagi mereka? Anda dapat menyebutkan bahwa hasil
penelitian ini akan membantu perusahaan mereka untuk melihat posisi
kompetitif mereka di antara kompetisi lain atau akan membantu pembuat
kebijakan mengembangkan kebijakan yang tepat untuk memperkuat industri
ini.
h. Siapkan semua sumber daya yang terkait dengan wawancara, ini termasuk
menyiapkan metode untuk merekam data, tempat wawancara (dalam hal ini
Anda harus memilih setting dengan sedikit gangguan), biaya perjalanan
wawancara secara keseluruhan, dll.
2. Wawancara
Selama proses wawancara, ada beberapa variabel yang harus diketahui oleh
peneliti.
a. Mengorientasikan responden. Pada awal wawancara, kami harus memberikan
pengenalan yang baik kepada responden dengan memberikan informasi yang
diperlukan yang mencakup:
1) Sebuah tujuan wawancara dan keuntungan responden untuk disertakan
dalam penelitian,
2) alamat kerahasiaan,
3) jelaskan format wawancara,
4) menunjukkan berapa lama wawancaranya biasanya berlangsung,
5) berikan informasi kontak pewawancara, dan
6) izinkan orang yang diwawancarai untuk memperjelas keraguan tentang
wawancara tersebut.
b. Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Penting untuk
diketahui bahwa pewawancara harus menjadi pendengar yang baik, dan yang
terbaik adalah apa yang responsif - pada saat ini - terhadap apa yang orang
yang diwawancarai katakan. Mengidentifikasi adalah isyarat (tampilan
khawatir) atau komentar singkat untuk mendapatkan penjelasan tentang
kejadian tertentu. Untuk mengeksplorasi ketegangan, tanyakan tentang contoh
kejadian serupa atau sebaliknya untuk menentukan kondisi atau sebab suatu
peristiwa.
c. Harus menunda informan sepenuhnya untuk memberikan jawaban atas
pertanyaan. Dengan kata lain, pertanyaan tidak boleh diajukan dengan cara
yang terdepan atau direktif, karena ini menekan responden untuk menjawab
dengan satu cara atau acara tertentu untuk memberikan jawaban yang menurut
Anda ingin Anda dengar. Misalnya, jangan mengajukan pertanyaan seperti:
"Anda pasti sudah menyadari itu ...," atau "Bagaimana Anda bisa ...".
d. Kembangkan hubungan dengan orang yang diwawancarai. Bukan hanya pada
awal wawancara tetapi juga sampai akhir pelajaran Anda karena Anda tidak
pernah tahu bahwa suatu hari Anda mungkin perlu memiliki izin untuk
publikasi Anda (catatan: beberapa perusahaan meminta izin untuk setiap
publikasi yang terkait dengan perusahaan mereka dan beberapa jurnal juga
meminta bukti kesepakatan persetujuan dari perusahaan untuk publikasi studi
kasus). Karena itu, mulai dari awal wawancara, kita harus memperhatikan
wawancara dengan baik. Pewawancara harus bisa memberi kesan orang yang
serius, dapat dipercaya dan ramah. Hubungan tersebut juga dapat
dikembangkan dengan menyatakan ketertarikan pada posisi dan pendapat
pewawancara dan dengan menghargai sudut pandangnya. Hubungan yang
lebih baik antara pewawancara dan orang yang diwawancarai lebih banyak
membuka respons dan semakin bermanfaatnya informasi yang Anda dapatkan.
Ini juga penting jika kita ingin memiliki beberapa informasi tambahan di
kemudian hari. Jika orang yang diwawancarai senang berbicara dengan Anda,
dia pasti tidakkeberatan bertemu dengan Anda lagi.
e. Hati-hati soal pertanyaan sensitif. Sering kali, ini hanya pertanyaan ungkapan
atau penggunaan bahasa yang tepat untuk membuat pertanyaan menjadi
kurang sensitif. Terkadang, pertanyaannya bersifat sensitif, tapi tetap harus
ditanyakan. Di sini, orang yang diwawancarai tidak boleh tertekan untuk
memberikan pertanyaan jawaban ya atau tidak pasti mengapa strategi atau
rencana tertentu gagal, tentang konflik dalam organisasinya dapat menjadi
sensitif bagi orang yang diwawancarai. Misalnya, saat mewawancarai seorang
manajer bank, pertanyaan berikut bisa menjadi sensitif: "Siapa yang
bertanggung jawab atas semua hutang buruk yang dilaporkan oleh cabang /
kantor Anda?" Pertanyaan yang sama dapat diajukan dengan cara lain,
misalnya "Apa, menurut pendapat Anda , apakah faktor yang menyebabkan
kredit macet dilaporkan oleh kantor cabang anda?". Dianjurkan untuk
menghindari pertanyaan langsung tentang siapa yang bertanggung jawab atas
kesalahan atau kesalahan perhitungan tertentu. Pertanyaan mengenai konflik
intra-organisasi harus ditanyakan dengan hati-hati dan dengan bahasa tidak
langsung. Kita harus melihat jenis pembicaraan atau diskusi apa yang muncul
saat pertanyaan diajukan, mengidentifikasi pertanyaan yang mungkin perlu
disempurnakan. Ini juga termasuk mengidentifikasi pengalaman baru yang
dimiliki oleh orang yang diwawancarai yang perlu diselidiki dalam wawancara
berikutnya.
f. Gesturing. Menggunakan tangan Anda dengan cara yang positif selama
wawancara menunjukkan bahwa Anda dinamis dan bersemangat dengan apa
yang Anda katakan. Hati-hati dengan beberapa sinyal negatif yang bisa
memberi isyarat sekalipun. Juga, waspadalah terhadap perilaku berulang yang
dapat menarik perhatian terlalu banyak, seperti memutar-mutar rambut,
menggaruk, menyentuh wajah Anda terlalu banyak, bermain dengan telinga
Anda, dan lain-lain.
g. Kontak Mata. Sebuah studi yang sangat menarik baru-baru ini
membandingkan orang yang diwawancarai yang memberi banyak kontak mata
dengan mereka yang kurang memberi kontak mata. Orang yang melihat
wawancara di video tape diminta untuk menilai kandidat berdasarkan perilaku
saja. Mereka yang lebih banyak melakukan kontak mata dengan pewawancara
dinilai lebih tulus, dapat dipercaya, profesional, tertarik dan percaya diri. Inti
belajar dari penelitian ini adalah untuk "melihat mereka di mata".
h. Rekaman wawancara. Cobalah untuk merekam setiap wawancara yang Anda
buat, tentu saja, dengan izin dari orang yang diwawancarai. Menggunakan
tape recorder memiliki keuntungan bahwa laporan wawancara lebih akurat
daripada menulis catatan. Tapi, rekaman juga membawa bahaya tidak
mencatat apapun selama wawancara. Membuat catatan selama wawancara
penting bagi pewawancara, bahkan jika wawancara direkam: (1) memeriksa
apakah semua pertanyaan telah terjawab; (2) jika terjadi kerusakan pada alat
perekam; dan (3) dalam kasus "tidak berfungsinya pewawancara".
3. Post Wawancara
Pada akhir wawancara, tugas peneliti belum selesai, setidaknya ada tiga kewajiban
yang harus kita lakukan, seperti di bawah ini.
a. Tuliskan poin penting yang harus dilakukan segera setelah kita kembali dari
wawancara untuk menghindari hilangnya ingatan dari peneliti. Ini termasuk
rincian praktis seperti beberapa pendapat tentang responden (misalnya orang
yang sangat terbuka atau pendiam) dan juga Anda persepsi interaksi dan
hubungan dengan orang yang diwawancarai. Semua detail akan membantu
Anda nanti saat Anda mendengarkan rekaman rekaman atau saat Anda duduk
untukmenuliskan informasi yang Anda kumpulkan.
b. Kirimkan surat terima kasih dan pertahankan hubungan. Beberapa hari setelah
wawancara pastikan untuk mengirim pewawancara Anda sebuah surat yang
mengekspresikan antusiasme dan kesan positif Anda terhadap perusahaan.
Peneliti harus terus menjaga hubungan dan berusaha agar responden tetap
mengetahui perkembangan studi karena kemungkinan besar Anda
memerlukan informasi tambahan atau persetujuan publikasi di kemudian hari.
c. Lewati catatan wawancara Anda dengan benar. Tuliskan hasil wawancara dan
terus menerus periksa apakah ada kontradiksi atau kemiripan kutipan dan lihat
apakah semua informasi yang diperlukan sudah terisi. Anda juga dapat
mengirimkan draf wawancara dan meminta masukan dari orang yang
diwawancarai. Ini juga tergantung pada hubungan Anda dengan orang yang
diwawancarai, mereka mungkin ingin melihat apa yang mereka katakan, dan
seringkali, mereka memberikan informasi tambahan atau mengklarifikasi
pesan mereka secara sukarela. Sebenarnya, berkali-kali, mereka menuntut
laporan sebelum Anda bisa menggunakannya. Hal ini juga penting untuk
membangun kepercayaan dan memastikan kerahasiaan atau kepekaan bahwa
orang yang diwawancarai memiliki kesempatan untuk melihat informasi apa
yang Anda yakini akan Anda gunakan dalam studi Anda dan laporan akhir.

Menurut Creswell (1998 : 123 – 124), bahwa wawancara merupakan proses yang
mengikuti prosedur dengan serangkaian langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi responden yang diwawancarai dengan sampel yang diambil
secara purposif sampling.
2. Menentukan jenis wawancara yang dapat menghasilkan informasi yangsangat
bermanfaat dalam menjawab pertanyaan penelitian.
3. Dalam melakukan wawancara satu-satu atau fokus pada kelompok,sebaiknya
menggunakan prosedur pencatatan yang memadai, sepertimikrofon kerah untuk
pewawancara dan responden atau mike yangcukup peka terhadap akustik ruangan.
4. Menggunakan bentuk desain protokol wawancara, yaitu desainpedoman
wawancara dengan panjang sekitar 4 sampai 5 halaman yang20berisi 5 pertanyaan
open-ended, dan menyediakan tempat (ruang) untukmencatat tanggapan terhadap
komentar-komentar responden.
5. Menentukan tempat untuk melaksanakan wawancara.
6. Pada saat akan melakukan wawancara, harus mendapat persetujuan dahulu dari
orang yang akan diwawancarai untuk berpartisipasi dalam penelitian.
Selama wawancara, pertanyaan-pertanyaan harus dikuasai oleh pewawancara,
bila pertanyaan-pertanyaan telah selesai dijawab dalamwaktu tertentu, dengan hormat
dan sopan, pewawancara menawarkan beberapa pertanyaan lanjutan atau memberikan
beberapa saran.

D. Jenis-Jenis Wawancara
Menyiapkan daftar pertanyaan sangatlah penting saat ingin melakukan
wawancara, karena daftar pertanyaan tersebut merupakan pedoman dalam melakukan
wawancara. Selain itu peneliti atau orang yang akan melakukan wawancara
hendaknya membawa buku catatan, tape recorder, kamera, atau alat lainnya untuk
membantu lancarnya saat wawancara.
Jika pewawancara telah menyiapkan daftar pertanyaan berarti telah membuat
keputusan berkenaan dengan pertanyaan apa yang perlu ditanyakan, bagaimana
mengurutkannya, sejauh mana kekhususan pertanyaan itu, berapa lama waktu yang
dibutuhkan, dan bagaimana memformulasikan pertanyaan itu. Menurut Patton (1991:
199-203) memberikan enam jenis pertanyaan dan setiap pertanyaan yang diajukan
oleh pewawancara akan terkait dengan satu pertanyaan lainnya.
a) Pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atau perilaku
Pertanyaan ini berkaitan dengan apa yang dibuat dan telah diperbuat
seseorang. Pertanyaan demikian ditujukan untuk medeskripsikan pengalaman,
perilaku, tindakan, dan kegiatan yang dapat diamati pada waktu kehadiran
pewawancara. Contohnya: “jika saya berada dalam program itu bersama saudara,
apakah yang kiranya dapat saya saksikan apa yang saudara lakukan?”. “jika saya
mengikuti saudara pada hari-hari tertentu itu, apa kiranya yang dapat saya saksikan
dari yang saudara lakukan, pengalaman-pengalaman apakah yang dapat saya amati
dari saudara?”
b) Pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat atau nilai
Pertanyaan jenis ini ditujukan untuk memahami proses kognitif dan
interpretatif dari subjek. Jawaban terhadap pertanyaan ini memberikan gambaran
kepada kita mengenai apa yang dipikirkan tentang dunia atau tentang suatu
program khusus. Pertanyaan itu menceriterakan tujuan, keinginan, harapan, dan
nilai . "Apa yang saudara percaya?” apa yang saudara pikirkan tentang....?” “apa
yang saudara inginkan terjadi?” “Apa pendapat Saudara tentang....?”
c) Pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan
Pertanyaan demikian ditujukan untuk dapat memahami respon emosional
seseorang sehubungan dengan pengalaman dan pemikirannya. Ada seperangkat
asumsi tentang spontanitas respon emosional itu. Perasaan terjadi dalam diri orang;
perasaan itu adalah respon alamiah atau emosional tentang apa yang terjadi
disekitarnya. Perasaan menjaring dimensi afektif dari kehidupan manusia.
Sewaktu pewawancara mengajukan pertanyaan, pada dasarnya ia hendak
mencari respons afektif. Misalnya: “Apakah saudara merasa khawatir, senang,
takut, terancam percaya diri...?". Biasanya pertanyaan demikian memperoleh
jawaban yang tidak langsung, dan setelah dianalisis dapat dipastikan.
d) Pertanyaan tentang pengetahuan
Pertanyaan tentang pengetahuan diajukan untuk memperoleh pengetahuan
faktual yang dimiliki responden dengan asumsi bahwa suatu hal dipandang dapat
diketahui. Hal-hal itu bukan pendapat atau perasaan, atau merupakan hal-hal yang
diketahui seseorang, melainkan fakta dari kasus itu.
Pengetahuan tentang suatu program terdiri dari laporan tentang pelayanan
yang tersedia, siapa yang pantas, ciri-ciri langganan, siapa yang dilayani oleh
program itu, berapa lama tenaga kerjanya bekerja, apa peraturan dan ketentuan
program itu, bagaimana cara mendaftar sebagai tenaga kerjadalam program
tersebut.
e) Pertanyaan yang berkaitan dengan indera
Pertanyaan ini berkenaan dengan apa yang dilihat, didengar,diraba, dirasakan,
dan dicium. Maksud pertanyaan ini ialah memberikan kesempatan kepada
pewawancara untuk memasuki perangkat indera responden. “Jika Saudara berjalan
melalui pintu suatu program, apa yang Saudara lihat?” “Uraikanlah kepada saya
apa yang akan saya lihat jika saya berjalan melalui pintu itu ke dalam program”
“Apa yang ditanyakan oleh konselor jika Saudara menemuinya? "Apa yang
sesungguhnya dikatakannya?"
f) Pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi
Pertanyaan ini berusaha menemukan ciri-ciri yang diwawancarai. Jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan itu membantu pewawancara menemukan
hubungan responden dengan orang lain. Pertanyaan-pertanyaan baku berkaitan
dengan usia, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal atau mobilitas, dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan yang dapat juga diajukan ialah tentang perilaku,
perasaan, pengetahuan, perasaanberkesan, dan pertanyaan-pertanyaan demografis.
Pertanyaan lainnya yang dapat pula ditanyakan dalam wawancara dapat ditarik dari
salah satu di antara kategori di atas.

Ada cara lain untuk mengklasifikasikan pertanyaan yang akan diajukan dalam
wawancara. Hal itu dikemukakan oleh Guba dan Lincoln (1981:178), seperti berikut
ini.
1) Pertanyaan hipotesis atau pertanyaan bagaimana bila ...
2) Pertanyaan yang mempersoalkan sesuatu yang ideal dan responden ditanya agar
memberikan respons tentang hipotesisal ternatif mengenai masa yang lalu,
sekarang,atau yang akan datang;
3) Pertanyaan yang menanyakan dan menantang responden untuk merespons dengan
cara memberikan hipotesis alternatif atau penjelasan;
4) Pertanyaan interpretatif yang menyarankan kepada responden agar memberikan
interpretasinya tentang kejadian atau peristiwa;
5) Pertanyaan yang memberikan saran;
6) Pertanyaan tentang alasan mengapa yang mengarahkan agar responden
memberikan penjelasan tentang kejadian atau perasaan;
7) Pertanyaan tipe argumen yang berusaha mengajar responden untuk menyatakan
perasaan atau menunjukkan sikap yang apabila pewawancara tidak berada disitu,
tidak akan tampak;
8) Pertanyaan tentang sumber yang berusaha mengungkapkan sumber tambahan,
informasi asli, dan data atau dokumen tambahan;
9) Pertanyaan yang mengharapkan jawabanya-tidak, yaitu pertanyaan yang berusaha
menutupi intensitas perasaan atau kepercayaan tentang sesuatu sedangkan
pewawancaranya belum yakin;
10) Pertanyaan yang mengarahkan, dalam hal ini responden diminta untuk
memberikan keterangan tambahan pada informasi yang disediakan.
Cara pembagian lainnya yang tampaknya perlu dikemukakan ialah pertanyaan
luaran atau yang kurang mendalam (peripheral) dan pertanyaan pendalaman
(probing). Pertanyaan luaran berarti pertanyaan diajukan tetapi tidak menggali sesuatu
secara mendalam.
Pertanyaan pendalaman, sesuai dengan namanya, bermaksud menggali lebih
dalam lagi tentang hal yang dipersoalkan. Suatu topik tertentu yang sedang
dipersoalkan dalam proses wawancara digali lebih dalam melalui pertanyaan
pendalaman. Pertanyaan pendalaman secara langsung menurut Guba dan Lincoln
(1981:179), bermaksud menggali lebih dalam untuk keperluan:
1) Klarifikasi jika pewawancara memerlukan lagi informasi tentang hal yang
dipersoalkan sebelumnya;
2) Kesadaran kritis jika responden ditanyakan untuk memutuskan atau lebih kritis
lagi, menanggapi sesuatu, menilai atau memberikan contoh tentang sesuatu. Kata
tanya dalam hal ini ialah mengapa, dalam hal apa.
3) Penjelasan jika pewawancara memerlukan informasi mengenai berbagai aspek
atau dimensi dari suatu pertanyaan;
4) Refokus jika responden ditanyai mengaitkan, membandingkan, atau
mempertentangkan jawabannya dengan topik atau ide, atau jika ditanyai untuk
memikirkan alternatif pemecahan atau hubungan sebab-akibat;
Informasi tentang intensitas perasaan responden; pertanyaan yang diajukan
berkisar pada bentuk “pertanyaan pribadi”, pertanyaan “alasan-mengapa”,
sampaipada “pertanyaan intensitas”.

E. Membuat Daftar Pertanyaan


Nasution (2003) dalam bukunya menyebutkan bahwa sebenarnya tidak ada urutan
yang pasti mengenai urutan pertanyaan atau topik yang akan kita bicarakan. Namun
dapat diberi beberapa saran.
1. Jangan mulai dengan hal-hal yang kontroversial atau sensitif yang dapat
menimbulkan pertentangan.
2. Mulailah dengan hal-hal masa sekarang seperti pekerjaan, pengalaman atau
tindakan.
3. Langsung menanyakan hal-hal mengenai pengetahuan atas keterampilan dapat
dipandang sebagai ujian dan merusak kesantaian suasana. Pengetahuan dan
keterampilan sebaiknya ditanyakan dalam konteks tertentu yang telah
dibicarakan sebelumnya.
4. Jangan segera ditanya mengenai masa lampau responden. Sebagian orang
tidak suka bila masa lalunya dibngkar orang dan karena itu harus dibatasi dan
hanya diselipkan di antara peranyaan lain dalam kontekstopik yang
dibicarakan
Dalam memberikan pertanyaan kepada responden juga diperlukan adanya
rumusan pertanyaan. Rumusan pertanyaan sangat penting. Bagaimana kita
menyampaikan pertanyaan menentukan jawaban yang akan diterima. Pertanyaan
merupakan stimulus yang membangkitkan respons, dalam hal ini jawaban yang berisi
informasi yang kita perlukan.
Pertanyaan hendaknya dirumuskan dalam bentuk terbuka sehingga kita sedikit
mungkin mempengaruhi jawabannya. Dengan pertanyaan tertutup kita terlampau
mengarahan dan mengatur jawabannya. Misalnya kita elakkan pertanyaan seperti
“Bagaimana perasaan Sdr. setelah anak Sdr. lulus sipenmaru, senang, sangat senang,
atau justru cemas memikirkan biaya studi selanjutnya?” Pertanyaan serupa itu sangat
mengatur jawaban responden. Kebebasannya menjawab sangat dibatasi. Hendaknya
alternatif jawaban ditiadakan saja agar responden bebas mengemukakan pendapat dan
perasaannya yang mungkin tidak kita duga sebelumnya. (Nasution, 2003)
Demikian pula jangan kita ajukan pertanyaan yang tidak dikotomis, seperti
“Apakah Sdr. merasa senang? Ya atau tidak” Jadi dalam wawancara ada sejumlah
jenis pertanyaan yang sebaiknya kita hindari antara lain:
1) Mengajukan pertanyaan dikotomis (ya - tidak)
2) Mengajukan pertanyaan yang terlampau mempengaruhi, membatasi, mengikat
atau mengatu jawaban responden
3) Mengajukan pertanyaan yang memojokkan responden, karena sukar dijawab,
sensitif, atau dapat memalukanya
4) Mengajukan pertanyaan yang menimbulkan sikap defensif pada responden
5) Mengajukan pertanyaan majemuk, yakni berisi dua soal dalam satu pertanyaan,
misalnya, “Bagaimana hubungan Sdr. dengan majikan dan teman pekerja
lainnya?”
6) Mengajukan pertanyaan yang ambiguos, yang menimbulkan tafsiran yang berbeda
beda
Selain itu dalam wawancara hendaknya peneliti jangan memborong
percakapan. Peneliti harus dapat menahan diri dan membiarkan responden berbicara
sebanyak mungkin, agar dapat diperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya. Yang
justru harus diusahakan ialah bagaimana mendorong responden agar terus berbicara.
Sedangkan menurut Guba & Lincoln ( 1981 : 180-183) ada tiga cara penata-
urutan pertanyaan, yaitu (a) bentuk cerobong, (b) kebalikan bentuk cerobong, dan (c)
rencana kuintamensional. Pada tata urutan bentuk cerobong pertanyaan-pertanyaan
dimulai dari segi yang umum mengarah kepada yang khusus. Setiap pertanyaan
berikutnya berkaitan dengan yang sebelumnya dengan bentuk yang semakin
menyempit dan makin mengkhusus. Contoh: (1) Menurut Anda, bagaimana hubungan
negara kita dengan negara-negara Asia lainnya? (2) Bagaimana pula pendapat Anda
tentang hubungan negara kita dengan RRC? (3) Menurut pendapat Anda, apakah
hubungan kita sekarang perlu diperbaiki? (4) Jika ya, apa yang seharusnya kita
perbuat? (5) Ada yang berpendapat bahwa kita seharusnya lebih aktif memperbaiki
hubungan itu, yang lainnya berpendapat bahwa biar RC saja yang mencari kita.
Bagaimana pendapat Anda mengenai hal itu?
Tata urutan bentuk kebalikan dari cerobong adalah yang cara penyusunan
pertanyaannya terbalik jika dibandingkan dengan bentuk cerobong. Pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan dimulai dengan pertanyaan yang khusus terlebih dahulu,
kemudian makin umum. Tata urutan bentuk ini terutama bermanfaat dalam
memotivasi responden yang enggan menjawab atau untuk membuat responden yang
pada mulanya malu-malu makin menjadi berani dan akhirnya terbiasa. Hal ini dapat
pula diterapkan sewaktu yang terwawancara seperti terancam oleh pertanyaan-
pertanyaan yang cukup sensitif. Mulailah bertanya dengan pertanyaan yang
mendiskusikan perilaku yang kongkret atau contoh-contoh khusus yang nantinya
membuat responden merasa lebih terbiasa untuk menjawab pertanyaan umum, yang
mempribadi, atau pertanyaan- pertanyaan afektif. Contoh: (1) Apa yang sebenarnya
terjadi antara teman Anda, Ali, dan Jono? (2) Apakah perselisihan mereka telah lama
berlangsung? (3) Sudah berapa lamakah hal itu terjadi? (4) Apakah mereka
mempunyai persoalan yang sama dengan teman-teman yang lain?
Cara penata-urutan kuintamensional adalah cara memfokuskan pertanyaan
dari dimensi kesadaran deskriptif menuju dimensi-dimensi afektif, perilaku, perasaan,
atau sikap. Jadi, pertanyaan pertama hendaknya mulai dengan sesuatu yang
menentukan kesadaran, misalnya “Apakah Anda menyaksikan pertengkaran yang
terjadi antara Ali dan Jono di halaman sekolah?” Pertanyaan kedua harus berupa
pertanyaan terbuka yang berkaitan dengan pertanyaan umum: “Apakah pertengkaran
mereka tampaknya menyebabkan perasaan kasihan pada teman-teman lainnya?”
Pertanyaan ketiga harus memfokus pada bagian-bagian khusus tentang suatu isu:
“Apakah Anda benar-benar tahu tentang perkelahian itu? Dapatkah Anda
menceritakan asal mulanya?” Pertanyaan keempat harus dimulai dengan pertanyaan
mengapa. “Apakah perselisihan mereka sudah lama terjadi? Ataukah pertengkaran
mereka baru dimulai? Apakah Anda mengetahui mengapa pertengkaran itu pada
waktu pertama kali terjadi?” Terakhir, pewawancara harus menanyakan intensitasnya,
yaitu pertanyaan yang bermaksud mendalami intensitas dari akibatnya di sekitar
peristiwa itu: “Sebagai ketua kelas, bagaimana perasaan Anda dan pada hubungan
mereka dengan teman-teman sekelas lainnya? Menurut perasaan Anda, apakah kerja
sama dalam kelas terganggu oleh peristiwa itu? Apakah Anda berkepentingan untuk
mendamaikan mereka berdua? Menurut perasaan Anda, apakah pertengkaran itu ada
akibatnya terhadap kepemimpinan Anda dan terhadap mereka berdua”
Penata-urutan seperti ini adalah bentuk bergulir dan jatuh. Jika hal itu
dilakukan dengan tepat, responden akan jatuh dari yang lebih deskriptif dan kurang
mempribadi ke dalam yang lebih afektif, emosional, atau yang mempribadi.
Selain penata-urutan pertanyaan, cara memformulasikan pertanyaan
merupakan segi lain yang tidak kalah pentingnya dalam wawancara. Gatz dan
Hoagland (1978 dalam Guba dan Lincoln, 1981:177) menyajikan pertimbangan-
pertimbangan yang dapat dimanfaatkan oleh pewawancara dalam memformulasikan
pertanyaan sebagai berikut: (1) Apakah pertanyaan ini perlu? Bagaimana caranya agar
jawaban itu dapat dimanfaatkan? Bagaimana menganalisisnya? (2) Apakah
pertanyaan ini mencakup topik yang dicari? Apakah diperlukan pertanyaan tambahan
lainnya? (3) Apakah pertanyaan ini dapat ditafsirkan? Apakah pewawancara
memerlukan fakta lainnya sehubungan dengan yang dipersoalkan sebelum
jawabannya memberi makna? Apakah pewawancara memerlukan atau menginginkan
pengetahuan tentang sikap responden (kesukaan, nilai, kepercayaan) tentang hal yang
dipersoalkan? Dimensi apakah yang berharga untuk dijaring? Jika ya, perlukah
pewawancara mengajukan pertanyaan pendalaman yang menanyakan konten,
intensitas, stabilitas, atau kedalaman sikap, nilai, dan perasaan? Dimensi apakah yang
bermanfaat untuk diperoleh? (4) Apakah responden memiliki informasi untuk
menjawab pertanyaan? Apakah pewawancara diberi kemungkinan untuk
membedakannya? Bagaimanakah tingkat kepercayaan jawaban yang diperoleh? (5)
Sejauh manakah kesahihan jawaban yang dijaring? Apakah pertanyaan mengarah?
Apakah pertanyaan itu diformulasikan atas dasar istilah yang bebas nilai? Apakah
pertanyaan itu merupakan bagian dari keseluruhan perangkat pertanyaan? Apakah
jawaban yang diharapkan diperoleh nantinya mencukupi? Apakah terwawancara mau
memberikan informasi? Dalam situasi bagaimana? Asumsi apakah yang ada dalam
pertanyaan? Apa yang dipertimbangkan oleh pewawancara? Kerangka berpikir
bagaimanakah yang diemban oleh pertanyaan itu?
F. Mencatat Hasil Wawancara
Hasil wawancara harus segera dicatat setelah selesai melakukan wawancara.
Karena wawancara dilakukan secara terbuka dan tidak berstruktur, maka peniliti harus
mampu membuat rangkuman yang sistematis terhadap hasil wawancara (Sugiyono,
2012:329). Untuk dapat mengolah data dari hasil wawancara, peneliti harus
mengorganisasikannya sehingga mudah untuk digunakan (Iriving Seidman,
2002:112). Setelah mendapatkan sumber data, perlu dicatat mana data yang dianggap
penting, dan data yang tidak penting, data yang sama dikelompokkan. Hubungan satu
data dengan data yang lan perlu dikonstruksikan, sehingga menghasilkan pola dan
makna tertentu. Data yang masih diragukan perlu ditanyakan kembali kepada sumber
data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian. Dalam mencatat
hasil wawancara dapat digunakan alat-alat sebagai berikut.
1. Buku catatan berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data.
2. Tape recorder berfungsi sebagai alat perekam suara saat berlangsungnya
wawancara.
3. Kamera berfungsi sebagai alat dokumentasi saat peneliti melakukan wawancara.
Dengan adanya foto, dapat menguatkan bukti bahwa peneliti telah melakukan
penelitian dengan wawancara.
Di sisi lain, Irving Seidman (2002) mengemukakan bahwa penggunaan tape
recorder dapat menjadi pilihan alat yang tepat dalam melakukan wawancara. Karena,
dengan menggunakan tape recorder mampu merekam seluruh perkataan dari
informan atau narasumber sebagai sumber datanya. Dengan merekam seluruh
perkataan dari narasumber, maka peneliti akan mendapatkan data yang lebih original.
Pencatatan data selama wawancara penting sekali karena data yang akan
dianalisis didasarkan atas kutipan hasil wawancara. Oleh karena itu pencatatan data
itu perlu dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Ada pencatatan
data yang dilakukan melalui tape-recorder dan ada pula yang dilakukan melalui
pencatatan pewawancara sendiri. (Moleong. 2007 : 206)
Hasil wawancara segera harus dicatat setelah selesai melakukan wawancara
agar tidak lupa bahkan hilang. Karena wawancara dilakukan secara terbuka dan tidak
berstruktur, maka peneliti perlu membuat rangkuman yang lebih sistematis terhadap
hasil wawancara. Dari berbagai sumber data, perlu dicatat mana data yang dianggap
penting, yang tidak penting, data yang sama dikelompokkan. Hubungan satu data
dengan data yang lain perlu dikontruksikan, sehingga menghasilkan pola dan makna
tertentu. Data yang masih diragukan perlu ditanyakan kembali kepada sumber data
lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian. (Sugiyono. 2015 :
329)
Perekaman data melalui tape recorder hendaknya dilakukan dengan
memperoleh persetujuan perwawancara terlebih dahulu. Disamping itu, selain
perekaman dengan tape recorder, sebaiknya pewawancara juga membuat catatan.
Catatan dimaksudkan untuk : 1) membantu pewawancara agar dapat merencanakan
pertanyaan baru berikutnya, 2) membantu pewawancara untuk mencari pokok-pokok
penting dalam pita suara sehingga mempermudah analisis. Sebaiknya peneliti
menyalin hasil wawancara ke dalam catatan lapangan karena hal itu akan sangat
memudahkan. (Moleong. 2007 : 206)
Setelah atau selama wawancara dilakukan, pewawancara cukup mencatat
frasa-frasa pokok saja sehingga akhirnya menjadi sebuah daftar butir pokok yang
berupa kata-kata kunci dari yang dikemukakakan oleh terwawancara. Lebih baik lagi
apabila pewawancara dapat menulis steno. Pewawancara terlebih dahulu perlu
mengembangkan singkatan- singkatan yang digunakan untuk mencatat itu. Misalkan
untuk kutipan pembicaraan ada tandanya, untuk ide, pikiran, pendapat ada tanda
khususnya, dan seterusnya.
Jika dalam keadaan tertentu tape recorder tidak dapat digunakan karena rusak
atau karena tidak dikehendaki oleh terwawancara, catatan lapangan menjadi alat
utama. Jika terwawancara mengatakan sesuatu yang sangat penting dan pencatatan
tidak sempurna, pewawancara membacakannya dan meminta persetujuan kepada
terwawancara untuk mengecek kebenaran.
Dengan latihan berulang, cara menyingkat kata-kata dalam wawancara dapat
ditingkatkan. Hal itu tampak dalam catatan yang dibuat dalam wawancara. Satu hal
yang perlu diingay oleh pewawancara ialah setelah selesai wawancara dan
pewawancara tiba di rumah atau tempat tinggal, ia haru secepatnya membuat catatan
lapangan lengkap dan memberikan tanggapan pada bagian-bagian penting. Hal itu
hendaknya dilakukan secepat mungkin selama pikiran masih segar bugar. Persoalan
tentang catatan lapangan diuraikan sendiri. (Moleong. 2007 : 206-207)
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1995. Manajemen Penelitian . Jakarta: Rineka Cipta.

Brinkmann, S. 2013. Qualitative Interviewing. United States of America: Oxford University


Press.

Cresswell, J. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design (5th Ed.). New Delhi: Sage
Publications.

Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada

Gulo, W. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo.

Guba, Egon G, & Yvonna S. Lincoln. 1981. Effective Evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass
Publishers

Irving Seidman. 2006. Interviewing as Qualitative Reseacrh. New York. Teachers College
Press

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antopologi. Jakarta: Rineka Cipta

Lincoln, Yvona S., & Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage
Publications.

Moleong, Lexy J . 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya

Moleong, L.J., 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif (Cetakan ke-26). Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Moleong, L. J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosdakarya

Moleong, J. L. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Mulyana, Dedy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya

Nasution, S. 2002. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito bandung.

Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nasution. 2006. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.

Patton, M. Q. 1980. Qualitative Evaluation Methods. London : Sage Publications, Inc

Patton, Quin Michael. 1991. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sudarwin, D. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Penerbit Pustaka.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,Kualitatif , R dan D.


Bandung. Alfabeta.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Wahyuni, Sari. 2012. Qualitative Research Method: Theory and Practice. Jakarta: Salemba
Empat

Widoyoko, Eko Putro. 2015. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Zuriah, Nurul. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai