Anda di halaman 1dari 23

BLOK MEDICAL EMERGENCY

CASE STUDY 1

SELF LEARNING REPORT

“INSISI DAN DRAINASE”

DISUSUN OLEH :

HANI NIRMASARI G1B015037

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2019
Abses adalah infeksi akut yang terlokalisir pada rongga yang berdinding
tebal, manifestasinya berupa peradangan, pembengkakan yang nyeri jika ditekan,
dan kerusakan jaringan setempat. Penyebaran infeksi tergantung pada lokasi gigi
yang terkena serta penyebab virulensi organisme.

Abses merupakan suatu bentuk infeksi akut atau kronis dan proses
supuratif yang dapat terjadi diseluruh tubuh. Abses rongga mulut yang sering
dijumpai adalah abses dentoalveolar yang dapat terjadi sebagai akibat masuknya
bakteri ke daerah periapikal baik melalui saturan pulpa, jaringan periodontal
maupun jaringan perikoronal. Mukosa pipi dan palatum merupakan daerah yang
senng ditempatinya. Abses dapat juga didefinisilcan sebagai sebuah penumpukan
pus dalam tubuh, dimana ini dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Dinding
abses terdiri dan jaringan granulasi yang sebagian besar ditempati oleb
mikroorganisme untuk penyebaran yang lebih lanjut. Kadar purulen dari suatu
abses mernpunyai sifat menekan dan dapat muncul kepermukaan.

Abses rongga mulut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:


1. Faktor organisme Infeksi orofasial umumnya disebabkan oleh
streptokokus dan stapilokokus dan biasanya daya tahan tubuh penderita
dapat melakukan invasi dan bakteri tersebut.
2. Faktor anatomis jaringan Jaringan disekitarnya mempunyai penggaruh
yang besar terhadap penyebaran infeksi.
3. Faktor penderita Daya tahan tubuh penderita sangat berpengaruh terhadap
penyebaran bakteri.

Abses di Rongga Mulut Secara morfologi dan biokemikal paling sedikit


ada 400 kelompok bakteri di dalam rongga mulut. Infeksi dalam rongga mulut
lebih banyak disebabkan oleh adanya gabungan antara bakteri gram positif yang
aerob dan anaerob. Abses didalam rongga mulut disebabkan oleh bakteri anaerob.
Organisme penyebabnya yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah
Alpha-hemolytic Streptococcus, Peptostrepcoccus, Peptococcus, Eubacterium,
Bacteroides melaninogenicus, Staphylococcus dan Fusobacterium. Persentase
Staphylococcus aureus yang merupakan hasil pengkulturan murni dari abses
adalah sebesar 0,7-15%.
A. Tahapan Abses

Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka


menjalani resolusi:

1. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan


adonannya konsisten.
2. Antara 5 sampai 7 hari – tengahnya mulai melunak dan abses merusak
kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin
dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.
3. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah pembedahan
secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang terlibat kokoh/tegas
saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan jaringan dan jaringan
bakteri

Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu virulensi bakteri,


ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu
menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan
sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak,
sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus. Sebelum mencapai
“dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai
perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke
arah korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi
oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari
luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka
respon inflamasi juga terjadi ketika pus mulai “mencapai” korteks, dan melakukan
eksudasinya dengan melepas komponen inflamasi dan sel plasma ke rongga
subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus
yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini menimbulkan
rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan,
peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous”
disebabkan karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal
mengandung kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena
memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat
berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.

Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon inflamasi diatas tidak
mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi
yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama,
yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum. Pada kondisi
ini, pus sudah berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal.
Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam
saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang
sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih
serous. Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang
tadi, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah
mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial
spaces, maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial
yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan jaringan ikat.

B. Tanda dan Gejala


1. Adanya respon Inflamasi

Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada


keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan
perbaikan jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan dapat disimpulkan
dalam beberapa tanda :
a. Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan peningkatan
permeabilitas dari venula dengan berkurangnya aliran darah pada vena.
b. Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan nutrisi
dan berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.
c. Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti migrasi
leukosit polimorfonuklear dan kemudian monosit pada daerah luka.
d. Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada dinding lesi.
e. Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya
f. Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik
2. Adanya gejala infeksi

Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan terlihat pada


daerah permukaan infeksi yang merupakan akibat vasodilatasi. Edema merupakan
pembengkakan daerah infeksi. Kalor atau panas merupakan akibat aliran darah
yang relatif hangat dari jaringan yang lebih dalam, meningkatnya jumlah aliran
darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor atau rasa sakit, merupakan akibat
rangsangan pada saraf sensorik yang di sebabkan oleh pembengkakan atau
perluasan infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau faktor aktif seperti kinin, histamin,
metabolit atau bradikinin pada akhiran saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit.
Fungsio laesa atau kehilangan fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan
mengunyah dan kemampuan bernafas yang terhambat. Kehilangan fungsi pada
daerah inflamasi disebabkan oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari
pergerakan otot yang disebabkan oleh adanya rasa sakit.

3. Limphadenopati

Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di
sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada infeksi
kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung derajat
inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di sekitarnya
biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe merupakan daerah
indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi
menembus sistem pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan
memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan memerlukan insisi
dan drainase.

C. Abses Periodontal

Abses periodontal adalah suatu inflamasi purulen yang terlokalisir pada


jaringan periodonsium. Lesi ini disebut juga dengan abses periodontal lateral atau
abses parietal. Abses periodontal diketahui sebagai lesi yang dapat dengan cepat
merusak jaringan periodonsium terjadi selama periode waktu yang terbatas serta
mudah diketahui gejala klinis dan tanda-tandanya seperti akumulasi lokal pus dan
terletak di dalam saku periodontal. Abses periodontal merupakan kasus darurat
penyakit periodontal ketiga yang paling sering terjadi mencapai 7-14%, setelah
abses dentoalveolar akut (14-25%) dan perikoronitis (10-11%) di klinik gigi.18

Etiologi Abses Periodontal

1. Abses periodontal berhubungan dengan periodontitis


Hal-hal yang menyebabkan abses periodontal yang berhubungan
dengan periodontitis adalah:
a. Adanya saku periodontal yang dalam dan berliku.
b. Penutupan marginal saku periodontal yang dapat mengakibatkan
perluasan infeksi ke jaringan periodontal sekitarnya karena tekanan
pus di dalam saku tertutup.
c. Perubahan dalam komposisi mikroflora, virulensi bakteri, atau dalam
pertahanan host bisa juga membuat lumen saku tidak efisien dalam
meningkatkan pengeluaran supurasi.
d. Pengobatan dengan antibiotik sistemik tanpa debridemen subgingiva
pada pasien dengan periodontitis lanjut juga dapat menyebabkan
pembentukan abses.
2. Abses periodontal tidak berhubungan dengan periodontitis
Hal-hal yang menyebabkan abses periodontal yang tidak
berhubungan dengan periodontitis adalah:
a. Impaksi dari benda asing seperti potongan dental floss, biji popcorn,
potongan tusuk gigi, tulang ikan, atau objek yang tidak diketahui.
b. Perforasi dari dinding gigi oleh instrumen endodontik.
c. Infeksi lateral kista.
d. Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi morfologi akar dapat menjadi
predisposisi pembentukan abses periodontal.

Patofisiologi Abses Periodontal

Masuknya bakteri ke dalam dinding saku jaringan lunak merupakan awal


terjadinya abses periodontal. Sel-sel inflamatori kemudian ditarik oleh faktor
kemotaksis yang dilepaskan oleh bakteri dan bersama dengan reaksi inflamatori
akan menyebabkan destruksi jaringan ikat, enkapsulasi dari infeksi bakteri dan
memproduksi pus. Secara histologis, akan ditemukan neutrofil-neutrofil yang utuh
mengelilingi bagian tengah debris jaringan lunak dan destruksi leukosit. Pada
tahap berikutnya, membran piogenik yang terdiri dari makrofag dan neutrofil
telah terbentuk. Laju destruksi abses tergantung pada pertumbuhan bakteri di
dalamnya, virulensinya dan pH lokal. Adanya pH asam akan memberi keuntungan
terhadap enzim lisosom.

Macam-Macam Abses Periodontal

1. Berdasarkan lokasi abses


a. Abses gingiva
Abses gingiva merupakan infeksi lokal purulen yang terletak
pada marginal gingiva atau papila interdental dan merupakan lesi
inflamasi akut yang mungkin timbul dari berbagai faktor, termasuk
infeksi plak mikroba, trauma, dan impaksi benda asing. Gambaran
klinisnya merah, licin, kadang-kadang sangat sakit dan pembengkakan
sering berfluktuasi.
b. Abses periodontal
Abses periodontal merupakan infeksi lokal purulen di dalam
dinding gingiva pada saku periodontal yang dapat menyebabkan
destruksi ligamen periodontal dan tulang alveolar. Abses periodontal
secara khusus ditemukan pada pasien dengan periodontitis yang tidak
dirawat dan berhubungan dengan saku periodontal yang sedang dan
dalam, biasanya terletak diluar daerah mukogingiva. Gambaran
klinisnya terlihat licin, pembengkakan gingiva mengkilat disertai rasa
sakit, daerah pembengkakan gingivanya lunak karena adanya eksudat
purulen dan meningkatnya kedalaman probing, gigi menjadi sensitif
bila diperkusi dan mungkin menjadi mobiliti serta kehilangan
perlekatan periodontal dengan cepat.
Abses periodontal sering muncul sebagai eksaserbasi akut dari
saku periodontal yang ada sebelumnya terutama terkait pada
ketidaksempurnaan dalam menghilangkan kalkulus dan tindakan medis
seperti pada pasien setelah perawatan bedah periodontal, setelah
pemeliharaan preventif, setelah terapi antibiotik sistemik dan akibat
dari penyakit rekuren. Kurangnya kontrol terhadap diabetes mellitus
merupakan faktor predisposisi dari pembentukan abses periodontal.
c. Abses perikoronal
Abses perikoronal adalah abses yang terjadi karena adanya
inflamasi jaringan lunak operkulum, yang menutupi sebagian gigi yang
sedang erupsi. Abses perikoronal ditemukan pada gigi yang
mengalami perikoronitis. Keadaan ini paling sering terjadi pada gigi
molar tiga rahang atas dan rahang bawah. Sama halnya dengan abses
gingiva, abses perikoronal dapat disebabkan oleh retensi dari plak
mikroba dan impaksi makanan atau trauma. Gambaran klinis berupa
gingiva berwarna merah terlokalisir, bengkak, lesi yang sakit jika
disentuh dan memungkinkan terbentuknya eksudat purulen, trismus,
limfadenopati, demam dan malaise.
2. Berdasarkan jalannya lesi
a. Abses periodontal akut
Abses periodontal akut biasanya menunjukkan gejala seperti
sakit, edematous, lunak, pembengkakan, dengan penekanan yang
lembut di jumpai adanya pus, peka terhadap perkusi gigi dan terasa
nyeri pada saku, sensitifitas terhadap palpasi dan kadang disertai
demam dan limfadenopati.
b. Abses periodontal kronis
Abses periodontal kronis biasanya asimtomatik, walaupun
pada pasien didapatkan gejala-gejala ringan. Abses ini terbentuk
setelah penyebaran infeksi yang disebabkan oleh drainase spontan,
respon host atau terapi. Setelah hemeostatis antara host dan infeksi
tercapai, pada pasien hanya sedikit atau tidak terlihat gejalanya.
Namun rasa nyeri akan timbul bila adanya saku periodontal, inflamasi
dan saluran fistula.
3. Berdasarkan jumlah abses
a. Abses periodontal tunggal
Abses periodontal tunggal biasanya berkaitan dengan faktor-
faktor lokal mengakibatkan tertutupnya drainase saku periodontal yang
ada.17 2. Abses periodontal multipel Abses ini bisa terjadi pada pasien
diabetes mellitus yang tidak terkontrol, pasien dengan penyakit
sistemik dan pasien dengan periodontitis tidak terawat setelah terapi
antibiotik sistemik untuk masalah non oral. Abses ini juga ditemukan
pada pasien multipel eksternal resopsi akar, dimana faktor lokal
ditemukan pada beberapa gigi.

Acute Dentoalveolar Abscess

Merupakan infeksi akut purulen yang berkembang pada bagian apikal gigi
pada tulang cancellous. Biasanya disebabkan oleh bakteri yang berasal dari gigi
yang terinfeksi baik pada maksila maupun pada mandibula. Gejala yang khas
adalah rasa sakit yang berat, gigi goyang, serta gigi penyebab serasa memanjang.
Perawatan pertama bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan dilanjutkan dengan
drainase. Drainase dilakukan melalui saluran akar dengan cara mengebur dengan
handpiece high-speed dengan lembut. Selanjutnya jaringan nekrotik dibersihkan
dengan barbed broach dan tekanan diberikan pada daerah apikal gigi. Jika
drainase dari saluran akar tidak memungkinkan, dapat dilakukan trepanasi setelah
posisi apeks ditentukan secara radiograf. Insisi horizontal dilakukan pada bukal
sedekat mungkin dengan apeks gigi yang terinfeksi. Selanjutnya periosteum
direfleksi sehingga tulang bukal terlihat. Lalu tulang dibuka menggunakan
roundbur low speed sampai eksudat keluar. Kemudian dilakukan suturing.

D. Spasium Abses

Spasium subperiosteal Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan


selulitis jaringan lunak mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang
menyebar ke ekstra oral, warna kulit sedikit merah pada daerah gigi penyebab.
Penderita merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir.
Pada rahang bawah bila berasal dari gigi premolar atau molar pembengkakan
dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi masih dapat diraba. Gigi
penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.
1. Spasium fosa kanina
Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi
rahang atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta
memudahkan terjadinya akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai
dengan pembengkakan pada muka, kehilangan sulkus nasolabialis dan edema
pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh
muka terasa sakit disertai kulit yang tegang berwarna merah.
2. Spasium bukal
Spasium bukal berada diantara m. masseter, m. pterigoidus interna dan
m. Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara
otot pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal.
Abses dapat berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke
dalam spasium bukal. Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa
bukal dan menonjol ke arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada
proses supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak
jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya. Pada
pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada perabaan.
3. Spasium infratemporal
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah
21 dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh
ramus mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas
dibatasi oleh m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna
dan n.mandibula, milohioid, lingual, businator dan n.chorda timpani. Berisi
pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal.
4. Spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi
otot masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu
celah sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter
bagian tengah dan permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo
m.masseter bagian tengah dan bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan
dari parotis oleh lapisan tipis 22 lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium
ini berasal dari gigi molar tiga rahang bawah, berjalan melalui permukaan
lateral ramus ke atas spasium ini. Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut
diregio ramus mandibula bagian dalam, pembengkakan jaringan lunak muka
disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan delirium. Bagian posterior
ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada penekanan.
5. Spasium submandibula
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang
memisahkannya dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial
bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus
dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah
submandibula yang meluas ke dalam spasium 23 sublingual. Juga berisi
kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial
yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna. Infeksi pada
spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses periodontal dan
perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula.
6. Spasium sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal, terletak
diatas m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral
oleh permukaan lingual mandibula. Gejala klinis ditandai dengan
pembengkakan dasar mulut dan lidah terangkat, bergerser ke sisi yang normal.
Kelenjar sublingual aan tampak menonjol karena 24 terdesak oleh akumulasi
pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan menelen dan terasa
sakit.
7. Spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di
depannya melintang m.digastrikus, berisi kelenjar limfe submental.
Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan
sebaliknya infeksi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab
biasanya gigi anterior atau premolar. Gejala klinis ditandai dengan selulitis
pada regio submental. Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan
fluktuatif positif. Pada pemeriksaan intra oral tidak tampak adanya
pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari
jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah
spasium yang terdekat terutama kearah belakang
8. Spasium parafaringeal
Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan
apeks bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh
muskulus pterigoid interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor.
Sebelah belakang oleh glandula parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus
stiloideus serta struktur yang berasal dari prosesus ini. Kebelakang dari
spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena jugularis dan nervus vagus,
serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar
limfe. Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai
foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses
otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat
melalui selubung karotis sampai mediastinuim.
E. Cellulitis

Merupakan kondisi inflamasi difus akut yang menginfiltrasi jaringan ikat


longgar di bawah kulit. Cellulitis biasanya berasal dari infeksi gigi,
mikroorganisma yang bertanggung jawab adalah golongan streptococcus dan
staphylococcus. Penyakit ini dikarakteristikkan dengna pusing disertai edema dan
kemerahan pada kulit. Edema memiliki batas tidak jelas dan dapat berada di
berbagai tempat tergantung gigi yang terinfeksi. Jika gigi posterior mandibula
yang bertanggung jawab, edema berada pada submandibular dan pada kasus yang
parah dapat menyebar ke pipi dan sisi berlawanan menyebabkan perubahan
bentuk wajah. Jika infeksi berasal dari gigi anterior maksila, edema dapat
melibatkan bibir atas sehingga terlihat protrusif. Pada tahap awal, cellulitis terasa
lunak pada palpasi dan tidak terdapat pus. Pada tahap lanjut, penebalan terlihat
dan terdapat adanya supurasi serta terdapat pus pada dasar lidah. Perawatan
dilakukan dengan pemberian antibiotik dosis tinggi seperti penicillin atau
ampicillin. Dilanjutkan dengan terapi panas untuk mengurangi supurasi. Pada
beberapa kasus diperlukan drainase dapat pada satu atau beberapa tempat untuk
mengeluarkan eksudat. Pada kasus yang parah sebaiknya dirujuk ke rumah sakit.
F. Ludwig’s Angina (Phlegmon)

Merupakan infeksi cellular akut yang secara bilateral melibatkan ruang


submandibular, sublingual, dan submental serta dapat berakibat fatal ditidak
dilakukan perawatan. Peyebabnya dapat berasal dari infeksi periapikal atau
periodontal pada gigi mandibula khususnya pada gigi yang memiliki apeks di
bawah musculus mylohyoid. Pasien mengalami demam disertai kesulitan menelan,
berbicara dan bernafas. Secara klinis terlihat bebesaran yang keras seperti papan
dikarenakan pus terletak pada jaringan yang dalam. Secara intra oral, terdapat
edema dasar mulut yang keras sehingga lidah terangkat dan menyebabkan
tersumbatnya saluran udara. Perawatan dilakukan dengan pembedahan untuk
drainase infeksi dan pemberian antibiotik dosis ganda. Insisi dilakukan secara
bilateral, intra oral, sejajar di medial batas bawah mandibula pada regio premolar
dan molar. Lalu insisi intra oral sejajar dengan duktus submandibula. Rubber
drain di tempatkan minimal selama 3 hari sampai gejala klinis reda. Pada kasus
dengan obstruksi nafas yang parah, pembedahan saluran nafas harus dilakukan

G. Patofisiologis infeksi oromaksilofasial

Infeksi odontogenik telah menjangkiti umat manusia selama sebagai


spesies manusia telah ada. Namun, bahkan setelah berabad-abad penelitian,
manusia belum berhasil memberantas bakteri infeksi. Umumnya, di wilayah
orofasial, kebanyakan bakteri infeksi melibatkan baik gangguan dari flora normal
atau perpindahan dari organisme yang normal ke situs, di mana mereka biasanya
tidak terlihat. Infeksi orofasia piogenik yang paling sering berasal dari
odontogenik. Mereka dapat berkisar dari abses periapikal, infeksi superfisial dan
dalam di leher. Jika tidak diobati, mereka umumnya menyebar ke berdekatan
ruang fasia (masseter, sublingual, submandibula, temporal, bukal, kaninus dan
parapharyngeal) dan dapat menyebabkan komplikasi tambahan. Oleh karena itu,
pengakuan awal infeksi danterapi yang tepat sangat penting. Terapi antibiotik
modern telah sangat mengurangi komplikasi dari penyebaran infeksi ini.

Penyebab infeksi odontogenik biasa adalah nekrosis pulpa dari gigi, yang
diikuti oleh invasi bakteri melalui ruang pulpa dan kedalam jaringan yang lebih
dalam. Nekrosis pulpa adalah hasil dari karies dalam di gigi, yang pulpa merespon
dengan reaksi inflamasi yang khas. Vasodilatasi dan edema tekanan penyebab di
gigi dan sakit parah sebagai dinding kaku gigi mencegah pembengkakan. Jika
tidak diobati tekanan menyebabkan strangulasi dari pasokan darah ke gigi melalui
nekrosis puncak dan konsekuen. Nekrosis pulpa kemudian memberikan
pengaturan yang sempurna untuk invasi bakteri ke dalam jaringan tulang.

Setelah bakteri telah menyerang tulang, infeksi menyebar merata kesegala


arah sampai lempeng kortikal ditemui. Selama masa penyebaran infraboni, pasien
biasanya mengalami rasa sakit yang cukup untuk mencari pengobatan. Ekstraksi
gigi (atau penghapusan nekrosis pulpa dengan prosedur endodontik)
menghasilkan resolusi infeksi.

Sebagian besar infeksi orofasial memiliki asal-usul berasal dari


odontogenik. infeksi odontogenik istilah meliputi segala bentuk penyakit infeksi
gigi. Namun, infeksi odontogenik terutama dianggap menjadi infeksi nanah
memproduksi terkait dengan gigi dan struktur jaringan pendukung sekitarnya dan
karies gigi dan radang gusi karena itu tidak termasuk dalam kategori ini dari
penyakit. Infeksi odontogenik terdiri dari tiga utama jenis: (1) abses periapikal,
yang melibatkan nekrosis dari pulpa gigi dan infeksi berikutnya saluran akar; (2)
abses periodontal dibentuk pada asosiasi periodontitis; dan (3) perikoronitis, yang
merupakan infeksi pericoronal lembut jaringan yang melapisi mahkota gigi.

Sebagian besar infeksi odontogenik adalah berasal dari abses periapikal.


Infeksi purulen berhubungan dengan periapikal sering digambarkan sebagai
sebuah dentoalveolar abses, meskipun setiap infeksi nanah memproduksi
melibatkan gigi dan sekitarnya mendukung struktur sering dianggap sebagai abses
dentoalveolar. Koleksi nanah merupakan abses yang reaksi defensif terhadap
penyebaran infeksi. Hampir semua Infeksi odontogenik menunjukkan unsur-unsur
dari kedua selulitis dan pembentukan abses. Infeksi biasanya mulai sebagai
selulitis dan cenderung melokalisir dan berkembang menjadi Abses selama
beberapa hari.
Di negara maju, kejadian parah Infeksi odontogenik telah sangat menurun,
terutama karena peningkatan kualitas dan ketersediaan perawatan gigi, fluoridasi
luas air publik persediaan, peningkatan penggunaan pasta gigi yang mengandung
fluoride, dan peningkatan ketersediaan dan penggunaan antibiotik. Namun, harus
diakui bahwa Infeksi odontogenik dapat berkembang secara luas dan pada
kecepatan yang mengkhawatirkan dan dapat menyebabkan serius dan komplikasi
yang fatal.

Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses
dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang
merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke
jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang
dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival. Penyebaran infeksi melalui
foramen apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses
inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu
periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan
membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk
mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi
tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses
dentoalveolar.

H. Penatalaksanaan Insisi dan Drainase

Prinsip dasar perawatan kasus infeksi odontogen antara lain; (1)


mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita, (2)
pemberian antibiotik yang tepat dengan dosis yang memadai, (3) tindakan
drainase secara bedah dari infeksi yang ada, (4) menghilangkan secepat mungkin
sumber infeksi dan (5) evaluasi terhadap efek perawatan yang diberikan. Pada
kasuskasus infeksi fascial space, pada prinsipnya sama dengan perawatan infeksi
odontogen lainnya, tetapi tindakan yang dilakukan harus lebih luas dan agresif.

Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita


meliputi : (a) meningkatkan kualitas nutrisi, termasuk pemberian vitamin
tambahan, diet tinggi kalori dan protein, (b) mempertahankan keseimbangan
cairan tubuh dan (c) pemberian analgesik. Pencabutan gigi atau menghilangkan
faktor penyebab lain yang menjadi sumber infeksi harus segera dilakukan setelah
gejala infeksi akut mereda. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekambuhan dari
infeksi.

Prinsip dasar perawatan infeksi dalam rangka untuk mengobati infeksi


dentoalveolar akut serta abses ruang fasia dengan benar, berikut dianggap mutlak
dilakukan :
1. Ambil riwayat kesehatan yang rinci dari pasien.
2. Drainase nanah, ketika kehadirannya di jaringan didirikan. Hal ini dicapai (1)
dengan cara saluran akar, (2) dengan sayatan intraoral, (3) dengan ekstraoral
sayatan, dan (4) melalui alveolus dari ekstraksi. Tanpa evakuasi pus, yaitu
dengan pemberian antibiotik saja, infeksi tidak akan menyelesaikan.
3. Pengeboran gigi yang bertanggung jawab selama awal fase inflamasi, untuk
mengalirkan eksudat melalui saluran akar, bersama-sama dengan terapi panas.
Didalam cara penyebaran peradangan dihindari dan pasien dibebaskan dari
rasa sakit. Drainase juga mungkin dilakukan dengan trepanasi tulang bukal,
ketika saluran akar tidak dapat diakses.
4. Antisepsis daerah dengan cairan antiseptik sebelum sayatan.
5. Anestesi dari daerah di mana insisi dan drainase abses harus dilakukan,
dengan teknik blok bersama dengan perangkat infiltrasi anestesi agak jauh
dari daerah yang meradang, untuk menghindari risiko mikroba yang ada
menyebar ke jaringan dalam.
6. Perencanaan sayatan :
a. Cedera duktus (Wharton, Stensen) dan vessel besar dan saraf dihindari.
b. Drainase yang memadai diperbolehkan. Sayatan dalam dilakukan
dangkal, pada titik terendah dari akumulasi, untuk menghindari rasa sakit
dan memfasilitasi evakuasi nanah di bawah gravitasi.
c. Sayatan tidak dilakukan di daerah yang terlihat, untuk alasan estetika,
jika mungkin dilakukan intraoral.
d. Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada waktu yang tepat. Ini
dikarenakan ketika nanah telah terakumulasi dalam jaringan lunak dan
berfluktuasi selama palpasi, yaitu saat ditekan antara ibu jari dan jari
tengah, ada gelombang seperti pergerakan dari cairan di dalam abses.
Jika sayatan prematur, biasanya ada sejumlah perdarahan kecil, tidak ada
nyeri untuk pasien dan edema tidak mereda.
e. Lokalisasi tepat nanah dalam jaringan lunak (jika tidak ada fluktuasi
hadir) dan sayatan untuk drainase harus dilakukan setelah interpretasi
data tertentu. Misalnya, memastikan paling lembut titik pembengkakan
selama palpasi, atau kemerahan pada mucosa kulit, dan titik paling
menyakitkan untuk tekanan. Daerah ini menunjukkan di mana untuk
membuat insisi dengan pisau bedah. Jika tidak ada indikasi akumulasi
nanah untuk memulai dengan, bilasan panas intraoral dengan chamomile
dianjurkan untuk mempercepat pengembangan abses dan memastikan
bahwa abses ini matang.
f. Hindari aplikasi panas kompres ekstraoral, karena ini memerlukan
peningkatan risiko evakuasi nanah terhadap kulit (drainase spontan).
g. Drainase abses pada awalnya dilakukan dengan hemostat yang
dimasukkan ke dalam rongga abses dengan paruh tertutup, digunakan
dengan lembut mengeksplorasi rongga dengan paruh terbuka dan ditarik
lagi dengan paruh yang terbuka. Pada saat yang sama dengan diseksi
tumpul sedang dilakukan, jaringan lunak dari wilayah ini dipijat lembut,
untuk memudahkan evakuasi nanah.
h. Penempatan karet saluran di dalam rongga dan stabilisasi dengan jahitan
pada satu bibir insisi, yang bertujuan untuk menjaga insisi terbuka untuk
drainase terus menerus baru akumulasi nanah.
i. Pencabutan gigi yang bertanggung jawab secepat mungkin untuk
memastikan drainase segera inflamasi material, dan penghapusan tempat
infeksi. Ekstraksi dihindari jika gigi dapat diawetkan, atau jika ada
peningkatan risiko serius komplikasi dalam kasus di mana pencabutan
gigi sangat sulit.
j. Pemberian antibiotik, ketika pembengkakan adalah umumnya menyebar
dan menyebar, dan terutama jika ada demam hadir, dan infeksi menyebar
ke ruang fasia, terlepas dari apakah ada indikasi adanya nanah.
Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi
adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase
adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan
nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. untuk
mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya
dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi
sebelum drainase pus tuntas.

Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular


adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan
dengan pemasangan drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik untuk
mencegah penyebaran infeksi dan analgesik sebagai penghilang sakit. Pencabutan
dilakukan setelah gejala akutnya mereda. Apabila sudah terjadi drainase spontan
(sudah ada fistula) maka dapat langsung dilakukan pencabutan gigi penyebab.
Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan
sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam
keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi
ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi
osteomyelitis.

Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah
terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit,
menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki
vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan biasanya
jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan
pemberian antibiotok lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat
drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan
melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan
pencabutan gigi penyebabnya.
PENATALAKSANAAN ABSES RONGGA MULUT

Adapun tahap penatalaksanaa abses odontogenik secara umum adalah:

1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan x-ray secara periapikal dan panoramik perlu dilakukan sebagai
skrining awal untuk menentukan etiologi dan letak fokal infeksi.
2. Tes Serologi
Tes Serologi yang paling sering digunakan adalah tes fiksasi komplemen dan
tes aglutinasi. Kedua tes ini digunakan untuk mengetahui etiologi.
3. Penatalaksanaan
Langkah utama yang paling penting dalam penatalaksanaan abses gigi
adalah incisi abses, dan drainase pus yang berisi bakteri. Tujuan dari tindakan
insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi ke
jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba
beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah
abses vakularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu
menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotik lebih efektif, dan
mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses.
Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur
dan ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab
(Topazian et al, 1994). Prosedur ini pada umumnya dilakukan apabila sudah
di anaestesi lokal terlebih dahulu, sehingga area yang sakit akan mati rasa.
Jika abses periapikal, abses akan dipindahkan melalui perawatan saluran akar
untuk mengeluarkan abses dan membuang jaringan yang rusak dari pulpa.
Kemudian ditumpat untuk mencegah infeksi peradangan lebih lanjut. Jika
abses periodontal, maka abses akan dikeluarkan, dan secara menyeluruh
membersihkan periodontal pocket. Kemudian melicinkan permukaan akar
gigi dengan scaling dan marginal gingiva untuk membantu penyembuhan dan
mencegah infeksi/peradangan lebih lanjut. Jika merupakan abses periapikal
dan infeksi berulang, maka harus membuang jaringan yang rusak. Jika abses
periodontal dan infeksi berulang, maka perawatannya dengan membuang
poket periodontal dan membentuk kembali jaringan gingiva.
Dalam stadium periostal meningkat tinggi dan sub periostal dilakukan
trepanasi untuk mengeluarkan abses dan gas gangren yang terbentuk,
kemudian diberikan obat-obatan antibiotik, antiinflamasi, antipiretik,
analgesik dan roboransia. Dengan cara ini diharapkan abses tidak meluas dan
dapat sembuh. Dalam stadium serosa dianjurkan untuk kumur-kumur air
garam hangat dan kompres hangat, supaya abses masuk ke arah rongga mulut.
Dalam stadium submukosa dan subkutan dimana sudah terjadi fluktuasi maka
dilakukan insisi dan dimasukkan kain gaas steril atau rubber-dam sebagai
drainase, kemudian diberikan obat-obatan antibiotika, antiinflamasi,
antipiretika, analgesika dan roboransia.
Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya
dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita
membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan
gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang
sehingga mungkin terjadi osteomyelitis.

Prinsip berikut ini harus digunakan bila memungkinkan pada saat


melakukan insisi dan drainase adalah sebagai berikut (Topazian et al., 1994;
Peterson, 2003; Odell, 2004).
1. Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat.
Insisi yang ditempatkan pada sisi fluktuasi maksimum di mana jaringannya
nekrotik atau mulai perforasi dapat menyebabkan kerutan, jaringan parut
yang tidak estetis Penempatan insisi untuk drainase ekstraoral infeksi kepala
leher. Insisi pada titik-titik berikut ini digunakan untuk drainase infeksi pada
spasium yang terindikasi: superficial dan deep temporal, submasseteric,
submandibular, submental, sublingual, pterygomandibular, retropharyngeal,
lateral pharyngeal, retropharyngeal (Peterson, 2003)
2. Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis, seperti di
bawah bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami Garis Langer wajah.
Laserasi yang menyilang garis Langer dari kulit bersifat tidak
menguntungkan dan mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik
jelek. Insisi bagian fasia ditempatkan sejajar dengan ketegangan kulit.
(Pedersen, 1996).
3. Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas agar
drainase sesuai dengan gravitasi.
4. Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari, sampai ke
jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas abses dengan
perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus terganggu dan dapat
diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi yang bertanggung jawab
terhadap infeksi
5. Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan jahitan.
6. Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang
submandibula.
7. Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang ditentukan;
lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya drain dapat
mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang masuknya bakteri
penyerbu sekunder.
8. Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk membersihkan
bekuan darah dan debris. Pengetahuan yang seksama mengenai anatomi
fascial dan leher sangat penting untuk drain yang tepat pada abses yang dalam,
tetapi abses yang membatasi daerah dentoalveolar menunjukkan batas
anatomi yang tidak jelas bagi ahli bedah. Hanya mukosa yang tipis dan
menonjol yang memisahkan scalpel dari infeksi. Idealnya, abses harus didrain
ketika ada fluktuasi sebelum ada ruptur dan drainase spontan. Insisi dan
drainase paling bagus dilakukan pada saat ada tanda awal dari “pematangan”
abses ini, meskipun drainase pembedahan juga efektif, sebelum adanya
perkembangan klasik fluktuasi (Peterson, 2003).

PENGASAHAN GIGI

Akibat pembentukan abses periodontal, gigi yang terlibat sering


mengalami ekstrusi sehingga gigi terasa nyeri apabila dipakai mengunyah. Untuk
meredakan keluhan tersebut, gigi diasah sedikit agar tidak berkontak dengan gigi
antagonisnya. Pada waktu melakukan pengasahan, gigi ditekan dengan jari
telunjuk untuk meredam getaran yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada
pasien. Tidak jarang bahwa dalam usaha mencegah timbulnya ketidaknyaman
pada gigi yang terlibat bila diasah, yang diasah adalah gigi antagonisnya.

PEMBERIAN OBAT-OBATAN

Untuk meredakan nyeri sakit dapat diresepkan obat analgetika. Bagi


pasien dengan komplikasi sistemik berupa demam diberikan antibiotika.
Antibiotika pilihan untuk kasus abses periodontal akut adalah penisilin. Bagi
pasien yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan antibiotika lainnya seperti
ampisilin atau eritromisin.

INSTRUKSI KEPADA PASIEN

Bagi pasien tanpa komplikasi sistemik diinstruksikan untuk


berkumurkumur dengan segelas air garam hangat (segelas air hangat ditambah
satu sendok teh garam dapur) setiap dua jam. Pasien dianjurkan untuk mengurangi
aktivitasnya, dan makan makanan yang lunak. Bila pasien agak lemah, dianjurkan
untuk istirahat di tempat tidur. Biasanya setelah 24 jam pembengkakan sudah
berkurang, bahkan bisa hilang dan simtom akutnya reda. Apabila simtom akutnya
masih ada, pasien dianjurkan untuk melanjutkan instruksi yang diberikan dan
kembali keesokan harinya. Biasanya simtom sudah menghilang, dan dapat
dijadwalkan perawatan periodontal selanjutnya untuk penanggulangan lesi
kronisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Carranza FA, Jr. Treatment of periodontal abscess, in: Carranza FA Jr & Newman
MG (eds), Clinical Periodontology, 8th edition, Philadelphia, WB
Saunders Co., 1996, p: 483-4.

Sailer, Hermann.F., dan Pajarola, Gion. F., 1999, Color Atlas of Dental Medicine
Oral Surgery for The General Dentist, Thieme, New York.

Gordon WP. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa : purwanto, basoeseno.
Philadelphia. Jakarta: EGC. 1996. Hal.191-2

Fragiskos. 2007. Oral surgery. Greece: Springer. Verlag Berlin Heidelberg. p.205-
08

Rosen EJ, Bailey BJ. 2002. Deep Neck Space and Infection. University of Texas
Medical Branch at Galveston. Dept. Of Otolaringology. Editor Quinn FB,
Ryan MW.

López-Píriz R, Aguilar L, Giménez MJ. Management of odontogenic infection of


pulpal and periodontal origin. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2007;12:
p.154- 9.

Karasutisna, Tis dkk. 2001. Buku Ajar Ilmu Bedah Mulut. Infeksi Odontogenik.
Bandung: FKG Universitas Padjadjaran.

Peterson et al. 2003 . Contemporary Oral and Maxillofaxial Surgery. 4th


ed.Missouri : Mosby

Daud ME., Karasutisna T. 2001. Infeksi odontogenik 1thed. Bandung. Bagian


Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Unpad. p.1-12.

Miloro M. 2004 . Peteron’s principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd ed.
BC Dacker Inc : Hamilton London.p.277-80.

Topazian RG, Golberg MH. 2002. Oral and maxillofacial infection. 4th edition.
Philadhelpia : WB saunders compan. p.159-163, 192-4.

Punit VP, Sheela KG, Amrita P. Periodontal Abscess : A review. Journal of


clincal and diagnostic research, Apr 2011;5(2): p.404-9.

Aleksandra W, Barbara K.H, Jan N, Maciej G, Marek J.S. Odontogenic


Inflammatory Processes of Head and Neck in Computed Tomography
Examinations 9. Pol J Radiol, 2014; 79: p.431-8.

Anda mungkin juga menyukai