Anda di halaman 1dari 18

EKONOMI ENERGI LISTRIK

“ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI


KETENAGALISTRIKAN”

-KELAS PTE 02-

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 9

MUZDALIFAH (1824042004)

YUSDIAN SUSANTI RAIS (1824042039)

ADAM ADI WIJAYA (1824042037)

HARDIN FIRSYA ANUGRAH (1824042036)

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

FAKULTAS TEKNIK

PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO 2018


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas segala karunia nikmatnya
sehingga makalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang berjudul, “Analisis
Kebijakan Pengembangan Industri Ketenagalistrikan” ini dapat diselesaikan
dengan maksimal, tanpa ada halangan yang berarti. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas kelompok.

Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Untuk
itu, kami ucapkan terima kasih.

Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
baik dari segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh karenanya,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sekalian untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi.

Demikian, semoga makalah ini dapat diterima sebagai ide/gagasan yang


menambah pengetahuan kita.

Makassar, 11 April 2019

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Analisis Kebijakan Pengembangan Industri Ketenagalistrikan ............... 3

2.2 Faktor-faktor Determinan Kebijakan Pengembangan Industri

Ketenagalitrikan ...................................................................................... 4

2.3 Dampak Kebijakan Pengembangan Industri Ketenagalistrikan .............. 8

BAB III. PENUTUP ............................................................................................. 12

3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ekonomi memang sangat luas penjabarannya salahsatunya adalah
ekonomi energi. Ekonomi energi sendiri merupakan konsepkomprehensif
yang dikeluarkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagaisalah satu
cara dan upaya untuk mengatasi krisi ekonomi global.Secara umum
pengertian ekonomi energi adalah model ekonomi yangmenekankan upaya
untuk memperbaiki tarafhidup manusia yang secara
waktu bersamaan mengurangi dampak kerusakan lingkungan.Konsep
ini tidak ada yangsalah, tetapi ada sebagian kelompok organisasi penyelamat
lingkungan yangmenggambarkan konsep ini sebagai upaya untuk
finansialiasasi alam.Mungkinanggapan ini ada benarnya, tetapi tetap tidak
sepenuhnya benar.Ekonomi energi merupakan sebuah konsep model
pembangunan ekonomidengan 3 buah pilar kebijakan utama, yaitu :
1. Kebijakan ekonomi rendah karbon
2. Hemat Energi
3. Melibatkan orang banyak
Yang menjadi problem / masalah utama dalam penerapan ekonomi
energiitu sendiri adalah sejauh mana kefektifitasan serta implementasi dari
konsepekonomi energi lebih-lebih di Indonesia.
Dalam kondisi ekonomi yang sedang tumbuh pesat ini tentu
sajamembutuhkan konsumsi energi yang tidak sedikit, disaat yang
bersamaancadangan energi kian menipis karena mayoritas disupply oleh SDA
yang tidakdapat diperbarui.
Karena dasar itulah ekonomi energi hadir untuk menjawab
problemtersebut.Ekonomi energi yang digagas PBB ini juga di dukung oleh
negara-negaramaju secara ekonomi karena mereka menyadari peran
pentingnya ekonomi energidalam perekonomian mereka.

1
Tetapi, untuk negara-negara yang sedang berkembang lainnya ahli-
ahliingin fokus pada upaya penciptaan model perekonomian yang benar-
benar modelekonomi energi, kontekstualisasi pelaksanaan energi di Indonesia
menjadi salah kaprah karena ekonomi energi hanya ditafsirkan sebagai upaya
untuk mengurangigas karbon tanpa adanya penciptaan sebuah model
perekonomian berkelanjutan serta ramah lingkungan dengan basis pada kefei
siensi energi,karbon rendah serta melibatkan orang banyak.
Penerapan ekonomi energi di Indonesia pun juga belum melibatkan
pihak banyak.Dari sembilan sektor prioritas ekonomi energi, sektor pertanian
(agraris) belum dijadikan sektor prioritas utama bagi Indonesia.Padahal, seper
ti yang kitatahu 60% penduduk kurang mampu disumbangkan oleh sektor
pertanian ini.
Tidak seperti India, mereka menginvestasikan modal yang besar
untuksektor ekonomi dalam rangka realisasi ekonomi Energi di
negaranya.Sektorekonomi di Indonesia masih dianggap remen dan seelah
mata oleh pemerintah kitasenddiri.Misalkan, belanja dan pembangunan
infrastruktur pertanian sepertiirigasi, dll hanya 3 Trilyun saja.Masih jauh dari
kebutuhan yang itu barumengkover 30% saja kebutuhan di tahun 2011.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana analisis kebijakan pengembangan industri ketenagalistrikan?
2. Apa faktor-faktor determinan kebijakan pengembangan industri
ketenagalistrikan?
3. Apa dampak kebijakan pengembangan industri ketenagalistrikan?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui analisis kebijakan pengembangan industri ketenagalistrikan.
2. Mengetahui faktor-faktor kebijakan pengembangan industri
ketenagalistrikan.
3. Mengetahui dampak kebijakan pengembangan industri ketenagalistrikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
KETENAGALISTRIKAN
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan
kebijakan Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional 2003-2004
pada tanggal 21 april 2003. Kebijakan ini diarahkan untuk tujuan mendukung
kegiatan perekonomian nasional melindungi konsumen, sebagai media
mewujudkan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan kemampuan dan
kemandirian nasional serta mengembangkan daerah. Sasaran utamahnya
adalah terpenuhnya kebutuhan tenaga listrik yang mandiri secara finansial
dan penguasaan teknologi, terwujudnya otonomi daerah dibidang
ketenagalistrikan dan birokrasi yang efisien.
Strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut difokuskan pada
penyiapan skema-skema investasi, rasionalisasi tarif kandungan lokal, serta
optimalisasi peran seluruh pelaku usaha. Selain itu strategi lainnya adalah
prinsip good governance dan membentuk tim fasilitas untuk membantu
pemerintah.
Instrumen kebijakan yang digunakan dalam menjalankan strategi
tersebut yaitu instrumen legislasi dengan mengacu pada Undang-Undang No.
20 Tahun 2002. Instrumen kebijakan lainnya adalah regulasi perpajakan dan
kemitraan. Instrumen regulasi ditekankan pada kewajiban perusahaan listrik
untuk memenuhi persyaratan perizinan (ketentuan dan standar pelayanan),
pemanfaatan energi lokal dan terbarukan, penetapan komitmen efisiensi
pemanfaatan energi, kewajiban penggunakan tanda SNI dan tenaga listrik
yang memiliki sertifikat kompetisi, penetapan standar buku mutu lingkungan
ketenagalistrikan dan kewajiban instalasi tenaga listrik memiliki sertifikat
layak operasi. Instrumen perpajakan ditekankan pada pemberian intensif
pajak bagi pengembangan energi terbarukan, namun akan dipungut pajak
untuk sarana transmisi dan ditribusi tenaga listrik. Sedangkan instrumen
kemitraan dimaksudkan adanya kerja sama antara sesama pelaku usaha,

3
antara pemerintah, pemda dan stakeholders, serta kerja sama antara pelaku
usaha dengan masyarakat.
Menurut Pal (1992) bahwa persoalan utama yang berkaitan dengan
suatu kebijakan adalah faktor-faktor determinan kebijakan dan dampak
kebijakan tersebut. Oleh karena itu, pusat perhatian masalah pada tulisan ini :
(1) Faktor-faktor apakah yang menjadi determinan lahirnya kebijakan
pengembangan industri ketenagalistrikan nasional, dan (2) bagaimana
dampak dari kebijakan tersebut?

2.2 FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN


INDUSTRI KETENAGALISTRIKAN
Faktor-faktor yang menjadi pemicu lahirnya kebijakan nasional
tentang pengembangan ketenagalistrikan adalah faktor ekonomi, politik, dan
faktor-faktor ragional global. Keseluruhan dari faktor-faktor determinan
tersebut akan diuraikan secara rinci di bawah ini.
1. Faktor Ekonomi
Faktor ini dapat diamati melalui indikator kurva permintaan dan
penawaran energi listrik. Pertumbuhan kapasitas terpasang listrik
nasional antara tahun 1999-2001 hanya tumbuh rata-rata 1,13 persen
pertahunnya. Pemakaian energi listrik naik 8,85 persen pertahun dalam
periode yang sama. Angka-angka ini memberikan gambaran picangnya
pertumbuhan pasokan (penawaran) dan (pemakaian) listrik dan
kepincangan ini semakin jelas dari rasio beban puncak litrik (sebagai
proxy terhadap tingkat pemakaian listrik) terhadap daya mampu telah
mencapai angka 86,4 persen pada tahun 2001 hanya tersedia sekitar
13,6 persen. Padahal patokan cadangan yang aman untuk rasio ini
adalah 20-30 persen dari potensi pasokan (Silitongan dan Pardede,
2003).
Kekurangan pasokan dari kebutuhan akan mengakibatkan
turunnya kualitas pasokan tersebut. Silitongan dan Pardede (2003)
mencatat frekuensi gangguan pelanggan atau system average

4
interruption frequency index (SAIFI) dan lama gangguan pelanggan
atau system average interruption index (SAIDI) telah menunjukkan
18,24 kali dan 17,48 jam selama tahun 1997 masih menunjukkan angka
12,81 kali dan 15,15 jam. Efek selanjutnya, apabila jumlah pembangkit
listrik tidak ditambah dan pertumbuhan penggunaan energi litrik terus
berjalan konstan, maka angka SAIFI dan SAIDI akan terus meningkat.
Untuk menambah pembangkit listrik sangat tergantung pada kondisi
keuangan PLN. Dalam konteks ini terlihat gambaran yang kontras
antara horizon periode waktu sebelum krisis ekonomi (1994-1996)
dengan setelah krisis ekonomi (1997-2001). Sebelum krisis ekonomi
laba operasional PLN bisa mencai Rp. 1,94 triliun, namun setelah krisis
terjadi PLN menderita rugi operasi hingga mencapai Rp. 5,5 triliun.
Padahal pendapatan PLN secara konstan naik 216,47 persen dalam
periode 1994-1996 dan 157,28 persen dalam periode 1997-2001 atau
pendapatan naik dalam periode 1994-2001 berkisar 839,13 persen.
Walaupun pendapatan PLN naik sampai 839,13 persen, namun
biaya operasi naik sampai 1.134,8 persen dalam periode 1994-2001
sehingga kondisi keuangan PLN tidak memungkinkan untuk melakukan
investasi untuk pengadaan pembangkit listrik. Dalam kondisi seperti ini
dapat diperkirakan ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan akan
berlangsung di waktu-waktu mendatang, sehingga akan terjadi krisis
energi di pusat-pusat beban yang tersebar di seluruh indonesia.
2. Faktor Politik
Faktor politik merupakan determinan penting yang
memengaruhi lahirnya kebijakan pengembangan indutri
ketenagalistrikan sebagai blue print implementasi UU No. 20 Tahun
2002. Oleh karena itu, untuk melihat keterkaitan faktor ini akan
digunakan dukungan politisi di DPR dalam pengesahan UU No. 20
Tahun 2002 tentang ketenagalistrikan. UU ini disahkan dalam sidang
paripurna DPR pada tanggal 4 September 2002, seluruh anggota dewan
setuju kecuali 3 orang yang walk out hingga sidang berakhir.

5
Sebelum UU ini sahkan DPR, ia mencatat resistensi dari
Sertifikat Pekerja Perusahaan (SPPLN). Sebenarnya kekhawatiran
terhadap UU ini kerana jiwanya dinilai sangat ileal dengan menerapkan
kompetensi pasar dalam aspek produksi dan ditribusi tenaga litrik.
Sementara usaha ketenagalitrikan tidak dijamin akan berkompetisi
bebas dan sehat untuk tujuan efisiensi dan keadilan.
Walaupun seristensi dan kekhawatiran seperti hal tersebut
muncul, namun seluruh fraksi di DPR melihat UU ini secara positif
karena akan diterapkan sistem ketenagalistrikan yang transparan
melalui mekanisme pasar yang memungkinkan masuknya banyak
pemain pasar secara kompetitif. Untuk menjamin berlangsungnya bisnis
kelistrikan dengan baik akan dibentuk Badan Pengawas Pasar Tenaga
Listrik. Sedangkan untuk mengelolah bisnis transmisi dan dibentuk
Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Sedangkan untuk mengelolah
bisnis transmisi akan dibentuk Badan Pengelolah Sistem Tenaga
Listrik, sementara untuk mengelolah pasar listrik akan dibentuk
Pengelola Pasar Tenaga Listrik.
Indikator lainnya adalah UU No. 20 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah. UU ini diakomodasikan dalam UU No. 20 Tahun
2002 sehingga Bupati atau walikota dalam mengeluarkan izin usaha
penyediaan tenaga listrik di daerah masing-masing yang tidak
terhubung jaringan transmisi nasional sesuai Rencana Umum
Ketenagalistrikan Daerah. Sedangkan Gubernur dapat mengeluarkan
izin penyediaan tenaga listrik lintas kabupaten atau kota, baik sarana
maupun energi listrik yang tidak terhubung dengan jaringan transmisi
nasional sesuai Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah. Adanya
otoritas penguasa daerah seperti uraian di atas menjadi dukungan
politisi dan strategis untuk mengimplementasi UU No. 20 Tahun 2002
umumnya dan pengembangan industri ketenagalistrikan nasional pada
khususnya.

6
3. Faktor Regional dan Global
Faktor regional dan global yang signifikan pada pengembangan
industri ketenagalistrikan nasional adalah AFTA, APEC, Asean Power
Grid, dan WTO. Secara teoritis faktor-faktor regional dan global akan
meningkan kesejahteraan produsen dan konsumen. Produsen
diuntungkan dengan efisiensi alokatif (efisisensi yang diperoleh karena
dinamika naiknya produktivitas dalam jangka panjang. Komsumen
diuntungkan dengan tersedianya produk yang harganya relatif murah.
Dengan demikian faktor regional dan global akan terjadi positive
welfare effect untuk produsen dan konsumen.
Penjelasan ini dapat diperjelas dengan ilustrasi statis seperti
yang disajikan pada gambar di bawah ini. Bila terjadinya pengangguran
tarif seperti yang disyaratkan oleh AFTA, APEC dan WTO, maka harga
turun dari P1 ke P2. Oleh karena harga turun, maka terjadilah impor
sehingga terjadilah peristiwa dimana consumen surplus sebesar AHIB.
Disisi lain produsen dirugikan (loss produser surplus) sebesar ACDB.
Meski demikian, peristiwa turunnya tarif yang menyebabkan impor
masih dianggap menguntungkan karena terjadinya positive walfare
effects, dimana mereka yang diuntungkan lebih besar dari mereka yang
dirugikan (AHIB lebih luas dari ABDB).

Harga Sa
A

P1 C H

B D E F

P2
I
Da

Q1 Q2 Produksi

7
Adanya beberapa cara untuk mengatasi kerugian produsen
akibat diberlakukannya pandangan global perdagangan global, yaitu
kurangi biaya produksi melalui kegiatan secra efisien, diversifikasi
produk baik secara horizontal dan vertikal, berlakukan tarif sesuai
dengan perdagangan global. Agar hal tersebut dapat dilakukan, maka
pemerintah dituntut untuk memperbaiki insfrastruktur seperti air, jalan,
dan listrik. Dalam konteks inilah pengembangan industri
ketenagalistrikan menjadi signifikan dengan faktor-faktor regional dan
global yang tidak bisa dihindari.

2.3 DAMPAK KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI


KETENAGALISTRIKAN
Pal (1992) meyatakan bahwa suatu kebijakan akan memberikan dampak
kepada publik, sperti dampak ekonomi, pilitik/desentralisasi, sosial dan sebagainya.
Dampak tersebut akan diuraikan secara rinci sebagai berikut.
a. Dampak Ekonomi
Analisis ekonometri yang dilakukan Basri (2002) menemukan
elastitas penyediaan listrik terhadap produk domestik bruto (PDB) berkisar
0,5-54 persen. Artinya, kenaikan satu persen penyediaan listrik akan mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5-0,54 persen. Dengan
demikian untuk pertumbuhan ekonomi 6-7 persen, dalam rangka menyerap
lapangan kerja dan mengurangi rasio utang per PDB dibutuhkan input
berupa penjualan listrik sebesar 11-14 persen pertahun.
Bandingkan angka ini denga tingkat penggunaan listrik sekarang dan
ke depan yang diperkirakan 7-8 persen. Dengan kondisi ini, jelas terlihat
bahwa insfrastruktur yang ada jelas tidak mampu menunjang pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan. Jika pemerintah meningkatkan
pengeluaran utnuk infrastruktur dan daya terpasang listrik sebesar 15 persen,
maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan dibutuhkan
perbaikan infrastruktur dan peningkatan daya terpasang listrik.

8
b. Dampak Sosial
Dampak sosial dari pengembangan indutri ketenagalistrikan dapat
diukur dari rasio elektrifikasi. Untuk Jawa dan Bali, rasio elektrifikasi pada
tahun 2001 sekitar 59,5 persen, 60,5 persen (2002), dan 62,3 persen (2003).
Sedangkan untuk luar Jawa-Bali di tahun 2001 sebesar 43,6 persen, 44,6
persen (2002) dan rasio elektrifikasi pada tahun 2003 sebesar 46,7 persen.
Adanya kebijakan pengembangan industri ketenagalistrikan nasional
akan diramalkan rasio elektrifikasi meningkat. Untuk Jawa-Bali, rasio
elektrifikasi pada tahun2004 diperkirakan 64,4 persen, tahun 2005 sekitar
66,7 persen dan 69,1 persen pada tahun 2006. Sedangkan rasio elektrifikasi
pada tahun 2004 sekitar 49,1 persen, 51,6 persen (2005) dan 54,5 persen
pada tahun 2006.
Dampak sosial lainnya dari kebijakan pengembangan industri
ketenagalistrikan adalah akan membantu kelompok miskin dan industri kecil
(Basri, 2002). Selain indikator rasio elektrifikasi akan meningkat akibat
peningkatan pasokan listrik, juga peningkatan pasokan listrik akan
membantu kelompok miskin. Alasannya harga yang mereka bayar untuk
energi akan menjadi lebih murah. Biaya rata-rata untuk penyambungan
rumah tangga yang sebesar Rp. 1.147,- apabila ada peningkatan pasokan
listrik jelas berada di bawah biaya rata-rata sebesar Rp. 7.428 per kWh.
Data statistik industri menunjukkan bahwa industri kecil lebih
mengandalkan pasokan listriknya dari PLN dan ini berbeda dengan industri
besar yang lebih mengandalkan dari generator sendiri. Namun setelah krisis
ekonomi dan kenaikan harga solar, maka untuk menghemat biaya industri
besar mereka beralih mengandalkan sumber listrik PLN. Implikasinya
keterbatasan PLN akan memikul industri kecil sehingga mereka merupakan
kelompok yang paling dirugikan. Artinya peningkatan pasoka listrik akan
membantu kelompok industri kecil dalam kegiatan produksi.
Diberlakukannya otonomi daerah membuat pemda lebih sibuk
mementingkan peningkatan PAD daripada urusan kesejahteraan rakyat
didaerah. Padahal hasil akhir untuk mengukur keberhasilan otonomi daerah
adalah seberapa jauh peningkatan kehidupan, kesejahteraan, dan
kemakmuran rakyat di daerah.

9
Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di daerah tidak ada akan ada
tanpa kegiatan peningkatan ekonomi, penciptaan bisnis dan penciptaan
tenaga kerja. Semua itu tidak akan terjadi tanpa penyediaan listrik yang
memadai. Dalam kaitan inilah pemda perlu mencari investor yang mau
membangun proyeksi listrik baik dalam bidang pembangkitan maupun
jaringan. Intensif swasta untuk masuk sebenarnya tidak hanya bergantung
pada sunk cost, namun juga kepastian peraturan dan hukum. Dengan
demikian, intensif pengurangan pajak, kepastian peraturan dan hukum
merupakan iklim investigasi yang kondusif bagi swasta. Namun iklim
investasi yang kondusif dapat tercipta jika pemerintah menerapkan prinsip
good governance.
c. Dampak Efisiensi dan Akreditasi
Kebijakan pengembangan indutri ketenagalistrikan akan
menciptakan persaingan sehingga efisiensi kelistrikan dapat dicapai. Namun
sampai saat ini, efisiensi masih menjadi persoalan serius. Hal ini terlihat dari
kebocoran beban (losses) kWh sampai pada bulan September 2003 telah
mencapai 18,04 persen, terdiri di sisi transmisi 2,61 persen dan di sisi
distribusi 15,44 persen, yang 2,36 persennya diduga hilang karena pencurian
(Pedoman Rakyat, 13 Nopember 2003).
Untuk itulah usaha penyediaan tenaga listrik dituntut menjaga
efisiensi seperti mengurangi kebocoran melalui perbaikan teknologi,
diantaranya kelalaian instalasi. Oleh karena itulah dibutuhkan infrastruktur
teknologi berupa lembaga akreditasi yang menilai kesesuaian dan kelaikan
instalasi dari usaha penyediaan tenaga listrik, dan penggunaan produk
kelistrikan yang dilakukan oleh indutri penunjang tenaga listrik. Lembaga
akreditasi yang dibutuhkan untuk pengembangan industri ketenagalistrikan
adalah lembaga penilaian kesesuaian untuk kompetensi, badan usaha, uji
kalibrasi, SNI-peralatan, tanda keselamatan, kelalaian instalasi, dan SNU-
PUIL.
Lembaga penilaian dan kesesuaian kelaikan instalasi akan
memberikan sertifikat kenaikan instalasi kepada usaha penyediaan tenaga
listrik dan lembaga penilaian dan kesesuaian untuk SNI PUIL akan
memberikan sertifikasi kesesuaian standar terhadap instalasi pemanfaatan
tenaga listrik. Sedangkan lembaga penilaian dan kesesuaian untuk

10
kompetensi, badan usaha, kelimbrasi dan tanda keselamatan akan memberi
akreditasi kepada industri penunjang tenaga listrik.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kebijakan pengembangan industri ketenagalistrikan nasional
sebagai blue print implementasi UU No. 20 Tahun 2002 sehingga industri
ketenagalistrikan lebih efisien, transparan dan kompetitif, didasarkan atar
pertimbangan faktor ekonomi dan politik, faktor regional dan global.
Keseluruhan faktor-faktor tersebut tergambar dari ketidakseimbangan
pasokan dengan kebutuhan, kondisi keuangan PLN yang tidak
memungkinkan untuk melakukan investasi pembangkitan tenaga listrik,
adanaya dukungan politik seperti UU No. 22 Tahun 1999, serta
perdagangan global yang akan memperbaiki infrastruktur pada umumnya
dan infrastruktur pada khususnya.
Dampak yang akan timbul dari kebijakan tersebut adalah dampak
ekonomi, sosial, politik, dampak terhadap pemda, efisiensi dan akreditasi.
Umumnya dampak-dampak tersebut bersifak positif, yaitu pengembangan
industri kelistrikan nasional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
menguntungkan kelompok miskin dan industri kecil, meningkatkan rasio
elektrifikasi, pemda akan lebih proaktif mengundang investor di bidang
penyediaan tenaga listrik dengan menerapkan good governance, dan
dibutuhkannya lembaga akreditasi yang dapat memberikan sertifikasi
kepada usaha penyediaan tenaga litrik, instalasi pemanfaatan tenaga listrik
dan industri penunjang tenaga listrik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Tanjung, Anton (2012). Pengertian Ekonomi Listrik. Dikutip 9 April 2019 dari
Academia.edu : https://www.academia.edu

13
TANYA & JAWAB

1. Nama : Nurjannah
Pertanyaan : Bagaimana agar tinjauan kebijakan subsidi tepat sasaran?
Jawaban :
Dengan memperhatikan aspek regulasi, ekonomi dan sosial, teknis
serta dampaknya terhadap makro ekonomi dan sosial, kajian ini
merekomendasikan pola dan mekanisme subsidi listrik yang lebih tepat
sasaran sebagai berikut:
a. Target penerima subsidi adalah mereka yang konsumsinya sampai
80 kWh per bulan untuk pelanggan R1-450 VA dan sampai 60
kWh per bulan untuk pelanggan R1-900 VA. Apabila konsumsi
listrik melebihi batas yang ditentukan, pelanggan tersebut tidak
memperoleh subsidi sama sekali;
b. Bentuk subsidi non tunai dengan subsidi tetap Rp/kWh; dan
c. Penyaluran subsidi melalui PT PLN (Persero) dengan memberikan
potongan harga (discount) terhadap pelanggan yang berhak
memperoleh subsidi.
2. Nama : Muh. Nasrul
Pertanyaan : Bagaimana cara menganalisis pengembangan
Ketenagalistrikan?
Jawaban :
Strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut difokuskan
pada penyiapan skema-skema investasi, rasionalisasi tarif kandungan
lokal, serta optimalisasi peran seluruh pelaku usaha. Selain itu strategi
lainnya adalah prinsip good governance dan membentuk tim fasilitas
untuk membantu pemerintah.
Instrumen kebijakan yang digunakan dalam menjalankan strategi
tersebut yaitu instrumen legislasi dengan mengacu pada Undang-Undang
No. 20 Tahun 2002. Instrumen kebijakan lainnya adalah regulasi
perpajakan dan kemitraan. Instrumen regulasi ditekankan pada kewajiban

14
perusahaan listrik untuk memenuhi persyaratan perizinan (ketentuan dan
standar pelayanan), pemanfaatan energi lokal dan terbarukan, penetapan
komitmen efisiensi pemanfaatan energi, kewajiban penggunakan tanda
SNI dan tenaga listrik yang memiliki sertifikat kompetisi, penetapan
standar buku mutu lingkungan ketenagalistrikan dan kewajiban instalasi
tenaga listrik memiliki sertifikat layak operasi.

3. Nama : Dewi Sri Mulyani Supriadi


Pertanyaan : Berapa rasio elektrifikasi tahun ini?
Jawaban :

Menteri ESDM Ignasius Jonan menargetkan rasio elektrifikasi


akan menembus angka 99% hingga akhir tahun 2019 nanti. “Prognosa ini
berdasarkan analisa laporan perhitungan rasio elektrifikasi di tahun 2017
dan target di tahun 2018 sebesar 97,5%,” ujar Menteri ESDM di Jakarta
(27/4).

Jonan menuturkan, rasio elektrifikasi nasional tahun tahun 2017


tercatat sebesar 95,35%. Rasio elektrifikasi ini menggambarkan jumlah
rumah tangga yang sudah berlistrik dibandingkan dengan jumlah rumah
tangga nasional. Sebanyak 62,5 juta atau sekitar 93,03% rumah tangga
teraliri listrik dari PLN, sementara 1,5 juta atau 2,32% rumah tangga
mendapat listrik dari off-grid non PLN yang dibangun oleh Pemerintah
Daerah, Swasta, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, dan rumah tangga
berlistrik tanpa kWh meter.

15

Anda mungkin juga menyukai