Anda di halaman 1dari 6

Perencanaan

Sebelum masuk dalam pembahasan perencanaan partisipatif ada baiknya jika kita
menyimak mode perencanaan yang ada, diantanranya model perencanaan bersifat Top
Down dan Bottom Up.

Perencanaan dengan model Top Down ini dilaksanakan oleh sekelompok elit politik,
melibatkan lebih banyak teknokrat, mengandalkan otoritas & diskresi. Adapun
argumentasi top-down adalah:

1. Efisiensi
2. Penegakan aturan (enforcement)
3. Konsistensi input-target-output
4. Publik/masyarakat masih sulit dilibatkan

Perencanaan dengan model Bottom Up ini dilaksanakan secara kolektif, melibatkan


unsur-unsur governance,mengandalkan persuasi, co-production. Dan argumentasi
bottom-up adalah:

1. Efektivitas
2. Kinerja (performance, outcome),bukan sekadar hasil seketika
3. Social virtue (kearifan sosial)
4. Masyarakat diasumsikan sudah paham hak-hak dan apa yang mereka butuhkan.

Partisipasi

Istilah Partisipasi menurut Mikkelsen biasanya digunakan di masyarakat dalam


berbagai makna umum, diantaranya: (2005, 53-54)

1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat dalam suatu proyek


(pembangunan), tetapi tanpa mereka ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan.
2. Partisipasi adalah proses membuat masyarakat menjadi lebih peka dalam rangka
menerima dan merespons berbagai proyek pembangunan.
3. Partisipasi adalah suatu proses aktif, yang bermakna bahwa orang ataupun kelompok
yang sedang ditanyakan mengambil inisiatif dan mempunyai otonomi untuk melakukan
hal itu.
4. Partisipasi adalah proses menjembatani dialog antara komunitas lokal dan pihak
penyelenggara proyek dalam rangka persiapan, pengimplenetasian, pemantauan dan
pengevaluasian staf agar dapat memperoleh informasi tentang konteks sosial maupun
dampak sosial proyek terhadap masyarakat.
5. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam perubahan yang
ditentukan sendiri oleh masyarakat.
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan,
kehidupan dan diri mereka sendiri.

Tiga bentuk partisipasi (Chambers dalam Mikkelsen, 2005, 54):

1. Cosmetic Label

Sering digunakan agar proyek yang diusulkan terlihat lebih cantik sehinga lembaga
donor maupun pihak pemerintah akan mau membiayai proyek tersebut.

2. Coopting Practice

Digunakan untuk memobilisasi tenaga-tenaga di tingkat lokal dan mengurangi


pembiayaan pryek.

3. Empowering Process

Dimaknai sebagai suatu proses yang memampukan masyarakat lokal untuk melakukan
analisis masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa
percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif
pemecahan masalah apa yang ingin mereka pilih.

Perencanaan Partisipatif

Perencanaan partisipatif mulai dikenal secara luas sejak munculnya metode partisipatif
yang biasa disebut Participatory Rural Appraisal. Metode ini menekankan adanya peran
serta aktif dari masyarakat dalam merencanakan pembangunan (penyelesaian
masalah) mulai dari pengenalan wilayah, pengidentifkasian masalah sampai pada
penentuan skala prioritas.

Perencanaan partisipatif saat ini mulai merambah ke tingkat makro atau lebih pada
pengembangan kebijakan, biasanya kegiatan ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga
Non Pemerintah (NGO’s). Selain itu perencanaan partisipatif banyak dilakukan di
tingkat mikro seperti pada tingkat masyarakat maupun di tingkat individu.

Secara garis besar perencanaan partisipatif mengandung makna adanya keikutsertaan


masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan, mulai dari melakukan analisis
masalah mereka, memikirkan bagaimana cara mengatasinya, mndapatkan rasa
percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri tentang alternatif
pemecahan masalah apa yang ingin mereka atasi.
Tiga alasan utama mengapa perencanaan partisipatif dibutuhkan, yaitu (Conyers, 1991,
154-155)

1. Alasan pertama partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh


informasi mengenai kondisi, kebutuhandan sikap masyarakat setempat yang tanpa
kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
2. Alasan kedua adalah bahwa masyarakat akan lebih mempercayai kegiatan atau proram
pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya,
karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut dan akan
mempunyai rasa memiliki terhadap program tersebut.
3. Alasan ketiga adalah karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi
bila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan.

Alasan lainnya dikemukakan oleh Amartya Sen dimana Ia mengemukana ada 3 alasan
mengapa harus ada demokasi dan Perencanaan Partisipatif (Amartya Sen, 1999:148)

1. Demokrasi dan partisipasi sangat penting peranannya dalam pengembangan


kemampuan dasar.
2. Instrumental role untuk memastikan bahwa rakyat bisa mengungkapkan dan
mendukung klaim atas hak-hak mereka, di bidang politik maupun ekonomi
3. Constructive role dalam merumuskan “kebutuhan” rakyat dalam konteks sosial.

Sejarah Partisitasi dalam Pembangunan

Pada tahun 1960-an, yang dimaksud dengan partisipasi adalah adanya transfer atau
alih pengetahuan atau teknologi dari luar untuk menjadikan orang atau masyarakat
mampu menolong dirinya sendiri.

Pada tahun 1970-an Partisipasi lebih dikenal sebagai usaha untuk mengentaskan
kemiskinan dan berkaitan dengan kases terhadap sumber-sumber pembangunan. Ada
3 perspektif besar:

1. Masyarakat berpartisipasi sebagai pihak yang menerima manfaat dari pembangunan.


Partisipasi dilakukan untuk masyarakat, umumnya masyarakat diundang untuk
ditanyakan apa kebutuhan mereka yang nantinya akan dimasukkan dalam program
pembangunan.
2. Partisipasi dilihat sebagai suatu proses dan di kendalikan oleh orang-orang yang
mengenalikan pembangunan. Partisipasi ini berkaitan pula dengan demokrasi dan
keadilan.
3. Partisipasi melibatkan bekerja dengan masyarakat daripada bekerja untuk mereka.
Partisipasi bentuk ini lebih melihat hubungan antara pelaksana pembangunan dan
pemanfaan hasil pembangunan.
Pada tahun 1980-an Partisipasi dikenal dengan istilah Proyek dalam Masyarakat, dan
ini menyebabkan semakin dikenalnya partisipasi sebagai suatu pendekatan dalam
proyek-proyek dan program-program pembangunan. Terdapat 2 paradigma yang
berkembang saat ini, yaitu:

1. Metode yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga seperti Stakeholder analysis, social


analysis, beneficiary assessment, logical framework analysis. Semua ini merupakan
toolkits yang diterapkan oleh perencana sosial untuk mempromosikan partisipasi
ditingkat pemangku kepentingan dalam melakukan pengidentifikasian di tingkat awal.
2. Metode-metode yang dipromosikan oleh pengembang metode partisipatori seperti PRA,
Rapid Rural Appraisal, Partisipatory Learning and Action, Partisipatory Appraisal and
Learning Methods dan sebagainya yang memungkina masyarakat untuk berbagi,
mengenal dan menganalisa pengetahuan yang mereka miliki serta kondisi mereka dan
melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Pada tahun 1990-an Partisipasi lebih dilihat sebagai kemitraan, koordinasi atau
kepemilikan dari program dan adanya fungsi kontrol/ kendali dari masyarakat itu sendii
terhadap sumber daya yang mereka miliki. Pada dekade ini mulai ada perubahan
paradigma mengenai apa yang disebut masyarakat, mulai ada perubahan dari
penerima manfaat dari pembangunan kepada pemangku kepentingan, dengan asumsi
kalau masyarakat disebut sebagai penerima manfaat sifatnya lebih pasif dibandingkan
dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan.

Pada tahun 2000-an Partisipasi mulai berubah yang dahulu hanya berkisar pada
lingkungan mikro saat ini mulai merambah ke tataran makro, dengan adanya partisipasi
dalam penentuan atau pembentukan kebijakan.

Tipologi Partisipasi Masyarakat atau Individu

Passive Participation, masyarakat berpartisipasi karena memang diharuskan untuk


ikut serta dalam proses pembangunan, tanpa ada kemampuan untuk merubah.

Participation in information giving, partisipasi masyarakat hanya sebatas


memberikan informasi yang dibutuhkan oleh perencana pembangunan dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Namun masyarakat tidak punya
kemampuan untuk mempengaruhi mempengaruhi dalam pembuatan pertanyaan, dan
tidak ada kesempatan untuk mencek ketepatan dari hasil penelitian yang telah
dilakukan.

Participation by consultation, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk


konsultasi, ada pihak luar sebagai pendengar yang berusaha mendefinisikan
permasalahan yang dihadapi masyarakat dan merumuskan solusinya. Dalam proses
konsultasi ini tidak ada pembagian dalam penentuan keputusan, semua dikerjakan oleh
pihak luar yang diberi mandat untuk mngerjakan ini.

Participation for material incentives, partisipasi ini lebih pada masyarakat


memberikan sumber daya yang mereka punya seperti tenaga dan tanah, kemudian
akan diganti dalam bentuk makanan, uang, atau penggantian dalam bentuk materi
lainnya.

Functional participation, partisipasi masyarakat terjadi dengan membentuk kelompok-


kelompok atau kepanitiaan yang diprakarsai/ didorong oleh pihak luar.

Interactive participation, masyarakat dilibatkan dalam menganalisis dan perencanaan


pembangunan. Dalam tipe partisipasi ini, kelompok mungkin saja dapat dibentuk
bersama-sama dengan lembaga donor dan mempunyai tugas untuk mengendalikan
dan memutuskan semua permasalahan yang terjadi di tingkat lokal.

Self-mobilization, masyarakat secara mandiri berinisiatif untuk melakukan


pembangunan tanpa ada campur tangan dari pihak luar, kalau pun ada, peran pihak
luar hanya sebatas membantu dalam penyusunan kerangka kerja. Mereka mempunyai
fungsi kontrol penuh terhadap sumber daya yang akan digunakan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakatnya.

Catalysing change, Partisipasi dengan membentuk agen perubah dalam masyarakat


yang nantinya dapat mengajak atau mempengaruhi masyarakatnya untuk melakukan
perubahan.

Optimum Participation, lebih memfokuskan pada konteks dan tujuan dari


pembangunan dan itu akan turut menetukan bentuk dari partisipasi yang akan
dipergunakan. Partisipasi akan optimal jika turut memperhatikan secara detail pada
siapa yang akan berpartisipasi karena tidak semua orang dapat berpartisipasi, dan
dengan metode ini pula dapat membantu menentukan strategi yang optimal dalam
pembangunan.

Manipulation, ada sejumlah partisipasi namun tidak memiliki kekuasaan yang nyata,
masyarakat membentuk suatu kelompok atau kepanitiaan namun tidak memiliki
kekuasaan untuk menentukan arah pembangunan.

Permasalahan dalam Perencanaan Partisipatif.


1. Keterlibatan masyarakat akan terjadi secara sukarela jika perencanaan dilakukan
secara desentralisasi, dan kegiatan pembangunan selalu diarahkan pada keadaan atau
kepentingan masyarakat. Jika hal ini tidak terjadi maka partisipasi masyarakat akan sulit
terjadi karena masyarakat tidak akan berpartisipasi jika kegiatan dirasa tidak menarik
minat mereka atau partisipasi mereka tidak berpengaruh pada rencana akhir.
2. Partisipasi akan sulit terjadi apabila di dalam suatu masyarakat tidak mengetahui atau
tidak mempunyai gagasan mengenai rangkaian pilihan yang seharusnya mereka pilih,
maka tidak mengherankan apabila masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, sering
meminta hal-hal yang tidak mungkin atau hal lain yang sebenarnya bukan merupakan
kebutuhan mereka. Jadi ada kemungkinan skala prioritas akan berbeda antara pihak
pemerintah dan masyarakat.
3. Batasan dari wilayah kerja dapat menjadi permasalahan, hal ini berkaitan dengan batas
wilayah administratif atau batas wilayah komunitas (adat). Terkadang masyarakat yang
akan dibina dibatasi oleh wilayah administratif (negara), namun pada kenyataannya
masyarakat yang akan dibina mempunyai suatu ikatan (batasan adat) lain yang turut
menetukan luas wilayah mereka. Hal ini berkaitan dengan penentuan wilayah kerja dan
pelibatan partisipasi masyarakat.
4. Permasalah lain adalah berkaitan dengan perwakilan yang ditunjuk, terkadang wakil
masyarakat yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan atau dalam pembuatan
perencanaan sosial tidak mengakomodir elemen-elemen yang ada di dalam
masyarakat, perlu diingat bahwa masyarakat tidak selalu homogen. Maka akan ada
potensi konflik apabila perwakilan yang ditunjuk tidak mengakomodir kepentingan
masyarakat.
5. Adanya kesenjangan komunikasi antara perencana sosial dengan petugas lapangan
yang bertugas mengumpulkan informasi guna penyusunan perencanaan sosial. Ada
usaha untuk melibatkan masyarakay lokal dalam pengumpulan informasi namun tingkat
kemampuan masyarakat lokal beragam dan terkadang tidak sesuai dengan harapan
para perencana.
6. Tidak terpenuhinya harapan juga turut menghambat adanya partisipasi msyarakat,
seperti tidak berpengaruhnya partisipasi mereka terhadap hasil pembangunan, adanya
ekspektasi yang berlebih dari masyarakat yang tidak terpenuhi, atau bahkan
pelaksanaan tidak sesuai dengan perencanaan yang telah disusun secara bersama.
7. Permasalah lain yang berkaitan dengan perencanaan partisipatif adalah adanya
anggapan bahwa perencanaan partisipatif adalah suatu kegiatan yang tidak efektif dan
membuang-buang waktu. Memang perencanaan partisipatif bukanlah suatu perkara
yang mudah, karena melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan membutuhkan
waktu, uang dan tenaga yang tidak sedikit. Perencanaan partisipatif pun membutuhkan
kapasitas organisasi yang tidak kecil.
8. Ada konflik yang timbul antara kepentingan daerah atau lokal dengan kepentingan
nasional. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang, disatu sisi
pemerintah pusat memandang bahwa hal tertentu merupakan prioritas utama, namun
disatu sisi pemerintah daerah atau masyarakat hal tersebut bukanlah prioritas utama.

https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2010/05/03/perencanaan-partisipatif/

Anda mungkin juga menyukai