Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi demensia
sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun
prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia
diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita
jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s
diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk
seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen
pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia
tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang
secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan faktor
predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler meliputi 15 hingga
30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada
seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada
wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1 hingga 5
persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan berbagai
jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit
Huntington dan penyakit Parkinson. Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan
mempunyai banyak penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat
pada seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien
tertentu.
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi,
sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan
sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua
masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi
memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999).

1.2 Rumusan Masalah


1
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat penulis rumuskan suatu permasalahan :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Demensia pada lansia ?
1.2.2 Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien lansia
dengan penyakit Demensia ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan umum:
Mahasiswa mampu untuk memahami tentang asuhan keperawatan lansia
dengan gangguan Demensia.
1.3.2 Tujuan khusus:
a) Mahasiswa mampu memahami definisi demensia pada lansia.
b) Mahasiswa mampu memahami klasifikasi dari penyakit demensia pada
lansia.
c) Mahasiswa mampu memahami penyebab dan patofisiologi dari penyakit
Demensia pada lansia.
d) Mahasiswa mampu memahami tanda dan gejala dari penyakit demensia
pada lansia.
e) Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang dan
penatalaksanaan dari penyakit demensia pada lansia.
f) Mahasiswa mampu memahami aplikasi konsep dasar asuhan
keperawatan lansia dengan penyakit demensia.

BAB II
PEMBAHASAAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit Demensia


1. Pengertian

2
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan
beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom)
yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L.,
Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia
bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan
beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan
tingkah laku.
Demensia adalah sindroma klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual
dan memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari
-hari. Demensia merupakan keadaan ketika seseorang mengalami penurunan daya
ingat dan daya pikir lain yang secara nyata mengganggu aktivitas kehidupan sehari
hari (Nugroho, 2008). Sementara itu menurut Lumbantobing (1995) demensia adalah
himpunan gejala penurunan fungsi intelektual, umumnya ditandai terganggunya
minimal tiga fungsi yakni bahasa, memori, visuospasial, dan emosional.
Demensia adalah satu penyakit yang menyebabkan sel-sel otak yang mati
secara abnormal. Hanya satu terminologi yang digunakan untuk menerangkan
penyakit otak degeneratif yang progresif. Daya ingat, pemikiran, tingkah laku dan
emosi terjejas bila mengalami demensia. Penyakit ini dapat dialami oleh semua orang
dari berbagai latar belakang pendidikan maupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat
perawatan khusus untuk demensia, namun perawatan untuk menangani gejala boleh
dilakukan

2. Epidemiologi dan Sejarah


Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya, kata demens tidak memiliki
arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah
seorang enclyopedist yang bernama Celcus di dalam publikasinya De re medicine
sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai istilah gila. Seabad kemudian
seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus menggunakan istilah senile
dementia pada seorang pasien tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian
pada awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama Pinel menghubungkan
terminologi demensia dengan perubahan mental yang progresif pada pasien yang
mirip idiot (Sjahrir,1999)

3
Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai masa terminal dari
penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun
1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A Unique Illnes
involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu
ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda dan secara
progresif bertahap mengalami gejala seperti psikosis dan demensia kemudian
meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari
bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang tinggal menggembung berisi
gumpalan fiber dalam sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi
di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali menemukan dan menamakan
neurofibrillary tangles (NT) dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP)
dianggap sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan otak maupun fisik. Otak
akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek dan hipokampus akan mengkerut,
pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan reaksi akan
melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat lari ataupun bermain tenis secukupnya.
Ingatan akan kata berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary
tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999)
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65 tahun dengan angka
insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak ada perbedaan antara pria dan
wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita dengan rasio 1,6.
Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan dengan umur, 5% dari populasi
berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita Alzheimer, dan ini
sesuai dengan makin banyak populasi orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka
makin tua populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun
didapati 50% penderita AD. (Sjahrir,1999)
Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60
tahun adalah 7,2 % (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka
kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu
populasi. Kira-kira 5 % usia lanjut 65 – 70 tahun menderita demensia dan meningkat
dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada
negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia
lanjut 10 – 15% atau sekitar 3 – 4 juta orang. Demensia terbagi menjadi dua yakni
4
Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler. Demensia Alzheimer merupakan kasus
demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50-70%. Demensia
vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35% disebabkan demensia
lainnya. Di Jepang dan Cina demensia vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia
akibat penyakit Alzheimer.

3. Etiologi
Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan
timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat
disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace, N.L. &
Rabins, P.V. 2006). Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab
utama dari gejala demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh
darah), demensia Lewy body, demensia frontotemporal dan sepuluh persen
diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.
Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit
Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga
membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson,
C. 2004). Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat
keputusan dan juga penurunan proses berpikir.
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3
golongan besar :
a. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal,
Sering pada golongan ini tidak ditemukan atrofia serebri, mungkin kelainan
terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada sistem enzim,
atau pada metabolisme seperti yang ditemukan pada penyakit alzheimer dan
demensia senilis.
b. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati,
Penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
 Penyakit degenerasi spino-serebelar.
 Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
 Khorea Huntington
 penyakit jacob-creutzfeld dll

5
c. Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam
golongan ini diantaranya :
 Penyakit cerebro kardiofaskuler
 penyakit- penyakit metabolik
 Gangguan nutrisi
 Akibat intoksikasi menahun
 Hidrosefalus komunikans
Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang sedemikian berat sehingga
mengganggu aktivitas hidup sehari- hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif
pada demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori atau daya ingat (pelupa).
Demensia terutama yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer berkaitan erat dengan
usia lanjut. Penyakit alzheimer ini 60% menyebabkan kepikunan atau demensia dan
diperkirakan akan meningkat terus.
Gejala klasik penyakit demensia alzheimer adalah kehilangan memori (daya
ingat) yang terjadi secara bertahap, termasuk kesulitan menemukan atau menyebutkan
kata yang tepat, tidak mampu mengenali objek, lupa cara menggunakan benda biasa
dan sederhana, seperti pensil, lupa mematikan kompor, menutup jendela atau menutup
pintu, suasana hati dan kepribadian dapat berubah, agitasi, masalah dengan daya ingat,
dan membuat keputusan yang buruk dapat menimbulkan perilaku yang tidak biasa.
Gejala ini sangat bervariasi dan bersifat individual. Gejala bertahap penyakit
alzheimer dapat terjadi dalam waktu yang berbeda- beda, bisa lebih cepat atau lebih
lambat. Gejala tersebut tidak selalu merupakan penyakit alzheimer, tetapi apabila
gejala tersebut berlangsung semakin sering dan nyata, perlu dipertimbangkan
kemungkinan penyakit alzheimer (Nugroho, 2008).
4. Kriteria Derajat Demensia
Kriteria derajat demensia
a. Ringan : Walaupun terdapat gangguan berat daya kerja dan aktivitas sosial,
kapasitas untuk hidup mandiri tetap dengan higiene personal cukup dan
penilaian umum yang baik.
b. Sedang :Hidup mandiri berbahaya diperlukan berbagai tingkat suportivitas.
c. Berat:Aktivitas kehidupan sehari-hari terganggu sehingga tidak
berkesinambungan, inkoheren.

6
5. Patofisiologi
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang
dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10
tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan
bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing
individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah
sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan
bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga
menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat.
Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata
angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus
menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen
pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang
diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang
samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang
yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-
gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia
vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan
pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau
ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak
jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien
biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat
menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana
penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik.
Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong”
dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan
inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena
perbaikan bagian-bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat
berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi
gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat
7
hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi.
Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya
terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan perburukan (biasanya
terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada
demensia yang terkait dengan trauma kepala).
Faktor Psikosial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh
faktor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit
maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual.
Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan
diri yang lebih sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap.
Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia
dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan
memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika
depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.

Pathway Demensia:

Cedera berat, intoksikasi zat beracun, factor usia, dll.

Kerusakan sel otak

Hilangnya memori/ingatan jangka pendek


Perubahan
Kemampuan belajar menurun Proses pikir

Dementia

8
D. Alzheimer D. Vaskular

Peningkatan reflek tendon


Kematian sel otak yg massif kelemahan anggota gerak

Mudah lupa gangguan kognitif kelainan gaya berjalan

Tremor, Ketidakmampuan muncul gejala kurang koordinasi gerakan


Menggunakan benda neuropsikiatrik
Risiko cedera
Penurunan kemampuan perubahan nafsu agitasi
Melakukan aktifitas makan
Halusinasi kesulitan tidur
Kurang
perawatan diri Perubaha Cepat marah, Perubahan
n persepsi Curiga, mudah pola tidur
Risiko
perubahan sensori Tersinggung
nutrisi lebih
dari kebutusan Sindrom
stress
relokasi

6. Klasifikasi
 Menurut Umur:
a. Demensia senilis (>65th)
b. Demensia prasenilis (<65th)
 Menurut perjalanan penyakit:
a. Reversibel
b. Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit B
Defisiensi, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)
Pada demensia tipe ini terdapat pembesaran vertrikel dengan meningkatnya cairan
serebrospinalis, hal ini menyebabkan adanya :

9
 Gangguan gaya jalan (tidak stabil, menyeret).
 Inkontinensia urin.
 Demensia.
 Menurut kerusakan struktur otak
1. Tipe Alzheimer
Dari semua pasien dengan demensia, 50 – 60 % memiliki demensia tipe ini.
Orang yang pertama kali mendefinisikan penyakit ini adalah Alois Alzheimer
sekitar tahun 1910. Demensia ini ditandai dengan gejala :
 Penurunan fungsi kognitif dengan onset bertahap dan progresif,
 Daya ingat terganggu, ditemukan adanya : afasia, apraksia, agnosia, gangguan
fungsi eksekutif,
 Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru,
 Perubahan kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan),
 Kehilangan inisiatif.
Faktor resiko penyakit Alzheimer :
 Riwayat demensia dalam keluarga
 Sindrom down
 Umur lanjut
 Apolipoprotein, E4
Faktor yang memberikan perlindungan terhadap alzheimer :
 Apolipoprotein E, alele 2,
 Antioxidans,
 Penggunaan estrogen pasca menopause, (pada demensia tipe ini lebih sering
pada wanita daripada laki-laki)
 NSAID
Demensia pada penyakit Alzheimer belum diketahui secara pasti penyebabnya,
walaupun pemeriksaan neuropatologi dan biokimiawi post mortem telah ditemukan
lose selective neuron kolinergik yang strukturnya dan bentuk fungsinya juga terjadi
perubahan.
 Pada makroskopik : penurunan volume gyrus pada lobus frontalis dan temporal.
 Pada mikroskopik : plak senilis dan serabut neurofibrilaris
Kerusakan dari neuron menyebabkan penurunan jumlah neurotransmiter. Hal
ini sangat mempengaruhi aktifitas fisiologis otak. Tiga neurotransmiter yang

10
biasanya terganggu pada Alzheimer adalah asetilkolin, serotorin dan norepinefrin.
Pada penyakit ini diperkirakan adanya interaksi antara genetic dan lingkungan yang
merupakan factor pencetus. Selain itu dapat berupa trauma kepala dan rendahnya
tingkat pendidikan.
Stadium demensia alzheimer
Penyakit demensia alzheimer menurut Nugroho (2008) dapat berlangsung
dalam tiga stadium yaitu stadium awal, stadium menengah, dan stadium lanjut.
Stadium awal atau demensia ringan ditandai dengan gejala yang sering diabaikan dan
disalahartikan sebagai usia lanjut atau sebagai bagian normal dari proses menua.
Umumnya klien menunjukkan gejala kesulitan dalam berbahasa, mengalami
kemunduran daya ingat secara bermakna, disorientasi waktu dan tempat, sering
tersesat ditempat yang biasa dikenal, kesulitan membuat keputusan, kehilangan
inisiatif dan motivasi, dan kehilangan minat dalam hobi dan agitasi.
Stadium menengah atau demensia sedang ditandai dengan proses penyakit
berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata. Pada stadium ini, klien mengalami
kesulitan melakukan aktivitas kehidupan sehari- hari dan menunjukkan gejala sangat
mudah lupa terutama untuk peristiwa yang baru dan nama orang, tidak dapat
mengelola kehidupan sendiri tanpa timbul masalah, sangat bergantung pada orang
lain, semakin sulit berbicara, membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri (ke toilet,
mandi dan berpakaian), dan terjadi perubahan perilaku, serta adanya gangguan
kepribadian.
Stadium lanjut atau demensia berat ditandai dengan ketidakmandirian dan
inaktif total, tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi personal), sukar
memahami dan menilai peristiwa, tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah
sendiri, kesulitan berjalan, mengalami inkontinensia (berkemih atau defekasi),
menunjukkan perilaku tidak wajar dimasyarakat, akhirnya bergantung dikursi roda
atau tempat tidur.
Penyebab demensia alzheimer
Penyebab demensia alzheimer masih belum diketahui secara pasti, tetapi ada
beberapa teori menjelaskan kemungkinan adanya faktor genetik, radikal bebas, toksin
amiloid, pengaruh logam alumunium, dan akibat infeksi virus. Semakin dini penyakit
demensia alzheimer dikenali, semakin baik hasil penanganannya daripada penyakit
yang sudah lanjut. Penyakit alzheimer muncul sebagai gejala perubahan perilaku,
11
kognisi, dan perubahan aktivitas hidup sehari- hari sehingga anggota keluarga dan
orang terdekat yang mengenali perubahan tersebut.
Faktor predisposisi dan resiko dari penyakit ini adalah usia, riwayat penyakit
alzheimer (keturunan), kelamin, pendidikan. Faktor resiko yang kemungkinan juga
berpengaruh ialah adanya keluarga dengan sindrom Down, fertilitas yang kurang,
kandungan alumunium pada air minum, dan defisiensi kalsium.
Penyakit Alzheimer dibagi atas 3 stadium berdasarkan beratnya deteorisasi
intelektual :
 Stadium I (amnesia)
 Berlangsung 2-4 tahun
 Amnesia menonjol
 Gangguan : - Diskalkulis
 Memori jangka penuh
 Perubahan emosi ringan
 Memori jangka panjang baik
 Keluarga biasanya tidak terganggu
 Stadium II (Bingung)
 Berlangsung 2 – 10 tahun
 Kemunduran aspek fungsi luhur (apraksia, afasia, agnosia, disorientasi)
 Episode psikotik
 Agresif
 Salah mengenali keluarga
 Stadium III (Akhir)
 Setelah 6 - 12 tahun
 Memori dan intelektual lebih terganggu
 Akinetik
 Membisu
 Inmontinensia urin dan alvi
 Gangguan berjalan
Pedoman diagnostik menurut WHO (ICD-X)
 Lupa kejadian yang baru saja dialami,

12
 Kesulitan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari,
 Kesulitan dalam berbahasa,
 Diserorientasi waktu dan tempat,
 Tidak mampu membuat pertimbangan dan keputusan yang tepat,
 Kesulitan berpikir abstrak,
 Salah menaruh barang,
 Perubahan suasana hati,
 Perubahan perilaku / kepribadian,
 Kehilangan inisiatif.
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit
ini. Pengobatan / pencegahan hanya dalam bentuk paliatif yaitu : nutrisi tepat, latihan,
pengawasan aktifitas, selain itu bisa diberikan obat Memantine (N-metil) 25 mg/hr,
propanolol (InderalR), Holoperidol dan penghambatan dopamin potensi tinggi untuk
kendali gangguan eprilaku akut. Selain itu bisa diberikan “Tracine Hydrocloride”
(Inhibitor asetilkolinesterose kerja sentral) untuk gangguan kognitif dan
fungsionalnya.
Pencegahan antara lain bagaimana cara kita lebih awal untuk mendeteksi AD
(Alzheimer Disease) serta memperkirakan siapa yang mempunyai faktor resiko
terkena penyakit ini sehingga dapat dicegah lebih awal. Pencegahan dapat juga berupa
perubahan dari gaya hidup (diet, kegiatan olahraga, aktivitas mental)
Tujuan penanganan Alzheimer :
 Mempertahankan kualitas hidup yang normal
 Memperlambat perburukan
 Membantu keluarga yang merawat dengan memberi informasi yang tepat
 Menghadapi kenyataan penyakit secara realita
2. Demensia vascular
Penyakit ini disebabkan adanya defisit kognitif yang sama dengan
Alzheimer tetapi terdapat gejala-gejala / tanda-tanda neurologis fokal seperti :
 Peningkatan reflek tendon dalam,
 Respontar eksensor,
 Palsi pseudobulbar,
 Kelainan gaya berjalan,

13
 Kelemahan anggota gerak.
Demensia vaskuler merupakan demensia kedua yang paling sering pada
lansia, sehingga perlu dibedakan dengan demensi Alzheimer. Pencegahan pada
demensia ini dapat dilakukan dengan menurunkan faktor resiko misalnya;
hipertensi, DM, merokok, aritmia. Demensia dapat ditegakkan juga dengan MRI
dan aliran darah sentral.
Pedoman diagnostik penyakit demensia vaskuler :
 Terdapat gejala demensia
 Hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata
 Onset mendadak dengan adanya gejala neurologis fokal
3. Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
Demensia dengan kumpulan Lewy (Lewy bodies) disebabkan oleh kemunduran
dan matinya sel-sel syaraf diotak. Nama itu berasal dari adanya struktur-struktur
abnormal berbentuk bola, disebut kumpulan Lewy, yang tumbuh di dalam sel-sel
syaraf. Diduga struktur itu ikut menyebabkan kematian sel-sel otak. Orang yang
mempunyai demensia dengan kumpulan Lewy cenderung melihat sesuatu yang
tidak ada (mengalami halusinasi visual), mengalami kekakuan atau gemetar
(parkinsonisme) dan kondisi mereka cenderung berubah-ubah secara cepat, sering
dari jam ke jam atau dari hari ke hari. Gejala itu memungkinkan dibedakannya
penyakit ini dari penyakit Alzheimer. Demensia dengan kumpulan Lewy
kadangkadang muncul bersamaan dengan penyakit Alzheimer dan/atau demensia
Vaskuler. Mungkin sulit untuk membedakan demensia dengan kumpulan Lewy dari
penyakit Parkinson dan orang dengan penyakit Parkinson menderita demensia yang
serupa dengan yang terlihat pada demensia dengan kumpulan Lewy.
4. Demensia Lobus frontal-temporal
Ini adalah nama yang diberikan kepada sebuah kelompok demensia jika terjadi
proses kemunduran dalam satu atau keduanya dari lobus frontal atau lobus temporal
otak. Termasuk dalam kelompok ini adalah Fronto Temporal lobus frontal dan lobus
temporal), Progressive non-Fluent Aphasia (Afasia Progresif non-Fluent, penderita
secara berangsur-angsur kehilangan kemampuan berbicara), Semantic Demensia
(Demensia Semantik, penderita tidak mengerti arti kata-kata) dan penyakit Pick. Lebih
dari 50% orang penderita FTLD mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit
tersebut. Mereka yang mewarisinya sering mengalami mutasi gen pada protein tau

14
dalam kromosom 17 yang menyebabkan diproduksinya protein tau yang abnormal.
Tidak diketahui adanya faktor risiko lain.
5. Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)
6. Morbus Parkinson
Demensia ini disebabkan adanya penyakit parkinson yang menyertai dengan gejala :
 Disfungsi motorik.
 Gangguan kognitif / demensia bagian dari gangguan.
 Lobus frontalis dan defisit daya ingat.
 Depresi.
7. Morbus Huntington
Demensia ini disebabkan penyakit herediter yang disertai dengan degenoivasi
progresif pada ganglia basalis dan kortex serebral. Transmisi terdapat pada gen
autosomal dominan fragmen G8 dari kromosom 4. Onset terjadi pada usia 35 – 50
tahun. Gejalanya :
 Demensia progresif.
 Hipertonisitas mascular.
 Gerakan koreiform yang aneh.

8. Morbus Pick
Intraneunoral yang Penyakit Pick disebabkan penurunan fungsi mental dan
perilaku yang terjadi secara progresif dan lambat. Kelainan terdapat pada kortikal
fokal pada lobus frontalis. Penyakit ini juga sulit dibedakan dengan Alzheimer hanya
bisa dengan otopsi, dimana otak menunjukkan inklusi disebut “badan Pick” yang
dibedakan dari serabut neurofibrilaris pada Alzheimer.
Pedoman diagnostik penyakit demensia penyakit Pick
 Adanya gejala demensia yang progresif.
 Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus frontalis yang
menonjol disertai euforia, emosi tumpul, dan perilaku sosial yang kasar,
disinhibisi, apatis, gelisah.
 Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului gangguan daya
ingat.
9. Morbus Jakob-Creutzfeldt

15
Penyakit ini disebabkan oleh degeneratif difus yang mengenai sistim piramidalis
dan ekstrapiramidal. Pada penyakit ini tidak berhubungan dengan proses ketuaan.
Gejala terminal adalah :
 Demensia parah.
 Hipertonisitas menyeluruh.
 Gangguan bicara yang berat.
Penyakit ini dsiebabkan oleh virus infeksius yang tumbuh lambat. (misal transplantasi
kornea). Trias yang sangat mengarah pada diagnosis penyakit ini :
 Demensia yang progresif merusak.
 Penyakit piramidal dan ekstrapiramidal dengan mioklonus.
 Elektroensephalogram yang khas.
10. Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
11. Prion disease
12. Palsi Supranuklear progresif
13. Multiple sklerosis
14. Neurosifilis
15. Tipe campuran
 Menurut sifat klinis:
1. Demensia proprius
2. Pseudo-demensia

7. Tanda dan Gejala


Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita
yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam puluh lima tahun
keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada
tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan
dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit
mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri
bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai
dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir
terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga
merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka

16
belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang
dialami oleh orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia,
mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat
saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi
Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai
berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit
di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim
kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji
dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal
yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang
positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang harus
dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik,
pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan
juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang
semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan
baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia.
Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap empati
yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat
mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia
penderita demensia di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi
tubuh, cemas, disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti,
tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi,
apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:
a) Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa”
menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
b) Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan,
tahun, tempat penderita demensia berada
c) Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang
benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi,
mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
17
d) Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan
orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia
kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
e) Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisa
f) Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
g) Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
h) Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings
i) Defisit neurologik motor & fokal
j) Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang
k) Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia
l) Agnosia, apraxia, afasia
m) ADL (Activities of Daily Living)susah
n) Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
o) Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
p) Lupa meletakkan barang penting
q) Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting
r) Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
s) Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
t) Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi
u) Tak dapat makan dan menelan
v) Koma dan kematian.

8. Diagnosis Banding
Diagnosis difokuskan pada hal-hal berikut ini:
Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer
dengan adanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit
serebrovaskuler seiring berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas,
kemerosotan yang bertahap tersebut tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus.
Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui pada demensia vaskuler daripada
demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan patokan adanya faktor risiko
penyakit serebrovaskuler.
Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi
neurologis fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit).
Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA biasanya
disebabkan oleh mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan
terjadinya iskemia otak sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa
18
perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang
tidak mendapatkan terapi mengalami infark serebri di kemudian hari, dengan demikian
pengenalan adanya TIA merupakan strategi klinis penting untuk mencegah infark
serebri. Dokter harus membedakan antara episode TIA yang mengenai sistem
vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum, gejala penyakit sistem
vertebrobasiler mencerminkan adanya gangguan fungsional baik pada batang otak
maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi sistem karotis mencerminkan gejala-
gejala gangguan penglihatan unilateral atau kelainan hemisferik. Terapi antikoagulan,
dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan bedah reksonstruksi vaskuler
ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark serebri pada pasien
dengan TIA.
Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang
ditunjukkan oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan
dengan demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif
dalam perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur
yang bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.
Perbedaan klinis delirium dan Demensia .
Gambaran Delirium Demensia
Riwayat Penyakit akut Penyakit Kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, Biasanya penyakit otak
dehidrasi, guna/putus obat) kronik (spt Alzheimer,
demensia vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan sakit Naik turun Kronik Progresif
Taraf Kesadaran Orientasi Naik turun, terganggu periodik Normal intak pada awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa daya ingat Lamban. Inkoheren, inadekuat, Sulit menemukan istilah tepat
angka pendek terganggu nyata Jangka pendek dan panjang
terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang terjadi
kecuali sundowning
Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal
Tidur Terganggu siklus tidurnya Sedikit terganggu siklus

19
tidurnya
Atensi dan kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu
Reversibilitas Sering reversibel Umumnya tak reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera
Catatan : pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan delirium yang
bertumpang tindih dengan demensia adalah umum
Depresi
Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif
yang sukar dibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang
menyerupai psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait depresi
(depression-related cognitive dysfunction) lebih disukai dan lebih dapat
menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsi kognitif terkait depresi secara
umum memiliki gejala-gejala depresi yang menyolok, lebih menyadari akan gejala-
gejala yang mereka alami daripada pasien dengan demensia serta sering memiliki
riwayat episode depresi.
Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual
yang didapat (acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan
gejala-gejala psikosis dan gangguan pikiran seperti yang terdapat pada demensia.
Proses penuaan yang normal
Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan berbagai fungsi
kognitif yang signifikan, akan tetapi masalah-masalah memori atau daya ingat yang
ringan dapat terjadi sebagai bagian yang normal dari proses penuaan. Gejala yang
normal ini terkadang dikaitkan dengan gangguan memori terkait usia, yang dibedakan
dengan demensia oleh ringannya derajat gangguan memori dan karena pada proses
penuaan gangguan memori tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi perilaku
sosial dan okupasional pasien.
Gangguan lainnya
Retardasi mental, yang tidak termasuk kerusakan memori, terjadi pada masa
kanan-kanan. Gangguan amnestik ditandai oleh hilangnya memori yang terbatas dan
tidak ada perburukan. Depresi berat dimana memori terganggu biasanya akan
memberikan respon terhadap terapi antidepresan.

20
9. Pemeriksaan Demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang paling baik karena sampai
saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain
untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah praktis yang dapat
dilakukan antara lain :
1. Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat
menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit
jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan
arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara
biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.
2. Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-
kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis,
infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor
atauhidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik,
gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan
kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.
3. Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia
atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek
dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi
eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan
membuat keputusan.
4. Riwayat psikiatrik
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah
mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya
riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi,
halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi
kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.

21
5. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan
gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi
nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk
demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan
anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.
6. Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga,
terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.
7. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum,
pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status
fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
Pemeriksaan penunjang (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia
ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada
demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia
Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin
sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum,
fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya
masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada
sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi
gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.

4. Pemeriksaan cairan otak


22
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas,
demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan
meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik
yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel
mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4
diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin
meningkat.

10. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan
verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas
penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat
diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada
demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan
pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat
berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan
darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam
batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien
demensia vaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan
perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler.
Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis
reseptor -2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan
perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan
tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk
mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya padapasien-
pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada
pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif,

23
dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk
gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan.
Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan
demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori
jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan
kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan
bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan
penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan
penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya
ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasanyang berat
dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya
(sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif
sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang
dideritanya.Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan
penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga
dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu
pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan
psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat
bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai”
dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah
orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta
membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat
membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah,
kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh
keluarganya.
Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan,
antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi,
akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi

24
pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan
peningkatan efek sedasi).
Secara umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya
dihindarkan. Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat
kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga
sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari
neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter
kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan
tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga
sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan
neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang
tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek
gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada
donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron
progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa:
 Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
 Antipsikotika atipik:
 Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
 Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
 Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
 Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
 Abilify 1 x 10 - 15 mg
 Anxiolitika
 Clobazam 1 x 10 mg
 Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
 Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
 Buspirone HCI 10 - 30 mg
 Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
 Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
 Antidepresiva
25
 Amitriptyline 25 - 50 mg
 Tofranil 25 - 30 mg
 Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
 SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg,
Citalopram 1x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60
mg.
 Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
 Mood stabilizers
 Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
 Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
 Topamate 1 x 50 mg
 Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
 Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
 Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
 Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak
berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD
(Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):
 Nootropika:
 Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
 Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
 Sabeluzole (Reminyl)
 Ca-antagonist:
 Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
 Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
 Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
 Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
 Pantoyl-GABA
 Acetylcholinesterase inhibitors
 Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
 Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor, 5
mg 1x/hari

26
 Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
 Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
 Memantine 2 x 5 - 10 mg

11. Pencegahan dan Perawatan


Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia
diantaranya adalah menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan
fungsi otak, seperti :
1. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol dan
zat adiktif yang berlebihan
2. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan setiap
hari.
3. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif
 Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
 Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang memiliki
persamaan minat atau hobi
4. Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam
kehidupan sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
1) Riwayat
Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fisik untuk adanya tanda dan gejala
karakteristik yang berkaitan dengan gangguan tertentu yang didiagnosis.
2) Kaji adanya demensia
Dengan alat- alat yang sudah distandarisasi, meliputi:
a. Mini Mental Status Exam (MMSE)
b. Short portable Mental Status Questionnarie

3) Singkirkan kemungkinan adanya depresi


Dengan alat skrining yang tepat, seperti Geriatric Depression Scale ( Yesavage &
brink, untuk perbandigan gejala delirium, demensia, depresi.

27
4) Ajukan pertanyaan-pertanyaan pengkajian keperawatan
5) Wawancarai klien, pemberi asuhan atau keluarga. Lakukan observasi langsung
terhadap:
a. Perilaku.
1. Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas
hidup sehari-hari?
2. Apakah klien menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial?
3. Apakah klien sering meneluyur dan mondar mandir?
4. Apakah dia menunjukkan sundown syndrome atau perseveration
phenomena?
b. Afek.
1. Apakah klien menunjukkan ansietas?
2. Labilitas emosi?
3. Depresi atau apatis?
4. Iritabilitas?
5. Curiga?
6. Tidak berdaya?
7. frustasi?
c. Respon kognitif.
1. Bagaimana tingkat orientasi klien?
2. Apakah klien mengalami kehilangan ingatan tentang hal-hal yang baru saja
atau yang sudah lama terjadi?
3. Sulit mengatasi masalah, mengorganisasikan atau mengabstrakan? Kurang
mampu membuat penilaian terbukti mengalami afasia, agnosia, atau
apraksia?
6) Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga.
a) Identifikasi pemberian asuhan primer dan tentukan berapa lama ia sudah menjadi
pemberi asuhan di keluarga tersebut. (demensia jenis Alzheimer tahap akhir
dapat sangat menyulitkan karena sumber daya keluarga mungkin sudah habis.)
b) Identifikasi system pendukung yang ada pada pemberi asuhan dan anggota
keluarga yang lain.
c) Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawaran klien dan sumber daya
komunitas ( catat hal-hal yang prertlu diajarkan).
28
d) Identifikasi system pendukung spiritual bagi keluarga.
e) Identifikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan kekhawatiran pemberi
asuhan tentang dirinya sendiri.
Cara melakukan pengkajian
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien lansia
Untuk melakukan pengkajian pada lansia dengan demensia, pertama-tama
saudara harus membina hubungan saling percaya dengan pasien lansia. Untuk dapat
membina hubungan saling percaya, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
 Selalu mengucapkan salam kepada pasien seperti: selamat pagi / siang /
sore / malam atau sesuai dengan konteks agama pasien.
 Perkenalkan nama saudara (nama panggilan) saudara, termasuk
menyampaikan bahwa saudara adalah perawat yang akan merawat pasien.
2. Tanyakan pula nama pasien dan nama panggilan kesukaannya.
3. Jelaskan tujuan saudara merawat pasien dan aktivitas yang akan dilakukan.
4. Jelaskan pula kapan aktivitas akan dilaksanakan dan berapa lama aktivitas
tersebut.
5. Bersikap empati dengan cara:
a. Duduk bersama klien, melakukan kontak mata, beri sentuhan dan
menunjukkan perhatian
b. Bicara lambat, sederhana dan beri waktu klien untuk berpikir dan menjawab
c. Perawat mempunyai harapan bahwa klien akan lebih baik
d. Bersikap hangat, sederhana akan mengekspresikan pengharapan pada klien.
e. Gunakan kalimat yang singkat, jelas, sederhana dan mudah dimengerti
(hindari penggunaan kata atau kalimat jargon)
f. Bicara lambat , ucapkan kata atau kalimat yang jelas dan jika betranya tunggu
respon pasien
g. Tanya satu pertanyaan setiap kali bertanya dan ulang pertanyaan dengan kata-
kata yang sama.
h. Volume suara ditingkatkan jika ada gangguan pendengaran, jika volume
ditingkatkan, nada harus direndahkan.
i. Sikap komunikasi verbal disertai dengan non verbal yang baik
j. Sikap berkomunikasi harus berhadapan, pertahankan kontak mata, relaks dan
terbuka
29
k. Ciptakan lingkungan yang terapeutik pada saat berkomunikasi dengan klien:
• Tidak berisik atau ribut
• Ruangan nyaman, cahaya dan ventilasi cukup
• Jarak disesuaikan, untuk meminalkan gangguan.
Mengkaji pasien lansia dengan demensia Untuk mengkaji pasien lansia dengan
demensia, saudara dapat menggunakan tehnik mengobservasi prilaku pasien dan
wawancara langsung kepada pasien dan keluarganya. Observasi yang saudara lakukan
terutama untuk mengkaji data objective demensia. Ketika mengobservasi prilaku pasien
untuk tanda-tanda seperti:
 Kurang konsentrasi
 Kurang kebersihan diri
 Rentan terhadap kecelakaan: jatuh
 Tidak mengenal waktu, tempat dan orang
 Tremor
 Kurang kordinasi gerak
 Aktiftas terbatas
 Sering mengulang kata-kata.
Berikut ini adalah aspek psikososial yang perlu dikaji oleh perawat : apakah lansia
mengalami kebingungan, kecemasan, menunjukkan afek yang labil, datar atau tidak
sesuai. Bila data tersebut saudara peroleh, data subjective didapatkan melalui wawancara.

2. Diagnosa keperawatan
1) Sindrom stress relokasi berhubungan dengan perubahan dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari ditandai dengan kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas,
mudah tersinggung, tingkah laku defensive, kekacauan mental, tingkah laku curiga,
dan tingkah laku agresif.
2) Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis (degenerasi neuron
ireversibel) ditandai dengan hilang ingatan atau memori, hilang konsentrsi, tidak
mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas dengan akurat.
3) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi atau
integrasi sensori (penyakit neurologis, tidak mampu berkomunikasi, gangguan tidur,
nyeri) ditandai dengan cemas, apatis, gelisah, halusinasi.

30
4) Perubahan pola tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan ditandai dengan
keluhan verbal tentang kesulitan tidur, terus-menerus terjaga, tidak mampu
menentukan kebutuhan/ waktu tidur.
5) Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas, menurunnya daya
tahan dan kekuatan ditandai dengan penurunan kemampuan melakukan aktivitas
sehari-hari.
6) Risiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan, kelemahan,
otot tidak terkoordinasi, aktivitas kejang.
7) Risiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mudah lupa, kemunduran hobi, perubahn sensori.

3. Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
keperawatan hasil
1 Sindrom stress Setelah diberikan a) Jalin hubungan a) Untuk membangan
relokasi tindakan keperawatan saling mendukung kepercayaan dan
berhubungan diharapkan klien dengan klien. rasa nyaman.
b) Orientasikan pada b) Menurunkan
dengan perubahan dapat beradaptasi
lingkungan dan kecemasan dan
dalam aktivitas dengan perubahan
rutinitas baru. perasaan terganggu.
kehidupan sehari- aktivitas sehari- hari
c) Kaji tingkat stressor c) Untuk menentukan
hari ditandai dengan dan lingkungan
(penyesuaian diri, persepsi klien
kebingungan, dengan KH :
perkembangan, tentang kejadian
 mengidentifikasi
keprihatinan,
peran keluarga, dan tingkat
perubahan
gelisah, tampak
 mampu beradaptasi akibat perubahan serangan.
cemas, mudah d) Konsistensi
pada perubahan status kesehatan)
tersinggung, d) Tentukan jadwal mengurangi
lingkungan dan
tingkah laku aktivitas yang kebingungan dan
aktivitas kehidupan
defensive, wajar dan meningkatkan rasa
sehari-hari
kekacauan mental,  cemas dan takut masukan dalam kebersamaan.
e) Menurunkan
tingkah laku curiga,
berkurang kegiatan rutin.
e) Berikan penjelasan ketegangan,
dan tingkah laku  membuat
pernyataan yang dan informasi yang mempertahankan
agresif.
psitif tentang menyenangkan rasa saling percaya,

lingkungan yang mengenai kegiatan/ dan orientasi.


f) Menenangkan
baru. peristiwa.

31
f) Pertahankan situasi dan
keadaan tenang. memberi klien
Tempatkan dalam waktu untuk
lingkungan tenang memperoleh
yang memberikan kendali terhadap
kesempatan untuk prilaku dan
“beristirahat” emosinya.
g) Rasa diterima
g) Atasi tingkah laku
menurunkan rasa
agresif dengan
takut dan respon
pendekatan yamg
agresif.
tenang. h) Meningkatkan
h) Rujuk ke sumber
perasaan, dukungan
pendukung
selama penyesuaian
perawatan diri.
2 Perubahan proses Setelah diberikan a) Kembangkan a) Mengurangi
pikir berhubungan tindakan keperawatan lingkungan yang kecemasan dan
dengan perubahan diharapkan klien mendukung dan emosional.
fisiologis mampu mengenali hubungan klien-
(degenerasi neuron perubahan dalam perawat yang
ireversibel) ditandai berpikir dengan KH: terapeutik.
b) Kebisingan
dengan hilang
Mampu b) Pertahankan merupakan sensori
ingatan atau
memperlihatkan lingkungan yang berlebihan yang
memori, hilang
kemampuan menyenangkan meningkatkan
konsentrsi, tidak
kognitif untuk dan tenang. gangguan neuron.
mampu c) Menimbulkan
menjalani c) Tatap wajah ketika
menginterpretasikan perhatian, terutama
konsekuensi berbicara dengan
stimulasi dan pada klien dengan
kejadian yang klien.
menilai realitas gangguan
menegangkan
dengan akurat. perceptual.
terhadap emosi dan d) Panggil klien d) Nama adalah bentuk
pikiran tentang diri. dengan namanya. identitas diri dan
Mampu
menimbulkan
mengembangkan
pengenalan terhadap
strategi untuk e) Gunakan suara
32
mengatasi yang agak rendah realita dan klien.
e) Meningkatkan
anggapan diri yang dan berbicara
pemahaman. Ucapan
negative. dengan perlahan
Mampu mengenali tinggi dan keras
pada klien.
tingkah laku dan menimbulkan stress
faktor penyebab. yg mencetuskan
f) Gunakan kata-kata konfrontasi dan
pendek, kalimat, respon marah.
f) Seiring
dan instruksi
perkembangan
sederhana(tahap
penyakit, pusat
demi tahap).
komunikasi dalam
otak terganggu
sehingga
menghilangkan
kemampuan klien
g) Ciptakan aktivitas
dalam respons
sederhana,
penerimaan pesan
bermanfaat, dan
dan percakapan
tidak bersifat
secara keseluruhan.
kompetitif sesuai g) Memotivasi klien
kemampuan klien. dalam cara yang
menguatkan
h) Evaluasi pola tidur.
Kolaborasi kegunaannya dan
i) Berikan obat
kesenangan diri
sesuai indikasi:
serta merangsang
- Antipsikotik, spt:
realita.
haloperidol
h) Kurang tidur dapat
- Vasodilator, spt:
mengganggu proses
cyclospamol.
piker dan
kemampuan koping
klien.
i) - Mengontrol
agitasi, halusinasi.
-Meningkatkan
33
kesadaran mental.

3 Perubahan persepsi Setelah diberikan a) Kembangkan a) Meningkatkan


sensori tindakan keperawatan lingkungan yang kenyamanan dan
berhubungan diharapkan perubahan suportif dan menurunkan
dengan perubahan persepsi sensori klien hubungan perawat- kecemasan pada
persepsi, transmisi dapat berkurang atau klien yang klien.
atau integrasi terkontrol dengan terapeutik.
b) Meningkatkan
b) Bantu klien untuk
sensori (penyakit KH:
koping dan
 Mengalami memehami
neurologis, tidak
menurunkan
penurunan halusinasi.
mampu
halusinasi.
halusinasi.
berkomunikasi, c) Kaji derajat sensori c) Keterlibatan otak
 Mengembangkan
gangguan tidur, atau gangguan memperlihatkan
strategi psikososial
nyeri) ditandai persepsi dan masalah yang
untuk mengurangi
dengan cemas, bagaiman hal bersifat asimetris
stress.
apatis, gelisah,  Mendemonstrasikan tersebut menyebabkan klien
halusinasi. respons yang sesuai mempengaruhi kehilangan
stimulasi. klien termasuk kemampuan pada
penurunan salah astu sisi tubuh.
penglihatan atau Klien tidak dapat
pendengaran. mengenali rasa
lapar, haus,
Penerima nyeri
d) Ajarkan strategi
eksternal.
untuk mengurangi d) Untuk menurunkan
stress. kebutuhan akan
e) Ajak piknik
halusinasi.
sederhana, jalan- e) piknik
jalan kelilin rumah menunjukkan
sakit. Pantau realitadan
aktivitas. memberikan
stimulasi sensori
yang menurunkan
perasaan curiga dan

34
f) Tingkatkan halusinasi yg
keseimbangan disebabkan perasaan
fisiologis dengan terkekang.
f)Menjaga mobilitas
menggunakan bola
yang dapat
lantai, tangan
menurunkan risiko
menari dengan
terjadinya atrofi
disertai music.
g) Libatkan dalam otot/ osteoporosis
aktivitas sesuai pada tulang.
indikasi dengan
g) Memberikan
keadaan tertentu,
kesempatan terhadap
spt:terapi okupasi.
stimulasi partisipasi
dengan orang lain
dan dapat
mempertahankan
beberapa tingkat
dari interaksi sosial.
4 Perubahan pola Setelah dilakukan a) Jangan a) Irama sirkadian
tidur berhubungan tindakan keperawatan menganjurkan klien (irama tidur-bangun)
dengan perubahan diharapkan tidak tidur siang apabila yang tersinkronisasi
lingkungan ditandai terjadi gangguan pola berakibat efek disebabkan oleh
dengan keluhan tidur pada klien negative terhadap tidur siang yang
verbal tentang dengan KH : tidur pada malam singkat.
 Memahami faktor
kesulitan tidur, hari.
b) Deragement psikis
penyebab gangguan b) Evaluasi efek obat
terus-menerus
terjadi bila terdapat
pola tidur. klien (steroid,
terjaga, tidak
 mampu menentukan diuretik) pangguanaan
yang
mampu menentukan
penyebab tidur mengganggu tidur. kortikosteroid,
kebutuhan/ waktu
inadekuat. termasuk perubahan
tidur.  Melaporkan dapat mood, insomnia.
c) Tentukan kebiasaan
beristirahat yang c) Mengubah pola
dan rutinitas waktu
cukup. yang sudah terbiasa
 Mampu tidur malam dengan
dari asupan makan
menciptakan pola kebiasaan
klien pada malam

35
tidur yang adekuat. klien(memberi susu hari terbukti
hangat). mengganggu tidur.
d) Memberikan d) Hambatan kortikal
lingkungan yang pada formasi
nyaman untuk reticular akan
meningkatkan berkurang selama
tidur(mematikan tidur, meningkatkan
lampu, ventilasi respon otomatik,
ruang adekuat, suhu karenanya respon
yang sesuai, kardiovakular
menghindari terhadap suara
kebisingan). meningkat selama
tidur.
e) Buat jadwal tidur
e) Penguatan bahwa
secara teratur.
saatnya tidur dan
Katakan pada klien
mempertahankan
bahwa saat ini adalah
kesetabilan
waktu untuk tidur.
lingkungan.
f)Berikan makanan
kecil pada sore hari, f)Meninkatkan
susu hangat, mandi relaksasi dengan
dan masase perasaan
punggung. mengantuk.
g) Turunkan jumlah
g) Menurunkan
minuman sore hari.
kebutuhan akan
lakukan berkemih
bangun untuk
sebelum tidur.
berkemih selama
h) Putarkan musik
malam hari.
yang lembut. h) Menurunkan
Kolaborasi
stimulasi sensori
i) Berikan obat sesuai
dengan menghambat
indikasi :
-Antidepresi suara lain dari
-Oksazepam,
lingkungan sekitar
triazolam.
yang akan
j) Hindari penggunaan
36
Difenhidramin. menghambat tidur.
i) - Efektif menangani
pseudodemensia
atau demensia,
meningkatkan
kemampuan untuk
tidur, tetapi
antikolinergik dapat
mencetuskan
bingung,
memperburuk
kognitif dan efek
samping hipotensi
ortostatik.
- Efektif mengatasi
insomnia.
j) Kontraindikasi
karena mempengaruhi
produksi asetilkolin
yang sudah dihambat
dalam otak.
5 Kurang perawatan Setelah diberikan a) Identifikasi a) Memahami
diri berhubungan tindakan keperawatan kesulitan dalam penyebab yang
dengan intoleransi diharapkan klien berpakaian/ mempengaruhi
aktivitas, dapat merawat perawatan diri, intervensi. Masalah
menurunnya daya dirinya sesuai dengan seperti: dapat diminimalkan
tahan dan kekuatan kemampuannya keterbatasan gerak dengan
ditandai dengan dengan KH : fisik, apatis/ menyesuaikan atau
 Mampu melakukan
penurunan depresi, penurunan memerlukan
aktivitas perawatan
kemampuan kognitif seperti konsultasi dari ahli
diri sesuai dengan
melakukan aktivitas apraksia. lain.
tingkat kemampuan. b) Identifikasi b) Seiring
sehari-hari.
 Mampu kebutuhan perkembangan
mengidentifikasi kebersihan diri dan penyakit, kebutuhan
dan menggunakan
37
sumber pribadi/ berikan bantuan kebersihan dasar
komunitas yang sesuai kebutuhan mungkin dilupakan.
dapat memberikan dengan perawatan
bantuan. rambut/kuku/ kulit,
bersihkan kaca
mata, dan gosok c) Kehilangan sensori
gigi. dan penurunan
c) Perhatikan adanya
fungsi bahasa
tanda-tanda
menyebabkan klien
nonverbal yang
mengungkapkan
fisiologis.
kebutuhan
perawatan diri
dengan cara
nonverbal, seperti
terengah-engah,
ingin berkemih
dengan memegang
d) Beri banyak waktu
dirinya.
untuk melakukan
d) Pekerjaan yang
tugas.
tadinya mudah
sekarang menjadi
terhambat karena
e) Bantu mengenakan penurunan motorik
pakaian yang rapi dan perubahan
dan indah. kognitif.
e) Meningkatkan
kepercayaan untuk
hidup.
6 Risiko terhadap Setelah dilakukan a) Kaji derajat a) Mengidentifikasi
cedera berhubungan tindakan keperawatan gangguan risiko di
dengan kesulitan diharapkan Risiko kemampuan, lingkungan dan
keseimbangan, cedera tidak terjadi tingkah laku mempertinggi
kelemahan, otot dengan KH : impulsive dan kesadaran perawat
 Meningkatkan
tidak terkoordinasi, penurunan persepsi akan bahaya. Klien
38
aktivitas kejang. tingkat aktivitas. visual. Bantu dengan tingkah
 Dapat beradaptasi
keluarga laku impulsi
dengan lingkungan mengidentifikasi berisiko trauma
untuk mengurangi risiko terjadinya karena kurang
risiko trauma/ bahaya yang mampu
cedera. mungkin timbul. mengendalikan
 Tidak mengalami
perilaku.
cedera.
Penurunan persepsi
visual berisiko
b) Hilangkan sumber
terjatuh.
bahaya lingkungan.
b) Klien dengan
gangguan kognitif,
gangguan persepsi
adalah awal terjadi
trauma akibat tidak
c) Alihkan perhatian
bertanggung jawab
saat perilaku
terhadap kebutuhan
teragitasi/
keamanan dasar.
berbahaya,
c) Mempertahankan
memenjat pagar
keamanan dengan
tempat tidur.
menghindari
d) Kaji efek samping konfrontasi yang
obat, tanda meningkatkan
keracunan (tanda risiko terjadinya
ekstrapiramidal, trauma.
d) Klien yang tidak
hipotensi ortostatik,
dapat melaporkan
gangguan
tanda/gejala obat
penglihatan,
dapat menimbulkan
gangguan
kadar toksisitas
gastrointestinal).
pada lansia. Ukuran
e) Hindari penggunaan
dosis/ penggantian
restrain terus-
obat diperlukan
menerus. Berikan
untuk mengurangi
39
kesempatan gangguan.
e) Membahayakan
keluarga tinggal
klien,
bersama klien
meningkatkan
selama periode
agitasi dan timbul
agitasi akut.
risiko fraktur pada
klien lansia
(berhubungan
dengan penurunan
kalsium tulang).
7 Risiko terhadap Setelah dilakukan a) Beri dukungan a) Motivasi terjadi
perubahan nutrisi tindakan keperawatan untuk penurunan saat klien
lebih dari diharapkan klien berat badan. mengidentifikasi
kebutuhan tubuh mendapat nutrisi yang kebutuhan berarti.
b) Awasi berat badan
b) memberikan umpan
berhubungan seimbang dengan
setiap minggu.
balik/ penghargaan.
dengan mudah lupa, KH: c) Kaji pengetahuan
c) Identifikasi
 Mengubah pola
kemunduran hobi, keluarga/ klien
kebutuhan
asuhan yang
perubahn sensori. mengenai
membantu
benar kebutuhan
 Mendapat diet perencanaan
makanan.
nutrisi yang d) Usahakan/ pendidikan.
beri
d) Klien tidak mampu
seimbang. bantuan dalam
 Mendapat kembali menentukan pilihan
memilih menu.
berat badan yang e) Beri Privasi saat kebutuhan nutrisi.
e) Ketidakmampuan
sesuai. kebiasaan makan
menerima dan
menjadi masalah.
hambatan sosial
dari kebiasaan
makan berkembang
seiring
f) Beri makanan kecil
berkembangnya
setiap jam sesuai
penyakit.
kebutuhan. f) Makan makanan
kecil meningkatkan
g) Hindari makanan
masukan yang
yang terlalu panas.
40
sesuai.
g) makanan yang
panas
Kolaborasi mengakibatkan
h) konsultasikan
mulut terbakar atau
dengan ahli gizi.
menolak untuk
makan.
h) Bantuan diperlukan
untukmengembang
kan keseimbangan
diit dan
menemukan
kebutuhan/
makanan yang
disukai.

4. Implementasi
Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan intervensi.

5. Evaluasi
Dx 1: Mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan aktivitas.
Dx 2: Mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani konsekuensi.
Dx 3: Perubahan persepsi sensori tidak terjadi atau terkontrol.
Dx 4: Perubahan pola tidur tidak terjadi atau terkontrol.
Dx 5: Perawatan diri dapat terpenuhi.
Dx 6: Nutrisi klien seimbang
Dx 7: Risiko cedera tidak terjadi
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai
gangguan kesadaran. Tanda dan gejalanya yakni seluruh jajaran fungsi kognitif rusak,
awalnya gangguan daya ingat jangka pendek, gangguan kepribadian dan perilaku, mood
swings, defisit neurologik motor & fokal, mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan
kejang, gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia, agnosia, apraxia, afasia,
kesulitan mengatur penggunaan keuangan, tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian.

41
Dalam hal ini kita sebagai perawat harus memberikan pelayanan kesehatan dan asuhan
kesehatan yang care kepada pasien lansia.

3.2 Saran
Demensia adalah suatu kelainan organik yang dalam penegakkan diagnosisnya
membutuhkan ketelitian baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
harus diingat penatalaksanaan pada pasien demensia bukan hanya farmakologi tetapi bersifat
holistic yang juga mencakup psikososial dan Behavioural And Psychological Symptoms Of
Dementia (BPSD)

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih,

Jakarta : EGC, 1997.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made

Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.

Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba medika; Jakarta

42
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani,

Jakarta:EGC, 1997.

Nugroho,Wahjudi.1999. Keperawatan Gerontik.Edisi2.Buku Kedokteran. EGC; Jakarta

Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. EGC; Jakarta

43

Anda mungkin juga menyukai