Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


International Continence Society (ICS) mendefinisikan bahwa inkontinensia urin adalah
sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial seperti rasa malu
untuk bersosialisasi dengan para lansia lain yang mengakibatkan gangguan hygiene
(Angellita, 2012)
Menurut Undang-undang no.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, lansia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas (Maryam, et al., 2010). Tahapan lanjut
dari lanjut usia ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh. Secara fisiologis proses
menua merupakan penurunan bertahap dan teratur dari organ atau sistem organ (Sustyani,
dkk., 2012). Proses menua biasanya ditandai dengan adanya perubahan fisik, biologis, mental
dan spikososial. Dan perubahan fisik tersebut yang menimbulkan terjadinya masalah
kesehatan (Aspiani, R.Y, 2014).
Berdasarkan data Word Health Organisation (WHO), 200 juta penduduk didunia
mengalami inkontinensia urin. Unites States Department Of Health And Human Services
(Departement Kesehatan dan Layanan Masyarakat) di Amerika Serikat, melaporkan pada
tahun 2010, bahwa penderita inkontinensia urin mencapai 13 juta penduduk dan 85%
diantaranya ialah perempuan (Wahyudi, 2017).
Di indonesia ditemukan 5.052 laki-laki yang memiliki masalah inkontinensia urin sekitar
15-30% individu dan diperkirakan berusia lebih dari 60 tahun (Kementrian Kesehatan RI,
2013). Di sumatera barat sebanyak 12.443 jumlah penduduk lanjut usia perempuan maupun
laki-laki yang berisiko terjadinya inkontinensia urin (Junita, 2013)
Inkontinensia urin adalah ketidakmampuan seseorang menahan keluarnya urin. Keadaan
ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan medik, sosial maupun ekonomi (Purnomo,
2012). Masalah inkontinensia urin tidak akan mengancam jiwa penderitanya, tetapi akan
berpengaruh pada kualitas hidup yang disebabkan oleh faktor gangguan psikologi dan faktor
sosial yang sulit diatasi, penderita merasa rendah diri kerena selalu basah akibat urin yang
keluar dan menimbulkan bau, serta urin yang tak tertahankan akibat batuk, bersin, dan
keterbatasan menahan urin dari kamar ke kamar mandi (Agoes, 2010)
Pola berkemih, frekuensi berkemih dan volume berkemih pada setiap orang sangat
bervariasi yang dipengaruhi pleh beberapa factor antara lain : 1) diet dan intake, 2) respon
keinginan awal untuk berkemih, 3) gaya hidup, 4) stress psikolog, 5) tingkat aktifitas, 6)
tingkat perkembangan, dan 7) kondisi patologis. Frekuensi berkemih orang normal rata-rata
sebanyak 5-6 kali atau 4 jam sekali dengan volume kurang lebih 300 ml setiap miksi atau
sekitar 1500 ml perhari (purnomo, 2011).Menurut Stanley dan beare (2007), frekuensi
berkemih normal adalah setiap 3 jam sekali atau tidak lebih dari 8 kali dalam sehari. Tidak
normalnya orang berkemih pada seseorang lanjut usia adalah apabila frekuensi berkemih
oramg lanjut usia sebanya 1 kali per 2 jam tanpa bias ditahan atau bias dikatakan berkemih
sebnyak 12 kali dalam 24 jam (Meiner dan lueckenotte 2006).
Adapun intervensi yang dapat menyembuhkan ketidakmampuan menahan kencing
(inkontinensia urin) ialah senam kegel, dimana senam kegel adalah senam otot untuk
menguatkan otot panggul atau senam yang bertujuan untuk memperkuat otot-otot dasar
panggul terutama otot pubococcygeal sehingga seorang wanita lanjut usia dapat memperkuat
otot-otot saluran kemih ( Yuliana, 2011).
Senam kegel (latihan otot dasar panggul), yang dikemukakan oleh Arnold kegel,
melaporkan perbaikan/kesembuhan sampai 84% dengan latihan otot dasar panggul untuk
wanita dan pria dengan berbagai macam tipe inkontinensia urin. Dengan 4-6 minggu
melakukan latihan senam kegel secara teratur akan terasa berkurangnya kebocoran urine,
semua latihan diatas akan memberikan kontrol yang baik pada kandung kemih, walaupun
memakan waktu dan kesabaran, hasilnya cukup memuaskan (Darmajo, 2011). Penanganan
inkontinensia urin yang dapat dilakukan dengan cara surgical, tetapi kebanyakan lansia
merasakan ketakutan dalam menghadapi, tetapi terapi non-surgical yang lebih efektif untuk
mengatasi penanganan inkontinensia urin ialah senam kegel (Part & Kang, 2014).
Bledder training dapat meningkatkan jumlah yang dapat ditahan oleh kandung kemih dan
dapat mengontrol bila terjadi urgency. Cara memulai latihan kandung kemih adalah segera
pergi ke toilet ketika merasa ingin buang kecil dan tunggu lima menit sebelum buang air
kecil. Kemungkinan tidak akan mudah saat melakukan untuk pertama kalinya. Pelan-pelan
saja untuk memulainya, tunggu jarak periode antara lima ke sepuluh menit. Jumlahkan menit
sampai tiga puluh menit. Kosongkan kandung kemih ketika kandung kemih terisi penuh.
(setyawati, 2008 dalam prasetyawan, 2011)
Data yang didapat di PSTW Cinta Kasih Yossudarso Padang, dengan jumlah lansia 40
orang, 30 diantaranya mengalami inkotinensia urine. Adapun masalah yang dirasakan lansia
terkait inkontinensia urin yaitu keluarnya urin saat batu, ngompol sebelum sampai ketoilet,
ngompol saat sedang berjalan cepat, terkencing didalam celan sebelum melepas celana, tidak
mampu menahan kencing.
RSUP. Dr. M. Djamil Padang menyatakan 7 orang pasien dari 10 orang pasien yang
pernah dipasang kateter mengalami gangguan berkemih dengan gejala seperti, urin yang
keluar sendiri atau tanpa disadari dan perasaan ingin BAK terus.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penilitian dengan
tujuan untuk memodifikasi senam kegel dengan latihan training bledder dalam mengurangi
penurunan frekuensi BAK inkontinensia pada lansia.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang peneliti dapat
adalah “ apakah ada pengaruh modifikasi senam kegel dengan latihan training bledder dalam
mengurangi penurunan frekuensi BAK inkontinensia pada lansia”

1.3 Tujuan penelitian


Tujuan umum : untuk mengetahui apakah ada pengaruh modifikasi senam kegel dengan
latihan training bledder dalam mengurangi penurunan frekuensi BAK inkontinensia pada
lansia
Tujuan khusus :

Anda mungkin juga menyukai