Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa muda atau dewasa awal adalah periode transisi antara masa remaja dan

masa dewasa madya (Santrock, 2002). Menurut Erikson, dewasa awal dimulai pada

usia 19 tahun hingga 30 tahun (Feist & Feist, 2012). Tugas perkembangan dewasa

awal adalah memilih pasangan, belajar hidup bersama dengan pasangan, mulai hidup

dalam keluarga atau hidup berkeluarga, mengelola rumah tangga, mulai bekerja

dalam suatu jabatan, dan mulai bertanggung jawab sebagai warga Negara (Havighurs,

1953 dalam Hurlock, 1993).

Tahapan perkembangan psikososial dewasa awal menurut Erikson adalah

intimacy vs isolation. Intimacy merupakan kemampuan untuk meleburkan identitas

seseorang dengan orang lain tanpa ketakutan akan kehilangan identitas tersebut (Feist

& Feist, 2012). Pada tahap ini individu mulai membentuk persahabatan dan hubungan

intim dengan lawan jenis yang didasari oleh rasa percaya timbal balik, komitmen,

kerjasama, kompromi, dan pengorbanan. Intimacy dapat dicapai ketika individu telah

membentuk ego yang stabil. Jika individu belum yakin dengan identitas dirinya,

maka individu tersebut akan cenderung kurang memiliki komitmen untuk

membangun hubungan yang intim dengan orang lain.

Tahapan perkembangan individu pada masa dewasa awal sangat dipengaruhi

oleh tahapan perkembangan pada saat remaja, yaitu pembentukan identitas diri.

1
2

Individu yang gagal dalam membentuk identitas diri saat remaja, sangat mungkin

akan mengalami kesulitan untuk membangun intimacy pada saat dewasa awal dan

cenderung mengalami isolasi emosional, kesepian, stres dan depresi. Untuk itu,

pembentukan identitas saat remaja sangat berpengaruh penting untuk membentuk

intimacy dan menghindari isolasi emosional, kesepian serta depresi pada saat

melewati masa dewasa awal.

Emosi negatif, stres atau depresi direspon dengan perilaku yang berbeda oleh

individu. Salah satu perilaku yang muncul dalam menanggapi emosi negatif, stres

atau depresi adalah adanya perilaku makan berlebihan. Dorongan emosional

menyebabkan perubahan perilaku makan (Ganley, 1989; Greeno & Wing, 1994

dalam Spoor dkk., 2006). Penelitian Hou dkk., (2013) menunjukkan signifikansi

antara gejala emosional dan stres dengan perilaku makan.

Menurut teori psikosomatis, respon khas terhadap stres adalah hilangnya nafsu

makan akibat stres dan emosi yang menyebabkan perubahan fisiologis yang mirip

dengan rasa kenyang (Bruch, 1973 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Namun, beberapa

orang (yang disebut emotional eater) kurang dapat membedakan antara rasa lapar dan

korelasi fisiologis dari gairah emosional dan sebagai hasilnya merespon stres dengan

makan berlebihan (Kuijer & Boyce, 2012). Dalam penelitian Hou dkk. (2013)

didapatkan hasil yang signifikan antara gejala depresi, kecemasan dan stres dengan

perilaku makan yang tidak sehat. Perilaku makan yang tidak sehat yang dimaksudkan

adalah makan-makanan manis dan berlemak secara berlebihan sebagai upaya

menanggapi stres, depresi, emosi negatif, dan kecemasan. Perilaku makan berlebihan
3

dan tidak sehat tersebut bertujuan untuk mengurangi emosi negatif, makan berlebihan

dianggap sebagai solusi yang dapat memberikan kenyamanan dan menghilangkan

gangguan dari emosi yang tidak menyenangkan (Spoor dkk., 2006).

Jika ditinjau dari jenis kelamin, perempuan dinilai lebih mudah mengalami

stres atau depresi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini juga dibenarkan dengan

adanya penelitian yang mengatakan bahwa perempuan secara signifikan mengalami

depresi lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Goldbacher dkk., 2012).

Perempuan yang memiliki tingkat depresi lebih tinggi dibandingkan laki-laki

cenderung mengatasi kelelahan dan rasa jenuhnya dengan makanan, dari situlah

mereka cenderung makan secara emosional dan tak terkendali (Nurlaila, 2012).

Penelitian dalam American Journal of Clinical Nutrition menemukan bahwa

perempuan yang mengalami kejenuhan lebih mungkin mengembangkan kebiasaan

makan emosional daripada mereka yang menikmati pekerjaannya (Nurlaila, 2012).

Menurut Goldbacher dkk. (2012), jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan

menunjukkan dorongan lebih besar untuk makan dalam menanggapi depresi dan

kecemasan. Dalam beberapa penelitian perempuan yang mengalami stres, depresi dan

emosi negatif lebih menunjukkan reaksi yang tidak normal, yaitu dengan

mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak sehat sebagai solusi dalam

mengatasi stres, depresi dan emosi negatif tersebut.

Van Strien (1986) mengelompokkan perilaku makan berlebihan menjadi 3

tipe, yaitu emotional eating, external eating, dan restraint eating. Emotional eating

didefinisikan sebagai perilaku makan berlebihan dalam menanggapi dorongan emosi


4

negatif. External eating adalah perilaku makan berlebihan disebabkan oleh faktor

eksternal, seperti bau atau penampilan makanan. Sedangkan restraint eating adalah

perilaku untuk membatasi atau mengendalikan asupan makanan untuk menurunkan

atau mempertahankan berat badan. Berdasarkan penjelasan diatas, perilaku makan

berlebihan yang terkait dalam menanggapi dorongan emosional (marah, cemas, takut

dan stres) adalah emotional eating. Hal itu juga dibenarkan oleh penelitian van Strien

dan Schippers (1995) menunjukkan semua sampel emotional eating menunjukkan

signifikansi dengan masalah tekanan emosional, berbeda dengan external eating tidak

menunjukkan adanya signifikansi dengan masalah tekanan emosional. Perilaku

makan emotional eating cenderung dialami oleh perempuan dibandingkan dengan

laki-laki.

Emotional eating didefinisikan sebagai strategi untuk mengatasi emosi dan

pengalaman negatif (stres, kesepian, kebosanan, kecemasan dan lainnya) (Faith dkk.,

1997 dalam Doğan dkk., 2011). Emotional eating merupakan kecenderungan untuk

makan berlebihan dalam menanggapi emosi negatif seperti kecemasan atau marah

(van Strien dkk., 2007 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Selain itu juga dianggap

sebagai respon yang dipelajari dalam mengatasi stres dan emosi (Bruch, 1973 dalam

Kuijer & Boyce, 2012).

Ada beberapa perbedaan antara rasa lapar secara emosional dan lapar secara

fisik, kelaparan secara emosional datang secara tiba-tiba, kelaparan secara fisik

terjadi bertahap. Kelaparan secara fisik juga dapat menunggu tapi kelaparan secara

emosional harus dipuaskan segera. Kelaparan secara emosional dapat menyebabkan


5

perasaan bersalah, tetapi kelaparan fisik tidak. Ketika lapar secara emosional orang

mungkin akan terus makan, tetapi ketika lapar secara fisik orang lebih mungkin untuk

berhenti ketika perut terasa penuh. Sementara penyebab kelaparan secara fisik adalah

adanya kebutuhan fisiologis, tetapi kelaparan secara emosional lebih dipicu oleh

emosi (Gould, 2007; Roth, 2003, dalam Doğan dkk., 2011).

Individu yang memiliki kecenderungan tinggi terhadap emotional eating

menunjukkan pola menanggapi tekanan emosional dengan peningkatan nafsu makan

dan asupan makanan, terutama untuk makanan manis dan tinggi lemak (Konttinen

dkk., 2010; Macht, 2008; van Strien & Ouwens, 2003 dalam Goldbacher dkk, 2012).

Emotional eaters (orang-orang yang makan berlebihan dalam menanggapi emosi

negatif) mengkonsumsi makanan manis dan tinggi lemak secara berlebihan

dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami stres dan emosi (Wallis &

Hetherington, 2004). Hal tersebut juga dibuktikan dalam penelitian dari Cornell

University yang menyatakan bahwa wanita cenderung memilih permen atau cokelat

untuk membangkitkan suasana hati (Handayani & Irdayanti, 2013). Makanan manis

lebih banyak dipilih untuk menghilangkan emosi negatif, stres dan dapat

membangkitkan suasana hati (mood).

Emotional eating dapat membantu mengatasi masalah kecemasan individu

dan perasaan negatif. Namun, tidak berperan penting untuk memecahkan masalah.

Sebaliknya, hal itu dapat menyebabkan individu mengalami masalah berat badan dan

memiliki masalah kesehatan secara umum serta membuat diet gagal (Doğan dkk.,

2011). Darah tinggi, kolesterol naik dan obesitas merupakan masalah yang akan
6

ditimbulkan oleh emotional eating. Hal ini juga dibenarkan oleh Sierra Tucson

Treatment Center, banyak gejala fisik berbahaya yang bisa terjadi akibat emotional

eating, yaitu tekanan darah tinggi, diabetes, malnutrisi, obesitas, darah tinggi,

kolesterol tinggi, masalah pencernaan, masalah haid, gelisah dan depresi. Banyaknya

dampak negatif tersebut merupakan akibat dari kurangnya kontrol terhadap makanan

yang dikonsumsi dalam suasana emosional.

Menurut Arnow dkk. (1995) terdapat tiga faktor kondisi afektif yang

mendorong seseorang untuk makan dalam menanggapi berbagai emosi, yaitu

marah/frustasi, cemas, dan depresi. Selain itu, kepribadian yang dimiliki individu

dinilai mendorong perilaku makan individu, salah satunya emotional eating. Persepsi

dan reaksi individu terhadap lingkungan ditentukan kedua sikap, yaitu extrovert dan

introvert (Schultz & Schultz, 2009). Tipe kepribadian extrovert-introvert merupakan

satu kepribadian yang holistik dan selalu ada dalam diri setiap individu. Menurut

Jung setiap individu memiliki kedua sikap tersebut di dalam dirinya, namun hanya

satu sikap yang dominan dalam diri individu dan cenderung mengarahkan perilaku

dan kesadaran individu (Schultz & Schultz, 2009). Sedangkan sikap yang tidak

dominan menjadi bagian dari ketidaksadaran yang juga dapat mempengaruhi perilaku

individu.

Dalam situasi tertentu individu dengan tipe kepribadian extrovert dapat

memunculkan karakteristik yang dimiliki oleh individu dengan tipe kepribadian

introvert dan begitupun sebaliknya (Schultz & Schultz, 2009). Jung menganggap

individu dengan dominan extrovert cenderung emosional, sensitif, terbuka, asertif,


7

mudah dipengaruhi, mampu beradaptasi dengan situasi yang sedang dialaminya dan

fokus terhadap orang lain serta dunia luar (Schultz & Schultz, 2009). Sedangkan

individu dengan dominan introvert cenderung tertutup, pemalu, tenang, lebih

memendam perasaan, dan berfokus pada diri sendiri (Schultz & Schultz, 2009).

Individu dengan tipe kepribadian extrovert perilakunya ditentukan oleh

lingkungannya, sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert perilakunya

ditentukan oleh dirinya sendiri. Berdasarkan penjabaran diatas individu dengan tipe

kepribadian extrovert dinilai lebih emosional, sensitif dan perilakunya dipengaruhi

oleh lingkungan sekitarnya dibandingkan dengan individu dengan tipe kepribadian

introvert.

Penelitian yang mengaitkan antara kepribadian dan emotional eating telah

dilakukan. Penelitian Elfhag dan Morey (2008) menemukan bahwa extrovert

berkorelasi negatif dan tidak berpengaruh terhadap emotional eating, karena individu

dengan tipe kepribadian extrovert cenderung memiliki emosi positif. Penelitian van

Strien dkk. (1985) menunjukkan hubungan yang signifikan antara emotional eating

dengan beberapa skala kepribadian yang menunjukkan aspek ketidakstabilan emosi,

seperti: merasa rendah diri, cemas dan khawatir. Penelitian lain telah menunjukkan

adanya hubungan antara kepribadian dengan perilaku makan dan gangguan makan.

Penelitian lain mengenai tipe kepribadian extrovert dan introvert dengan gangguan

makan juga telah dilakukan. Studi pada populasi klinis menunjukkan bahwa tipe

kepribadian introvert berhubungan dengan gangguan makan, yaitu bulimia nervosa.

(De Silva & Eysenck, 1987; Feldman & Eysenck, 1986; Kleifield dkk., 1993 dalam
8

Miller dkk., 2006). Penelitian Wade (1995 dalam Miller dkk., 2006) menunjukkan

tidak adanya hubungan antara extrovert dengan bulimia nervosa pada populasi klinis.

Penelitian Miller dkk. (2006) menunjukkan bahwa kombinasi dari skor tinggi

pada kepribadian neuroticism dan introvert dinilai lebih signifikan memiliki

hubungan dengan gangguan makan bulimia nervosa, dibanding dengan wanita yang

tinggi pada skor neuroticism saja. Sedangkan, kepribadian extrovert tidak memiliki

keterkaitan dengan gangguan makan bulimia nervosa pada wanita dengan skor

rendah pada neuroticism. Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, individu yang

mendapat skor rendah pada pengukuran sosialisasi lebih beresiko terhadap beberapa

jenis psikopatologi, termasuk gangguan makan, mood dan kecemasan. Dengan kata

lain, introvert yang tingkat sosialisasinya lebih rendah dibanding extrovert lebih

beresiko mengalami masalah atau gangguan makan bulimia nervosa dan gangguan

mood serta kecemasan.

Menurut Hart (2014), individu yang memiliki kepribadian extrovert

cenderung impulsif dalam memilih makanan, lebih berani mengambil resiko, dan

memilih makanan akibat adanya faktor emosional, seperti kenyamanan, kepuasan,

sumber energi dan penyemangat. Sedangkan introvert lebih berhati-hati,

mempertimbangkan resiko dan efek jangka panjang dalam memiliki makanan. Dalam

sebuah penelitian yang diungkapkan oleh Hart (2014), individu yang impulsif

cenderung makan berlebihan dan mengalami obesitas. Dari pernyataan diatas

didapatkan asumsi awal bahwa tipe kepribadian extrovert lebih berpengaruh terhadap

emotional eating dibandingkan tipe kepribadian introvert, karena tipe kepribadian


9

extrovert cenderung memilih makanan akibat faktor emosional dan kurang

memikirkan efek jangka panjang yang akan terjadi.

Penelitian diatas meneliti dan memandang tipe kepribadian extrovert dan

introvert secara terpisah. Hasil yang didapatkan dari penelitian diatas juga berbeda

antara satu penelitian dengan penelitian lain. Pernyataan pertama menganggap

introvert lebih beresiko mengalami masalah dan gangguan makan, sedangkan

pernyataan kedua menganggap extrovert lebih beresiko mengalami masalah dan

gangguan makan. Selain itu belum adanya penelitian yang menghubungkan langsung

mengenai pengaruh tipe kepribadian extrovert-introvert terhadap emotional eating

yang membuat peneliti tertarik dan menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini.

Peneliti ingin mengetahui “adakah pengaruh tipe kepribadian extrovert-introvert

terhadap emotional eating pada wanita dewasa awal?”.

1.2. Identifikasi Masalah

Pada masa dewasa awal, tahap perkembangan psikososial yang harus dicapai

adalah intimacy vs isolation. Intimacy hanya akan dicapai ketika individu telah

membentuk ego yang stabil. Individu yang gagal dalam membentuk ego identitas

sangat mungkin akan mengalami kesulitan untuk membangun intimacy pada masa

dewasa awal dan cenderung akan mengalami isolasi sosial, kesepian, stres dan

depresi. Menurut teori psikosomatis, respon khas terhadap stres adalah hilangnya

nafsu makan akibat stres dan emosi yang menyebabkan perubahan fisiologis yang

mirip dengan rasa kenyang (Bruch, 1973 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Namun,

beberapa orang (yang disebut emotional eater) kurang dapat membedakan antara rasa
10

lapar dan korelasi fisiologis dari gairah emosional dan sebagai hasilnya merespon

stres dengan makan berlebihan (Kuijer & Boyce, 2012). Penelitian Dakanalis dkk.

(2013), mengungkapkan bahwa individu pada masa muda lebih signifikan mengalami

emotional eating dibandingkan dengan individu pada masa tua. Selain itu, perempuan

dinilai lebih rentan mengalami emotional eating dibandingkan dengan laki-laki.

Emotional eating merupakan kecenderungan untuk makan berlebihan dalam

menanggapi emosi negatif seperti kecemasan atau marah (van Strien dkk., 2007

dalam Kuijer & Boyce, 2012). Selain itu dianggap sebagai respon yang dipelajari

dalam mengatasi stres dan emosi (Bruch, 1973 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Salah

satu faktor emotional eating adalah kepribadian. Persepsi dan reaksi individu

terhadap lingkungan ditentukan kedua sikap, yaitu extrovert dan introvert (Schultz &

Schultz, 2009). Tipe kepribadian extrovert-introvert merupakan tipe kepribadian yang

holistik dan selalu ada dalam diri individu. Menurut Jung setiap individu memiliki

kedua sikap tersebut di dalam dirinya, namun hanya satu sikap yang dominan dalam

diri individu dan cenderung mengarahkan perilaku dan kesadaran individu (Schultz &

Schultz, 2009). Sedangkan sikap yang tidak dominan menjadi bagian dari

ketidaksadaran yang juga dapat mempengaruhi perilaku individu.

Penelitian van Strien dkk. (1985) menunjukkan hubungan yang signifikan

antara emotional eating dengan beberapa skala kepribadian yang menunjukkan aspek

ketidakstabilan emosi, seperti: merasa rendah diri, cemas dan khawatir. Penelitian

Elfhag & Morey (2008) menemukan bahwa extrovert berkorelasi negatif dan tidak

berpengaruh terhadap emotional eating, karena individu dengan tipe kepribadian


11

extrovert cenderung memiliki emosi positif. Penelitian Miller dkk. (2006)

menunjukkan bahwa kombinasi dari skor tinggi pada kepribadian neuroticism dan

introvert dinilai lebih signifikan memiliki hubungan dengan gangguan makan bulimia

nervosa, dibanding dengan wanita yang tinggi pada skor extrovert atau neuroticism

saja. Individu yang mendapat skor rendah pada pengukuran sosialisasi lebih beresiko

terhadap beberapa jenis psikopatologi, termasuk gangguan makan, mood dan

kecemasan. Dapat disimpulkan bahwa, introvert yang tingkat sosialisasinya lebih

rendah dibanding extrovert lebih beresiko mengalami masalah atau gangguan makan

bulimia nervosa dan gangguan mood serta kecemasan.

Berbeda dengan Hart (2014), pada individu yang memiliki kepribadian

extrovert cenderung impulsif dalam memilih makanan, lebih berani mengambil

resiko, dan memilih makanan akibat adanya faktor emosional, seperti kenyamanan,

kepuasan, sumber energi dan penyemangat. Sedangkan introvert lebih berhati-hati,

mempertimbangkan resiko dan efek jangka panjang dalam memiliki makanan.

Individu yang impulsif dinilai cenderung makan berlebihan dan mengalami obesitas.

Dari pernyataan didapatkan asumsi awal bahwa tipe kepribadian extrovert lebih

berpengaruh terhadap emotional eating dibandingkan tipe kepribadian introvert,

karena tipe kepribadian extrovert cenderung memilih makanan akibat faktor

emosional dan kurang memikirkan efek jangka panjang yang akan terjadi. Penelitian

diatas meneliti dan memandang tipe kepribadian extrovert-introvert secara terpisah.

Selain itu belum adanya penelitian mengenai pengaruh tipe kepribadian extrovert-
12

introvert terhadap emotional eating menjadi ketertarikan dan pokok permasalahan

dalam penelitian ini.

1.3. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah

dijabarkan diatas, perlu adanya pembatasan masalah agar pembahasannya tidak

menyimpang dari permasalahan yang diteliti. Batasan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Tipe kepribadian Extrovert dan Introvert

Kepribadian adalah pola sifat dan karakteristik tertentu, yang relatif

permanen dan memberikan, baik konsistensi maupun individualitas pada

perilaku seseorang (Feist & Feist, 2012:4). Menurut Jung setiap individu

memiliki kedua sikap extrovert-introvert di dalam dirinya, namun hanya

satu sikap yang dominan dalam diri individu dan cenderung

mengarahkan perilaku dan kesadaran individu (Schultz & Schultz,

2009). Sedangkan sikap yang tidak dominan menjadi bagian dari

ketidaksadaran yang juga dapat mempengaruhi perilaku individu.

Individu dengan dominan extrovert cenderung emosional, sensitif,

terbuka, asertif, mudah dipengaruhi, mampu beradaptasi dengan situasi

yang sedang dialaminya dan fokus terhadap orang lain serta dunia luar

(Schultz & Schultz, 2009). Sedangkan individu dengan dominan

introvert cenderung tertutup, pemalu, tenang, lebih memendam

perasaan, dan berfokus pada diri sendiri (Schultz & Schultz, 2009).
13

2. Emotional Eating

Emotional eating didefinisikan sebagai kecenderungan untuk makan

berlebihan dalam menanggapi emosi negatif seperti kecemasan atau

marah (van Strien dkk., 2007 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Emotional

eating dianggap sebagai respon yang dipelajari dalam mengatasi stres dan

emosi (Bruch, 1973 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Menurut teori

psikosomatis, respon khas terhadap stres adalah hilangnya nafsu makan

akibat stres dan emosi yang menyebabkan perubahan fisiologis yang

mirip dengan rasa kenyang (Bruch, 1973 Kuijer & Boyce, 2012). Namun,

beberapa orang (yang disebut emotional eater) kurang dapat membedakan

antara rasa lapar dan korelasi fisiologis dari gairah emosional dan sebagai

hasilnya merespon stres dengan makan berlebihan (Kuijer & Boyce,

2012). van Strien dkk. (1985) telah mengemukakan adanya beberapa

skala kepribadian yang memiliki kaitan dengan emotional eating. Skala

kepribadian tersebut merupakan adanya aspek ketidakstabilan emosi,

seperti: merasa rendah diri, cemas dan khawatir. Dalam Dutch Eating

Behaviour Questionnaire (DEBQ), van strien membagi emotional eating

menjadi 2 dimensi, yaitu:

1. Makan sebagai respon untuk meredam emosi

Makan berlebihan sebagai upaya untuk meredam emosi yang

sedang dirasakan, misalnya makan disaat bosan, kesepian, ada

orang yang mengecewakan, atau sedang tidak melakukan apa-apa.


14

2. Makan sebagai respon untuk mengenali emosi secara jelas

Makan berlebihan sebagai akibat emosi-emosi yang jelas, misalnya

marah, takut, kecewa, atau kesal.

1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian

ini adalah “Adakah pengaruh tipe kepribadian extrovert-introvert terhadap emotional

eating pada wanita dewasa awal?”

1.5. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tipe kepribadian

extrovert-introvert terhadap emotional eating pada wanita dewasa awal.

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk

mengembangkan teori dalam bidang psikologi klinis, khususnya

mengenai kecenderungan emotional eating pada wanita dewasa awal.

Sumbangan informasi ini berupa penjelasan pengaruh tipe kepribadian

extrovert-introvert terhadap emotional eating pada wanita dewasa

awal
15

b. Memberikan dasar bagi pengembangan penelitian selanjutnya yang

berkenaan dengan tipe kepribadian extrovert-introvert dan emotional

eating pada wanita dewasa awal.

2. Manfaat Praktis

a. Membantu peneliti selanjutnya untuk mengetahui adanya pengaruh

tipe kepribadian extrovert-introvert terhadap emotional eating pada

wanita dewasa awal

b. Memberikan informasi pada masyarakat mengenai tipe kepribadian

extrovert-introvert yang lebih berpengaruh terhadap emotional eating.

Anda mungkin juga menyukai