Anda di halaman 1dari 4

Tak pernah sedikitpun aku menyesal mengenalmu

Kenal setiap orang punya kisahnya masing-masing..


Punya pelajarannya masing-masing.
Dan kisah denganmulah yang terindah,
Sekaligus yang terperih.
Tapi aku bersyukur. Terima kasih.

Waktu berlalu begitu cepat. Entah mengapa hubungan ini semakin membosankan. Adakah yang
berubah denganmu? Atau bahkan denganku? Mengapa ini tak seperti hari-hari dimana kita baru
saling mengenal dulu? Mengapa kalimat yang terucap kini tak semanis dahulu? Mengapa sikapmu
tak seperti dulu? Seiring berjalannya waktu, perlahan mulai sibuk, kemudian menghilang. Jujur,
aku rindu kau yang dulu. Kau yang selalu bisa membuatku tesenyum dengan hal-hal sederhana
yang kau lakukan, kau yang selalu bisa membuatku merasa menjadi gadis paling bahagia saat
bersamamu, dan kau yang selalu ada disaat aku butuh bantuan, disaat aku butuh bahu untuk
bersandar, juga disaat aku butuh seseorang untuk mendengarkan segala keluh kesahku.
Dimana kau yang dulu? Ada apa? Adakah yang salah? Bolehkah aku diberi alasan? Agar aku tak
terus-menerus terpuruk dalam pemikiranku sendiri. Banyak hal yang terlintas. Sangat banyak.
Tapi hati kecilku memaksaku untuk percaya padamu. Tentu saja aku percaya. Jika tidak, mengapa
aku bertahan sampai sejauh ini?

Tapi, si egois dalam diriku, otak. Ia selalu memaksaku untuk berhenti berharap pada hubungan
yang kini tak tahu entah bagaimana akan berjalan ke depannya. Bukannya aku tak mencintaimu.
Tidak, aku benar-benar mencintaimu. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tahu, lebih dari yang
selama ini sering kuucapkan kepadamu. Tapi harus kau tahu, aku lelah. Bukan bosan, hanya lelah.
Jangan salah paham.

Hati dan otakku masih saling berperang menentukan siapa yang harus menang. Hati mengatakan
bahwa aku harus mempertahankan yang kucintai, apapun konsekuensinya, meski aku harus
terluka. Tapi otak sebaliknya. Ia mengatakan bahwa aku harus bisa memikirkan kebahagiaanku
juga. Aku harus bisa menyadarkan diri sendiri bahwa masih ada yang lebih baik darinya, yang
lebih bisa memberiku kenyamanan lebih darinya.

Tapi aku terlalu bodoh untuk berpikir saat ini. Aku terlalu mencintainya, sehingga aku
memutuskan untuk mengikuti kata hatiku. Aku bersedia menerima segala konsekuensi yang
mungkin saja akan kutanggung dengan berat hati nantinya. Aku pernah membaca sebuah kalimat,
“Jika dia layak untuk dipertahankan, pertahankan. Jika tidak, jangan membuang-buang waktu.”

Kurasa dia layak untuk kupertahankan. Meskipun sekarang aku mulai ragu. Tapi aku tak ingin ini
semua berakhir. Aku ingat masa perkenalan kami begitu lama. Aku ingat ketika ia menyatakan
cintanya untuk yang pertama kalinya padaku saat kami baru berkenalan kurang dari dua bulan,
aku menolaknya dengan alasan aku hanya ingin berteman dengannya. Aku juga ingat, setelah itu..
seiring dengan berjalannya waktu, rasa itu mulai tumbuh. Rasa yang benar-benar sulit untuk
kujelaskan. Rasa yang mulai tumbuh hanya dengan sebuah nyanyian yang dikirimnya untukku.
Ya, aku lupa menceritakannya pada kalian. Dia berada di tempat yang jauh dariku. Berbeda kota,
kabupaten, bahkan provinsi denganku, meskipun kami berada di pulau yang sama. Kami belum
pernah bertatap muka, sekalipun tak pernah. Kami hanya berjumpa via media sosial. Mungkin ini
terdengar sedikit aneh. Aku mengenal cinta pertamaku melalui media sosial.

Boleh kusebut ini cinta pertama? Sebelumnya aku dekat dengan beberapa pria, tapi tak ada yang
bisa membuatku tergila-gila sepertinya. Meskipun sebelumnya kuakui aku pernah menyukai
beberapa pria, tapi tak pernah kuungkapkan, masih sanggup kupendam, dan aku bisa bersikap
biasa saja dengan mereka. Tapi dengannya? Aku bahkan berani untuk mengungkapkan apa yang
kurasa, meskipun itu hanya melalui social media. Aku berani mengatakan padanya bahwa aku tak
pernah bisa berhenti memikirkannya, aku tak pernah bisa berpaling darinya, dan sebagainya. Gila,
bukan?

Dia pria yang selalu kusebutkan tanpa henti dalam setiap doaku. Dia pria pertama yang kulibatkan
dalam setiap denyut jantungku, dalam setiap pemikiranku, dan dalam setiap hembusan napasku.
Ah, dia benar-benar yang pertama.

Mereka berucap..
“Apa yang kau lihat darinya?”
“Mengapa menyukainya? Dia tak setampan mereka..”
Tahukah kau apa jawabanku?
“Aku tertarik dengan segala yang tak kalian lihat darinya. Aku tidak peduli, selama dia bisa
membuatku nyaman.”

Aku benar-benar bahagia saat mengetahui bahwa dia masih memiliki perasaan yang sama
kepadaku. Rasanya.. ah, tak bisa kujelaskan. Aku sangat bahagia. Dia mengatakan bahwa dia
menyayangiku, dia mencintaiku, dan dia ingin menjagaku. Aku bingung harus bagaimana.
Menangis haru? Atau tersenyum tanpa henti saking bahagianya? Peduli apa? Yang jelas aku benar-
benar bahagia saat itu.

Dia bertanya, bolehkah ia menjadi kekasihku? Tentu saja aku mau. Wanita mana yang tak bahagia
saat cintanya terbalaskan? Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujuinya.

Tapi apa yang terjadi? Dia mencintaiku hanya di awal saja.


Seiring berjalannya waktu, dia mulai sibuk, lalu perlahan menghilang.. bahkan lenyap. Permainan
macam apa ini? Dia bahkan tidak pernah lagi menanyakan kabarku.

Seolah-olah dia hanya bermain-main denganku.

Namun, lagi-lagi hatiku memintaku untuk berpikir lebih positif. Mungkin dia memang sedang
sibuk. Mungkin dia tidak memberi kabar karena dia butuh istirahat, dan sebagai seorang kekasih
yang baik, aku harus mengerti. Dia juga butuh ruang untuk melepas lelah. Aku tidak boleh egois.
Aku akan tunggu sampai dia tidak sibuk.
Tapi tetap saja aku gelisah. Sudah beberapa hari ia tidak memberi kabar. Mungkinkah dia sedang
malas menghubungiku? Mungkinkah dia sedang tidak mempunyai mood yang baik untuk
membalas pesanku? Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di benakku.

Kau seperti angin.


Datang membelaiku sesaat dengan sejukmu.
Dan saat aku sudah merasa nyaman dan terbuai..
Kau pergi begitu saja.
Disaat aku belum sempat meraihmu.

Yang kutakutkan akhirnya datang juga. Dia mengirimkan sebuah pesan untukku.
“Bisakah kita bicara?”

Mungkin karena begitu lama ia tidak mengirimkan pesan padaku, aku dengan sumringah
membalasnya.
“Iya, boleh. Ada apa?”

“Hmm, bisakah kita sampai di sini saja? Aku sepertinya tidak bisa membagi waktuku. Ini benar-
benar sulit. Kupikir kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku.”

Deg!
Apa ini? Jantungku serasa berhenti sejenak. Aku merasa sangat sulit untuk menghirup oksigen
dengan baik. Aku kehabisan kata-kata.

“Tapi aku bisa ngerti kamu. Aku bisa ngerti kamu sibuk. Aku nggak minta buat harus selalu
diutamakan. Aku akan selalu nunggu sampai kamu nggak sibuk.”

“Kalau aku sibuk terus, gimana? Kupikir kita sampai di sini saja. Kau butuh pria yang bisa lebih
peduli padamu.”

Entah mengapa, sesuatu dalam diriku mengatakan padaku untuk tetap bertahan. Sesuatu dalam
diriku seolah berbisik padaku bahwa dia akan kembali.

“Ya sudah, terima kasih untuk semuanya. Meskipun kau jarang punya waktu untukku, tapi aku
selalu bersyukur bisa diberi kesempatan bersamamu. Aku benar-benar mencintaimu, tapi aku tak
ingin egois, jika ini memang pilihanmu. Ingat, aku tak akan pernah mencari penggantimu. Aku
akan tetap menunggumu, sampai kapanpun.”

Kurasa aku kehilangan akal sehatku sekarang. Yang ada di pikiranku hanyalah dia. Bagaimana
mungkin dia berkata putus begitu saja disaat aku sudah benar-benar merasa nyaman?

Bagaimana mungkin dia mengakhiri segalanya, padahal beberapa jam yang lalu dia memanggilku
‘sayang’? Ah, ini benar-benar gila.

Kuharap ini hanya mimpi. Mimpi yang akan berakhir disaat aku bangun nanti. Mimpi buruk yang
akan kulupakan beberapa saat setelah aku bangun tidur nanti.

“Okay. Terima kasih kembali. Maaf sudah membuatmu sakit hati. Maaf sudah membuatmu merasa
telah memberikan cinta pada orang yang salah. Aku benar-benar minta maaf. Jika jodoh, kita pasti
akan dipertemukan kembali.”

Balasan darinya kini benar-benar membuatku sadar. Sadar bahwa ini benar-benar nyata. Semuanya
sudah berakhir.

Aku menghempaskan ponselku ke tempat tidur, lalu menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku
merasakan telapak tanganku basah. Mengapa aku sebodoh ini? Mengapa aku mencintainya terlalu
dalam? Dan mengapa akhirnya seperti ini?

Bertahan tanpanya? Tentu saja aku bisa.


Kalaupun tidak, aku harus bisa.

Setelah hari-hari sulit berlalu, aku harus berbuat apa? Bertanya pada diriku sendiri, apakah aku
sudah sanggup melangkah tanpanya? Tentu saja aku akan mengiyakan dengan sangat yakin di
bibirku, meski dalam hati aku benar-benar berteriak bahwa aku masih mengarapkannya kembali.
Tapi apakah itu akan mengubah segalanya? Tentu tidak, bukan? Kupikir merengek untuk kembali
adalah sebuah kesalahan. Mungkin memang bukan benar-benar kesalahan, sejujurnya dalam hati
aku menganggap itu adalah suatu hal memalukan.

Tapi ternyata masih sama saja rindunya. Puluhan, bahkan ratusan kali aku membantah, dan
meyakinkan diriku bahwa rasa itu tak lagi ada. Namun, rindu tetap saja rindu. Terselip di setiap
mimpi, mengacaukan pikiran, dan selalu saja membangkitkan hal-hal yang selalu kucoba untuk
hempaskan dari ingatan.
Tidak pernahkah terlintas di benakmu tentang hari-hari yang telah lalu? Tentang rahasia-rahasia
yang kita ciptakan sendiri?

Tapi setidaknya.. semuanya telah berlalu. Kupikir aku sudah benar-benar sanggup sekarang.
Semua yang menyesakkan berangsur-angsur membaik. Semua yang telah kau rusak, perlahan tapi
pasti kupulihkan sendiri. Aku sudah bisa menghapus secuil dari puluhan ribu kenangan, meski itu
dengan susah payah. Tunggu saja, akan ada saatnya, semua kenangan itu akan benar-benar
menghilang.

Semoga semesta tidak bermain-main lagi mempertemukan kita, tak terduga suatu hari nanti. Sebab
tanpamu, nyatanya aku bisa hidup dalam dunia yang kucintai sendiri.
Selamat tinggal, kenangan..

Anda mungkin juga menyukai