Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN

PRAKTIKUM FITOFARMAKA

TUGAS 3

UJI KANDUNGAN EKSTRAK Kaempferia galanga

Nama : Diana Ra’ida Putri

NIM / Kelas : 201510410311153 / Farmasi C

Kelompok : 9 (Sembilan)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saintifikasi jamu yang akan dilakukan pada jamu di Indonesia mengharuskan bahan
untuk pembuatan jamu yang berupa ekstrak maupun simplisia harus dilakukan uji praklinisnya dan
standardisasinya untuk memperoleh bahan obat alam yang bermutu. Oleh karena itu dilakukan
Standarisasi obat herbal Indonesia terutama standarisasi simplisia dan ekstrak mempunyai arti yang
penting untuk menjaga mutu obat herbal. Standarisasi simplisia dilakukan untuk menentukan
persyaratan mutu, keamanan, dan khasiat dari simplisia. Persyaratan mutu simplisia terdiri atas
berbagai parameter standar umum ekstrak, yaitu parameter spesifik dan non-spesifik. Pada
kegiatan praktikum dilakukan salah satunya pada parameter spesifik yaitu uji kandungan kimia
ekstrak kencur. Sehingga dapat diketahui kandungan kimia dari ekstrak kencur dan dapat
mengetahui khasiat atau kegunaan dari ekstrak kencur.
Rimpang kencur mengandung alkaloid, tannin, saponin, kalsium oksalat, borneol,
kamfen, sineol, etil alcohol, minyak atsiri antara 2,4–3,9% terdiri dari borneol, methyl - p, cumaric
acid, cinamicacid ethil ester, pentadecane, cinamic aldehide, kaemferin dan sineol, p-metoksi
sinamat. Kencur telah dimanfaatkan cukup banyak sebagai tonikum yaitu sebagai obat bengkak-
bengkak, reumatik, obat batuk, obat sakit perut, manghilangkan keringat, penambah nafsu makan,
infeksi bakteri, ekspektoran (memperlancar keluarnya dahak), disentri, karminatif, menghangatkan
badan, pelangsing, penyegar, mengobati luka dan bengkak perut, encok, obat batuk, dan sakit
perut. Rimpang kencur berkhasiat untuk obat batuk, pengompresan bengkak, penambah nafsu
makan dan juga sebagai minuman segar (Rukmana, 1994).

1.2. Tujuan
Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menentukan salah satu nilai parameter spesifik
yaitu uji kandungan kimia ekstrak rimpang kencur (kaemferia galangal).
1.3. Manfaat
Mahasiswa mampu melakukan standarisasi parameter spesifik salah satunya adalah uji
kandungan kimia dari ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga).
BAB II

TINJAUAN PUSATAKA

2.1. Kaempferia galanga L.


Tanaman terna kecil yang siklus hidupnya semusim atau beberapa musim. Akar
rimpang kencur menempel pada umbi akar dan sebagian lagi terletak di atas tanah. Bentuk
rimpang umumnya bulat, bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya coklat kekuningan
dan berbau harum. Rimpang kencur terdapat didalam tanah bergerombol dan bercabang-
cabang dengan induk rimpang di tengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian dalam putih
berair dengan aroma yang tajam. Rimpang yang masih muda berwarna putih kekuningan
dengan kandungan air yang lebih banyak dan rimpang yang lebih tua ditumbuhi akar pada
ruas-ruas rimpang berwarna putih kekuningan. Berikut ini adalah taksonomi dari tanaman
kencur :
Kingdom : Plantae (Tumbuh-tumbuhan)
Divisio : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Subdivisio : Angiospermae (Berbiji tertutup)
Class : Monocotyledonae (Biji berkeping satu)
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Kaempferia
Spesies : Kaemferia galanga L.
Tanaman kencur memiliki batang semu yang sangat pendek, terbentuk dari
pelepah-pelepah daun yang saling menutupi. Daun-daun kencur tumbuh tunggal, melebar
dan mendatar hampir rata dengan permukaan tanah. Jumlah daun bervariasi antara 8-10
helai dan tumbuh secara berlawanan satu sama lain. Bentuk daun elip melebar sampai
bundar, ukuran panjang daun 7-12 cm dan lebarnya 3-6 cm, serta berdaging agak lebar.
Bunga kencur keluar dalam bentuk buliran setengah duduk dari ujung tanaman di sela-sela
daun. Warna bunganya putih, ungu hingga lembayung dan tiap tangkai bunga berjumlah 4-
12 kuntum bunga. Bunga kencur berwarna putih berbau harum terdiri dari empat helai daun
mahkota. Tangkai bunga berdaun kecil sepanjang 2–3 cm, tidak bercabang, dapat tumbuh
lebih dari satiu tangkai, panjang tangkai 5–7 cm berbentuk bulat dan beruas ruas. Putik
menonjol keatas berukuran 1–1,5 cm, tangkai sari berbentuk corong pendek. Buah kencur
termasuk buah kotak beruang 3 dengan bakal buah yang letaknya tenggelam, tetapi sulit
sekali menghasilkan biji. Hampir seluruh bagian tanaman kencur mengandung minyak atsiri.
Zat-zat kimia yang telah banyak diteliti adalah pada rimpangnya, yakni mengandung minyak
atsiri 2,4%-3,9%, juga cinnamal, aldehide, asam motil p-cumarik, etil ester dan pentadekan.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa rimpang kencur mengandung sineol, paraeumarin,
asam anisic, gom, pati (4,14%) dan mineral (13,73%). Kandungan kimia tersebut sangat
berguna bagi obat-obatan, terutama obat batuk, sakit perut dan obat pengeluaran keringat
(Muhlisah, 1999).
2.2. Sediaan Ekstrak
Simplisia banyak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang
tidak dapat larut, seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain. Untuk memisahkan
senyawa aktif tersebut maka perlu dilakukan proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan
kegiatan atau proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut
(Agoes G., 2007). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari
simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak
kering harus mudah digerus menjadi serbuk (BPOM RI, 2010).
2.3. Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat didalam
bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang tepat.
Sedangkan ekstrak adalah hasil dari proses ekstraksi, bahan yang diekstraksi merupakan
bahan alam. (Ditjen POM, 1986).
Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang digunakan, bahan yang
mengandung mucilago dan bersifat mengembang kuat hanya boleh dengancara maserasi.
sedangkan kulit dan akar sebaiknya di perkolasi. untuk bahan yang tahan panas sebaiknya
diekstrasi dengan cara refluks sedangkan simplisia yang mudah rusak karna pemanasan
dapat diekstrasi dengan metode soxhlet. (Agoes, 2007). Hal-hal yang dipertimbangkan
dalam pemilihan metode ekstraksi (Agoes, 2007):
 bentuk/tekstur bahan yang digunakan
 kandungan air dari bahan yang diekstrasi
 jenis senyawa yang akan diekstraksi
 sifat senyawa yang akan diekstraksi
Macam – macam metode ekstraksi :
a) Ekstraksi Cara Dingin
Metoda ini artinya tidak ada proses pemanasan selama proses ekstraksi
berlangsung, tujuannya untuk menghindari rusaknya senyawa yang dimaksud rusak
karena pemanasanan. Jenis ekstraksi dingin adalah maserasi dan perkolasi.
 Maserasi : merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan
cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
 Perkolasi : adalah proses penyarian simplisia dengan jalan melewatkan pelarut
yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam suatu percolator (Ditjen POM :
1986).
b) Ekstraksi Cara Panas
Metoda ini pastinya melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan adanya panas
secara otomatis akan mempercepat proses penyarian dibandingkan cara dingin.
Metodanya adalah refluks, ekstraksi dengan alat soxhlet dan infusa.
 Refluks : metode ini digunakan apabila dalam sintesis tersebut menggunakan
pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan biasa maka
pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai.
 Sokletasi : adalah suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang
terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang-ulang dengan
menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan akan
terisolasi. Sokletasi digunakan pada pelarut organik tertentu (Ditjen POM : 1986).
c) Metode Destilasi Uap Air
Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang
mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang mempunyai
titik didih tinggi pada tekanan udara normal (Ditjen POM : 1986).
2.4. Maserasi
Maserasi merupakan proses penyarian yang paling sederhana dan
banyak digunakan. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari. Maserasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara
mengekstraksi bahan nabati yang direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut non
polar) selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan dalam buku
referensi kefarmasian. Maserasi ini disertai dengan pengadukan pada temperatur
ruang (kamar). Metode ini memiliki keuntungan yaitu cara pengerjaannya yang lebih
mudah, alat-alat yang digunakan sederhana, dan cocok untuk bahan yang tidak tahan
pemanasan (Depkes RI, 1986).
Menurut Hargono dkk. (1986), ada beberapa variasi metode maserasi, antara lain
digesti, maserasi melalui pengadukan kontinyu, remaserasi, maserasi melingkar, dan
maserasi melingkar bertingkat.
a. Digesti merupakan maserasi menggunakan pemanasan lemah (40-50°C).
b. Maserasi pengadukan kontinyu merupakan maserasi yang dilakukan pengadukan
secara terus-menerus, misalnya menggunakan shaker,sehingga dapat mengurangi
waktu hingga menjadi 6-24 jam.
c. Remaserasi merupakan maserasi yang dilakukan beberapa kali. Maserasi melingkar
merupakan maserasi yang cairan pengekstrak selalu bergerak dan menyebar.
d. Maserasi melingkar bertingkat merupakan maserasi yang bertujuan untuk
mendapatkan pengekstrakan yang sempurna.
2.5. EPMS (etil para-metoksi sinamat)
Kencur (Kaempferia galangal L.) secara empiris telah diketahui
memiliki efek antiinflamasi. Kandungan utama kencur adalah etil p-
metoksisinamat (EPMS) yang merupakan senyawa ester turunan dari p-metoksisinamat
yang di dalam tubuh mengalami hidrolisis menjadi senyawa aktif biologis, asam p-
metoksisinamat (APMS), senyawa ini bekerja dengan menghambat enzim
siklooksigenase, sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu.
Selain itu, EPMS termasuk kelompok fenolik alam dari golongan fenil propanoid yang
bermanfaat sebagai tabir surya, senyawa ini memperlihatkan aktifitas serapan maksimum
308nm (daerah UV-B) dan bersifat sebagai UV filter sehingga Etil p-metoksisinamat
mempunyai perlindungan yang baik terhadap sinar matahari yang dapat memantulkan dan
menghamburkan radiasi sinar UV terutama UV-B (290-320 nm) (Soeratri et al, 2014).
2.6. Maserasi Ultrasonik
Metode maserasi yang dimodifikasi dimana ekstraksi difasilitasi dengan
mengguanakan ultrasound (pulsa frekuensi tinggi, 20 kHz). Ekstrak ditempatkan dalam
botol. Vial ditempatkan dalam penangas ultrasonik, dan USG digunakan untuk
menginduksi mekanik pada sel melalui produksi kavitasi dalam sampel. Kerusakan
seluler meningkat pelarut metabolitdalam ekstraksi tergantung pada frekuensi instrument,
dan panjang dan suhu sonikasi.
Pengguanaan ultrasonik pada dasarnya menggunakan prinsip dasar yaitu dengan
mengamati sifat akustik gelombang ultrasonik yang dirambatkan melalui medium yang
dilewati. Pada saat gelombang merambat, medium yang intensif terhadap proses
ekstraksi. Pengadukan akan meningkatkan osmosis antara bahan dengan pelarut sehingga
akan meningkatkan proses ekstraksi.
 Keuntungan dengan menggunakan metode ultrasonik :
1. Mempercepat waktu ekstraksi
2. Lebih efisien dalam penggunaan pelarut
3. Aman digunakan karena prosesnya tidak mengakibatkan perubahan yang
signifikan pada struktur kimia, partikel, dan senyawa-senyawa bahan yang
digunakan
4. Meningkatkan ekstraksi lipid dan protein dari biji tanaman, seperti kedelai
(misalnya tepung kedelai / yang dihilangkan lemak ) atau bibit minyak lainnya.
 Kekurangan :
1. Membutuhkan biaya yang tidak sedikit, kerana relative mahal
2. Membutuhkan curing pada prosesnya
2.7. Pemilihan Pelarut
Maserasi adalah merendam simplisia dalam suatu wadah menggunakan pelarut
penyari tertentu selama beberapa hari sambil sesekali diaduk, lalu disaring dan diambil
beningannya. Selama ini dikenal ada beberapa cara untuk mengekstraksi zat aktif dari
suatu tanaman ataupun hewan menggunakan pelarut yang cocok. Pelarut-pelarut
tersebut ada yang bersifat “bisa campur air” (contohnya air sendiri, disebut pelarut
polar) ada juga pelarut yang bersifat “tidak campur air” (contohnya aseton, etil asetat,
disebut pelarut non polar atau pelarut organik). Metode Maserasi umumnya
menggunakan pelarut non air atau pelarut non-polar. Teorinya, ketika simplisia yang
akan di maserasi direndam dalam pelarut yang dipilih, maka ketika direndam, cairan
penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel yang penuh dengan zat
aktif dan karena ada pertemuan antara zat aktif dan penyari itu terjadi proses pelarutan
(zat aktifnya larut dalam penyari) sehingga penyari yang masuk ke dalam sel tersebut
akhirnya akan mengandung zat aktif, katakan 100%, sementara penyari yang berada di
luar sel belum terisi zat aktif (nol%) akibat adanya perbedaan konsentrasi zat aktif di
dalam dan di luar sel ini akan muncul gaya difusi, larutan yang terpekat akan didesak
menuju keluar berusaha mencapai keseimbangan konsentrasi antara zat aktif di dalam
dan di luar sel. Proses keseimbangan ini akan berhenti, setelah terjadi keseimbangan
konsentrasi (istilahnya “jenuh”).
Ekstrak etanol dapat mengidentifikasi senyawa metabolit lebih banyak dari pada
ekstrak air., hal ini dikarenakan ekstrak etanol memiliki kesamaan tingkat kepolaran
dengan senyawa yang didapatkan. Aglikon flavonoid adalah polifenol yang mempunyai
sifat kimia senyawa fenol. Adanya sejumlah gugus hidroksil, flavonoid juga bersifat
polar dan karenanya cukup larut dalam pelarut polar seperti etanol (Markham,1988).
Pemilihan pelarut dipengaruhi oleh :
 Selektivitas, pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan.
 Kelarutan, pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang
besar.
 Kemampuan tidak saling bercampur, pada ekstraksi cair, pelarut tidak boleh larut
dalam bahanekstraksi.
 kerapatan, sedapat mungkin terdapat perbedaan kerapatan yang besar antara pelarut
dengan bahan ekstraksi.
 Keaktiviitas, pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada
komponen bahanekstraksi.
 Titik didih, titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat karena ekstrak dan
pelarut dipisahkan dengan cara penguapan, distilasi dan rektifikasi.
 Kriteria lain, sedapat mungkin murah, tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun,
tidak mudah terbakar, tidak eksplosif bila bercampur udara, tidak korosif, buaka
emulsifier, viskositas rendah dan stabil secara kimia dan fisik (Sutriani,L, 2008).

2.8. Standarisasi

Standardisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang


hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam arti
memenuhi syarat standar (kimia, biologi, dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas)
stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari
berbagai parameter standard umum dan parameter standar spesifik. Pengertian
standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau
produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan
(dirancang dalam formula) terlebih dahulu. Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau
pengumpulan tumbuhan liar (wild crop), kandungan kimianya tidak dijamin selalu
konstan karena adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara)
panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi senyawa kandungan dalam
produk hasil panen tumbuhan obat (invivo) disebabkan beberapa aspek diantaranya aspek
genetik (bibit), lingkungan (tempat tumbuh dan iklim), rekayasa agronomi (fertilizer dan
perlakuan selama masa tumbuh), serta panen (waktu dan paska panen) (Depkes RI,
2000).

2.9. Parameter Mutu Standar Ekstrak


Parameter-parameter standar ekstrak terdiri dari parameter spesifik dan parameter
non spesifik.
A. Parameter Spesifik (Depkes RI, 2000)
Penentuan parameter spesifik adalah aspek kandungan kimia kualitatif dan aspek
kuantitatif kadar senyawa kimia yang bertanggung jawab langsung terhadap aktivitas
farmakologi tertentu. Parameter spesifik ekstrak meliputi:
1. Identitas (parameter identitas ekstrak)
Meliputi deskripsi tata nama, nama ekstrak (generik, dagang, paten), nama
lain tumbuhan (sistematika botani), bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang,
daun dsb) dan nama Indonesia tumbuhan.
2. Organoleptik
Parameter organoleptik ekstrak meliputi penggunaan panca indera
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang sederhana
se-objektif mungkin.
3. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu
Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah
larutan yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam
hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut memberikan gambaran awal jumlah
senyawa kandungan.
4. Uji kandungan kimia ekstrak:
a. Pola kromatogram
Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga
memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan gambaran
awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT, KCKT)
(Depkes, 2000).
b. Kadar kandungan kimia tertentu
Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa kimia
utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental
dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrument yang dapat
digunakan adalah densitometri, kroatografi gas, KCKT atau instrument lain yang
sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai
senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek
farmakologi (Depkes, 2000).
B. Parameter Non-Spesifik
Penentuan parameter non spesifik ekstrak yaitu penentuan aspek kimia,
mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas
(Saifudin et al, 2011).
Parameter non spesifik ekstrak meliputi: (Depkes RI, 2000)
1. Susut Pengeringan
Parameter susut pengeringan bertujuan untuk memberikan batasan
maksimal besarnya senyawa yang hilang selama proses pengeringan. Pengukuran
dilakukan setelah pengeringan pada suhu 105oC selama 30 menit atau sampai
berat konstan (Depkes RI, 2000).
2. Berat jenis
Parameter berat jenis adalah masa per satuan vlume yang diukur pada
suhu kamar tertentu (25oC) yang menggunakan alat khusus piknometer atau alat
lainnya. Tunjuannya adalah memberikan batasan tentang besarnya masa per
satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak
pekat (kental) yang masih dapat dituang, berat jenis juga terkait dengan
kemurnian dari ekstrak dan kontaminasi (Depkes RI, 2000).
3. Kadar air
Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada
didalam bahan, yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang
tentang besarnya kandungan air dalam bahan. Nilai yang diamati adalah nilai
maksimum kadar air, nilai kontaminasi, dan nilai kemurnian. (Depkes RI, 2000).
Adapun beberapa cara yang dilakukan :
 Cara titrasi, titrasi dengan pereaksi Karl Fischer. Pertama dimasukkan
methanol 20.0 mL ke dalam labu titrasi, kemudian dititrasi dengan pereaksi
Karl Fischer hingga titik akhir titrasi. Kedua dimasukkan ekstrak dengan
perkiraan kandungan air 10mg-50mg ke dalam labu titrasi dan diaduk selama
1 menit, kemudian dititrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik akhir
titrasi. Hitung kesetaraan titrasi dengan jumlah air.
 Cara Destilasi, ekstrak yang diperkirakan mengandung air 2mL-4mL
dimasukkan ke dalam labu kering. Tambahkan kurang lebih 200mL toluene
ke dalam labu kemudian hubungkan alat. Panaskan labu dengan hati-hati
selama 15 menit. Jika toluene telah mendidih, suling dengan kecepatan 2 tetes
per detik dan bila air sebagian mulai tersuling tingkatkan kecepatan menjadi 4
tetes per detik. Jika semua air sudah tersuling, bersihkan bagian dalam
pendingin dengan toluene. Lanjutkan penyulingan selama 5 menit, biarkan
tabung pendingin mencapai suhu kamar, jika air dan toluene sudah terpisah
sempurna baca volume air yang terdapat. Hitung dalam persen.
 Cara Gravimetri, ekstrak sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam wadah,
dikeringkan pada suhu 105oC selama 5 jam, kemudian ditimbang. Lanjutkan
pengeringan dan dan timbang pada jara 1 jam. Timbang hingga selisih antar
penimbangan tidak lebih dari 0.25%. Metode tersebut tidak sesuai untuk
ekstrak dengan kandungan minyak atsiri yang tinggi, dan lebih sesuai
digunakan sebagai penetapan kadar susut pengeringan.
4. Kadar abu
Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur tertentu
dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap. Sehingga
tinggal unsur mineral dan anorganik, yang memberikan gambaran kandungan
mineral interal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak. Parameter kadar abu ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi suatu
ekstrak (Depkes RI, 2000).
5. Sisa pelarut
Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut tertentu
yang mungkin terdapat dalam ekstrak. Tujuannya adalah memberikan jaminan
bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memangg seharusnya
tidak boleh ada. Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut
tertentu yang mungkin terdapat dalam ekstrak. Tujuannya adalah memberikan
jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memangg
seharusnya tidak boleh ada. Nilai yang diamati adalah nilai maksimum kadar
etanol, nilai kontaminasi, dan nilai kemurnian. (Depkes RI, 2000).
6. Residu Pestisida
Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang
terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau
tanah (Deptan, 1984). Beberapa yang mengindikasikan batas residu, digunakan
untuk memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu (BMR)
adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan
dalam mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal
pada komoditas makanan dan daging hewan.
7. Cemaran logam berat
Parameter cemaran logam berat adalah penentuan kandungan logam berat
dalam suatu ekstrak, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak
mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi batas yang telah
ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).
8. Cemaran mikroba
Parameter cemaran mikroba adalah penentuan adanya mikroba yang
pathogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya adalah memberikab jaminan
bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung
mikroba non patogen melebihi batas yang telah ditetapkan karena berpengaruh
pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).
9. Cemaran aflatoksin
Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur.
Aflatoksik sangat berbahaya karena dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan
keracunan), mutagenik (mutasi gen), teratogenik (penghambatan pada
pertumbuhan janin), dan karsinogenik (menimbulkan kanker pada jaringan). Jika
ekstrak positif mengandung aflatoksin maka pada media pertumbuhan akan
menghasilkan koloni berwarna hijau kekuningan sangat cerah (Saifudin et al,
2011).
2.10. Uji Kandungan Kimia Ekstrak kencur (kaempferia galangal L.)
Uji kandungan kimia ekstrak kencur (kaempferia galangal L.) merupakan salah
satu parameter mutu spesifik.
a) Prinsip : Ekstrak ditimbang, diekskresikan dengan pelarut dan cara tertentu,
kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram
yang khas.
b) Prosedur :
1. Larutan uji : Ekstrak ditimbang dan diekskresikan berturut-turut dengan pelarut
hexane, etilasetat, etanol, air. Cara ekstraksi dapat dilakukan dengan pengocokan
selama 15 menit atau dengan getaran ultrasonic atau dengan pemanasan
kemudian disaring untuk mendapatkan larutan uji.
2. Kromatografi lapis tipis (KLT) : umumnya dibuat kromatogram pada lempeng
silica gel dengan berbagai jenis fase gerak sesuai dengan golongan kandungan
kimia sebagai sasaran analisis. Evaluasi dapat dilakukan dengan dokumentasi
fotohasil pewarnaan lempeng kromatografi dengan pereaksi yang sesuai atau
dengan melihat kromatogram hasil perekaman menggunakan instrument
densitometer (TLC-Scanner). Perekaman dapat dilakukan secara absorbsi-
refleksi pada panjang gelombang 254 nm, 365 nm, dan 415 nm atau pada
panjang gelombang lain yang spesifik untuk suatu komponen yang sudah
diketahui.
c) Kadar Total Golongan Kandungan Kimia
a. Prinsip : dengan penetapan kadar spektrofotometri, titrimetric, volumetri,
gravimetri atau lainnya, dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia.
Metode harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linearitas.
b. Prosedur :
1. Penetapan kadar minyak atsiri
Timbang secukupnya sejumlah ekstrak hingga diperkirakan dapat
menghasilkan 1 – 3 ml minyak atsiri. Masukkan ekstrak yang telah ditimbang
kedalam labu. Hubungkan dengan bagian pendingin dan penampungan
berskala (rangkai keseluruhan alat destilasi). Didihkan isi labu dengan
pemanasan yang sesuai untuk menjaga agar pendidihan berlangsung tidak
terlalu kuat atau sampai minyak atsiri terdestilasi sempurna dan tidak
bertambah lagi dalam bagian penampung berskala.
2. Penetapan kadar steroid
- Larutan baku : timbang seksama 1 mg sitosterol, larutkan dalam etanol
secara bertingkat sehingga diperoleh kadar 5,10 dan 20 𝜇g/ml.
- Larutan uji : timbang seksama 1 g ekstrak, larutan dalam 20 ml etanol
dalam labu takar. Ulangi sampai 3 kalidengan cara yang sama. Kedalam 2
labu yang masing-masing berisi larutan uji dan larutan baku dan kedalam
labu ketiga berisi 20.0 ml etanol sebagai blanko, tambahkan 2.0 ml larutan
yang dibuat dengan melarutkan 50 mg tetrazolium biru dalam 10 ml
methanol dan campur, kemudian kedalam tiap labu ditambahkan 2.0 ml
campuran etanol dan tetrametil ammonium hidroksida (9:1), campur dan
biarkan dalam gelap selama 90 menit. Ukur segara serapan yang diperoleh
dari larutan uji dan larutan baku pada panjang gelombang ± 525 nm.
3. Penetapan kadar tannin
Lebih kurang 2 g ekstrak ditimbang seksama dipanaskan dengan 50 ml air
mendidih diatas penangas air selama 30 menit sambal diaduk. Diamkan
selama beberapa menit, endapkan, saring (bisa dengan kapas) kedalam labu
takar 250 ml. Larutkan kembali residu dengan air mendidih, kemudian saring
kembali ketempat yang sama. Ulangi penyaringan beberapa kali hingga bila
direaksikan dengan besi (III) ammonium sulfat tidak menunjukan adanya
tannin. Dinginkan cairan dan tambahkan air secukupnya hingga 250 ml. Pipet
25 ml larutan kedalam labu 1000 ml, tambahkan 750 ml air dan 25 ml asam
indigo sulfat, titrasi dengan kalium permanganate 0,1 N hingga larutan
berwarna kuning emas. 1 ml kalium permanganat 0,1 N setara dengan
0,004157 g tannin.
- Asam indigo sulfonate : larutkan 1 mg indigo karmin dalam 25 ml asam
sulfat, tambahkan 25 ml asam sulfat lagi dan encerkan dengan air
secukupnya hingga 1000 ml.
4. Penetapan kadar flavonoid
- Hidrolisis : timbang ekstrak yang setara dengan 200 mg simplisia dan
masukkan kedalam labu alas bulat. Tambahkan system hidrolisis yaitu 1,0
ml larutan 0,5% b/v heksametilentetramina, 20,0 ml aseton dan 2,0 ml
larutan 25 % HCl dalam air. Lakukan hidrolisis dengan pemanasan sampai
mendidih (gunakan pendingin air/reflux) selama 30 menit. Campurkan
hasil hidrolisis ditambah 20 ml aseton untuk dididihkan kembali sebentar,
lakukan 2 kali dan filtrate dikumpulkan semua kedalam labu ukur. Setelah
labu ukur dingin , maka volume ditetapkan sampai tepat 100,0 ml. kocok
ad homogen. 20 ml filtrat hidrolisa dimasukkan corong pisah dan
tambahkan 20 ml H2O, selanjutnya dilakukan ekstraksi kocok, pertama
dengan 15 ml etilasetat. Kemudian 2 kali dengan 10 ml etilasetat dan
kumpulkan fraksi etilasetat kedalam labu ukur 50,0 ml, akhirnya
tambahkan etilasetat sampai tepat 50,0 ml. untuk replikasi
spektrofotometri lakukan prosedur ini 3 – 4 kali.
- Uji spektrofotometri : masukkan 10 ml larutan fraksi etilasetat (hidrolisa)
kedalam larutan 25,0 ml, tambahkan 1 ml larutan 2 g AgCl3 dalam 100 ml
larutan asam asetat glacial 5% v/v (dalam methanol) secukupnya sampai
tepat 25,0 ml. Hasil reaksi siap diukur pada spektrofotometer setelah 30
menit berikutnya pada panjang gelombang maksimum. Perhitungan kadar
menggunakan bahan standar glikosida (hiperoksida, rutin, hesperidin),
gunakan kurva baku dan nilai kadar terhitung sebagai bahan standar
tersebut. Jika menggunkan hiperoksida dapat langsung diukur dengan
rumus :
Kadar total flavonoid = [ (Α° x 1,25) berat sampel ]%
5. Penetapan kadar alkaloid
Timbang seksama 1 g ekstrak, masukkan dalam corong pisah 125 ml
pertama, kemudian tambahkan 20 ml larutan asam sulfat ( 1 dalam 350) dan
kocok kuat selama 5 menit. Tambahkan 20 ml eter, kocok hati-hati, sering
lapisan asam kedalam corong pisah kedua. Kocok lapisan eter 2 kali, tiap kali
dengan 10 ml larutan asam sulfat ( 1 dalam 350), saring tiap lapisan asam
kedalam corong pisah 125 ml kedua dan buang lapisan eter. Pada ekstrak
tambahkan 10 ml larutan natrium hidroksida dan 50 ml larutan eter, kocok
hati – hati, pindahkan lapisan air kedalam corong pisah 125 ml ketiga berisi
50 ml eter. Kocok corong pisah ketiga dengan hati-hati, buang lapisan air,
cuci dengan 20 ml air, buang lapisan air. Ekstraksi kedua lapisan eter masing
–masing dengan 20 ,20 dan 5 ml larutan asam sulfat ( 1 dalam 70). Lakukan
ekstraksi dengan corong pisah ketiga lebih dahulu, kemudian corong pisah
kedua. Campurkan ekstrak asam dalam labu ukur 50,0 ml, encerkan dengan
asam sampai tanda. Lakukan hal sama terhadap 25 mg alkaloid pembanding
yang tersedia. Encerkan masing –masing 5,0 ml larutan uji dan larutan
pembanding dengan larutan asam sulfat (1 dalam 70) hingga 100,0 ml dan
tetapkan serapan tiap larutan pada panjang gelombang tertentu menggunakan
larutan asam sulfat (1 dalam 70) sebagai blanko.
6. Penetapan antrakinon
Timbang 0,1 g ekstrak, kocok dengan 10 ml air panas selama 5 menit,
saring dalam keadaan panas, dinginkan filtrat dan ekstraksi dengan 10 ml
benzena. Pisahkan lapisan benzena. Tambahkan pada lapisan air 10 ml
larutan ferri klorida 5% dan 5 ml asam klorida. Panaskan campuran pada
penangas air selama 10 menit dalam tabung refluks. Dinginkan dan ekstraksi
dengan 10 ml benzena. Uapkan cairan hingga habis pada cawan porselen
dengan pemanasan lemah. Larutkan residu dalam 5 ml larutan kalium
hidroksida 5% dalam methanol. Ukur serapan pada panjang gelombang 515
nm.
2.11. Penetapan Kadar Senyawa Marker Pada Ekstrak Rimpang Kaempferia galangal
1. Senyawa Marker
Senyawa marker (penanda) adalah suatu senyawa yang terdapat dalam bahan
alam dan diseleksi untuk keperluan khusus (contoh untuk tujuan identifikasi atau
standardisasi) melalui penelitian. Syarat senyawa dapat ditetapkan sebagai penanda
apabila bersifat khas, mempunyai struktur kimia yang jelas, dapat diukur kadarnya
dengan metode analisis yang biasa digunakan, bersifat stabil, tersedia dan dapat
diisolasi (Purnomo, 2008).
Senyawa marker (penanda) dapat digolongkan menjadi empat yang didasarkan
pada bioaktifitasnya. Empat golongan ini meliputi senyawa aktif, penanda aktif,
penanda analitik dan penanda negatif.
a. Senyawa aktif adalah senyawa yang diketahui aktifitas secara klinik.
b. Penanda aktif adalah senyawa yang diketahui aktifitas farmakologi dan khasiatnya,
tetapi khasiatnya belum dibuktikan secara klinis.
c. Penanda analitik adalah senyawa yang dipilih untuk determinasi secara kuantitatif.
Senyawa ini dimungkinkan atau tidak aktifitas biologisnya dan dapat membantu
identifikasi positif dari bahan tanaman atau ekstrak tanaman atau digunakan untuk
tujuan standardisasi.
d. Penanda negatif adalah senyawa yang memiliki sifat alergi atau toksik atau
mengganggu bioavailabilitasnya (Patterson, 2006).
2. Kromatografi Fingerprint
Fingerprint chromatografi merupakan suatu teknik kromatografi yang
membandingkan persamaan dan perbedaan komponen-komponen kimia yang ada dalam
ekstrak tanaman dan produknya. Metode ekstraksi dan persiapan sampel merupakan
tahap yang penting fingerprint obat herbal yang berguna untuk efisiensi evaluasi sebagai
kontrol kualitas (Liang et al., 2004).
Ada 4 teknik kromatografi yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian
kandungan tumbuhan atau bisa juga dilakukan dengan gabungan dari empat teknik
tersebut. Keempat teknik Kromatografi tersebut yaitu kromatografi kertas, kromatografi
lapis tipis, kromatografi gas cair, dan kromatografi cair kinerja tinggi.
Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi lapis tipis adalah yang
paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi karena hanya memerlukan
investasi yang kecil untuk perlengkapan, waktu analisis relatif singkat, jumlah cuplikan
yang diperlukan sedikit, selain itu kebutuhan ruang minimum serta penanganannya
sederhana. KLT yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan
menggunakan densitometer sebagai alat pelacak bila cara penotolanya dilakukan secara
kuantitatif. Prinsip kerja dari densitometer adalah adanya pelacakan pada panjang
gelombang maksimal yang telah ditetapkan sebelumnya. Scanning atau pelacakan
densitometer ada dua metode yaitu dengan cara memanjang dan sistem zig-zag. Pada
umumnya lebih banyak digunakan metode zig-zag karena pengukuranya lebih merata
serta ketelitian pengukuran lebih terjamin dibanding pengamatan secara lurus atau
memanjang.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fitokimia dan
teknik yang paling cocok untuk analisis. Metode ini hanya memerlukan waktu sedikit
untuk analisis dan jumlah cuplikan yang digunakan sangat sedikit. Lapisan yang
memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir yang disebut fase diam, ditempatkan pada
penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan
dipisahkan berupa larutan, ditotolkan pada bercak atau pita. Selain itu plat atau lapisan
diletakkan dalam bejana pengembang yang berisi larutan pengembang (fase gerak),
pemisahan terjadi selama perembatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa
yang tidak berwarna harus ditempatkan atau dideteksi dengan pereaksi deteksi (Stahl,
1985).
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis lebih baik
dikerjakan dengan pereaksi lokasi kimia dan reaksi warna. Tetapi lazimnya untuk
identifikasi menggunakan lampu UV 254 nm dan 366 nm dan bercak dihitung harga Rf-
nya. Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,99 dan hanya dapat ditentukan dua desimal.
hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0-100
(Stahl, 1985). Sedangkan pereaksi semprot atau penampak bercak digunakan pada
deteksi senyawa tertentu. Misalnya dalam tanaman yang banyak mengandung flavonoid
menggunakan AlCl3 dan minyak atsiri menggunakan vanilin asam sulfat (Markham,
1988).

Penggunaan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), yaitu:


a. Analisis Kualitatif Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat digunakan untuk uji
identifikasi senyawa baku. Parameter pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang
digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika
mempunyai nilai Rf yang sama diukur pada kondisi Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
yang sama dengan 3 sistem eluen yang berbeda (Gandjar dan Rohman, 2007).
b. Analisis Kuantitatif Ada 2 cara yang digunakan untuk analisis kuantitatif dengan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pertama, bercak diukur langsung pada lempeng
dengan menggunakan ukuran luas atau dengan teknik densitometri. Cara kedua
adalah dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam
bercak tersebut dengan metode analisis yang lain, misalkan dengan metode
spektrofotometri (Gandjar dan Rohman, 2007).
BAB III
PROSEDUR KERJA

3.1. Alat dan bahan

A. Alat B. Bahan
a. Gelas ukur a. Ekstrak kencur
b. Pipet volume b. Etanol 96%
c. Timbangan analitical c. Standar EPMS
d. Labu ukur d. n-heksana
e. Chamber e. etil asetat
f. Ultrasonik f. asam format
g. Plat KLT
h. Densitometri
i. Pipa kapiler

3.2. Prosedur Kerja


1. Pembuatan Eluen (Fase gerak)
Eluen yang digunakan adalah n-heksana : etil asetat : asam formiat
(90:10:1).Buatlah eluen sebanyak 101 mL. Masukkan ke dalam chamber.
Homogenkan di dalam chamber dengan cara digoyang-goyang. Apabila volume
eluen terlalu banyak, maka dikurangi.Jangan sampai totolan awal pada
lempeng KLT tercelup di dalam eluen.
2. Pembuatan Larutan Baku
A. Pembuatan larutan baku induk (BI)
a. Ditimbang standar EPMS dengan seksama sebanyak 250,0 mg, ditambah
dengan 20 mL etanol 96%, diultrasonik selama 5 menit kemudian ditambah
dengan etanol 96% sampai tepat 50,0 mL. Diperoleh larutan baku induk 1
dengan konsentrasi 5000 ppm (LI 1).
b. Dipipet 4,0 ml LI 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml. ditambahkan
etanol 96% sampai garis tanda, kocok ad homogen. Diperoleh larutan
baku induk 2 dengan konsentrasi 2000 ppm (LI 2).
B. Pembuatan baku kerja
Baku Induk /baku
Larutan Konsentrasi Jumlah yang digunakan
kerja yang
Baku
diambil
Baku 1 200 ppm 5,0 ml baku 3 Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 2 300 ppm 5,0 ml baku 5 Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 3 400 ppm 5,0 ml baku 6 Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 4 500 ppm 5,0 ml LI 1 Ditambah etanol ad 50,0 ml
Baku 5 600 ppm 3,0 ml LI 2 Ditambah etanol ad 10,0 ml
Baku 6 800 ppm 4,0 ml LI 2 Ditambah etanol ad 10,0 ml

3. Preparasi Sampel
A. Sampel untuk Penetapan Kadar
Ditimbang sampel sebanyak 20,0 mg masing-masing sebanyak tiga kali,
ditambah pelarut masing-masing sebanyak 2,0 mL. Diultrasonik selama 5 menit.
Ditambahkan etanol 96% sampai 5,0 ml, diultrasonik selama 10 menit.
Kemudian disaring dan ditampung filtratnya
B. Sampel untuk Penentuan Recoveri
Ditimbang sampel sebanyak 20,0 mg masing-masing sebanyak tiga kali,
ditambah pelarut masing-masing sebanyak 2,0 mL. Diultrasonik selama 5 menit.
Ditambahkan standar EPMS 500 ppm sebanyak 1,0 ml, kemudian ditambahkan
pelarut sampai 5,0 ml, diultrasonik selama 10 menit. Kemudian disaring dan
ditampung filtratnya
C. Penotolan sampel dan standar pada lempeng KLT
a. Totolkan sampel dan sampel untuk recoveri sebanyak 2 mikroliter,
sedangkan standar EPMS sebanyak 2 mikroliter pada plat KLT.
20 cm

0,5 cm

10 cm

2 cm 1,5 cm

1 S1 2 S2 3 S3 4 R1 5 R2 6 R3 1,5 cm

Keterangan :

Jarak antarnoda : 1,5 cm

1, 2, 3 dst : standar EPMS

S1, S2, S3 : Sampel 1, 2, dan 3

R1, R2, R3 : sampel recoveri 1, 2, dan 3

4. Cara Kerja analisis dengan Thin Layer Chromatography (TLC) Scanner


A. Penentuan panjang gelombang maksimum
Plat KLT yang sudah di-scan pada panjang gelombang 254 dan 365 nm,
kemudian di-scan pada panjang gelombang 200-400 nm. Dari sini dapat
diketahui pada panjang gelombang berapa EPMS memberikan
absorbanmaksimum. Panjang gelombang maksimum tersebut yang akan
digunakan untuk pengukuran.
B. Penentuan linearitas
Linearitas menentukan dari larutan standart EPMS pada lempeng KLT,
kemudian dianalisis dengan menggunakan KLT-densitometer pada panjang
gelombang maksimum. Dihitung berapa regresi linear antara kadar dan luas area
noda.
C. Penentuan presisi
Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing-masing 2uL dan
larutan standar EPMS masing-masing 2 𝜇L pada lempeng KLT.Lempeng ini
kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-
densitometer pada panjang gelombang maksimum.Sehingga dapat dihitung
berapa standart deviasi (SD) dan koefisien variasinya (KV).
D. Penentuan akurasi
Untuk menentukan % recovery, ditotolkan sampel recovery masing-
masing 2 𝜇L (lihat preparasi sampel untuk recovery) dan larutan standar EPMS
masing-masing 2 𝜇L pada lempeng KLT. yLempeng ini kemudian dieluasi
dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang
gelombang maksimum.

Kadar yang diperoleh Ct


% recovery = = x 100%
Kadar yang sebenarnya Cp + Cst

Dimana : CT = Kadar EPMS yang diperoleh


Cp = Kadar EPMS dalam sampel
Cst = Kadar standar EPMS yang ditambahkan
Hasil yang telah diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan
koefisen variasinya (KV).
Kadar etil-p-metoksisinamat dalam kencur cukup tinggi (tergantung
spesiesnya) dengan bias sampai 10%.
3.3. Bagan Alir
1. Pembuatan Eluen (Fase gerak)

Diukur eluen dari n-heksana : etil asetat : asam formiat (90 : 10 : 1) sebanyak 101 ml

Dimasukkan kedalam chamber, digoyang-goyangkan agar homogen.


2. Pembuatan Larutan Baku
A. Pembuatan Larutan Induk
a. Pembuatan larutan baku induk 1

Ditimbang 250 mg standar EPMS

Ditambahkan 20 ml etanol 96%

Di Ultrasonik selama 5 menit

Ditambahkan 50 ml etanol 96%

Larutan induk 1 dengan konsentrasi 5000 ppm (LI 1)

b. Pembuatan larutan baku induk 2

Dipipet 4,0 ml larutan induk 1, dimasukkan ke dalam


labu ukur 10,0 ml

Ditambahkan etanol 96% ad garis tanda,


dikocok ad homogen

Larutan induk 2 dengan konsentrasi 2000


ppm (LI 2)
B. Pembuatan Baku Kerja
a. Baku induk 6

Dipipet 4,0 ml dari LI 2

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

b. Baku induk 5

Dipipet 3,0 ml dari LI 2

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

c. Baku induk 4

Dipipet 5,0 ml dari LI 1

Dimasukan ke labu 50,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

d. Baku induk 3

Dipipet 5,0 ml dari Baku 6

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

e. Baku induk 2
Dipipet 5,0 ml dari Baku 5

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

f. Baku induk 1

Dipipet 5,0 ml dari Baku 4

Dimasukan ke labu 10,0 ml + ethanol 96% ad tanda. Homogenkan

3. Preparasi Sampel
A. Sampel untuk penetapan kadar EPMS dalam Ekstrak Kering

Ditimbang 20 mg sampel masing-masing sebanyak 3 kali

Ditambahkan pelarut masing-masing sebanyak 2 ml

Di Ultrasonik selama 5 menit

Ditambahkan etanol 96% sampai 5,0 ml

Di Ultrasonik selama 10 menit

Disaring dan ditampung filtrat


B. Sampel untuk penentuan recoveri

Ditimbang 20 mg sampel masing-masing sebanyak 3 kali

Ditambahkan pelarut masing-masing sebanyak 2 ml

Di Ultrasonik selama 5 menit

Ditambahkan 1,0 ml standar EPMS 500 ppm

Ditambahkan pelarut 5,0 ml, lalu di Ultrasonik selama 10 menit

Disaring dan ditampung filtrat

C. Penotolan sampel dan standar pada plat KLT

Totolkan sampel dan sampel untuk recoveri sebanyak 2 𝜇L,


sedangkan standar EPMS sebanyak 2 𝜇L pada plat KLT.

20 cm

0,5
cm

10 cm

2 cm 1,5
cm

1 S1 2 S2 3 S3 4 R1 5 R2 6 1,5 cm
R3
Keterangan :
Jarak antarnoda : 1,5 cm
1, 2, 3 dst : standar EPMS
S1, S2, S3 : Sampel 1, 2, dan 3
R1, R2, R3 : sampel recoveri 1, 2, dan 3
4. Cara Kerja Analisis dengan Thin Layer Chromatography (TLC) Scanner
A. Penentuan panjang gelombang maksimum
Plat KLT yang sudah di-scan pada panjang gelombang 254 dan 365 nm,
kemudian di-scan pada panjang gelombang 200-400 nm. Dari sini dapat
diketahui pada panjang gelombang berapa EPMS memberikan
absorbanmaksimum. Panjang gelombang maksimum tersebut yang akan
digunakan untuk pengukuran.
B. Penentuan linearitas
Linearitas menentukan dari larutan standart EPMS pada lempeng KLT,
kemudian dianalisis dengan menggunakan KLT-densitometer pada panjang
gelombang maksimum. Dihitung berapa regresi linear antara kadar dan luas
area noda.
C. Penentuan presisi
Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing-masing 2 𝜇L dan
larutan standar EPMS masing-masing 2 𝜇L pada lempeng KLT.Lempeng ini
kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-
densitometer pada panjang gelombang maksimum.Sehingga dapat dihitung
berapa standart deviasi (SD) dan koefisien variasinya (KV).
D. Penentuan akurasi
Untuk menentukan % recovery, ditotolkan sampel recovery masing-
masing 2 𝜇L (lihat preparasi sampel untuk recovery) dan larutan standar EPMS
masing-masing 2 𝜇L pada lempeng KLT. yLempeng ini kemudian dieluasi
dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada
panjang gelombang maksimum.
Kadar yang diperoleh Ct
% recovery = = x 100%
Kadar yang sebenarnya Cp + Cst

Dimana : CT = Kadar EPMS yang diperoleh


Cp = Kadar EPMS dalam sampel
Cst = Kadar standar EPMS yang ditambahkan
Hasil yang telah diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan
koefisen variasinya (KV).
Kadar etil-p-metoksisinamat dalam kencur cukup tinggi (tergantung
spesiesnya) dengan bias sampai 10%.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes. Goeswin, 2007, Teknologi Bahan Alam. ITB Press: Bandung

Badan POM RI, 2010, Acuan Sediaan Herbal: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan

Departemen Pertanian. 1984. Petunjuk Pemakaian Pestisida. Banjarmasin: Balai


Informasi Pertanian.

Ditjen POM, (1986), Sediaan Galenik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia:


Jakarta.
Gandjar, I. G. & Rohman, A., 2007, Kimia Farmasi Analisis, 323-346, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Hargono, Djoko. dkk, 1986, Sediaan Galenik. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM). Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta.

Liang, Y., Xieb P., Chan K., 2004, Review : Quality control of herbal medicines,
Journal of Chromatography B, 812 (2004), 53-70

Markham, 1988, Cara Identifikasi Flavonoid, Diterjemahkan oleh Kosasih


Padmawinata, hal 1-20, Penerbit ITB, Bandung.

Muhlisah F, 1999, Temu-temuan dan Empon- empon, Budidaya dan Manfaatnya,


Penerbit Kanisius : Yogyakarta

Patterson, C.A.,2006. Markers and Natural Health Products, Wellness Ewst


Technology Watch, Canada

Purnomo, A.D., 2008, Analisis Makroskopik, Mikroskopik, dan Penentuan Senyawa


Identitas dari Simplisia Herba Purwoceng, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Rukmana, R, 1994, Kencur, Kanikus : Yogyakarta.


Saifudin, A., Viesa, R., dan Hilwan, Y.T. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soeratri, W. dan Tutik, P. 2004. Penambahan asam glikolat terhadap efektifitas sediaan
tabir surya kombinasi anti UV-A dan anti UV-B dalam basis gel. Majalah Farmasi
Airlangga: Surabaya
Stahl, E., 1985, Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, Edisi terjemahan
(diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, Iwang Soediro), ITB press, Bandung,
3-18.
Sutriani L. 2008. Ektraksi Pelarut. Available online at
http://medicafarma.blogspot.com/2008/11/ekstraksi.html. Diakses : 20 Agustus
2016.

Anda mungkin juga menyukai