Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH UNDANG-UNDANG DAN ETIKA KESEHATAN

“PSIKOTROPIKA”

OLEH :
KELOMPOK 4
FITRAH FAJRIANI HAMING (O1A1 16 127)
FATIMARDIYACH RAHMI (O1A1 16 128)
ANANDA MUSTIKA PERMATAHATI (O1A1 16 129)
IRA APRILIA NURRAHMAH (O1A1 16 130)
DITA OKTAVIANTI MUGIARNO (O1A1 16 131)
INSAN PERMATASARI (O1A1 16 132)
ANGGRAENY DEWI SARTIKA AMINA I. (O1A1 16 135)
NURUL APIA JATI (O1A1 16 137)
AULIA INDAH PRATIWI (O1A1 16 138)

KELOMPOK IV
KELAS C

JURUSAN FARMASI
FAKLTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah mengutus
rasul-Nya Muhammad SAW sebagai umat penyelamat manusia yang telah
memberikan ilmu kepada Makhluk-Nya, serta atas rahmat dan keridhaan-Nya
sehingga “Makalah Psikotropika” dapat terselesaikan sebagaimana yang diharapkan.
Penyusun banyak dihadapkan dengan berbagai kendala selama penyusunan
makalah ini, namun atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya penyusun dapat
menyelesaikan Makalah Psikotropika ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah
memberikan pengetahuan dan pengarahan kepada penyusun.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalh ini. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Akhir kata, semoga Allah SWT. selalu memberikan perlindungan-Nya
kepada kita dan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat.

Kendari, Mei 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………………
KATA PENGANTAR……………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..
A. Latar Belakang………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..…
C. Manfaat ……………………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN……..…………………………………………………
A. Definisi Psikotropika menurut UU ….……………………………………
B. Peraturan Perundangan-Undangan Terkait Psikotropika …………………
C. Golongan Psikotropika….…………………………………………………
D. Tujuan Pengaturan di Bidang Psikotropika….……………………………
E. Produksi Psikotropika………………………………………………………
F. Peredaran Psikotropika….…………………………………………………
G. Ekspor dan Impor Psikotropika……………………………………………
H. Label Dan Iklan Psikotropika………………………………………………
I. Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika…………………………
J. Pembinaan dan Pengawasan Psikotropika…………………………………

BAB III PENUTUP …………………………………………………………


A. KESIMPULAN…………………………………………………………..
B. SARAN…………………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikotropika sudah menjadi barang yang biasa ada didalam masyarakat, sudah
tidak menjadi barang yang aneh lagi, bayangkan saja disetiap berita 4okum4se
selalu ada berita tentang narkoba . Peredaran psikotropika saat ini sudah bisa
mencapai daerah yang terpelosok sekalipun, dan mulai dari kalangan strata bawah
samapai yang paling atas juga ikut menyalahgunakan psikotropika.
Psikotropika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Namun disisi lain dapat
menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila digunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat.
Hal itulah antara lain yang mendorong pemerintah menerbitkan UU nomor 5
tahun 1997. Sehingga secara yuridis keberadaaan psikotropika di Indonesia adalah
sah berdasarkan Undang- undang tersebut. Namun fakta empiris menunjukan
pemakaiannya sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan kesehatan, namun
lebih jauh dijadikan obyek bisnis (ekonomi) yang berdampak pada kerusakan
mental dan fisik maupun psikis generasi muda
Pengaturan Psikotropika berdasarkan UU No.5 tahun 1997, bertujuan untuk
menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan,
mencegah penyelahgunaan serta pemberantasan peredaran gelap psikotropika.
Pelaksanaan penegakan 4okum terhadap tindak pidana psikotropika telah
mengalami perkembangan cukup signifikan, sejak diundangkannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997, pada tanggal 11 Maret 1997. Namun demikian,
keberadaan undang- undang ini dapatlah dikatakan cukup terlambat, bilamana
diukur dari frekuensi terjadinya tindak pidana psikotropika di tanah air yang
sedemikian marak dan bersifat sebagai kejahatan transnasional.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan Psikotropika?
2. Apa saja Peraturan Perundangan-Undangan Terkait Psikotropika menurut
UU?
3. Apa saja Golongan Psikotropika menurut UU ?
4. Apa tujuan pengaturan di bidang Psikotropika menurut UU ?
5. Bagaimana Peredaran Psikotropika menurut UU ?
6. Bagaimana Ekspor dan Impor Psikotropika menurut UU ?
7. Bagaimana Label Dan Iklan Psikotropika menurut UU ?
8. Bagaimana Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika menurut UU ?
9. Bagaimana Pembinaan dan Pengawasan Psikotropika menurut UU ?

C. Manfaat
Manfaat dalam makalah ini yaitu :
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui definisi psikotropika
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui Peraturan Perundangan-Undangan terkait
psikotropika menurut UU
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui golongan psikotropika menurut UU
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui tujuan pengaturan di bidang psikotropika
menurut UU
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui produksi psikotropika menurut UU
6. Agar mahasiswa dapat mengetahui peredaran psikotropika menurut UU
7. Agar mahasiswa dapat mengetahui ekspor dan impor psikotropika menurut
UU
8. Agar mahasiswa dapat mengetahui label dan iklan psikotropika menurut UU
9. Agar mahasiswa dapat mengetahui kebutuhan tahunan dan pelaporan
psikotropika menurut UU
10. Agar mahasiswa dapat mengetahui pembinaan dan pengawasan psikotropika
menurut UU
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Psikotropika
Menurut UU RI No.5 tahun 1997, Psikotropika adalah zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktifitas mental dan perilaku.
Menurut Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan No. 26 Tahun 2018,
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2015,
Psikotropika Adalah Zat/Bahan Baku Atau Obat, Baik Alamiah Maupuns Intetis
Bukan Narkotika, Yang Berkhasiat Psikoaktif Melalui Pengaruhselektif Pada
Susunan Saraf Pusat Yang Menyebabkan Perubahan Khaspada Aktivitas Mental
Dan Perilaku.
Menurut Permenkes RI No 688/Menkes/PER/VII/1997, Psikotropika adalah
zat atau obat baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

B. Peraturan Perundangan-Undangan Terkait Psikotropika


Peraturan perundangan-undangan terkait psikotropika, yaitu :
1. UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
2. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (pasal 153);
3. Permenkes RI No 688/Menkes/PER/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika;
4. Permenkes RI No 10/MENKES/PER/2013 Tentang Impor Dan Ekspor
Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi
C. Golongan Psikotropika
Menurut UU RI No.5 tahun 1997 Pasal 2 menyatakan “ psikotropika yang
mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan
menjadi”
1. Golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Ekstasi. Zat psikotropika
golongan I terdiri dari 26 macam.
2. Golongan II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan
dalan terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amphetamine. Zat
psikotropika golongan II terdiri dari 14 macam.
Dalam UU RI NO. 35 Tahun 2009 tentang narkotika dalam pasal 153
bagian B “Lampiran mengenai jenis psikotropika golongan I dan II
sebagaimana tercantum dalam lampiran UU RI No. 5 tahun 1997 tentang
psikotropika ( lembaran Negara RI tahun 1997 No. 10, tambahan lembaran
Negara RI No. 3671) yang telah dipindahkan menjadi narkotika golongan I
menurut UU ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
3. Golongan III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Phenobarbital. . Zat
psikotropika golongan III terdiri dari 9 macam.
4. Golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
Diazepam, Nitrazepam ( BK, DUM ). . Zat psikotropika golongan IV terdiri
dari 60 macam.
D. Tujuan Pengaturan di Bidang Psikotropika
Menurut UU RI No.5 tahun 1997 Pasal 3, Tujuan pengaturan di bidang
psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan
ilmu pengetahuan.
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika
c. memberantas peredaran gelap psikotropika

E. Produksi Psikotropika
Menurut UU RI No.5 tahun 1997 :
- Pasal 5 : Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
- Pasal 6 : Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan
dalam proses produksi.
- Pasal 7 : Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat, harus
memenuhi standar dan atau persyaratan farmakope Indonesia atau buku standar
lainnya.

F. Peredaran Psikotropika
Menurut UU RI No.5 tahun 1997 Bagian Pertama “Umum”
- Pasal 8 : Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
- Pasal 9 :
(1)Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(2). Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika
yang berupa obat.
- Pasal 10 : Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib
dilengkapi dengan dokumen pengangkutan psikotropika.
- Pasal 11 : Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Menurut UU RI No.5 tahun 1997 Bagian Kedua “Penyaluran”


- Pasal 12 :
1. Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar
farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah.
2. Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan oleh :
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan

sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau


lembaga pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-nya, apotek,
sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit
Pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan Pemerintah.
3. Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan
pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan.
- Pasal 13 : Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan
hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan atau diimpor secara langsung
oleh lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Menurut UU RI No.5 tahun 1997 Bagian Ketiga “Penyerahan”


- Pasal 14 :
1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan, dan dokter.
2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek
lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada
pengguna/pasien.
3. Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada
pengguna/pasien.
4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai
pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
resep dokter.
5. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan dalam hal : a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui
suntikan ; b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat ; c. menjalankan
tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
6. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
hanya dapat diperoleh dari apotek.

Menurut Permenkes RI No 688/Menkes/PER/VII/1997 tentang


Peredaran Psikotropika
BAB II (RUANG LINGKUP)
- Pasal 3
(1) Psikotropika sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 hanya dapat diedarkan
setelah terdaftar pada Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
(2) Ketentuan dan tata cara pendaftaran psikotropika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
- Pasal 4
(1) Peredaran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh sarana kesehatan yang
memiliki izin dari Menteri.
(2) Sarana kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pabrik
obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, Puskesmas, balai pengobatan, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan dan dokter.

BAB III (PENYALURAN)


- Pasal 5
(1) Penyaluran psikotropika golongan I, golongan II, golongan III dan
golongan IV hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah.
(2) Penyaluran psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepda
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, untuk tujuan ilmu
pengetahuan.
(3) Penyaluran psikotropika golongan II, golongan III dan golongan IV yang
berupa obat hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat kepada pedagang besar
farmasi, apotek, rumah sakit, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
(4) Psikotropika yang disalurkan oleh pabrik obat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) hanya dari produksi pabrik obat yang bersangkutan.
(5) Penyaluran psikotropika golongan II, golongan III, dan golongan IV yang
berupa obat hanya dapat dilakukan oleh pedagang besar farmasi kepada
pedagang besar farmasi lainnya, apotek, rumah sakit, sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah, lembaga penelitian danatau lembaga
pendidikan.
- Pasal 6
Penyaluran psikotropika golongan II, golongan III, dan golongan IV yang
berupa obat dilakukan sebagai berikut:
a. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Departemen Kesehatan hanya dapat
menyalurkan kepada rumah sakit Pemerintah dan puskesmas.
b. Sarana penyimpanan sediaan farmasi ABRI hanya dapat menyalurkan
kepada rumah sakit dan balai pengobatan di lingkungan ABRI.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi BUMN yang telah menyelenggarakan
pelayanan kesehatan hanya dapat menyalurkan kepada rumah sakit dan balai
pengobatan di lingkungannya.
- Pasal 7
(1) Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan pasal 6
hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan yang ditanda tangani oleh
penanggung jawab obat di sarana kesehatan, lembaga penelitian danatau
lembaga pendidikan dengan menggunakan contoh formulir.
(2) Penanggung jawab sebagimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan adalah dokter atau

apoteker;
b. Pedagang besar farmasi adalah apoteker atau asisten apoteker;
c. Rumah sakit adalah apoteker;
d. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah adalah apoteker;
e. Puskesmas adalah dokter.

BAB IV (PENYERAHAN)
- Pasal 9
Penyerahan psikotropika golongan II, golongan III, dan golongan IV hanya
dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan
dokter.
- Pasal 10
(1) Penyerahan psikotropika golongan II, golongan III, dan golongan IV yang
berupa obat dapat dilakukan oleh apotek kepada apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pengguna/pasien.
(2) Penyerahan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari apotek
kepada apotek lainnya diberikan berdasarkan surat permintaan tertulis yang
ditanda tangani oleh apoteker pengelola apotek.
(3) Penyerahan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari apotek
kepada rumah sakit diberikan berdasarkan surat permintaan tertulis yang
ditanda tangani oleh direktur rumah sakit.
(4) Penyerahan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari apotek
kepada puskesmas diberikan berdasarkan surat permintaan tertulis dari
kepala puskesmas.
(5) Penyerahan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari apotek
kepada balai pengobatan diberikan berdasarkan surat permintaan tertulis
dari dokter penanggung jawab balai pengobatan.
(6) Penyerahan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari apotek
kepada dokter diberikan berdasarkan resep dokter.
(7) Penyerahan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari apotek
kepada pasien diberikan berdasarkan resep dokter.
- Pasal 11
(1) Penyerahan psikotropika golongan II, golongan III, dan golongan IV yang
berupa obat hanya dapat dilakukan oleh rumah sakit, balai pengobatan,
puskesmas kepada pengguna/pasien berdasarkan resep dokter.
(2) Penyerahan psikotropika golongan II, golongan III, dan golongan IV yang
berupa obat hanya dapat dilakukan oleh dokter kepada pengguna/pasien
dalam hal:
a. Menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan.
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat.
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(3) Penyerahan psikotropika golongan II, golongan III, dan golongan IV yang
diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya dapat
diperoleh dari apotek.

BAB V (PENCATATAN DAN PELAPORAN)


- Pasal 12
(1) Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, apotek,
puskesmas, balai pengobatan, dan dokter dalam rangka peredaran
psikotropika golongan I, golongan II, golongan III, dan golongan IV wajib
membuat pencatatan dan pelaporan.
(2) Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan
kepada Direktur Jenderal.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2015 BAB II “Peredaran”
Pasal 5 :
(1) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
(2) Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara untuk mendapat izin edar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6 :
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika dan PBF atau Instalasi
Farmasi Pemerintah yang menyalurkan Narkotika wajib memiliki izin
khusus dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Izin khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Izin Khusus Produksi Narkotika;
b. Izin Khusus Impor Narkotika; atau
c. Izin Khusus Penyaluran Narkotika.
Pasal 8 : Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib
memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2015 “Paragraf keempat”
Pasal 14 :
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadi hanya dapat dilakukan oleh:
a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah;
b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit,
Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga
Ilmu Pengetahuan;
c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada
Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotika;
d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi
Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah,
dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian; dan
e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah
Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik
Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.
(2) Selain kepada PBF lainnya, Apotek, Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, PBF dapat menyalurkan Prekursor Farmasi golongan
obat bebas terbatas kepada Toko Obat.
Pasal 15 : Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi oleh Industri Farmasi kepada PBF hanya dapat dilakukan oleh
Industri Farmasi pemilik izin edar.
Pasal 16 :
(1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk
obat jadi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker
penanggung jawab atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk
kebutuhan penelitian dan pengembangan, dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 1, Formulir 2 dan Formulir 4
terlampir.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk
penyaluran kepada Instalasi Farmasi Pemerintah, surat pesanan dapat
ditandatangani oleh Apoteker yang ditunjuk.
Pasal 17 :
(1) Pengiriman Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang
dilakukan oleh Industri Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah
harus dilengkapi dengan:
a. surat pesanan;
b. faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:
1. nama Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi;
2. bentuk sediaan;
3. kekuatan;
4. kemasan;
5. jumlah;
6. tanggal kadaluarsa; dan
7. nomor batch.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
bagian ketiga “Penyerahan” paragraf 1 umum
Pasal 18 :
(1) Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan dalam bentuk obat jadi.
(2) Dalam hal Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan
kefarmasian.
(3) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara
langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk golongan obat bebas
terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015
bagian ketiga “Penyerahan” Paragraf 2 Penyerahan Narkotika dan Psikotropika
Pasal 19 :
(1) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik; dan
e. dokter.
(2) Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan untuk
memenuhi kekurangan jumlah Narkotika dan/atau Psikotropika
berdasarkan resep yang telah diterima.
(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 5
terlampir.
(5) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi
Klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada
pasien berdasarkan resep dokter.
Pasal 20 :
(1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter
hanya dapat dilakukan dalam hal:
a. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan
Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau
b. dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak
ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan surat
permintaan tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang menangani
pasien dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 6 terlampir.

BAB III (PENYIMPANAN)


Pasal 24 : Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus
mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi.
Pasal 25 :
(1) Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
(2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan
barang selain Narkotika.
(3) Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan
barang selain Psikotropika.

Pasal 29 :
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Psikotropika harus memiliki tempat
penyimpanan Psikotropika berupa gudang khusus atau ruang khusus,
yang terdiri atas:
a. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk bahan
baku; dan
b. gudang khusus atau ruang khusus Psikotropika dalam bentuk obat
jadi.
(2) Gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berada dalam penguasaan Apoteker penanggung jawab.
Pasal 33 :
(1) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi
Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki tempat
penyimpanan Narkotika atau Psikotropika berupa lemari khusus.
(2) Lemari khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam
penguasaan Apoteker penanggung jawab.

BAB IV (PEMUSNAHAN)
Pasal 40 : Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan
surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:
1. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi
Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;
2. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat
dan Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga
Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi; atau
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas
Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah
Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.
b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas
Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di
lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan
sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf b.
d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku,
produk antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk
kepentingan pengujian oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan
pemusnahan.
e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum
dilakukan pemusnahan.

BAB V (PENCATATAN DAN PELAPORAN)


Pasal 43 :
(1) Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu
Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang melakukan produksi,
Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
Pasal 45 :
(1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan
laporan produksi dan penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi setiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan Kepala Badan.
(2) PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi setiap bulan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan Kepala
Badan/Kepala Balai.
(3) Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan.
(4) Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat dengan
tembusan kepada Kepala Balai setempat.
(5) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4)
paling sedikit terdiri atas:
a. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. Jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;
f. jumlah yang disalurkan; dan
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan
persediaan awal dan akhir.
(6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib
membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan
penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai
setempat.
(7) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. jumlah yang diterima; dan
d. jumlah yang diserahkan.

BAB VI (PEMBINAAN DAN PENGAWASAN)


Pasal 46 : Menteri, Kepala Badan, Kepala Balai, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai dengan tugas,
fungsi, dan kewenangan masing-masing.
Pasal 47 : Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai
sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII (KETENTUAN PERALIHAN)


Pasal 48 : Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, setiap Industri Farmasi,
PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, atau Lembaga Ilmu Pengetahuan dalam
melakukan penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi
harus menyesuaikan dengan ketentuan penyimpanan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Menteri ini
mulai berlaku.
G. Ekspor dan Impor Psikotropika
Menurut UU RI No.5 tahun 1997 Bagian Pertama “Surat Persetujuan
Ekspor dan Surat Persetujuan Impor “
- Pasal 16 :
(1)Ekspor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang
besar farmasi yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Impor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang
besar farmasi yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta lembaga
penelitian atau lembaga pendidikan.
- Pasal 17
(1) (c) Surat persetujuan impor psikotropika golongan I hanya dapat diberikan
untuk kepentingan ilmu.
- Pasal 18
(1)Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan
impor psikotropika, eksportir atau importir sebagai-mana dimaksud dalam
Pasal 17 mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri.
(2)Permohonan secara tertulis untuk memperoleh surat persetujuan ekspor
psikotropika dilampiri dengan surat persetujuan impor psikotropika yang
telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah
negara pengimpor psikotropika.
(3)Menteri menetapkan persyaratan yang wajib dicantumkan dalam
permohonan tertulis untuk memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat
persetujuan impor psikotropika.
- Pasal 21
(1)Setiap pengangkutan ekspor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat
persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2)Setiap pengangkutan impor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat
persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan oleh pemerintah negara
pengekspor.

H. Label Dan Iklan


Menurut UU RI No.5 tahun 1997 :
- Pasal 29
(1)Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan psikotropika.
(2)Label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai psikotropika yang
dapat berbentuk tulisan, kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain
yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan,
ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
- Pasal 30
(1)Setiap tulisan berupa keterangan yang dicantumkan pada label psikotropika
harus lengkap dan tidak menyesatkan.
(2)Menteri menetapkan persyaratan dan/atau keterangan yang wajib atau
dilarang dicantumkan pada label psikotropika.
- Pasal 31
(1)Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran
dan/atau media cetak ilmiah farmasi.

I. Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan


Menurut UU RI No.5 tahun 1997 :
- Pasal 32 : Menteri menyusun rencana kebutuhan psikotropika untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan untuk setiap tahun.
- Pasal 33
(1)Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter,
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan
menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan
dengan psikotropika.
- Pasal 34 : Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit,
puskesmas, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan
catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara
berkala.

J. Pembinaan dan Pengawasan


Menurut UU RI No.5 tahun 1997 Bagian Kedua “Pengawasan” :
- Pasal 51
(1)Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan
administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan,
dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini.

Anda mungkin juga menyukai