Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ideologi merupakan sebuah konsep yang fundamental dan aktual


dalam sebuah negara. Fundamental karena hampir semua bangsa dalam
kehidupannya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ideologi. Aktual, karena
kajian ideologi tidak pernah usang dan ketinggalan jaman. Harus disadari
bahwa tanpa ideologi yang mantap dan berakar pada nilai-nilai budaya sendiri,
suatu bangsa akan mengalami hambatan dalam mencapai cita-citanya.
Ideologi sendiri adalah suatu kumpulan gagasan, ide-ide dasar,
keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis dengan arah dan tujuan
yang hendak dicapai dalam kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.
Ideologi secara etimologis ideologi berasal dari kata idea dan logos. Idea
berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita. Kata idea berasal dari
bahasa Yunani ideos yang berarti bentuk atau idean yang berarti melihat,
sedangkan logos berarti ilmu. Dengan demikian ideologi berarti ilmu
pengertian-pengertian dasar ide-ide (the scince of ideas) atau ajaran tentang
pengertian-pengertian dasar. Ide dapat di artikan cita-cita yang bersifat tetap
dan yang harus dicapai”.
Berarti cita-cita ini pada hakikatnya merupakan dasar pandangan atau
faham yang diyakini kebenarannya. Ideologi diharapkan dapat memberikan
tuntunan atau pedoman perilaku bagi warga masyarakat dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa. Inilah arti pentingnya sebuah ideologi bagi bangsa
dan negara.
Negara Indonesia telah memiliki suatu ideologi negara bernama
Pancasila. Pancasila merupakan “lima dasar atau lima asas adalah nama dari
Dasar Negara Republik Indonesia”. Istilah pancasila sudah dikenal sejak jaman
Majapahit pada abad XIV, yaitu terdapat dalam buku Negarakertagama
karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular
(Darmodhiharjo:1991).

1
Ditinjau dari sejarahnya istilah “Pancasila” pertama kali disampaikan
oleh Ir.Soekarno pada saat mengusulkan dasar Negara Indonesia. Selanjutnya,
pancasila dikenal saat ini adalah ideologi Negara Indonesia yang tertuang di
dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat.
Pancasila dianggap sebagai ideologi bangsa dalam berbagai bidang,
baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Dengan
kata lain, seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
menggunakan pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang
baik buruk dan benar salahnya sikap, perbuatan dan tingkah laku bangsa
Indonesia. Pancasila merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian
bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan pancasila menjadi
tujuan hidup bangsa Indonesia.
Namun, pada zaman modern ini banyak rakyat Indonesia yang sudah
mulai meninggalkan pancasila sebagai ideologi dan dasar mereka. Era
globalisasi banyak memunculkan berbagai alat teknologi modern yang
mendatangkan budaya luar masuk ke Indonesia dan menjadi suatu hal yang
bisa di ikuti . Masuknya era globalisasi banyak fenomena di mana-mana ada
batasan seakan memudar dikarenakan terjadi berbagai perkembangan di segala
aspek kehidupan, khususnya dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
terjadinya perkembangan aspek kehidupan khususnya di bidang iptek maka
manusia dapat mengetahui adanya perkembangan informasi dari luar negeri
maupun dalam negeri.
Dampak tersebut tidak selalu menghasilkan positif tetapi ada juga
negatif yaitu perubahan yang terjadi akibat di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya dan teknologi informasi. Adanya dampak negatif terjadi di karenakan
manusia kurang bisa mengambil dampak baik dari globalisasi sehingga lebih
banyak mengambil sisi negatifnya di banding sisi positifnya. Maka itu di era
globalisasi memberi tantangan yang bisa mengancam kepribadian bangsa,
Indonesia sekarang berada di pusaran arus globalisasi dunia.
Berbagai perubahan terjadi akibat globalisasi membuat pandangan
masyarakat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernergara juga mengalami perubahan. Pandangan masyarakat terhadap posisi

2
pancasila dalam kehidupan sehari-hari mengalami pergeseran. Maka dari itu
penulis menyusun makalah ini agar para pembaca sadar akan pergeseran posisi
pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Perumusan ini mempermudah penulis dalam meneliti masalah yang akan
diteliti. Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini sebagai berikut:
1. Seberapa pentingkah pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia?
2. Apa saja yang menyebabkan pergeseran Ideologi Pancasila di Indonesia?
3. Bagaimanakah cara menanamkan pemahaman kepada masyarakat
Indonesia akan pentingnya Ideologi Pancasila?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka dapat
dirumuskan tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk menyadarkan masyarakat Indonesia akan pentingnya pancasila
sebagai ideologi bangsa.
2. Untuk mendeskripsikan pergeseran ideologi yang terjadi pada
masyarakat beserta penyebabnya.
3. Untuk memberikan solusi terhadap masalah ideologi yang terjadi di
Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1. Menambah khazanah teori nilai-nilai pancasila sebagai realitas yang
dimiliki bangsa Indonesia.
2. Mengetahuai cara maupun strategi bagi pembaca dalam penanaman nilai-
nilai pancasila khususnya nilai persatuan Indonesia.
3. Pembaca dapat mengimplementasikan nilai-nilai pancasila khususnya
nilai persatuan Indonesia dalam kehidupannya.
4. Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penanaman
nilai nilai pancasila sebagai ideologi negara.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ideologi Pancasila


Secara yuridis-konstitusional kedudukan Pancasila sudah jelas, bahwa
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa, dasar negara Republik Indonesia,
dan sebagai ideologi nasional. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila
merupakan kristalisasi nilai-nilai yang kebenarannya diakui, dan
menimbulkan tekad untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai
dasar negara, Pancasila berkedudukan sebagai sumber hukum yang berlaku di
seluruh wilayah Indonesia. Sumber hukum itu meliputi juga cita-cita hukum
dasar, baik yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis.
A. Pengertian
Istilah ideologi Pancasila yang lazim dipakai di Indonesia selalu
mencakup baik arti epistemologi maupun substaansinya. Secara
epistemologis, Pancasila sebagai ideologi merupakan suatu belief-system.
Akan tetapii sejaraah menunjukkan bahwa Pancasila sebagai belief-system itu
tidak tertutup;ideologi nasional itu mengalami evolusi, dimana terjadi proses
eksplisitasi yang makin sadar makin refleksif. Dalam perkembangan ini
ideologi berkembang berjalinan dengan pengetahuan ilmiah, filosofi ataupun
teologi.
Istilah ideologi sebagai substansi, memuat ajaran Pancasila, yang pada
pokoknya merangkum ajaran mengenai Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Substansi itu berpangkal dari
alam pikiran budaya Indonesia dan ideologi kebangsaan, terkait dengan
perjuangan bangsa. Ideologi di Indonesia lazim pula disebut pegangan
perjuangan.
Pancasila sebagai ideologi dapat juga diartikan sebagai suatu
pemikiran yang membuat pandangan dasar dan cita-cita mengenai sejarah,
manusia, masyarakat, hukum dan negara Indonesia, yang bersumber dari

4
kebudaayaan Indonesia. Dalam pengertian ini maka Pancasila sebagi ideologi
dapat juga disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dan dalam arti
yang luas lazim diesbut sebagai falsafah bangsa Indonesia.
Sederhananya, ideologi Pancasila adalah ideologi yang bersumber dari
seluruh nilai Pancasila yang terdapat pada sila-sila Pancasila yang merupakan
satu kesatuan organis tidak terpisahkan antara sila yang satu dengan sila yang
lainnya. Ideologi Pancasila merupakan nilai-nilai luhur budaya dan religius
Indonesia.

B. Fungsi Pancasila sebagai Ideologi Negara


Sebagai ideologi negara, Pancasila memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Menyatukan bangsa Indonesia, mempekokoh dan memelihara
kesatuan dan persatuan
2. Membimbing dan mengarahkan bangsa Indonesia untuk mencapai
tujuannya
3. Memberikan kemauan unntuk memelihara dan mengembangkan
identitas bangsa Indonesia
4. Menerangi dan mengawasi keadaan, serta kritis kepada adanya upaya
untuk mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam Pancasila
5. Sebagai pedoman bagi kehidupan bangsa Indonesia dalam upaya
menjaga keutuhan negara dan memperbaiki kehidupan dari bangsa
Indonesia.
Sedangkan menurut Alfian (1992), ia berpendapat bahwa fungsi atau
relevansi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
terletak padaa kualitas yang terkandung dalam kehidupan dirinya sendiri. Di
samping itu relevansinya juga pada komparatifnya terhadap ideologi-ideologi
lain sehingga bangsa ini meyakini mengapa ideologi Pancasila adalah
ideologi yang terbaik untuk dipakai landasan sekaligus tujuan dalam
membangun dirinya. Relevansinya terhadap itu juga terletak pada persepsi
yang wajar daan sehat terhadap Pancasila, sehingga dapat melairkan pikiran-
pikiran baru yang relevan dengan hakikat Pancasila serta relevan dengan
tuntutan perubahan zaman.

C. Pentingnya Pancasila sebagai Ideologi Negara

5
Pancasila juga bisa dibilang sebagai fondasi dari suatu Negara
Indonesia. Apabila fondasinya terbentuk kuat, maka Negara Indonesia pun
begitu. Dan apabila bangsa ini dapat memahami dengan seksama dan
mengamalkan apa yang tercantum pada pancasila maka Indonesia tidak akan
terpecah belah oleh sebab apapun.
Pada sila pertama tertulis “Ketuhanan Yang Maha Esa” , itu
dimaksudkan kepada masyarakat Indonesia untuk wajib memeluk agama
yang dipercayai dan tunduk terhadap ajaran yang diajarkan oleh agama
tersebut. Sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, memiliki arti
bahwa Negara dan pemerintahan harus berlaku adil terhadap masyarakatnya,
dan mempunyai adab dalam memperlakukan siapapun tidak memandang
Suku, Agama, Ras, Jabatan dan Status Sosial.
Kemudian pada sila ketiga ditulis “Persatuan Indonesia” yang
dimaksudkan supaya masyarakat Indonesia selalu bersatu teguh walaupun
terdapat berbagai macam Suku, Agama, Ras, dan Kebudayaan seperti prinsip
“Bhineka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbagai macam tetap satu jua.
Persatuan tersebut dimaksudkan agar Indonesia tidak terjajah seperti
sebelumnya. Setelah itu disila keempat juga tertulis “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”
dalam kalimat ini terdapat makna bahwa seorang pemerintah harus lebih
mementingkan kepentingan Negara dan masyarakat dan juga mengutamakan
budaya musyawarah dalam pengambilan keputusan bersama.
Kemudian yang terkhir pada sila kelima ditulis “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” dimana yang bermakna bahwa seluruh rakyat
Indonesia medapat jaminan keadilan sosial dari Negara dan pemerintah.
Tujuannya agar rakyat merasa aman dan tentram.

2.2 Pergeseran Ideologi yang Terjadi


Di era globalisasi ini banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting
telah tergeser oleh nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai
dengan budaya Indonesia yang ketimuran. Hal berakibat adanya krisis moral
yang terjadi pada bangsa Indonesia di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari
para elite-elite politik hingga individu-individu. Selain itu hal ini merupakan

6
ancaman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai Pancasila agar tidak
tenggelam dengan selalu mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari. Tindakan kriminal seperti pengeboman, pemerkosaan,
perampokan, pembunuhan, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi
masalah yang sering terjadi. Hal ini terjadi karena manusia telah melupakan
hakekatnya sebagai makhluk yang berTuhan, makhluk sosial, dan makhluk
pribadi sehingga tidak lagi menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Sifat
dasar manusia yang serakah dan selalu ingin mendapatkan lebih adalah salah
satu hal penyebabnya. Selain itu manusia tidak bisa mengendalikan sifat
dasarnya yaitu menghalalkan segala cara hingga mengesampingkan bahkan
menghilangkan etika dan moral kehidupan serta menyimpang dari norma
Pancasila. Dari situlah awal mula masalah tersebut muncul. Kami meyakini
bahwa selain faktor-faktor yang bersifat internal seperti yang diatas, ada
peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut menggeser dan ‘ melunturkan ‘
nilai-nilai Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di dalam
internet terdapat berbagai macam informasi yang kita butuhkan apabila kita
adalah seorang akademisi, akan tetapi di dalam internet pula banyak hal-hal
negatif yang apabila kita tidak menjaga diri kita dari pengaruh buruk internet,
maka akan terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral karena kita
tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga
pada akhirnya masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai
warga Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bukan tidak mungkin
apabila kita tidak menjaga diri kita dari ancaman lunturnya nilai-nilai
Pancasila di masyarakat, kita akan menjadi negara tanpa ciri-ciri khusus yang
menunjukkan kita sebagai seorang warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bertekad mengimplementasikan Pancasila untuk
mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Anak kalimat, memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan
keadilan sosial dalam Pembukaan UUD 1945, merupakan amanat bagi bangsa
Indonesia dalam membangun perekonomian nasional, guna memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa Indonesia
harus cerdas untuk mengolah sumber daya nasionalnya serta mengakses

7
semua kemajuan dunia agar mampu menciptakan kesejahteraan umum yang
terus berkembang ke arah kemajuan. Usaha menyejahterakan dan
mencerdaskan bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni : (1) Bebasnya
bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan
ekonomi. (2) Secara politik dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia harus dilindungi dari segala bentuk gangguan dan
ancaman. (3) Kecerdasan kehidupan bangsa, baik individu maupun
masyarakat harus terwujud. (4) Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan
perdamaian dan ketertiban dunia. (5) Mengimplementasikan konsep, prinsip
dan nilai Pancasila, sehingga keadilan sosial dapat terwujud.
A. Hilangnya manusia yang ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa“
Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya
adalah suatu kebenaran yang harus ditaati oleh setiap orang yang beragama
dan dijadikan suatu ‘batas‘ dan ‘pengingat‘ saat melakukan suatu tindakan
agar tidak melenceng dari norma dan nilai kebenaran.
Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang
memperlihatkan betapa rusaknya moral masyarakat Indonesia saat ini.
Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila pertama ini sudah sampai kepada urusan
pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang lumrah
bagi para elite-elite politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke
tingkat yang paling tinggi seperti jajaran wakil rakyat (DPR) dan pejabat-
pejabat negeri. Hal ini tentu saja tidak akan terjadi apabila para pelaku KKN
tersebut memiliki kesadaran dan modal yang berlandaskan kepada nilai-nilai
keagamaan dan keimanan yang terkandung dalam sila pertama. Sebagai
perbandingan, kita bisa melihat saat di era Orde Baru dimana pada saat itu
masyarakat Indonesia bisa dengan tenang beragama selama apa yang mereka
lakukan tidak mengganggu kenyamanan umum. Selain itu saat penentuan
Hilal sebagai acuan umat Islam dalam menentukan Hari Raya Idul Fitri, tidak
banyak perdebatan dan pertentangan antara kelompok Islam tertentu (NU,
Muhammadiyah dll), hal ini membuktikan bahwa hari demi hari sejak Orde

8
Baru hingga pasca Reformasi sekarang, nilai-nilai dari Pancasila semakin
ditinggalkan.
Lunturnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama ini
diperparah dengan adanya globalisasi yang hari demi hari semakin tidak ter-
filter antara yang baik dan buruk. Misalnya saja, makin banyaknya tontonan
di televisi yang mengajarkan kita kepada suatu sifat Hedonisme yang suka
berfoya-foya dan berhura-hura, makin banyaknya tayangan televisi yang
mengumbar bagian tubuh wanita dengan bebasnya, makin banyaknya acara
televisi yang mengajarkan kita kepada suatu pola hidup yang sangat tidak
sesuai dengan kepribadian Indonesia. Baik secara langsung atau tidak
langsung, efek buruk yang dihasilkan dari contoh tersebut akan memengaruhi
pola pikir masyarakat Indonesia agar berperilaku seperti apa yang ada di
televisi tersebut. Efek buruk dari contoh diatas terbukti dengan meningkatnya
aksi seks bebas yang dilakukan oleh para remaja dengan rentangan umur 15-
23 tahun, meningkatnya pemakai Narkoba di Indonesia yang didominasi oleh
para remaja, dan meningkatnya aksi-aksi kriminalitas yang disebabkan pelaku
merasa terprovokasi oleh apa yang ia lihat di televisi.
Kemajuan teknologi sejatinya bisa memberikan kemudahan dan
peningkatan mutu kehidupan siapapun yang menggunakan kemajuan
teknologi tersebut, akan tetapi kemajuan teknologi ini pula yang bisa
membawa manusia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada
khususnya lupa akan jati dirinya yang harus berpegang teguh atas nilai-nilai
sila pertama, yaitu sebagai mahluk yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

B. Lunturnya rasa “ Kemanusiaan yang adil dan beradab “


Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan
sebagai berikut:
1. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban
antara sesama manusia.
2. Saling mencintai sesama manusia.
3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.

9
6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
7. Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan
sepenuhnya didalam kehidupan bermasyarakat penulis yakin Indonesia akan
menjadi sebuah bangsa yang memiliki tingkat kemiskinan rendah, sifat
keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah bangsa yang
unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya dalam kehidupan
masyarakatnya tetap terjaga. Namun masih ingatkah pembaca dengan
kejadian seorang nenek tua yang karena tekanan ekonomi yang dialaminya
terpaksa memungut dua buah kakao yang ditemukannya di jalan lantas nenek
tersebut dituntut dijatuhi hukuman di persidangan? Atau ingatkah pembaca
tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik yang
menamai dirinya sebagai “Dewan Perwakilan Rakyat“ saat berlangsungnya
Sidang Paripurna terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan
lainnya? Dan ingatkah pembaca dengan tingkah salah satu anggota dewan
saat acara Rapat Paripurna justru membuka situs porno? Semua contoh ini
adalah bukti dari bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud
apabila kita melihat fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum
kita dihadapkan kepada ketidak adilan hukum yang berlaku di Indonesia yang
seperti ‘ Pisau ‘ tajam kebawah, akan tetapi tumpul keatas. Hal ini terbukti
dengan banyaknya para pelaku korupsi yang merampok milyaran bahkan
trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum kurang dari lima tahun penjara.
Sebagai contoh adalah Anggodo Widjojo, yakni seorang makelar kasus yang
telah terbukti melakukan percobaan penyuapan terhadap sejumlah petinggi
KPK namun ia masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh hukum dan sama
sekali tidak diproses hukum sebagai tersangka dengan jalan kabur ke
Singapura.
Tentu saja ini sangat berlawanan dengan kisah seorang nenek yang
bernama Minah yang secara terpaksa memungut dua buah kakao seharga Rp.
2100 yang ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu
kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani hukuman penjara selama 1.5 tahun

10
dengan masa percobaan selama 3 bulan. Berbeda dengan Mbah Minah yang
hanya bisa pasrah menjalani proses hukum karena tuntutan perusahaan tempat
dia memetik kakau, Anggodo dengan kekuatan uang dan kemampuan
melobby pihak yang berwajib mampu membeli harga diri pejabat negara serta
menawar proses hukum.
Hal ini salah satu bukti bahwa keberadaban yang terdapat di sila
kedua belum sepenuhnya terlaksana.

C. Retaknya “ Persatuan Indonesia “


Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya
yang berjumlah lebih dari 17.560 pulau. Kita sebagai generasi penerus
haruslah bisa menjaga harta warisan dari generasi sebelumnya dengan sebaik
mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas wajib pemerintah
untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal.
Namun, sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat
contohnya di pulau Papua. Papua adalah pulau yang memiliki berbagai
kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan menutup mata
terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah
justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat
Papua untuk menjual berbagai macam aset milik masyarakat Papua seperti
tambang emas kepada PT. Freeport. Hal ini bisa saja menjadi salah satu
alasan dari retaknya “ Persatuan Indonesia “ karena masyarakat lokal merasa
di “ anak tirikan “ oleh pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat
organisasi separatisme bernama OPM ( Organisasi Papua Merdeka ), di
Maluku terdapat organisasi separatisme bernama RMS ( Republik Maluku
Serikat ), dan sebagai pengingat di Aceh ada GAM ( Gerakan Aceh Merdeka
), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah sudah setuju untuk berdamai
berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda. Dengan adanya gerakan
separatisme dari beberbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini menandakan
bahwa adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang merasa “ dilupakan “
oleh pemerintah dalam segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan,
pendidikan, dan berbagai macam sarana penunjang kemajuan daerahnya.
Kekecewaan masyarakat ini ditunjukkan dengan aksi-aksi pengibaran bendera

11
dari organisasi separatisme mereka sebagai penanda bahwa mereka ingin
melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah salah satu bukti dari Retaknya
“ Persatuan Indonesia “
Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di
daerah perkotaan? Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan
jaminan kesehatan, pendidikan, transportasi hanya untuk daerah perkotaan?
Sedangkan di satu sisi, banyak warga negaranya yang dengan setia, rela
berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah garis kemiskinan
sekaligus mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Apabila
pemerintah masih bersikap acuh tak acuh, maka bukan tidak mungkin dalam
30-40 tahun kemudian akan banyak organisasi-organisasi separatisme akan
bermunculan di berbagai daerah dengan tujuan yang sama yaitu untuk
melepaskan diri dari Republik Indonesia.

D. Tidak adanya “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan dan perwakilan “
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana
adalah sosok ideal dari seorang pemimpin suatu bangsa. Pemimpin dengan
kriteria semacam ini peluang keberhasilannya dalam memimpin suatu
organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih apabila pemimpin semacam
ini mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
Indonesia yang sejak merdeka pada tahun 1945 sudah mengalami pergantian
presiden sebanyak enam kali dimana presiden terakhir adalah Susilo
Bambang Yudhoyono sudah menjadi presiden dalam dua periode
kepresidenan. Namun sudahkah rakyat Indonesia saat ini benar-benar
dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan? .
Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat,
mungkin Indonesia bisa dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan
nilai-nilai yang terkandung dalam sila keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-
hasil sidang, rapat, atau berbagai pertemuan para elite politik dimana
kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang secara konkrit memihak
rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah pembaca dengan kelakuan para
petinggi elite politik saat isu kenaikan harga bahan bakar di awal bulan April

12
kemarin? Dalam sidang tersebut terlihat jelas bahwa para elite politik tidak
sepenuhnya memihak kepada rakyat dan terkesan ragu-ragu dalam
mengambil keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat. Perlu kami
tambahkan bahwa para wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan
kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat, dengan
asumsi bahwa kesempatan untuk memperkaya diri sendiri selama menjabat
menjadi anggota dewan atau wakil rakyat tidak datang dua kali. Tentu hal ini
bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang menciderai hati rakyat dan
menodai nilai-nilai Pancasila. Para pemimpin sekarang lebih menyukai untuk
memaksakan kehendak daripada bersikap sabar dalam mengambil keputusan
demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah dengan metode yang
dipakai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan suatu
keputusan, mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan dengan
Voting. Voting adalah cara menentukan keputusan yang paling buruk, karena
voting tidak mengedepankan pemikiran rasional melainkan tergantung dari
jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat bahwa seharusnya apabila kita
menelaah lebih dalam dari nilai Pancasila khususnya sila keempat, Indonesia
memiliki suatu cara khusus dalam menyatukan suara dan memutuskan suatu
permasalahan yaitu dengan cara Musyawarah. Hasil musyawarah tidak akan
tercapai apabila belum tercapainya kesepakatan bersama, dengan metode ini
maka tidak akan ada perasaan dari masing-masing anggota yang merasa
tersakiti saat hasil musyawarah ditetapkan.

E. Mimpi Indonesia tentang “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “


Kondisi Indonesia saat ini masih jauh dari kata sejahtera, hal ini bisa
dilihat dari berbagai macam indikator, misalnya dengan melihat masih
banyaknya rakyat miskin diberbagai daerah diseluruh Indonesia. Tingkat
kemiskinan di Indonesia sangat tinggi, data terakhir yang dikeluarkan
pemerintah pada tahun 2011 menunjukkan angka sebesar 17.7 juta orang
masih hidup dibawah garus kemiskinan Indonesia. Selain itu dari bidang
kesehatan pun masyarakat miskin di Indonesia seperti melihat jarak atau gap
yang jauh antara mereka dengan masyarakat yang mampu. Jaminan kesehatan
yang seharusnya berhak dimiliki oleh semua rakyat Indonesia pada

13
kenyataannya tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu dari sisi
pendidikan, mayoritas mereka yang mengenyam pendidikan dengan fasilitas
baik infrastruktur dan intrastruktur yang layak adalah mereka yang mampu
dalam segi ekonomi atau dengan kata lain hidup diatas garis kemiskinan di
Indonesia. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan bunyi dari sila kelima yang
berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “. Jika kita melihat
dari sudut pandang antar daerah pun, kita akan dihadapkan pada kenyataan
atas ketimpangan dalam hal pembangunan yang terjadi. Daerah kota seperti
lebih diistimewakan oleh pemerintah dalam hal pembangunan, sedangkan
daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota seakan-akan dilupakan dan
pemerintah bagai menutup mata. Ketimpangan sosial di tingkat antar daerah
banyak terjadi, hal ini terlihat jelas dari perkembangan ekonomi di daerah
tersebut.

F. Faktor dan penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila


Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama . Sudah menjadi
tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan
ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan
kepada Tuhan hanya sebagai simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah
Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada
ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya.
Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang
dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun pada
umumnya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam
diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang
luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya,
maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-
peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Sedangkan apabila dalam masyarakat
itu banyak orang yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya
orang yang kurang iman tadi tidak akan mudah pula meniru melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh
keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-
sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang

14
sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan
ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat
dari agama, semakin sudah memelihara moral orang dalam masyarakat itu,
dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-
pelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh
rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral dirumah
tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan
kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana
yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan
moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan
menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral, anak-
anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak
dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan
tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Seperti halnya rumah
tangga, sekolah pun dapat mengambil peranan yang penting dalam
pembinaan moral anak didik. Dengan kata lain, sekolah merupakan lapangan
sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta
segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap
moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka
didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan
mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan
dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak moralnya perlu segera
diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat
dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya
dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan
pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutkan diatas, karena tidak
efektifnnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral.
Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang,
tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
Ketiga, semua penyebab lunturnya nilai Pancasilan pada dasarnya
karena budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini sering

15
kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-anak sekolah
menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat,
gambar-gambar porno, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-benda
tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat
merusak moral. Namun gejala penyimpangan tersebut terjadi karena pola
hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu
dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak
bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan
sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-
lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran
arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang
semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan
kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan
moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang
paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi
muda umumnya.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari
pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan ( power ), uang,
teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum
menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakukan pembinaan
moral bangsa. Hal yang demikian semakin diperparah lagi oleh adanya ulah
sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang,
kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi,
kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk
hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, materi dan sebagainya
dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya
bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau
mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena
secara moral mereka sudah kehilangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian
elit penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan
sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya
yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep

16
pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan
berkesinambungan.

2.3 Upaya Dalam Menangani Pergeseran Ideologi yang Terjadi


1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat
mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik-
baiknya.
3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum
dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.
5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi,
ekonomi, sosial budaya bangsa.
Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan
mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai
nasionalisme terhadap bangsa dan lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam sendi-
sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga kita tidak akan kehilangan
kepribadian bangsa sebagai Bangsa Indonesia.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peran Pancasila sangat penting dalam menghadapi arus globalisasi.
Karena Pancasila merupakan sebuah kekuatan ide yang berakar dari bumi
Indonesia untuk menghadapi nilai-nilai dari luar, sebagai sistem syaraf atau
filter terhadap berbagai pengaruh luar, nilai-nilai dalam Pancasila dapat
membangun sistem imun dalam masyarakat kita terhadap kekuatan-kekuatan
dari luar sekaligus menyeleksi hal-hal baik untuk diserap, dan sebagai sistem
dan pandangan hidup yang merupakan konsensus dasar dari berbagai
komponen bangsa yang plural ini. Lewat Pancasila, moral sosial, toleransi,
dan kemanusiaan, bahkan juga demokrasi bangsa ini dibentuk. Pancasila
seharusnya dijadikan sebagai poros identitas untuk menghadapi bermacam
identitas yang ditawarkan dari luar. Tetapi sangat disayangkan jika wacana
Pancasila belakangan ini mulai berkurang. Mengingat berbagai potensi yang
tersimpan di dalamnya, wacana nasional ini perlu untuk dimunculkan
kembali, dibangkitkan kembali dan digali terus nilai-nilainya agar terus
berdialektika dalam jaman yang terus bergulir. Untuk itu Pancasila harus bisa
kita telaah secara analitis.
3.2 Saran
Perlu ditanamkannya nilai – nilai dalam Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat. Agar kita mampu memfilterisasi arus globalisasi yang ada.
Sesuaikah dengan nilai–nilai Pancasila? Pancasila dapat berperan dalam era
globalisasi apabila dari diri masing–masing sudah tertanam nilai–nilai luhur
Pancasila. Tentu akan percuma peran Pancasila dalam era globalisasi ini,
apabila dalam diri sendiri tidak mempunyai kesadaran akan pentingnya nilai–
nilai Pancasila dalam kehidupan.
Sebagai warga Negara Indonesia kita wajib menghargai segala nilai-
nilai yang terkandung dalam pancasila, mengingat pancasila adalah falsafah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersatu dan berdaulat.

18
DAFTAR PUSTAKA

www.makalahanakremaja.com
http://zhasriani.bolgspot.com/nilai2pancasiladieraglobalisasi/
www.arischeaters.blogspot.com/
http://news.okezone.com/read/extend/2009/12/04/343/281835/nenek-minah-
pencuri-semangka-anggodo
http://www.scribd.com/doc/94263093/artikel-pancasila
http://hightek-bet.blogspot.com/2001/11/wujud-aplikasi-pancasila-sebagai-
dasar.html
http://nasional.kompas.com/read2001/11/14/16204787/implementasi.pancasila.dar
i.ha1.kecil.saja
https://www.kompasiana.com/amp/terraistinara/5a70544cdcad5b494f757d75/perg
eseran-ideologi-pancasila-di-zaman-modern
Nana Sutikna dan Joko Siswanto. 2016. Pancasila (Refleksi Komperhensif Hal-
Ikhwal Pancasila) Jogjakarta: Lembaga Ladang Kata.

19

Anda mungkin juga menyukai