Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

“PENGARUH OBAT PADA LANSIA”

Dosen Pembimbing :

Sajiman, SKM, M.Gizi

Siti Mas’odah, S.Pd., M.Gizi

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Eka Hervina NIM P07131216101

Muhammad Zailani NIM P07131216117

Muna Izzati NIM P07131216118

Siti Rahmah NIM P07131216132

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BANJARMASIN

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV JURUSAN GIZI

2019
1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan
struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas
(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006).
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998
tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).
Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada
dewasa muda, karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari
kelainan-kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya, sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Demikian juga, masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda
dari orang dewasa, yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan
istilah 14 I, yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan
berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil dan
atau buang air besar), intellectual impairment (gangguan
intelektual/dementia), infection (infeksi), impairment of vision and hearing,
taste, smell, communication, convalescence, skin integrity (gangguan
pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit buang air
besar), isolation (depresi), inanition (kurang gizi), impecunity (tidak punya
uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), insomnia
(gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun),
impotence (impotensi).

2
Masalah kesehatan utama tersebut di atas yang sering terjadi pada lansia
perlu dikenal dan dimengerti oleh siapa saja yang banyak berhubungan dengan
perawatan lansia agar dapat memberikan perawatan untuk mencapai derajat
kesehatan yang seoptimal mungkin dan menyebabkan lansia memperoleh
pengobatan yang banyak jenisnya. Pemberian obat atau terapi untuk kaum
lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi.
Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia
mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan
interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga
pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian
banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara
logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara
demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian
dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian.
Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang
biasanya menderita lebih dari satu penyakit.
Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak
masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada
golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak
obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko
lebih besar untuk mengalami pengaruh, efek samping dan interaksi obat yang
merugikan (Anonim, 2004).

1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan lansia
b. Untuk mengetahui apa saja pengaruh pemberian obat pada usia lanjut
c. Untuk mengetahui bagaimana interaksi obat dan makanan pada usia lanjut
d. Untuk mengetahui apa saja obat - obat yang sering diresepkan pada usia
lanjut dan pertimbangan pemakaian
e. Untuk mengetahui apa saja prinsip pengobatan pada usia lanjut

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lansia (Geriatri)


Geriatri atau lanjut usia didefinisikan sebagai individu berusia di atas 60
tahun dan sering kali perubahan-perubahan yang terjadi pada geriatri
dibandingkan dengan keadaannya pada usia produktif dikaitkan dengan
terjadinya proses penuaan (WHO, 2013). Penuaan merupakan akumulasi
perubahan yang progresif. Penuaan dapat menurunkan kemampuan untuk
mengatasi tekanan ekstemal. Selain itu, variabilitas antarindividu dalam
respon fisiologis meningkat dengan peningkatan usia. Penuaan bukanlah
entitas tunggal tetapi istilah kolektif yang mewakili jumlah efek kumulatif
pada tingkatan molekul, selular dan tingkat jaringan. Karakteristik umum dari
penuaan adalah menurun hingga hilangnya fungi organ tubuh, misalnya
nefron, alveoli atau neuron. Karakteristik selanjutnya adalah terganggunya
beberapa proses regulasi yang mengintegrasikan fungsional antara sel-sel dan
organ. Akibatnya, ada kegagalan untuk mempertahankan homeostasis di
bawah kondisi-kondisi stres fisiologis tersebut (Mangoni and Jackson, 2003).
Menurut WHO Pembagian terhadap populasi berdasarkan usia lanjut
meliputi tiga tingkatan yaitu :
o Lansia (elderly) dengan kisaran umur 60-75 tahun
o Tua (old) dengan kisaran umur 75-90 tahun
o Sangat tua (very old) dengan kisaran umur > dari 90 tahun
Masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari orang
dewasa, yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I,
yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil
atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air
besar), intellectual impairment (gangguan intelektual/dementia), infection
(infeksi), impairment of vision and hearing, taste, smell, communication,
convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi,
penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi),
inanition (kurang gizi), impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita

4
penyakit akibat obat-obatan), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency
(daya tahan tubuh yang menurun), impotence (impotensi).
Masalah kesehatan utama tersebut di atas yang sering terjadi pada lansia
perlu dikenal dan dimengerti oleh siapa saja yang banyak berhubungan dengan
perawatan lansia agar dapat memberikan perawatan untuk mencapai derajat
kesehatan yang seoptimal mungkin.

Masalah Kesehatan:
1. Kurang bergerak: gangguan fisik, jiwa, dan faktor lingkungan dapat
menyebabkan lansia kurang bergerak. Penyebab yang paling sering adalah
gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf, dan penyakit jantung dan
pembuluh darah.
2. Instabilitas: penyebab terjatuh pada lansia dapat berupa faktor intrinsik
(hal-hal yang berkaitan dengan keadaan tubuh penderita) baik karena
proses menua, penyakit maupun faktor ekstrinsik (hal-hal yang berasal
dari luar tubuh) seperti obat-obat tertentu dan faktor lingkungan. Akibat
yang paling sering dari terjatuh pada lansia adalah kerusakan bahagian
tertentu dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit, patah tulang, cedera
pada kepala, luka bakar karena air panas akibat terjatuh ke dalam tempat
mandi. Selain daripada itu, terjatuh menyebabkan lansia tersebut sangat
membatasi pergerakannya.
3. Beser: beser buang air kecil (bak) merupakan salah satu masalah yang
sering didapati pada lansia, yaitu keluarnya air seni tanpa disadari, dalam
jumlah dan kekerapan yang cukup mengakibatkan masalah kesehatan atau
sosial. Beser bak merupakan masalah yang seringkali dianggap wajar dan
normal pada lansia, walaupun sebenarnya hal ini tidak dikehendaki terjadi
baik oleh lansia tersebut maupun keluarganya. Akibatnya timbul berbagai
masalah, baik masalah kesehatan maupun sosial, yang kesemuanya akan
memperburuk kualitas hidup dari lansia tersebut. Lansia dengan beser bak
sering mengurangi minum dengan harapan untuk mengurangi keluhan
tersebut, sehingga dapat menyebabkan lansia kekurangan cairan dan juga
berkurangnya kemampuan kandung kemih. Beser bak sering pula disertai

5
dengan beser buang air besar (bab), yang justru akan memperberat keluhan
beser bak tadi.
4. Gangguan intelektual: merupakan kumpulan gejala klinik yang meliputi
gangguan fungsi intelektual dan ingatan yang cukup berat sehingga
menyebabkan terganggunya aktivitas kehidupan shari-hari. Kejadian ini
meningkat dengan cepat mulai usia 60 sampai 85 tahun atau lebih, yaitu
kurang dari 5 % lansia yang berusia 60-74 tahun mengalami dementia
(kepikunan berat) sedangkan pada usia setelah 85 tahun kejadian ini
meningkat mendekati 50 %. Salah satu hal yang dapat menyebabkan
gangguan interlektual adalah depresi sehingga perlu dibedakan dengan
gangguan intelektual lainnya.
5. Infeksi: merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting pada
lansia, karena selain sering didapati, juga gejala tidak khas bahkan
asimtomatik yang menyebabkan keterlambatan di dalam diaggnosis dan
pengobatan serta risiko menjadi fatal meningkat pula. Beberapa faktor
risiko yang menyebabkan lansia mudah mendapat penyakit infeksi karena
kekurangan gizi, kekebalan tubuh: yang menurun, berkurangnya fungsi
berbagai organ tubuh, terdapatnya beberapa penyakit sekaligus
(komorbiditas) yang menyebabkan daya tahan tubuh yang sangat
berkurang. Selain daripada itu, faktor lingkungan, jumlah dan keganasan
kuman akan mempermudah tubuh mengalami infeksi.
6. Gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit: akibat
prosesd menua semua pancaindera berkurang fungsinya, demikian juga
gangguan pada otak, saraf dan otot-otot yang digunakan untuk berbicara
dapat menyebabkn terganggunya komunikasi, sedangkan kulit menjadi
lebih kering, rapuh dan mudah rusak dengan trauma yang minimal.
7. Sulit buang air besar (konstipasi): beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya konstipasi, seperti kurangnya gerakan fisik, makanan yang
kurang sekali mengandung serat, kurang minum, akibat pemberian obat-
obat tertentu dan lain-lain. Akibatnya, pengosongan isi usus menjadi sulit
terjadi atau isi usus menjadi tertahan. Pada konstipasi, kotoran di dalam
usus menjadi keras dan kering, dan pada keadaan yang berat dapat terjadi

6
akibat yang lebih berat berupa penyumbatan pada usus disertai rasa sakit
pada daerah perut.
8. Depresi: perubahan status sosial, bertambahnya penyakit dan
berkurangnya kemandirian sosial serta perubahan-perubahan akibat proses
menua menjadi salah satu pemicu munculnya depresi pada lansia. Namun
demikian, sering sekali gejala depresi menyertai penderita dengan
penyakit-penyakit gangguan fisik, yang tidak dapat diketahui ataupun
terpikirkan sebelumnya, karena gejala-gejala depresi yang muncul
seringkali dianggap sebagai suatu bagian dari proses menua yang normal
ataupun tidak khas. Fejala-gejala depresi dapat berupa perasaan sedih,
tidak bahagia, sering menangis, merasa kesepian, tidur terganggu, pikiran
dan gerakan tubuh lamban, cepat lelah dan menurunnya aktivitas, tidak
ada selera makan, berat badan berkurang, daya ingat berkurang, sulit untuk
memusatkan pikiran dan perhatian, kurangnya minat, hilangnya
kesenangan yang biasanya dinikmati, menyusahkan orang lain, merasa
rendah diri, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, merasa bersalah
dan tidak berguna, tidak ingin hidup lagi bahkan mau bunuh diri, dan
gejala-gejala fisik lainnya. Akan tetapi pada lansia sering timbul depresi
terselubung, yaitu yang menonjol hanya gangguan fisik saja seperti sakit
kepala, jantung berdebar-debar, nyeri pinggang, gangguan pencernaan dan
lain-lain, sedangkan gangguan jiwa tidak jelas.
9. Kurang gizi: kekurangan gizi pada lansia dapat disebabkan perubahan
lingkungan maupun kondisi kesehatan. Faktor lingkungan dapat berupa
ketidaktahuan untuk memilih makanan yang bergizi, isolasi sosial
(terasing dari masyarakat) terutama karena gangguan pancaindera,
kemiskinan, hidup seorang diri yang terutama terjadi pada pria yang sangat
tua dan baru kehilangan pasangan hidup, sedangkan faktor kondisi
kesehatan berupa penyakit fisik, mental, gangguan tidur, alkoholisme,
obat-obatan dan lain-lain.
10. Tidak punya uang: dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan
fisik dan mental akan berkurang secara perlahan-lahan, yang menyebabkan
ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau menyelesaikan

7
pekerjaannya sehingga tidak dapat memberikan penghasilan. Untuk dapat
menikmati masa tua yang bahagia kelak diperlukan paling sedikit tiga
syarat, yaitu :memiliki uang yang diperlukan yang paling sedikit dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, memiliki tempat tinggal yang
layak, mempunyai peranan di dalam menjalani masa tuanya.
11. Penyakit akibat obat-obatan: salah satu yang sering didapati pada lansia
adalah menderita penyakit lebih dari satu jenis sehingga membutuhkan
obat yang lebih banyak, apalagi sebahagian lansia sering menggunakan
obat dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dokter dapat
menyebabkan timbulnya penyakit akibat pemakaian obat-obat yaqng
digunakan.
12. Gangguan tidur: dua proses normal yang paling penting di dalam
kehidupan manusia adalah makan dan tidur. Walaupun keduanya sangat
penting akan tetapi karena sangat rutin maka kita sering melupakan akan
proses itu dan baru setelah adanya gangguan pada kedua proses tersebut
maka kita ingat akan pentingnya kedua keadaan ini. Jadi dalam keadaan
normal (sehat) maka pada umumnya manusia dapat menikmati makan
enak dan tidur nyenyak. Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering
dilaporkan oleh para lansia, yakni sulit untuk masuk dalam proses tidur.
tidurnya tidak dalam dan mudah terbangun, tidurnya banyak mimpi, jika
terbangun sukar tidur kembali, terbangun dinihari, lesu setelah bangun
dipagi hari.
13. Daya tahan tubuh yang menurun: daya tahan tubuh yang menurun pada
lansia merupakan salah satu fungsi tubuh yang terganggu dengan
bertambahnya umur seseorang walaupun tidak selamanya hal ini
disebabkan oleh proses menua, tetapi dapat pula karena berbagai keadaan
seperti penyakit yang sudah lama diderita (menahun) maupun penyakit
yang baru saja diderita (akut) dapat menyebabkan penurunan daya tahan
tubuh seseorang. Demikian juga penggunaan berbagai obat, keadaan gizi
yang kurang, penurunan fungsi organ-organ tubuh dan lain-lain.
14. Impotensi: merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan atau
mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan sanggama yang

8
memuaskan yang terjadi paling sedikit 3 bulan. Menurut Massachusetts
Male Aging Study (MMAS) bahwa penelitian yang dilakukan pada pria
usia 40-70 tahun yang diwawancarai ternyata 52 % menderita disfungsi
ereksi, yang terdiri dari disfungsi ereksi total 10 %, disfungsi ereksi sedang
25 % dan minimal 17 %. Penyebab disfungsi ereksi pada lansia adalah
hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin sebagai adanya kekakuan
pada dinding pembuluh darah (arteriosklerosis) baik karena proses menua
maupun penyakit, dan juga berkurangnya sel-sel otot polos yang terdapat
pada alat kelamin serta berkurangnya kepekaan dari alat kelamin pria
terhadap rangsangan. (Siburian, 2009).

2.2 Penyakit yang Sering Terjadi Pada Lansia


Nina Kemala Sari dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam RS Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dalam suatu pelatihan di kalangan kelompok peduli lansia,
menyampaikan beberapa masalah yang kerap muncul pada usia lanjut ,
yang disebutnya sebagai a series of I’s. Mulai dari immobility
(imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence
(inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection
(infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan
pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia
(ganguan tidur), hingga immune deficiency (menurunnya kekebalan
tubuh).
Selain gangguan-gangguan tersebut, Nina juga menyebut tujuh
penyakit kronik degeratif yang kerap dialami para lanjut usia, yaitu:
a. Osteo Artritis (OA)
OA adalah peradangan sendi yang terjadi akibat peristiwa mekanik
dan biologik yang mengakibatkan penipisan rawan sendi, tidak
stabilnya sendi, dan perkapuran. OA merupakan penyebab utama
ketidakmandirian pada usia lanjut, yang dipertinggi risikonya karena
trauma, penggunaan sendi berulang dan obesitas.
b. Osteoporosis

9
Osteoporosis merupakan salah satu bentuk gangguan tulang
dimana masa atau kepadatan tulang berkurang. Terdapat dua jenis
osteoporosis, tipe I merujuk pada percepatan kehilangan tulang selama
dua dekade pertama setelah menopause, sedangkan tipe II adalah
hilangnya masa tulang pada usia lanjut karena terganggunya produksi
vitamin D.
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama
atau lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari
90mmHg, yang terjadi karena menurunnya elastisitas arteri pada
proses menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya
stroke, kerusakan pembuluh darah (arteriosclerosis), serangan/gagal
jantung, dan gagal ginjal
d. Diabetes Mellitus
Sekitar 50% dari lansia memiliki gangguan intoleransi glukosa
dimana gula darah masih tetap normal meskipun dalam kondisi puasa.
Kondisi ini dapat berkembang menjadi diabetes melitus, dimana kadar
gula darah sewaktu diatas atau sama dengan 200 mg/dl dan kadar
glukosa darah saat puasa di atas 126 mg/dl. Obesitas, pola makan yang
buruk, kurang olah raga dan usia lanjut mempertinggi risiko DM.
Sebagai ilustrasi, sekitar 20% dari lansia berusia 75 tahun menderita
DM. Beberapa gejalanya adalah sering haus dan lapar, banyak
berkemih, mudah lelah, berat badan terus berkurang, gatal-gatal, mati
rasa, dan luka yang lambat sembuh.
e. Dimensia
Merupakan kumpulan gejala yang berkaitan dengan kehilangan
fungsi intelektual dan daya ingat secara perlahan-lahan, sehingga
mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari. Alzheimer merupakan
jenis demensia yang paling sering terjadi pada usia lanjut. Adanya
riwayat keluarga, usia lanjut, penyakit vaskular/pembuluh darah
(hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi), trauma kepala merupakan

10
faktor risiko terjadinya demensia. Demensia juga kerap terjadi pada
wanita dan individu dengan pendidikan rendah.
f. Penyakit jantung coroner
Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah
menuju jantung terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri
dada, sesak napas, pingsan, hingga kebingungan.
g. Kanker
Kanker merupakan sebuah keadaan dimana struktur dan fungsi
sebuah sel mengalami perubahan bahkan sampai merusak sel-sel
lainnya yang masih sehat. Sel yang berubah ini mengalami mutasi
karena suatu sebab sehingga ia tidak bisa lagi menjalankan fungsi
normalnya. Biasanya perubahan sel ini mengalami beberapa tahapan,
mulai dari yang ringan sampai berubah sama sekali dari keadaan awal
(kanker). Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua setelah
penyakit jantung. Faktor resiko yang paling utama adalah usia. Dua
pertiga kasus kanker terjadi di atas usia 65 tahun. Mulai usia 40 tahun
resiko untuk timbul kanker meningkat.

2.3 Pengaruh Pemberian Obat Pada Usia Lanjut


Perubahan respon penderita usia lanjut disebabkan oleh banyak faktor
seperti penurunan fungsi ginjal terutama fungsi glomerulus dan sekresi tubuli
merupakan perubahan faktor farmakokinetik yang terpenting. Penurunan fungsi
filtrasi menurun 30% pada orang berusia 65 tahun jika dibandingkan dengan
orang dewasa. Perubahan farmakokinetik lainnya adalah penurunan kapasitas
metabolisme beberapa obat, berkurangnya kadar albumin plasma sehingga kadar
obat bebas dalam darah tinggi, pengurangan berat badan dan cairan tubuh serta
penambahan lemak tubuh (sehingga dapat mengubah distribusi obat), dan
berkurangnya absorbsi aktif.

Hasil dari perubahan ini adalah sebagai berikut.

1. Kadar obat yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah dan
jaringan. Waktu paruh obat dapat meningkat hingga 50%.

11
2. Perubahan faktor-faktor farmakodinamik, yaitu peningkatan sensitivitas
reseptor, terutama reseptor di otak, dan penurunan mekanisme homeostatik,
misalnya homeostatik kardiovaskuler terhadap obat antihipertensi.
3. Adanya berbagai penyakit
4. Penggunaan banyak obat sehingga kemungkinan interaksi obat lebih tinggi.

Akibatnya, seringkali terjadi respon yang berlebihan atau efek toksik serta
berbagai efek samping bila mereka mendapat dosis yang biasa diberikan kepada
orang dewasa muda.

Prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut adalah:

1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan, artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo, berikan plasebo
sesungguhnya, dalam artian bukan plasebo yang mengandung bahan aktif.
2. Pilih obat yang memberikan rasio manfaat-risiko paling menguntungkan
bagi penderita usia lanjut. Misalnya jika diperlukan hipnotik, jangan
digunakan barbiturat. Dan juga berikan obat yang tidak berinteraksi dengan
obat lain atau penyakit lain pada penderita yang bersangkutan.
3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan kepada penderita dewasa muda.
4. Selanjutnya sesuaikan dosis obat berdasarkan respons klinik penderita, dan
bila perlu dengan monitor kadar obat dalam plasma penderita. Dosis
penunjang yang tepat pada umumnya lebih rendah daripada dosis untuk
penderita dewasa muda.
5. Berikan regimen dosis yang sederhana (yang ideal 1x sehari) dan sediaan
obat yang mudah ditelan (sebaiknya sirup atau tablet yang dilarutkan dalam
air) untuk memelihara kepatuhan penderita.
6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan penderita, dan hentikan
obat yang tidak diperlukan lagi.
Besarnya dosis dapat diperkirakan dari berat badan penderita, indeks terapi
obat, dan cara eliminasi obat. Untuk obat-obat yang eliminasi utamanya melalui
ekskresi ginjal (misalnya digoksin, aminoglikosid, dan klorpropamid), besarnya

12
penurunan dosis dapat diperhitungkan berdasarkan besarnya penurunan bersihan
kreatinin penderita. Sedangkan untuk obat-obat lain, besarnya penurunan dosis
hanya dikira kira saja berdasarkan educated guess.

Berikut tabel perubahan respons terhadap obat pada lansia.

Obat Respons Mekanisme utama

Usia lanjut

Digoksin Intoksikasi Berat badan turun, filtrasi glomerulus

turun, adanya gangguan elektrolit, dan

penyakit kardiovaskular yang lanjut

Antihipertensi Sinkope akibat Mekanisme homeostatik

(terutama penghambat hipotensi postural, kardiovaskular turun

saraf adregenik) insufisiensi koroner

Diuretik tiazid, Hipotensi, Berat badan turun, fungsi ginjal turun,

furosemide hipokalemia, dan mekanisme homestatik

hipovolemia, kardiovaskular turun

hiperglikemia,

hiperurikemia

Antikoagulan Pendarahan Respons homeostatik vaskular turun

Antikoagulan oral Pendarahan Respons homeostatik vaskular turun,

sensitivitas reseptor di hati naik, dan

ikatan protein plasma turun

Barbiturat Bervariasi dari Sensitivitas otak naik, metabolisme

gelisah sampai hepar turun

psikosis(terutama

kebingungan mental)

Diazepam, nitrazepam, Depresi SSP1 Sensitivitas otak naik, metabolisme

flurazepam hepar turun

Fenotiazin Hipotensi postural, Sensitivitas otak naik, metabolisme

13
(Ex: klorpromazin) hipotermia, reaksi hepar turun

koreiform

Triheksifenidil Kebingungan mental, Sensitivitas otak naik, eliminasi turun

halusinasi, konstipasi,

retensi urin

Streptomisin, asam Ototoksisitas Fungsi ginjal turun

etakrinat

Isoniazid Hepatotoksisitas Metabolisme hepar

Klorpropamid Hipoglikemia Berat badan turun, filtrasi glomerulus

turun

Distribusi obat berhubungan dengan komposisi tubuh, ikatan protein-


plasma, dan aliran darah organ. Semua itu akan mengalami perubahan
denganbertambahnya usia, sehingga dosis antara pasien geriatri dan pasien
yang lebih muda akan berbeda. Pada geriatri, komposisi air dalam tubuh akan
berkurang sehingga menyebabkan penurunan volum distribusi obat yang larut
air. sehingga konsentrasi dalam plasma meningkat, contoh: digoksin. namun
pada usia lansia, terjadi peningkatan total lemak dalam tubuh, sehingga
meningkatkan Vd obat yang larut dalam lemak namun konsntrasi obat dalam
plasma menurun. pada geriatri, jumlah albumin plasma berkurang sehingga
mengakibatkan jumlah obat yang diikat olih albumin menurun dan
mengakibatkan obat tersebut berada dalam tubuh dalam keadaan terikat.
Ginjal berpengaruh besar pada eliminasi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan
ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu
berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan
antibiotik golongan aminoglikosida.
Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah
ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 %
dibandingkan pada orang muda.

14
1) Secara Farmakokinetik
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga
mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung,
menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan
perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna.
Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah
pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat,
dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam
cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan
albumin, tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1
protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ
target.
Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh
tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan
penurunan albumin plasma.
Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat
lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau
sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi
obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek
obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecepatan penyerapan
dan cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak
dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati
yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi
metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal.
Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui
ambilan (uptake) oleh reseptor di hati dan melalui metabolisme sehingga
bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah.
Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan
pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan
propanolol.

15
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan
kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus
(oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya
digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi
ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga
kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada
orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak
lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga
memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan
litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami
penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).
1. Interaksi Farmakokinetik
a. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah
berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance,
walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya
normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang,
sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang
mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil
bila efek sampingnya berbahaya.
Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah
glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan
masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu
diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis
tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai
waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan
efek samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman
memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah
digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung
sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).

16
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi
ginjal, maka harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk
memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya
aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark
miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan
fungsi ginjal dan ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi
ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas
keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang
sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif,
sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil
pada lansia.

b. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal,
sehingga penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu
terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena
peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance.
ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker
kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan
sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat.
ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu
membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan
bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat
dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian
methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon
oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis
prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan
metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati
untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-
binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang

17
diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui
Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi
umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-
pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma
hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam
plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan
dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberikan
secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung
masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu
yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil
daripada dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius.
Obat yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain
yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin,
sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan
menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein
(albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang
bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini
dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin
yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan warfarin
kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang
akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin
sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal
ini juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh
plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh
secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit
dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001).
Secara umum farmakokinetika sendiri berasal dari kata
farmacon dan kinetic. Farmacon berarti obat, sedangkan kinetic
berarti pergerakan. Jadi farmakokinetika adalah ilmu yang
mempelajari pergerakan obat didalam tubuh. Ada 4 mekanisme
pergerakan obat dalam tubuh yaitu : absorpsi (diserap ke dalam

18
darah), Distribusi (disebarkan ke berbagai jaringan tubuh),
Metabolisme (diubah menjadi bentuk yang dapat dibuang dari
tubuh) serta ekskresi (dikeluarkan dari tubuh).
a) Absorpsi
Absorbsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat
pemberian obat sampai sirkulasi sistemik. Pada umumnya obat
membutuhkan absorbsi kecuali pada pemberian intravena.
Perubahan dalam hal absorpsi obat pada usia lanjut belum diketahui
secara jelas, tetapi tampaknya tidak berubah untuk sebagian besar
obat. Keadaan yang mungkin dapat mempengaruhi absorpsi ini
antara lain perubahan kebiasaan makan, tingginya konsumsi obat-
obat non resep (misalnya antasida, laksansia) dan lebih lambatnya
kecepatan pengosongan lambung.
Tetapi menurut Bustami (2001) pada usia lanjut perubahan
terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi obat,
misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke
usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu
pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu,
kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut,
kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan
prozasin.
b) Distribusi
Sesudah diabsorbsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh
melalui sirkulasi darah. Pada usia lanjut mengalami perubahan
distribusi obat. Selain oleh sifat fisiko-kimiawi molekul obat,
distribusi dipengaruhi juga oleh komposisi tubuh, ikatan protein
plasma, dan aliran darah organ.
Dengan bertambahnya usia, presentase air total dan massa tubuh
yang tidak mengandung lemak (lean body mass) menjadi lebih
sedikit. Obat yang mempunyai sifat lipofilik (larut dalam lemak
namun kurang larut dalam air) yang kecil, misalnya digoksin

19
dan propranolol, menjadi lebih tinggi kadarnya dalam darah,
walaupun pada dosis yang lazim untuk dewasa.
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat
dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya
dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan protein lain
seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan
tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan
yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total,
penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Biasanya
pada lansia juga terjadi perubahan rasio albumin
globulin. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang
sehat, sedangkan penurunan albumin menjadi lebih bila terjadi pada
lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Dan juga
penurunan albumin dapat terjadi secara mencolok pada usia lanjut
umumnya disebabkan oleh menurunnya aktivitas fisik dan dapat
juga memberi petunjuk beratnya penyakit sistemik yang diderita,
seperti miokard infark akut, penyakit-penyakit inflamasi, dan
infeksi berat sehingga obat-obat yang terutama terikat pada albumin
akan lebih banyak berada dalam bentuk bebas. Dengan kata lain,
kadar obat-obat tersebut akan meningkat dalam plasma. Selain itu
juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif
pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih
nyata tetapi eliminasi lebih cepat. Molekul obat yang terikat pada
albumin adalah yang bersifat asam lemah.

c) Metabolisme
Pada usia lanjut, berat dan aliran darah di hati telah mengalami
penurunan sebesar 40-45% yang berpengaruh pada obat-obat yang
kecepatan biotransformasinya bergantung pada aliran darah hati
seperti imipramin, amitriptilin, desipramin dan juga nortiptilin. Hati
berperan penting dalam metabolisme obat. Tidak hanya
mengaktifkan obat ataupun mengakhiri aksi obat tetapi juga

20
membantu terbentuknya metabolit terionisasi yang lebih polar yang
memungkinkan berlangsungnya mekanisme ekskresi ginjal.
Kapasitas hati dalam metabolisme obat tidak terbukti berubah
dengan bertambahnya umur, tetapi jelas terdapat penurunan aliran
darah hati yang diduga sangat memengaruhi kemampuan
metabolisme obat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan
penyerapan dan cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya
efek) lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat
terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat
menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang
aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat
sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan
(uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga
bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh
darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga
kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada
labetolol, lidokain, dan propanolol.

d) Ekskresi
Selain itu, ginjal yang merupakan tempat ekskresi sebagian besar
obat, baik dalam bentuk aktif maupun hasil metabolitnya, juga
mengalami perubahan fisiologis dan anatomis dengan bertambahnya
umur. Dengan menurunnya kapasitas fungsi ginjal karena usia
lanjut, maka eliminasi sebagian besar obat juga akan terpengaruh.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa
obat. Obat-obat yang dimetabolisme ke bentuk aktif,
seperti: metildopa, triamteren, spironolakton, oksifenbutazon,
levodopa, dan acetoheksamid mungkin akan terakumulasi karena
memburuknya fungsi ginjal pada usia lanjut. Perubahan
farmakokinetik obat yang dialami para lansia perlu diperhatikan,

21
terutama dalam hal penggunaan psikotropika mengingat adanya
kaitan yang sangat erat dengan resiko terjadinya efek samping
maupun interaksi obat.
Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang
sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan
filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan
bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan
aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu
juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi
glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang
lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia
yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga
memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin
dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal,
mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami,
2001).

2) Secara Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler
pada lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat
menonjol pada respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis.
Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia
selular, intensitas pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi
asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya
besar maka efek sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat
menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya menghambat proses
biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi
homeostatis melemah (Boedi, 2006).
Pasien-pasien usia lanjut relatif lebih sensitif terhadap aksi beberapa
obat dibanding kelompok usia muda. Hal ini memberi petunjuk adanya
perubahan interaksi farmakodinamika obat terhadap reseptor yang
nampaknya merupakan hasil perubahan farmakokinetika atau hilangnya

22
respons homeostatis. Mekanisme pengontrol homeostatis tertentu
tampaknya juga mulai kehilangan fungsi pada usia lanjut, sehingga pola
atau intensitas respons terhadap obat juga berubah. Sebagai contoh
tekanan darah rata-rata pada usia lanjut relatif lebih tinggi, tetapi
sementara itu insidensi hipotensi ortostatik juga meningkat secara
menyolok. Demikian pula mekanisme pengaturan suhu juga memburuk
dan hipotermia kurang ditoleransi secara baik pada usia lanjut. Berbagai
penelitian klinik menunjukkan bahwa usia lanjut ternyata lebih sensitif
terhadap analgetika, alkaloida, opium, beberapa sedatif dan tranquilizer,
serta obat antiparkinson. Sayangnya, obat-obat tersebut justru sering
diresepkan untuk kelompok usia ini.

1. Interaksi Farmakodinamik
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan
respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas
terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus
disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan
benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan
saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis “normal” dapat menimbulkan
rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti
klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4
mg memang terlalu besar) pada lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada
usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1
adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik;
antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat
juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994).
Usia lanjut merupakan kelompok yang mesti mendapatkan
perhatian khusus dalam berbagai hal, termasuk soal kesehatan. Populasi
mereka yang berusia lebih dari 65 tahun sekitar 75%. Sekitar 25%
diantaranya, sudah mengalami penurunan kualitas dalam aktvitas yang
sifatnya instrumental seperti bertransportasi, belanja, memasak,
memakai telepon, meminum obat sendiri dan sebagainya. Selain itu,

23
terdapat juga penurunan kualitas dalam aktivitas sehari-hari seperti
mandi, memakai baju, makan, buang air. Keluhan kesehatan pada lansia
seringkali atipikal sehingga sulit dimengerti. Kelainan pada satu sistem
organ bisa jadi sebenarnya akibat kelainan pada sistem organ yang lain.
Tak heran bila pelayanan kesehatan pada lansia membutuhkan
perubahan yang signifikan dalam pendekatan medis dibandingkan
pasien usia muda. Penyakit-penyakit pada lansia umumnya merupakan
stadium awal yang sangat mudah menimbulkan gejala akibat
mekanisme homeostatik tubuh yang sudah terganggu. Berbagai
penyakit yang umum terjadi pada lansia antara lain demensia,
kepribadian dependent, imobilitas, depresi, hipertensi, stroke, kanker,
osteoporosis, inkontinensia urin, penurunan berat badan dan malnutrisi,
gangguan pendengaran dan penglihatan dan sebagainya.
Jadi, wajar pasien lansia sangat membutuhkan pendekatan khusus
dan perhatian lebih matang terutama saat merencanakan terapi
farmakologis. Memahami tujuan pasien berobat akan membantu dokter
agar fokus pada inti permasalahan dan tujuan terapi pada pasien lansia.

2. Perubahan Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Pengetahuan yang mesti diketahui dalam memberikan pengobatan
ialah pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik obat
dalam tubuh. Hal tersebut biasanya berkaitan dengan usia pasien yang
dikelompokkan menjadi bayi, balita, anak-anak dan remaja/dewasa.
Pengelompokkan itu bertujuan untuk mempermudah dokter dalam
mengukur tingkat farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam
tubuh seseorang sehingga obat yang diberikan pada pasien menjadi
efektif untuk penyembuhan dan tidak memiliki efek samping/ toksisitas.
Biasanya dalam kemasan obat yang beredar di pasaran saat ini, sudah
dicantumkan dosis pemberian normal. Akan tetapi, sayangnya dalam
kemasan obat tersebut baik di Indonesia maupun di negara lain,
pengelompokkan dosis hanya sebatas hingga usia dewasa saja,

24
melupakan satu kelompok terakhir yakni lansia. Akibatnya pasien
lansia ini walaupun diberikan obat dalam dosis normal seperti dosis
orang dewasa malah dapat berefek toksisitas.
Bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik. Perubahan ini akan menyebabkan
gangguan pada metabolisme obat terutama akibat penurunan fungsi
ginjal (filtrasi glomerulus dan sekresi tubuli) dan penurunan bersihan
hepatik. Penurunan filtrasi glomerulus sekitar 30% pada usia 65 tahun.
Perubahan farmakokinetik lainnya adalah penurunan aktivitas enzim
mikrosom, berkurangnya kadar albumin plasma (sehingga dapat
meningkatkan kadar obat bebas), pengurangan berat badan dan cairan
tubuh serta penambahan lemak tubuh (sehingga dapat mengubah
distribusi obat), berkurangnya perfusi hepatik karena penuaan, dan
berkurangnya absorpsi aktif. Hasil dari semua perubahan ini adalah
kadar obat yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah dan
jaringan. Waktu paruh obat dapat meningkat sampai 50%.
Perubahan faktor-faktor farmakodinamik yakni peningkatan
sensitivitas reseptor, terutama reseptor di otak (terhadap obat-obat yang
bekerja sentral) dan penurunan mekanisme homeostatik, misalnya
homeostatik kardiovaskular (terhadap obat-obat antihipertensi). Selain
faktor perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik,
adanya berbagai penyakit pada usia lanjut juga dapat berpengaruh pada
konsumsi obat tertentu. Pasien lansia dengan kondisi kronis multiple
seringkali mendapatkan banyak obat termasuk obat yang tidak
diresepkan (seperti vitamin, dan obat jual bebas lainnya). Pemakaian
banyak obat tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
interaksi obat. Akibatnya seringkali terjadi respon yang berlebihan atau
efek toksik serta berbagai efek samping.
Prinsip umum peresepan obat pada lansia, yaitu: pertama, obat
hanya diberikan apabila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek
plasebo, berikan plasebo sesungguhnya (yang tidak mengandung bahan
aktif). Kedua, pilih obat yang memberikan rasio manfaat-risiko paling

25
menguntungkan bagi pasien lansia (misalnya bila diperlukan hipnotik,
jangan digunakan barbiturate) dan tidak berinteraksi dengan obat lain
atau penyakit lain pada pasien yang bersangkutan. Ketiga, mulailah
dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan
kepada pasien dewasa muda. Selanjutnya dosis obat disesuaikan
berdasarkan respon klinik pasien dan bila perlu dengan memonitor
kadar obat dalam plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat pada
umumnya lebih rendah daripada dosis untuk pasien dewasa muda.
Keempat, berikan regimen dosis yang sederhana (yang ideal 1x sehari)
dan sediaan obat yang mudah ditelan (sebaiknya sirop atau tablet yang
dilarutkan dalam air) untuk memelihara kepatuhan pasien. Kelima,
periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien dan hentikan
obat yang tidak diperlukan lagi.
Besarnya dosis dapat diperkirakan dari berat badan pasien, indeks
terapi obat dan cara eliminasi obat. Untuk obat-obat yang eliminasi
utamanya melalui ekskresi ginjal (misalnya digoksin, aminoglikosida
dan klorpropamid) besarnya penurunan dosis dapat diperhitungkan
berdasarkan besarnya penurunan bersihan kreatinin pasien. Sedangkan
untuk obat-obat lain, besarnya penurunan dosis hanya dikira-kira saja
berdasarkan educated guess.

2.4 Interaksi Obat dan Makanan pada Usia Lanjut


Menurut Swestika Swandari dalam BBPK Makassar (diakses 2014), tipe
interaksi antara obat dan makanan ada dua yaitu interaksi makanan terhadap
obat dan interaksi obat terhadap makanan. Interaksi makanan dengan obat
terjadi jika makanan berada bersama dengan obat dalam saluran pencernaan
sehingga memberikan pengaruh terhadap bioavailabilitas, farmakokinetik,
farmakodinamik, serta efikasi terapi obat yang digunakan. Keberadaan
makanan mempengaruhi efikasi terapi karena kehadiran makanan dalam
saluran cerna atau peredaran darah dapat meningkatkan atau menurunkan laju
absorpsi dan metabolisme obat.

26
Sedangkan Interaksi obat terhadap makanan terjadi karena penggunaan
obat berpengaruh secara signifikan pada metabolisme dan bioavailabilitas
makanan atau zat gizi dalam tubuh dan mengubah persepsi rasa. Perubahan
absorpsi dan metabolisme makanan menyebabkan perubahan pada status zat
gizi seseorang seperti deplesi mineral, vitamin, atau gangguan berat badan. Zat
gizi makanan diperlukan oleh sistem enzim untuk berfungsi secara normal.
Sistem enzim yang bekerja baik akan membantu metabolisme obat
berlangsung dengan baik pula. Yang dimaksud dengan Bioavailabilitas,
menurut kamus kesehatan, adalah tingkat sejauh mana suatu obat atau zat lain
diserap dan beredar dalam tubuh (Swandari, 2014).
Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah
ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30%
dibandingkan pada orang muda. Sehingga apabila lansia mengonsumsi
makanan secara berlebihan akan menyebabkan ginjal menjadi payah untuk
mencerna. Misalnya, lansia suka mengonsumsi gorengan, makanan bersantan,
ikan asin dengan berbagai olahan, nasi putih yang berlebih dan lain
sebagainya, hal ini dapat menyebabkan meningkatnya tekanan darah,
kolesterol, kadar gula darah serta penyakit penyerta lainnya, otomatis lansia
akan mengonsumsi obat beragam untuk meringankan berbagai keluhannya
tersebut. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya komplikasi dengan organ-
organ tubuh lainnya. Seperti lambung, hati, jantung, dan lain sebagainya.
Ditambah lagi dengan kebiasaan lansia yang malas untuk mengonsumsi air
mineral akan menambah kerja ginjal semakin berat.
Menurut Stanfield dan Hui (2010), obat-obatan tertentu menginduksi
sistem enzim yang memerlukan kofaktor vitamin. Hal ini dapat meningkatkan
kebutuhan vitamin. Beberapa obat bersaing dengan vitamin untuk suatu
tindakan. Selain itu, beberapa obat mengurangi sintesis zat gizi endogen.
Misalnya, antibiotik spektrum luas mengganggu sintesis vitamin K oleh
mikroorganisme yang biasanya hadir dalam usus besar. Pada intinya, obat dan
vitamin akan bersaing untuk dapat diserap oleh tubuh.
Pemeriksaan darah dan urin secara regular terutama pada usia lanjut
untuk tingkat vitamin dan mineral adalah alternatif yang perlu diperhatikan.

27
Bahkan aspirin umum dapat menyebabkan masalah gizi. Terapi salisilat kronis
telah terbukti mengurangi penyerapan vitamin C dalam leukosit dan merusak
kemampuan protein mengikat folat (Stanfield dan Hui, 2010).
Obat dapat meningkatkan atau menurunkan bioavailabilitas zat gizi
makanan. Obat dapat mempengaruhi intake makanan, absorpsi, metabolisme,
ekskresi dari zat gizi makanan. Beberapa zat gizi yang dapat dipengaruhi obat
antara lain folat, piridoksin, Vitamin C, Vitamin D, Vitamin A, kalsium, dan
seng. Obat seperti aspirin, babiturat, primidon, etinil estradiol, sikloserin,
metotreksat berpengaruh terhadap metabolisme folat fenitoin sehingga dapat
menyebabkan defisiensi folat dan anemia megaloblastik. Maka dari itu hal
tersebut yang patut diwaspadai adalah efek perubahan zat gizi akibat
penggunaan obat salah satunya yang perlu diperhatikan yaitu yang biasanya
terjadi penurunan status zat gizi pada usia lanjut (Swandari, 2014).
Salah satu contohnya yaitu beberapa obat berikatan dengan nutrisi di
saluran pencernaan, mencegah penyerapan. Misalnya, pengikat asam empedu,
yang digunakan untuk mengurangi kadar kolesterol, mungkin mengikat
vitamin yang larut dalam lemak. Karena pada usia lanjut beberapa fungsi
tubuh seperti ginjal, hati termasuk pencernaan sudah menurun maka perlu
diperhatikan asupan untuk vitamin dan mineral juga.
Dan juga contohnya beberapa antibiotik, terutama tetrasiklin dan
ciprofloxacin (Cipro), mengikat kalsium dalam makanan dan suplemen,
mengurangi penyerapan baik kalsium dan antibiotik. Antibiotik lainnya dapat
mengikat mineral seperti zat besi, magnesium, dan seng. Konsumen termasuk
para lansia disarankan untuk menggunakan produk susu dan semua suplemen
mineral setidaknya dua jam setelah pemberian obat ini.

2.5 Obat-Obat yang Sering Diresepkan Pada Usia Lanjut dan Pertimbangan
Pemakaian
a. Konsep Dasar Pemakaian Obat
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau
peresepan obat :

28
1. Diagnosis dan patofisiologi penyakit
2. Kondisi organ tubuh
3. Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan
obat yang diberikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta
farmakologi dari obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-
hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat,
karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan
sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat.
Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut :
1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang
sesungguhnya
2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling
menguntungkandan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau
penyakit lainnya
3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang
biasa diberikan pada orang dewasa yang masih muda.
4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu
dengan memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat
umumnya lebih rendah.
5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah
ditelan untuk memelihara kepatuhan pasien
6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan
obat yang tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

b. Obat - Obat Sistem Saraf Pusat


1) Sedativa-hipnotika
Mengingat sering diresepkannya obat-obat golongan sedativa-
hipnotika pada pasien usia lanjut, maka efek samping obat golongan ini
yang diketahui maupun tidak diketahui oleh pasien relatif lebih sering

29
terjadi. Pasien merasa tidak enak badan setelah bangun tidur (dapat
terjadi sepanjang hari), sempoyongan, kekakuan dalam bicara dan
kebingungan beberapa waktu sesudah minum obat. Sebagai contoh,
waktu paruh beberapa obat golongan benzodiazepin dan barbiturat
meningkat sampai 1,5 kali. Namun lorazepam dan oksazepam mungkin
kurang begitu terpengaruh oleh perubahan ini. Efek samping yang perlu
diamati pada penggunaan obat sedativa-hipnotika antara lain adalah
ataksia.
2) Analgetika
Dengan menurunnya fungsi respirasi karena bertambahnya umur,
maka kepekaan terhadap efek respirasi obat-obat golongan opioid
(analgetika-narkotik) juga meningkat. Jika tidak sangat terpaksa dan
indikasi pemakaian tidak terpenuhi, maka pemberian analgetika-
narkotik pada usia lanjutnya hendaknya dihindari.
3) Antidepresansia
Obat-obat golongan antidepresan trisiklik yang cukup banyak
diresepkan ternyata sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut,
yang antara lain berupa mulut kering, retensi urin, konstipasi, hipotensi
postural, kekaburan pandangan, kebingungan, dan aritmia jantung. Jika
terpaksa diberikan, maka sebaiknya dimulai dari dosis terendah,
misalnya imipramin 10 mg pada malam hari. Selain itu diperlukan pula
pemantauan yang terus menerus untuk mencegah kemungkinan efek
samping tersebut.

c. Obat - Obat Kardiovaskuler


1) Antihipertensi
Pengobatan hipertensi pada usia lanjut sering menjadi masalah,
tidak saja dalam hal pemilihan obat, penentuan dosis dan lamanya
pemberian, tetapi juga menyangkut keterlibatan pasien secara terus
menerus dalam proses terapi. Hal ini karena pengobatannya umumnya
jangka panjang. Jika terapi non-obat dirasa masih memungkinkan,

30
pembatasan masukan garam, latihan (exercise), dan penurunan berat
badan, serta pencegahan terhadap faktor-faktor risiko hipertensi
(misalnya merokok dan hiperkholesterolemia) perlu dianjurkan bagi
pasien dengan hipertensi ringan.
Namun jika yang dipilih adalah alternatif pengobatan, maka
hendaknya dipertimbangkan pula hal-hal berikut :
 Penyakit lain yang diderita (associated illness
 Obat-obat yang diberikan bersamaan (concurrent therapy)
 Biaya obat (medication cost), dan
 Ketaatan pasien (patient compliance)
Pilihan pertama yang dianjurkan adalah diuretika dengan dosis
yang sekecil mungkin. Efek samping hypokalemia dapat diatasi dengan
pemberian suplemen kalium atau pemberian diuretika potassium-
sparing seperti triamteren dan amilorida. Kemungkinan terjadinya
hipotensi postural dan dehidrasi hendaknya selalu diamati.
Jika diuretika ternyata kurang efektif, pilihan selanjutnya adalah
obat-obat antagonis beta-adrenoseptor (=beta bloker). Untuk penderita
angina atau aritmia, beta blocker cukup bermanfaat sebagai obat
tunggal, tetapi jangan diberikan pada pasien dengan kegagalan ginjal
kongestif, bronkhospasmus, dan penyakit vaskuler perifer. Pengobatan
dengan beta-1-selektif yang mempunyai waktu paruh pendek seperti
metoprolol 50 mg 1-2x sehari juga cukup efektif bagi pasien yang tidak
mempunyai kontraindikasi terhadap pemakaian beta-blocker. Dosis
awal dan rumat hendaknya ditetapkan secara hati-hati atas dasar
respons pasien secara individual.
2) Vasodilator perifer
Vasodilator perifer seperti prazosin, hidralazin, verapamil dan
nifedipin juga ditoleransi dengan baik pada usia lanjut, meskipun
pengamatan yang seksama terhadap kemungkinan terjadinya hipotensi
ortostatik perlu dilakukan. Meskipun beberapa peneliti akhir-akhir ini
menganjurkan kalsium antagonis, seperti verapamil dan diltiazem untuk
usia lanjut sebagai obat lini pertama. Tetapi mengingat harganya relatif

31
mahal dengan frekuensi pemberian yang lebih sering, maka
dikhawatirkan akan menurunkan ketaatan pasien.
3) Obat-obat antiaritmia
Pengobatan antiaritmia pada usia lanjut akhir-akhir ini semakin
sering dilakukan mengingat makin tingginya angka kejadian penyakit
jantung koroner pada kelompok ini. Namun demikian obat-obat seperti
disopiramida sangat tidak dianjurkan, mengingat efek
antikholinergiknya yang antara lain berupa takhikardi, mulut kering,
retensi urin, konstipasi, dan kebingungan. Pemberian kuinidin dan
prokainamid hendaknya mempertimbangkan dosis dan frekuensi
pemberian, karena terjadinya penurunan klirens dan pemanjangan
waktu paruh.
4) Glikosida jantung
Digoksin merupakan obat yang diberikan pada penderita usia lanjut
dengan kegagalan jantung atau aritmia jantung. Intoksikasi digoksin
tidak jarang dijumpai pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal,
khususnya jika kepada pasien yang bersangkutan juga diberi diuretika.
Gejala intoksikasi digoksin sangat beragam mulai anoreksia, kekaburan
penglihatan, dan psikosis hingga gangguan irama jantung yang serius.
Meskipun digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas jantung dan
memberi efek inotropik yang menguntungkan, tetapi kemanfaatannya
untuk kegagalan jantung kronis tanpa disertai fibrilasi atrial masih
diragukan. Oleh sebab itu, mengingat kemungkinan kecilnya manfaat
klinik untuk usia lanjut dan efek samping digoksin sangat sering terjadi,
maka pilihan alternatif terapi lainnya perlu dipetimbangkan lebih
dahulu. Diuretika dan vasodilator perifer sebetulnya cukup efektif
sebagian besar penderita.

d. Antibiotika
Prinsip-prinsip dasar pemakaian antibiotika pada usia lanjut tidak
berbeda dengan kelompok usia lainnya. Yang perlu diwaspadai adalah
pemakaian antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam, yang ekskresi

32
utamanya melalui ginjal. Penurunan fungsi ginjal karena usia lanjut akan
mempengaruhi eliminasi antibiotika tersebut, di mana waktu paruh obat
menjadi lebih panjang (waktu paruh gentasimin, kanamisin, dan netilmisin
dapat meningkat sampai dua kali lipat) dan memberi efek toksik pada
ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain (misalnya ototoksisitas).

e. Obat - Obat Antiinflamasi


Obat-obat golongan antiinflamasi relatif lebih banyak diresepkan pada
usia lanjut, terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi (osteoaritris).
Berbagai studi menunjukkan bahwa obat-obat antiinflamasi non-steroid
(AINS), seperti misalnya indometasin dan fenilbutazon, akan mengalami
perpanjangan waktu paruh jika diberikan pada usia lanjut, karena
menurunnya kemampuan metabolisme hepatal. Karena meningkatnya
kemungkinan terjadinya efek samping gastrointestinal seperti nausea,
diare, nyeri abdominal dan perdarahan lambung (20% pemakai AINS usia
lanjut mengalami efek samping tersebut), maka pemakaian obat-obat
golongan ini hendaknya dengan pertimbangan yang seksama. Efek
samping dapat dicegah misalnya dengan memberikan antasida secara
bersamaan, tetapi perlu diingat bahwa antasida justru dapat mengurangi
kemampuan absorpsi AINS.

f. Laksansia
Pada usia lanjut umumnya akan terjadi penurunan motilitas
gastrointestinal, yang biasanya dikeluhkan dalam bentuk konstipasi.
Pemberian obat-obat laksansia jangka panjang sangat tidak dianjurkan,
karena di samping menimbulkan habituasi juga akan memperlemah
motilitas usus. Pemberian obat-obat ini hendaknya disertai anjuran agar
melakukan diet tinggi serat dan meningkatkan masukan cairan serta jika
mungkin dengan latihan fisik (olah raga).

33
2.6 Prinsip Pengobatan Pada Usia Lanjut
Secara singkat, pemakaian/pemberian obat pada usia lanjut hendaknya
mempertimbangkan hal-hal berikut:
a. Riwayat pemakaian obat
 Informasi mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu ditanyakan,
mengingat sebelum datang ke dokter umumnya penderita sudah
melakukan upaya pengobatan sendiri.
 Informasi ini diperlukan juga untuk mengetahui apakah
keluhan/penyakitnya ada kaitan dengan pemakaian obat (efek samping),
serta ada kaitannya dengan pemakaian obat yang memberi interaksi.
b. Obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang dibuat.
Sebagai contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan simetidin pada
kecurigaan diagnosis ke arah dispepsia.
c. Mulai dengan dosis terkecil. Penyesuaian dosis secara individual perlu
dilakukan untuk menghindari kemungkinan intoksikasi, karena
penanganan terhadap akibat intoksikasi obat akan jauh lebih sulit.
d. Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi
resiko yang terkecil, dan sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari 2
jenis obat. Jika terpaksa memberikan lebih dari 1 macam obat,
pertimbangkan cara pemberian yang bisa dilakukan pada saat yang
bersamaan.

34
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Geriatri atau lanjut usia didefinisikan sebagai individu berusia di atas 60
tahun dan sering kali perubahan-perubahan yang terjadi pada geriatri
dibandingkan dengan keadaannya pada usia produktif dikaitkan dengan
terjadinya proses penuaan (WHO, 2013). Pengaruh pemberian obat pada usia
lanjut dapat terjadi secara farmakokinetik yaitu dengan mempelajari
pergerakan obat didalam tubuh yang meliputi bagian absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi obat pada lansia, lalu ada secara farmakodinamik
yaitu meihat pengaruh obat terhadap tubuh lansia itu sendiri.
Obat - obat yang sering diresepkan pada usia lanjut dan pertimbangan
pemakaian terdiri dari obat-obat sistem saraf pusat, obat - obat kardiovaskuler,
antibiotika, obat-obat antiinflamasi, dan laksansia. Dan pada prinsip
pengobatan pada usia lanjut hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut :
Riwayat pemakaian obat, obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk
diagnosis yang dibuat, mulai dengan dosis terkecil, dan hanya resepkan obat
yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi resiko yang terkecil, dan
sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari 2 jenis obat.

35
DAFTAR PUSTAKA

Nuryati, 2017. Farmakologi, Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, 649-650, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta

Anonim. 2013. Farmakoterapi Pada Lansia. (https://www.scribd.com/ 183117159-


Farmakoterapi-Pada-Lansia.pdf

Anonim. 2012. Lansia. (https://www.scribd.com/908675849-Lansia.pdf

Niar, V. 2014. Prinsip Pengobatan Dan Polifarmasi Lansia


(https://www.scribd.com/175273649-Prinsip-Pengobatan-Dan-Polifarmasi-
Lansia

Osra, A. 2012. Portofolio Obat-obat Lansia. (https://www.scribd.com/785647378/


portofolio-obat-obat-Lansia/

Wedya, Katondio Bayumitra . 2014. Interaksi Obat dan Makanan. (Situs Web :
https://giziberkarya.blogspot.co.id/2014/08/tentang-interaksi-obat-dan-
makanan.html,

36

Anda mungkin juga menyukai