Anda di halaman 1dari 18

ABORTUS IMINENS

Disusun oleh :

Nabila Fitri Kurnia

201510330311127

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, yang atas ridho-Nya Tugas tugas
tinjauan pustaka dengan judul “ABORTUS IMINENS” bisa terselesaikan dengan
baik.

Tugas ini disusun dengan tujuan untuk mengembangkan pengetahuan


mahasiswa tentang topik yang diambil penulis, dimana topik tersebut merupakan
salah satu kasus menarik yang ditemui penulis saat melaksanakan program elektif.

Demikian laporan ini dibuat dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari


bahwa tugas tinjauan pustaka ini tentu tidak terlepas darikekurangan karena
keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Kami mengharapkan kritik
dan saran yang dapat membanguni, sehingga bisa membuat dan melaksanakan
program elektif kedepan dengan lebih baik.

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu komplikasi terbanyak pada kehamilan ialah terjadinya

perdarahan. Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan

muda sering dikaitkan dengan kejadian abortus, misscarriage, early pregnancy

loss. Perdarahan yang terjadi pada umur kehamilan yang lebih tua terutama

setelah melewati trimester III disebut perdarahan antepartum.

Perdarahan pada kehamilan muda dikenal beberapa istilah sesuai dengan

pertimbangan masing-masing, tetapi setiap kali kita melihat terjadinya perdarahan

pada kehamilan kita harus selalu berfikir tentang akibat dari perdarahan ini yang

menyebabkan kegagalan kelangsungan kehamilan itu sendiri. Dikenal beberapa

batasan tentang peristiwa yang ditandai dengan perdarahan pada kehamilan muda,

salah satunya adalah abortus.

Abortus merupakan ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum

janin dapat hidup diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari

20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram.

Abortus iminens merupakan komplikasi kehamilan tersering dan

menyebabkan beban emosional serius, terjadi satu dari lima kasus dan

meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur, bayi berat badan lahir rendah

(BBLR), kematian perinatal, perdarahan antepartum, dan ketuban pecah dini

(KPD), namun tidak ditemukan kenaikan risiko bayi lahir cacat. Diagnosis abortus

iminens ditentukan karena terjadi perdarahan pada awal kehamilan melalui ostium

uteri eksternum, disertai nyeri perut sedikit atau tidak sama sekali, serviks
tertutup, dan janin masih hidup. Meskipun dokter umum maupun spesialis

kandungan sering melihat kondisi tersebut, penatalaksanaan abortus iminens pada

umumnya secara empiris.


BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Definisi

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum

janin dapat hidup di liar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan

kurang 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Sarwono, 2014)

Berdasarkan aspek klinisnya, abortus spontan dibagi menjadi

beberapa kelompok, yaitu abortus iminens (threatened abortion), abortus

insipiens (inevitable abortion), abortus inkomplit, abortus komplit, missed

abortion, dan abortus habitualis (recurrent abortion), abortus infeksiosus,

dan abortus septik (Cunningham, 2006)

Abortus iminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus

pada kehamilan sebelum 20 minggu, dengan hasil konsepsi masih dalam

uterus dan viabel, dan serviks tertutup (Williams, 2010). Dengan kata lain,

abortus iminens adalah aboertus tingkat permulaan atau bisa disebut juga

ancaman terjadinya abortus.

B. Epidemiologi

Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena banyak kejadian abortus

yang tidak dilaporkan, terutama abortus provokatus. Abortus spontan juga

banyak yang tidak dilaporkan karena hampir tidak ada gejala dan tanda

sehingga ibu hamil tidak berobat.

Angka kejadian abortus yang diketahui yakni 15-20 % merupakan abortus

spontan atau kehamilan ektopik (Sarwono, 2014)


Prevalensi abortus juga meningkat dengan bertambahnya usia,

dimana pada wanita berusia 20 tahun adalah 12%, dan pada wanita diatas

45 tahun adalah 50%. Delapan puluh persen abortus terjadi pada 12

minggu pertama kehamilan. Abortus juga bisa memicu terjadinya

komplikasi persalinan yang bisa menyebabkan kematian ibu. Berdasarkan

survei terakhir tahun 2012 yang dilakukan oleh Survei Demografi dan

Kesehatan Indonesia (SKDI), AKI menunjukkan kenaikan dari 228 di

tahun 2007 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup di

tahun 2012 (Dharma, 2015)

C. Etiologi

Mekanisme pasti yang bertanggungjawab atas peristiwa abortus tidak

selalu tampak jelas. Pada beberapa bulan pertama kehamilan, ekspulsi

hasil konsepsi yang terjadi secara spontan hampir selalu didahului

kematian embrio atau janin, namun pada kehamilan beberapa bulan

berikutnya, sering janin sebelum ekspulsi masih hidup dalam uterus.

Kematian janin sering disebabkan oleh abnormalitas pada ovum atau zigot

atau oleh penyakit sistemik pada ibu, dan kadang-kadang mungkin juga

disebabkan oleh penyakit dari ayahnya.

1. Perkembangan Zigot yang Abnormal

Abnormalitas kromosom merupakan penyebab dari abortus spontan.

Sebuah penelitian meta-analisis menemukan kasus abnormalitas

kromosom sekitar 49% dari abortus spontan. Trisomi autosomal

merupakan anomali yang paling sering ditemukan (52%), kemudian

diikuti oleh poliploidi (21 %) dan monosomi X (13%).


2. Faktor Maternal

Biasanya penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi.

Peristiwa abortus tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13

minggu, dan karena saat terjadinya abortus lebih belakangan, pada

sebagian kasus dapat ditentukan etiologi abortus yang dapat dikoreksi.

Sejumlah penyakit, kondisi kejiwaan dan kelainan perkembangan

pernah terlibat dalam peristiwa abortus euploidi.

a. Infeksi

Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia

trachomatis, Neisseria gonorhoeae, Streptococcus agalactina, virus

herpes simplek, cytomegalovirus Listeria monocytogenes dicurigai

berperan sebagai penyebab abortus. Toxoplasma juga disebutkan

dapat menyebabkan abortus. Isolasi Mycoplasma hominis dan

Ureaplasma urealyticum dari traktus genetalia sebagaian wanita

yang mengalami abortus telah menghasilkan hipotesis yang

menyatakan bahwa infeksi mikoplasma yang menyangkut traktus

genetalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua organisme

tersebut, Ureaplasma Urealyticum merupakan penyebab utama.

b. Penyakit

Penyakit Kronis yang Melemahkan Pada awal kehamilan,

penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu misalnya

penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan

abortus. Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada kehamilan

sebelum 20 minggu, tetapi keadaan ini dapat menyebabkan


kematian janin dan persalinan prematur. Diabetes maternal pernah

ditemukan oleh sebagian peneliti sebagai faktor predisposisi

abortus spontan, tetapi kejadian ini tidak ditemukan oleh peneliti

lainnya.

c. Pengaruh Endokrin

Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh

hipertiroidisme, diabetes mellitus, dan defisiensi progesteron.

Diabetes tidak menyebabkan abortus jika kadar gula dapat

dikendalikan dengan baik. Defisiensi progesteron karena

kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum atau

plasenta mempunyai hubungan dengan kenaikan insiden abortus.

Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi

hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil

konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa

kematiannya.

d. Nutrisi

Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang

paling besar kemungkinanya menjadi predisposisi meningkatnya

kemungkinan abortus. Nausea serta vomitus yang lebih sering

ditemukan selama awal kehamilan dan setiap deplesi nutrient yang

ditimbulkan, jarang diikuti dengan abortus spontan. Sebagaian

besar mikronutrien pernah dilaporkan sebagai unsur yang penting

untuk mengurangi abortus spontan.


e. Obat-Obatan dan Toksin Lingkungan

Berbagai macam zat dilaporkan berhubungan dengan

kenaikan insiden abortus. Namun ternyata tidak semua laporan ini

mudah dikonfirmasikan.

f. Faktor-faktor Imunologis

Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat

menyebabkan abortus spontan yang berulang antara lain : lupus

anticoagulant (LAC) dan anticardiolipin antibody (ACA) yang

mengakibatkan destruksi vaskuler, trombosis, abortus serta

destruksi plasenta.

g. Gamet yang Menua

Baik umur sperma maupun ovum dapat mempengaruhi

angka insiden abortus spontan. Insiden abortus meningkat terhadap

kehamilan yang berhasil bila inseminasi terjadi empat hari sebelum

atau tiga hari sesudah peralihan temperatur basal tubuh, karena itu

disimpulkan bahwa gamet yang bertambah tua di dalam traktus

genitalis wanita sebelum fertilisasi dapat menaikkan kemungkinan

terjadinya abortus. Beberapa percobaan binatang juga selaras

dengan hasil observasi tersebut.

h. Laparotomi

Trauma akibat laparotomi kadang-kadang dapat

mencetuskan terjadinya abortus. Pada umumnya, semakin dekat

tempat pembedahan tersebut dengan organ panggul, semakin besar

kemungkinan terjadinya abortus. Meskipun demikian, sering kali


kista ovarii dan mioma bertangkai dapat diangkat pada waktu

kehamilan apabila mengganggu gestasi. Peritonitis dapat

menambah besar kemungkinan abortus.

i. Trauma Fisik dan Trauma Emosional

Kebanyakan abortus spontan terjadi beberapa saat setelah

kematian embrio atau kematian janin. Jika abortus disebabkan

khususnya oleh trauma, kemungkinan kecelakaan tersebut bukan

peristiwa yang baru terjadi tetapi lebih merupakan kejadian yang

terjadi beberapa minggu sebelum abortus. Abortus yang

disebabkan oleh trauma emosional bersifat spekulatif, tidak ada

dasar yang mendukung konsep abortus dipengaruhi oleh rasa

ketakutan marah ataupun cemas.

j. Kelainan Uterus

Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelainan akuisita dan

kelainan yang timbul dalam proses perkembangan janin,defek

duktus mulleri yang dapat terjadi secara spontan atau yang

ditimbulkan oleh pemberian dietilstilbestrol (DES). Cacat uterus

akuisita yang berkaitan dengan abortus adalah leiomioma dan

perlekatan intrauteri. Leiomioma uterus yang besar dan majemuk

sekalipun tidak selalu disertai dengan abortus, bahkan lokasi

leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya. Mioma

submokosa, tapi bukan mioma intramural atau subserosa, lebih

besar kemungkinannya untuk menyebabkan abortus. Namun

demikian, leiomioma dapat dianggap sebagai faktor kausatif hanya


bila hasil pemeriksaan klinis lainnya ternyata negatif dan

histerogram menunjukkan adanya defek pengisian dalam kavum

endometrium. Miomektomi sering mengakibatkan jaringan parut

uterus yang dapat mengalami ruptur pada kehamilan berikutnya,

sebelum atau selama persalinan. Perlekatan intrauteri (sinekia atau

sindrom Ashennan) paling sering terjadi akibat tindakan kuretase

pada abortus yang terinfeksi atau pada missed abortus atau

mungkin pula akibat komplikasi postpartum. Keadaan tersebut

disebabkan oleh destruksi endometrium yang sangat luas.

Selanjutnya keadaan ini mengakibatkan amenore dan abortus

habitualis yang diyakini terjadi akibat endometrium yang kurang

memadai untuk mendukung implatansi hasil pembuahan.

k. Inkompetensi serviks

Kejadian abortus pada uterus dengan serviks yang

inkompeten biasanya terjadi pada trimester kedua. Ekspulsi

jaringan konsepsi terjadi setelah membran plasenta mengalami

ruptur pada prolaps yang disertai dengan balloning membran

plasenta ke dalam vagina.

3. Faktor Paternal

Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor paternal

dalam proses timbulnya abortus spontan. Yang pasti, translokasi

kromosom sperma dapat menimbulkan zigot yang mengandung bahan

kromosom terlalu sedikit atau terlalu banyak, sehingga terjadi abortus.

a. Faktor fetal
Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan

kematian janin atau cacat. Kelainan berat biasanya

menyebabkan kematian janin pada hamil muda. Faktor-faktor

yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan janin antara

lain kelainan kromosom, lingkungan kurang sempurna dan

pengaruh dari luar. Kelainan kromosom merupakan kelainan

yang sering ditemukan pada abortus spotan seperti trisomi,

poliploidi dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks.

Lingkungan yang kurang sempurna terjadi bila lingkungan

endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna

sehingga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi

terganggu. Pengaruh dari luar seperti radiasi,virus, obat-obat

yang sifatnya teratogenik.

b. Faktor plasenta

Seperti endarteritis dapat terjadi dalam villi koriales dan

menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga

menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin.

Keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena

hipertensi yang menahun.

4. Patofisiologi

Proses abortus iminens biasanya berlangsung secara spontan

maupun sebagai komplikasi dari abortus provokatus kriminalis

ataupun medisinalis. Proses terjadinya berawal dari pendarahan pada

desidua basalis yang menyebabkan nekrosis jaringan diatasnya. Pada


abortus iminens nekrosis yang terjadi tidak cukup dalam untuk

menimbulkan pelepasan hasil konsepsi dari dinding uterus. Namun

jika tidak segera ditangani, nekrosis dapat meluas dan menimbulkan

inkompetensi desidua dalam menjaga hasil konseptus sehingga dapat

berlanjut kepada abortus inkomplet atau komplet. Pada kehamilan

antara 8 minggu sampai 14 minggu villi koriales menembus desidua

lebih dalam sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna

yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih

dari 14 minggu umumnya yang mula-mula dikeluarkan setelah ketuban

pecah adalah janin, disusul kemudian oleh plasenta yang telah lengkap

terbentuk. Perdarahan tidak banyak jika plasenta segera terlepas

dengan lengkap

5. Gejala Klinis

a. Adanya perdarahan pada awal kehamilan melalui ostium uteri

eksternum, disertai nyeri perut ringan atau tidak sama sekali.

b. Adanya gejala nyeri perut dan punggung belakang yang semakin

hari bertambah buruk dengan atau tanpa kelemahan dan uterus

membesar sesuai usia kehamilan

6. Differential Diagnosis

- Kehamilan ektopik

- Mola hidatidosa

7. Pemeriksaan Penunjang

- USG : Pemeriksaan USG transvaginal penting untuk menentukan

apakah janin viabel atau non viabel dan membedakan antara


kehamilan intrauteri, ekstrauteri, mola, atau missed abortion. Jika

perdarahan berlanjut, ulangi pemeriksaan USG dalam tujuh hari

kemudian untuk mengetahui viabilitas janin. Jika hasil

pemeriksaan meragukan, pemeriksaan dapat diulang 1-2 minggu

kemudian.

- Kadar human chorionic gonadotropin (hCG) kuantitatif serial :

Evaluasi harus mencakup pemeriksaan hCG serial kecuali pasien

mengalami kehamilan intrauterin yang terdokumentasi dengan

USG, untuk mengeliminasi kemungkinan kehamilan ektopik.

Kadar hCG kuantitatif serial diulang setelah 48 jam digunakan

untuk mendiagnosis kehamilan ektopik, mola, abortus iminens, dan

missed abortion. Kadar hCG serum wanita hamil yang mengalami

keguguran diawali dengan gejala abortus iminens pada trimester

pertama, lebih rendah dibandingkan wanita hamil dengan gejala

abortus iminens yang kehamilannya berlanjut atau dengan wanita

hamil tanpa gejala abortus iminens.

- Pemeriksaan kadar progesteron : Kadar hormon progesteron relatif

stabil pada trimester pertama, sehingga pemeriksaan tunggal dapat

digunakan untuk menentukan apakah kehamilan viabel; kadar

kurang dari 5 ng/mL menunjukkan prognosis kegagalan kehamilan

dengan sensitivitas 60%, sedangkan nilai 20 ng/mL menunjukkan

kehamilan yang viabel dengan sensitivitas 100%


8. Tata Laksana

Tata laksana yang dilakukan untuk menangani abortus iminens

yakni menggunakan cara konservatif yang diantaranya adalah :

- Tirah Baring : Istirahat tidur sangat penting dalam pengobatan

abortus iminens karena bisa meningkatkan aliran darah ke uterus

dan mengurangi rangsangan mekanik.

- Abstinensia : Abstinensia sering kali dianjurkan dalam

penanganan abortus iminens, karena pada saat berhubungan

seksual, oksitoksin disekresi oleh puting atau akibat stimulasi

klitoris, selain itu prostaglandin E dalam semen dapat

mempercepat pematangan serviks dan meningkatkan kolonisasi

mikroorganisme di vagina.

- Progesteron

- Hcg

- Antibiotik jika dicurigai ada infeksi.

9. Prognosis

Abortus iminens merupakan salah satu faktor risiko keguguran,

kelahiran prematur, BBLR, perdarahan antepartum, KPD dan kematian

perinatal. Namun, tidak ditemukan kenaikan risiko bayi lahir cacat.

Macam dan lamanya perdarahan menentukan prognosis kehamilan.

Prognosis menjadi kurang baik bila perdarahan berlangsung lama,

nyeri perut yang disertai pendataran serta pembukaan serviks.


Riwayat yang Prognosis Baik Prognosis Buruk
Berpengaruh
Riwayat Usia ibu hamil < Usia ibu saat hamil >34 tahun
34 tahun Riwayat keguguran
sebelumnya
USG Aktivitas jantung Fetal bradikardi
normal UK berdasarkan HPHT
dengan panjang crown to
rump berbeda
Ukuran kantong gestasi yang
kosong >15-17mm
Biokimia serum Kadarnya normal Kadar β hCG rendah
maternal Kadar β hCG bebas 20 ng/mL
Peningkatan β hCG <66%
dalam 48 jam
Rasio bioaktif/imunoreaksi
hCG <0,5
Progesteron <45 nmol/1L
pada trimester pertama
BAB III

RESUME

Abortus iminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus

pada kehamilan sebelum 20 minggu, dengan hasil konsepsi masih dalam

uterus dan viabel, dan serviks tertutup. Dengan kata lain, abortus iminens

adalah aboertus tingkat permulaan atau bisa disebut juga ancaman

terjadinya abortus.

Abortus iminens bisa terjadi karena banyak penyebab diantaranya

adalah faktor maternal maupun paternal. Tata laksana untuk menangani

kasus abortus iminens diantaranya adalah dengan tirah baring yakni bed

rest total karena dengan tirah baring bisa meningkatkan aliran darah ke

uterus dan mengurangi rangsangan mekanik. Selain itu disarankan agar

abstinensia dan untuk terapi medikamentosa menggunakan obat yang

mengandung progesteron untuk memperkuat dinding uterus yang

berpengaruh pada pertumbuhan janin.

Abortus iminens merupakan salah satu faktor risiko keguguran,

kelahiran prematur, BBLR, perdarahan antepartum, KPD dan kematian

perinatal. Namun, tidak ditemukan kenaikan risiko bayi lahir cacat.

Macam dan lamanya perdarahan menentukan prognosis kehamilan.

Prognosis menjadi kurang baik bila perdarahan berlangsung lama, nyeri

perut yang disertai pendataran serta pembukaan serviks.


DAFTAR PUSTAKA

Williams obstetrics. In: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse

DJ, Spong CY, editors. 23rd ed. Ohio: McGraw-Hill; 2010

Cunningham FG, dkk. Kehamilan pada Manusia. Dalam Hartanto Huriawati,

editor. Obstetric Williams volume satu. Edisi ke-21. Jakarta: ECG.

2006.Hal 2-33

Prawihardjo, Sarwono, 2014, Ilmu Kebidanan, Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

Sucipto, Nur Ilhaini, 2013, Abortus Iminens: Upaya Pencegahan, Pemeriksaan,

dan Penatalaksanaan, Cermin Dunia Kedokteran Vol. 40 No.7 pp. 492-496

Dharma K S, 2015, Laporan Kasus Abortus Iminens Juni 2015 Faktor Resiko,

Patogenesis, Dan Penatalaksanaan, Intisari Sains Medis, Vol. 3 No.1, Hal.

44-50

Anda mungkin juga menyukai