Bab Psikologi
Bab Psikologi
PENDAHULUAN
Masa muda atau dewasa awal adalah periode transisi antara masa remaja dan
masa dewasa madya (Santrock, 2002). Menurut Erikson, dewasa awal dimulai pada
usia 19 tahun hingga 30 tahun (Feist & Feist, 2012). Tugas perkembangan dewasa
awal adalah memilih pasangan, belajar hidup bersama dengan pasangan, mulai hidup
dalam keluarga atau hidup berkeluarga, mengelola rumah tangga, mulai bekerja
dalam suatu jabatan, dan mulai bertanggung jawab sebagai warga Negara (Havighurs,
seseorang dengan orang lain tanpa ketakutan akan kehilangan identitas tersebut (Feist
& Feist, 2012). Pada tahap ini individu mulai membentuk persahabatan dan hubungan
intim dengan lawan jenis yang didasari oleh rasa percaya timbal balik, komitmen,
kerjasama, kompromi, dan pengorbanan. Intimacy dapat dicapai ketika individu telah
membentuk ego yang stabil. Jika individu belum yakin dengan identitas dirinya,
oleh tahapan perkembangan pada saat remaja, yaitu pembentukan identitas diri.
1
2
Individu yang gagal dalam membentuk identitas diri saat remaja, sangat mungkin
akan mengalami kesulitan untuk membangun intimacy pada saat dewasa awal dan
cenderung mengalami isolasi emosional, kesepian, stres dan depresi. Untuk itu,
intimacy dan menghindari isolasi emosional, kesepian serta depresi pada saat
Emosi negatif, stres atau depresi direspon dengan perilaku yang berbeda oleh
individu. Salah satu perilaku yang muncul dalam menanggapi emosi negatif, stres
menyebabkan perubahan perilaku makan (Ganley, 1989; Greeno & Wing, 1994
dalam Spoor dkk., 2006). Penelitian Hou dkk., (2013) menunjukkan signifikansi
Menurut teori psikosomatis, respon khas terhadap stres adalah hilangnya nafsu
makan akibat stres dan emosi yang menyebabkan perubahan fisiologis yang mirip
dengan rasa kenyang (Bruch, 1973 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Namun, beberapa
orang (yang disebut emotional eater) kurang dapat membedakan antara rasa lapar dan
korelasi fisiologis dari gairah emosional dan sebagai hasilnya merespon stres dengan
makan berlebihan (Kuijer & Boyce, 2012). Dalam penelitian Hou dkk. (2013)
didapatkan hasil yang signifikan antara gejala depresi, kecemasan dan stres dengan
perilaku makan yang tidak sehat. Perilaku makan yang tidak sehat yang dimaksudkan
menanggapi stres, depresi, emosi negatif, dan kecemasan. Perilaku makan berlebihan
3
dan tidak sehat tersebut bertujuan untuk mengurangi emosi negatif, makan berlebihan
Jika ditinjau dari jenis kelamin, perempuan dinilai lebih mudah mengalami
stres atau depresi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini juga dibenarkan dengan
cenderung mengatasi kelelahan dan rasa jenuhnya dengan makanan, dari situlah
mereka cenderung makan secara emosional dan tak terkendali (Nurlaila, 2012).
menunjukkan dorongan lebih besar untuk makan dalam menanggapi depresi dan
kecemasan. Dalam beberapa penelitian perempuan yang mengalami stres, depresi dan
emosi negatif lebih menunjukkan reaksi yang tidak normal, yaitu dengan
mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak sehat sebagai solusi dalam
tipe, yaitu emotional eating, external eating, dan restraint eating. Emotional eating
negatif. External eating adalah perilaku makan berlebihan disebabkan oleh faktor
eksternal, seperti bau atau penampilan makanan. Sedangkan restraint eating adalah
berlebihan yang terkait dalam menanggapi dorongan emosional (marah, cemas, takut
dan stres) adalah emotional eating. Hal itu juga dibenarkan oleh penelitian van Strien
signifikansi dengan masalah tekanan emosional, berbeda dengan external eating tidak
laki-laki.
pengalaman negatif (stres, kesepian, kebosanan, kecemasan dan lainnya) (Faith dkk.,
1997 dalam Doğan dkk., 2011). Emotional eating merupakan kecenderungan untuk
makan berlebihan dalam menanggapi emosi negatif seperti kecemasan atau marah
(van Strien dkk., 2007 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Selain itu juga dianggap
sebagai respon yang dipelajari dalam mengatasi stres dan emosi (Bruch, 1973 dalam
Ada beberapa perbedaan antara rasa lapar secara emosional dan lapar secara
fisik, kelaparan secara emosional datang secara tiba-tiba, kelaparan secara fisik
terjadi bertahap. Kelaparan secara fisik juga dapat menunggu tapi kelaparan secara
perasaan bersalah, tetapi kelaparan fisik tidak. Ketika lapar secara emosional orang
mungkin akan terus makan, tetapi ketika lapar secara fisik orang lebih mungkin untuk
berhenti ketika perut terasa penuh. Sementara penyebab kelaparan secara fisik adalah
adanya kebutuhan fisiologis, tetapi kelaparan secara emosional lebih dipicu oleh
dan asupan makanan, terutama untuk makanan manis dan tinggi lemak (Konttinen
dkk., 2010; Macht, 2008; van Strien & Ouwens, 2003 dalam Goldbacher dkk, 2012).
dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami stres dan emosi (Wallis &
Hetherington, 2004). Hal tersebut juga dibuktikan dalam penelitian dari Cornell
University yang menyatakan bahwa wanita cenderung memilih permen atau cokelat
untuk membangkitkan suasana hati (Handayani & Irdayanti, 2013). Makanan manis
lebih banyak dipilih untuk menghilangkan emosi negatif, stres dan dapat
dan perasaan negatif. Namun, tidak berperan penting untuk memecahkan masalah.
Sebaliknya, hal itu dapat menyebabkan individu mengalami masalah berat badan dan
memiliki masalah kesehatan secara umum serta membuat diet gagal (Doğan dkk.,
2011). Darah tinggi, kolesterol naik dan obesitas merupakan masalah yang akan
6
ditimbulkan oleh emotional eating. Hal ini juga dibenarkan oleh Sierra Tucson
Treatment Center, banyak gejala fisik berbahaya yang bisa terjadi akibat emotional
eating, yaitu tekanan darah tinggi, diabetes, malnutrisi, obesitas, darah tinggi,
kolesterol tinggi, masalah pencernaan, masalah haid, gelisah dan depresi. Banyaknya
dampak negatif tersebut merupakan akibat dari kurangnya kontrol terhadap makanan
Menurut Arnow dkk. (1995) terdapat tiga faktor kondisi afektif yang
marah/frustasi, cemas, dan depresi. Selain itu, kepribadian yang dimiliki individu
dinilai mendorong perilaku makan individu, salah satunya emotional eating. Persepsi
dan reaksi individu terhadap lingkungan ditentukan kedua sikap, yaitu extrovert dan
satu kepribadian yang holistik dan selalu ada dalam diri setiap individu. Menurut
Jung setiap individu memiliki kedua sikap tersebut di dalam dirinya, namun hanya
satu sikap yang dominan dalam diri individu dan cenderung mengarahkan perilaku
dan kesadaran individu (Schultz & Schultz, 2009). Sedangkan sikap yang tidak
dominan menjadi bagian dari ketidaksadaran yang juga dapat mempengaruhi perilaku
individu.
introvert dan begitupun sebaliknya (Schultz & Schultz, 2009). Jung menganggap
mudah dipengaruhi, mampu beradaptasi dengan situasi yang sedang dialaminya dan
fokus terhadap orang lain serta dunia luar (Schultz & Schultz, 2009). Sedangkan
memendam perasaan, dan berfokus pada diri sendiri (Schultz & Schultz, 2009).
ditentukan oleh dirinya sendiri. Berdasarkan penjabaran diatas individu dengan tipe
introvert.
berkorelasi negatif dan tidak berpengaruh terhadap emotional eating, karena individu
dengan tipe kepribadian extrovert cenderung memiliki emosi positif. Penelitian van
Strien dkk. (1985) menunjukkan hubungan yang signifikan antara emotional eating
seperti: merasa rendah diri, cemas dan khawatir. Penelitian lain telah menunjukkan
adanya hubungan antara kepribadian dengan perilaku makan dan gangguan makan.
Penelitian lain mengenai tipe kepribadian extrovert dan introvert dengan gangguan
makan juga telah dilakukan. Studi pada populasi klinis menunjukkan bahwa tipe
(De Silva & Eysenck, 1987; Feldman & Eysenck, 1986; Kleifield dkk., 1993 dalam
8
Miller dkk., 2006). Penelitian Wade (1995 dalam Miller dkk., 2006) menunjukkan
tidak adanya hubungan antara extrovert dengan bulimia nervosa pada populasi klinis.
Penelitian Miller dkk. (2006) menunjukkan bahwa kombinasi dari skor tinggi
hubungan dengan gangguan makan bulimia nervosa, dibanding dengan wanita yang
tinggi pada skor neuroticism saja. Sedangkan, kepribadian extrovert tidak memiliki
keterkaitan dengan gangguan makan bulimia nervosa pada wanita dengan skor
rendah pada neuroticism. Berdasarkan dari hasil penelitian tersebut, individu yang
mendapat skor rendah pada pengukuran sosialisasi lebih beresiko terhadap beberapa
jenis psikopatologi, termasuk gangguan makan, mood dan kecemasan. Dengan kata
lain, introvert yang tingkat sosialisasinya lebih rendah dibanding extrovert lebih
beresiko mengalami masalah atau gangguan makan bulimia nervosa dan gangguan
cenderung impulsif dalam memilih makanan, lebih berani mengambil resiko, dan
mempertimbangkan resiko dan efek jangka panjang dalam memiliki makanan. Dalam
sebuah penelitian yang diungkapkan oleh Hart (2014), individu yang impulsif
didapatkan asumsi awal bahwa tipe kepribadian extrovert lebih berpengaruh terhadap
introvert secara terpisah. Hasil yang didapatkan dari penelitian diatas juga berbeda
gangguan makan. Selain itu belum adanya penelitian yang menghubungkan langsung
yang membuat peneliti tertarik dan menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Pada masa dewasa awal, tahap perkembangan psikososial yang harus dicapai
adalah intimacy vs isolation. Intimacy hanya akan dicapai ketika individu telah
membentuk ego yang stabil. Individu yang gagal dalam membentuk ego identitas
sangat mungkin akan mengalami kesulitan untuk membangun intimacy pada masa
dewasa awal dan cenderung akan mengalami isolasi sosial, kesepian, stres dan
depresi. Menurut teori psikosomatis, respon khas terhadap stres adalah hilangnya
nafsu makan akibat stres dan emosi yang menyebabkan perubahan fisiologis yang
mirip dengan rasa kenyang (Bruch, 1973 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Namun,
beberapa orang (yang disebut emotional eater) kurang dapat membedakan antara rasa
10
lapar dan korelasi fisiologis dari gairah emosional dan sebagai hasilnya merespon
stres dengan makan berlebihan (Kuijer & Boyce, 2012). Penelitian Dakanalis dkk.
(2013), mengungkapkan bahwa individu pada masa muda lebih signifikan mengalami
emotional eating dibandingkan dengan individu pada masa tua. Selain itu, perempuan
menanggapi emosi negatif seperti kecemasan atau marah (van Strien dkk., 2007
dalam Kuijer & Boyce, 2012). Selain itu dianggap sebagai respon yang dipelajari
dalam mengatasi stres dan emosi (Bruch, 1973 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Salah
satu faktor emotional eating adalah kepribadian. Persepsi dan reaksi individu
terhadap lingkungan ditentukan kedua sikap, yaitu extrovert dan introvert (Schultz &
holistik dan selalu ada dalam diri individu. Menurut Jung setiap individu memiliki
kedua sikap tersebut di dalam dirinya, namun hanya satu sikap yang dominan dalam
diri individu dan cenderung mengarahkan perilaku dan kesadaran individu (Schultz &
Schultz, 2009). Sedangkan sikap yang tidak dominan menjadi bagian dari
antara emotional eating dengan beberapa skala kepribadian yang menunjukkan aspek
ketidakstabilan emosi, seperti: merasa rendah diri, cemas dan khawatir. Penelitian
Elfhag & Morey (2008) menemukan bahwa extrovert berkorelasi negatif dan tidak
menunjukkan bahwa kombinasi dari skor tinggi pada kepribadian neuroticism dan
introvert dinilai lebih signifikan memiliki hubungan dengan gangguan makan bulimia
nervosa, dibanding dengan wanita yang tinggi pada skor extrovert atau neuroticism
saja. Individu yang mendapat skor rendah pada pengukuran sosialisasi lebih beresiko
rendah dibanding extrovert lebih beresiko mengalami masalah atau gangguan makan
resiko, dan memilih makanan akibat adanya faktor emosional, seperti kenyamanan,
Individu yang impulsif dinilai cenderung makan berlebihan dan mengalami obesitas.
Dari pernyataan didapatkan asumsi awal bahwa tipe kepribadian extrovert lebih
emosional dan kurang memikirkan efek jangka panjang yang akan terjadi. Penelitian
Selain itu belum adanya penelitian mengenai pengaruh tipe kepribadian extrovert-
12
menyimpang dari permasalahan yang diteliti. Batasan masalah dalam penelitian ini
perilaku seseorang (Feist & Feist, 2012:4). Menurut Jung setiap individu
yang sedang dialaminya dan fokus terhadap orang lain serta dunia luar
perasaan, dan berfokus pada diri sendiri (Schultz & Schultz, 2009).
13
2. Emotional Eating
marah (van Strien dkk., 2007 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Emotional
eating dianggap sebagai respon yang dipelajari dalam mengatasi stres dan
emosi (Bruch, 1973 dalam Kuijer & Boyce, 2012). Menurut teori
mirip dengan rasa kenyang (Bruch, 1973 Kuijer & Boyce, 2012). Namun,
antara rasa lapar dan korelasi fisiologis dari gairah emosional dan sebagai
seperti: merasa rendah diri, cemas dan khawatir. Dalam Dutch Eating
1. Manfaat Teoritis
awal
15
2. Manfaat Praktis