SUMBER : negarahukum.com
Van Volen Hoven pernah mengemukakan bahwa negara layaknya “Burung”, yang
akan terbang bebas. Dalam suatu negara jika tidak ada hukum yang membatasinya,
maka bisa saja negara itu jua akan terbang bebas, semaunya. Diperlukan hukum
administrasi negara untuk membatasi kebebasan negara itu dalam bertindak.
Keberadaan hukum administrasi negara dianggap dapat membatasi kewenangan
dari lembaga yang menjalankan ketatanegaraan ini, agar tak sewenang-wenang
dalam bertindak di lapangan pemerintahan.
Salah satu pengertian hukum administrasi negara, hemat penulis, yang dapat
menjadi pegangan dalam menganalisi beberapa masalah administrasi negara
sebagai lapangan keilmuan. Walaupun defenisi ini, kelihatan abstrak dan filsufis
adalah hukum admnistrasi negara yang didefenisikan oleh Willy Vool. Sekaligus
defenisi ini dapat menjadi unsur-unsur hukum administrasi negara. Menurut Willy
Vool (catatan kuliah Prof Abd. Razak), hukum administrasi negara adalah segenap
hukum yang ada (maupun yang akan ada) dalam rangka perwujudan realisasi
kebijakan pemerintah menyangkut wewenang (W3) admninistrasi negara dalam
kurung waktu dan tempat tertentu yang berhubungan dengan fungsi (F1) dan
tujuan negara. Atau untuk memahami hukum administrasi negara dapat juga
diamati melalui skema lapangan pemerintahan (besttur) yang ditawarkan oleh
Hadjon (1995). Kata kunci pokok, dari skema itu adalah lapangan pemerintah
merupakan kekuasaan negara dikurangi dengan semua kegiatan pembentukan
peraturan (regelgeving) dan kegiatan peradilan (rechtspraak).
Hukum pidana, khususnya hukum pidana mati menjadi fenomena sepanjang masa
dalam sejarah hukum pidana di dunia. Sebenarnya sejak kapan hukuman pidana
mati itu diberlakukan dalam peradaban dunia? Namun yang jelas, hukuman pidana
mati itu resmi diakui bersamaan dengan adanya hukum tertulis, yaitu sejak adanya
Undang-Undang Raja Hamurabi di Babilonia pada abad ke-18 sebelum masehi.
Saat itu ada 25 jenis pidana kejahatan yang diancam hukuman mati.
Dimulai pada zaman Romawi. Dapat dikatakan hukum Romawi yang dituangkan
dalamCorpus Iuris Civil berlaku hampir selama seribu tahun atau dalam
pertengahan abad ke-6 Masehi. Dari sinilah kemudian hukum Romawi
mengembankan dirinya meliputi wilayah-wilayah yang semakin luas di seluruh
Eropah. Gejala ini dinamakan penerimaan (resepsi) hukum Romawi.
Adanya kepercayaan pada hukum alam yang asasi, yang dianggap sebagai suatu
hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap waktu (zaman) dan tempat, oleh
karena itu mereka yang menerima hukum alam ini dapat melepaskan dirinya dari
hukum Romawi yang telah dipelajari di negara Italia dan Perancis Selatan, maka
biasanya mereka menyamakan hukum alam itu hukum Romawi.
Salah satu negara di Eropah yang meresepsi hukum Romawi adalah Perancis.Hal
ini dikarenakan dalam sejarahnya Perancis pernah ditaklukan oleh Caesar, kira-
kira 50 tahun sebelum Masehi. Kemudian dalam abad ke-5 sesudah Masehi,
timbullah perubahan dimana bangsa Germania memasuki Gallia. Mula-mula
bangsa Wetsgota yang menduduki barat dayaGallia.
Kemudian bangsa Salis Franka dibawah Clovis mengalahkan daerah sebelah utara
sungaiLoire dan dibawah para penggantinya, mengalahkan juga daerah
bangsa Bourgundi danWestgota (kecuali Languedoc) yang dimasukkan ke dalam
daerah kerajaan Perancis.
Kaisar Napoleon pada tanggal 12 Agustus 1800 membentuk suatu panitia
yaitu Portalis, Trochet, Bigot de Preameneu dan Malleville yang ditugaskan untuk
membuat rancangankodifikasi. Sumber bahan kodifikasi adalah hukum Romawi
menurut Peradilan Perancis dan menurut tafsiran yang dibuat
oleh Potier dan Domat, hukum kebiasaan daerah Paris (Coutame de Paris),
peraturan perundangan yang disebut ordonansi dan hukum yang dibuat pada
waktu Revolusi Perancis (hukum Intermedier atau hukum sementara waktu).
Hasilkodifikasi ini kemudian diumumkan pada tanggal 21 Maret 1804. Pada tahun
1807 diundangkan menjadi ”Code Napoleon”.
Pada abad ke XVIII ada dua peristiwa yang menggemparkan, yang mempunyai
pengaruh besar terhadap opni publik yaitu mengenai pedagang JEAN CALAS
(1762) di Toulouse dijatuhi hukuman mati. VOLTAIRE telah menggugatnya dan
meminta supaya diadakan pemeriksaan revisi. Pemeriksaan revisi terjadi pada
tahun 1765, dimana dinyatakan bahwa JEAN CALAS tidak bersalah dan putusan
yang pertama dibatalkan; tetapi nyawa JEAN CALAS sudah tidak ada lagi;
Peristiwa kedua yang terjadi pada waktu 1764, adalah tulisan BECCARIA “Dei
delitti e delle pene” yang memprotes pelaksanaan hukuman-hukuman yang diluar
peri kemanusiaan dan kejamnya hukuman-hukuman. Kedua peristiwa itu, di
samping memberikan anjuran pemakai akal budi pada zaman RENAISSANCE
(Aufklarung), sangat banyak pengaruhnya terhadap pembaharuan hukum pidana.
Pada tahun 1791 setelah Revolusi Perancis terbentuk CODE PENAL yang pertama
yang dalam banyak hal dipengaruhi oleh jalan pikirannya BECCARIA. Pada tahun
1810 dalam pemerintah NAPOLEON yang berlaku hingga saat ini, Code Penal
tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran dari seorang utilist Inggris yang
bernama BENTHAM. Hukum Pidana ini dalam banyak hal masih ditujukan untuk
menakut-nakuti, terutama terlihat dari ancaman pidananya.
Teori Hukum Tata Negara mulai mendapat perhatian dan berkembang pesat
pada saat bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Salah satu arus utama dari era
reformasi adalah gelombang demokratisasi. Demokrasi telah memberikan ruang
terhadap tuntutan-tuntutan perubahan, baik tuntutan yang terkait dengan norma
penyelenggaraan negara, kelembagaan negara, maupun hubungan antara negara
dengan warga negara. Demokrasi pula yang memungkinkan adanya kebebasan dan
otonomi akademis untuk mengkaji berbagai teori yang melahirkan pilihan-pilihan
sistem dan struktur ketatanegaraan untuk mewadahi berbagai tuntutan tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut
telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tata Negara
Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma
dasar dalam kehidupan bernegara, seperti penegasan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan
adanya lembaga-lembaga baru dan hilangnya beberapa lembaga yang pernah ada;
(iii) Perubahan hubungan antar lembaga negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi
Manusia. Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum
sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek
ketatanegaraan sehingga berbagai kerangka teoritis masih sangat diperlukan untuk
mengembangkan dasar-dasar konstitusional tersebut.
Dengan demikian, media utama yang memuat pelaksanaan peran dan fungsi
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the
guardian and the sole interpreter of the constitution) adalah putusan-putusan yang
dibuat berdasarkan kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal
24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dengan kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi
dan perkembangannya dapat dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi, tidak saja yang amarnya mengabulkan permohonan, tetapi juga yang
ditolak atau tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu
putusan tidak seharusnya hanya dilihat dari amar putusan, tetapi juga sangat
penting untuk memahami pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang pada
prinsipnya memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait
dengan permohonan tertentu.
Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga
konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga
banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat
dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian
UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya
misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.