Anda di halaman 1dari 5

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETERJANGKAUAN PELAYANAN

KESEHATAN DI PUSKESMAS DAERAH TERPENCIL

Sumber: Jurnal “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETERJANGKAUAN


PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS DAERAH TERPENCIL PERBATASAN DI
KABUPATEN SAMBAS” oleh Suharmiati, Lestari Handayani, Lusi Kristiana Vol. 15
No. 3 Juli 2012: 223–231.

Status kesehatan masyarakat dan cakupan pelayanan kesehatan di daerah


terpencil perbatasan masih rendah. Masyarakat secara umum belum mempunyai
pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan kondisi lingkungan yang kurang baik.
Penggunaan puskesmas di daerah terpencil antara lain dipengaruhi oleh akses
pelayanan yang tidak hanya disebabkan masalah jarak, tetapi terdapat dua faktor
penentu (determinan) yaitu :

1. Determinan penyediaan yang merupakan faktor-faktor pelayanan


terdiri atas organisasi pelayanan dan infrastruktur fisik, tempat pelayanan,
ketersediaan, pemanfaatan dan distribusi petugas, biaya pelayanan serta
mutu pelayanan.
a. Kurangnya tenaga kesehatan
Hal ini akan sangat terasa pada saat petugas harus terjun ke lapangan,
namun di waktu bersamaan harus memberikan pelayanan di
puskesmas yang bersifat darurat atau tidak bisa ditunda, misalnya ada
pasien yang sudah waktunya melahirkan
b. Kurangnya jumlah transportasi
Puskesmas tidak mempunyai sarana puskesmas keliling (pusling).
Estimasi mengenai kebutuhan alat transportasi tergantung kepada
beberapa faktor antara lain kondisi wilayah, jumlah dan penyebaran
sasaran pelayanan serta jumlah dan jenis kegiatan yang dilakukan.
c. Peralatan yang dimiliki puskesmas sangat minim sekali sehingga banyak
pasien yang tidak tuntas dalam dilakukannya pemeriksaan dan harus
dirujuk ke rumah sakit pusat untuk mendapatkan pelayanan yang jauh
lebih baik.
Kurangnya peralatan kesehatan dan sarana penunjang kesehatan
(laboratorium) di puskesmas sering mengecewakan masyarakat yang
akhirnya harus menempuh perjalanan yang jauh dan sulit. Keadaan ini
semakin menguatkan minat masyarakat untuk tidak berobat ke
puskesmas. Oleh karena itu perlu kelengkapan alat kesehatan dan
bahan habis pakai yang menunjang pelayanan kesehatan khususnya
untuk kasus penyakit yang banyak terjadi di puskesmas.

d. Ketersediaan obat yang sangat minim


Minimnya ketersediaan obat bisa disebabkan karena perintaan obat ke
Dinas Kesehatan tidak semua bisa terpenuhi, melainkan tergantung
stok yang ada dan juga pengiriman obat dari dinas kesehatan tidak bisa
dilaksanakan rutin setiap bulan, sehingga puskesmas sering kehabisan
stok obat teritama obat jenis injeksi. Apalagi ada kebiasaan masyarakat
yang selalu minta disuntik jika berobat ke puskesmas.
e. Kegiatan posyandu yang tidak tersedia.

2. Determinan permintaan yang merupakan faktor-faktor pengguna


meliputi rendahnya pendidikan dan kondisi sosial budaya masyarakat serta
tingkat pendapatan masyarakat yang rendah atau miskin.
Masyarakat di desa lebih banyak pergi berobat ke dukun dulu, baru ke
bidan atau dokter. Hal ini bisa disebabkan oleh dukun kampong biaya dan
transportasinya lebih terjangkau.

PROGRAM PEMERINTAH MENGENAI PENEMPATAN TENAGA KESEHATAN


STRATEGIS DI DAERAH TERPENCIL
Sumber: Kementerian Kesehatan RI mengenai Penempatan tenaga kesehatan
startegis di daerah terpencil yang dipublis 20 Agustus 2010.

Menurut Inpres No 1 Tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan prioritas


pembangunan Nasional Tahun 2010 menekankan upaya penempatan tenaga
kesehatan strategis di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan
(DTPK) dalam rangka peningkatan pemerataan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan strategi di setiap puskesmas dan


rumah sakit di DTPK dilakukan melalui mekanisme penempatan tenaga medis dan
bidan PTT (pegawai tidak tetap) serta mekanisme penugasan khusus lulusan
diploma III antara lain perawat, sanitariat/kesehatan lingkungan, tenaga gizi,
tenaga analisis kesehatan, dan tenaga farmasi.

Kemenkes juga menjalin kerjasama dengan 13 Fakultas Kedokteran Universitas


Negeri yang memiliki program dokter spesialis yaitu pemberian bantuan
pendidikan untuk peserta program pendidikan dokter spesialis/dokter gigi spesialis
dan penugasan residen senior ke RSUD Kabupaten yang membutuhkan teritama di
DTPK (Permenkes RI No 535/Menkes/Per/VI/2008).

Sumber: Kemenkes. 2012. Pedoman Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan di


DTPK. Jakarta: Dirjen Bina Upaya Kesehatan.
Permasalahan ketidakmerataan upaya kesehatan juga disebabkan
permasalahan sosial yaitu tingkat kemiskinan masyarakat setempat sehingga tidak
dapat menjangkau pelayanan kesehatan.
Terkait hal tersebut, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan kebijakan
kesehatan di DTPK yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan Rencana
Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat. Beberapa program khusus yang
dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan dalam mendukung pelayanan
kesehatan di DTPK, antara lain:
a. pendayagunaan tenaga kesehatan berupa peningkatan ketersediaan,
pemerataan, dan kualitas SDM;
b. peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di DTPK misal:
rumah sakit bergerak, pelayanan dokter terbang (misalnya pengobatan
umum, oeprasi minor, penyuluhan kesehatan, pemberdayaan masyarakat),
pelayanan perairan;
c. dukungan pembiayaan kesehatan seperti Jamkesmas, Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK), Dana Alokasi Khusus (DAK), Jampersal, dan bantuan
sosial;
d. dukungan peningkatan akses pelayanan berupa pengadaan perbekalan,
obat dan alat kesehatan;
e. pemberdayaan masyarakat di DTPK melalui kegiatan Posyandu, Desa Siaga,
Tanaman Obat Keluarga serta kegiatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS);
f. Kerja sama antarKementerian Kesehatan dengan kementerian lainnya

Ada kebijakan khusus di DTPK, yaitu menggerakkan dan memberdayakan


masyarakat; meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas; meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan; meningkatkan
pemberdayaan SDM Kesehatan; meningkatkan ketersediaan obat dan alkes;
meningkatkan sistem survailance, monev dan Sistem Informasi Kesehatan (SIK);
dan meningkatkan manajemen kesehatan.

PRINSIP KESELAMATAN PASIEN


Sumber: Standar kesehatan pasien Permenkes 1691/Menkes/Per/VIII/2011
Tentang kesehatan pasien RS, Pasal 7 ayat 2
Adalah suatu system yang membuat asuhan pasien di RS menjadi lebih aman.
System ini mencegah terjadinya cidera akibat melaksanakan sesuatu tindakan/tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Prinsip Keselamatan Pasien


1. Kesadaran: tentang nilai keselamatan pasien RS
2. Komitmen: memberikan pelayanan kesehatan berorientasi keselamatan
pasien
3. Kemampuan mengidentifikasi faktor resiko penyebab insiden terkait
keselamatan pasien
4. Kepatuhan pelaporan: insiden terkait keselamatan pasien
5. Kemampuan berkomunikasi yang efektif dengan pasien tentang faktor
resiko penyebab insiden terkait keselamatan pasien
6. Kemampuan mengidentifikasi alur masalah penyebab
7. Kemampuan memanfaatkan informasi tentang kejadian yang terjadi untuk
mencegah kejadian terulang kembali.

HAK PASIEN DALAM MENERIMA PELAYANAN KESEHATAN


Sumber: Menurut UU

Menurut UU No. 36 Tahun 2009:


- Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan (kecuali
tidak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat)
- Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan)
- Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan
penyelamatan nyawa atau cegah cacat)

Pada UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal 52


juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi:
- Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3
- Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
- Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
- Menolak tindakan medis
- Mendapatkan isi rekam medis

Di Indonesia, belum terdapat aturan khusus mengenai jam kerja dokter. Aturan
terkait hal tersebut masih merujuk pada Pasal 77 Ayat (2) UU no. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Ayat tersebut mengatur bahwa waktu kerja maksimum
seorang tenaga kerja adalah tujuh jam satu hari (untuk enam hari kerja dalam satu
minggu) atau delapan jam satu hari (untuk lima hari kerja per minggu). Namun,
kenyataannya, dokter seringkali bekerja lebih lama dari aturan tersebut.
Hal tersebut terjadi karena adanya regulasi bahwa dokter dapat memiliki Surat Izin
Praktik (SIP) di tiga tempat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007. Peraturan
tersebut sebenarnya merupakan upaya untuk meningkatkan pelayanan dokter
(yang dilakukan dengan membatasi tempat praktik dokter), namun menurut
penulis batasan tersebut masih dapat memicu masalah. Sebagai contoh, sebuah
Rumah Sakit Daerah mewajibkan dokter untuk bekerja selama 40 jam di tempat
tersebut sesuai UU Ketenagakerjaan; apabila dokter tersebut masih bekerja di dua
tempat lain, tentunya beban bekerjanya akan jauh melebihi aturan

Anda mungkin juga menyukai