Anda di halaman 1dari 5

Perkembangan sosial remaja

Perkembangan sosial pada masa remaja merupakan puncak dari perkembangan


sosial dari fase-fase perkembangan. Bahkan, terkadang, perkembangan sosial
remaja lebih mementingkan kehidupan sosialnya di luar dari pada ikatan sosialnya
dalam keluarga. Perkembangan sosial remaja pada fase ini merupakan titik balik
pusat perhatian. Lingkungan sosialnya sebagai perhatian utama.

Pada usia remaja pergaulan dan interaksi sosial dengan teman sebaya
bertambah luas dan kompleks dibandingkan denga masa-masa sebelumnya termasuk
pergaulan dengan lawan jenis. Pemuasan interlektual juga didapatkan oleh remaja
dalam kelompoknya dengan berdiskusi, berdebat untuk memecahkan masalah.
Mengikuti organisasi sosial juga memberikan keuntungan bagi perkembangan sosial
remaja, namun demikian agara remaja dapat bergaul denga baik dalam kelompoknya
diperlukan kompentensi sosial yang berupa kemampuan dan ketrampilan
berhubungan dengan orang lain.

Suatu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Bronson, menyimpulkan


adanya tiga pola orientasi sosial remaja, yaitu:

Withdrawal vs. Expansive

Anak yang tergolong withdrawal adalah anak yang mempunyai kecenderungan


menarik diri dalam kehidupan sosial, sehingga dia lebih senang hidup menyendiri.
Sebaliknya anak expansive suka menjelajah, mudah ergaul dengan orang lain
sehingga pergaulannya luas.

Reaxtive vs aplacidity

Anak yang reactive pada umumnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingg
mereka banyak kegiatan, sedangkan anak yang aplacidity mempunyai sifat acuh tak
acuh bahkan tak peduli terhadap kegiatan sosial. Akibatnya mereka terisolir dalam
pergaulan sosial.

Passivity vs Dominant

Anak yang berorientasi passivity sebenarnya banyak mengikuti kegiatan sosial


namun mereka cukup puas sebagai anggota kelompok saja, sebaliknya anak
yang dominant mempunyai kecenderungan menguasai dan mempengaruhi teman-
temannya sehingga memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi pemimpin

Tujuan perkembangan Sosial Remaja


1. Memperluas kontak sosial. Remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan
kemudahanya, apakan disekolah atau dilingkungan tetngga. Remaja mulai
menginginkan teman yang memiliki nilai-nilai yang sama, yang dapat memahami,
membuat rasa aman, mereka dapat mempercayakan masalah-masalah dan
membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orang tua.
2. Mengembangakan identitas diri. Remaja dalam kehidupannya mulai ingin
menjawab pertanyaan tentang dirinya, siapakah saya?
3. Menyesuaikan dengan kematangan seksual.
4. Belajar menjadi orang dewasa.

Sikap Sosial Remaja

Perkembangan sikap sosial remaja ada yang disebut sikap konformitas dan
sikap heteroseksual. Sikap konformitas merupakan sikap ke arah penyamanan
kelompok yang menekankan remaja dapat bersifat positif dan negatif. Sikap
konformitas yang negatif seperti pengrusakan, mencuri dll. Sedang konformitas
positif misalnya menghabiskan sebagian waktu dengan anggota lain yang melibatkan
kegiatan sosial yang beik (Santrock,1997).

Perubahan sikap dan perilaku seksual remaja yang paling menonjol adalah
bidang heteroseksual ( Hurlock, 1991). Mereka mengalami perkembangan dari tidak
menyukai lawan jenis, menjadi menyukai lawan jenis. Kesempatan dalam berbagai
kegiatan sosial semakin luas, yang menjadikan remaja memiliki wawasan yang lebih
luas. Remaja semakin mampu dalam berbagai kemampuan sosial yang dapat
meningkatkan kepercayaan diri.

Terkait dengan hubungan heteroseksual ada beberapa tujuan yang dicapai yaitu;

 Remaja dapat berlajar berinteraksi dengan lawan jenis, dimana akan


mempermudah perkembangan sosial mereka terutama kehidupan keluarga.
 Remaja akan dapat melatih diri untuk menjadi mandiri, yaitu diperoleh dengan
berbagai kegiatan sosial.
 Remaja akan mendapatkan status tersendiri dalam kelompok.
 Remaja dapat belajar melakukan memilih teman.

Orang tua dan pendidik harus membimbing remaja agar dapat mencapai
hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita,
mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan
tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang
bertanggungjawab, mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan
keluarga, memperoleh perangkat nilai, serta sistem etis sebagai pegangan untuk
Berperilaku mengembangkan ideologi.

Pada masa remaja berkembang ”social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang
lain. Remaja memahami orang lain sebagi individu yang unik, baik menyangkut sifat pribadi,
minat,nilai-nilai, maupun perasaannya.

Pada masa ini juga berkembang sikap ”conformity”, yaitu kecenderungan untuk
menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau keinginan orang
lain (teman sebaya). Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai
memperhatikan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang
berlaku sebelumnya didalam keluarganya.
Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja bergaul dengan berbagai kelompok
umur. Dengan demikian, remaja mulai memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja,
kelompok anak-anak, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama
remaja lawan jenis dirasakan yang paling penting tetapi cukup sulit, juga terselip pemikiran
adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.

Kehidupan sosial pada jenjang remaja ditandai dengan menonjolnya fungsi intelektual dan
emosional. Seseorang remaja dapat mengalami sikap hubungan sosial yang bersifat tertutup
sehubungan dengan masalah yang di alami remaja. Keadaan atau peristiwa ini oleh Erik
Erickson (dalam Lefton, 1982:281) dinyatakan bahwa anak telah dapat mengalami krisis
identitas. Proses pembentukan identitas diri dan konsep diri seseorang adalah sesuatu yang
kompleks.

Konsep diri anak tidak hanya terbentuk dari bagaimana anak percaya tentang keberadaan
dirinya sendiri, tetapi juga terbentuk dari bagaimana orang lain percaya tentang
keberadaan dirinya. Erickson mengemukakan bahwa perkembangan anak samapai jenjang
dewasa melalui 8 (delapan) tahap dan perkembangan remaja ini berada pada tahap ke-enam
dan ke-tujuh, yaitu masa anak ingin menentukan jati dirinya dan memilih kawan akrabnya.

Sering kali anak menemukan jati dirinya sesuai dengan atau berdasarkan pada situasi
kehidupan yang mereka alami. Banyak remaja yang amat percaya pada kelompok mereka
dalam menemukan jati dirinya. Dalam hal ini Erickson berpendapat bahwa penemuan jati diri
seseorang didorong oleh pengaruh sosiokultural. Tidak seperti halnya
pandangan Freud, kehidupan sosial remaja (pergaulan dengan sesama remaja terutama
dengan lawan jenis) didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan seksual. Semua
perilaku sosial didorong oleh kepentingan seksual.
Pergaulan remaja banyak diwujudkan dalam bentuk kelompok, baik kelompok kecil maupun
kelompok besar. Dalam menetapkan pilihan kelompok yang diikuti, didasari oleh berbagai
penimbangan, seperti morol, sosial ekonomi, minat dan kesamaan bakat, dan kemampuan.
Baik didalam kelompok kecil maupun kelompok besar, masalah yang umum di hadapi oleh
remaja dan paling rumit adalah faktor penyesuain diri. Di dalam kelompok besar akan
terjadi persaingan yang berat, masing-masing individu bersaing untuk tampil menonjol,
memperlihatkan akunya. Oleh karena itu, sering terjadi perpecahan dalam kelompok
tersebut yang disebabkan oleh menonjolnya kepentingan pribadi setiap orang. Tetapi
sebaliknya di dalam kelompok itu terbentuk suatu persatuan yang kokoh, yang diikat oleh
norma kelompok yang telah disepakati.

Nilai positif dalam kehidupan kelompok adalah tiap anggota kelompok belajar
berorganisasi, memilih pemimpin, dan mematuhi aturan kelompok. Sekalipun dalam hal-hal
tertentu tindakan suatu kelompok kurang memperhatikan norma umu yang berlaku di dalam
masyarakat, karena yang lebih diperhatikan adalah keutuhan kelompoknya. Di dalam
mempertahankan dan melawan “serangan” kelompok lain, lebih dijiwai keutuhan kelompoknya
tanpa memperdulikan objektivitas kebenaran.
Penyesuain diri di dalam kelompok kecil, kelompok yang terdiri dari pasangan remaja
berbeda jenis sekalipun, tetap menjadi permasalahan yang cukup berat. Di dalam proses
penyesuaian diri, kemampuan intelektual dan emosional mempunyai pengaruh yang kuat.
Saling menonjolkan diri atau tindakan dominasi terhadap pasangannya, diperlukan tindakan
inteluktual yang tepat dan kemampuan menyeimbangkan pengendalian emosional. Dalam hal
hubungan sosial yang lebih khusus, yang mengarah kepemilihan pasangan hidup,
pertimbangan faktor agama dan suku sering menjadi masalah amat rumit. Pertimbangan
masalah agama dan suku ini bukan saja menjadi kepentingan masing-masing individu yang
bersangkutan, tetapi dapat menyangkut kepentingan keluarga dan kelompok yang lebih
besar ( sesama agama atau sesama suku ).

Remaja pada tingkat perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa.
Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan
pergaulan remaja telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja
telah mulai memperlihatkan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan
norma yang berlaku sebelumnya di dalam keluarganya.

Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja bergaul dengan berbagai kelompok
umur. Dengan demikian, remaja mulai memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja,
kelompok anak-anak, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama
remaja lawan jenis dirasakan yang paling penting tetapi cukup sulit, karena di samping harus
memperhatikan norma pergaulan sesama remaja, juga terselip pemikiran adanya kebutuhan
masa depan untuk memilih teman hidup.
Nama : Eri Fahmi Sofyanda

Thoriq Ilham Nugroho

Kelas : XII IPS 1

Tugas Sosiologi

Perubahan dan perkembangan sosial pada remaja

Anda mungkin juga menyukai