Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 TUJUAN PERCOBAAN

1. Mengetahui cara kerja PCT 40 level control


2. Mengetahui pengaruh gangguan terhadap sensitivitas dan stabilitas
3. Mengetahui pengaruh perintah pengendalian Proportional Band terhadap
sensitivitas dan stabilitas
4. Mengetahui pengaruh perintah P, PI, dan PID pada pneumatic valve
5. Membandingkan PSV dan Pneumatic valve

1.2 DASAR TEORI


1.2.1. Diagram Blok Level Kontrol
Diagram blok lengkap sistem pengendalian proses digambarkan sebagai
berikut: W-
r+ e U M+ C
GC GV GP

y-

Keterangan Gambar :

 r : nilai acuan atau set point value (100 mm)


 e : sinyal galat (error) dengan e = r – y
 y : sinyal pengukuran
 U : sinyal kendali
 M : variable termanipulasi (laju alir masuk)
 W : gangguan (laju alir keluar)
 C : variable proses (level dalam tangki)
 GC : pengendali (PC)
 GV : katub kendali (SOL 1/PSV/pneumatic)
 GP : system proses (Tangki)
 H : Float switch sensor dan differential level sensor

Diagram blok ini menunjukkan proses pengendalian level menggunakan PCT-


40. Langkah pengendalian level dimulai dari mengukur atau mengamati nilai variabel
proses yakni dengan sensor, dimana fluida yang masuk akan terbaca oleh sensor
(Floating switch atau differential switch) kemudian sinyal yang dihasilkan oleh
sensor akan terbaca transmiter dan diubah menjadi sinyal standar. Sinyal pengukuran
yang dihasilkan oleh transmiter akan dibandingkan dengan setpoint yaitu ketinggian
level. Dari hasil perbandingan antara sinyal pengukuran dan setpoint akan dihasilkan
error yakni selisih antara setpoint dengan variabel proses dengan menggunakan PC.
Selain membandingkan nilai setpoint dengan variabel proses, PC juga
bertindak sebagai pengevaluasi dalam sistem untuk menentukan langkah selanjutnya
atas error yang terjadi. Lalu melakukan koreksi variabel proses agar perbedaan antara
nilai terukur dan nilai acuan tidak ada atau sekecil mungkin, tahap ini menggunkaan
final element control berupa control valve (SOL/PSV/pneumatic). Variabel yang
dgunakan untuk melakukan koreksi atau mengendalikan variabel proses adalah
variabel termanipulasi (variable manipulated) yaitu laju alir masuk. Dalam proses
pengendalian ini terdapat gangguan yang terukur (Measured Disturbance) yakni laju
alir keluar. Proses berjalan dalam sistem yakni dalam tangki kemudian diperoleh PV
berupa level dalam tangki.

1.2.2 Karakteristik Pengendalian On/off


Pengendalian on /off hanya bekerja pada dua posisi, yaitu posisi “on” dan
posisi “off”. Jika unit kendali akhir berupa control valve, kerja valve hanya terbuka
penuh atau tertutup penuh. Pada system pengendalian on-off control valve tidak akan
pernah bekerja didaerah antara 0 sampai 100%. Karena kerjanya yang on-off, hasil
pengendalian pengendali on-off akan menyebabkan proses variable yang
bergelombang, tidak pernah konstan. Perubahan proses variable akan seirama dengan
perubahan posisi final control element. Besar kecinya fluktuasi proses variable
ditentukan oleh titik dimana controller “on” dan titik dimana “off”. Kerja penendalian
on-off banyak dipakai di system pengendalian yang sederhana karena harganya yang
relatif murah.
 Keuntungan Pengendalian On/Off
- Pengendalian on/off mudah untuk dirancang dan dipahami
- Pengendalian on/off tergolong murah
- Berguna pada system yang berjalan lambat
 Kerugian Pengendalian On/Off
- Terbuka hanya 100% dan tertutup 100% saat pembacaan yang mendekati
setpoint sehingga dapat mengakibatkan besarnya nilai overshoot
- Bekerja buruk saat mengendalikan fluktasi system yang cepat
1.2.3 Mekanisme Kerja Solenoid Valve

Gambar 1. Mekanisme Kerja Solenoid Valve


Solenoid valve adalah katup yang digerakkan oleh energy listrik, mempunyai
komponen sebagai penggerak yang berfungsi untuk menggerakkan piston yang dapat
digerakan oleh arus AC atau DC, solenoid valve mempunyai lubang keluar, masuk
dan exhaust yang berfungsi sebagai saluran untuk mengeluarkan cairan yang terjebak
saat piston bergerak, atau berpindah posisi ketika solenoid valve bekerja.
Berdasarkan gambar 1., solenoid valve akan bekerja bila kumparan/coil
mendapatkan tegangan arus listrik yang sesuai dengan tegangan kerja (kebanyakan
tegangan kerja solenoid valve adalah 100/200 VAC dan kebanyakan tegangan kerja
pada tegangan DC adalah 12/24 VDC). Dan sebuah pin akan tertarik karena gaya
magnet yang dihasilkan dari kumparan selenoida tersebut. Dan saat pin tersebut
ditarik naik maka fluida akan mengalir dari ruang C menuju ke bagian D dengan
cepat. Sehingga tekanan di ruang C turun dan tekanan fluida yang masuk mengangkat
diafragma. Sehingga katup utama terbuka dan fluida mengalir langsung dari A ke F.
 Keuntungan Solenoid Valve
- Beroperasi dengan cepat
- Memiliki keandalan yang tinggi
- Jangka kerja/waktu yang panjang
 Kerugian Solenoid Valve
- Desain control harus tetap aktif saat operasi

1.2.4 Mekanisme Float Level Sensor dan Differential Level Sensor


1. Floating Switch Level
Sensor ini bekerja berdasarkan pelampung yang terdapat dalam tangki.
Cara kerjanya adalah pada saat sistem membuka (SOL 1=1), maka ketinggian
(level) air dalam tangki akan bertambah. Jika ketinggian air telah mengenai
pelampung yang menyebabkan pelampung tersebut tenggelam hingga batas
tertentu maka sistem dengan sendirinya akan mati dan SOL akan menutup
(SOL 1=0) sebagai nilai ofset atas begitupun sebaliknya jika fluida dalam
tangki berkurang dan membuat pelampung tersebut turun hingga batasan
tertentu maka sistem akan membuka kembali (SOL 1=1).
Sensor ini bekerja dengan sistem ON-OFF (buka-tutup), dimana Set
Point akan sama dengan ofset bawah yaitu pada saat sistem membuka (SOL
1=1). Pada saat sistem menutup maka sensor ini akan bekerja secara buka-
tutup untuk menstabilkan ketinggian air yang ada dalam tangki. Sensor
floating switch ini merupakan jenis sensor yang paling sederhana dari sensor
level namun memiliki offset dan respon yang paling cepat dibanding sensor
level yang ada pada alat PCT 40.

Gambar 2. Floating Switch Sensor


2. Differential Level
Sensor ini bekerja dengan membedakan batas atas dan batas bawah.
Cara kerja dari sensor ini adalah elektroda negatif dipasang lebih rendah dari
elektroda positif sehingga jika fluida diisi kedalam tangki maka elektroda
negatif akan tersentuh fluida tersebut lebih dulu dan membuat larutan
memiliki muatan listrik dan ketika larutan menyentuh elektroda positif maka
sistem akan mati dengan sendirinya. Sensor ini memiliki ofset yang lebih
kecil dari pressure control dan respon yang lebih cepat namun sangat
berbahaya untuk cairan yang mudah terbakar karena sensor ini bekerja dengan
adanya loncatan elektron
Batas bawah pada sensor ini berfungsi sebagai emergency switch,
yaitu seandainya jika sistem membuka hingga air mencapai batas atas, namun
selenoid tidak bekerja maka selambat-lambatnya pada batas bawah selenoid
harus bekerja sebelum ditinggalkan oleh cairan (air). Sensor jenis ini juga
bekerja dengan sistem ON-OFF, dimana nilai Set Point akan sama dengan
ofset bawah (SOL 1=1)

Gambar 3. Differential Level Sensor

3. Keuntungan dan Kerugian Floating Switch Level dan Differential Level


Pada sensor floating switch merupakan jenis sensor yang paling
sederhana dari sensor level namun memiliki offset cukup besar dan respon
yang paling cepat sedangkan sensor differential level memiliki offset yang
kecil dan respon yang lebih cepat namun sangat berbahaya untuk cairan yang
mudah terbakar karena sensor ini bekerja dengan adanya loncatan electron.
1.2.5 Manfaat Level Kontrol Di Industri
Variable yang sangat penting yang harus diukur dan dikontrol adalah Level air
dalam “Steam Drum“, supaya Boiler ini bekerja secara aman dan efisien, dan
menghasilkan laju uap yang terus menerus, maka kita haris menjaga supaya Steam
drum levelnya tidak terlalu rendah ataupun terlalu tinggi. Jika tidak ada air yang
cukup dalam steam drum maka “Water Tube” akan kering dan terbakar karena panas
dari api, dan jika terlalu banyak air maka uap yang dihasilkan tidak akan kering
sehingga akan bermasalah pada hilirnya.

Gambar 4. Komponen Dasar Dari Water Level Control Sistem

1.2.6. Karakter Pengendalian P,PI,PID

1.2.6.1. Pengendali Proportional

Pengendalian proporsional merupakan jenis paling sederhana dalam


pengendalian kotinyu. Meskipun demikian pengendalian ini menjadi dasar
pengendalian lain. Dengan hanya proporsional, maka keluaran pengendali (setara
dengan posisi elemen kendali akhir) sebanding atau proporsinal dengan besar nilai
pengukuran. Pada moda proporsional, nilai keluaran pengendali tidak tergantung pada
nilai pengukuran sebelumnya. Demikian juga, nilai keluaran pengendali tidak
tergantung pada kecepatan perubahan pengukuran. Satu-satunya problem
pengendalian proporsional adalah selalu menghasilkan galat sisa (residual error,
steady-state error, atau offset) yang disebabkan perubahan beban atau setpoint.
Dengan perubahan beban, diperlukan nilai sinyal kendali yang berbeda. Nilai sinyal
kendali baru diperoleh jika ada penambahan atau pengurangan dari nilai bias (sinyal
kendali saat tidak ada error). Ini dilakukan dengan menambahkan atau mengurangkan
dengan kelipatan nilai offset.

Gambar 5. Tanggapan variabel proses (PV) pada perubahan setpoint

Offset pada pengendalian proporsional dapat diperkecil dengan memperkecil


proportional band, PB. Semakin kecil nilai proportional band pengendali semakin
peka (tanggapan semakin cepat), offset yang terjadi semakin kecil, tetapi sistem
cenderung tidak stabil (terjadi osilasi). Sebaliknya, dengan proportional band yang
besar sistem menjadi stabil tetapi pengendali tidak peka (lambat) dan offset besar

1.2.6.2. Pengendali Proporsional Integral


Pengontrol Integral berfungsi menghasilkan respon sistem yang memiliki kesalahan
keadaan mantap nol (Error Steady State = 0 ). Jika sebuah pengontrol tidak memiliki
unsur integrator, pengontrol proporsional tidak mampu menjamin keluaran sistem
dengan kesalahan keadaan mantapnya nol. Jika e(T) mendekati nol maka efek kontrol
I ini semakin kecil. Kontrol I dapat memperbaiki sekaligus menghilangkan respon
steady-state, namun pemilihan control integral yang tidak tepat dapat menyebabkan
respon transien yang tinggi sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem.
Pemilihan control yang sangat tinggi justru dapat menyebabkan output berosilasi
karena menambah orde system.

Keluaran pengontrol ini merupakan hasil penjumlahan yang terus menerus


dari perubahan masukannya. Jika sinyal kesalahan tidak mengalami perubahan, maka
keluaran akan menjaga keadaan seperti sebelum terjadinya perubahan masukan.
Sinyal keluaran pengontrol integral merupakan luas bidang yang dibentuk oleh kurva
kesalahan / error.

Konstanta integral yang berharga besar akan mempercepat hilangnya offset.


Tetapi semakin besar nilai konstanta integral akan mengakibatkan peningkatan osilasi
dari sinyal keluaran pengontrol.

1.2.6.3. Pengendalian Proporsional Integral Derivativ (PID)

Keluaran pengontrol diferensial memiliki sifat seperti halnya suatu operasi


derivatif. Perubahan yang mendadak pada masukan pengontrol akan mengakibatkan
perubahan yang sangat besar dan cepat. Ketika masukannya tidak mengalami
perubahan, keluaran pengontrol juga tidak mengalami perubahan, sedangkan apabila
sinyal masukan berubah mendadak dan menaik (berbentuk fungsi step), keluaran
menghasilkan sinyal berbentuk impuls. Jika sinyal masukan berubah naik secara
perlahan (fungsi ramp), keluarannya justru merupakan fungsi step yang besar
magnitudenya sangat dipengaruhi oleh kecepatan naik dari fungsi ramp dan factor
konstanta derivatif.
Dari persamaan di atas, nampak bahwa sifat dari kontrol derivatif ini dalam
konteks “kecepatan” atau rate dari error. Dengan sifat ini ia dapat digunakan untuk
memperbaiki respon transien dengan memprediksi error yang akan terjadi. Kontrol
Derivative hanya berubah saat ada perubahan error sehingga saat error statis kontrol
ini tidak akan bereaksi, hal ini pula yang menyebabkan kontroler Derivative tidak
dapat dipakai sendiri

Efek dari setiap pengontrol Proporsional, Integral dan Derivatif pada sistem lup
tertutup disimpulkan pada table berikut ini :

Setiap kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pengontrol P, I dan D


dapat saling menutupi dengan menggabungkan ketiganya secara paralel menjadi
pengontrol proporsional plus integral plus diferensial (pengontrol PID). Elemen-
elemen pengontrol P, I dan D masing-masing secara keseluruhan bertujuan :

1. mempercepat reaksi sebuah sistem mencapai set point-nya


2. menghilangkan offset menghasilkan perubahan awal yang besar dan
mengurangi overshoot
1.2.6.4. Proportional Level Sensor
Sensor Level Menggunakan Tekanan Untuk mengukur level cairan dapat pula
dilakukan menggunakan sensor tekanan yang dipasang di bagian dasar dari tabung.
Cara ini cukup praktis, akan tetapi ketelitiannya sangat tergantung dari berat jenis dan
suhu cairan sehingga kemungkinan kesalahan pembacaan cukup besar. Sedikit
modifikasi dari cara diatas adalah dengan cara mencelupkan pipa berisi udara
kedalam cairan. Tekanan udara didalam tabung diukur menggunakan sensor tekanan,
cara ini memanfaatkan hukum Pascal. Kesalahan akibat perubahan berat jenis cairan
dan suhu tetap tidak dapat diatasi.

Gambar 6. Sensor Level Menggunakan Sensor Tekanan

1.2.7. Pneumatic Valve


Pneumatik adalah sebuah sistem penggerak yang menggunakan tekanan udara
sebagai tenaga penggeraknya. Cara kerja Pneumatik sama saja dengan hidrolik yang
membedakannya hanyalah tenaga penggeraknya. Jika pneumatik menggunakan udara
sebagai tenaga penggeraknya, dan sedangkan hidrolik menggunakan cairan oli
sebagai tenaga penggeraknya.
Komponen dalam system pneumatic :
1) Regulator dan Gauge
Kedua alat tersebut menjadi komponen wajib di setiap sistem pneumatik.
Regulator adalah komponen yang berfungsi untuk mengatur supply udara
terkompresi masuk ke sisptem pneumatik. Sedangkan gauge berfungsi sebagai
penunjuk besar tekanan udara di dalam sistem. Keduanya dapat berupa sistem
mekanis maupun elektrik.
Gambar 7. Regulator dan Gauge pada Sistem Pneumatik

2) Check Valve
Check Valve adalah valve atau katup yang berfungsi untuk mencegah adanya
aliran balik dari fluida kerja, dalam hal ini udara terkompresi. Terutama
adalah apabila pada sebuah sistem pneumatik tersebut dipergunakan tanki
akumulator udara, sehingga Check Valve tersebut mencegah adanya udara dari
akumulator untuk kembali menuju kompresor namun tetap mengalirkan udara
bertekanan dari kompresor untuk masuk ke dalam akumulator.
3) I/P Controller
Pada aktuator pneumatik yang kerjanya dapat bermodulasi diperlukan satu
alat kontrol supply udara bertekanan yang khusus bernama I/P Controller. I/P
Controller ini mengubah perintah kontrol dari sistem kontrol yang berupa
sinyal arus, menjadi besar tekanan udara yang harus disupply ke aktuator.

Gambar 8. Pneumatik I/P Controller


4) Aktuator
Pneumatik aktuator adalah alat yang melakukan kerja pada sistem pneumatik.
Ada berbagai macam jenis pneumatik aktuator sesuai dengan penggunaannya.
Antara lain adalah silinder pneumatik, diafragma aktuator, serta pneumatik
motor.

Gambar 9. Diafragma Aktuator

1.2.7.1 Mekanisme Kerja Pneumatik Valve


Cara kerja system pneumatic adalah Kompressor diaktifkan dengan cara
menghidupkan penggerak awal umumnya motor listrik. Udara akan terhisap oleh
kompresor kemudian ditekan ke dalam tangki udara hingga mencapai tekanan
beberapa bar. Untuk menyalurkan udara bertekanan ke seluruh sistem (sirkuit
pneumatik) diperlukan unit pelayanan atau service unit yang terdiri dari penyaring
(filter), katup kran (shut off valve) dan pengatur tekanan (regulator).

Service unit ini diperlukan karena udara bertekanan yang diperlukan di dalam
sirkuit pneumatik harus benar-benar bersih, tekanan operasional pada umumnya
hanyalah sekitar 6 bar. Selanjutnya udara bertekanan disalurkan dengan bekerjanya
solenoid valve pneumatic ketika mendapat tegangan input pada kumparan dan
menarik plunger sehingga udara bertekanan keluar dari outlet port melalui selang
elastis menuju katup pneumatik (katup pengarah/inlet port pneumatic). Udara
bertekanan yang masuk akan mengisi tabung pneumatik (silinder pneumatik kerja
tunggal) dan membuat piston bergerak maju dan udara bertekanan tersebut terus
mendorong piston dan akan berhenti di lubang outlet port pneumatic atau batas
dorong piston.

 Keuntungan Pneumatic Valve


- Harganya yang murah
- Udara sebagai tenaga penggerak memiliki jumlah yang tak terbatas
 Kerugian Pneumatic Valve
- Daya mekanik yang dihasilkan kecil
- Membutuhkan perawatan yang lebih tinggi, karena udara sebagai
penggeraknya biasanya kotor dan mengandung air sehingga gesekan
antara piston cylinder dan rumah cylinder besar dan mempercepat
kerusakan pada air cylinder.
BAB II

METODOLOGI

2.1 ALAT DAN BAHAN


Alat Yang Digunakan
 PCT – 40 Level Control
Bahan Yang Digunakan
 Air PDAM

1.2 PROSEDUR KERJA


a. Solenoid Valve
1. Menyalakan PC dan alat PCT 40
2. Mengklik PCT 40 Processs Control Apparus
3. Memilih Section 3 : Level Control (outflow)
4. Mengklik View Graph
5. Mengklik format  graph  checklist line
6. Mengklik sampel, configure lalu mensetting sampel interval menjadi 5s.
7. Klik Control
Mode of operation : Automatic
Process variable : tank level
Control action : SOL 2
Set point : 100mm
Proportional band : 5% , 10%
Integral time : 0 sec
Derivative time : 0 sec
Cycle time : 0 sec
8. Klik apply
9. Lalu atur PSV 25%, 30%, 35%
10. Tunggu hingga 3 menit
11. Mengklik stop
12. Simpan data dengan mengklik Save As ganti nama dan ubah type dengan xls.

b. Pneumatic Valve
1. Menyalakan PC dan alat PCT 40
2. Mengklik PCT 40 Processs Control Apparus
3. Memilih Section 11 : Project Work
4. Pilih icon PID A
5. Pada PID Controller ubah setting :
- Process variable menjadi “L1”
- Control Variabel menjadi “Pneumatic Valve”
- Control Action “Direct”
- Set Point : 50 ml/min
- Proportioal Band : 15%
- Integral : 15 sec
- Derivatif : 20 sec
- Mode Operation : Automatic
6. Lalu kemudian klik apply
7. Pilih icon “go” untuk memulai percobaan, dan tunggu sampai 3 menit.
8. Mengklik stop
9. Simpan data dengan mengklik Save As ganti nama dan ubah type dengan xls.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 DATA PENGAMATAN

100.50 PB 5
100.40
100.30
100.20
100.10
Level (mL)

100.00 PSV 25
99.90 PSV 30
PSV 35
99.80
99.70
99.60
99.50
99.40
100 150 200 250 300 350 400
Waktu (secon)
Grafik 3.1. Proportional Band 5

100.60 PB 10
100.40

100.20
Level (mL)

PSV 25
100.00
PSV 30

99.80 PSV 35

99.60

99.40
160 180 200 220 240 260 280 300
Waktu (secon)
Grafik 3.2. Proportional Band 10
Perbandingan nilai PID pada pneumatik pump
80

70

60

50
LEVEL (mm)

P 20
40 P 20 I 20
30
P 20 I 20 D 30
20
SET POINT
10

0
0 100 200 300 400 500 600 700
TIME (secon)

Grafik 3.3 Perbandingan antara PSV dan Pneumatik P20 I20 D30

Perbandingan level PSV vs Pneumatik


80

70

60

50
LEVEL (mm)

PSV
40
PNEUMATIK
30
Set point
20

10

0
0 200 400 600 800
TIME (secon)

Grafik 3.4 Perbandingan antara PSV dan Pneumatik


3.2 PEMBAHASAN

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui cara kerja pct 40 level control,
mempelajari system control level on/off dengan menggunakan proportional solenoid
valve (PSV), mempelajari karakter kerja dari propotional level sensor (PLS), dan
membandingkan antara Pb 5 dan Pb 10.
Pada praktikum pertama yaitu mengamati karakteristik kerja dari PLS dengan
laju alir masuk yang divariasikan dengan menggunakan PSV pada 25 30 dan 35
dengan masing-masing Pb 5 dan PB 10. System membuka (SOL 1) sehingga level air
dalam tangki akan bertambah, dan PLS membaca level air dari bawah tangki dengan
cara tekanan yang dihasilkan dari air tersebut, pada saat tangki mencapai level air
yang diinginkan (SOL 2) akan membuka, dan saat level air dalam tangki menurun
(SOL 2) menutup.
Berdasarkan praktikum ini kami membandingkan antara Pb 5 dan Pb 10
dengan variasi PSV 25, 30, dan 35 secara stabilitas dan sensitivitas, stabilitas dan
sensitivitas yang paling baik pada Pb 5 PSV 35 pada Grafik 3.1, dan Pb 10 PSV 30
ada Grafik 3.2. Dan dapat diketahui pada praktikum ini yaitu sensivitas baik pada PB
5 namun yang stabilitasnya baik dan yang dapat menyesuaikan pada gangguan yaitu
pada PB 10. Jadi pada pengendalian level kontrol yang baik untuk metode reverse
yaitu dengan menggunakan PB besar.

Pada praktikum kedua mengetahui pengaruh perintah P, PI, dan PID pada
pneumatic valve dan membandingkan antara pengendalian pneumatic dengan PSV
dengan menggunakan PID. Respon pneumatik valve dapat diliat dari grafik 3.3.
Grafik tersebut menunjukan pengendalian Proporsional, Proporsional-Integral, dan
Proporsional-Intgeral-Derivatif. Grafik 3.3 menunjukkan bahwa pada pengendalian
Proposional (P) tidak tercapai setpoint karena menurut teori pengendalian ini
memiliki berbagai keterbatasan sifat kontrol yang tidak dinamik sehingga semakin
besar nilai proportional yg digunakan semakin besar offset yang dihasilkan, sehingga
pada praktikum ini nilai PB sebaiknya diperkecil agar didapatkan nilai offset yang
lebih kecil. Pada grafik Proporsional Integral (PI) memperkecil nilai offset dan terjadi
osilasi. Hal ini karena pada Integral 20 kurang baik. menurut teori dalam
pengendalian ini konstanta integral yang berharga besar akan mempercepat hilangnya
offset dan akan mengakibatkan peningkatan osilasi dari sinyal keluaran pengontrol,
sehingga dibutuhkan nilai Integral yang tidak terlalu kecil ataupun kebesaran.
Pengendalian terakhir yaitu pengendalian Proporsional-Integral-Derivatif (PID)
penambahan Derivatif digunakan untuk memperbaiki respon transien dengan
memprediksi error yang akan terjadi. Kontrol Derivative hanya berubah saat ada
perubahan error sehingga saat error statis kontrol ini tidak akan bereaksi. Pada grafik
penambahan Derivatif 30 didapatkan hasil yang lebih baik dari pengendalian (PI).

Selanjutnya membandingkan antara pengendalian PSV dan pengendalian


Pneumatik diliat dari segi sensitivitas, stabilitas dan akurasi. Pada grafik 3.4
didapatkan hasil perbandingan antara pneumatik dan PSV yang paling baik dari segi
sensitivitas, stabilitas dan akurasi yaitu pada saat menggunakan PSV dibandingkan
dengan pengendalian Pneumatik karena apabila waktu yang digunakan dalam
praktikum di perpanjang Pneumatik valve akan mencapai kestabilan dan nilai offset
yang kecil.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Pada metode reverse control semakin kecil PB maka sensivitas semakin baik.
2. Pada metode reverse control semakin besar PB maka stabilitasnya semakin
baik dan semakin baik dalam mengatasi gangguan yang terjadi.
3. Pengendalian P20 harus dikecilkan untuk mengecilkan nilai offset
4. Pengendalian I20 harus dikecilkan agar tidak terjadi osilasi
5. Pengendalian D30 harus dibesarkan untuk memperbaiki respon transien
6. Pengendalian PSV lebih baik dibandingkan pengendalian Pneumatik.

Anda mungkin juga menyukai