Anda di halaman 1dari 24

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Peran teori sangat penting untuk menjelaskan fenomena dan merumuskan

suatu hipotesis penelitian. Penelitian ini menggunakan agency theory (teori

keagenan) sebagai grand theory, dengan signalling theory (teori pensinyalan)

sebagai teori pendukung (supported theory) serta beberapa konsep yang

menjelaskan secara lebih detail mengenai Good Corporate Governance (GCG),

Enterprise Risk Management Disclosure (ERM Disclosure) dan nilai perusahaan.

Penelitian ini juga didukung oleh beberapa penjabaran hasil penelitian-penelitian

sebelumnya.

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan menggambarkan adanya kontrak kerjasama diantara seorang

atau lebih prinsipal dengan agen dimana prinsipal meyakini kualitas dan

kompetensi agen sehingga memantapkan niatnya untuk mendelegasikan

wewenang terkait pengelolaan dan pengambilan keputusan-keputusan penting

perusahaan kepada agen tersebut. Pada kondisi ini prinsipal memiliki pengharapan

bahwa agen akan mengelola perusahaan dengan baik dan menetapkan kebijakan-

kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham. Namun

fenomena yang kerap terjadi dalam kontrak keagenan adalah agen tidak selalu

bertindak untuk kepentingan terbaik para pemegang saham (Jensen dan Meckling,

1976). Timbulnya asimetri informasi diantara agen dan prinsipal, memberikan

10
11

peluang kepada agen sebagai pemilik mayoritas informasi perusahaan untuk

menetapkan suatu kebijakan yang cenderung merugikan pemegang saham dan

mensejahterakan dirinya sendiri (Kaihatu, 2006). Teori keagenan merupakan dasar

yang menaungi lahirnya konsep GCG (Agustina et al, 2015), dimana melalui

konsep ini perusahaan diharapkan berada dalam pengelolaan dan pengendalian

yang baik, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan karena fenomena asimetri

informasi yang kerap timbul dari konflik keagenan.

Teori keagenan juga menekankan keterkaitan CGC dengan luas

pengungkapan informasi, dimana menurut teori ini timbulnya konflik keagenan

disebabkan adanya asimetri informasi, sehingga untuk meminimalisasi konflik,

perusahaan perlu memperkecil asimetri informasi yang ada dengan

memaksimalkan penerapan GCG, khususnya dari segi transparansi informasi

melalui pelaksanaan voluntary disclosure dengan lebih luas (Yuniasih dkk, 2011).

Pernyataan diatas diperkuat oleh pandangan Kaihatu (2006) bahwa terdapat dua

hal yang ditekankan dalam konsep GCG yaitu: 1) pemegang saham memiliki hak

untuk memperoleh informasi perusahaan dengan benar dan tepat waktu sehingga

relevan digunakan dalam mengambil keputusan, 2) perusahaan memiliki

kewajiban untuk mengungkapkan informasi kepada lingkungan eksternal secara

akurat, transparan dan tepat waktu. Perusahaan digiring untuk memberikan

informasi yang memadai kepada lingkungan eksternal, melalui berbagai jenis

pengungkapan informasi, seperti contohnya ERM Disclosure.

Dalam praktik pengungkapan risiko, teori keagenan dapat menjelaskan

bagaimana manajer menyediakan informasi mengenai risiko yang reliabel kepada


12

pemegang saham dan kreditur. Dalam hal ini manajer merupakan pihak internal

perusahaan yang memiliki informasi mengenai risiko sedangkan pemegang saham

dan kreditur sebagai pihak eksternal perusahaan, biasanya tidak memiliki

informasi tersebut. Ketersediaan informasi yang reliabel mengenai risiko oleh

manajer kepada pemegang saham dan kreditur akan mengurangi masalah asimetri

informasi (Elzahar dan Hussainey, 2012 dalam Mubarok dan Rohman, 2013)

2.1.2 Teori Pensinyalan (Signalling Theory)

Teori pensinyalan menjelaskan bahwa perusahaan mempunyai dorongan

untuk memberikan informasi kepada pihak eksternal perusahaan. Dorongan

perusahaan untuk memberikan informasi adalah karena terdapat asimetri

informasi antara perusahaan dengan pihak eksternal. Kurangnya informasi pihak

luar mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri dengan

memberikan harga yang rendah untuk perusahaan dan kemungkinan lain pihak

eksternal yang tidak memiliki informasi akan berpersepsi sama tentang nilai

semua perusahaan. Pandangan seperti ini akan merugikan perusahaan yang

memiliki kondisi yang lebih baik karena pihak eksternal akan menilai perusahaan

lebih rendah dari yang seharusnya dan demikian juga sebaliknya. Secara umum,

perusahaan menggunakan signalling theory untuk mengungkapkan pelaksanaan

good corporate governance agar dapat menciptakan reputasi yang baik sehingga

dapat meningkatkan nilai perusahaan (Andarini dan Januarti, 2010).

Teori pensinyalan juga melandasi adanya pengungkapan sukarela.

Manajemen perusahaan berusaha mengungkapkan informasi privat yang menurut

pertimbangannya sangat diminati investor dan pemegang saham khususnya jika


13

informasi tersebut merupakan berita baik (good news) meskipun informasi

tersebut tidak diwajibkan. Berita baik tersebut dapat berupa informasi mengenai

upaya yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan

pemilik, promosi yang dapat menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik

daripada perusahaan lain, ataupun informasi yang dapat meningkatkan kredibilitas

manajemen perusahaan itu sendiri serta kesuksesan perusahaan. ERM Disclosure

merupakan salah satu pengungkapan sukarela yang bisa menjadi sinyal positif

bagi perusahaan kepada pengguna informasi keuangan.

Dalam praktik pengungkapan risiko perusahaan, teori pensinyalan dapat

menjelaskan bagaimana manajer mengungkapkan informasi mengenai risiko yang

dihadapi perusahaan kepada pemegang saham dan kreditur. Tujuan manajer

mengungkapkan informasi mengenai risiko dalam laporan keuangan adalah untuk

menyampaikan sinyal khusus kepada pengguna informasi saat ini dan pengguna

potensial. Informasi yang memadai (adequate information) mengenai risiko yang

dihadapi perusahaan merupakan sinyal baik (good news) bagi perusahaan (Elzahar

dan Hussainey, 2012 dalam Mubarok dan Rohman, 2013).

2.1.3 Good Corporate Governance

Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) sebuah organisasi

profesional nonpemerintah (NGO) yang bertujuan mensosialisasikan praktik GCG

mendefinisikan GCG sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan

antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,

pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal

lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata
14

lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Sedangkan Bank Dunia (World

Bank) mendefinisikan GCG sebagai kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-

kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber

perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi

jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun

masyarakat sekitar keseluruhan.

Prinsip-prinsip Good Corporate Governance adalah sebagai berikut:

1) Fairness (Kewajaran), yaitu perlakuan yang sama terhadap para pemegang

saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham

asing, dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian

untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider

trading).

2) Disclosure dan Transparency (Transparansi), yaitu hak-hak para pemegang

saham, yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat pada waktunya

mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan

keputusan mengenai perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan,

dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan.

3) Accountability (Akuntabilitas), yaitu tanggung jawab manajemen melalui

pengawasan yang efektif (effective oversight) berdasarkan balance of power

antara manajer, pemegang saham, dewan komisaris, dan auditor. Merupakan

bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada perusahaan dan para

pemegang saham.
15

4) Responsibility (Responsibilitas), yaitu peranan pemegang saham harus diakui

sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerjasama yang aktif antara

perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam menciptakan kekayaan,

lapangan kerja dan perusahaan yang sehat dari aspek keuangan.

The Indonesian Institute Of Corporate Governance (IICG) adalah sebuah

lembaga swadaya masyarakat independen yang didirikan dengan tujuan

memasyarakatkan konsep, praktik dan manfaat corporate governance kepada

dunia usaha khususnya dan masyarakat pada umumnya. Salah satu tindakan yang

dilakukan oleh IICG adalah setiap tahunnya rutin menyelenggarakan survei

Corporate Governance Perception Index (CGPI) yaitu riset dan pemeringkatan

terhadap perusahaan yang telah menerapkan GCG bekerjasama dengan Majalah

SWA sebagai mitra media publikasi. Program CGPI secara konsisten telah

diselenggarakan pada setiap tahunnya sejak tahun 2001 yang diikuti oleh

perusahaan publik (emiten), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perbankan dan

perusahaan swasta lainnya. Program ini dirancang untuk memicu perusahaan

dalam meningkatkan kualitas penerapan konsep corporate governance melalui

perbaikan yang berkesinambungan (continous improvement) dengan

melaksanakan evaluasi dan melakukan studi banding (benchmarking). Program

CGPI akan memberikan apresiasi dan pengakuan kepada perusahaan-perusahaan

yang telah menerapkan corporate governance melalui CGPI Awards dan

penobatan sebagai Perusahaan Terpercaya. Penghargaan CGPI Awards dan

hasilnya dipaparkan di Majalah SWA dalam Sajian Utama. IICG melalui program

CGPI membantu perusahaan meninjau ulang pelaksanaan GCG yang telah


16

dilakukannya dan membandingkan pelaksanaannya terhadap perusahaan-

perusahaan lain pada sektor yang sama. GCG dalam penelitian ini diproksikan

dengan CGPI karena CGPI dapat dijadikan sebagai indikator atau standar mutu

yang ingin dicapai perusahaan dalam bentuk pengakuan dari masyarakat terhadap

penerapan prinsip-prinsip GCG.

Tahapan proses riset dan pemeringkatan GCG adalah sebagai berikut:

1) Self Assessment

Self Assessment adalah sebuah proses penilaian objektif dari perusahaan atas

dirinya sendiri yang dikaitkan dengan penyelarasan sistem GCG dalam semua

proses bisnis melalui penetapan, pelaksanaan dan evaluasi strategi perusahaan

untuk mencapai tujuan dan sasaran perusahaan yang berkelanjutan

(manajemen stratejik). Self assessment dilaksanakan melalui pengisian

kuesioner oleh seluruh stakeholders perusahaan.

2) Pengumpulan Dokumen Perusahaan

Pada tahap ini perusahaan diminta untuk mengumpulkan dokumen dan bukti

yang mendukung penerapan GCG di perusahaan, serta yang terkait dengan

penyelarasan sistem GCG dalam proses bisnis perusahaan. Bagi perusahaan

yang telah mengirimkan dokumen terkait pada penyelenggaraan CGPI tahun

sebelumnya, cukup memberikan pernyataan konfirmasi pada dokumen

sebelumnya yang masih berlaku, dan jika terjadi perubahan, dokumen yang

direvisi harus dilampirkan.


17

3) Pembuatan Makalah dan Presentasi

Pada tahap ini perusahaan diminta untuk membuat penjelasan kegiatan

perusahaan dalam menyelaraskan sistem GCG pada proses bisnis melalui

manajemen stratejik selama tahun berjalan dalam bentuk makalah dengan

sistematika penyusunan yang telah ditentukan dan kemudian dilakukan

diskusi serta tanya jawab.

4) Observasi ke Perusahaan

Pada tahap ini peneliti CGPI akan berkunjung ke lokasi perusahaan peserta

untuk menelaah kepastian dari penyelarasan sistem GCG di perusahaan.

Pelaksanaan observasi di setiap perusahaan peserta CGPI dilakukan maksimal

selama setengah hari kerja (tiga jam) setelah presentasi, diskusi, dan tanya

jawab. Pihak perusahaan yang diminta untuk hadir pada saat observasi adalah

perwakilan dari dewan komisaris, dewan direksi serta manajemen. Nilai CGPI

dapat dihitung dengan menjumlahkan nilai akhir dari tahapan diatas.

2.1.4 Enterprise Risk Management Disclosure

The International Standard Organization (dalam ISO Guide 73:2009 Risk

Management - Vocabulary) menjelaskan risiko sebagai dampak yang ditimbulkan

dari ketidakpastian dalam upaya mencapai objektif. Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 142/PMK.010/2009 menjelaskan bahwa risiko adalah potensi terjadinya

suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian. Komite Nasional Kebijakan

Governance (KNKG) menyebutkan bahwa risiko adalah sesuatu yang dapat

mempengaruhi sasaran organisasi. Amran et al, 2009 menyatakan risiko yang

dihadapi perusahaan dibagi menjadi:


18

1) Risiko keuangan berkaitan dengan instrumen keuangan perusahaan seperti

risiko pasar, kredit, likuiditas serta tingkat bunga atas arus kas.

2) Risiko operasi berkaitan dengan kepuasan pelanggan, pengembangan produk,

pencarian sumber daya, kegagalan produk dan lingkungan.

3) Risiko kekuasaan berkaitan dengan sumber daya manusia dan kinerja para

karyawan.

4) Risiko teknologi dan pengolahan informasi berkaitan dengan akses,

ketersediaan, dan infrastruktur.

5) Risiko integritas berkaitan dengan kecurangan manajemen dan karyawan,

tindakan ilegal, dan reputasi.

6) Risiko strategi berkaitan dengan pengamatan lingkungan, industri, portofolio

bisnis, pesaing, peraturan, politik dan kekuasaan.

Semua elemen yang terdapat dalam risiko harus dapat dikelola dengan baik

sehingga risiko yang ada tidak berdampak buruk pada perusahaan, tetapi dapat

membantu perusahaan dalam memahami ketidakpastian kondisi ekonomi.

Pengelolaan risiko yang dihadapi perusahaan disebut dengan manajemen risiko.

Dalam ISO Guide 73:2009 Risk Management - Vocabulary dijelaskan

bahwa manajemen risiko adalah upaya organisasi yang terkoordinasi untuk

mengarahkan dan mengendalikan risiko. Peraturan Menteri Keuangan Nomor

142/PMK.010/2009 menjelaskan bahwa manajemen risiko adalah serangkaian

prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur,

memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha. Manajemen

risiko adalah proses dan metode yang digunakan oleh perusahaan untuk mengelola
19

risikonya yang berhubungan dengan pencapaian tujuan-tujuan perusahaan (Amran

et al, 2009).

Penerapan manajemen risiko untuk seluruh organisasi sering disebut sebagai

Enterprise Risk Management (ERM) (Pedoman Penerapan Manajemen Risiko

Berbasis Governance, 2012). Committee of Sponsoring Organizations of the

Treadway Commission (COSO) mendefinisikan ERM sebagai sebuah proses yang

diakibatkan oleh jajaran dewan direksi entitas, manajemen dan personel lainnya

yang dijalankan dalam penentuan strategi dan melingkupi perusahaan, didesain

untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berpotensi untuk mempengaruhi

entitas, dan mengelola risiko agar berada dalam dorongan risiko tersebut, serta

menyediakan keyakinan yang memadai terkait pencapaian tujuan entitas. ERM

dapat membantu perusahaan mencapai tujuan utamanya dan menciptakan nilai

melalui penerapan ERM yang dikaitkan langsung dengan penyusunan strategi

perusahaan (Sanjaya dan Linawati, 2015).

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dunia bisnis terhadap standar

manajemen risiko yang dapat diimplementasikan secara umum di seluruh jenis

perusahaan, beberapa kerangka dan standar manajemen risiko telah diterbitkan

oleh beberapa negara, seperti United Kingdom 6079-3:2000, “Enterprise Risk

Management – Integrated Framework” yang diterbitkan oleh The Committee of

Sponsoring Organization of The Treadway Commission (COSO) pada tahun 2004

dan Australian/New Zealand Standard (AS/NZS) 4360:2004. Pada tahun 2009

The International Standard Organization (ISO) menerbitkan standar manajemen

risiko dengan penomoran ISO 31000. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari
20

kerancuan dari berbagai macam istilah dan definisi dari berbagai standar

manajemen risiko yang telah dikeluarkan oleh berbagai negara sebelumnya.

Standar internasional ini diadopsi oleh beberapa negara antara lain Australia, New

Zealand dan Jepang pada tahun 2010. Di Indonesia, Badan Standarisasi Nasional

(BSN) juga mengadopsi standar tersebut ke dalam Standar Nasional Indonesia

ISO 31000:2011 Manajemen Risiko-Prinsip dan Panduan pada 20 Oktober 2011.

Struktur ISO 31000 terdiri dari prinsip pengelolaan risiko, kerangka kerja

pengelolaan risiko, dan proses pengelolaan risiko. ERM Disclosure dalam

penelitian ini diproksikan dengan indeks total skor item pengungkapan

berdasarkan kerangka kerja ISO 31000 karena ISO 31000 merupakan suatu

panduan global terkait dengan definisi manajemen risiko, panduan penerapan dan

praktik-praktik manajemen risiko yang telah diakui secara internasional.

Merujuk pada ISO 31000:2009 - Risk Management - Principles and

Guidelines, manajemen risiko suatu organisasi hanya dapat efektif bila mampu

menganut dan menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Melindungi dan menciptakan nilai tambah perusahaan.

2) Merupakan bagian terpadu dari proses organisasi.

3) Merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan.

4) Secara khusus menangani aspek ketidakpastian.

5) Bersifat sistematis, terstruktur dan tepat waktu.

6) Berdasarkan pada informasi terbaik yang tersedia.

7) Tailored, artinya khas untuk penggunanya.

8) Mempertimbangkan faktor manusia dan budaya.


21

9) Transparan dan inklusif.

10) Bersifat dinamis, berulang dan tanggap terhadap perubahan.

11) Memfasilitasi terjadinya perbaikan dan peningkatan organisasi secara

berlanjut.

Kerangka kerja manajemen risiko adalah sekumpulan perangkat organisasi yang

menyediakan landasan bagi perencanaan, penerapan, monitor dan review serta

perbaikan sinambung manajemen risiko bagi seluruh organisasi (ISO GUIDE

73:2009 definisi 2.1.1).

MANDAT DAN
KOMITMEN

PERENCANAAN
KERANGKA KERJA

PERBAIKAN PENERAPAN
BERKESINAMBUNGAN MANAJEMEN RISIKO

MONITORING DAN
REVIEW

Gambar 2.1
Kerangka Kerja Manajemen Risiko

Setiap perusahaan publik diwajibkan membuat laporan tahunan sebagai

sarana pertanggungjawaban terutama kepada pemegang saham. Laporan tahunan

(annual report) merupakan laporan yang diterbitkan oleh pihak manajemen

perusahaan setahun sekali yang berisi informasi financial dan nonfinancial


22

perusahaan yang berguna bagi pihak stakeholders untuk menganalisis kondisi

perusahaan pada periode tersebut. Pengungkapan manajemen risiko perusahaan

merupakan salah satu elemen dari informasi laporan nonfinancial perusahaan.

ERM Disclosure dapat diartikan sebagai pengungkapan atas risiko-risiko yang

telah dikelola perusahaan atau pengungkapan atas upaya perusahaan dalam

mengendalikan risiko. ERM Disclosure berpotensi memiliki manfaat untuk para

analis, investor, dan stakeholders (Amran et al, 2009).

Badan regulator di Indonesia mengeluarkan aturan-aturan yang

mensyaratkan adanya informasi terkait risiko yang dilaporkan perusahaan, seperti

yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010/2009

tentang Manajemen Risiko Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia Pasal 22 ayat

1 yang menyebutkan bahwa Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) wajib

menyampaikan laporan profil risiko kepada Menteri. Selain itu, pemerintah

melalui Kementerian Negara BUMN juga membuat peraturan yang memberikan

pedoman bagi perusahaan BUMN dalam praktik pengungkapan risiko yaitu

Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor 117/M-MBU/2002 tentang Penerapan

Praktik Good Corporate Governance Pada Perusahaan Badan Usaha Milik Negara

(BUMN). Dalam pasal 28 ayat 2 (h) disebutkan bahwa perusahaan BUMN harus

mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan

oleh peraturan perundang-undangan namun juga hal yang penting untuk

pengambilan keputusan oleh pemodal, pemegang saham/pemilik modal, kreditur

dan stakeholders, salah satunya faktor resiko material yang dapat diantisipasi,

termasuk penilaian manajemen atas iklim berusaha dan faktor risiko.


23

Peraturan lain yang mengatur tentang pengungkapan risiko adalah

Keputusan Ketua Bapepam LK Nomor: Kep-431/BL/2012 mengenai Kewajiban

Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten atau Perusahaan Publik, bahwa

perusahaan diharuskan untuk menyajikan penjelasan mengenai risiko-risiko yang

dapat mempengaruhi kelangsungan usaha yang dihadapi perusahaan serta upaya-

upaya yang telah dilakukan untuk mengelola risiko tersebut. Bank Indonesia juga

memiliki ketentuan tersendiri terkait dengan permasalahan pengungkapan risiko

seperti yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 14/14/PBI/2012

tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. Peraturan tersebut

mengharuskan Bank untuk menyusun Laporan Tahunan paling kurang mencakup

jenis risiko dan potensi kerugian (risk exposures) yang dihadapi Bank serta

praktek manajemen risiko yang diterapkan Bank. Bagi Bank Umum

Konvensional, praktek manajemen risiko minimum mengenai risiko kredit, risiko

pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko strategik, risiko reputasi, risiko

kepatuhan dan risiko hukum.

2.1.5 Nilai Perusahaan

Tujuan utama perusahaan menurut theory of the firm adalah untuk

memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan (value of the firm) (Salvatore,

2005). Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2004), nilai perusahaan merupakan harga

yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual.

Harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli diartikan sebagai harga pasar atas

perusahaan itu sendiri. Harga pasar berarti harga yang bersedia dibayar oleh

investor untuk setiap lembar saham perusahaan, sehingga dapat dikatakan bahwa
24

nilai perusahaan adalah persepsi investor terhadap perusahaan yang selalu

dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai

perusahaan juga tinggi. Nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya

kemakmuran pemegang saham (Brigham dan Houston, 2006).

Nilai perusahaan dapat diukur dengan harga saham menggunakan rasio yang

disebut rasio penilaian. Menurut Sudana (2011:23), rasio penilaian adalah suatu

rasio yang terkait dengan penilaian kinerja saham perusahaan yang telah

diperdagangkan di pasar modal (go public). Rasio penilaian memberikan

informasi seberapa besar masyarakat menghargai perusahaan, sehingga

masyarakat tertarik untuk membeli saham dengan harga yang lebih tinggi

dibanding nilai bukunya. Berikut ini beberapa metode yang digunakan untuk

mengukur nilai perusahaan.

1) Price Earning Ratio (PER)

Price Earning Ratio (PER) menunjukkan berapa banyak jumlah uang yang

rela dikeluarkan oleh para investor untuk membayar setiap dolar laba yang

dilaporkan (Brigham dan Houston, 2006:110). Rasio ini digunakan untuk

mengukur seberapa besar perbandingan antara harga saham perusahaan dengan

keuntungan yang diperoleh oleh para pemegang saham. Kegunaan Price Earning

Ratio adalah untuk melihat bagaimana pasar menghargai kinerja perusahaan yang

dicerminkan oleh earning per share-nya. Semakin besar PER, maka semakin

besar pula kemungkinan perusahaan untuk tumbuh sehingga dapat meningkatkan

nilai perusahaan.
25

2) Price to Book Value (PBV)

Price to Book Value (PBV) adalah rasio yang menunjukkan apakah harga

saham yang diperdagangkan overvalued (di atas) atau undervalued (di bawah)

nilai buku saham tersebut (Fakhruddin dan Hadianto, 2001). PBV

menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai buku saham suatu

perusahaan. Makin tinggi rasio ini, berarti pasar percaya akan prospek perusahaan

tersebut. PBV juga menunjukkan seberapa jauh suatu perusahaan mampu

menciptakan nilai perusahaan yang relatif terhadap jumlah modal yang

diinvestasikan. Untuk perusahaan-perusahaan yang berjalan dengan baik,

umumnya rasio ini mencapai diatas satu, yang menunjukkan bahwa nilai pasar

saham lebih besar dari nilai bukunya. Semakin besar rasio PBV, semakin tinggi

perusahaan dinilai oleh para pemodal relatif dibandingkan dengan dana yang telah

ditanamkan di perusahaan.

3) Tobin’s Q

Alternatif lain yang digunakan dalam mengukur nilai perusahaan adalah

dengan menggunakan metode Tobin’s Q yang dikembangkan oleh James Tobin.

Tobin’s Q dihitung dengan membandingkan rasio nilai pasar saham perusahaan

dengan nilai buku ekuitas perusahaan (Weston dan Copeland, 2001). Semakin

besar nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek

pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar aset

perusahaan dibandingkan dengan nilai buku aset perusahaan maka semakin besar

kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki

perusahaan tersebut.
26

Nilai perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan rasio Tobin’s Q. Hal ini

karena rasio Tobin’s Q dinilai bisa memberikan informasi paling baik. Dalam

Tobin’s Q, semua unsur hutang dan modal saham perusahaan dihitung, tidak

hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan yang dimasukkan

namun seluruh aset perusahaan. Memasukkan seluruh aset perusahaan berarti

perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe investor saja yaitu investor dalam

bentuk saham namun juga untuk kreditur karena sumber pembiayaan operasional

perusahaan bukan hanya dari ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang

diberikan oleh kreditur (Sukamulja, 2004).

2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis hubungan antara

GCG dengan nilai perusahaan yang mana hasil penelitian-penelitian tersebut ada

yang sejalan dan ada juga yang bertentangan.

Penelitian Hoyt dan Liebenberg (2011) yang berjudul “The Value of

Enterprise Risk Management: Evidence from U.S. Insurance Industry” bertujuan

untuk mengukur sejauh mana perusahaan telah menerapkan program Enterprise

Risk Management dan menilai implikasi dari program tersebut. Sampel penelitian

terdiri dari 275 perusahaan asuransi yang beroperasi setiap tahun selama periode

1995 sampai 2005. Penelitian ini menggunakan analisis regresi dan menemukan

bahwa penggunaan ERM berhubungan positif dengan ukuran perusahaan dan

kepemilikan institusional, berhubungan negatif dengan penggunaan reasuransi,

leverage, dan opacity aset. Peneliti juga menemukan hubungan positif antara

penggunaan ERM dan Tobin's Q, sebuah proksi standar untuk nilai perusahaan.
27

Penelitian Handayani (2017) yang berjudul “Mekanisme Corporate

Governance, Enterprise Risk Management dan Nilai Perusahaan Perbankan”

bertujuan untuk menguji pengaruh mediasi ERM pada hubungan mekanisme

corporate govenance dan nilai perusahaan. Populasi penelitian ini adalah

perusahaan sektor keuangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun

2013 sampai 2015. Teknik pemilihan sampel menggunakan purposive sampling.

Penelitian ini menggunakan analisis jalur (path analsis) dalam pengujian hipotesis

dan sobel test untuk pengujian mediasi ERM. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa mekanisme corporate governance (kepemilikan manajerial, kepemilikan

institusional, komisaris independen dan komite audit) berpengaruh pada nilai

perusahaan. Penelitian ini memberikan bukti bahwa ERM memediasi pengaruh

kepemilikan institusional, komisaris independen, dan komite audit terhadap nilai

perusahaan, namun tidak memediasi pengaruh kepemilikan manajerial.

Penelitian Agustina et al (2016) yang berjudul “The Role of Risk And

Sustainability Management In The Effects of Corporate Governance on Firm

Value” bertujuan untuk menganalisis dampak langsung corporate governance

terhadap nilai perusahaan dan secara tidak langsung melalui risk management dan

sustainability management. Jumlah sampel adalah 24 perusahaan manufaktur

yang terdaftar di BEI tahun 2011 sampai 2013. Hasil penelitian ini

mengungkapkan bahwa meningkatnya corporate governance akan meningkatkan

risk management, sustainability management, dan nilai perusahaan. Risk

management memiliki peran mediasi negatif pada hubungan corporate


28

governance dan nilai perusahaan, sedangkan sustainability management tidak

memediasi.

Penelitian Sugiharto et al (2016) yang berjudul “Risk Management Mediates

The Influence of Good Corporate Governance, Managerial Shareholder, And

Leverage on Firm Value” bertujuan untuk menganalisis pengaruh GCG,

kepemilikan manajerial, manajemen risiko dan nilai perusahaan, serta

menganalisis manajemen risiko dalam menengahi pengaruh GCG, kepemilikan

manajerial, dan leverage terhadap nilai perusahaan. Populasi penelitian ini adalah

perusahaan perbankan yang terdaftar dan aktif di BEI selama periode 2013 dan

2015 yang terdiri dari 42 perusahaan dan terpilih 33 perusahaan sebagai sampel.

Analisis data penelitian menggunakan Structural Equation Model (SEM) dengan

pendekatan varians based atau pendekatan berbasis komponen dan Partial Least

Square (PLS). Hasil penelitian menunjukkan: GCG dan leverage berpengaruh

negatif terhadap manajemen risiko. Kepemilikan manajerial memiliki pengaruh

positif terhadap manajemen risiko. GCG dan leverage tidak berpengaruh terhadap

nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial memiliki pengaruh positif terhadap nilai

perusahaan. Manajemen risiko memiliki pengaruh negatif terhadap nilai

perusahaan. Manajemen risiko dapat memediasi pengaruh GCG dan leverage

terhadap nilai perusahaan. Manajemen risiko tidak dapat memediasi pengaruh

kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan.

Penelitian Badriyah et al (2016) yang berjudul “The Effect of Corporate

Governance And Firm Characteristics on Firm Performance And Risk

Management As An Intervening Variable” bertujuan untuk menguji pengaruh


29

corporate governance dan karakteristik perusahaan terhadap keberadaan Risk

Management Committe dan pengaruh keberadaan Risk Management Committe

terhadap kinerja perusahaan serta menguji peran keberadaan Risk Management

Committe pada hubungan antara corporate governance dan karakteristik

perusahaan terhadap kinerja perusahaan. Populasi penelitian ini adalah perusahaan

nonkeuangan yang terdaftar di BEI untuk tahun buku 2013 dan purposive

sampling digunakan sebagai metode pengambilan sampel. Hipotesis diuji dengan

menggunakan PLS. Hasilnya membuktikan bahwa corporate governance dan

karakteristik perusahaan mempengaruhi keberadaan Risk Management Committe

dan kinerja perusahaan. Keberadaan Risk Management Committe memediasi

hubungan corporate governance dan karakteristik perusahaan terhadap kinerja

perusahaan yang diukur dengan ROA dan Tobins’Q.

Penelitian Ararat et al (2017) yang berjudul “The Effect of Corporate

Governance on Firm Value And Profitability: Time-Series Evidence From

Turkey” bertujuan untuk menguji pengaruh Turkey Corporate Governance Index

(TCGI) terhadap nilai dan profitabilitas perusahaan publik Turki tahun 2006

sampai 2012. Hipotesis diuji menggunakan analisis regresi Ordinal Least Square

(OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa TCGI berpengaruh positif pada nilai

perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q dan Earning Before Interest and Tax

(EBIT) sebagai proksi dari profitabilitas perusahaan.

Penelitian Gupta et al (2009) yang berjudul “Corporate Governance And

Firm Value: Evidence From Canadian Capital Markets” bertujuan untuk menguji

hubungan corporate governance index tahun 2002 sampai 2005 dengan berbagai
30

proksi nilai perusahaan. Hasil penelitian ini tidak menemukan hubungan antara

corporate governance index dan berbagai proksi nilai perusahaan yaitu (1)

penilaian relatif pasar yang diukur dengan Tobin’s Q dan market-to-book-ratio,

(2) kinerja operasi perusahaan yang diukur dengan ROA, dan (3) reaksi pasar

yang diukur dengan return saham hari ke-11 dan return saham 2 hari di sekitar

tanggal publikasi corporate governance index.

Penelitian Al-Maghzom et al (2016) yang berjudul “Corporate Governance

And Risk Disclosure: Evidence From Saudi Arabia” bertujuan untuk

mengeksplorasi Corporate Governance dan sifat demografi tim manajemen

puncak sebagai penentu praktik pengungkapan risiko sukarela di bank-bank yang

terdaftar di bursa efek Arab Saudi tahun 2009 sampai 2013. Penelitian ini

menggunakan pendekatan content analysis untuk mengukur tingkat pengungkapan

risiko. Pengujian hipotesis penelitian menggunakan analisis regresi OLS. Temuan

empiris menunjukkan bahwa kepemilikan eksternal, rapat komite audit, jenis

kelamin, ukuran, tingkat keuntungan dan ukuran dewan adalah faktor penentu

utama praktik pengungkapan risiko sukarela di bank-bank yang terdaftar di bursa

efek Arab Saudi.

Penelitian Ghosh (2013) yang berjudul “An Empirical Investigation Into

Enterprise Risk Management in India” bertujuan untuk menguji faktor-faktor

penentu adopsi ERM untuk 100 perusahaan publik nasional India teratas per 31

Maret 2012 dan mengeksplorasi lebih jauh apakah adopsi ERM menyebabkan

kenaikan nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q. Temuan menunjukkan

bahwa ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas, dan kompleksitas perusahaan


31

mempengaruhi kemungkinan adopsi ERM. Selanjutnya, penerapan ERM

berdampak positif terhadap nilai perusahaan.

Penelitian Devi dkk (2017) yang berjudul “Pengaruh Enterprise Risk

Management Disclosure Dan Intelectual Capital Disclosure Pada Nilai

Perusahaan” bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh

pengungkapan ERM dan pengungkapan IC pada nilai perusahaan. Sampel

penelitian adalah 73 perusahaan nonkeuangan yang terdaftar di BEI pada periode

tahun 2010 sampai 2014. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis

regresi data panel. Hasil penelitian membuktikan bahwa pengungkapan ERM dan

pengungkapan IC berpengaruh positif pada nilai perusahaan. Ukuran perusahaan,

profitabilitas, dan leverage sebagai variabel kontrol juga berpengaruh positif pada

nilai perusahaan.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian terdahulu

yang telah dibahas sebelumnya. Adapun pengembangan tersebut adalah sebagai

berikut.

1) Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris mengenai faktor

yang mempengaruhi ERM Disclosure dan pengaruh ERM Disclosure tersebut

pada nilai perusahaan sebagaimana penelitian Hoyt dan Liebenberg (2011)

serta Ghosh (2013).

2) Penelitian ini menggunakan ERM Disclosure sebagai variabel intervening

pada hubungan antara GCG dengan nilai perusahaan sebagaimana penelitian

Handayani (2017), Agustina et al (2016), Sugiharto et al (2016) dan Badriyah

et al (2015). Proksi ERM Disclosure pada penelitian ini adalah indeks total
32

skor item pengungkapan berdasarkan kerangka kerja ISO 31000 mengacu

pada penelitian Utami (2015) serta Agista dan Mimba (2017).

3) Penelitian ini menggunakan GCG sebagai variabel independen sebagaimana

penelitian yang dilakukan oleh Agustina et al (2016), Ararat et al (2017) serta

Gupta et al (2009). Proksi GCG pada penelitian ini adalah CGPI yang

mengacu pada penelitian Agustina et al (2016), Ariestya dan Ardiana (2016),

Sari (2014) serta Retno M. dan Priantinah (2012).

4) Penelitian ini menggunakan nilai perusahaan sebagai variabel dependen yang

mana nilai perusahaan diproksikan dengan Tobin’s Q sebagaimana penelitian

Hoyt dan Liebenberg (2011), Handayani (2017), Agustina et al (2016),

Badriyah et al (2015), Ararat et al (2017), Gupta et al (2009), Ghosh (2013)

dan Devi dkk (2017).


33

Anda mungkin juga menyukai