BIOTEKNOLOGI PERIKANAN
Disusun oleh:
KELOMPOK 10 / PERIKANAN C
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Karena dengan
limpahan rahmat dan karunia-Nya, beserta izin-Nya penulis berhasil menyelesaikan
penulisan laporan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Tak lupa shalawat serta
salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW dan para sahabatnya yang telah
membawa kita dari kegelapan ke dalam terang benderang penuh ilmu pengetahuan.
Laporan praktikum merupakan tugas dari mata kuliah Bioteknologi Perikanan yang
berjudul “Laporan Akhir Praktikum Bioteknologi Perikanan ”.
Laporan praktikum yang berjudul “Laporan Akhir Praktikum Bioteknologi
Perikanan” dibuat untuk memenuhi laporan praktikum mata kuliah Bioteknologi
Perikanan pada Program Studi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjadjaran. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Yuniar Mulyani, S.P., M.Si selaku dosen penanggung jawab mata kuliah
Bioteknologi Perikanan.
2. Sihlvia Oktanita dan Aisyah, selaku asisten penanggung jawab mata kuliah
Bioteknologi Perikanan Kelas C.
Penulis berharap, laporan ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca
dengan menambah pengaruh besar untuk kita semua.
Kelompok 10
i
DAFTAR ISI
BAB Halaman
ii
III METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Praktikum ........................................... 41
3.2 Alat Dan Bahan Praktikum ................................................ 41
3.2.1 Alat Praktikum ................................................................... 41
3.2.2 Bahan Praktikum ............................................................... 43
3.3 Prosedur Praktikum ........................................................... 44
3.3.1 Pengambilan Sampel ......................................................... 44
3.3.2 Proses Isolasi/Ekstraksi DNA ............................................ 45
3.3.3 Amplifikasi DNA dengan Teknik RAPD-PCR ................. 46
3.3.4 Elektroforesis ..................................................................... 47
3.4 Elektroforesis ..................................................................... 47
3.5 Analisis Data ...................................................................... 48
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Isolasi/Ekstraksi DNA Genom ................................ 49
4.2 Amplifikasi DNA dan Deteksi Polimorfisme ................... 52
4.3 Analisis Kekerabatan Genetik Ikan Uji ............................ 55
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ........................................................................ 58
5.2 Saran .................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 59
LAMPIRAN ................................................................................ 65
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
dan Usha 2000). Ada tiga langkah utama dalam ekstraksi DNA, yaitu perusakan
dinding sel (lisis), pemisahan DNA dari debris sel, seperti lemak, selulosa dan protein,
serta pemurnian DNA (Surzycki 2000). Yang kemudian akan dielektroforesis untuk
dapat mengetahui cara kerja dan prinsip kerja dari elektroforesis gel agarose hasil dari
amplifikasi PCR.
Ringkasnya metode elektroforesis ini mulai berkembang akhir abad ke 19
setelah ditemukan penelitian yang menunjukkan adanya efek dari listrik terhadap
partikel-partikel atau molekul-molekul yang bermuatan listrik, dalam ha1 ini termasuk
juga protein (PORNET, QUINCKE, HARDY. Dalm RICHARDSON dkk 1986).
Menurut PASSTEUR dkk. (1988) elektroforesis berasal dari bahasa Junani yang
mempunyai arti transport atau perpindahan melalui partikel-partikel listrik.
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah pengenalan alat dan bahan agar
praktikan dapat mengetahui fungsi sehingga tidak salah menggunakan. Lalu
dilakukannya sterilisasi alat dan bahan agar mencegah kontaminan pada setiap alat dan
bahan. Dilanjutkan dengan isolasi DNA yang berarti memisahkan DNA dengan
berbagai macam kontaminan seperti protein , lemak , RNA, dst. Sedangkan proses
amplifikasi digunakan untuk memperbanyak / melipat gandakan DNA yang telah
diisolasi tujuannya agar DNA memiliki konsentrasi yang banyak dan baik sehingga
pada saat proses elektroforesis hasil yang didapatkan dari sampel DNA lebih mudah
diamati.
1.2 Tujuan
1.2.1 Pengenalan Alat
Tujuan praktikum pengenalan alat-alat laboratorium bioteknologi adalah untuk
mengetahui alat-alat yang digunakan selama praktikum beserta fungsi dan prosedur
penggunaannya, sehingga dalam melakukan praktikum, praktikan dapat memperoleh
hasil suatu percobaan atau penelitian yang maksimal.
3
1.2.2 Sterilisasi
Tujuan praktikum sterilisasi adalah sebagai berikut:
1. Memahami dan melaksanakan proses sterilisasi yang tepat dan sesuai untuk
alat dan bahan yang akan digunakan dalam pengujian.
2. Mampu menyiapkan dan membuat media steril untuk pengujian
1.2.4 PCR
Untuk mempercepat isolasi DNA spesifik tanpa membuat dan melakukan
pustaka genom. DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu relatif
singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA.
1.2.5 Elektroforesis
Untuk mengetahui ukuran dan bentuk suatu partikel baik DNA, RNA dan
protein. Selain itu, elektroforesis juga digunakan untuk fraksionasi yang dapat
digunakan untuk mengisolasi masing-masing komponen dari campurannya,
mempelajari fitogenetika, kekerabatan dan mempelajari penyakit yang diturunkan
(Klug & Cummings 1994). Elektroforesis dalam bidang genetika, digunakan untuk
mengetahui ukuran dan jumlah basa yang dikandung suatu sekuen DNA tertentu (Klug
& Cummings 1994).
1.2.6 Bioinformatika
Tujuan bioinformatika adalah untuk mengelola dan menganalisis informasi
biologis. Bioinformatika mencakup penerapan metode-metode matematika, statistika,
dan informatika untuk memecahkan masalah-masalah biologis, terutama dengan
menggunakan sekuens DNA dan asam amino serta informasi yang berkaitan
4
dengannya. Informasi biologis dalam praktikum ini adalah data hasil PCR dan
elektroforesis, sehingga data yang ada dapat dianalisis dan ditarik kesimpulannya.
memberikan panas pada alat, suhu semain tinggi , dan berhenti naik sampai
suhu yang diinginkan.
4. Plastik Wrap merupakan plastic tpis yang digunakan untuk membungkus alat-
alat yang telah disterilkan.
1.3.2 Sterilisasi
Sterilisasi panas memanfaatkan sumber panas untuk membunuh mikroba.
Faktor dari sterilisasi panas adalah temperatur sumber panas dan durasi pemanasan.
Sumber panasnya dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu panas lembab dan panas
kering. Panas Lembab: Autoclave Perebusan Panas Kering: Flaming Insinerasi Oven
Radiasi: Non-Ionis, ada 4 alat untuk sterilisasi yaitu
1. Autoklaf merupakan alat sterilisasi dengan menggunakan uap panas bertekanan
2 atm/ 15 psi (pounds per square inci) dan suhu 121 C selama 15 menit untuk
bahan dan 20 menit untuk alat. Spesifikasi Autoklaf : Autoklaf merupakan alat
untuk mensterilisasi alat dan bahan dalam waktu yang cukup singkat. Dapat
langsung mematikan sel-sel vegetative dari suatu mikroba. Tidak semua bahan
bisa disterilisasikan dengan autoklaf, seperti serum, vitamin, antibiotic, dan
enzim
2. Oven merupakan alat sterilisasi dengan menggunakan Uap Panas Kering.
Protein mikroba akan mengalami dehidrasi hingga terjadi kekeringan,
selanjutnya teroksidasi oleh oksigen di udara sehingga menyebabkan matinya
mikroba. Spesifikasi Alat : Merupakan alat untuk mensterilisasi alat dan bahan.
Tidak semua bahan dapat disterilisasi dengan oven seperti serum, vitamin,
antibiotic, dan enzim. Tidak menimbulkan embun/kondensasi pada alat yang
disterilisasi karena menggunakan uap panas kering. Dapat digunakan sebagai
incubator
3. Bunsen menggunakan metanol atau bahan bakar gas sebagai bahan bakarnya
Digunakan untuk memanaskan dan/atau mensterilkan cairan dalam beaker,
labu erlenmeyer, dll dan juga untuk mensterilkan alat alat laboratorium berbasis
6
dengan cara mengikat ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor
enzim DNAse (Corkill dan Rapley 2008). DNA yang telah diekstraksi dari dalam sel
selanjutnya perlu dipisahkan dari kontaminan komponen penyusun sel lainnya seperti
polisakarida dan protein agar DNA yang didapatkan memiliki kemurnian yang tinggi.
Fenol seringkali digunakan sebagai pendenaturasi protein, ekstraksi dengan
menggunakan fenol menyebabkan protein kehilangan kelarutannya dan mengalami
presipitasi yang selanjutnya dapat dipisahkan dari DNA melalui sentrifugasi (Karp
2008).
Bettelheim dan Landesberg (2007) menyebutkan bahwa setelah sentrifugasi
akan terbentuk 2 fase yang terpisah yakni fase organik pada apisan bawah dan fase
aquoeus (air) pada lapisan atas sedangkan DNA dan RNA akan berada pada fase
aquoeus setelah sentrifugasi sedangkan protein yang terdenaturasi akan berada pada
interfase dan lipid akan berada pada fase organik. Prinsip utama sentrifugasi adalah
memisahkan substansi berdasarkan berat jenis molekul dengan cara memberikan gaya
sentrifugal sehingga substansi yang lebih berat akan berada di dasar, sedangkan
substansi yang lebih ringan akan terletak di atas. Teknik sentrifugasi tersebut dilakukan
di dalam sebuah mesin yang bernama mesin sentrifugasi dengan kecepatan yang
bervariasi, contohnya 2500 rpm (rotation per minute) atau 3000 rpm.
Setelah proses ekstraksi, DNA yang didapat dapat dipekatkan melalui
presipitasi. Pada umumnya digunakan etanol atau isopropanol dalam tahapan
presipitasi. Kedua senyawa tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase aquoeus
sehingga DNA menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet setelah
dilakukan sentrifugasi (Switzer 1999). Hoelzel (1992) juga menambahkan bahwa
presipitasi juga berfungsi untuk menghilangkan residu-residu kloroform yang berasal
dari tahapan ekstraksi.
1.3.4 PCR
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah metode untuk amplifikasi
(perbanyakan) primer oligonukleotida diarahkan secara enzimatik urutan DNA
8
spesifik. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan 105-106-kali lipat dari
jumlah nanogram DNA template dalam latar belakang besar pada sequence yang tidak
relevan (misalnya dari total DNA genomik). Perbanyakan DNA diawali dengan
pengudaran utas DNA ganda menjadi utas tunggal (denaturasi), penempelan primer
forard hingga primer reserve utas tunggal (annealing), dan sintesis utas DNA baru
(Muladno 2002).
Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA;
sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan
nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs
(Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan enzim
polimerase DNA.
Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA templat;
(2) denaturasi DNA templat; (3) penempelan primer pada templat (annealing); (4)
pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (post-extension). Tahap (2)
sampai dengan (4) merupakan tahapan berulang (siklus), di mana pada setiap siklus
terjadi duplikasi jumlah DNA.
1.3.5 Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu teknik yang mengukur laju perpindahan atau
pergerakan partikel-partikel bermuatan dalam suatu medan listrik. Prinsip kerja dari
elektroforesis berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif (anion),
dalam hal tersebut DNA, yang bergerak menuju kutub positif (anode), sedangkan
partikel-partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak menuju kutub negatif
(anode) (Klug & Cummings 1994: A-6). Elektroforesis digunakan untuk mengamati
hasil amplifikasi dari DNA. Hasil elektroforesis yang terlihat adalah
terbentuknya band yang merupakan fragmen DNA hasil amplifikasi dan menunjukkan
potongan-potongan jumlah pasangan basanya (Klug & Cummings 1994: 397).
9
1.3.6 Bioinformatika
Bioinformatika didefinisikan sebagai aplikasi dari alat komputasi dan analisa
untuk menangkap dan menginterpretasikan data-data biologi molekul. Biologi molekul
sendiri juga merupakan bidang interdisipliner, mempelajari kehidupan dalam level
molekul. Bioinformatika memadukan penerapan metode matematika, statistika, dan
informatika untuk memecahkan persoalan biologi, khususnya yang terkait dengan
DNA. Contoh kajiannya antara lain tentang pengelolaan informasi hayati, penyejajaran
urutan, prediksi struktur, analisis filogenetik, analisis ekspresi gen, dan manipulasi
DNA.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
10
11
yaitu sirip punggung yangterletak di bagian punggung (dorsal fin), sirip dada yang
terletak di belakang tutup insang (pectoral fin), sirip perut yang terletak pada perut
(pelvic fin), sirip dubur yang terletak di belakang dubur (anal fin) dan sirip ekor yang
terletak di belakang tubuh dengan bentuk cagak (caudal fin) (Santoso 2011).
Sirip punggung ikan mas berbentuk memanjang yang terletak pada bagian
permukaannya, sama dengan permukaan sirip perut. Di bagian belakang sirip
punggung ini berjari keras, dan di bagian akhir bergerigi seperti juga sirip punggung.
Di bagian sirip dubur ikan mas ini juga berjari keras dan bagian yang terakhir bergerigi,
sedangkan sisik ikan mas ini berukuran cukup besar dengan tipe sisik liingkaran
(cycloid) dan terletak beraturan (Santoso 2011).
Habitat yang disukai ikan mas adalah perairan dengan kedalaman 1 meter yang
mengalir pelan, dan subur yang ditandai melimpahnya pakan alami, misalnya rotifer,
rotatoria, udang-udang renik dan lain-lain. Sebaliknya larva ikan mas menyukai
perairan dangkal, tenang dan terbuka. Benih ikan mas yang berukuran cukup besar
lebih menyukai perairan yang agak dalam, mengalir dan terbuka. Di negara tropis ikan
mas berpijah pada musim hujan. Waktu pemijahan biasanya bertepatan dengan
turunnya hujan. Kesiapan proses pemijahan induk dapat terganggu jika media
hidupnya tercemar, kandungan oksigen terlarut menurun dan kondisi kesehatan induk
menurun (Djarijah 2011).
Di alam bebas ikan mas hidup di pinggiran sungai, danau, atau perairan tawar
lain dengan kedalaman air yang tidak terlalu dalam dan tidak terlalu deras aliran airnya.
Lingkungan perairan yang ideal untuk tempat hidup ikan mas adalah daerah dengan
ketinggian 150 – 600 m di atas permukaan laut. Habitat utama ikan mas adalah dalam
air tawar. Namun dapat hidup juga di daerah muara sungai yang airnya payau
(Narantaka 2012). Penyebaran ikan mas merata di daratan Asia juga Eropa, sebagian
Amerika Utara dan Australia. Di Indonesia, ikan mas terdapat di sungai dan danau-
danau di pulau Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa (Cholik 2005).
Ikan mas tergolong jenis omnivora, yakni ikan yang dapat memangsa berbagai
12
jenis makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik, misalnya
invertebrata air, udang-udangan renik, larva dan serangga air, kerang-kerangan dan
tanaman air. Ikan ini juga senang memakan berbagai jenis biji-bijian yang dicampurkan
sebagai suplemen makanan buatan (artificial foods). Sumber protein, vitamin, lemak,
dan mineral sebagai sumber energi metabolisme tubuh dan pertumbuhan diperoleh dari
makanan renik berupa plankton, yaitu plankton nabati (phitoplankton) dan plankton
hewani (zooplankton). Hewan-hewan kecil tersebut disedot bersama lumpurnya,
diambil yang dapat dimanfaatkan dan sisanya dikeluarkan melalui mulut (Djarijah
2011).
Ikan mas sering mencari sumber makanan berupa jasad-jasad renik di sekeliling
pematang, oleh sebab itu pematang sering rusak dan longsor karenanya. Ikan mas juga
suka mengaduk-aduk dasar kolam untuk mencari makanan yang bisa dimanfaatkan
seperti larva insecta, cacing-cacingan dan sebagainya. Aktivitas ini akan membantu
kawanan benih mencari makanan karena binatang-binatang di dasar kolam yang
teraduk ke atas dapat menjadi santapan lezat bagi benih (Santoso 1993).
Ikan mas yang dibudidayakan di kolam-kolam budidaya dapat dikawinkan
sepanjang tahun tanpa harus menunggu musim kawin terlebih dahulu, sedangkan di
alam seperti sungai, danau maupun wilayah yang digenangi air lainnya, ikan mas akan
memijah pada awal atau sepanjang musim penghujan. Ikan mas biasanya memijah pada
perairan dangkal, setelah terjadi kekeringan selama musim kemarau. Ikan mas
menempelkan seluruh telurnya pada tanaman atau rerumputan di tepian perairan
(Santoso 1993).
yang bervariasi dan unik. Perkembangan ikan mas koki kemudian merambah hingga
ke negeri Jepang.
Di negeri matahari terbit ikan mas koki terus mengalami perkembangan pesat
sehingga menghasilkan bentuk yang lebih bervariatif seperti saat ini. Dari negeri
Sakura, ikan mas koki mulai menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Bachtiar
2002). Umumnya, bentuk tubuh ikan mas koki unik, bermata besar agak menonjol ke
luar dan warna sisik yang menarik. Ikan mas koki tergolong mudah dipelihara karena
sifatnya cukup adaptif terhadap lingkungan yang baru. Tak mengherankan jika ikan
mas koki dengan berbagai varietasnya tersebar di seluruh dunia (Bachtiar 2002).
Ikan mas koki dalam ilmu taksonomi hewan masih satu kerabat dengan ikan
mas (Cyprinus carpio). Menurut Bachtiar (2002), sistematika ikan mas koki
berdasarkan ilmu taksonomi dijelaskan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Craniata
Kelas : Ostheichthyes
Ordo : Teleoste
Subordo : Cyprinoidea
Family : Cyprinidae
Genus : Carassius
Spesies : Carassius auratus Linnaeus.
perbedaan inilah yang menjadikan ikan mas koki memiliki keunikan dibanding dengan
ikan hias lainnya.
Suhu optimal air untuk hidup ikan mas koki adalah 18-24ºC. Mempertahankan
suhu untuk terus berada dalam kisaran suhu optimal perlu dilakukan. Hal ini
dikarenakan pemeliharaan di luar suhu optimal dapat menekan sistem kekebalan tubuh
ikan dan akan menyebabkan penurunan nafsu makan serta gangguan pada
pertumbuhan ikan. Ikan mas koki dapat hidup dalam air yang memiliki kandungan
oksigen minimal 5 mg/L, pH 7-7.8, tingkat amoniak terlarut maksimal 0,05 mg/L dan
tingkat nitrit terlarut maksimal 0,05 mg/L (Watson et al. 2004).
Ikan mas koki dianggap sebagai ikan yang tangguh karena dapat bertahan hidup
di air berkualitas buruk. Walaupun demikian, kualitas air penting diperhatikan agar
pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan ikan berjalan optimal (Watson et al. 2004).
Ikan mas koki dapat hidup hingga umur 30 tahun dengan panjang mencapai 23 inches
(58 cm) dan berat mencapai 2,7 kg.
Ikan mas koki memiliki organ interna dan eksterna yang keseluruhan organ
tersebut memiliki ciri dan fungsi tertentu untuk mendukung kelangsungan hidup ikan
(Yanong 2003). Insang merupakan salah satu organ interna ikan maskoki yang
memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup ikan. Peranan penting tersebut
adalah sebagai media pertukaran gas (Campbell et al. 2004). Insang terdiri dari lamela
insang primer, lamela insang sekunder, dan tulang rawan insang. Lamela primer adalah
lamela yang bersentuhan langsung dengan tulang rawan insang dan lamela sekunder
merupakan percabangan dari lamela primer (Yanong 2003).
Insang akan mengoptimalkan ekstraksi oksigen dari air dan merupakan tempat
untuk melepaskan karbon dioksida. Ikan memompa air melalui mulut dan keluar
diantara celah insang lewat gerakan terkoordinasi dari rahang dan operculum (penutup
insang), agar terjadi ventilasi. Ventilasi yang dimaksudkan berupa aktivitas inhalasi
dan ekshalasi atau proses mengambil oksigen dan melepaskan karbon dioksida lewat
pernafasan. Ketika ventilasi terjadi, darah mengalir dengan arah yang berlawanan
15
dengan aliran air yang mengalir, oksigen akan masuk ke dalam aliran darah dan CO2
akan dibuang ke air (Campbell et al. 2004).
Usus merupakan salah satu organ interna ikan yang mengambil peranandalam
sistem pencernaan. Usus berbentuk seperti tabung memanjang yang melingkar-lingkar
dan mengisi sebagian besar rongga abdomen. Makanan yang ditangkap oleh mulut
akan masuk ke dalam rongga mulut, melewati faring, esofagus, bola usus (intestinal
bulb), usus kemudian sisa makanan yang tidak diserap akan dikeluarkan lewat anus
(Sarbahi 1951).
Ikan mas koki merupakan ikan pemakan segala atau omnivora. Pakan yang
biasa diberikan untuk pembesaran ikan mas koki yaitu pellet (Lingga dan Susanto
1999). Kualitas pakan sangat menentukan keindahan warna sebagai daya tarik,
sehingga banyak upaya yang dilakukan dengan menambahkan zat pigmen yang
mengandung karoten dalam pakan buatan. Pemberian pakan berdasarkan jumlah ikan
(bobot biomassa) dengan kisaran 3-5% per hari, dan frekuensi pemberiannya 2-3 kali
per hari disesuaikan dengan kondisi ikan dan media air pemeliharaannya.
pada ujungnya. Ikan barbir muda memiliki satu warna yakni perak dengan bintik hitam
pada bagian bawah ujung sirip punggung (Lingga & Susanto 2003).
Klasifikasi ilmiah ikan barbir menurut Hamilton (1822) dalam Kesner (2010)
adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cyprinidae
Genus : Puntius
Spesies : Puntius conchonius
Ikan barbir hidup berkoloni pada perairan yang tenag dan mengalir. Kualitas
air yang optimal yaitu suhu 20-25°C dengan pH sebesar 6-7. Ikan barbir merupakan
salah satu jenis ikan yang telurnya diserakkan. Ikan barbir dapat hidup di akuarium dan
dapat hidup berdampingan dengan jenis ikan lain (Lingga & Susanto 2003)
penelitian dan adaptasi, ikan ini kemudian disebarluaskan kepada petani di seluruh
Indonesia. Pemberian nama “Nila” berdasarkan ketetapan Direktur Jenderal Perikanan
tahun 1972, jadi “Nila” adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh pemerintah
melalui Direktur Jenderal Perikanan. Nama tersebut diambil dari nama spesies ikan ini,
yakni nilotica yang kemudian diubah menjadi Nila. Para pakar perikanan memutuskan
bahwa nama ilmiah yang tepat untuk ikan Nila adalah Oreochromis niloticus atau
Oreochromis sp. dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nile tilapia (Amri dan
Khairuman 2003).
Secara umum klasifikasi ikan nila menurut Suyanto (2003) adalah sebagai
berikut:
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Sub kelas : Acanthoptherigii
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus
Ikan ini merupakan spesies ikan yang berukuran besar antara 200-400 gram,
sifat omnivora sehingga bisa mengkonsumsi makanan berupa hewan dan tumbuhan
(Amri dan Khairuman 2003). Nila dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada
lingkungan perairan dengan kadar Dissolved Oxygen (DO) antara 2,0-2,5 mg/l. Secara
umum nilai pH air pada budidaya ikan nila antara 5 sampai 10 tetapi nilai pH optimum
20
adalah berkisar 6-9. Ikan nila umumnya hidup di perairan tawar, seperti sungai, danau,
waduk, rawa, sawah dan saluran irigasi, memiliki toleransi terhadap salinitas sehingga
ikan nila dapat hidup dan berkembangbiak di perairan payau dengan salinitas 20-25‰
(Setyo 2006).
Ikan nila termasuk famili Cichlidae yang mempunyai sifat menyimpan telur dan
larvanya di dalam mulut. Morfologi ikan nila (Oreochromis niloticus) menurut Saanin
(1968), mempunyai ciri-ciri bentuk tubuh bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada
badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Pada sirip punggung
ditemukan garis lurus memanjang Saanin (1968).
Nila memiliki lima buah Sirip, yaitu sirip punggung (dorsal fin), sirip dada
(pectoral fin) sirip perut (ventral fin), sirip anal (anal fin), dan sirip ekor (caudal fin).
Sirip punggungnya memanjang dari bagian atas tutup ingsang sampai bagian atas sirip
ekor. Terdapat juga sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil dan sirip
anus yang hanya satu buah berbentuk agak panjang. Sementara itu, jumlah sirip
ekornya hanya satu buah dengan bentuk bulat. Sirip punggung, sirip dubur dan sirip
perut terdapat jari-jari lemah dan jari-jari keras yang tajam seperti duri. Sirip punggung
memiliki lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah, sedangkan sirip ekor
mempunyai dua buah jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah. Sirip perut mempunyai
satu jari-jari keras dan lima belas jari-jari lemah (Suyanto 2003).
Ikan nila mempunyai mulut yang letaknya terminal, garis rusuk terputus menjadi
2 bagian dan letaknya memanjang dari atas sirip dan dada, bentuk sisik stenoid, sirip
kaudal rata dan terdapat garis-garis tegak lurus. Mempunyai jumlah sisik pada gurat
sisi 34 buah. Sebagian besar tubuh ikan ditutupi oleh lapisan kulit dermis yang
memiliki sisik. Sisik ini tersusun seperti genteng rumah, bagian muka sisik menutupi
oleh sisik yang lain (Santoso 1996).
Secara alami, ikan nila bisa berpijah sepanjang tahun di daerah tropis. Frekuensi
pemijahan yang terbanyak terjadi pada musim hujan. Di alamnya, ikan nila bisa
berpijah 6-7 kali dalam setahun. Berarti, rata-rata setiap dua bulan sekali, ikan nila akan
21
berkembang biak. Ikan ini mencapai stadium dewasa pada umur 4-5 bulan dengan
bobot sekitar 250 gram. Masa pemijahan produktif adalah ketika induk berumur 1,5-2
tahun dengan bobot di atas 500 gram/ekor. Seekor ikan nila betina dengan berat sekitar
800 gram menghasilkan larva sebanyak 1.200-1.500 ekor pada setiap pemijahan (Amri
& Khairuman 2002).
Sebelum memijah, ikan nila jantan selalu membuat sarang berupa lekukan
berbentuk bulat di dasar perairan. Diameter lekukan setara dengan ukuran ikan nila
jantan. Sarang itu merupakan daerah teritorial ikan nila jantan. Sarang tersebut
berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembuahan telur (Amri & Khairuman 2002).
Proses pemijahan ikan nila berlangsung sangat cepat. Telur ikan nila
berdiameter kurang lebih 2,8 mm, berwarna abu-abu, kadang-kadang berwarna kuning,
tidak lengket, dan tenggelam di dasar perairan. Telur-telur yang telah dibuahi dierami
di dalam mulut induk betina kemudian menetas setelah 4-5 hari. Telur yang sudah
menetas disebut larva. Panjang larva 4-5 mm. Larva yang sudah menetas diasuh oleh
induk betina hingga mencapai umur 11 hari dan berukuran 8 mm. Larva yang sudah
tidak diasuh oleh induknya akan berenang secara bergerombol di bagian perairan yang
dangkal atau di pinggir kolam (Amri & Khairuman 2002).
Telur ikan nila bulat dengan warna kekuningan. Sekali memijah dapat
mengeluarkan telur sebanyak 300-1.500 butir tergantung ukuran induk betina. Ikan
Nila mulai berpijah pada bobot 100-150 gram, tetapi produksi telurnya masih sedikit.
Induk yang paling produktif bobotnya antara 500-600 gram (Suyanto 1993).
Ikan nila tergolong ikan pemakan segala atau omnivora, karena itulah, ikan ini
sangat mudah dibudidayakan. Ketika masih benih, makanan yang disukai ikan nila
adalah zooplankton (plankton hewani), seperti Rotifera sp., Moina sp. atau Daphnia
sp. Selain itu, juga memakan alga atau lumut yang menempel pada benda-benda di
habitat hidupnya. Ikan nila dewasa ataupun induk pada umumnya mencari makanan di
tempat yang dalam. Jenis makanan yang disukai ikan dewasa adalah fitoplankton,
22
seperti algae berfilamen, tumbuh-tumbuhan air, dan ooganisme renik yang melayang-
layang dalam air (Rukmana 1998).
Ikan nila merupakan ikan konsumsi yang umum hidup di perairan tawar,
terkadang ikan nila juga ditemukan hidup di perairan yang agak asin (payau). Ikan nila
dikenal sebagai ikan yang bersifat euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang
lebar). Habitat ikan nila di perairan tawar, termasuk saluran air yang dangkal, kolam,
sungai dan danau.
Ikan nila mempunyai kemampuan tumbuh secara normal pada kisaran suhu 14-
38°C dengan suhu optimum bagi pertumbuhan dan perkembangannya yaitu 25-30°C.
Kandungan oksigen air minimal 4 mg/l, kandungan karbondioksida maksimal 5 mg/l,
kadar amoniak dalam air harus dalam batas yang tidak meracuni (lebih rendah 0,1 mg/l)
dan tingkat alkalinitas air berkisar 50-300 mg/l (BPPAT DKP 2001). Ikan nila dapat
hidup pada lingkungan yang mempunyai kisaran pH 5-11 (Arie 2000).
Ikan komet memiliki keindahan warna, gerak-gerik, dan bentuk tubuhnya yang
unik, oleh karena itu ikan komet digemari oleh masyarakat. Morfologi ikan komet
relatif menyerupai dengan morfologi ikan mas. Karakteristik yang membedakan dari
ikan komet dan ikan mas adalah bentuk siripnya. Ikan komet mempunyai bentuk sirip
yang lebih panjang dari ikan mas, meskipun jika didekatkan keduanya akan sangat
mirip, oleh sebab itu diluar negeri ikan komet dijuluki sebagai ikan mas (goldfish).
Perbedaan ikan komet jantan dan betina. Ikan komet jantan memiliki sirip dada panjang
dan tebal, kepala tidak melebar, tubuh lebih tipis (ramping), sedangkan ikan komet
betina memiliki sirip dada relatif pendek dan luar tipis, kepala relatif kecil dan
bentuknya agak meruncing, tubuh lebih tebal (gemuk) (Lingga dan Heru 1995).
Bentuk tubuh ikan komet agak memanjang dan memipih tegak (compressed)
mulutnya terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan. Bagian ujung mulut
memiliki dua pasang sungut. Di ujung dalam mulut terdapat gigi kerongkongan yang
tersusun atas tiga baris dan gigi geraham secara umum. Sebagian besar tubuh ikan
komet ditutupi oleh sisik kecuali beberapa varietas yang memiliki beberapa sisik. Sisik
ikan komet termasuk sisik sikloid dan kecil. Sirip punggung memanjang dan pada
bagian belakangnya berjari keras. Letak sirip punggung berseberangan dengan sirip
perut. Gurat sisi pada ikan komet tergolong lengkap berada di pertengahan tubuh dan
melentang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor (Partical Fish
Keeping 2013).
enzyme, interaksi kerja gen, kontrol kerja gen pada prokariotik, kontrol kerja
gen pada eukariotik, kontrol genetik terhadap respon imun, kontrol genetik
terhadap pembelahan sel, ekspresi kelamin, perubahan materi genetik,
4. Perubahan materi genetik, meliputi: mutasi, dan rekombinasi,
5. Genetika dalam populasi, dan
6. Perekayasaan materi genetik. (Corebima 2010).
Pengertian genetika yang dikemukakan oleh Corebima (2010) dirumuskan atas
dasar hasil pengelompokan substansi kajian genetika semenjak era J.G. Mendel hingga
era masa kini. Pengertian genetika ini mengikuti pendekatan konsep atau substansi atau
pendekatan material, dan bukan pendekatan sejarah yang dianut oleh banyak buku-
buku genetika, baik terbitan asing maupun dalam negeri. Pengertian genetika ini yang
menjadi substansi kajian utama adalah gen; walaupun pewarisan sifat juga menjadi
substansi kajian, tetapi bukanlah yang utama.
DNA merupakan molekul hereditas yang terdapat di semua organisme baik
prokariot maupun eukariot. Dalam virus, bahan genetik terdiri dari DNA atau RNA.
Semua DNA sel terdiri dari dua rantai polinukleotida berbentuk heliks ganda yang
sangat panjang dan melilit mengelilingi sumbu yang sama. Kedua untai heliks ganda
itu berjalan dalam arah berlawanan. Tulang punggung gula fosfat setiap untai terdapat
dibagian luar heliks ganda, sedangkan basa-basa purin dan pirimidin terdapat dibagian
dalam. Hubungan kedua rantai itu dipertahankan oleh ikatan hidrogen antara pasangan-
pasangan basanya. Adenin (A) selalu berpasangan dengan timin (T) dan guanin (G)
selalu berpasangan dengan sitosin (C) dengan demikian, satu untai heliks ganda
merupakan komplemen terhadap untai lain. Informasi genetik disandi dalam urutan
basa sepanjang suatu untai. Kebanyakan molekul DNA berbentuk sirkular. Sumbu
heliks ganda pada DNA sirkular dapat bergelung sendiri membentuk superheliks. DNA
supercoiled ini lebih kompak daripada DNA kendur (Lubert 2000) .
26
di atas 1.0 M untuk mencegah terbentuknya kompleks CTAB-DNA. Karena jumlah air
dalam pelet sel sulit diprediksi, maka penggunaan CTAB sebagai pemecah larutan
harus dengan NaCl dengan konsentrasi minimal 1.4 M. Kedua, ekstrak dan larutan sel
yang mengandung CTAB harus disimpan pada suhu ruang karena kompleks CTAB-
DNA bersifatinsolublepada suhu di bawah 15°C. Ketiga, penggunaan CTAB dengan
kemurnian yang baik akan menentukan kemurnian DNA yang didapatkan dan dengan
sedikit sekali kontaminasi polisakarida. Setelah ditambahkan CTAB, sampel
diinkubasikan pada suhu kamar. Tujuan inkubasi ini adalah untuk mencegah
pengendapan CTAB karena CTAB akan mengendap pada suhu 15°C. Karena
efektivitasnya dalam menghilangkan polisakarida, CTAB banyak digunakan untuk
purifikasi DNA pada sel yang mengandung banyak polisakarida seperti terdapat pada
sel tanaman dan bakteri gram negatif seperti Pseudomonas, Agrobacterium, dan
Rhizobium (Surzycki 2000).
Dalam penggunaan buffer CTAB seringkali ditambahkan reagen-reagen lain
seperti NaCl, EDTA, Tris-HCl, dan 2-mercaptoethanol. NaCl berfungsi untuk
menghilangkan polisakarida sementara 2-mercaptoethanol befungsi untuk
menghilangkan kandungan senyawa polifenol dalam sel tumbuhan (Ranjan et al.
2010). 2-mercaptoethanol dapat menghilangkan polifenol dalam sel tanaman dengan
cara membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa polifenol yang kemudian akan
terpisah dengan DNA (Lodhi et al. 1994). Senyawa polifenol perlu dihilangkan agar
diperoleh kualitas DNA yang baik (Moyo et al. 2008). Polifenol juga dapat
menghambat reaksi dari enzim Taq polimerase pada saat dilakukan amplifikasi.
Disamping itu polifenol akan mengurangi hasil ektraksi DNA serta mengurangi tingkat
kemurnian DNA (Porebski et al. 1997). Penggunaan 2-mercaptoethanol dengan
pemanasan juga dapat mendenaturasi protein yang mengkontaminasi DNA (Walker
dan Rapley 2008).
Konsentrasi dan pH dari bufer yang digunakan harus berada dalam rentang pH
5 sampai 12. Larutan buffer dengan pH rendah akan mengkibatkan depurifikasi dan
28
Asam nukleat adalah molekul hidrofilik dan bersifat larut dalam air. Disamping
itu, protein juga mengandung residu hidrofobik yang mengakibatkan protein larut
dalam pelarut organik. Berdasarkan sifat ini, terdapat beberapa metode deproteinisasi
berdasarkan pemilihan pelarut organik. Biasanya pelarut organik yang digunakan
adalah fenol atau kloroform yang mengandung 4% isoamil alkohol. Penggunaan
kloroform isoamil alkohol (CIA) berdasarkan perbedaan sifat pelarut organik.
Kloroform tidak dapat bercampur dengan air dan kemampuannya untuk
mendeproteinisasi berdasarkan kemampuan rantai polipeptida yang terdenaturasi
untuk masuk atau termobilisasi ke dalam fase antara kloroform – air. Konsentrasi
protein yang tinggi pada fase antara tersebut dapat menyebabkan protein mengalami
presipitasi. Sedangkan lipid dan senyawa organik lain akan terpisah pada lapisan
kloroform (Clark 1997).
Proses deproteinisasi yang efektif bergantung pada besarnya fase antara
kloroform-air. Proses ini dapat dilakukan dengan membentuk emulsi dari air dan
kloroform. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan penggojogan atau sentrifugasi yang
kuat karena kloroform tidak dapat bercampur dengan air. Isoamil alkohol berfungsi
sebagai emulsifier dapat ditambahkan ke kloroform untuk membantu pembentukan
emulsi dan meningkatkan luas permukaan kloroform-air yang mana protein akan
mengalami presipitasi. Penggunaan kloroform isoamil alkohol ini memungkinkan
untuk didapatkan DNA yang sangat murni, namun dengan ukuran yang terbatas
(20.000–50.000 bp). Fungsi lain dari penambahan CIA ini adalah untuk
menghilangkan kompleks CTAB dan meninggalkan DNA pada fase aquoeus. DNA
kemudian diikat dari faseaquoeus dengan presipitasi etanol (Surzycki 2000).
Setelah proses ekstraksi, DNA yang didapat dapat dipekatkan melalui
presipitasi. Pada umumnya digunakan etanol atau isopropanol dalam tahapan
presipitasi. Kedua senyawa tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase aquoeus
sehingga DNA menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet setelah
dilakukan sentrifugasi (Switzer 1999). Hoelzel (1992) juga menambahkan bahwa
30
2.4 Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu cara analisis kimiawi yang didasarkan pada
pergerakan molekul-molekul protein bermuatan di dalam medan listrik (titik
isoelektrik). Pergerakan molekul dalam medan listrik dipengaruhi oleh bentuk, ukuran,
besar muatan dan sifat kimia dari molekul (Titrawani 1996). Pemisahan dilakukan
berdasarkan perbedaan ukuran berat molekul dan muatan listrik yang dikandung oleh
makro-molekul tersebut. Bila arus listrik dialirkan pada suatu medium penyangga yang
telah berisi protein plasma maka komponen-komponen protein tersebut akan mulai
bermigrasi (Ricardson dkk. 1986).
Menurut Stenesh dalam Titrawani (1996) teknik elektroforesis dapat dibedakan
menjadi dua cara, yaitu: elektroforesis larutan (moving boundary electrophoresis) dan
elektroforesis daerah (zone electrophoresis). Pada teknik elektroforesis larutan, larutan
32
kumpulan molekul dapat dipisahkan satu sama lain tetapi tidak mengalami
perubahan struktur.
c. Medan listrik
Sumber suatu listik yang stabil sangat diperlukan untuk menghasilkan aliran
listrik dengan tegangan yang konstan. Kekuatan ionik medan listrik pada
kisaran 2-8 V/cm sesuai pada suhu ruang. Kekuatan medan magnet yang
dihasilkan jika lebih besar dari 10 V/cm, maka dapat memberikan efek
pemanasan yang dapat menyebabkan pada media penyangga terjadi kehilangan
air yang diakibatkan proses penguapan. Hal tersebut juga mengakibatkan
pergeseran hasil fragmen-fragmen.
polimerase dari arah terminal 5’ ke 3’. Hanya saja pada teknik PCR tidak menggunakan
enzim ligase dan primer RNA. Secara singkat, teknik PCR dilakukan dengan cara
mencampurkan sampel DNA dengan primer oligonukleotida, deoksiribonukleotida
trifosfat (dNTP), enzim termostabil Taq DNA polimerase dalam larutan DNA yang
sesuai, kemudian menaikkan dan menurunkan suhu campuran secara berulang
beberapa puluh siklus sampai diperoleh jumlah sekuens DNA yang diinginkan.
Menurut Erlich (1989) PCR adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk
mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida
yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA.
Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA yang
diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya (Saiki et al. 1988).
PCR didasarkan pada amplifikasi enzimatik fragmen DNA dengan
menggunakan dua oligonukleotida primer yaitu komplementer dengan ujung 5’dari
dua untaian skuen target. Oligonukleotida ini digunakan sebagai primer (primer PCR)
untuk memungkikan DNA template dikopi oleh DNA polimerase. Untuk mendukung
terjadinya annealing primer ini pada template pertama kali diperlukan untuk
memisahkan untaian DNA substrat melalui pemanasan.
titik ujung yang memiliki jarak yang jauh satu sama lain dengan segmen
eksternal yang telah tergabung. Metode ini khusus digunakan untuk
mengidentifikasi ”sekuen antara” dari beragam gen.
3. Nested-PCR,
Proses ini memungkinkan untuk mengurangi kontaminasi pada produk selama
amplifikasi dari penyatuan primer yang tidak diperlukan. Dua set primer
digunakan untuk mendukung metode ini, set kedua mengamplifikasi target
kedua selama proses pertama berlangsung. Sekuens DNA target dari satu set
primer yang disebut primer inner disimpan di antara sekuens target set kedua
dari primer yang disebut sebagai outer primer. Pada prakteknya, reaksi pertama
dari PCR menggunakan outer primer, lalu reaksi PCR kedua dilakukan dengan
inner primer atau nested primer menggunakan hasil dari produk reaksi yang
pertama sebagai target amplifikasi. Nested primer akan menyatu dengan produk
PCR yang pertama dan menghasilkan produk yang lebih pendek daripada
produk yang pertama.
4. Quantitative-PCR
Teknik ini digunakan untuk pengukuran berulang dari hasil produk PCR.
Metode ini secara tidak langsung digunakan untuk mengukur kuantitas, dimulai
dari jumlah DNA, cDNA, atau RNA. Hasil dari metode ini juga menampilkan
copy dari sampel
5. Reverse Transcriptase (RT-PCR)
Metode ini digunakan untuk amplifikasi, isolasi atau identifikasi sekuen dari
sel atau jaringan RNA. Metode ini dibantu oleh reverse transcriptase
(mengubah RNA menjadi cDNA), mencakup pemetaan, menggambarkan
kapan dan dimana gen diekspresikan.
6. Random Amplified Polymorphic DNA ( RAPD )
Teknik ini bertujuan untuk mendeteksi polimorfisme pada tingkat DNA.
Metode ini dikembangkan oleh Welsh and Mc Clelland (1990) dengan cara
36
oligonukleotida. Pada kondisi tertentu, kedua primer akan mengenali dan berikatan
dengan untaian DNA komplemennya yang terletak pada awal dan akhir fragmen DNA
target, sehingga kedua primer tersebut akan menyediakan gugus hidroksil bebas pada
karbon 3’. Setelah kedua primer menempel pada DNA templat, DNA polimerase
mengkatalisis proses pemanjangan kedua primer dengan menambahkan nukleotida
yang komplemen dengan urutan nukleotida templat. DNA polimerase mengkatalisis
pembentukan ikatan fosfodiester antara OH pada karbon 3’ dengan gugus 5’ fosfat
dNTP yang ditambahkan. Sehingga proses penambahan dNTP yang dikatalisis oleh
enzim DNA polimerase ini berlangsung dengan arah 5’→3’ dan disebut reaksi
polimerisasi. Enzim DNA polimerase hanya akan menambahkan dNTP yang
komplemen dengan nukleotida yang terdapat pada rantai DNA templat.
Namun ada juga yang mengatakan dengan lebih spesifik bahwa marka
molekular adalah suatu metode yang bertujuan untuk menunjukkan keberadaan suatu
urutan DNA pada suatu genom tertentu. Marka molekular pada umumnya berupa
daerah yang conserve alias daerah yang perubahannya sangat sedikit atau tidak
mengalami perubahan akibat berbagai faktor seperti mutasi, insersi, dan seleksi alam.
Karena marka molekular adalah urutan DNA yang bersifat conserve, maka daerah
tersebut juga diwariskan kepada keturunannya. Dengan adanya daerah conserve inilah
dapat dilakukan berbagai macam analisis untuk mengetahui karakter suatu DNA pada
mahkluk hidup.
Marka molekuler juga dikatakan marka genetik atau penanda molekular adalah
sekuens DNA yang dapat diidentifikasi dalam suatu genom pada lokasi tertentu serta
dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penanda molekular juga
dapat diekspresikan serta dapat membentuk karakter fenotip sehingga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi individu atau sel yang membawa informasi genetik tersebut.
Aplikasi dari penanda molekular sangat beragam sehingga pemilihan penanda
molekular harus disesuaikan dengan organisme yang akan diteliti dan jenis DNA yang
akan dianalisis sekuensnya. Penanda molekular dapat digunakan untuk analisis genom
DNA yang terdapat di nukleus, mitokondria, kloroplas, atau plasmid (Semagn et al.
2006).
Menurut Mondini et al. (2009), penggunaan penanda molekular memiliki
kelebihan yakni bersifat aplikatif karena dapat mendeteksi bagian genom baik berupa
intron, ekson, maupun daerah regulasi yang lain; tidak dipengaruhi oleh efek epistatis;
mampu mendeteksi adanya polimorfisme; dan beberapa diantaranya bersifat ko-
dominan yakni mampu mendeteksi alel pada lokus tertentu.
Azrai (2005) menyebutkan bahwa pemanfaatan penanda molekular sebagai alat
bantu seleksi Marker Assisted Selection (MAS) memiliki banyak keuntungan jika
dibandingkan dengan menggunakan seleksi secara fenotipik yang merupakan produk
kumulatif dari genotip dan lingkungan. Seleksi dengan cara menggunakan penanda
39
molekular didasarkan pada sifat genetik saja yang tidak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan.
Untuk mendeteksi adanya marka molekular, berikut adalah beberapa metode
atau teknik yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan jenis marka molekuler
berbasis PCR antara lain:
1. RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphisms)
2. SSRs (Simple Sequence Repeats-SSRs)
3. AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphisms)
4. RAPD (Random Amplified Polymorphisms DNA)
5. STS (Sequence-Tagged Sites)
6. SCAR (Sequence Characterized Amplified Regions)
7. ISSR (Inter-Simple Sequence Repeat)
8. ESTs (Expressed Sequence Tags)
9. CAPs (Cleaved Amplified Polymorphic Sequences)
10. dCAPS (Derived Cleaved Amplified Polymorphic Sequences)
11. MPSS (Massively Parallel Signature Sequencing
kombinasi unik gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen yang terjadi
melalui reproduksi seksual. Proses inilah yang meningkatkan potensi variasi genetik
dengan mengatur ulang alela secara acak sehingga timbul kombinasi yang berbeda-
beda.
Keanekaragaman genetik adalah variasi karakteristik yang ada diwariskan pada
populasi spesies yang sama. Ini melayani peran penting dalam evolusi dengan
memungkinkan spesies untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan untuk melawan
parasit.
Terdapat beberapa cara untuk mengukur keanekaragaman genetika. Sebab-
sebab hilangnya keanekaragaman genetika pada hewan juga telah dikaji dan
diidentifikasi. Kajian tahun 2007 yang dilakukan oleh National Science Foundation
menemukan bahwa keanekaragaman genetik dan keanekaragaman hayati bergantung
satu sama lainnya, bahwa keanekaragaman dalam suatu spesies diperlukan untuk
menjaga keanekaragaman antar spesies.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
41
42
15) Tekan Run – Start - pilih file yang akan dirunning - start now
16) Mesin akan running
17) Close dua kali untuk tampilan proses running dan akan terlihat fase running
18) Jika program telah selesai akan terliha pada screen mesin = Run Complete=
3.3.4 Elektroforesis
1. Gel agarose disiapkan dengan konsentrasi 1% dengan ditimbang bubuk agarose
0,5gr dan gel red 2µm.
2. Gel agarose disiapkan dengan konsentrasi 1% dengan ditimbang bubuk agarose
0,5gr
3. Bubuk agarose dimasukan dalam erlenmeyer dan ditambah 50mL TBE larutan
TBE dipanaskan yang telah dicampur dengan bubuk agarose hingga mendidih
dengan menggunakan microwave selama satu menit. Lalu agarose didinginkan
4. Gel agarose dan sisir disiapkan kemudian agarose dituangkan ke cetakan
agarose. Didiamkan 10 menit hingga beku.
5. Gel agarose yang dibekukan dimasukan di dalam larutan running buffer TBE
secara sub marine.
6. Hasil amplifikasi DNA diisi pada setiap sumur sel agarose dengan 4µl DNA
dan 2µl DNA ladder 1kb ditambah 2µl loading dye.
7. Pastikan seluruh gel agarose terendam sempurna di dalam larutan TBE. Tangki
elektroforesis yang berisi gel agarose dan larutan TBE diberi aliran listrik.
Proses elektroforesis berlangsung 70menit dengan voltage 75.
8. Setelah running selesai, gel agarose diambil dan dimasuk ke dalam mesin UV
transilluminator. Hasil elektroforesis didokumentasi dan dianalisis
3.4 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan suatu metode untuk memisahkan fraksi suatu zat
berdasarkan migrasi partikel bermuatan atau ion-ion makromolekul di bawah pengaruh
medan listrik dengan media gel agarose. Sekuens mtDNA merupakan partikel
bermuatan negatif yang dapat dipisahkan melalui elektroforesis pada gel Agarose. Gel
48
Agarose merupakan campuran dari larutan TBE 1x, bubuk Agarose, dan larutan
ethidium bromida yang kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang berlubang.
Gel Agarose kemudian diletakan pada alat elektroforesis (Bio-Rad) kemudian
tambahkan larutan TBE 50 mL pada alat elektroforesis sampai tanda batas atau sampai
gel tenggelam. Sekuens mtDNA ditambahkan larutan Loading Dye kemudian
dimasukkan ke dalam cetakan sumuran pada gel. Elektroforesis berlangsung selama
kurang lebih 70 menit pada voltase 75.
49
50
binding buffer dan inkubasi selama 10 menit pada suhu 70oC. Tambahkan 100 μL
isopropanol dan dihomogenkan selama 20 detik hingga bagian yang terlarut dan
menggumpal terlihat semakin jelas. Lalu sampel yang terlarut dipisahkan kedalam
collection tube yang telah terdapat high pure filter untuk mendapatkan DNA yang
murni dan di sentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit.
Setelah disentrifugasi untuk mendapatkan DNA yang murni terbebas dari
isopropanol maka ditambahkan inhibitor removal buffer dan kembali di sentrifugasi
selama 1 menit. Hasil dari sentrifugasi terdapat dua bagian yaitu pada collection
tube dan pada high pure filter. Cairan yang ada didalam collection tube dibuang,
hal tersebut diulang sebanyak 3 kali. Masing-masing tube ditambahkan 500 μl Wash
Buffer (mengandung 100% ethanol) kemudian sentrifugasi kembali dengan
kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Pencucian dilakukan sekali lagi dengan Wash
Buffer (mengandung 100% ethanol) seperti sebelumnya sebanyak 3 kali. Wash
buffer berguna untuk membersihkan atau mencuci DNA dari inhibitor. Selanjutnya,
filter tube dilepaskan dari collection tube dan cairan yang melewati filter dibuang.
Filter tube dipasang kembali dengan collection tube dan dilakukan setrifugasi
kembali selama 10 detik dengan kecepatan 12000 rpm diasumsikan agar tidak ada
lagi wash buffer yang tertinggal pada filter.
Tahapan selanjutnya yaitu mengelusi DNA yang terdapat pada filter tube
dengan cara pisahkan collection tube dari filter tube dan pasangkan dengan
microsentrifuge tube yang bersih dan steril. Kemudian ditambahkan 200 μl Elution
Buffer yang sebelumnya telah dihangantkan pada suhu 70oC, lalu disentrifugasi
selama 10 detik dengan kecepatan 13.000 rpm. Elution buffer berfungsi untuk
mengikat DNA-DNA dari sampel yang diperoleh, kemudian disentrifugasi
sehingga DNA tertampung di microtube yang telah dilabeli. Pada microsentrifuge
tube telah mengandung tamplate DNA terpurifikasi dan disimpan pada suhu rendah
untuk dianalisa selanjutnya.
Berbagai metode isolasi DNA yang telah dilakukan dalam berbagai
penelitian memungkinkan kualitas dan kuantitas hasil DNA yang berbeda-beda.
Hasil yang diperoleh tergantung pada jenis metode yang digunakan dan ketelitian
dalam pengerjaan isolasi DNA. Teknik molekuler bervariasi dalam cara
51
pelaksanaan untuk mendapat data, baik tekniknya maupun tingkatan target data
yang diinginkan sesuai kemudahan pelaksanaan, ketersediaan sumber daya
manusia, fasilitas, dan dana.
DNA yang murni harus bebas dari protein dan oligopeptida. Kontaminasi
oleh protein dapat berasal dari komponen sel yang tidak lisis selama proses isolasi
atau berasal dari fenol sebagai bahan yang ditambahkan pada proses isolasi untuk
mempresipitasi DNA (Bellard et al. 1973).
perusakan sel secara fisik dengan cara penggerusan sampel yang sempurna dapat
mempermudah buffer ekstraksi dalam memecah sel. Namun hasil elektroforesis
juga menunjukan hasil yang adanya materi lain yang ikut terisolasi sehingga
mengakibatkan kontaminasi. Terlihat pada gambar bahwa pita DNA genom banyak
yang nampak tipis walaupun ada beberapa yang tebal. Kontaminasi tersebut bisa
disebabkan oleh kontaminan dari udara luar dan protein yang berasal dari
komponen sel yang tidak selama proses isolasi atau berasal dari fenol sebagai bahan
yang ditambahkan pada proses isolasi untuk mempresipitasi DNA (Bellard et al.
1973).
Hasil isolasi yang baik memiliki warna pita yang terang, menandakan pada
proses isolasi tidak terjadi kontaminasi seperti pada sumur C8. Sedangkan pada
sumur C10 memiliki warna yang terang tetapi tidak terlihat adanya pita pada sumur
tersebut, hal ini bisa disebabkan oleh DNA yang terkontaminasi protein yang tidak
terlisis secara sempurna sehingga menyebabkan pita DNA tertutup. Pada tahap
presipitasi protein, lemak dan polisakarida yang masih tersisa dapat dihilangkan
dengan menggunakan garam.
ikan uji. Optimasi komponen PCR dan kondisi thermal cycler akan tergantung pada
ukuran genom, kandungan basa nukleotida G C dari primer DNAN genom, dan
kualitas template (Saunders & Parkes 1999).
ikan uji dengan ukuran yang sama sehingga tidak memiliki variasi (Harris 1995).
Pita polimorfik ditentukan dengan meilhat pita DNA ukuran tertentu yang hanya
ditemukan pada ikan uji. Sedangkan pita monomorfik adalah pita yang timbul pada
beberapa ikan uji. Pita yang teramplifikasi oleh primer OPA-03 dan primer OPA-
06 berkisar antara 3,759-1.938 yang ditampilkan pada tabel.
Tabel 3. Pita Polimorfik dan Monomorfik Ikan Uji
Jarak
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10
Fragmen
1,938
2,1 --*
2,238 -- -- --
2,42 -- --
2,517 -- -- -- -- --
2,674 -- -- -- --
2,78 -- --
2,923 -- -- -- --
2,978 --* --
3,108 -- -- -- -- -- --
3,234 -- --
3,354 -- --
3,478 -- -- --
3,759 --* --
Varisi pada berbagai ikan uji ditunjukan oleh pita polimorfik, sedangkan
kekerabatan antar ikan uji ditunjukan oleh pita monomorfik. Pita polimorfik dan
monomorfik yang muncul pada seluruh sampel uji yaitu sebanyak 15 pita. Ikan koi
yaitu pada kelompok C1 menunjukan jumlah pita polimorfik dan monomorfik yang
tervisualisasi paling banyak yaitu sebanyak 8 pita. Ikan dengan visualisasi pita
paling sedikit yaitu ikan komet (C4) dan ikan koki tidak warna (C10) yaitu
sebanyak 3 pita.
55
Ada DNA ikan yang memvisualisasikan pita polimorfik yaitu ikan koi pada
jarak fragmen 2,978bp, ikan nilem pada jarak fragmen 3,759bp, dan terahir ikan
mas pada jarak fragmen 1,938bp. Hal ini menunjukan adanya variasi pada ikan koi,
ikan nilem, dan ikan mas. Pita polimorfik pada sampel ikan uji memunculkan
karakter morfometrik secara kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan pada warna dan
sifat jinak untuk ditangkap merupakan ciri dari kualitatif, sedangkan bentuk tubuh,
pertumbuhan dan ciri fenotif lainya yaitu ciri kuantitatif. Trijoko dkk. (2013)
mengatakan bahwa sekuens nukleotida yang monomorfik ini kemungkinan
mengekspresikan kemiripan fenotip pada populasi tersebut, kemungkinan fenotip
yang sama ini dapat diketahui dari segi morfologis, anatomis, maupun fisiologis.
C7
C6
C8
C2
C3
C4
C5
C9
C10
didapatkan dari ikan ikan koi dan nilem kelompok 7 dengan ikan nilem kelompok
6 yaitu sebesar 61%.
Nilai kekerabatan ikan yang lebih dari 50% dapat dikategorikan ke dalam
kategori yang tinggi. Artinya kedua ikan tersebut memiliki kesamaan warna, bentuk
tubuh, sirip dan ukuran kepala. Pernyataan itu menurut Mulyadi dkk (2017). Selain
itu, Kekerabatan yang tinggi kecil kemungkinan ikan tersebut memiliki perbedaan
jumlah, bentuk, dan susunan kromosom. Sedangkan nilai presentas yang kecil hal
ini menunjukan bahwa kedua ikan uji tersebut memilki kekerabatan yang jauh
dibandingkan keturunannya, namun secara fenotip kedua ikan uji tersebut dapat
memiliki kesamaan.
Mayr dan Ashlock (1991) berpendapat bahwa umumnya karakter morfologi
menggambarkan sebagian besar dari sifat genotip. Karakter morfologi sering
digunakan untuk melengkapi dan menambah luas karakter lain, untuk lebih
memperjelas sebab-sebab perbedaan pada karakter morfologi, maka perlu
digunakan karakter taksonomi lain seperti molekuler, kromosom, dan filogeni.
Hasil yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya
adalah oleh jumlah kromosom yang ada dalam individu jumlah kromosom dalam
satu set tiap spesies pada keadaan normal. Walaupun jumlah kromosom satu spesies
bisa sama dengan spesies lain. Tetapi berbeda dalam bentuk, ukuran, dan komposisi
gen – gennya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yatim 1991 dalam Sucipto 2012
bahwa jumlah kromosom satu spesies bisa sama dengan spesies lain tetapi berbeda
bentuk, ukuran dan komposisi gennya.
Selain itu, faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya nilai persentase
kekerabatan ikan dipengaruhi oleh habitat. Habitat yang sesuai merupakan syarat
utama bagi ikan Cyprinidae untuk hidup dan berkembang biak. Kelangsungan
hidup jenis ikan Cyprinidae tergantung dari kondisi perairan tempat hidupnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil isolasi DNA menggunakan metode DNA metode Kit Komersial High
Pure PCR Template Preparation menghasilkan fragmen pita yang berbeda-beda
pada setiap sumur. Perbedaan ini terjadi karena penggunaan bahan uji yang
berbeda-beda dan juga perlakuan yang berbeda. Hasil isolasi yang baik memiliki
warna pita yang terang, menandakan pada proses isolasi tidak terjadi kontaminasi
seperti pada sumur C8. Sedangkan pada sumur C10 memiliki warna yang terang
tetapi tidak terlihat adanya pita pada sumur tersebut.
Varisi pada berbagai ikan uji ditunjukan oleh pita polimorfik. sedangkan
kekerabatan antar ikan uji ditunjukan oleh pita monomorfik. Pita polimorfik dan
monomorfik yang muncul pada seluruh sampel uji yaitu sebanyak 15 pita. Ikan koi
yaitu pada kelompok C1 menunjukan jumlah pita polimorfik dan monomorfik yang
tervisualisasi paling banyak yaitu sebanyak 8 pita. Ikan dengan visualisasi pita
paling sedikit yaitu ikan komet (C4) dan ikan koki tidak warna (C10) yaitu
sebanyak 3 pita.
Berdasarkan fenogram hasil analisis UPGMA diketahui bahwa nilai indeks
kesamaan yang tertinggi ditunjukkan oleh ikan koi dengan ikan nilem, yaitu sebesar
46%, yang artinya ikan nilem dan ikan koi memiliki tingkat kekerabatan paling
tinggi. Nilai kekerabatan yang terendah ditunjukkan oleh ikan koki berwarna
dengan ikan koki tidak berwarna, yaitu sebesar 44%.
5.2 Saran
Pada saat melakukan praktikum sebaiknya dilakukan dengan serius dan
berhati-hati karena bahan yang digunakan mudah mengalami kontaminasi dan
kerusakan, sehingga dapat merusak hasil yang didapat.
58
DAFTAR PUSTAKA
Amri dan Khairuman. 2003. Budidaya Ikan Nila Secara Intensif. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Amri, K., dan Khairuman. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi. Agro
Media Pustaka. Jakarta.
Birren, B., E.D. Green, S. Klapholz, R.M. Myers, & J. Roskams. 1997. “Genome
Analysis. A Laboratory manual”. Volume 1. Cold Spring Harbour
Laboratory Press. New York. Halaman 621.
59
60
Corkill, G., Rapley, R. 2008. The Manipulation of Nucleic Acids: Basic Tools
&Techiques in Molecular Biomethods Handbook Second Edition. Ed:
Walker, J.M., Rapley, R. Humana Press, NJ, USA.
Erlich, H.A. 1989. PCR technology: Principles and Applications for DNA
Amplifications Using a Pseudo-Testcross: Mapping Strategy and RAPD
Markers. Genetics 137, 1121-1137. Stockton Press, NY.
Holme, D. J., and P. Hazel. 1998. E-book: Analytical Biochemistry Third Edition.
Pearson Education. England.
Karp, G.2008. Cell and molecular biology, conceps and experiment. New Jersey:
John Wiley & Son, Inc.
Khanna DR, Yadav PR. 2004. Biology of Fishes. New delhi: Discovery
Publishing House.
Klug, W. S. & M. R. Cummings. 1994. Concepts of genetics. 4th ed. Prentice Hall,
Englewood cliffs: xvi + 779 hlm.
Lingga, P., & Susanto, H. 2003. Ikan Hias Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya.
Lodhi, M, A., G.N.YE, N.F. Weeden, and B.I. Reisch. 1994. Asimple and efficient
method for DNA extraction from grapevine cultivars, Vitisspecies and
Ampelopsis. Plant Molecular Biology Reporter.12(1):6-1.3
Lubert, Styer. 2000. Biokomia. Vol I. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
McMillan, W.O., & S.R. Palumbi. 1997. Rapid rate of control-region evolution in
Pacific butterflyfishes (Chaetodontidae). Journal of Molecular Evolution.
45:473–484.
Mondini, L.; Noorani, A.; Pagnotta, M.A.2009. Assessing Plant Genetic Diversity
by Molecular Tools. Diversity, 1, 19-35.
Moyo M, Amoo SO, Bairu MW, Finnie JF, & Staden J.V. 2008. Optimising DNA
isolation for medicinal plants. South African Journal of Botany 74:771-775.
Mulyadi, G.K., Ibnu, D.B., & Ujang, S. 2017. Analisis Kekerabatan Genetik Hibrid
Ikan Nilem (Osteochilus hasselti) dan Ikan Mas (Cyprinus carprio L)
Mengunakan PCR-RAPD. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol. VIII No. 1
(42-47).
62
Nuryanto, A. 2001. Morfologi, Kariotip dan Pola Protein Ikan Nilem (Osteochilus
sp.) dari Sungai Cikawung dan Kolam Budidaya Kabupaten Cilacap. Tesis.
Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Porebski, S.L., Bailey, L.G., and Baum, B.R. 1997. Modification of CTAB DNA
extraction protocol for plants containing high polysaccharide and
polyphenol components. J. Plant Moleculer Biology Reporter 15(1): 8-15.
Purwanto. 2011. Keragaan Ikan Nila Best (Oreochromis niloticus) Hasil Seleksi
di Karamba Jaring Apung Danau Lido, Bogor. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Saanin, H. 1986. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Jakarta. Hal
520.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.
Saiki, R.K., Gelfand, D.H., Stoffel, S., Schar, S., Higushi, R., Horn, G.T., Mullis,
K.B., and Erlich H.A. 1988. Primer-direct Enzymatic Amplification of
DNA with a Thermostable DNA Polymerase. Science. 239: 487-491.
Sambrook, J., & Russel. 2001. Molecular Cloning-A Laboratory Manual. New
York: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Susanto, Heru. 2009. Pertanian dan Lingkungan Hidup. Jakarta : Penebar Swadaya.
Sarbahi DS. 1951. Studies Of The Digestive Tracts And The Digestive Enz ymes
Of The Goldfish, Carassius Auratus (Linnaeus) And The Largemouth
Black Bass, Micropterus Salmoides (Lacepede). Biological Bulletin
100:224-257.
Sargent, J. R. dan S. G. George. 1975. Methods in Zone Electrophoresis BDH
Chemical LTD. Poole England: 219 pp.
Saunders, G.C. and Parkes, H.C. 1999. Analytical Molecular Biology Quality and
Validation. Cambridge UK 29 – 80.
Susanto, H. dan Rochdianto, A. 2007. Kiat Budidaya Ikan Mas di Lahan Kritis.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Titrawani. 1996. Biodiversiti Kodok Genus Rana Ditijau dari Morfologi, Kariotip
dan Pola Protein di Kodya Sawahlunto. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor: 76.
Watson A, Craig H, Pouder EJ and Debora B. 2004. Species Profile: Koi and
Goldfish. SRAC Publication.
Yanong RPE. 2003. Necropsy Technique for Fish. Seminars in Avian and Exotic
Pet Medicine. Elsevier Inc; 12: 89-105.
Lampiran 1. Alat
Autoclave
Botol Scott
Coolbox Corong
Gunting Freezer
Jerigen Kuvet
Mikrotube Parafilm
67
Timer
Tanki Elektroforesis
68
Sisir Microwave
Waterbath Spektrofotometer
Centrifuge Vortex
69
Lampiran 2. Bahan
Alkohol 96%
71
Persiapan Sampel
Bagian sirip ikan yang diamati diambil sebagai sampel, kemudian bagian sirip
dipotong menggunakan gunting bedah
Jika sampel akan digunakan beberapa hari kemudian, sampel sirip dapat
disimpan dengan direndam pada larutan preservasi ( alcohol : gloserol = {4:1} )
Isolasi sampel
Sebelum memulai kegiatan, buffer dipanaskan menggunakan waterbath pada
suhu 70˚C, kemudian waterbath disiapkan pada suhu 55˚C untuk tahap
selanjutnya
200 ml poling buffer ditambah kedalam sampel lalu diinkubasi selama 10 menit
pada suhu 70˚C
High pute filter tube dimasukan pada collection tube, lalu cairan sampel
dipindahkan ke atas filter tube.
200 ml buffer yang sudah disimpan di waterbant pada suhu 70˚C ditambah ke
dalam microsentrifuge 1,5 ml yang baru
Prosedur PCR
Go taq green master mix, NFW, primer RAPD (OPA-02 &OPA 03) serta DNA
templete dimasukan dalam tube
Sampel memasuki tahap final extention pada suhu 72˚C selama 10 menit.
Sampel yang sudah siap dimasukkan dalam mesin thermal sucker yang sudah
diatur suhu dan waktu. (4˚C dalam 1 siklus).
75
Prosedur Elektroforesis
Bubuk agarose dimasukan dalam erlenmeyer dan ditambah 50mL TBE larutan
TBE dipanaskan yang telah dicampur dengan bubuk agarose hingga mendidih
dengan menggunakan microwave selama satu menit. Lalu agarose didinginkan
Gel agarose yang dibekukan dimasukan di dalam larutan running buffer TBE
secara sub marine.
Hasil amplifikasi DNA diisi pada setiap sumur sel agarose dengan 4µl DNA
dan 2µl DNA ladder 1kb ditambah 2µl loading dye.
Pastikan seluruh gel agarose terendam sempurna di dalam larutan TBE. Tangki
elektroforesis yang berisi gel agarose dan larutan TBE diberi aliran listrik.
Proses elektroforesis berlangsung 70menit dengan voltage 75.
Setelah running selesai, gel agarose diambil dan dimasuk ke dalam mesin UV
transilluminator. Hasil elektroforesis didokumentasi dan dianalisis
76
1) Isolasi DNA
2) PCR
Bubu agarose dan TAE dicampur Bagian atas botol scott ditutup dan
dalam botol scott dilubangi
Matriks Biner
JARAK C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0
3 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0
4 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0
5 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0
6 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0
7 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0
8 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1
9 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 1 1 1 1 0 1 1 0 0 0
11 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0
12 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1
13 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1
14 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0