Anda di halaman 1dari 1

Meng-Edo Tensei Warisan Pendidikan

Setelah pelajaran Bahasa Indonesia, saya merasa butuh penjelasan, lebih tepatnya definisi tentang
Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Zaman karena penjelasan dari guru harus terhenti oleh
bel sekolah. Saya harus menunggu minggu depan atau menanyakan langsung pada guru? Saya
memilih menunda pertanyaan untuk kelanjutan cerita dari guru dengan maksud bisa bebas
menyusun argumen pendidikan karakter yang lebih rasional dan mudah dimengerti, sesuai dengan
kebutuhan lalu mencoba menyusun sendiri pemaknaan itu semampu saya.

Dari penjelasan yang saya dapat, baik artikel maupun esai, berbagai tokoh nasional memberikan
bermacam pendidikan karakter yang beda dari penanaman nilai religi, kejujuran, toleransi, disiplin,
kreatif, demokratis, semangat kebangsaan, cinta damai hingga nilai karakter tentang kepedulian
terhadap lingkungan. Bahkan, di antara mereka bergelar sebagai Guru Bangsa walaupun sebenarnya
saya lebih setuju bahwa guru bangsa tidak harus bekerja mengajar di kelas, memimpin sekolah, atau
menjadi rektor universitas karena gelar tersebut bersifat sangat luas, lebih tepatnya mereka bekerja
di universitas kehidupan. Salah satu guru bangsa kita yang sekaligus tokoh nasional dan pelopor
pendidikan di Indonesia adalah Ki Hajar Dewantara atau RM Suwardi Suryaningrat.

Beliau memberi warisan yang lebih tinggi nilainya daripada harta yang paling berharga. Cara beliau
memperjuangkan nasib rakyat melalui pendidikan wajib kita hargai dan kita terapkan untuk
melanjutkan cita-cita pendidikan Indonesia yang lebih tinggi. Beliau harus mengubah namanya yang
sebelumnya bernama RM Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara agar rakyat pribumi
mau menerimanya. Beliau mengutamakan asas keberterimaan dahulu sebelum asas keilmuan.
Beliau memperhatikan aspek kebudayaan lebih tepat untuk diterapkan daripada aspek lainnya. Ki
Hajar Dewantara. Ditambahi sendiri tentang Ki HajarDewantara..... 2-3 Paragraf

Apa yang bisa kita lakukan tentang warisan ini? Akankah kita melanjutkannya? Kalau mengerti, kita
pasti sudah mengerti tentang warisan ini, tetapi apakah kita memahaminya? Mengerti berbeda
dengan memahami. Jika warisan Ki Hajar Dewantara ini tak sanggup menjawab tantangan bangsa,
saya yakin ada yang salah dengan penerapannya. Banyak orang yang cinta negeri ini rela
menyumbang dana, tenaga, pikiran, atau doa. Di tangan kitalah nasib negeri ini dipertaruhkan.
Pintar akademis saja tidak cukup. Kita harus melengkapi dengan warisan Ki Hajar Dewantara dan
para guru bangsa lainnya. Warisan beliau seperti jurus yang sudah mati. Akan tetapi, hal itu dapat
dihidupkan kembali. Bila tidak ada sosok yang menghidupkannya, di antarakita pasti akan ada yang
menghidupkannya atau minimal kita menjadi pewaris yang gigih meng-edo tensei jurus tersebut.

Anda mungkin juga menyukai