Anda di halaman 1dari 4

HELICOBACTER PYLORI

I. Patogenesis

Reaksi tubuh terhadap infeksi H. Pylori pada wanita hamil, dapat berupa
kerusakan langsung pada mukosa lambung yang disebabkan oleh perubahan
dalam pH lambung atau melewati reaksi immunologik. Manifestasi infeksi H.
pylori bisa merupakan akibat dari perubahan pH lambung karena peningkatan
akumulasi cairan yang disebabkan peningkatan hormon steroid pada wanita
hamil. Perubahan pH pada saluran pencernaan diduga dapat menyebabkan
manifestasi infeksi subklinis H. pylori yang menimbulkan gejala gastrointestinal.

Lambung merupakan sebuah organ yang berisi cairan asam, yang


menyebabkan sebagian besar mikroorganisme tidak mampu berkolonisasi di
sini. Namun penelitian membuktikan bahwa masih cukup banyak spesies bakteri
yang dapat memanfaatkan lambung sebagai tempat tinggal mereka. Salah satu di
antaranya adalah kuman H. pylori. H. pylori mempunyai sifat khusus, tinggal di
bawah lapisan mukus di permukaan epitel atau di mukosa lambung. Bakteri H.
pylori ini mempunyai mekanisme resistensi asam, khususnya urease yang akan
menguraikan urea menjadi karbon dioksida dan ammonia. Ammonia dapat
menetralisir asam hidroklorida dan dengan netralisasi asam di lambung maka
bakteri dapat mencapai epitel gaster. Infeksi H. pylori membutuhkan interaksi
yang kompleks dari faktor bakteri dan host. Beberapa peneliti mengidentifikasi
protein bakteri yang diperlukan untuk kolonisasi H. pylori pada mukosa
lambung, termasuk protein yang aktif dalam pengangkutan organisme ke
permukaan mukosa (misalnya, flagellin, yang disandikan pada gen flaA dan flaB).

Begitu berada di dalam mukosa lambung, bakteri memicu


hypochlorhydria dengan mekanisme yang tidak diketahui. Enzym urease yang
dihasilkan bakteri mengubah lingkungan untuk mempermudah kolonisasi.
Kemudian terjadi perlekatan melalui interaksi antara glycolipid permukaan sel
dan adhesin yang spesifik terhadap H. pylori. Juga ada peranan protein yang
disebut cecropin, yang dihasilkan H. pylori sehingga menghambat pertumbuhan
organisme pesaing, dan juga oleh adenosinetriphosphatase tipe P yang
membantu mencegah alkalinisasi berlebihan. Begitu melekat pada mukosa
lambung, H. pylori menyebabkan cedera jaringan dengan rangkaian kejadian
yang kompleks yang tergantung pada organisme dan host. H. pylori, seperti
halnya semua bakteri Gram negatif, mempunyai lipopolisakarida di dalam
dinding selnya, yang bertindak merusak keutuhan mukosa. Lebih jauh lagi, H.
pylori melepaskan beberapa protein patologi yang memicu cedera sel. Sebagai
contoh misalnya, protein CagA, yang dihasilkan cytotoxic-associated gene A
(cagA), adalah protein yang sangat immunogenik, elain itu, produk protein
vacuolating cytotoxin A gene (vacA) yang kontak dengan epithelium diketahui
terkait dengan cedera mukosa.
Perubahan kekebalan humoral selama hamil juga bisa menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi H. pylori pada kehamilan. Begitu
kolonisasi mukosa lambung terjadi, sifat-sifat immunogenik dari H. pylori
memicu reaksi inflamasi yang menyebabkan manifestasi klinik dari infeksi.
Proses ini diperantarai oleh faktor host, termasuk IL- 1, 2, 6, 8 dan 12, interferon
gamma, TNF-α, limfosit T dan B serta sel-sel fagositik. Faktor ini mengantarai
cedera melalui pelepasan spesies oksigen reaktif dan cytokin inflamasi.

II. Manifestasi Klinis

Tidak didapati gejala klinis spesifik pada infeksi H. pylori. Pasien dapat
mengeluhkan dispepsia, mual dan perasaan tidak nyaman dengan berbagai
keluhan saluran cerna bahkan sebagian besar orang tetap asimptomatik. Pada
dasarnya semua orang dengan kolonisasi H. pylori mengalami inflamasi pada
lambung dan pada individu tersebut akan berkembang jadi penyakit seperti
gastritis, ulkus peptikum, dyspepsia nonulcer, Gastroesophageal Reflux Disease,
adenokarsinoma atau limfoma.
III. Terapi

TERAPI LINI PERTAMA

Standar pengobatan triple terapi terdiri dari 7-10 hari rejimen


pengobatan dengan PPI (dosis standar , dua kali sehari), amoksisilin (1 g, dua
kali sehari ), dan klaritromisin (500 mg,dua kali sehari ). Pada dekade terakhir
efektivitas standar terapi 7 hari berdasarkan terapi PPI triple terapi (PPI +
klaritromisin + amoxicillin atau metronidazole) menurun menjadi tingkat
rendah dan sering tidak dapat dipakai karena peningkatan prevalensi resistensi
klaritromisin Resistensi klaritromisin penyebab utama kegagalan eradikasi pada
terapi standar triple terapi .

Terapi sekuensial terdiri dari program lima hari pemberian PPI dan
amoksisilin 1 g dilakukan dua kali sehari, diikuti oleh program lima hari dari PPI,
klaritromisin 500 mg, dan metronidazole 500 mg atau tinidazol 500 mg
dilakukan dua kali sehari. 10 hari. Terapi dengan standar sekuensial ini telah
menunjukkan efektivitas yang tinggi di lini pertama pengobatan HP tingkat
efikasi lebih unggul sekitar 90%. Terapi sekuensial merupakan rejimen yang
paling banyak dipelajari di Italia dan efikasi yang tinggi ini juga dikonfirmasi
dalam praktek klinis.

Terapi bersamaan (concomitant therapy ) adalah regimen baru yang lain


dan terbukti sukses.Rejimen 4-obat ini termasuk PPI (standar dosis, dua bkalin
sehari ), klaritromisin (500 mg, dua kali sehari ), amoksisilin (1 g, dua kali sehari
), dan metronidazol (500 mg, dua kali sehari), yang semuanya dp 10diberikan
untuk seluruh durasi terapi. Terapi ini unggul dibanding terapi standar triple
terapi untuk eradikasi H. pylori dan juga kurang kompleks daripada terapi
sekuensial.

TERAPI LINI KEDUA

Pedoman Eropa saat ini merekomendasikan sebagai pengobatan lini


kedua baik teraphy quadruple dengan bismuth atau 10 hari triple therapy dengan
levofloxacin . Sebuah meta-analisa baru-baru ini, termasuk yang dilakukan di
Italia, mendukung penggunaan 10 hari triple terapi dengan levofloxacin sebagai
terapi lini kedua sederhana untuk pemberantasan HP . Meta- analisis
menunjukkan bahwa triple terapi dengan PPI + levofloxacin + amoksisilin tidak
kalah dalam hal khasiat dengan quadruple terapi dengan bismuth, dan
memberikan tingkat kesembuhan 88%. Di sisi lain, kejadian efek samping lebih
rendah dengan triple terapi levofloxacin dibandingkan dengan terapi dengan
quadruple bismuth.
Ketika mempertimbangkan mengenai dosis levofloxacin, analisis sub-
kelompok tidak ada menunjukkan perbedaaan ketidakefektifan yang signifikan
antara 500 mg (baik sekali sehari atau 250 mg dua kali sehari) dan 1000 mg
(500 mg dua kali sehari) rejimen, sehingga regimen dengan dosis rendah lebih
disukai. Dua rejimen berbeda yang memakai levofloxacin, yaitu sekuensial 10
hari dan concomitant 5 hari, memiliki keduanya menunjukkan tingkat eradikasi
yang tinggi dalam wilayah Southern Italy . Apakah rejimen ini dapat mewakili
triple terapi alternative pada yang mempunyai levofloxacin perlu dikonfirmasi.
Namun baru-baru ini , peningkatan prevalensi resistensi levofloxacin dilaporkan
di Italia dan ini dapat mempengaruhi kemanjuran rejimen berbasis levofloxacin.

Anda mungkin juga menyukai